• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA SENSITIVITAS TERHADAP PENOLAKAN DENGAN AGRESI ELEKTRONIK PADA MAHASISWA PENGGUNA MEDIA SOSIAL SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA SENSITIVITAS TERHADAP PENOLAKAN DENGAN AGRESI ELEKTRONIK PADA MAHASISWA PENGGUNA MEDIA SOSIAL SKRIPSI"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA SENSITIVITAS TERHADAP PENOLAKAN DENGAN AGRESI ELEKTRONIK PADA MAHASISWA PENGGUNA

MEDIA SOSIAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh: Monica Candra Dewi

149114077

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv

HALAMAN MOTTO

Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari (Matius 6:34)

(5)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini kupersembahkan untuk:

Tuhan yang selalu menyertai dan menolongku dalam kehidupan ini, Alm. Ibuku Heriberta Sarijah

Ayahku (Fx. Sukindar) dan Ibuku (Elisabeth Erna) Kakakku (Lucia Nurmalia S.)

(6)
(7)

vii

HUBUNGAN ANTARA SENSITIVITAS TERHADAP PENOLAKAN DENGAN AGRESI ELEKTRONIK PADA MAHASISWA PENGGUNA

MEDIA SOSIAL Monica Candra Dewi

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara sensitivitas terhadap penolakan dengan agresi elektronik pada mahasiswa pengguna media sosial. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif antara sensitivitas terhadap penolakan dengan agresi elektronik pada mahasiswa pengguna media sosial. Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa berumur 18-22 tahun berjumlah 203 orang. Alat pengumpulan data yang digunakan berupa skala sensitivitas terhadap penolakan dan skala agresi elektronik. Skala sensitivitas terhadap penolakan memiliki 25 item dengan koefisien reliabilitas rxx = 0,830, sedangkan skala agresi elektronik memiliki 35 item dengan koefisien reliabilitas rxx = 0,913. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji korelasi Pearson Product Moment. Hasil penelitian menunjukkan koefisien korelasi yang diperoleh sebesar 0,139 dan p=0,048. Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara sensitivitas terhadap penolakan dengan agresi elektronik pada mahasiswa pengguna media sosial.

(8)

viii

THE CORRELATION BETWEEN REJECTION SENSITIVITY AND ELECTRONIC AGRESSION AMONG COLLEGE STUDENTS USING

SOCIAL MEDIA Monica Candra Dewi

ABSTRACT

This study aimed to examine the correlation between rejection sensitivity and electronic aggression among the college students using social media. The hypothesis proposed in this research was that there was a positive relationship between rejection sensitivity and electronic aggression among the college students using social media. The subjects of this research were 203 students aged 18-22 years old. Data were collected used rejection sensitivity scale and electronic aggression scale. There were 25 items of rejection sensitivity scale with a reliability coefficient of rxx=0.830. Meanwhile, there were 35 items of electronic aggression scale with a reliability coefficient of rxx=0.913. The data analysis was conducted using Pearson Product Moment correlation test. The result showed that the correlation coefficient was 0.139 and p=0.048. These results indicated that there was a positive and significant relationship between rejection sensitivity and electronic aggression among the college students using social media.

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala tuntunan dan penyertaan-Nya selama proses penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak dapat selesai dengan baik tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ibu Dr. Y. Titik Kristiyani, M.Psi., Psi. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

2. Ibu Monica Eviandaru M., M.Apss. Psych., Ph.D. selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dhama

3. Bapak Y.B. Cahya Widiyanto, M.Si., Ph.D. dan Ibu Dr. M. Laksmi Anantasari, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang memberikan arahan selama penulis menjalani perkuliahan.

4. Ibu Ratri Sunar Astuti M.Si. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan saran, waktu, dan arahan yang membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi.

(11)

xi

6. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan motivasi selama masa studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

7. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma 8. Ayah, ibu, dan kakak, terimakasih atas doa, dukungan, dan saran yang selalu

kalian berikan kepada penulis selama proses penyusunan skripsi.

9. Lukas Andrianto, terimakasih atas doa, dukungan, dan saran yang telah diberikan kepadaku sehingga aku semakin semangat untuk mengerjakan dan menyelesaikan skripsi. Terimakasih telah meluangkan waktu untuk mendengarkan keluh kesah ku selama ini.

10.Dr. Philip Boyce selaku pembuat skala The Interpersonal Sensitivity Measure (IPSM) versi asli yang telah bersedia memberikan ijin untuk adaptasi skala ke dalam Bahasa Indonesia sehingga dapat digunakan penulis dalam penyusunan skripsi ini.

11.Pus, Yoan, Ruth, Tita, dan Cila, terimakasih telah memberi warna dalam hidupku selama masa studi di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma 12.Seluruh subjek penelitian, terimakasih atas waktu yang diberikan untuk

mengisi kuesioner penelitian saya.

13.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah mendukung penulis selama ini

Yogyakarta, 1 September 2018 Penulis,

(12)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

1. Manfaat Teoritis ... 7

2. Manfaat Praktis ... 7

(13)

xiii

A. Agresi Elektronik ... 8

1. Definisi Agresi Elektronik ... 8

2. Karakteristik Agresi Elektronik ... 10

3. Tipe-Tipe Agresi Elektronik ... 12

4. Faktor-Faktor Agresi Elektronik ... 14

B. Sensitivitas Terhadap Penolakan ... 16

1. Definisi Sensitivitas Terhadap Penolakan ... 16

2. Dimensi-Dimensi Sensitivitas Terhadap Penolakan ... 17

3. Dampak Sensitivitas Terhadap Penolakan ... 19

C. Media Sosial ... 20

1. Definisi Media Sosial ... 20

2. Fungsi-Fungsi Media Sosial ... 21

D. Mahasiswa sebagai Remaja Akhir ... 22

E. Dinamika Sensitivitas Terhadap Penolakan Dengan Agresi Elektronik Pada Mahasiswa Pengguna Media Sosial ... 23

F. Skema ... 26

G. Hipotesis ... 27

BAB III. METODE PENELITIAN... 28

A. Jenis Penelitian ... 28

B. Identifikasi Variabel ... 28

1. Variabel Bebas ... 28

2. Variabel Tergantung... 28

(14)

xiv

1. Agresi Elektronik ... 28

2. Sensitivitas Terhadap Penolakan ... 29

D. Subjek Penelitian ... 30

E. Metode Pengumpulan Data ... 31

1. Skala Agresi Elektronik ... 31

2. Skala The Interpersonal Sensitivity Measure (IPSM) ... 32

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 33

1. Validitas ... 33

2. Seleksi Item ... 37

3. Reliabilitas ... 40

G. Analisis Data ... 41

1. Uji Asumsi ... 41

a. Uji Normalitas ... 41

b. Uji Linearitas ... 42

2. Uji Hipotesis ... 42

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

A. Pelaksanaan Penelitian ... 43

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 44

1. Data Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 44

2. Data Subjek Berdasarkan Usia ... 44

3. Data Media Sosial Yang Paling Sering diakses Subjek ... 45

4. Data Frekuensi Subjek Mengakses Media Sosial ... 46

(15)

xv

C. Deskripsi Data Penelitian ... 48

D. Uji Hipotesis ... 49

1. Uji Asumsi ... 49

a. Uji Normalitas ... 49

b. Uji Linearitas ... 50

2. Uji Korelasi ... 52

E. Pembahasan ... 53

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

A. Kesimpulan ... 57

B. Keterbatasan Penelitian ... 57

C. Saran ... 57

1. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 57

2. Bagi Mahasiswa Pengguna Media Sosial ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 59

(16)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue Print Distribusi Item Skala Agresi Elektronik (Try Out) .. 32

Tabel 2. Blue Print Distribusi Item Skala The Interpersonal Sensitivity Measure (IPSM) (Try Out) ... 33

Tabel 3. Distribusi Item Skala Agresi Elektronik Setelah Seleksi Item ... 39

Tabel 4. Distribusi Item Skala The Interpersonal Sensitivity Measure Setelah Seleksi Item ... 40

Tabel 5. Data Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 44

Tabel 6. Data Subjek Berdasarkan Usia ... 44

Tabel 7. Data Media Sosial yang Paling Sering di Akses Subjek ... 45

Tabel 8. Data Frekuensi Subjek Setiap Mengakses Media Sosial ... 46

Tabel 9. Data Durasi Setiap Mengakses Media Sosial ... 47

Tabel 10. Kategorisasi untuk Sensitivitas Terhadap Penolakan... 48

Tabel 11. Kategorisasi Sensitivitas Terhadap Penolakan pada Subjek ... 48

Tabel 12. Kategorisasi untuk Agresi Elektronik ... 49

Tabel 13. Kategorisasi Agresi Elektronik pada Subjek ... 49

Tabel 14. Hasil Uji Normalitas... 50

Tabel 15. Hasil Uji Linearitas ... 51

(17)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Penilaian Validitas Isi Peer Judgement ... 67 Lampiran 2. Skala The Interpersonal Sensitivity Measure (IPSM) ... 81 Lampiran 3. Hasil Terjemahan Skala The Interpersonal Sensitivity

Measure (IPSM) ke Bahasa Indonesia ... 84 Lampiran 4. Back Translation Skala The Interpersonal Sensitivity

Measure (IPSM) ... 87 Lampiran 5. Hasil Pemeriksaan Skala The Interpersonal Sensitivity

Measure (IPSM) ... 90 Lampiran 6. Skala The Interpersonal Sensitivity Measure (IPSM) dan

Skala Agresi Elektronik Uji Coba ... 94 Lampiran 7. Skala The Interpersonal Sensitivity Measure (IPSM) dan

Skala Agresi Elektronik untuk Pengambilan Data ... 105 Lampiran 8. Hasil Uji Relabilitas dan Seleksi Item Skala The

Interpersonal Sensitivity Measure (IPSM) Uji Coba ... 114 Lampiran 9. Hasil Uji Relabilitas dan Seleksi Item Skala Agresi

Elektronik Uji Coba ... 117 Lampiran 10. Hasil Uji Normalitas The Interpersonal Sensitivity Measure

(IPSM) dan Agresi Elektronik ... 121 Lampiran 11. Hasil Uji Linearitas ... 123

(18)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perilaku agresi merupakan perilaku yang sengaja dilakukan untuk menyakiti orang lain dan pelaku percaya bahwa perilakunya akan menyakiti orang lain sehingga korban akan berusaha menghindari perilaku tersebut (Anderson & Bushman, 2002). Contoh dari perilaku agresi adalah menendang dan memukul orang lain. Dengan hadirnya perilaku agresi tersebut, individu akan menyadari dampak negatif dari perbuatannya karena pelaku dapat langsung melihat reaksi emosi korbannya.

(19)

pencemaran nama baik di media sosial (Purbaya, 2017), dan penyebaran konten porno (Khumaini, 2018).

Karena agresi elektronik ini membutuhkan ruang dalam dunia maya, maka masalah agresi elektronik ini tidak lepas dari banyaknya pengguna media sosial di Indonesia. Menurut riset We Are Social (2017) perkembangan media sosial di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 27 juta pengguna baru sejak tahun 2016 (Kemp, 2017). Selain itu, survei Tetra Pak Index menunjukkan bahwa pengguna media sosial tahun 2017 di Indonesia telah mencapai 40% atau 106 juta dari jumlah masyarakat seluruh Indonesia (Yudhianto, 2017).

Survei APJII menunjukkan mahasiswa menjadi pengguna media sosial dengan intensitas cukup tinggi (APJII, 2012). Semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin tinggi pula intensitas menggunakan media sosial (Soliha, 2015). Ellison, Steinfield, dan Lampe (dalam Na, Dancy, & Park, 2015) mengatakan bahwa media sosial menjadi sarana utama bagi mahasiswa untuk berkomunikasi dalam aktivitas sehari-hari. Mahasiswa tergolong remaja akhir dengan rentang usia 18-22 tahun (Santrock, 2007). Minat mahasiswa sebagai remaja akhir mengarah ke eksplorasi identitas diri untuk menunjukan siapa dirinya (Santrock, 2007).

(20)

jawab (Batubara, 2010). Anderson (dalam Mappiare, 1983) mengatakan mahasiswa diharapkan memiliki emosi yang lebih matang karena pengalamannya yang diperoleh selama menempuh pendidikan formal mempengaruhi emosi yang matang.

Emosi yang matang dapat menghasilkan emosi positif. Sedangkan emosi yang tidak matang ditandai dengan kurang mampu mengendalikan emosi, kurang bertindak dengan pertimbangan terlebih dahulu, dan kurang mampu menyalurkan sumber emosi dengan baik. Dampak negatif dari emosi yang kurang matang dapat menghasilkan emosi negatif (Hurlock, 1994) dan individu akan kesulitan membina hubungan interpersonal yang baik (Herlena, 2007).

(21)

Downey dan Feldman (1996) menyatakan bahwa sensitivitas terhadap penolakan merupakan kecenderungan seseorang untuk menyangka bahwa ia akan mendapat penolakan dari orang lain, mudah merasakan penolakan, dan bereaksi berlebihan terhadap penolakan. Levy et al. (dalam Watson & Nesdale, 2012) mengatakan bahwa dugaan akan mendapat penolakan dari orang lain muncul dalam situasi yang memungkinkan terjadinya penolakan, dan mendorongnya untuk menerima tanda-tanda tidak berbahaya di lingkungan sebagai bukti penolakan. Dugaan akan mendapat penolakan dari orang lain tersebut mudah muncul sewaktu-waktu akibat individu pernah mengalami penolakan dalam hidupnya (Watson & Nesdale, 2012).

Sensitivitas terhadap penolakan dinilai penting bagi mahasiswa karena dapat mempengaruhi kualitas hubungan interpersonal mereka di masa remaja akhir (Buhrmester, Harris, dalam Marston, Hare, & Allen, 2010). Sensitivitas terhadap penolakan dapat menganggu mahasiswa dalam menjalin hubungan dengan orang lain di berbagai situasi sosial (Butler, Doherty, & Potter, 2007; Marston et al., 2010). Padahal, pada tahap perkembangan mentalnya, mahasiswa diharapkan lebih bertanggung jawab, menghargai orang lain, dan lebih memikirkan masa depan untuk mempersiapkan diri di tahap perkembangan selanjutnya (Batubara, 2010).

(22)

Watson dan Nesdale (2012) menyatakan bahwa sensitivitas terhadap penolakan juga menyebabkan kesepian, menarik diri secara sosial dan cenderung menekan pendapat orang lain yang berbeda-beda (Harper, Dickson, & Welsh, 2006). Dengan antisipasi sensitivitas terhadap penolakan, maka individu diharapkan mampu mengelola ketegangan dan sehat secara psikologis (Park, 2007).

(23)

Berdasarkan uraian di atas, peneliti hendak mengetahui apakah ada hubungan antara sensitivitas terhadap penolakan dengan agresi elektronik pada mahasiswa pengguna media sosial. Pertanyaan tersebut penting sebab realitanya agresi elektronik mudah terjadi di media sosial misalnya pencemaran nama baik dan penghinaan melalui media sosial. Pelaku agresi elektronik tersebut tidak menyadari dampak negatif dari perbuatan mereka karena tidak ada reaksi emosi dari korbannya yang berfungsi sebagai pengontrol perilaku. Hal ini menyebabkan individu mudah melakukan agresi elektronik, sehingga mereka dapat terjerat hukum dan merugikan orang lain. Agresi elektronik tersebut merupakan perilaku menyimpang (Rosyidah, 2015) dan peneliti tertarik mengambil sensitivitas terhadap penolakan sebagai variabel dalam penelitian karena sensitivitas terhadap penolakan dapat menjelaskan perilaku menyimpang yang terjadi dalam kehidupan (Marston et al., 2010).

B. Rumusan Masalah

(24)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara sensitivitas terhadap penolakan dengan agresi elektronik pada mahasiswa pengguna media sosial.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi dalam ilmu Psikologi, terutama Psikologi Klinis dan Psikologi Sosial mengenai sensitivitas individu terhadap penolakan dan agresi elektronik.

2. Manfaat Praktis

(25)

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Agresi Elektronik

1. Definisi Agresi Elektronik

Agresi elektronik merupakan semua perilaku menganggu, bermusuhan, atau menindas yang dilakukan melalui teknologi komunikasi (internet dan telepon seluler) seperti email, ruang obrolan, pesan teks, pesan instan, dan situs web (David-Ferdon & Hertz, 2007; David-Ferdon & Hertz, 2009). Contoh dari agresi elektronik adalah memberikan komentar kasar atau tidak sopan, berbohong, mengejek, menggoda, menyebarkan isu, dan menulis komentar untuk mengancam orang lain (David-Ferdon & Hertz, 2007).

(26)

temannya yang telah mengambil uangnya (agresi). Budi menyadari

konsekuensi dari perbuatannya setelah memukul temannya. Sedangkan

contoh agresi elektronik, seorang mahasiswi menulis status di media sosial

bahwa dosennya cabul (pencemaran nama baik) (Purbaya, 2017).

Mahasiswi tersebut tidak merasa bersalah dan tidak menyadari dampak

negatif perbuatannya, tetapi dosennya menganggap hal tersebut sebagai

pencemaran nama baik, lalu melaporkannya ke polisi.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa agresi

elektronik merupakan berbagai perilaku mengganggu atau bermusuhan

yang dilakukan melalui internet atau telepon seluler sebagai teknologi

komunikasi. Agresi elektronik berbeda dengan agresi pada umumnya

yakni pelaku agresi elektronik tidak menyadari dampak negatif dari

perbuatannya dan tidak merasa bersalah karena tidak ada reaksi emosi

korbannya akibat agresi elektronik yang dilakukan. Sedangkan agresi

ditandai dengan pelaku menyadari kerugian dan konsekuensi

(27)

2. Karakteristik Agresi Elektronik

Pyzalski (2011) menyatakan bahwa karakteristik agresi elektronik

yang membedakannya dengan agresi yaitu anonimitas, ketidaksengajaan,

dan kontinuitas.

a. Anonimitas (Anonimyty)

Pyzalski (2011) menyatakan bahwa anonimitas sebagai

karakteristik agresi elektronik menunjukkan bahwa ketiadaan atau

hilangnya isyarat nonverbal (perubahan mimik wajah) untuk

mengenali emosi orang lain dalam komunikasi dapat menimbulkan

masalah. Juvonen & Gross (dalam Pyzalski, 2011) mengatakan

anonimitas merupakan dasar utama perilaku bermusuhan melalui

internet. Pyzalski (2011) menyatakan bahwa anonimitas menunjukkan

bahwa individu mengalami masalah dalam mengontrol perilakunya

dan cenderung bereaksi dengan cepat tanpa membuat keputusan

rasional dalam berkomunikasi. Isyarat nonverbal penting dalam

berkomunikasi untuk mengenal emosi orang lain. Isyarat nonverbal

yang terbatas menyebabkan pelaku tidak menyadari dampak dari

perilaku online yang dilakukannya dapat merugikan orang lain.

b. Ketidaksengajaan (Unintentionality)

Ketidaksengajaan menunjukkan bahwa pelaku agresi elektronik

tidak sadar akan kerugian dan dampak negatif bagi orang lain dari

(28)

disampaikan melalui media elektronik karena tidak bisa mengetahui

emosi dari korbannya sebagai pengontrol perilaku. Pelaku akan

terkejut ketika muncul masalah dan dampak negatif pada orang lain

melalui komunikasi online yang telah dilakukan karena pelaku tidak

dapat memperkirakan konsekuensi dari perilakunya. Ketidaksengajaan

dalam agresi elektronik juga dipengaruhi oleh kurangnya isyarat

nonverbal dalam komunikasi misalnya perubahan mimik wajah. Hal

ini menyebabkan pelaku sulit melihat tanda-tanda emosi negatif

korban lebih awal dan membuat pelaku melanjutkan secara tidak sadar

serangan yang berbahaya (Pyzalski, 2011).

c. Kontinuitas (Continuity)

Boyd (dalam Pyzalski, 2011) menyatakan bahwa publikasi

konten yang agresif di media elektronik akan menetap dan mudah

ditemukan oleh pengguna internet. Kontinuitas sebagai karakteristik

agresi elektronik menunjukkan bahwa konten yang memuat agresi

elektronik di media elektronik akan menetap, mudah ditemukan, dan

mudah diperbanyak, sehingga korban tidak bisa melepaskan diri dari

konten yang memuat agresi elektronik yang ditujukan kepadanya

selama ia masih mampu menjangkaunya melalui media elektronik.

Agresi elektronik muncul tanpa batas waktu dan tempat sehingga

membuat individu rentan menjadi korban (Pyzalski, 2011).

(29)

pengguna media sosial sehingga orang yang menjadi korban agresi

elektronik memungkinkan untuk menjangkau konten yang memuat

agresi elektronik tersebut (Pyzalski, 2011). Misalnya seorang

mahasiswi melakukan pencemaran nama baik dosen pembimbing

KKN dengan menulis status di media sosial bahwa dosennya cabul

(Purbaya, 2017). Dosen tersebut melihat pernyataan yang ditulis oleh

mahasiswi tersebut di media sosial, lalu melaporkannya ke polisi atas

pencemaran nama baik yang telah dilakukannya.

3. Tipe-tipe Agresi Elektronik

Morgan, King, Weis, dan Schapler (dalam Prasetio & Hartosujono,

2013) menyatakan agresi terdiri dari fisik, aktif, langsung (misalnya

menikam); fisik, aktif, tidak langsung (misalnya menyewa seorang

pembunuh); fisik, pasif, langsung (misalnya aksi duduk dalam

demonstrasi); fisik, pasif, tidak langsung (misalnya menolak berpindah

ketika melakukan aksi duduk); verbal, pasif, langsung (misalnya menolak

menjawab pertanyaan); verbal, pasif, tidak langsung (misalnya menolak

berbicara pada orang lain).

Berbeda dengan tipe-tipe agresi, tipe-tipe agresi elektronik antara

lain (Bennett, Guran, Ramos, & Margolin, 2011) :

a. Permusuhan (Hostility)

Permusuhan adalah perilaku yang menyakiti dan mengancam

(30)

Bentuk permusuhan dalam agresi elektronik bisa berupa pesan

mengancam melalui SMS dan email yang berisi perkataan yang

menyakitkan.

b. Pengusikan (Instrusiveness)

Pengusikan adalah perilaku yang melibatkan media elektronik

untuk memantau, memeriksa, atau memperdaya seseorang untuk

mengetahui informasi pribadi di internet. Bentuk pengusikan dalam

agresi elektronik dapat berupa mencuri password akun orang lain dan

mengirim pesan kepada orang lain untuk memantau dirinya.

c. Penghinaan (Humiliation)

Penghinaan adalah perilaku yang menampilkan gambar atau

komentar yang menghina atau memalukan, dan menyebarkan berita

yang tidak benar di hadapan publik melalui media elektronik. Bentuk

penghinaan dalam agresi elektronik misalnya mengunggah foto yang

memalukan.

d. Pengucilan (Exclusion)

Pengucilan adalah perilaku yang bertujuan untuk

menghilangkan atau memblokir seseorang dalam komunikasi melalui

media elektronik. Bentuk pengucilan dalam agresi elektronik dapat

berupa memblokir akun orang lain, menghapus akun orang lain, dan

mengeluarkan seseorang dari daftar pertemanan melalui media

(31)

4. Faktor-faktor Agresi Elektronik

a. Keluarga

Faktor yang mempengaruhi agresi elektronik yaitu lingkungan

keluarga. Repetti, Taylor, dan Seeman (2002) mengatakan bahwa

lingkungan keluarga yang berisiko ditandai dengan adanya konflik,

hubungan di dalam keluarga yang dingin dan tidak mendukung.

Individu yang dibesarkan di dalam keluarga yang berisiko tersebut

akan mengalami pengabaian, penolakan, lebih mudah depresi dan

munculnya perilaku yang agresif. Individu yang dibesarkan di dalam

keluarga yang berisiko tersebut juga akan menganggap pesan media

elektronik ambigu yang ditujukan kepadanya sebagai konten negatif

atau menyakitkan dan ia menganggapinya dengan agresif melalui

media elektronik sehingga dapat terjadi agresi elektronik (Kellerman

et al., 2013).

Individu yang tumbuh di dalam keluarga yang tidak

mendukung dan hubungan keluarga yang dingin dapat berdampak

bagi individu. Hal itu dapat menyebabkan individu cemas dan sulit

merasakan kepuasan dari kelekatan di masa dewasa karena tidak ada

kelekatan aman saat kanak-kanak (Boyce dan Parker, 1989).

b. Teman sebaya

Collins dan Van Dulmen (dalam Kellerman et al., 2013)

(32)

sebaya akan mempengaruhi pembentukan keintiman atau keakraban

dalam hubungan mereka. Hartup dan Stevens (dalam Kellerman et al.,

2013) mengatakan bahwa dukungan teman sebaya dapat menciptakan

keintiman dan strategi yang positif dalam pemecahan masalah.

Penolakan dari orang lain misalnya teman, dapat menjadi sumber

ketegangan sehingga menghasilkan emosi negatif yang memicu

seseorang berperilaku agresi elektronik (Wright & Li, 2013).

c. Prososial

Pyzalski (2012) berpendapat bahwa individu yang

mengabaikan perilaku prososial cenderung dapat melakukan agresi

elektronik karena perilaku prososial dapat menjadi faktor yang

menghalangi pelaku dalam melakukan agresi elektronik. Eisenberg dan

Fabes (dalam Padilla-Walker & Christensen, 2011) mengatakan bahwa

perilaku prososial merupakan tindakan sukarela yang bermaksud untuk

membantu atau menguntungkan individu atau kelompok. Carlo dan

Randall (2002) menyatakan 6 kecenderungan perilaku prososial yaitu

kecenderungan untuk membantu ketika orang lain meminta bantuan

(compliant), membantu dalam situasi yang darurat (dire), membantu

orang lain di depan umum agar dihormati orang (public), membantu

dalam situasi emosional (emotional), membantu orang yang tidak

dikenal (anonymous), dan membantu tanpa mengharapkan imbalan

(33)

B. Sensitivitas Terhadap Penolakan

1. Definisi Sensitivitas Terhadap Penolakan

Baumeister dan Leary (dalam Watson & Nesdale, 2012)

menyatakan bahwa salah satu motivasi manusia yang besar adalah

kebutuhan untuk diterima oleh orang lain. Penerimaan dari orang lain

menjadi hal yang penting bagi manusia dan penolakan dapat memberikan

pengaruh yang kuat bagi mereka (Watson & Nesdale, 2012). Penolakan

dapat berasal dari teman sebaya, keluarga atau pasangan (Watson &

Nesdale, 2012). Levy et al. (dalam Watson & Nesdale, 2012) menyatakan

penolakan dari orang lain tersebut dapat membentuk sensitivitas terhadap

penolakan.

Boyce dan Parker (1989) mengatakan sensitivitas terhadap

penolakan merupakan kepekaan berlebihan terhadap perilaku dan perasaan

orang lain sehingga individu dapat mempersepsikannya sebagai

penolakan. Levy et al. (dalam Watson & Nesdale, 2012) menyatakan

bahwa dugaan terhadap penolakan muncul ketika individu berada di

situasi yang memungkinkan dirinya untuk ditolak, dan mendorongnya

untuk menerima tanda-tanda tidak berbahaya sebagai bukti penolakan.

Downey dan Feldman (1996) menambahkan bahwa sensitivitas terhadap

penolakan merupakan kecenderungan seseorang merasa cemas akan

mendapat penolakan dari orang lain, mudah merasakan penolakan, dan

bereaksi berlebihan terhadap penolakan. Sensitivitas terhadap penolakan

(34)

terhadap hal-hal yang nyata atau imajinasi, dan mudah merasakan

tanda-tanda penolakan (Sloman, 2000). Individu dapat merasakan bahwa dirinya

mengalami penolakan dari orang lain meskipun sesungguhnya tidak ada

penolakan (Sloman, 2000).

Berdasaran uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

sensitivitas terhadap penolakan merupakan kecenderungan seseorang

untuk menduga bahwa ia akan mendapat penolakan dari orang lain,

bereaksi berlebihan terhadap penolakan, dan cepat merasa tertolak akibat

individu mempersepsikan perilaku orang lain sebagai penolakan.

2. Dimensi sensitivitas terhadap penolakan

Boyce dan Parker (1989) menyatakan 5 dimensi yang dapat

menggambarkan sensitivitas individu terhadap penolakan antara lain :

a. Interpersonal awareness (Kesadaran Interpersonal)

Interpersonal awareness adalah kewaspadaan terhadap perilaku

orang lain dan cemas terhadap sesuatu yang akan terjadi dalam

berinteraksi dengan orang lain. Individu memiliki kewaspadaan akibat

kerapuhan diri dan membutuhkan dukungan dari orang lain.

Interpersonal awareness menunjukkan kepekaan individu dalam

berinteraksi dengan orang lain, termasuk merasa bahwa ia mempunyai

pengaruh yang kuat pada pandangan orang lain terhadap dirinya dan

(35)

b. Need for approval (Kebutuhan akan Penerimaan)

Need for approval adalah keinginan seseorang agar orang lain

tidak menolaknya, keinginan untuk membuat orang lain bahagia, dan

menjaga hubungan dengan orang lain. Individu yang memiliki need

for approval yang tinggi menunjukkan bahwa ia menghargai

keinginan-keinginan orang lain.

c. Separation Anxiety (Kecemasan akan Perpisahan)

Bowlby (dalam Boyce & Parker, 1989) menyatakan bahwa

separation anxiety adalah kecemasan individu terhadap

keberlangsungan kelekatan saat dewasa karena tidak ada kelekatan

aman pada masa kanak-kanak sehingga sulit merasakan kepuasan dari

kelekatan di masa dewasa. Boyce dan Parker (1989) mengatakan

bahwa individu akan memiliki kepekaan yang berlebihan terhadap

berbagai ancaman dalam menjaga keutuhan hubungan yang terjalin

dengan orang lain. Bowlby (dalam Boyce & Parker, 1989)

mengatakan bahwa kecemasan berpisah dengan orang lain menjadi

karakteristik individu yang depresi.

d. Timidity (Takut)

Timidity merupakan ketidakmampuan dalam berperilaku secara

asertif dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Khan (2012)

(36)

orang yang menghargai pendapat dan perasaan orang lain, mampu

menyatakan pikiran dan perasaannya secara jujur, dan menjalin

hubungan yang akrab dengan orang lain.

e. Fragile inner-self (Kerapuhan diri)

Fragile inner-self menjelaskan bahwa ada bagian inti dalam diri

yang tidak disukai dan butuh disembunyikan dari orang lain. Fragile

inner-self yang tinggi menunjukkan bahwa seseorang memiliki harga

diri yang rapuh sehingga membutuhkan dukungan dari orang lain.

3. Dampak Sensitivitas Terhadap Penolakan

Sensitivitas terhadap penolakan menyebabkan munculnya depresi

(Downey & Feldman, 1996). Sensitivitas terhadap penolakan juga memicu

munculnya kemarahan, permusuhan, menarik diri, kecemburuan, dan

murung (Downey & Feldman, 1996). Selain itu, sensitivitas terhadap

penolakan juga berhubungan dengan kesepian dan menarik diri secara

sosial (Watson & Nesdale, 2012). Marston, Hare, dan Allen (2010)

menambahkan bahwa sensitivitas terhadap penolakan menyebabkan

peningkatan masalah interpersonal. Sensitivitas terhadap penolakan dapat

menyebabkan individu cenderung menekan pendapat orang lain yang

berbeda-beda (Harper et al., 2006).

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

(37)

dan perilaku yang terdiri dari depresi, murung, kesepian, kecemburuan,

kemarahan, permusuhan, dan menarik diri secara sosial.

C. Media Sosial

1. Definisi Media Sosial

Media sosial merupakan saluran yang melibatkan internet untuk

berinteraksi dan mempresentasikan diri dengan selektif, dengan khalayak

sempit atau luas yang memperoleh nilai dari isi yang disampaikan oleh

para penggunanya dan memfasilitasi orang untuk berinteraksi (Carr &

Hayes, 2015). Jalonen (2014) mengatakan bahwa media sosial merupakan

sarana untuk melakukan interaksi antarindividu dengan membagikan,

menciptakan atau bertukar informasi melalui jaringan internet. Media

sosial merupakan media untuk berbagi informasi, berpartisipasi, dan

menciptakan konten berupa blog, forum, jejaring sosial, dan dunia virtual

yang didukung oleh teknologi yang canggih (Kementrian Perdagangan RI,

2014).

Kemp (2017) menyatakan bahwa media sosial yang populer

misalnya Instagram, Whatsapp, Facebook, Line, dan Twitter. Dampak

positif media sosial yaitu pengguna dapat mengurangi, menambahkan,

menyebarkan gambar atau tulisan, dan mempercepat penyebaran informasi

(Kementrian Perdagangan RI, 2014). Dampak negatif media sosial yaitu

(38)

dengan orang lain berkurang, dan timbul masalah hukum akibat melanggar

peraturan, privasi, dan moral (Kementrian Perdagangan RI, 2014).

Berdasarkan uraian tentang media sosial tersebut, media sosial

merupakan sarana komunikasi yang terhubung dengan internet untuk

berinteraksi dengan orang lain.

2. Fungsi-fungsi Media Sosial

Jalonen (2014) mengatakan bahwa media sosial memiliki

fungsi-fungsi antara lain :

a. Media Komunikasi

Media sosial sebagai media komunikasi digunakan untuk

menyimpan, membagikan, mempublikasikan konten, berdiskusi,

menyampaikan pendapat, dan mempengaruhi orang lain (Jalonen,

2014). Bentuk media sosial untuk komunikasi yaitu pesan instan

(misalnya skype), blog (misalnya blogger), mikroblog (misalnya

twitter) (Jalonen, 2014).

b. Media kolaborasi

Media sosial sebagai media kolaborasi digunakan untuk

menciptakan konten dan menyunting tanpa batas lokasi dan waktu.

Media sosial yang digunakan sebagai media kolaborasi yaitu Wikis

(39)

c. Media penghubung

Media sosial sebagai media penghubung digunakan untuk

berhubungan dengan orang lain dan bersosialisasi dalam suatu

komunitas. Media sosial sebagai media penghubung misalnya

facebook dan Linkedin (Jalonen, 2014).

d. Media untuk melengkapi

Media sosial digunakan untuk melengkapi konten dengan

mendeskripsikan, menambah, menyaring informasi, dan menunjukkan

hubungan antar konten (Jalonen, 2014). Misalnya Pinterest digunakan

untuk mendeskripsikan kualitas tas Charles & Keith.

e. Media penggabung

Jalonen (2014) mengatakan bahwa media sosial sebagai media

penggabung digunakan untuk menggabungkan dan membandingkan

konten dari aplikasi yang berbeda. Misalnya Google Maps digunakan

untuk menampilkan lokasi tempat ibadah, hotel, perbandingan jarak

dan prediksi waktu tempuh Uber, Gojek, atau transportasi lain.

D. Mahasiswa sebagai Remaja Akhir

Takwin (dalam Fadillah, 2013) menyatakan bahwa mahasiswa adalah

orang yang terdaftar sebagai murid di perguruan tinggi dan belajar di

(40)

60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi, mahasiswa adalah peserta didik

yang belajar dan terdaftar di perguruan tinggi tertentu. Mahasiswa umumnya

menempuh pendidikan selama 8 semester atau 4 tahun.

Mahasiswa tergolong remaja akhir dengan rentang usia 18-22 tahun

(Santrock, 2007). Mahasiswa merupakan remaja akhir yang memiliki emosi

lebih stabil, lebih menghargai orang lain, mampu memikirkan gagasan, lebih

memikirkan masa depan, lebih konsisten, dan bertanggung jawab (Batubara,

2010). Anderson (dalam Mappiare, 1983) mengatakan mahasiswa diharapkan

memiliki emosi yang lebih matang karena pengalamannya yang diperoleh

selama menempuh pendidikan formal mempengaruhi emosi yang matang.

Mahasiswa di masa remaja akhir juga mulai mampu menentukan pilihan dan

mengambil keputusan (Paramitasari & Alfian, 2012). Selain itu, mahasiswa

berada di tahap remaja akhir memiliki minat yang mengarah ke eksplorasi

identitas diri (Santrock, 2007). Pembentukan identitas menjadi tugas

perkembangan yang penting bagi mereka (Morsunbul, 2015).

E. Dinamika Sensitivitas terhadap Penolakan dengan Agresi Elektronik

pada Mahasiswa Pengguna Media Sosial

Baumeister dan Leary (dalam Watson & Nesdale, 2012) menyatakan

bahwa salah satu motivasi manusia yang besar adalah kebutuhan untuk

diterima oleh orang lain. Gemilang, Yuliadi, dan Lilik (2015) menyatakan

bahwa motivasi mahasiswa berupa kebutuhan akan penerimaan orang lain

(41)

yang berarti membutuhkan relasi yang melibatkan pemikiran, perasaan, dan

tindakan secara lebih mendalam. Mahasiswa diharapkan mampu menjalin

hubungan dengan orang lain secara mendalam karena mereka harus masuk ke

lingkungan yang lebih luas lagi untuk mempersiapkan dirinya menjalani peran

orang dewasa (Rumini & Sundari, 2004).

Penolakan dari orang lain akan menghambat mahasiswa untuk

menjalin hubungan yang lebih luas di lingkungan sosial (Butler et al., 2007).

Sumber penolakan dapat berasal dari ras atau etnis, disabilitas, dan orientasi

seksual (Downey, Bonica, & Rincon, 1999). Penolakan dari teman sebaya,

keluarga atau pasangan dapat menimbulkan pembentukan dugaan akan

tertolak orang lain (Watson & Nesdale, 2012). Levy et al. (dalam Watson &

Nesdale, 2012) menyatakan bahwa individu yang mengalami penolakan

menyebabkan munculnya sensitivitas terhadap penolakan pada dirinya.

Sensitivitas terhadap penolakan merupakan kecenderungan seseorang untuk

menduga bahwa ia akan mendapat penolakan dari orang lain, bereaksi

berlebihan terhadap penolakan, dan cepat merasa tertolak akibat individu

mempersepsikan perilaku orang lain sebagai penolakan.

Sensitivitas terhadap penolakan terdiri dari high rejection sensitivity

dan low rejection sensitivity. Downey dan Feldman (dalam Ayduk et al.,

2000) mengatakan bahwa high rejection sensitivity merupakan

kecenderungan yang tinggi untuk lebih cemas dalam menduga bahwa dirinya

mendapat penolakan dari orang lain, lebih mudah merasa tertolak, dan

(42)

sensitivity menyebabkan individu merasa tertolak dengan lebih mudah

menganggap tanda-tanda ambigu di lingkungan sebagai bukti penolakan

(Sloman, 2000). Individu dengan high rejection sensitivity menggunakan hot

system yaitu memunculkan respon refleks dengan merespon penolakan tanpa

penyelesaian (Metcalfe & Mischel dalam Ayduk et al., 2000). Hal ini

menyebabkan agresi elektronik di media sosial cenderung lebih tinggi karena

munculnya respon refleks mendorong individu bereaksi dengan lebih cepat

dan sulit mengontrol perilaku.

Low rejection sensitivity merupakan tingkat sensitivitas yang rendah

sehingga memiliki rasa cemas yang rendah terhadap penolakan dan tenang

dalam menduga munculnya penolakan (Regan, 2011). Individu yang

memiliki low rejection sensitivity relatif kurang memperhatikan penolakan

dan lebih mengharapkan penerimaan dari orang lain (Ayduk et al., 2000).

Individu dengan low rejection sensitivity akan merespon penolakan yang

dialami dengan cool system yaitu adanya pemecahan masalah dan refleksi

(Metcalfe & Mischel, 1999). Adanya pemecahan masalah dan refleksi yang

dimiliki orang dengan low rejection sensitivity mendorong individu membuat

keputusan rasional dan mampu mengontrol perilaku, sehingga agresi

(43)

F. Skema

Sensitivitas terhadap

penolakan

Sensitivitas terhadap penolakan tinggi :

 Lebih cemas dalam menduga munculnya penolakan

 Lebih mudah merasakan penolakan dan memiliki kecemasan tinggi terhadap penolakan

 Bereaksi berlebihan terhadap penolakan secara intensif

Sensitivitas terhadap penolakan rendah :

 Tenang dalam menduga munculnya penolakan  Memiliki rasa cemas yang

rendah terhadap penolakan

 Relatif kurang

memperhatikan penolakan dan lebih mengharapkan penerimaan dari orang lain

Agresi elektronik tinggi Muncul respon refleks sehingga akan bereaksi dengan lebih cepat tanpa membuat keputusan rasional dan sulit mengontrol perilaku

Merespon penolakan dengan pemecahan masalah dan refleksi, sehingga dapat membuat keputusan rasional dan mampu mengontrol perilaku

(44)

G. Hipotesis

Hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat hubungan positif antara

sensitivitas terhadap penolakan dan agresi elektronik pada mahasiswa

(45)

28

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif korelasional. Penelitian

kuantitatif melibatkan analisis data numerik menggunakan metode statistika

(Creswell, 2014). Penelitian kuantitatif korelasional untuk mengukur tingkat

hubungan antara dua variabel atau lebih (Creswell, 2014). Pada penelitian ini,

peneliti ingin melihat apakah terdapat korelasi antara sensitivitas terhadap

penolakan dengan agresi elektronik pada mahasiswa pengguna media sosial.

B. Identifikasi Variabel

1. Variabel bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah sensitivitas terhadap

penolakan.

2. Variabel tergantung

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah agresi elektronik.

C. Definisi Operasional 1. Agresi Elektronik

Agresi elektronik merupakan berbagai perilaku mengganggu atau

bermusuhan yang dilakukan melalui internet atau telepon seluler sebagai

(46)

agresi elektronik yang disusun berdasarkan empat tipe agresi elektronik

yaitu pengusikan, permusuhan, penghinaan, dan pengucilan. Agresi

elektronik dapat dilihat dari skor yang diperoleh berdasarkan skala agresi

elektronik tersebut. Semakin tinggi skor yang diperoleh berdasarkan skala

agresi elektronik, maka semakin tinggi agresi elektronik individu.

Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh berdasarkan skala agresi

elektronik, maka semakin rendah agresi elektronik individu.

2. Sensitivitas terhadap Penolakan

Sensitivitas terhadap penolakan adalah kecenderungan seseorang

untuk menduga bahwa ia akan mendapat penolakan dari orang lain,

bereaksi berlebihan terhadap penolakan, dan cepat merasa tertolak akibat

individu mempersepsikan perilaku orang lain sebagai penolakan.

Sensitivitas terhadap penolakan akan diukur menggunakan adaptasi

skala the interpersonal sensitivity measure (IPSM). Skala the

interpersonal sensitivity measure (IPSM) tersebut dikembangkan oleh

Boyce dan Parker (1989). Peneliti mengadaptasi skala the interpersonal

sensitivity measure (IPSM) karena skala tersebut telah ditetapkan sebagai

literatur penelitian yang luas (Butler et al., 2007) dan skala tersebut telah

terbukti sebagai alat ukur yang valid dan reliabel dalam mengukur

sensitivitas terhadap penolakan (Boyce & Parker, 1989). The interpersonal

(47)

awareness, need for approval, separation anxiety, timidity, dan fragile

inner-self (Boyce & Parker, 1989).

Sensitivitas terhadap penolakan dapat dilihat dari skor yang

diperoleh berdasarkan the interpersonal sensitivity measure (IPSM).

Semakin tinggi skor total yang diperoleh berdasarkan skala the

interpersonal sensitivity measure (IPSM), maka semakin tinggi sensitivitas

individu terhadap penolakan. Di sisi lain, semakin rendah skor total yang

diperoleh berdasarkan skala the interpersonal sensitivity measure (IPSM),

maka semakin rendah sensitivitas individu terhadap penolakan.

D. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa pengguna media sosial,

yang berusia 18-22 tahun. Penentuan subjek penelitian ini menggunakan

teknik nonprobability sampling dengan jenis convenience sample. Teknik

nonprobability sampling merupakan teknik pengambilan sampel dengan

pertimbangan tidak semua individu di dalam populasi memiliki peluang yang

sama untuk menjadi anggota sampel (Sugiyono, 2012). Creswell (2012)

menyatakan bahwa convenience sample adalah teknik untuk menentukan

subjek penelitian berdasarkan ketersediaan dan kemudahan (convenience)

(48)

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala

psikologis. Skala psikologis yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala

likert. Skala likert adalah metode penskalaan yang terdiri dari pernyataan

favorable dan pernyataan unfavorable (Supratiknya, 2014). Peneliti tidak

memberikan jawaban netral pada skala penelitian untuk menghindari subjek

memilih jawaban di tengah dan data menjadi kurang informatif (Azwar,

2017). Penelitian ini menggunakan dua skala, yaitu :

1. Agresi Elektronik

Agresi elektronik akan diukur menggunakan skala agresi

elektronik yang disusun berdasarkan empat tipe karakteristik agresi

elektronik yaitu pengusikan, permusuhan, penghinaan, dan pengucilan

(Bennett et al., 2011). Skala ini terdiri dari 64 pernyataan. Format respon

yang digunakan dalam skala tersebut adalah skala likert. Pada penelitian

ini, skala likert dengan opsi jawaban berjumlah genap akan digunakan

untuk mengukur agresi elektronik. Penelitan ini menggunakan skala likert

dengan opsi jawaban berjumlah genap, untuk menghindari kecenderungan

memilih jawaban genap oleh subjek yang ragu-ragu, defensif, atau kurang

serius dalam mengisi skala, sehingga dapat mengancam validitas item tes

(Supratiknya, 2014). Skala agresi elektronik terdiri dari empat opsi

jawaban, yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat

tidak sesuai (STS). Pada item-item favorable, peneliti memberi skor 1

(49)

sesuai (TS)”, skor 3 untuk jawaban “sesuai (S)”, dan skor 4 untuk jawaban “sangat sesuai (SS)”. Pada item-item unfavorable, peneliti

memberi skor 4 untuk jawaban “sangat tidak sesuai (STS)”, skor 3 untuk jawaban “tidak sesuai (TS)”, skor 2 untuk jawaban “sesuai (S)”, dan skor

1 untuk jawaban “sangat sesuai (SS)”. Distribusi item skala agresi elektronik untuk try out adalah sebagai berikut.

Tabel 1. Blue Print Distribusi Item Skala Agresi Elektronik (Try Out)

Tipe Pernyataan Jumlah Persentase

Favorable Unfavorable

2. Skala The Interpersonal Sensitivity Measure (IPSM)

Sensitivitas terhadap penolakan akan diukur menggunakan adaptasi

skala the interpersonal sensitivity measure (IPSM). The interpersonal

sensitivity measure (IPSM) terdiri dari 5 dimensi yaitu interpersonal

awareness, need for approval, separation anxiety, timidity, dan fragile

inner-self (Boyce & Parker, 1989). Skala ini terdiri dari 36 pernyataan.

Format respon yang digunakan dalam skala tersebut adalah skala likert.

Penelitan ini menggunakan skala likert dengan opsi jawaban berjumlah

genap, untuk menghindari kecenderungan memilih jawaban genap oleh

(50)

sehingga dapat mengancam validitas item tes (Supratiknya, 2014). The

interpersonal sensitivity measure (IPSM) terdiri dari empat opsi jawaban,

yaitu sangat sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), dan sangat tidak

sesuai (STS) (Boyce & Parker, 1989). Pada item-item favorable, peneliti

memberi skor 1 untuk jawaban “sangat tidak sesuai (STS)”, skor 2 untuk jawaban “tidak sesuai (TS)”, skor 3 untuk jawaban “sesuai (S)”, dan skor 4 untuk jawaban “sangat sesuai (SS)”. Distribusi item skala the

interpersonal sensitivity measure (IPSM) (try out) adalah sebagai berikut.

Tabel 2. Blue Print Distribusi Item Skala The Interpersonal Sensitivity Measure (IPSM) (Try Out)

Dimensi Item Jumlah Persentase

Interpersonal

F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur

1. Validitas

Supratiknya (2014) mengatakan bahwa validitas mengacu pada

sejauh mana tes dapat mengukur atribut psikologis yang akan diukur.

Validitas dalam penelitian ini menggunakan validitas isi yang mengacu

pada sejauh mana unsur-unsur instrumen relevan dan mencerminkan

variabel psikologis yang diukur (Supratiknya, 2014). Penilaian validitas isi

(51)

disusun peneliti kepada dosen pembimbing skripsi (expert judgement) dan

beberapa mahasiswa (peer judgement). Uji validitas isi pada skala agresi

elektronik dilakukan dosen pembimbing skripsi (expert judgement) dan

beberapa mahasiswa (peer judgement) untuk melihat sejauh mana skala

tersebut dapat mengungkapkan agresi elektronik pada mahasiswa. Dosen

pembimbing skripsi (expert judgement) dan beberapa mahasiswa (peer

judgement) menilai relevansi antara item yang disusun dengan variabel

psikologis yang akan diukur pada skala agresi elektronik.

Dosen pembimbing skripsi (expert judgement) terlebih dahulu

memeriksa kesesuaian antara item-item yang disusun dengan agresi

elektronik yang akan diukur. Selanjutnya, uji validitas isi pada skala agresi

elektronik dilakukan dengan peer judgement. Peer judgement dilakukan

oleh beberapa mahasiswa angkatan 2014. Mahasiswa angkatan 2014

dipilih dengan pertimbangan mereka pernah mengambil matakuliah

penyusunan skala psikologi sehingga mereka dapat menilai kesesuaian

antara item yang disusun dengan dimensi/aspek variabel psikologis.

Setelah penilaian validitas isi skala agresi elektronik dilakukan

pada beberapa mahasiswa (peer judgement), selanjutnya penghitungan

yang dilakukan yaitu penghitungan indeks validitas isi item (IVI-I) dan

indeks validitas isi skala (IVI-S) (Supratiknya, 2016). Indeks Validitas Isi

Item (IVI-I) ≥ 0,78 menunjukkan bahwa item dianggap relevan (Lynn dalam Supratiknya, 2016). Setelah peer judgement dilakukan, skala agresi

(52)

(IVI-I) ≥ 0,78. Hal ini menunjukkan bahwa 64 item yang disusun peneliti dapat dikatakan relevan. Selain itu, Polit dan Beck (dalam Supratiknya,

2016) menyatakan bahwa Indeks Validitas Isi Skala (IVI-S) ≥ 0,90 menunjukkan bahwa skala memiliki validitas isi yang baik. Setelah peer

judgement dilakukan, skala agresi elektronik memiliki Indeks Validitas Isi

Skala (IVI-S) sebesar 0,93. Indeks Validitas Isi Skala (IVI-S) 0,93 ≥ 0,90. Hal ini menunjukkan bahwa skala agresi elektronik memiliki validitas isi

yang baik. Berdasarkan uraian tersebut, skala agresi elektronik telah dapat

digunakan untuk uji coba alat ukur.

Uji validitas dilakukan pada skala the interpersonal sensitivity

measure (IPSM) untuk melihat sejauh mana skala tersebut dapat

mengungkapkan tingkat sensitivitas terhadap penolakan pada mahasiswa.

Metode penerjemahan skala the interpersonal sensitivity measure yang

digunakan dalam penelitian ini adalah back translation. Matsumoto dan

Juang (2008) mengatakan bahwa back translation digunakan untuk

menekan bias. Back translation melibatkan penerjemahan ke bahasa

tertentu oleh pihak pertama, kemudian meminta orang lain untuk

menerjemahkan kembali ke bahasa asli sebelumnya (Matsumoto & Juang,

2008).

Proses penerjemahan skala the interpersonal sensitivity measure

dilakukan dengan menggunakan jasa penerjemah dari Lembaga Bahasa

Universitas Sanata Dharma. Tahap pertama yang dilakukan adalah

(53)

bahasa inggris menjadi skala the interpersonal sensitivity measure (IPSM)

dalam bahasa Indonesia. Tahap kedua yang dilakukan adalah back

translation. Tahap back translation dilakukan dengan menerjemahkan

kembali skala the interpersonal sensitivity measure (IPSM) dalam bahasa

Indonesia ke dalam bahasa inggris. Penerjemahan pada tahap back

translation tersebut dilakukan oleh penerjemah yang berbeda dari

penerjemah di tahap pertama.

Tahap selanjutnya adalah membandingkan skala the interpersonal

sensitivity measure (IPSM) versi asli (bahasa inggris) dengan skala the

interpersonal sensitivity measure (IPSM) hasil back translation (bahasa

inggris) untuk melihat adanya kesetaraan antara skala the interpersonal

sensitivity measure (IPSM) versi asli (bahasa inggris) dengan skala the

interpersonal sensitivity measure (IPSM) hasil back translation (bahasa

inggris). Jika versi back translation sama persis dengan skala penelitian

yang asli, maka terdapat kesetaraan antara keduanya (Matsumoto & Juang,

2008). Setelah peneliti mendapatkan skala the interpersonal sensitivity

measure (IPSM) dalam bahasa Indonesia, peneliti melakukan validitas isi

terhadap skala tersebut. Uji validitas isi pada skala the interpersonal

sensitivity measure (IPSM) dilakukan oleh dosen pembimbing skripsi

(expert judgement). Setelah dilakukan validitas isi oleh dosen pembimbing

skripsi (expert judgement), skala the interpersonal sensitivity measure

(54)

2. Seleksi Item

Seleksi item melalui daya diskriminasi item digunakan untuk

mengukur sejauh mana item-item dapat membedakan kelompok individu

atau individu yang memiliki dan tidak memiliki atribut psikologis yang

diukur (Azwar, 2017). Penghitungan daya diskriminasi item dilakukan

menggunakan SPSS versi 16.0 for Windows dan menghasilkan koefisien

korelasi item-total (rit). Pemilihan item dilakukan berdasarkan koefisien korelasi item-total (rit) ≥ 0,3 (Azwar, 2017). Item yang memiliki koefisien

korelasi item-total (rit) ≥ 0,3 menunjukkan daya diskriminasi yang memuaskan sehingga item tersebut akan dipilih, sedangkan item yang

memiliki koefisien korelasi item-total (rit) < 0,3 digugurkan atau tidak akan

digunakan (Azwar, 2017). Namun, skala juga dianggap memuaskan jika

20-30 item memiliki daya diskriminasi item minimal rit ≥ 0,20 (Kline, 1986 dalam Supratiknya, 2014).

Seleksi item dilakukan dengan uji coba (try out) pada skala agresi

elektronik dan skala the interpersonal sensitivity measure. Peneliti

selanjutnya menghitung korelasi skor antara item dengan skor total skala

menggunakan Pearson’s product moment correlation melalui SPSS versi 16.0 for Windows. Uji coba skala agresi elektronik dan skala the

interpersonal sensitivity measure dilakukan pada tanggal 20 April sampai

24 April 2018. Peneliti menyebar booklet yang berisi skala agresi

elektronik dan skala the interpersonal sensitivity measure kepada 85

(55)

dengan lengkap sehingga hanya 81 booklet berisi skala agresi elektronik

dan skala the interpersonal sensitivity measure yang dapat digunakan

peneliti. Berikut adalah hasil seleksi item skala agresi elektronik dan skala

the interpersonal sensitivity measure.

a. Skala Agresi Elektronik

Pemilihan item dilakukan berdasarkan koefisien korelasi

item-total (rit)≥ 0,3 (Azwar, 2017). Item yang memiliki koefisien korelasi item-total (rit) ≥ 0,3 menunjukkan item berkualitas baik sehingga item

tersebut akan dipilih, sedangkan item yang memiliki koefisien korelasi

item-total (rit) ≤ 0,3 digugurkan atau tidak akan digunakan (Azwar, 2017).

Hasil uji coba skala agresi elektronik menunjukkan bahwa

terdapat 24 item yang memiliki koefisien korelasi item-total < 0,3

sehingga harus digugurkan. Item yang memiliki koefisien korelasi

item-total < 0,3 menunjukkan bahwa lebih banyak item yang gugur

pada tipe pengucilan. Sedangkan, item yang memiliki koefisien

korelasi item-total ≥ 0,3 sebanyak 40 item. Tetapi, peneliti

mempertimbangkan sebaran item yang tidak merata antar tipe agresi

elektronik, sehingga peneliti mencoba menggugurkan lagi 5 item yang

memiliki koefisien korelasi item-total terendah dengan memperhatikan

jumlah item antar tipe agresi elektronik. Setelah seleksi item tersebut,

(56)

Berikut ini adalah distribusi item skala agresi elektronik setelah seleksi

item.

Tabel 3. Distribusi Item Skala Agresi Elektronik Setelah Seleksi Item (rit ≥ 0,3)

Tipe Pernyataan Jumlah Persentase

Favorable Unfavorable

b. Skala The Interpersonal Sensitivity Measure

Pemilihan item dilakukan berdasarkan koefisien korelasi

item-total (rit) ≥ 0,3 (Azwar, 2017). Item yang memiliki koefisien korelasi item-total (rit) ≥ 0,3 menunjukkan item berkualitas baik

sehingga item tersebut akan dipilih, sedangkan item yang memiliki

koefisien korelasi item-total (rit) ≤ 0,3 digugurkan atau tidak akan digunakan (Azwar, 2017).

Hasil uji coba skala the interpersonal sensitivity measure

(IPSM) menunjukkan bahwa terdapat 9 item yang memiliki koefisien

(57)

yang memiliki koefisien korelasi item-total ≥ 0,3 sebanyak 27 item. Tetapi, peneliti mempertimbangkan sebaran item yang tidak merata

antar dimensi, sehingga peneliti mencoba menggugurkan lagi 2 item

yang memiliki koefisien korelasi item-total terendah dengan

memperhatikan jumlah item antar dimensi. Setelah seleksi item

tersebut, terdapat 25 item yang akan digunakan dalam pengambilan

data. Berikut merupakan distribusi item skala the interpersonal

sensitivity measure setelah seleksi item.

Tabel 4. Distribusi Item Skala The Interpersonal Sensitivity Measure Setelah Seleksi Item (rit ≥ 0,3)

Dimensi Item Jumlah Persentase

Interpersonal

Reliabilitas merupakan konsistensi hasil pengukuran yang

diperoleh setelah beberapa kali melakukan pengukuran terhadap kelompok

yang sama (Supratiknya, 2014). Koefisien cronbach’s alpha digunakan untuk menghasilkan konsistensi internal. Koefisien reliabilitas (rxx) suatu

alat ukur berada dalam rentang 0 - 1,00 sehingga semakin mendekati 1,00,

(58)

Peneliti juga melakukan uji coba skala agresi elektronik dan

menghitung koefisien alpha’s cronbach melalui SPSS 16.0 for Windows. Koefisien alpha cronbach pada skala agresi elektronik setelah seleksi item

adalah 0,913, sehingga hal ini menunjukkan bahwa reliabilitasnya cukup

memuaskan. Selain itu, peneliti melakukan uji coba skala the

interpersonal sensitivity measure dan menghitung koefisien alpha’s

cronbach melalui SPSS 16.0 for Windows. Koefisien alpha cronbach

pada skala the interpersonal sensitivity measure setelah seleksi item

adalah 0,830, sehingga hal ini menunjukkan bahwa reliabilitasnya cukup

memuaskan.

G. Analisis Data

1. Uji Asumsi

a. Uji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah persebaran

data penelitian yang diperoleh normal atau tidak (Santoso, 2010).

Penelitian ini menggunakan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov

untuk mengetahui normalitas persebaran data penelitian. Uji

normalitas menggunakan Kolmogorov-Smirnov ketika jumlah subjek

penelitian lebih dari 50 subjek (Santoso, 2010). Data yang diperoleh

setelah menyebar skala agresi elektronik dan skala the interpersonal

sensitivity measure, dapat dikatakan terdistribusi normal jika nilai

(59)

b. Uji Linearitas

Uji linearitas bertujuan untuk mengetahui hubungan antar

variabel mengikuti garis lurus atau tidak, sehingga peningkatan atau

penurunan kuantitas variabel diikuti secara linear oleh peningkatan

atau penurunan kuantitas divariabel lainnya (Santoso, 2010). Jika nilai

signifikasi dari data variabel terikat dan variabel bebas kurang dari

0,05 (p < 0,05), maka hubungan antara variabel terikat dan bebas

dikatakan linear (Santoso, 2010).

2. Uji Hipotesis

Uji hipotesis bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat

hubungan yang signifikan antara sensitivitas terhadap penolakan dengan

agresi elektronik pada mahasiswa pengguna media sosial. Uji korelasi

dilakukan menggunakan koefisien pearson product moment correlation

karena data terdistribusi normal (Djudin, 2013). Koefisien Spearman’s rho digunakan jika data terdistribusi secara tidak normal (Clark-Carter, 2004).

Uji hipotesis yang menghasilkan nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05

(p<0,05), maka ada korelasi yang signifikan antar variabel (Santoso,

(60)

43

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada tanggal 4 Mei 2018 sampai 11 Mei 2018. Pengambilan data dilakukan dengan menyebarkan booklet berisi skala agresi elektronik dan skala the interpersonal sensitivity measure. Peneliti menyebarkan booklet berisi skala agresi elektronik dan skala the interpersonal

sensitivity measure sebanyak 220 eksemplar. Total booklet berisi skala

(61)

B. Deskripsi Subjek Penelitian

1. Data Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin

Berikut ini merupakan data subjek yang diperoleh dalam penelitian.

Tabel 5. Data Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Jumlah Persentase

Perempuan 128 63,05%

Laki-laki 75 36,95%

Total 203 100%

Berdasarkan tabel, subjek dalam penelitian ini mayoritas berjenis

kelamin perempuan sebanyak 128 orang (63,05%). Sedangkan subjek

laki-laki berjumlah 75 orang (36,95%).

2. Data Subjek Berdasarkan Usia

Berikut ini merupakan data subjek yang diperoleh dalam penelitian.

Tabel 6. Data Subjek Berdasarkan Usia

Usia Jumlah Persentase

18 tahun 29 14,29%

19 tahun 53 26,11%

20 tahun 48 23,64%

21 tahun 49 24,14%

22 tahun 24 11,82%

Total 203 100%

Berdasarkan tabel, subjek dalam penelitian ini mayoritas berusia 19

(62)

sebanyak 49 orang (24,14%). Subjek yang berusia 20 tahun sebanyak 48

orang (23,64%), subjek berusia 18 tahun sebanyak 29 orang (14,29%), dan

subjek berusia 22 tahun sebanyak 24 orang (11,82%).

3. Data Media Sosial yang Paling Sering diakses Subjek

Berikut ini merupakan data subjek yang diperoleh dalam penelitian.

Tabel 7. Data Media Sosial yang Paling Sering diakses Subjek

Media Sosial Jumlah Persentase

Twitter 2 0,99%

Facebook 13 6,40%

Line 45 22,17%

Instagram 55 27,09%

Whatsapp 88 43,35%

Total 203 100%

Berdasarkan tabel di atas, media sosial pertama yang paling sering

diakses subjek adalah Whatsapp. Subjek yang paling sering mengakses Whatsapp sebanyak 88 orang (43,35%). Selain itu, Instagram menjadi media sosial kedua yang sering diakses oleh 55 subjek (27,09%).

Selanjutnya, Line menjadi media sosial ketiga yang sering diakses oleh 45

subjek (22,17%). Facebook menjadi media sosial keempat yang sering diakses oleh 13 subjek (6,40%). Twitter menjadi media sosial kelima yang

(63)

4. Data Frekuensi Subjek Setiap Mengakses Media Sosial

Berikut ini merupakan data subjek yang diperoleh dalam penelitian.

Tabel 8. Data Frekuensi Subjek Setiap Mengakses Media Sosial Jumlah Persentase

Kurang dari 6 kali dalam sehari 22 10,84%

6-10 kali dalam sehari 47 23,15%

Lebih dari 10 kali dalam sehari 133 65,52%

Kurang dari 10 kali dalam

seminggu 1 0,49%

Total 203 100%

Berdasarkan tabel di atas, subjek mengakses media sosial mayoritas

lebih dari 10 kali dalam sehari (65,52%) sebanyak 133 orang. Selanjutnya,

subjek yang mengakses media sosial 6-10 kali dalam sehari sebanyak 47

orang (23,15%). Subjek yang mengakses media sosial kurang dari 6 kali

dalam sehari sebanyak 22 orang (10,84%). Sedangkan subjek yang

mengakses media sosial kurang dari 10 kali dalam seminggu hanya 1

Gambar

Tabel 1. Blue Print Distribusi Item Skala Agresi Elektronik (Try Out)
Tabel 2. Blue Print Distribusi Item Skala The Interpersonal Sensitivity
Tabel 3. Distribusi Item Skala Agresi Elektronik Setelah Seleksi
Tabel 4. Distribusi Item Skala The Interpersonal Sensitivity
+7

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, berdasarkan tabel 5.5, 5.6 dan 5.7, didapati ada hubungan di antara durasi penggunaan media elektronik Handphone , Komputer dan Televisi dengan nyeri kepala

Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empirik hubungan kontrol diri dengan perilaku kecanduan menggunakan situs jejaring sosial pada mahasiswa.. Subyek

Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara perbandingan sosial dengan presentasi diri pengguna instagram pada mahasiswa di Universitas

Uraian ini menunjukkan bahwa remaja khususnya mahasiswa akan dapat merencanakan dan mempersiapkan karirnya di masa depan dengan baik jika dirinya memiliki penyesuaian

HUBUNGAN ANTARA KESEPIAN DAN FEAR OF MISSING OUT DENGAN PERILAKU ADIKSI MEDIA SOSIAL PADA MAHASISWA UNIVERSITASi.

“Menurut Zimmerman (1990), kemampuan mahasiswa dalam membuat rencana strategi belajar dan tujuan yang ingin dicapai dalam belajar merupakan karakteristik mahasiswa

Dukungan sosial teman yang didapat dari mahasiswa dalam menyelesaikan skripsi adalah dukungan atau bantuan yang berasal dari orang yang memiliki sosial akrab dengan

Hubungan antara Empati dan Cyberbullying pada Remaja Pengguna Media Sosial Online .... Kerangka