• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 4, No. 2, Juni 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, Volume 4, No. 2, Juni 2008"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN STATUS GIZI DENGAN KEJADIAN PNEUMONIA PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS JATILAWANG

KABUPATEN BANYUMAS Turiman1,Saryono2, Sarwono3

1,3Jurusan Keperawatan STKes Muhammadiyah Gombong 2Jurusan Keperawatan UNSOED

ABSTRACT

The report from Public Health Center of Jatilawang on Desember 2007, consist of 88 infants have problems of nutrition less than normal. Based on the detection using standart table NCHS (BW/O) showed that About 19 infants from 88 infants have nutritional status very less than normal , 69 infants have nutritional status under normal line. About 17 infants with less nutrien got therapy of lung desease. From preliminary survey, 10 child patients of pnemonia consist of 4 infants that have nutritional status very less than normal.

The purpose of this reseach is to know the correlation between nutritional status with pneumonia prevalence. This is a survey with cross sectional study, and will be explained by description analyze. Location of this research is Public Health Center of Jatilawang area, Banyumas district of Central Java. The population is children age 0-5 year old. The sample is 75 children have been taken with inclusion and exclusion criteria. The instruments are quistionares, bodyweight measurement and physical examination. Analyze of result use chi-square analityc statistic.

This research shows that nutritional status is good, and pnemonia desease is high enough 28 % on Public Health Center of Jatilawang.The conclusion of this research showed that there are a significant correlation (p<0,05) between nutritional status with pnemonia.

Keywords: nutritional status, pneumonia; infant PENDAHULUAN

Pembangunan nasional di bidang kesehatan diantaranya

pembangunan kesehatan

diarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Dalam hubungannya dengan kebijakan kesehatan, juga diamanatkan bahwa upaya perbaikan kesehatan masyarakat terus ditingkatkan antara lain

melalui pencegahan dan

pemberantasan penyakit menular,

penyehatan lingkungan

pemukiman, perbaikan gizi, penyediaan air bersih, penyuluhan kesehatan, serta pelayanan kesehatan ibu dan anak. (Depkes, 2007)

Pelaksanaan program pemberantasan penyakit saluran

pernafasan akut untuk

penanggulangan pneumonia (Program P2 ISPA) adalah bagian dari pembangunan kesehatan dan

merupakan upaya yang

mendukung peningkatan kualitas sumber daya manusia serta merupakan bagian dari upaya pencegahan penyakit menular dimana salah satunya adalah pneumonia. Pneumonia balita merupakan penyakit infeksi yang menyerang paru yang ditandai dengan batuk disertai nafas cepat dan nafas sesak pada anak usia balita. Balita dapat tertular pneumonia dengan cara tertular

(2)

penderita batuk karena pnemonia, disamping faktor yang lain seperti imunisasi tidak lengkap, kondisi kurang gizi dan pemberian ASI tidak memadai serta tinggal di lingkungan yang tidak sehat. (Depkes, 2007)

Pneumonia pada balita menjadi program prioritas pemerintah karena angka kematiannya yang tinggi. Penyakit pneumonia sangat berbahaya karena dapat mengakibatkan kematian dalam waktu 3 sampai 10 jam apabila tidak segera mendapat pertolongan yang cepat dan tepat (Depkes, 2007). Kematian pada balita berdasarkan Survei Kematian Balita tahun 2005 disebabkan karena pneumonia (23%), diare (15,3%), sepsis neonatorum (15%), kematian neonatal (11,2%) dan masalah lain termasuk kecelakaan (14,7%).

WHO memperkirakan

insidensi pneumonia di negara berkembang dengan angka kematian bayi di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15% sampai 20 % pertahun pada golongan usia balita. Kejadian pneumonia di Indonesia pada balita diperkirakan antara 10 % sampai 20 % per tahun. Program P2 ISPA menetapkan target angka 10 % balita sebagai target penemuan penderita pneumonia balita pertahun pada suatu wilayah kerja. Secara teoritis diperkirakan bahwa 10 % dari pasien pneumonia akan meninggal bila tidak diberi pengobatan. Bila hal ini benar maka diperkirakan tanpa pemberian pengobatan akan didapat 250.000 kematian balita akibat pneumonia tiap tahunnya. Perkiraan angka kematian bayi dengan pneumonia secara nasional ialah 1000 balita atau bekisar 150.000 balita pertahun.

Dari studi awal yang kami lakukan di Puskesmas Jatilawang,

diperoleh hasil catatan dan pelaporan bahwa infeksi saluran pernafasan akut menempati urutan pertama dalam sepuluh besar penyakit di Puskesmas. Selain itu insidensi pneumonia adalah sebesar 178 balita yang merupakan bagian dari 4412 insidensi diseluruh kabupaten Banyumas pada tahun 2006. Dengan demikian masih adanya prevalensi pneumonia pada balita yang cukup tinggi seperti kejadian pada tingkat nasional.

Berbagai publikasi melaporkan tentang faktor resiko yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas pneumonia. Faktor tersebut antara lain, umur kurang dari 2 tahun, gizi kurang, status gizi lahir rendah, tidak mendapat ASI memadai, polusi udara, kepadatan tempat tinggal, imunisasi yang tidak lengkap, dan devisiensi vitamin A (Depkes, 1996).

Gizi buruk sebagai salah satu faktor tingginya angka mortalitas dan morbiditas pada pnemonia hubungannya adalah akibat daya tahan tubuh balita yang rendah. Peningkatan Status Gizi harus dimulai sejak dini, terutama masa balita. Masa balita adalah masa dimana tumbuh kembang anak dalam masa penting atau disebut periode emas. Jika pada masa ini balita kekurangan gizi maka akan berakibat buruk pada pertumbuhan dan kehidupan selanjutnya yang sulit diperbaiki (Depkes, 2005).

Laporan puskesmas Jatilawang pada bulan Desember 2007 terdapat 88 balita mengalami masalah gizi yaitu Status Gizi kurang dari normal, cara

mendeteksi ini dengan

menggunakan standard table NCHS ( BB / U ). Dari 88 balita terdapat 19 balita dengan Status Gizi sangat kurang, 69 balita dengan Status

(3)

Gizi dibawah garis normal. Dari 19 balita dengan Status Gizi sangat kurang terdapat 17 balita mendapat pengobatan rutin paru-paru. Dari hasil survey pendahuluan 10 penderita pneumonia terdapat 4 balita yang Status Gizinya kurang dari normal. Berdasarkan data tersebut, apakah ada hubungan antara Status Gizi dengan kejadian pneumonia di Puskesmas Jatilawang, sehingga perlu dilakukan penelitian.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian explanatory research jenisnya korelasional yaitu penelitian yang menyoroti pengaruh, hubungan, dan kaitan antar variabel (Arikunto, 2002). Metode yang digunakan adalah

metode survey, yaitu metode penelitian yang bertujuan mengumpulkan data dari individu mengenai sejumlah variabel melalui kuisoner dengan pendekatan cross sectional(Nursalam, 2003).

Penelitian dilaksanakan di Puskesmas Jatilawang Kabupaten Banyumas. Lokasi penelitian dipilih dengan alasan karena sebelumnya belum pernah diadakan suatu penelitian yang berkaitan dengan masalah hubungan status gizi dengan kejadian pneumonia balita.Populasi pada penelitian ini adalah balita umur 0 – 5 tahun di wilayah kerja Puskesmas Jatilawang Kabupaten Banyumas Jawa Tengah. Jumlah balita di wilayah Puskesmas Jatilawang adalah 4762 balita

a. Cara Pengambilan Sampel

Cara pengambilan sampel adalah dengan menggunakan purposive sampling pada balita yang memeriksakan diri ke Puskesmas Jatilawang, dengan mengacu pada kriteria inklusi daneksklusi.

b. Besar Sampel

Dari populasi tersebut dipilih sejumlah sampel dengan menggunakan tehnik purposive sampling pada balita yang memeriksakan diri ke Puskesmas Jatilawang. Selama

bulan April-Mei tahun 2008 jumlah balita yang berkunjung ke Puskesmas jatilawang 93 balita dengan kriteria menggunakan program pola tatalaksana penderita ISPA yang kemudian digolongkan kedalam pneumonia atau bukan pneumonia.

Besarnya sample yang digunakan dalam penelitian ini

didapatkan dengan menggunakan rumus (Notoatmojo, 2003) : N n = 1+ N (d2 ) Keterangan : n : besarnya sampel N : besarnya populasi

d : penyimpangan terhadap populasi/ derajat ketepatan yang diinginkan, biasanya 0,05 atau 0,01

Dari rumus diatas didapat bahwa besarnya sample yang digunakan dalam penelitian yaitu 75 balita.

Sampel yang diambil memiliki criteria:

1) Kriteria Inklusi

a) Anak umur 0 sampai 5 tahun laki-laki dan perempuan.

b) Balita dengan gejala batuk, panas, pilek.

(4)

c) Balita dengan gejala batuk, panas, pilek, sesak.

2) Kriteria Eksklusi

a) Tidak berdomisili di

Wilayah Kerja

Puskesmas Jatilawang. b) Tidak bersedia menjadi

responden.

Definisi operasional variabel adalah sebagai berikut:

a. Status gizi adalah keadaan kesehatan yang berhubungan dengan penggunaan makanan

oleh tubuh. Cara

pengukurannya dengan menggunakan Berat Badan/ Umur kemudian dibandingkan dengan Standar Baku NCHS. Skala yang digunakan ordinat.

Dengan hasil ukur

dikategorikan dalam Gizi lebih bila > 100%, baik 80 – 100%, kurang < 80%.

b. Pneumonia pada balita adalah peradangan pada paru (alveoli) yang mengenai anak dengan usia 0 sampai 5 tahun laki-laki dan perempuan Cara ukurnya menggunakan lembar observasi yang dilakukan oleh peneliti dengan hasil ukur dikategorikan :

Pneumonia jika :

batuk, pilek, panas, sesak. Bukan Pneumonia jika : batuk, pilek, panas.

Skala yang digunakan adalah skala nominal.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji validitas yang mengarah pada diagnosa pneumonia atau non pneumonia pada balita, serta untuk pemeriksaan status gizi balita. a. Instrumen untuk variabel status

gizi:

1) Timbangan berat badan. 2) Buku catatan berat badan. 3) Tabel NCHS.

b. Instrumen untuk variable pneumonia

1) Tabel standard tatalaksana penderita batuk dan atau kesukaran bernapas pada balita sesuai standart Program tata laksana P2 ISPA

2) Jam dan atau stopwatch. Analisis univariat: variabel yang ada dianalisis secara deskriptif dengan menghitung distribusi frekuensi dan proporsinya untuk mengetahui karakteristik subyek penelitian. Menetapkan kelas variabel untuk menetapkan langkah analisis berikutnya.Analisis bivariat : dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel bebas dan terikat secara bersama-sama. Uji statistik yang digunakan dalam analisis adalah dengan Chi Square.

Derajat kemaknaan yang

digunakan adalan 95% dengan p<0,05.

HASIL DAN BAHASAN

Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Jatilawang Kabupaten Banyumas Jawa Tengah selama periode April – Mei 2008, yaitu tentang hubungan antara status gizi dengan kejadian pneumonia pada balita. Puskesmas ini membawahi sekitar 11 desa di seluruh wilayah kecamatan Jatilawang dan setiap desa telah ada tenaga kesehatan masing-masing baik perawat ataupun bidan. Jumlah balita di wilayah kerja Puskesmas Jatilawang adalah 4762 balita dengan jumlah penduduk 61.402 ( Profil kec. Jatilawang, 2007)

Dalam pelaksanaan

pelayanan kesehatan kepada masyarakat diperbantukan dua Puskesmas Pembantu untuk lebih menjangkau kepada masyarakat yang cukup jauh dari Puskesmas induknya. Seperti halnya Puskesmas yang lain, Puskesmas ini juga melayani pelayanan

(5)

kesehatan anak dengan tenaga perawat maupun bidan, dengan fasilitas adanya bagian ruangan KIA, Gizi dan BP serta dilengkapi dengan laboratorium sederhana untuk pemeriksaan khususnya bagi para balita.

Puskesmas ini juga menyediakan pelayanan rawat inap dengan kapasitas beberapa tempat tidur. Pelayanan kesehatan pediatrik untuk balita pada rawat

jalan dilaksanakan satu kali seminggu yaitu setiap hari Rabu untuk pelayanan imunisasi, Sedangkan pelayanan balita selain imunisasi dilaksanakan setiap hari. Lokasi penelitian dipilih dengan alasan karena sebelumnya belum pernah diadakan penelitian berkaitan masalah hubungan status gizi dengan pneumonia balita.

1. Kondisi Status Gizi Terpadu

Tabel 1. Distribusi Status Gizi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Puskesmas Jatilawang n = 75

Jenis kelamin Lebih Status GiziBaik Kurang Jumlah

Laki-laki 1 24 21 46

Perempuan 1 16 12 29

Jumlah 2(2,7%) 40(53,3%) 33(44,4%) 75(100%)

Sumber : Data Primer, 2008

Berdasarkan Tabel 1 prosentase status gizi balita sebagian besar masuk dalam kategori status gizi yang baik yaitu 40 orang atau 53,3 % dan status gizi kurang sebesar 33 orang atau 44,4 %. Dari Tabel 1 dapat dilihat hasil penelitiannya bahwa status gizi lebih sebanyak 2,7 %, status gizi baik 53,3 % sedangkan status gizi kurang 44,4 %. Status gizi pada penelitian ini didefinisikan sebagai keadaan kesehatan yang berhubungan dengan penggunaan makanan oleh tubuh (Depkes, 2003). Hasil penelitian berbagai negara termasuk Indonesia dan berbagai publikasi ilmiah melaporkan bahwa faktor resiko baik yang meningkatkan insiden

maupun kematian akibat

pneumonia adalah umur kurang dari 2 bulan, gizi kurang, BBLR, tidak mendapat ASI memadai, defisiensi vitamin A dan tingkat jangkauan pelayanan yang rendah (Depkes, 2007).

Penelitian oleh Santoso (2002), juga mendapatkan hasil

yang sesuai dengan penelitian ini, dengan topik faktor resiko kejadian pnemonia balita di Puskesmas Tanah Kali kenjeran kota Surabaya. Dengan studi case control dan analisa data odds ratio didapatkan hasil bahwa diantara faktor resiko terjadi pnemonia balita adalah status gizi buruk, dengan resiko terjadinya kejadian pnemonia pada gizi buruk atau kurang sebesar 33 kali lebih besar dibandingkan dengan balita gizi baik.

Malnutrisi sebagai salah satu bentuk keadaan gizi kurang dapat mempengaruhi morbiditas dan mortalitas beberapa jenis penyakit pada berbagai golongan umur, sehingga angka statistik yang diperoleh dari berbagai jenis penyakit dapat menggambarkan keadaan status gizi golongan tersebut, misalnya Tuberculosis, mortalitas ibu dan bayi baru lahir, angka harapan hidup dan lain-lain (Hartono, 1997). Gangguan pertumbuhan dalam waktu singkat sering terjadi pada perubahan

(6)

berat badan sebagai akibat menurunnya napsu makan, sakit seperti diare, infeksi saluran pernapasan, sedangkan gangguan pertumbuhan yang lama dapat dilihat hambatan tinggi badan ( Depkes RI ,2003 ).

Gizi buruk sebagai salah satu faktor tingginya mortalitas dan morbiditas, hal ini berhubungan dengan daya tahan tubuh balita yang rendah jika balita kekurangan zat gizi, dengan demikian balita akan mudah terkena berbagai penyakit termasuk pneumonia (Depkes RI, 2007 ). Peningkatan status gizi harus dimulai sejak dini,

salah satunya masa balita. Indikator status gizi dapat diketahui melalui pengukuran BB (Depkes, 2005).

Berdasarkan hasil penelitian ( Tabel 3 ), sebagian besar responden masuk dalam kategori status gizi baik yaitu 53,3% meskipun masih ditemukan masalah gizi kurang yaitu 44,4%. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Sutrisno (1993) yang telah berhasil mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi mortalitas dan morbiditas pneumonia pada balita diantaranya adalah gizi kurang.

2. Kejadian Pneumonia

Tabel 2. Distribusi Frekuensi Kejadian Pneumonia Pada Balita (Responden) di Puskesmas Jatilawang Bulan April – Mei 2008 n = 75

No Kejadian pneumonia Frekuensi Prosentase (%)

1. Pneumonia 21 28

2. Bukan pneumonia 54 72

Total 75 100

Sumber: Data Primer, 2008

Berdasarkan Tabel 2 prosentase diagnosa pneumonia pada balita adalah sebesar 28 % dan yang masuk dalam kategori bukan pneumonia sebesar 72 %. Dari Tabel 2, hasil penelitian menunjukan bahwa angka pneumonia sebesar 28 % dan bukan pneumonia 72 %. Kategori penyakit ISPA diantaranya pneumonia dan bukan pneumonia. ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di sarana kesehatan, sebanyak 40 -60% kunjungan berobat di Puskesmas. Kejadian pneumonia di Indonesia pada balita diperkirakan antara 10 - 20% per tahun. Secara teoritis diperkirakan bahwa 10% dari pasien pneumonia akan meninggal bila tidak diberi pengobatan (Depkes, 2007).

Dari penelitian lain, di Indaramayu oleh Bambang Sutrisna pada tahun 1993, telah berhasil mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi mortalitas dan morbiditas pneumonia pada balita. Factor faktor risiko terjadinya kematian bayi dan anak balita karena pneumonia dipengaruhi oleh factor anak, anak belum pernah mendapat imunisasi campak, aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian pengobatan yang salah, anak balita yang tidak memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang telah disediakan, dan anak yang belum mendapat vitamin A yang disediakan oleh program.

Hasil penelitian ini mendukung teori yang tersebut di atas yaitu angka kejadian ISPA bukan pneumonia lebih dominan

(7)

(72%) meskipun masih ada kejadian pneumonia (28%). 3. Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Pneumonia

Tabel 3.Tabulasi Silang Hubungan Antara Status Gizi dengan Pneumoni Balita di Puskesmas Jatilawang Bulan April-Mei 2008 n = 75 Status gizi

Pneumonia

Baik Kurang Jumlah X2p

Pneumonia 7 (9,3%) 14 (18,7%) 21 (28%) X2 = 6,082

Bukan pneumonia

35 (46,7%) 19 (25,3%) 54 (72%) P = 0,014

Jumlah 42 (56%) 33 (44%) 75 (100%)

Sumber: Data Primer, 2008

Dari Tabel 3 diketahui bahwa dari responden (n) sebanyak 75 orang, balita yang mempunyai status gizi baik mempunyai kecenderungan untuk masuk dalam kategori bukan pneumonia (46,7%).dibanding yang berstatus gizi kurang (25,3%). Sedangkan balita yang terkena pneumonia, paling besar mempunyai status gizi kurang (18,7%) dibandingkan dengan status gizi baik (9,3%). Dari uji Chi square diperoleh nilai

X2 = 6,082 p < 0,05 , hal

ini menunjukan ada hubungan antara status gizi dengan kejadian pneumonia. Berdasarkan hasil penelitian dalam Tabel 3, responden dengan status gizi baik cenderung masuk dalam kategori bukan pneumonia (46,7%), sedangkan responden dengan status gizi kurang cenderung masuk dalam kategori pneumonia (18,7%).

Berdasarkan tabulasi silang di atas dalam Tabel 5 didapatkan hasil adanya hubungan antara status gizi dengan kejadian pneumonia pada balita. Balita dengan status gizi baik cenderung untuk tidak terkena pneumonia, sedangkan balita dengan status gizi kurang cenderung untuk terkena pneumonia. Kemudian dilakukan

analisis data untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas yaitu status gizi dengan kejadian pneumonia balita dengan menggunakan analisis chi-square. Hasil uji chi-square didapatkan nilai X2 = 6,082, P = 0,014.

Kriteria penilaian yang digunakan adalah nilai p untuk melihat signifikansi hubungan, apabila nilai p < 0,05 maka dianggap hubungan yang ada signifikan atau bermakna, sebaliknya jika nilai p > 0,05 maka hubungan yang ada tidak signifikan.

Status gizi balita yang kurang salah satunya bisa disebabkan karena asupan makanan yang kurang, ada

beberapa faktor yang

mempengaruhi asupan makanan pada balita kurang diantaranya lingkungan keluarga, media massa, teman sebaya dan penyakit. Penyakit akut maupun kronis dapat menurunkan nafsu makan anak. Sesuai dengan hasil Susenas 1992 yang menyatakan bahwa di Indonesia gizi sedang dan kurang pada balita sebesar 40,24% dan gizi buruk 2,12%. Anak dengan gizi buruk lebih mudah diidentifikasikan, tetapi anak dengan gizi kurang sering kali

(8)

luput dari pengamatan, karena orang tua atau bahkan tenaga kesehatan tidak menganggap masalah. Padahal kondisi seperti itu merupakan faktor resiko untuk mendapatkan penyakit, bahkan mempunyai angka kematian yang lebih tinggi ( Hartono, 1997).

Pada balita yang mengalami gangguan pertumbuhan dapat terjadi dalam waktu yang singkat dan dapat pula pada waktu yang

cukup lama. Gangguan

pertumbuhan dalam waktu singkat sering terjadi pada perubahan berat badan sebagai akibat menurunnya nafsu makan, sakit seperti diare atau infeksi saluran pernafasan atas. Gizi buruk sebagai salah satu faktor tingginya mortalitas dan morbiditas, karena pada gizi buruk, daya tahan tubuh balita rendah. Dan akhirnya pada anak dengan daya tahan tubuh terganggu atau lemah akan dapat menderita pneumonia berulang atau tidak mampu mengatasi penyakit ini dengan sempurna. Faktor lain yang mempengaruhi timbulnya pneumonia pada balita adalah daya badan yang menurun akibat malnutrisi energi protein. Anak dengan keadaan malnutrisi energi protein dan yang datang terlambat pada pelayanan kesehatan menunjukan mortalitas yang lebih tinggi (Hasan, 2002).

Hasil publikasi Depkes tentang kejadian pneumonia di Indonesia pada balita diperkirakan antara 10-20% per tahun. Secara teoritis diperkirakan bahwa 10% dari pasien pneumonia akan meninggal bila tidak diberi pengobatan. Faktor resiko yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas pneumonia antara lain umur kurang dari 2 tahun, gizi kurang, BBLR, tidak mendapat ASI memadai, polusi udara, kepadatan tempat tinggal, imunisasi yang tidak memadai, dan defisiensi

vitamin A. Gizi buruk sebagai salah satu faktor tingginya mortalitas dan morbiditas, hal ini berhubungan dengan daya tahan balita yang rendah jika balita kekurangan zat gizi untuk daya tahan dari berbagai penyakit termasuk pneumonia.

Sesuai dengan hasil penelitian status gizi kurang pada balita sebesar 34% berarti ada hubungannya dengan kejadian pneumonia, walaupun masih ada pengaruh faktor yang lain. Hal ini mendukung penelitian Bambang sutrisno (1993) yang telah berhasil mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi mortalitas dan morbiditas pneumonia pada balita diantaranya adalah gizi kurang. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Status gizi balita berdasarkan berat badan per umur di Puskesmas Jatilawang sudah baik dengan hasil penelitian status gizi baik sebesar 42 orang (56%) dan status gizi kurang sebesar 33 orang (44%). 2. Angka kejadian infeksi saluran

pernafasan akut pneumonia dan bukan pneumonia di Puskesmas Jatilawang masih tinggi yaitu sebesar 21 orang (28%) dan bukan pneumonia sebesar 64 orang (72%).

3. Balita yang mempunyai status

gizi baik mempunyai

kecenderungan untuk masuk dalam kategori bukan pneumonia yaitu sebesar 35 orang (46,7%) dibandingkan dengan status gizi kurang yaitu sebesar 19 orang (25,3%). Adapun balitayang terkena pneumonia paling besar mempunyai status gizi kurang sebesar 14 orang (18,7%).

(9)

4. Terdapat hubungan antara status gizi dengan pneumonia, dan dapat dibuktikan kemaknaanya secara stastistik. Maka semakin baik status gizi balita, semakin kecil untuk terkena pneumonia.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto,

S, 2002, Prosesdur Penelitian Suatu Pendekatan Proses, Rineka Cipta, Jakarta.

Depkes RI, 2005. Pemantauan Pertumbuhan Balita. Jakarta Depkes RI, 1996. Pedoman Program

Pemberantasan Penyakit ISPA untuk Penanggulangan Pnemonia. Jakarta

Dinkes. (2007). P2 ISPA dalam Profil Kesehatan Propinsi Jawa Tengah.

http://www.jawatengah.go.i d/dinkes/new/profile.

FKUI, 2003. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta

Ganawisawarna. S. G, 1995. Farmakologi dan Terapi. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta

Guyton. A, 1996. Fisiologi Kedokteran. Edisi VII. EGC. Jakarta

Hartono. E, 1997. Gizi Dalam Masa

Tumbuh Kembang.

Subbagian Gizi dan Anak SMF Kesehatan Anak. RSUP Dr. Sardjito. Yogyakarta Mansjoer, A. 2003. Kapita Selekta

Kedokteran. Media Auskulapius. Jakarta

Nursalam, 2003, Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis Dan Instrumen Penelitian, Salemba Medika, Jakarta. Prawitasari. 1995. Handout Metode

Penelitian Kesehatan. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Sangarimbun. M, Efendi. S, 1995. Metode Penelitian Survey. Cetakan II. PT Pustaka LP3ES. Jakarta

Sediaoetama, J.A. 1996. Ilmu Gizi. Dian Rakyat. Jakarta

Silvia. A Price, Lorraine. M. W, 1995. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Penyakit. EGC. Jakarta

Gambar

Tabel 1. Distribusi Status Gizi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Puskesmas Jatilawang n = 75

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah LKS pada materi hukum- hukum dasar kimia berbasis KPS yang dikembangkan sesuai dengan rancangan produk dimana hasil

Gateway adalah sebuah perangkat yang digunakan untuk menghubungkan satu jaringan komputer dengan satu atau lebih jaringan komputer yang menggunakan protokol komunikasi

Aryati Indah Kusumastuti, (2004 ), Pengaruh Kualitas Komunikasi Padapengelolaan Proyek Konstruksi Bangunan Gedung Terhadap Kinerja Waktu, Universitas Indonesia, Teknik Sipil

Diantara semua sifat dan reaksi yang penting untuk kita ketahui bersama yang paling kami soroti disini yaitu mengenai Disolusi suatu zat. Dimana ini meerupakan suatu tahapan yang

Hal ini karena laju kenaikan indeks harga yang diterima petani yang sebesar 0,49 persen lebih cepat dibandingkan dengan laju kenaikan pada indeks harga yang dibayar petani yang

perbedaan jumlah spesies antara kedua lokasi penelitian tersebut memperlihatkan jumlah nilai indeks keseragaman yang sama yaitu pada Pantai Briosi BLK dengan nilai

Berdasarkan uraian di atas, maka tujuan penelitian ini adalah hubungan antara (1) mendeskripsikan hasil belajar IPS dalam kemampuan kognisi dan keterampilan sosial

Selain itu, data juga menunjukkan bahwa bayi yang lahir dari ibu dengan preeklampsia memiliki risiko lebih besar untuk menderita cerebral palsy dibandingkan dengan anak