HUBUNGAN ANTARA SENSITIVITAS TERHADAP PENOLAKAN DENGAN AGRESI ELEKTRONIK PADA MAHASISWA PENGGUNA
MEDIA SOSIAL
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh: Monica Candra Dewi
149114077
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
HALAMAN MOTTO
Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari (Matius 6:34)
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan untuk:
Tuhan yang selalu menyertai dan menolongku dalam kehidupan ini, Alm. Ibuku Heriberta Sarijah
Ayahku (Fx. Sukindar) dan Ibuku (Elisabeth Erna) Kakakku (Lucia Nurmalia S.)
vii
HUBUNGAN ANTARA SENSITIVITAS TERHADAP PENOLAKAN DENGAN AGRESI ELEKTRONIK PADA MAHASISWA PENGGUNA
MEDIA SOSIAL Monica Candra Dewi
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara sensitivitas terhadap penolakan dengan agresi elektronik pada mahasiswa pengguna media sosial. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif antara sensitivitas terhadap penolakan dengan agresi elektronik pada mahasiswa pengguna media sosial. Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa berumur 18-22 tahun berjumlah 203 orang. Alat pengumpulan data yang digunakan berupa skala sensitivitas terhadap penolakan dan skala agresi elektronik. Skala sensitivitas terhadap penolakan memiliki 25 item dengan koefisien reliabilitas rxx = 0,830, sedangkan skala agresi elektronik memiliki 35 item dengan koefisien reliabilitas rxx = 0,913. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji korelasi Pearson Product Moment. Hasil penelitian menunjukkan koefisien korelasi yang diperoleh sebesar 0,139 dan p=0,048. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara sensitivitas terhadap penolakan dengan agresi elektronik pada mahasiswa pengguna media sosial.
viii
THE CORRELATION BETWEEN REJECTION SENSITIVITY AND ELECTRONIC AGRESSION AMONG COLLEGE STUDENTS USING
SOCIAL MEDIA Monica Candra Dewi
ABSTRACT
This study aimed to examine the correlation between rejection sensitivity and electronic aggression among the college students using social media. The hypothesis proposed in this research was that there was a positive relationship between rejection sensitivity and electronic aggression among the college students using social media. The subjects of this research were 203 students aged 18-22 years old. Data were collected used rejection sensitivity scale and electronic aggression scale. There were 25 items of rejection sensitivity scale with a reliability coefficient of rxx=0.830. Meanwhile, there were 35 items of electronic aggression scale with a reliability coefficient of rxx=0.913. The data analysis was conducted using Pearson Product Moment correlation test. The result showed that the correlation coefficient was 0.139 and p=0.048. These results indicated that there was a positive and significant relationship between rejection sensitivity and electronic aggression among the college students using social media.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala tuntunan dan penyertaan-Nya selama proses penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat selesai dengan baik tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Ibu Dr. Y. Titik Kristiyani, M.Psi., Psi. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
2. Ibu Monica Eviandaru M., M.Apss. Psych., Ph.D. selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dhama
3. Bapak Y.B. Cahya Widiyanto, M.Si., Ph.D. dan Ibu Dr. M. Laksmi Anantasari, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang memberikan arahan selama penulis menjalani perkuliahan.
4. Ibu Ratri Sunar Astuti M.Si. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan saran, waktu, dan arahan yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.
xi
6. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan motivasi selama masa studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
7. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma 8. Ayah, ibu, dan kakak, terimakasih atas doa, dukungan, dan saran yang selalu
kalian berikan kepada penulis selama proses penyusunan skripsi.
9. Lukas Andrianto, terimakasih atas doa, dukungan, dan saran yang telah diberikan kepadaku sehingga aku semakin semangat untuk mengerjakan dan menyelesaikan skripsi. Terimakasih telah meluangkan waktu untuk mendengarkan keluh kesah ku selama ini.
10.Dr. Philip Boyce selaku pembuat skala The Interpersonal Sensitivity Measure (IPSM) versi asli yang telah bersedia memberikan ijin untuk adaptasi skala ke dalam Bahasa Indonesia sehingga dapat digunakan penulis dalam penyusunan skripsi ini.
11.Pus, Yoan, Ruth, Tita, dan Cila, terimakasih telah memberi warna dalam hidupku selama masa studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma 12.Seluruh subjek penelitian, terimakasih atas waktu yang diberikan untuk
mengisi kuesioner penelitian saya.
13.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah mendukung penulis selama ini
Yogyakarta, 1 September 2018 Penulis,
xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... v
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 7
1. Manfaat Teoritis ... 7
2. Manfaat Praktis ... 7
xiii
A. Agresi Elektronik ... 8
1. Definisi Agresi Elektronik ... 8
2. Karakteristik Agresi Elektronik ... 10
3. Tipe-Tipe Agresi Elektronik ... 12
4. Faktor-Faktor Agresi Elektronik ... 14
B. Sensitivitas Terhadap Penolakan ... 16
1. Definisi Sensitivitas Terhadap Penolakan ... 16
2. Dimensi-Dimensi Sensitivitas Terhadap Penolakan ... 17
3. Dampak Sensitivitas Terhadap Penolakan ... 19
C. Media Sosial ... 20
1. Definisi Media Sosial ... 20
2. Fungsi-Fungsi Media Sosial ... 21
D. Mahasiswa sebagai Remaja Akhir ... 22
E. Dinamika Sensitivitas Terhadap Penolakan Dengan Agresi Elektronik Pada Mahasiswa Pengguna Media Sosial ... 23
F. Skema ... 26
G. Hipotesis ... 27
BAB III. METODE PENELITIAN... 28
A. Jenis Penelitian ... 28
B. Identifikasi Variabel ... 28
1. Variabel Bebas ... 28
2. Variabel Tergantung... 28
xiv
1. Agresi Elektronik ... 28
2. Sensitivitas Terhadap Penolakan ... 29
D. Subjek Penelitian ... 30
E. Metode Pengumpulan Data ... 31
1. Skala Agresi Elektronik ... 31
2. Skala The Interpersonal Sensitivity Measure (IPSM) ... 32
F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 33
1. Validitas ... 33
2. Seleksi Item ... 37
3. Reliabilitas ... 40
G. Analisis Data ... 41
1. Uji Asumsi ... 41
a. Uji Normalitas ... 41
b. Uji Linearitas ... 42
2. Uji Hipotesis ... 42
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43
A. Pelaksanaan Penelitian ... 43
B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 44
1. Data Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 44
2. Data Subjek Berdasarkan Usia ... 44
3. Data Media Sosial Yang Paling Sering diakses Subjek ... 45
4. Data Frekuensi Subjek Mengakses Media Sosial ... 46
xv
C. Deskripsi Data Penelitian ... 48
D. Uji Hipotesis ... 49
1. Uji Asumsi ... 49
a. Uji Normalitas ... 49
b. Uji Linearitas ... 50
2. Uji Korelasi ... 52
E. Pembahasan ... 53
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 57
A. Kesimpulan ... 57
B. Keterbatasan Penelitian ... 57
C. Saran ... 57
1. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 57
2. Bagi Mahasiswa Pengguna Media Sosial ... 58
DAFTAR PUSTAKA ... 59
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Blue Print Distribusi Item Skala Agresi Elektronik (Try Out) .. 32
Tabel 2. Blue Print Distribusi Item Skala The Interpersonal Sensitivity Measure (IPSM) (Try Out) ... 33
Tabel 3. Distribusi Item Skala Agresi Elektronik Setelah Seleksi Item ... 39
Tabel 4. Distribusi Item Skala The Interpersonal Sensitivity Measure Setelah Seleksi Item ... 40
Tabel 5. Data Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 44
Tabel 6. Data Subjek Berdasarkan Usia ... 44
Tabel 7. Data Media Sosial yang Paling Sering di Akses Subjek ... 45
Tabel 8. Data Frekuensi Subjek Setiap Mengakses Media Sosial ... 46
Tabel 9. Data Durasi Setiap Mengakses Media Sosial ... 47
Tabel 10. Kategorisasi untuk Sensitivitas Terhadap Penolakan... 48
Tabel 11. Kategorisasi Sensitivitas Terhadap Penolakan pada Subjek ... 48
Tabel 12. Kategorisasi untuk Agresi Elektronik ... 49
Tabel 13. Kategorisasi Agresi Elektronik pada Subjek ... 49
Tabel 14. Hasil Uji Normalitas... 50
Tabel 15. Hasil Uji Linearitas ... 51
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Penilaian Validitas Isi Peer Judgement ... 67 Lampiran 2. Skala The Interpersonal Sensitivity Measure (IPSM) ... 81 Lampiran 3. Hasil Terjemahan Skala The Interpersonal Sensitivity
Measure (IPSM) ke Bahasa Indonesia ... 84 Lampiran 4. Back Translation Skala The Interpersonal Sensitivity
Measure (IPSM) ... 87 Lampiran 5. Hasil Pemeriksaan Skala The Interpersonal Sensitivity
Measure (IPSM) ... 90 Lampiran 6. Skala The Interpersonal Sensitivity Measure (IPSM) dan
Skala Agresi Elektronik Uji Coba ... 94 Lampiran 7. Skala The Interpersonal Sensitivity Measure (IPSM) dan
Skala Agresi Elektronik untuk Pengambilan Data ... 105 Lampiran 8. Hasil Uji Relabilitas dan Seleksi Item Skala The
Interpersonal Sensitivity Measure (IPSM) Uji Coba ... 114 Lampiran 9. Hasil Uji Relabilitas dan Seleksi Item Skala Agresi
Elektronik Uji Coba ... 117 Lampiran 10. Hasil Uji Normalitas The Interpersonal Sensitivity Measure
(IPSM) dan Agresi Elektronik ... 121 Lampiran 11. Hasil Uji Linearitas ... 123
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perilaku agresi merupakan perilaku yang sengaja dilakukan untuk menyakiti orang lain dan pelaku percaya bahwa perilakunya akan menyakiti orang lain sehingga korban akan berusaha menghindari perilaku tersebut (Anderson & Bushman, 2002). Contoh dari perilaku agresi adalah menendang dan memukul orang lain. Dengan hadirnya perilaku agresi tersebut, individu akan menyadari dampak negatif dari perbuatannya karena pelaku dapat langsung melihat reaksi emosi korbannya.
pencemaran nama baik di media sosial (Purbaya, 2017), dan penyebaran konten porno (Khumaini, 2018).
Karena agresi elektronik ini membutuhkan ruang dalam dunia maya, maka masalah agresi elektronik ini tidak lepas dari banyaknya pengguna media sosial di Indonesia. Menurut riset We Are Social (2017) perkembangan media sosial di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 27 juta pengguna baru sejak tahun 2016 (Kemp, 2017). Selain itu, survei Tetra Pak Index menunjukkan bahwa pengguna media sosial tahun 2017 di Indonesia telah mencapai 40% atau 106 juta dari jumlah masyarakat seluruh Indonesia (Yudhianto, 2017).
Survei APJII menunjukkan mahasiswa menjadi pengguna media sosial dengan intensitas cukup tinggi (APJII, 2012). Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin tinggi pula intensitas menggunakan media sosial (Soliha, 2015). Ellison, Steinfield, dan Lampe (dalam Na, Dancy, & Park, 2015) mengatakan bahwa media sosial menjadi sarana utama bagi mahasiswa untuk berkomunikasi dalam aktivitas sehari-hari. Mahasiswa tergolong remaja akhir dengan rentang usia 18-22 tahun (Santrock, 2007). Minat mahasiswa sebagai remaja akhir mengarah ke eksplorasi identitas diri untuk menunjukan siapa dirinya (Santrock, 2007).
jawab (Batubara, 2010). Anderson (dalam Mappiare, 1983) mengatakan mahasiswa diharapkan memiliki emosi yang lebih matang karena pengalamannya yang diperoleh selama menempuh pendidikan formal mempengaruhi emosi yang matang.
Emosi yang matang dapat menghasilkan emosi positif. Sedangkan emosi yang tidak matang ditandai dengan kurang mampu mengendalikan emosi, kurang bertindak dengan pertimbangan terlebih dahulu, dan kurang mampu menyalurkan sumber emosi dengan baik. Dampak negatif dari emosi yang kurang matang dapat menghasilkan emosi negatif (Hurlock, 1994) dan individu akan kesulitan membina hubungan interpersonal yang baik (Herlena, 2007).
Downey dan Feldman (1996) menyatakan bahwa sensitivitas terhadap penolakan merupakan kecenderungan seseorang untuk menyangka bahwa ia akan mendapat penolakan dari orang lain, mudah merasakan penolakan, dan bereaksi berlebihan terhadap penolakan. Levy et al. (dalam Watson & Nesdale, 2012) mengatakan bahwa dugaan akan mendapat penolakan dari orang lain muncul dalam situasi yang memungkinkan terjadinya penolakan, dan mendorongnya untuk menerima tanda-tanda tidak berbahaya di lingkungan sebagai bukti penolakan. Dugaan akan mendapat penolakan dari orang lain tersebut mudah muncul sewaktu-waktu akibat individu pernah mengalami penolakan dalam hidupnya (Watson & Nesdale, 2012).
Sensitivitas terhadap penolakan dinilai penting bagi mahasiswa karena dapat mempengaruhi kualitas hubungan interpersonal mereka di masa remaja akhir (Buhrmester, Harris, dalam Marston, Hare, & Allen, 2010). Sensitivitas terhadap penolakan dapat menganggu mahasiswa dalam menjalin hubungan dengan orang lain di berbagai situasi sosial (Butler, Doherty, & Potter, 2007; Marston et al., 2010). Padahal, pada tahap perkembangan mentalnya, mahasiswa diharapkan lebih bertanggung jawab, menghargai orang lain, dan lebih memikirkan masa depan untuk mempersiapkan diri di tahap perkembangan selanjutnya (Batubara, 2010).
Watson dan Nesdale (2012) menyatakan bahwa sensitivitas terhadap penolakan juga menyebabkan kesepian, menarik diri secara sosial dan cenderung menekan pendapat orang lain yang berbeda-beda (Harper, Dickson, & Welsh, 2006). Dengan antisipasi sensitivitas terhadap penolakan, maka individu diharapkan mampu mengelola ketegangan dan sehat secara psikologis (Park, 2007).
Berdasarkan uraian di atas, peneliti hendak mengetahui apakah ada hubungan antara sensitivitas terhadap penolakan dengan agresi elektronik pada mahasiswa pengguna media sosial. Pertanyaan tersebut penting sebab realitanya agresi elektronik mudah terjadi di media sosial misalnya pencemaran nama baik dan penghinaan melalui media sosial. Pelaku agresi elektronik tersebut tidak menyadari dampak negatif dari perbuatan mereka karena tidak ada reaksi emosi dari korbannya yang berfungsi sebagai pengontrol perilaku. Hal ini menyebabkan individu mudah melakukan agresi elektronik, sehingga mereka dapat terjerat hukum dan merugikan orang lain. Agresi elektronik tersebut merupakan perilaku menyimpang (Rosyidah, 2015) dan peneliti tertarik mengambil sensitivitas terhadap penolakan sebagai variabel dalam penelitian karena sensitivitas terhadap penolakan dapat menjelaskan perilaku menyimpang yang terjadi dalam kehidupan (Marston et al., 2010).
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara sensitivitas terhadap penolakan dengan agresi elektronik pada mahasiswa pengguna media sosial.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi dalam ilmu Psikologi, terutama Psikologi Klinis dan Psikologi Sosial mengenai sensitivitas individu terhadap penolakan dan agresi elektronik.
2. Manfaat Praktis
8
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Agresi Elektronik
1. Definisi Agresi Elektronik
Agresi elektronik merupakan semua perilaku menganggu, bermusuhan, atau menindas yang dilakukan melalui teknologi komunikasi (internet dan telepon seluler) seperti email, ruang obrolan, pesan teks, pesan instan, dan situs web (David-Ferdon & Hertz, 2007; David-Ferdon & Hertz, 2009). Contoh dari agresi elektronik adalah memberikan komentar kasar atau tidak sopan, berbohong, mengejek, menggoda, menyebarkan isu, dan menulis komentar untuk mengancam orang lain (David-Ferdon & Hertz, 2007).
temannya yang telah mengambil uangnya (agresi). Budi menyadari
konsekuensi dari perbuatannya setelah memukul temannya. Sedangkan
contoh agresi elektronik, seorang mahasiswi menulis status di media sosial
bahwa dosennya cabul (pencemaran nama baik) (Purbaya, 2017).
Mahasiswi tersebut tidak merasa bersalah dan tidak menyadari dampak
negatif perbuatannya, tetapi dosennya menganggap hal tersebut sebagai
pencemaran nama baik, lalu melaporkannya ke polisi.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa agresi
elektronik merupakan berbagai perilaku mengganggu atau bermusuhan
yang dilakukan melalui internet atau telepon seluler sebagai teknologi
komunikasi. Agresi elektronik berbeda dengan agresi pada umumnya
yakni pelaku agresi elektronik tidak menyadari dampak negatif dari
perbuatannya dan tidak merasa bersalah karena tidak ada reaksi emosi
korbannya akibat agresi elektronik yang dilakukan. Sedangkan agresi
ditandai dengan pelaku menyadari kerugian dan konsekuensi
2. Karakteristik Agresi Elektronik
Pyzalski (2011) menyatakan bahwa karakteristik agresi elektronik
yang membedakannya dengan agresi yaitu anonimitas, ketidaksengajaan,
dan kontinuitas.
a. Anonimitas (Anonimyty)
Pyzalski (2011) menyatakan bahwa anonimitas sebagai
karakteristik agresi elektronik menunjukkan bahwa ketiadaan atau
hilangnya isyarat nonverbal (perubahan mimik wajah) untuk
mengenali emosi orang lain dalam komunikasi dapat menimbulkan
masalah. Juvonen & Gross (dalam Pyzalski, 2011) mengatakan
anonimitas merupakan dasar utama perilaku bermusuhan melalui
internet. Pyzalski (2011) menyatakan bahwa anonimitas menunjukkan
bahwa individu mengalami masalah dalam mengontrol perilakunya
dan cenderung bereaksi dengan cepat tanpa membuat keputusan
rasional dalam berkomunikasi. Isyarat nonverbal penting dalam
berkomunikasi untuk mengenal emosi orang lain. Isyarat nonverbal
yang terbatas menyebabkan pelaku tidak menyadari dampak dari
perilaku online yang dilakukannya dapat merugikan orang lain.
b. Ketidaksengajaan (Unintentionality)
Ketidaksengajaan menunjukkan bahwa pelaku agresi elektronik
tidak sadar akan kerugian dan dampak negatif bagi orang lain dari
disampaikan melalui media elektronik karena tidak bisa mengetahui
emosi dari korbannya sebagai pengontrol perilaku. Pelaku akan
terkejut ketika muncul masalah dan dampak negatif pada orang lain
melalui komunikasi online yang telah dilakukan karena pelaku tidak
dapat memperkirakan konsekuensi dari perilakunya. Ketidaksengajaan
dalam agresi elektronik juga dipengaruhi oleh kurangnya isyarat
nonverbal dalam komunikasi misalnya perubahan mimik wajah. Hal
ini menyebabkan pelaku sulit melihat tanda-tanda emosi negatif
korban lebih awal dan membuat pelaku melanjutkan secara tidak sadar
serangan yang berbahaya (Pyzalski, 2011).
c. Kontinuitas (Continuity)
Boyd (dalam Pyzalski, 2011) menyatakan bahwa publikasi
konten yang agresif di media elektronik akan menetap dan mudah
ditemukan oleh pengguna internet. Kontinuitas sebagai karakteristik
agresi elektronik menunjukkan bahwa konten yang memuat agresi
elektronik di media elektronik akan menetap, mudah ditemukan, dan
mudah diperbanyak, sehingga korban tidak bisa melepaskan diri dari
konten yang memuat agresi elektronik yang ditujukan kepadanya
selama ia masih mampu menjangkaunya melalui media elektronik.
Agresi elektronik muncul tanpa batas waktu dan tempat sehingga
membuat individu rentan menjadi korban (Pyzalski, 2011).
pengguna media sosial sehingga orang yang menjadi korban agresi
elektronik memungkinkan untuk menjangkau konten yang memuat
agresi elektronik tersebut (Pyzalski, 2011). Misalnya seorang
mahasiswi melakukan pencemaran nama baik dosen pembimbing
KKN dengan menulis status di media sosial bahwa dosennya cabul
(Purbaya, 2017). Dosen tersebut melihat pernyataan yang ditulis oleh
mahasiswi tersebut di media sosial, lalu melaporkannya ke polisi atas
pencemaran nama baik yang telah dilakukannya.
3. Tipe-tipe Agresi Elektronik
Morgan, King, Weis, dan Schapler (dalam Prasetio & Hartosujono,
2013) menyatakan agresi terdiri dari fisik, aktif, langsung (misalnya
menikam); fisik, aktif, tidak langsung (misalnya menyewa seorang
pembunuh); fisik, pasif, langsung (misalnya aksi duduk dalam
demonstrasi); fisik, pasif, tidak langsung (misalnya menolak berpindah
ketika melakukan aksi duduk); verbal, pasif, langsung (misalnya menolak
menjawab pertanyaan); verbal, pasif, tidak langsung (misalnya menolak
berbicara pada orang lain).
Berbeda dengan tipe-tipe agresi, tipe-tipe agresi elektronik antara
lain (Bennett, Guran, Ramos, & Margolin, 2011) :
a. Permusuhan (Hostility)
Permusuhan adalah perilaku yang menyakiti dan mengancam
Bentuk permusuhan dalam agresi elektronik bisa berupa pesan
mengancam melalui SMS dan email yang berisi perkataan yang
menyakitkan.
b. Pengusikan (Instrusiveness)
Pengusikan adalah perilaku yang melibatkan media elektronik
untuk memantau, memeriksa, atau memperdaya seseorang untuk
mengetahui informasi pribadi di internet. Bentuk pengusikan dalam
agresi elektronik dapat berupa mencuri password akun orang lain dan
mengirim pesan kepada orang lain untuk memantau dirinya.
c. Penghinaan (Humiliation)
Penghinaan adalah perilaku yang menampilkan gambar atau
komentar yang menghina atau memalukan, dan menyebarkan berita
yang tidak benar di hadapan publik melalui media elektronik. Bentuk
penghinaan dalam agresi elektronik misalnya mengunggah foto yang
memalukan.
d. Pengucilan (Exclusion)
Pengucilan adalah perilaku yang bertujuan untuk
menghilangkan atau memblokir seseorang dalam komunikasi melalui
media elektronik. Bentuk pengucilan dalam agresi elektronik dapat
berupa memblokir akun orang lain, menghapus akun orang lain, dan
mengeluarkan seseorang dari daftar pertemanan melalui media
4. Faktor-faktor Agresi Elektronik
a. Keluarga
Faktor yang mempengaruhi agresi elektronik yaitu lingkungan
keluarga. Repetti, Taylor, dan Seeman (2002) mengatakan bahwa
lingkungan keluarga yang berisiko ditandai dengan adanya konflik,
hubungan di dalam keluarga yang dingin dan tidak mendukung.
Individu yang dibesarkan di dalam keluarga yang berisiko tersebut
akan mengalami pengabaian, penolakan, lebih mudah depresi dan
munculnya perilaku yang agresif. Individu yang dibesarkan di dalam
keluarga yang berisiko tersebut juga akan menganggap pesan media
elektronik ambigu yang ditujukan kepadanya sebagai konten negatif
atau menyakitkan dan ia menganggapinya dengan agresif melalui
media elektronik sehingga dapat terjadi agresi elektronik (Kellerman
et al., 2013).
Individu yang tumbuh di dalam keluarga yang tidak
mendukung dan hubungan keluarga yang dingin dapat berdampak
bagi individu. Hal itu dapat menyebabkan individu cemas dan sulit
merasakan kepuasan dari kelekatan di masa dewasa karena tidak ada
kelekatan aman saat kanak-kanak (Boyce dan Parker, 1989).
b. Teman sebaya
Collins dan Van Dulmen (dalam Kellerman et al., 2013)
sebaya akan mempengaruhi pembentukan keintiman atau keakraban
dalam hubungan mereka. Hartup dan Stevens (dalam Kellerman et al.,
2013) mengatakan bahwa dukungan teman sebaya dapat menciptakan
keintiman dan strategi yang positif dalam pemecahan masalah.
Penolakan dari orang lain misalnya teman, dapat menjadi sumber
ketegangan sehingga menghasilkan emosi negatif yang memicu
seseorang berperilaku agresi elektronik (Wright & Li, 2013).
c. Prososial
Pyzalski (2012) berpendapat bahwa individu yang
mengabaikan perilaku prososial cenderung dapat melakukan agresi
elektronik karena perilaku prososial dapat menjadi faktor yang
menghalangi pelaku dalam melakukan agresi elektronik. Eisenberg dan
Fabes (dalam Padilla-Walker & Christensen, 2011) mengatakan bahwa
perilaku prososial merupakan tindakan sukarela yang bermaksud untuk
membantu atau menguntungkan individu atau kelompok. Carlo dan
Randall (2002) menyatakan 6 kecenderungan perilaku prososial yaitu
kecenderungan untuk membantu ketika orang lain meminta bantuan
(compliant), membantu dalam situasi yang darurat (dire), membantu
orang lain di depan umum agar dihormati orang (public), membantu
dalam situasi emosional (emotional), membantu orang yang tidak
dikenal (anonymous), dan membantu tanpa mengharapkan imbalan
B. Sensitivitas Terhadap Penolakan
1. Definisi Sensitivitas Terhadap Penolakan
Baumeister dan Leary (dalam Watson & Nesdale, 2012)
menyatakan bahwa salah satu motivasi manusia yang besar adalah
kebutuhan untuk diterima oleh orang lain. Penerimaan dari orang lain
menjadi hal yang penting bagi manusia dan penolakan dapat memberikan
pengaruh yang kuat bagi mereka (Watson & Nesdale, 2012). Penolakan
dapat berasal dari teman sebaya, keluarga atau pasangan (Watson &
Nesdale, 2012). Levy et al. (dalam Watson & Nesdale, 2012) menyatakan
penolakan dari orang lain tersebut dapat membentuk sensitivitas terhadap
penolakan.
Boyce dan Parker (1989) mengatakan sensitivitas terhadap
penolakan merupakan kepekaan berlebihan terhadap perilaku dan perasaan
orang lain sehingga individu dapat mempersepsikannya sebagai
penolakan. Levy et al. (dalam Watson & Nesdale, 2012) menyatakan
bahwa dugaan terhadap penolakan muncul ketika individu berada di
situasi yang memungkinkan dirinya untuk ditolak, dan mendorongnya
untuk menerima tanda-tanda tidak berbahaya sebagai bukti penolakan.
Downey dan Feldman (1996) menambahkan bahwa sensitivitas terhadap
penolakan merupakan kecenderungan seseorang merasa cemas akan
mendapat penolakan dari orang lain, mudah merasakan penolakan, dan
bereaksi berlebihan terhadap penolakan. Sensitivitas terhadap penolakan
terhadap hal-hal yang nyata atau imajinasi, dan mudah merasakan
tanda-tanda penolakan (Sloman, 2000). Individu dapat merasakan bahwa dirinya
mengalami penolakan dari orang lain meskipun sesungguhnya tidak ada
penolakan (Sloman, 2000).
Berdasaran uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
sensitivitas terhadap penolakan merupakan kecenderungan seseorang
untuk menduga bahwa ia akan mendapat penolakan dari orang lain,
bereaksi berlebihan terhadap penolakan, dan cepat merasa tertolak akibat
individu mempersepsikan perilaku orang lain sebagai penolakan.
2. Dimensi sensitivitas terhadap penolakan
Boyce dan Parker (1989) menyatakan 5 dimensi yang dapat
menggambarkan sensitivitas individu terhadap penolakan antara lain :
a. Interpersonal awareness (Kesadaran Interpersonal)
Interpersonal awareness adalah kewaspadaan terhadap perilaku
orang lain dan cemas terhadap sesuatu yang akan terjadi dalam
berinteraksi dengan orang lain. Individu memiliki kewaspadaan akibat
kerapuhan diri dan membutuhkan dukungan dari orang lain.
Interpersonal awareness menunjukkan kepekaan individu dalam
berinteraksi dengan orang lain, termasuk merasa bahwa ia mempunyai
pengaruh yang kuat pada pandangan orang lain terhadap dirinya dan
b. Need for approval (Kebutuhan akan Penerimaan)
Need for approval adalah keinginan seseorang agar orang lain
tidak menolaknya, keinginan untuk membuat orang lain bahagia, dan
menjaga hubungan dengan orang lain. Individu yang memiliki need
for approval yang tinggi menunjukkan bahwa ia menghargai
keinginan-keinginan orang lain.
c. Separation Anxiety (Kecemasan akan Perpisahan)
Bowlby (dalam Boyce & Parker, 1989) menyatakan bahwa
separation anxiety adalah kecemasan individu terhadap
keberlangsungan kelekatan saat dewasa karena tidak ada kelekatan
aman pada masa kanak-kanak sehingga sulit merasakan kepuasan dari
kelekatan di masa dewasa. Boyce dan Parker (1989) mengatakan
bahwa individu akan memiliki kepekaan yang berlebihan terhadap
berbagai ancaman dalam menjaga keutuhan hubungan yang terjalin
dengan orang lain. Bowlby (dalam Boyce & Parker, 1989)
mengatakan bahwa kecemasan berpisah dengan orang lain menjadi
karakteristik individu yang depresi.
d. Timidity (Takut)
Timidity merupakan ketidakmampuan dalam berperilaku secara
asertif dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Khan (2012)
orang yang menghargai pendapat dan perasaan orang lain, mampu
menyatakan pikiran dan perasaannya secara jujur, dan menjalin
hubungan yang akrab dengan orang lain.
e. Fragile inner-self (Kerapuhan diri)
Fragile inner-self menjelaskan bahwa ada bagian inti dalam diri
yang tidak disukai dan butuh disembunyikan dari orang lain. Fragile
inner-self yang tinggi menunjukkan bahwa seseorang memiliki harga
diri yang rapuh sehingga membutuhkan dukungan dari orang lain.
3. Dampak Sensitivitas Terhadap Penolakan
Sensitivitas terhadap penolakan menyebabkan munculnya depresi
(Downey & Feldman, 1996). Sensitivitas terhadap penolakan juga memicu
munculnya kemarahan, permusuhan, menarik diri, kecemburuan, dan
murung (Downey & Feldman, 1996). Selain itu, sensitivitas terhadap
penolakan juga berhubungan dengan kesepian dan menarik diri secara
sosial (Watson & Nesdale, 2012). Marston, Hare, dan Allen (2010)
menambahkan bahwa sensitivitas terhadap penolakan menyebabkan
peningkatan masalah interpersonal. Sensitivitas terhadap penolakan dapat
menyebabkan individu cenderung menekan pendapat orang lain yang
berbeda-beda (Harper et al., 2006).
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
dan perilaku yang terdiri dari depresi, murung, kesepian, kecemburuan,
kemarahan, permusuhan, dan menarik diri secara sosial.
C. Media Sosial
1. Definisi Media Sosial
Media sosial merupakan saluran yang melibatkan internet untuk
berinteraksi dan mempresentasikan diri dengan selektif, dengan khalayak
sempit atau luas yang memperoleh nilai dari isi yang disampaikan oleh
para penggunanya dan memfasilitasi orang untuk berinteraksi (Carr &
Hayes, 2015). Jalonen (2014) mengatakan bahwa media sosial merupakan
sarana untuk melakukan interaksi antarindividu dengan membagikan,
menciptakan atau bertukar informasi melalui jaringan internet. Media
sosial merupakan media untuk berbagi informasi, berpartisipasi, dan
menciptakan konten berupa blog, forum, jejaring sosial, dan dunia virtual
yang didukung oleh teknologi yang canggih (Kementrian Perdagangan RI,
2014).
Kemp (2017) menyatakan bahwa media sosial yang populer
misalnya Instagram, Whatsapp, Facebook, Line, dan Twitter. Dampak
positif media sosial yaitu pengguna dapat mengurangi, menambahkan,
menyebarkan gambar atau tulisan, dan mempercepat penyebaran informasi
(Kementrian Perdagangan RI, 2014). Dampak negatif media sosial yaitu
dengan orang lain berkurang, dan timbul masalah hukum akibat melanggar
peraturan, privasi, dan moral (Kementrian Perdagangan RI, 2014).
Berdasarkan uraian tentang media sosial tersebut, media sosial
merupakan sarana komunikasi yang terhubung dengan internet untuk
berinteraksi dengan orang lain.
2. Fungsi-fungsi Media Sosial
Jalonen (2014) mengatakan bahwa media sosial memiliki
fungsi-fungsi antara lain :
a. Media Komunikasi
Media sosial sebagai media komunikasi digunakan untuk
menyimpan, membagikan, mempublikasikan konten, berdiskusi,
menyampaikan pendapat, dan mempengaruhi orang lain (Jalonen,
2014). Bentuk media sosial untuk komunikasi yaitu pesan instan
(misalnya skype), blog (misalnya blogger), mikroblog (misalnya
twitter) (Jalonen, 2014).
b. Media kolaborasi
Media sosial sebagai media kolaborasi digunakan untuk
menciptakan konten dan menyunting tanpa batas lokasi dan waktu.
Media sosial yang digunakan sebagai media kolaborasi yaitu Wikis
c. Media penghubung
Media sosial sebagai media penghubung digunakan untuk
berhubungan dengan orang lain dan bersosialisasi dalam suatu
komunitas. Media sosial sebagai media penghubung misalnya
facebook dan Linkedin (Jalonen, 2014).
d. Media untuk melengkapi
Media sosial digunakan untuk melengkapi konten dengan
mendeskripsikan, menambah, menyaring informasi, dan menunjukkan
hubungan antar konten (Jalonen, 2014). Misalnya Pinterest digunakan
untuk mendeskripsikan kualitas tas Charles & Keith.
e. Media penggabung
Jalonen (2014) mengatakan bahwa media sosial sebagai media
penggabung digunakan untuk menggabungkan dan membandingkan
konten dari aplikasi yang berbeda. Misalnya Google Maps digunakan
untuk menampilkan lokasi tempat ibadah, hotel, perbandingan jarak
dan prediksi waktu tempuh Uber, Gojek, atau transportasi lain.
D. Mahasiswa sebagai Remaja Akhir
Takwin (dalam Fadillah, 2013) menyatakan bahwa mahasiswa adalah
orang yang terdaftar sebagai murid di perguruan tinggi dan belajar di
60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, mahasiswa adalah peserta didik
yang belajar dan terdaftar di perguruan tinggi tertentu. Mahasiswa umumnya
menempuh pendidikan selama 8 semester atau 4 tahun.
Mahasiswa tergolong remaja akhir dengan rentang usia 18-22 tahun
(Santrock, 2007). Mahasiswa merupakan remaja akhir yang memiliki emosi
lebih stabil, lebih menghargai orang lain, mampu memikirkan gagasan, lebih
memikirkan masa depan, lebih konsisten, dan bertanggung jawab (Batubara,
2010). Anderson (dalam Mappiare, 1983) mengatakan mahasiswa diharapkan
memiliki emosi yang lebih matang karena pengalamannya yang diperoleh
selama menempuh pendidikan formal mempengaruhi emosi yang matang.
Mahasiswa di masa remaja akhir juga mulai mampu menentukan pilihan dan
mengambil keputusan (Paramitasari & Alfian, 2012). Selain itu, mahasiswa
berada di tahap remaja akhir memiliki minat yang mengarah ke eksplorasi
identitas diri (Santrock, 2007). Pembentukan identitas menjadi tugas
perkembangan yang penting bagi mereka (Morsunbul, 2015).
E. Dinamika Sensitivitas terhadap Penolakan dengan Agresi Elektronik
pada Mahasiswa Pengguna Media Sosial
Baumeister dan Leary (dalam Watson & Nesdale, 2012) menyatakan
bahwa salah satu motivasi manusia yang besar adalah kebutuhan untuk
diterima oleh orang lain. Gemilang, Yuliadi, dan Lilik (2015) menyatakan
bahwa motivasi mahasiswa berupa kebutuhan akan penerimaan orang lain
yang berarti membutuhkan relasi yang melibatkan pemikiran, perasaan, dan
tindakan secara lebih mendalam. Mahasiswa diharapkan mampu menjalin
hubungan dengan orang lain secara mendalam karena mereka harus masuk ke
lingkungan yang lebih luas lagi untuk mempersiapkan dirinya menjalani peran
orang dewasa (Rumini & Sundari, 2004).
Penolakan dari orang lain akan menghambat mahasiswa untuk
menjalin hubungan yang lebih luas di lingkungan sosial (Butler et al., 2007).
Sumber penolakan dapat berasal dari ras atau etnis, disabilitas, dan orientasi
seksual (Downey, Bonica, & Rincon, 1999). Penolakan dari teman sebaya,
keluarga atau pasangan dapat menimbulkan pembentukan dugaan akan
tertolak orang lain (Watson & Nesdale, 2012). Levy et al. (dalam Watson &
Nesdale, 2012) menyatakan bahwa individu yang mengalami penolakan
menyebabkan munculnya sensitivitas terhadap penolakan pada dirinya.
Sensitivitas terhadap penolakan merupakan kecenderungan seseorang untuk
menduga bahwa ia akan mendapat penolakan dari orang lain, bereaksi
berlebihan terhadap penolakan, dan cepat merasa tertolak akibat individu
mempersepsikan perilaku orang lain sebagai penolakan.
Sensitivitas terhadap penolakan terdiri dari high rejection sensitivity
dan low rejection sensitivity. Downey dan Feldman (dalam Ayduk et al.,
2000) mengatakan bahwa high rejection sensitivity merupakan
kecenderungan yang tinggi untuk lebih cemas dalam menduga bahwa dirinya
mendapat penolakan dari orang lain, lebih mudah merasa tertolak, dan
sensitivity menyebabkan individu merasa tertolak dengan lebih mudah
menganggap tanda-tanda ambigu di lingkungan sebagai bukti penolakan
(Sloman, 2000). Individu dengan high rejection sensitivity menggunakan hot
system yaitu memunculkan respon refleks dengan merespon penolakan tanpa
penyelesaian (Metcalfe & Mischel dalam Ayduk et al., 2000). Hal ini
menyebabkan agresi elektronik di media sosial cenderung lebih tinggi karena
munculnya respon refleks mendorong individu bereaksi dengan lebih cepat
dan sulit mengontrol perilaku.
Low rejection sensitivity merupakan tingkat sensitivitas yang rendah
sehingga memiliki rasa cemas yang rendah terhadap penolakan dan tenang
dalam menduga munculnya penolakan (Regan, 2011). Individu yang
memiliki low rejection sensitivity relatif kurang memperhatikan penolakan
dan lebih mengharapkan penerimaan dari orang lain (Ayduk et al., 2000).
Individu dengan low rejection sensitivity akan merespon penolakan yang
dialami dengan cool system yaitu adanya pemecahan masalah dan refleksi
(Metcalfe & Mischel, 1999). Adanya pemecahan masalah dan refleksi yang
dimiliki orang dengan low rejection sensitivity mendorong individu membuat
keputusan rasional dan mampu mengontrol perilaku, sehingga agresi
F. Skema
Sensitivitas terhadap
penolakan
Sensitivitas terhadap penolakan tinggi :
Lebih cemas dalam menduga munculnya penolakan
Lebih mudah merasakan penolakan dan memiliki kecemasan tinggi terhadap penolakan
Bereaksi berlebihan terhadap penolakan secara intensif
Sensitivitas terhadap penolakan rendah :
Tenang dalam menduga munculnya penolakan Memiliki rasa cemas yang
rendah terhadap penolakan
Relatif kurang
memperhatikan penolakan dan lebih mengharapkan penerimaan dari orang lain
Agresi elektronik tinggi Muncul respon refleks sehingga akan bereaksi dengan lebih cepat tanpa membuat keputusan rasional dan sulit mengontrol perilaku
Merespon penolakan dengan pemecahan masalah dan refleksi, sehingga dapat membuat keputusan rasional dan mampu mengontrol perilaku
G. Hipotesis
Hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat hubungan positif antara
sensitivitas terhadap penolakan dan agresi elektronik pada mahasiswa
28
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional. Penelitian
kuantitatif melibatkan analisis data numerik menggunakan metode statistika
(Creswell, 2014). Penelitian kuantitatif korelasional untuk mengukur tingkat
hubungan antara dua variabel atau lebih (Creswell, 2014). Pada penelitian ini,
peneliti ingin melihat apakah terdapat korelasi antara sensitivitas terhadap
penolakan dengan agresi elektronik pada mahasiswa pengguna media sosial.
B. Identifikasi Variabel
1. Variabel bebas
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah sensitivitas terhadap
penolakan.
2. Variabel tergantung
Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah agresi elektronik.
C. Definisi Operasional 1. Agresi Elektronik
Agresi elektronik merupakan berbagai perilaku mengganggu atau
bermusuhan yang dilakukan melalui internet atau telepon seluler sebagai
agresi elektronik yang disusun berdasarkan empat tipe agresi elektronik
yaitu pengusikan, permusuhan, penghinaan, dan pengucilan. Agresi
elektronik dapat dilihat dari skor yang diperoleh berdasarkan skala agresi
elektronik tersebut. Semakin tinggi skor yang diperoleh berdasarkan skala
agresi elektronik, maka semakin tinggi agresi elektronik individu.
Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh berdasarkan skala agresi
elektronik, maka semakin rendah agresi elektronik individu.
2. Sensitivitas terhadap Penolakan
Sensitivitas terhadap penolakan adalah kecenderungan seseorang
untuk menduga bahwa ia akan mendapat penolakan dari orang lain,
bereaksi berlebihan terhadap penolakan, dan cepat merasa tertolak akibat
individu mempersepsikan perilaku orang lain sebagai penolakan.
Sensitivitas terhadap penolakan akan diukur menggunakan adaptasi
skala the interpersonal sensitivity measure (IPSM). Skala the
interpersonal sensitivity measure (IPSM) tersebut dikembangkan oleh
Boyce dan Parker (1989). Peneliti mengadaptasi skala the interpersonal
sensitivity measure (IPSM) karena skala tersebut telah ditetapkan sebagai
literatur penelitian yang luas (Butler et al., 2007) dan skala tersebut telah
terbukti sebagai alat ukur yang valid dan reliabel dalam mengukur
sensitivitas terhadap penolakan (Boyce & Parker, 1989). The interpersonal
awareness, need for approval, separation anxiety, timidity, dan fragile
inner-self (Boyce & Parker, 1989).
Sensitivitas terhadap penolakan dapat dilihat dari skor yang
diperoleh berdasarkan the interpersonal sensitivity measure (IPSM).
Semakin tinggi skor total yang diperoleh berdasarkan skala the
interpersonal sensitivity measure (IPSM), maka semakin tinggi sensitivitas
individu terhadap penolakan. Di sisi lain, semakin rendah skor total yang
diperoleh berdasarkan skala the interpersonal sensitivity measure (IPSM),
maka semakin rendah sensitivitas individu terhadap penolakan.
D. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa pengguna media sosial,
yang berusia 18-22 tahun. Penentuan subjek penelitian ini menggunakan
teknik nonprobability sampling dengan jenis convenience sample. Teknik
nonprobability sampling merupakan teknik pengambilan sampel dengan
pertimbangan tidak semua individu di dalam populasi memiliki peluang yang
sama untuk menjadi anggota sampel (Sugiyono, 2012). Creswell (2012)
menyatakan bahwa convenience sample adalah teknik untuk menentukan
subjek penelitian berdasarkan ketersediaan dan kemudahan (convenience)
E. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala
psikologis. Skala psikologis yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala
likert. Skala likert adalah metode penskalaan yang terdiri dari pernyataan
favorable dan pernyataan unfavorable (Supratiknya, 2014). Peneliti tidak
memberikan jawaban netral pada skala penelitian untuk menghindari subjek
memilih jawaban di tengah dan data menjadi kurang informatif (Azwar,
2017). Penelitian ini menggunakan dua skala, yaitu :
1. Agresi Elektronik
Agresi elektronik akan diukur menggunakan skala agresi
elektronik yang disusun berdasarkan empat tipe karakteristik agresi
elektronik yaitu pengusikan, permusuhan, penghinaan, dan pengucilan
(Bennett et al., 2011). Skala ini terdiri dari 64 pernyataan. Format respon
yang digunakan dalam skala tersebut adalah skala likert. Pada penelitian
ini, skala likert dengan opsi jawaban berjumlah genap akan digunakan
untuk mengukur agresi elektronik. Penelitan ini menggunakan skala likert
dengan opsi jawaban berjumlah genap, untuk menghindari kecenderungan
memilih jawaban genap oleh subjek yang ragu-ragu, defensif, atau kurang
serius dalam mengisi skala, sehingga dapat mengancam validitas item tes
(Supratiknya, 2014). Skala agresi elektronik terdiri dari empat opsi
jawaban, yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat
tidak sesuai (STS). Pada item-item favorable, peneliti memberi skor 1
sesuai (TS)”, skor 3 untuk jawaban “sesuai (S)”, dan skor 4 untuk jawaban “sangat sesuai (SS)”. Pada item-item unfavorable, peneliti
memberi skor 4 untuk jawaban “sangat tidak sesuai (STS)”, skor 3 untuk jawaban “tidak sesuai (TS)”, skor 2 untuk jawaban “sesuai (S)”, dan skor
1 untuk jawaban “sangat sesuai (SS)”. Distribusi item skala agresi elektronik untuk try out adalah sebagai berikut.
Tabel 1. Blue Print Distribusi Item Skala Agresi Elektronik (Try Out)
Tipe Pernyataan Jumlah Persentase
Favorable Unfavorable
2. Skala The Interpersonal Sensitivity Measure (IPSM)
Sensitivitas terhadap penolakan akan diukur menggunakan adaptasi
skala the interpersonal sensitivity measure (IPSM). The interpersonal
sensitivity measure (IPSM) terdiri dari 5 dimensi yaitu interpersonal
awareness, need for approval, separation anxiety, timidity, dan fragile
inner-self (Boyce & Parker, 1989). Skala ini terdiri dari 36 pernyataan.
Format respon yang digunakan dalam skala tersebut adalah skala likert.
Penelitan ini menggunakan skala likert dengan opsi jawaban berjumlah
genap, untuk menghindari kecenderungan memilih jawaban genap oleh
sehingga dapat mengancam validitas item tes (Supratiknya, 2014). The
interpersonal sensitivity measure (IPSM) terdiri dari empat opsi jawaban,
yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak
sesuai (STS) (Boyce & Parker, 1989). Pada item-item favorable, peneliti
memberi skor 1 untuk jawaban “sangat tidak sesuai (STS)”, skor 2 untuk jawaban “tidak sesuai (TS)”, skor 3 untuk jawaban “sesuai (S)”, dan skor 4 untuk jawaban “sangat sesuai (SS)”. Distribusi item skala the
interpersonal sensitivity measure (IPSM) (try out) adalah sebagai berikut.
Tabel 2. Blue Print Distribusi Item Skala The Interpersonal Sensitivity Measure (IPSM) (Try Out)
Dimensi Item Jumlah Persentase
Interpersonal
F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur
1. Validitas
Supratiknya (2014) mengatakan bahwa validitas mengacu pada
sejauh mana tes dapat mengukur atribut psikologis yang akan diukur.
Validitas dalam penelitian ini menggunakan validitas isi yang mengacu
pada sejauh mana unsur-unsur instrumen relevan dan mencerminkan
variabel psikologis yang diukur (Supratiknya, 2014). Penilaian validitas isi
disusun peneliti kepada dosen pembimbing skripsi (expert judgement) dan
beberapa mahasiswa (peer judgement). Uji validitas isi pada skala agresi
elektronik dilakukan dosen pembimbing skripsi (expert judgement) dan
beberapa mahasiswa (peer judgement) untuk melihat sejauh mana skala
tersebut dapat mengungkapkan agresi elektronik pada mahasiswa. Dosen
pembimbing skripsi (expert judgement) dan beberapa mahasiswa (peer
judgement) menilai relevansi antara item yang disusun dengan variabel
psikologis yang akan diukur pada skala agresi elektronik.
Dosen pembimbing skripsi (expert judgement) terlebih dahulu
memeriksa kesesuaian antara item-item yang disusun dengan agresi
elektronik yang akan diukur. Selanjutnya, uji validitas isi pada skala agresi
elektronik dilakukan dengan peer judgement. Peer judgement dilakukan
oleh beberapa mahasiswa angkatan 2014. Mahasiswa angkatan 2014
dipilih dengan pertimbangan mereka pernah mengambil matakuliah
penyusunan skala psikologi sehingga mereka dapat menilai kesesuaian
antara item yang disusun dengan dimensi/aspek variabel psikologis.
Setelah penilaian validitas isi skala agresi elektronik dilakukan
pada beberapa mahasiswa (peer judgement), selanjutnya penghitungan
yang dilakukan yaitu penghitungan indeks validitas isi item (IVI-I) dan
indeks validitas isi skala (IVI-S) (Supratiknya, 2016). Indeks Validitas Isi
Item (IVI-I) ≥ 0,78 menunjukkan bahwa item dianggap relevan (Lynn dalam Supratiknya, 2016). Setelah peer judgement dilakukan, skala agresi
(IVI-I) ≥ 0,78. Hal ini menunjukkan bahwa 64 item yang disusun peneliti dapat dikatakan relevan. Selain itu, Polit dan Beck (dalam Supratiknya,
2016) menyatakan bahwa Indeks Validitas Isi Skala (IVI-S) ≥ 0,90 menunjukkan bahwa skala memiliki validitas isi yang baik. Setelah peer
judgement dilakukan, skala agresi elektronik memiliki Indeks Validitas Isi
Skala (IVI-S) sebesar 0,93. Indeks Validitas Isi Skala (IVI-S) 0,93 ≥ 0,90. Hal ini menunjukkan bahwa skala agresi elektronik memiliki validitas isi
yang baik. Berdasarkan uraian tersebut, skala agresi elektronik telah dapat
digunakan untuk uji coba alat ukur.
Uji validitas dilakukan pada skala the interpersonal sensitivity
measure (IPSM) untuk melihat sejauh mana skala tersebut dapat
mengungkapkan tingkat sensitivitas terhadap penolakan pada mahasiswa.
Metode penerjemahan skala the interpersonal sensitivity measure yang
digunakan dalam penelitian ini adalah back translation. Matsumoto dan
Juang (2008) mengatakan bahwa back translation digunakan untuk
menekan bias. Back translation melibatkan penerjemahan ke bahasa
tertentu oleh pihak pertama, kemudian meminta orang lain untuk
menerjemahkan kembali ke bahasa asli sebelumnya (Matsumoto & Juang,
2008).
Proses penerjemahan skala the interpersonal sensitivity measure
dilakukan dengan menggunakan jasa penerjemah dari Lembaga Bahasa
Universitas Sanata Dharma. Tahap pertama yang dilakukan adalah
bahasa inggris menjadi skala the interpersonal sensitivity measure (IPSM)
dalam bahasa Indonesia. Tahap kedua yang dilakukan adalah back
translation. Tahap back translation dilakukan dengan menerjemahkan
kembali skala the interpersonal sensitivity measure (IPSM) dalam bahasa
Indonesia ke dalam bahasa inggris. Penerjemahan pada tahap back
translation tersebut dilakukan oleh penerjemah yang berbeda dari
penerjemah di tahap pertama.
Tahap selanjutnya adalah membandingkan skala the interpersonal
sensitivity measure (IPSM) versi asli (bahasa inggris) dengan skala the
interpersonal sensitivity measure (IPSM) hasil back translation (bahasa
inggris) untuk melihat adanya kesetaraan antara skala the interpersonal
sensitivity measure (IPSM) versi asli (bahasa inggris) dengan skala the
interpersonal sensitivity measure (IPSM) hasil back translation (bahasa
inggris). Jika versi back translation sama persis dengan skala penelitian
yang asli, maka terdapat kesetaraan antara keduanya (Matsumoto & Juang,
2008). Setelah peneliti mendapatkan skala the interpersonal sensitivity
measure (IPSM) dalam bahasa Indonesia, peneliti melakukan validitas isi
terhadap skala tersebut. Uji validitas isi pada skala the interpersonal
sensitivity measure (IPSM) dilakukan oleh dosen pembimbing skripsi
(expert judgement). Setelah dilakukan validitas isi oleh dosen pembimbing
skripsi (expert judgement), skala the interpersonal sensitivity measure
2. Seleksi Item
Seleksi item melalui daya diskriminasi item digunakan untuk
mengukur sejauh mana item-item dapat membedakan kelompok individu
atau individu yang memiliki dan tidak memiliki atribut psikologis yang
diukur (Azwar, 2017). Penghitungan daya diskriminasi item dilakukan
menggunakan SPSS versi 16.0 for Windows dan menghasilkan koefisien
korelasi item-total (rit). Pemilihan item dilakukan berdasarkan koefisien korelasi item-total (rit) ≥ 0,3 (Azwar, 2017). Item yang memiliki koefisien
korelasi item-total (rit) ≥ 0,3 menunjukkan daya diskriminasi yang memuaskan sehingga item tersebut akan dipilih, sedangkan item yang
memiliki koefisien korelasi item-total (rit) < 0,3 digugurkan atau tidak akan
digunakan (Azwar, 2017). Namun, skala juga dianggap memuaskan jika
20-30 item memiliki daya diskriminasi item minimal rit ≥ 0,20 (Kline, 1986 dalam Supratiknya, 2014).
Seleksi item dilakukan dengan uji coba (try out) pada skala agresi
elektronik dan skala the interpersonal sensitivity measure. Peneliti
selanjutnya menghitung korelasi skor antara item dengan skor total skala
menggunakan Pearson’s product moment correlation melalui SPSS versi 16.0 for Windows. Uji coba skala agresi elektronik dan skala the
interpersonal sensitivity measure dilakukan pada tanggal 20 April sampai
24 April 2018. Peneliti menyebar booklet yang berisi skala agresi
elektronik dan skala the interpersonal sensitivity measure kepada 85
dengan lengkap sehingga hanya 81 booklet berisi skala agresi elektronik
dan skala the interpersonal sensitivity measure yang dapat digunakan
peneliti. Berikut adalah hasil seleksi item skala agresi elektronik dan skala
the interpersonal sensitivity measure.
a. Skala Agresi Elektronik
Pemilihan item dilakukan berdasarkan koefisien korelasi
item-total (rit)≥ 0,3 (Azwar, 2017). Item yang memiliki koefisien korelasi item-total (rit) ≥ 0,3 menunjukkan item berkualitas baik sehingga item
tersebut akan dipilih, sedangkan item yang memiliki koefisien korelasi
item-total (rit) ≤ 0,3 digugurkan atau tidak akan digunakan (Azwar, 2017).
Hasil uji coba skala agresi elektronik menunjukkan bahwa
terdapat 24 item yang memiliki koefisien korelasi item-total < 0,3
sehingga harus digugurkan. Item yang memiliki koefisien korelasi
item-total < 0,3 menunjukkan bahwa lebih banyak item yang gugur
pada tipe pengucilan. Sedangkan, item yang memiliki koefisien
korelasi item-total ≥ 0,3 sebanyak 40 item. Tetapi, peneliti
mempertimbangkan sebaran item yang tidak merata antar tipe agresi
elektronik, sehingga peneliti mencoba menggugurkan lagi 5 item yang
memiliki koefisien korelasi item-total terendah dengan memperhatikan
jumlah item antar tipe agresi elektronik. Setelah seleksi item tersebut,
Berikut ini adalah distribusi item skala agresi elektronik setelah seleksi
item.
Tabel 3. Distribusi Item Skala Agresi Elektronik Setelah Seleksi Item (rit ≥ 0,3)
Tipe Pernyataan Jumlah Persentase
Favorable Unfavorable
b. Skala The Interpersonal Sensitivity Measure
Pemilihan item dilakukan berdasarkan koefisien korelasi
item-total (rit) ≥ 0,3 (Azwar, 2017). Item yang memiliki koefisien korelasi item-total (rit) ≥ 0,3 menunjukkan item berkualitas baik
sehingga item tersebut akan dipilih, sedangkan item yang memiliki
koefisien korelasi item-total (rit) ≤ 0,3 digugurkan atau tidak akan digunakan (Azwar, 2017).
Hasil uji coba skala the interpersonal sensitivity measure
(IPSM) menunjukkan bahwa terdapat 9 item yang memiliki koefisien
yang memiliki koefisien korelasi item-total ≥ 0,3 sebanyak 27 item. Tetapi, peneliti mempertimbangkan sebaran item yang tidak merata
antar dimensi, sehingga peneliti mencoba menggugurkan lagi 2 item
yang memiliki koefisien korelasi item-total terendah dengan
memperhatikan jumlah item antar dimensi. Setelah seleksi item
tersebut, terdapat 25 item yang akan digunakan dalam pengambilan
data. Berikut merupakan distribusi item skala the interpersonal
sensitivity measure setelah seleksi item.
Tabel 4. Distribusi Item Skala The Interpersonal Sensitivity Measure Setelah Seleksi Item (rit ≥ 0,3)
Dimensi Item Jumlah Persentase
Interpersonal
Reliabilitas merupakan konsistensi hasil pengukuran yang
diperoleh setelah beberapa kali melakukan pengukuran terhadap kelompok
yang sama (Supratiknya, 2014). Koefisien cronbach’s alpha digunakan untuk menghasilkan konsistensi internal. Koefisien reliabilitas (rxx) suatu
alat ukur berada dalam rentang 0 - 1,00 sehingga semakin mendekati 1,00,
Peneliti juga melakukan uji coba skala agresi elektronik dan
menghitung koefisien alpha’s cronbach melalui SPSS 16.0 for Windows. Koefisien alpha cronbach pada skala agresi elektronik setelah seleksi item
adalah 0,913, sehingga hal ini menunjukkan bahwa reliabilitasnya cukup
memuaskan. Selain itu, peneliti melakukan uji coba skala the
interpersonal sensitivity measure dan menghitung koefisien alpha’s
cronbach melalui SPSS 16.0 for Windows. Koefisien alpha cronbach
pada skala the interpersonal sensitivity measure setelah seleksi item
adalah 0,830, sehingga hal ini menunjukkan bahwa reliabilitasnya cukup
memuaskan.
G. Analisis Data
1. Uji Asumsi
a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah persebaran
data penelitian yang diperoleh normal atau tidak (Santoso, 2010).
Penelitian ini menggunakan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov
untuk mengetahui normalitas persebaran data penelitian. Uji
normalitas menggunakan Kolmogorov-Smirnov ketika jumlah subjek
penelitian lebih dari 50 subjek (Santoso, 2010). Data yang diperoleh
setelah menyebar skala agresi elektronik dan skala the interpersonal
sensitivity measure, dapat dikatakan terdistribusi normal jika nilai
b. Uji Linearitas
Uji linearitas bertujuan untuk mengetahui hubungan antar
variabel mengikuti garis lurus atau tidak, sehingga peningkatan atau
penurunan kuantitas variabel diikuti secara linear oleh peningkatan
atau penurunan kuantitas divariabel lainnya (Santoso, 2010). Jika nilai
signifikasi dari data variabel terikat dan variabel bebas kurang dari
0,05 (p < 0,05), maka hubungan antara variabel terikat dan bebas
dikatakan linear (Santoso, 2010).
2. Uji Hipotesis
Uji hipotesis bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat
hubungan yang signifikan antara sensitivitas terhadap penolakan dengan
agresi elektronik pada mahasiswa pengguna media sosial. Uji korelasi
dilakukan menggunakan koefisien pearson product moment correlation
karena data terdistribusi normal (Djudin, 2013). Koefisien Spearman’s rho digunakan jika data terdistribusi secara tidak normal (Clark-Carter, 2004).
Uji hipotesis yang menghasilkan nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05
(p<0,05), maka ada korelasi yang signifikan antar variabel (Santoso,
43
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada tanggal 4 Mei 2018 sampai 11 Mei 2018. Pengambilan data dilakukan dengan menyebarkan booklet berisi skala agresi elektronik dan skala the interpersonal sensitivity measure. Peneliti menyebarkan booklet berisi skala agresi elektronik dan skala the interpersonal
sensitivity measure sebanyak 220 eksemplar. Total booklet berisi skala
B. Deskripsi Subjek Penelitian
1. Data Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin
Berikut ini merupakan data subjek yang diperoleh dalam penelitian.
Tabel 5. Data Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin Jumlah Persentase
Perempuan 128 63,05%
Laki-laki 75 36,95%
Total 203 100%
Berdasarkan tabel, subjek dalam penelitian ini mayoritas berjenis
kelamin perempuan sebanyak 128 orang (63,05%). Sedangkan subjek
laki-laki berjumlah 75 orang (36,95%).
2. Data Subjek Berdasarkan Usia
Berikut ini merupakan data subjek yang diperoleh dalam penelitian.
Tabel 6. Data Subjek Berdasarkan Usia
Usia Jumlah Persentase
18 tahun 29 14,29%
19 tahun 53 26,11%
20 tahun 48 23,64%
21 tahun 49 24,14%
22 tahun 24 11,82%
Total 203 100%
Berdasarkan tabel, subjek dalam penelitian ini mayoritas berusia 19
sebanyak 49 orang (24,14%). Subjek yang berusia 20 tahun sebanyak 48
orang (23,64%), subjek berusia 18 tahun sebanyak 29 orang (14,29%), dan
subjek berusia 22 tahun sebanyak 24 orang (11,82%).
3. Data Media Sosial yang Paling Sering diakses Subjek
Berikut ini merupakan data subjek yang diperoleh dalam penelitian.
Tabel 7. Data Media Sosial yang Paling Sering diakses Subjek
Media Sosial Jumlah Persentase
Twitter 2 0,99%
Facebook 13 6,40%
Line 45 22,17%
Instagram 55 27,09%
Whatsapp 88 43,35%
Total 203 100%
Berdasarkan tabel di atas, media sosial pertama yang paling sering
diakses subjek adalah Whatsapp. Subjek yang paling sering mengakses Whatsapp sebanyak 88 orang (43,35%). Selain itu, Instagram menjadi media sosial kedua yang sering diakses oleh 55 subjek (27,09%).
Selanjutnya, Line menjadi media sosial ketiga yang sering diakses oleh 45
subjek (22,17%). Facebook menjadi media sosial keempat yang sering diakses oleh 13 subjek (6,40%). Twitter menjadi media sosial kelima yang
4. Data Frekuensi Subjek Setiap Mengakses Media Sosial
Berikut ini merupakan data subjek yang diperoleh dalam penelitian.
Tabel 8. Data Frekuensi Subjek Setiap Mengakses Media Sosial Jumlah Persentase
Kurang dari 6 kali dalam sehari 22 10,84%
6-10 kali dalam sehari 47 23,15%
Lebih dari 10 kali dalam sehari 133 65,52%
Kurang dari 10 kali dalam
seminggu 1 0,49%
Total 203 100%
Berdasarkan tabel di atas, subjek mengakses media sosial mayoritas
lebih dari 10 kali dalam sehari (65,52%) sebanyak 133 orang. Selanjutnya,
subjek yang mengakses media sosial 6-10 kali dalam sehari sebanyak 47
orang (23,15%). Subjek yang mengakses media sosial kurang dari 6 kali
dalam sehari sebanyak 22 orang (10,84%). Sedangkan subjek yang
mengakses media sosial kurang dari 10 kali dalam seminggu hanya 1