• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rasa bangga sebagai mediator dalam hubungan antara kelekatan dengan ibu dan sensitivitas terhadap penolakan pada remaja - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Rasa bangga sebagai mediator dalam hubungan antara kelekatan dengan ibu dan sensitivitas terhadap penolakan pada remaja - USD Repository"

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)

RASA BANGGA SEBAGAI MEDIATORDALAM HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN DENGAN IBUDAN SENSITIVITAS TERHADAP

PENOLAKAN PADA REMAJA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

Disusun Oleh: Fiona Valentina Damanik

109114059

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

iv Halaman Motto

“If you don’t take the risk, you will died”

“Karena hidup tidak hanya tentang kenyang dan senang”

21

Yesus menjawab mereka: ” Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu

percaya dan tidak bimbang, kamu bukan saja akan dapat berbuat apa yang

Kuperbuat dengan pohon ara itu, tetapi juga jikalau kamu berkata kepada

gunung ini: Beranjaklah dan tercampaklah ke dalam laut! Hal itu akan terjadi.

22

Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu

akan menerimanya.”” (Matius 21:21)

“Sebab itu jauhilah hawa nafsu orang muda, kejarlah keadilan, kesetiaan, kasih dan

damai bersama-sama dengan mereka yang berseru kepada Tuhan dengan hati yang

murni.” (2Tim2:22)

(5)

v Halaman Persembahan

Skripsi ini kupersembahkan bagi,

Tuhan Yesus Kristus yang selalu punya cara untuk menopangku, semoga skripsi ini dapat menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk menjadikan kehidupan

lebih bermakna.

Orang tua, Bapak J.W. Damanik & Mamak Elijah Barus.

Saudara perempuanku, Kak Nana, Angelia, & Putri.

Pasangan hidupku, mengharapkanmu menjadi kekuatan bagiku.

(6)
(7)

vii

RASA BANGGA SEBAGAI MEDIATOR DALAM HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN DENGAN IBU DENGAN DAN SENSITIVITAS

TERHADAP PENOLAKAN PADA REMAJA

Fiona Valentina Damanik

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menegaskan peran perasaan bangga pada hubungan antara kelekatan dengan ibu dan sensitivitas terhadap penolakan. Penelitian ini menggunakan model mediasi untuk menegaskan peran perasaan bangga tersebut. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang tidak langsung antara kelekatan dengan ibu, sensitivitas terhadap penolakan, dan rasa bangga. Sehingga kecenderungan untuk bangga adalah mediator dalam hubungan antara kelekatan dengan ibu dan sensitivitas terhadap penolakan. Subjek penelitian ini sebanyak 312 remaja. Jenis penelitian ini adalah korelasional dengan teknik pengambilan sampel menggunakan quota sampling sehingga jumlah subjek penelitian sudah ditentukan terlebih dahulu oleh peneliti.Teknik analisis data adalah analisis regresi dengan SPSS 16.0. Hasil analisis penelitian ini ditemukan bahwa rasa bangga bukan mediator hubungan antara kelekatan dengan ibu dan sensitivitas terhadap penolakan. Hal tersebut menunjukkan bahwa untuk memiliki sensitivitas terhadap penolakan yang tinggi, individu yang memiliki kelekatan yang tidak aman tidak harus melalui perasaan hubristik terlebih dahulu.

(8)

viii

PRIDE AS A MEDIATOR BETWEEN ATTACHMENT TO MOTHER AND REJECTION SENSITIVTY IN ADOLESCENT

Fiona Valentina Damanik

ABSTRACT

This study is aimed to explain the role of pride in the relationship between attachment to mother and rejection sensitivity. This study used mediation model to explain the indirect path. The hypothesis of this study is there is a indirect path among attachment to mother, pride, and rejection sensitivity. Pride is a mediator in the relationship between attachment to mother and rejection sensitivity. The amount subject of this study is 312 subject. Techniques used to collect the population sample was quota sampling, so that the amount of subject was determined first. The data was analyzed using regression analysis by SPSS 16.0. The result shown that pride isn’t a mediator in correlation between attachment to mother and rejection sensitivity.

(9)
(10)

x

KATA PENGANTAR

Sungguh luar biasa berkat dan penyertaan Tuhan yang melimpah-limpah

dalam kehidupan penulis sehingga Skripsi dengan judul “Rasa Bangga sebagai

Mediator dalam hubungan Kelekatan dengan Ibu dan Sensitivitas terhadap

Penolakan pada Remaja” ini dapat diselesaikan dengan baik.

Selama menulis Skripsi ini, penulis menyadari bahwa ada begitu banyak pihak yang telah berkontribusi besar dalam proses pengerjaan Skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Priyo Widianto, M.Si sebagai dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si. selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M.Psi selaku Dosen Pembimbing Skripsi. Terima kasih atas kesabaran, kerjasama, dan dukungan yang telah diberikan hingga Skripsi ini dapat terselesaikan dengan maksimal.

4. Bapak Victorius Didik Suryo Hartoko, M.Si dan Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M.S. sebagai dosen penguji, dosen terfavorit dan dosen pembimbing akademik saya. Terimakasih atas ujian pendadaran yang menyenangkan. Terimakasih sudah menjadi inspirasi yang mengesankan. 5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi yang selalu memberikan inspirasi dan

(11)

xi

6. Mas Gandung, Ibu Nanik, Mas Muji, Mas Doni, Pak Giek, terimakasih atas senyum, canda, tawa, dan sapa yang selalu menyertai tiap langkah perjalanan peneliti selama 4 tahun di fakultas Psikologi.

7. Kepala Sekolah dan guru-guru SMP, SMA, dan SMK yang sudah mendukung dalam proses pengambilan data.

8. Bapak dan Mamak, terimakasih atas dukungannya, atas kepercayaannya, atas kasih sayang dalam segala bentuk, atas semangat yang tak kunjung henti, atas segala nasehat yang berguna bagi keberlangsungan hidup, terimakasih untuk menjadi tangga dalam menggapai mimpi, izinkan skripsi ini menjadi pengukir senyum.

9. Kak Nana, Angelia, Putri, saudari-saudariku yang cantik, selalu memberi semangat, menjadi teman yang mampu diajak berdiskusi, bersenda gurau, dan banyak hal lain, I love you so much.

10. Temen-temen penelitian Payung, Mbak Haksi, mas Bas, Rintong, Darlacung, Marlincung, Nathan, dan teman seperjuangan berdarah-darahku Ditong, atas segala dukungan yang telah diberikan dalam mengkonstrukkan cara berpikir saya yang berhamburan, atas kerja keras kita selama ini, let’s go to Melbourne.

(12)

xii

12. Keluarga P2TKP, Pak Adi, Pak Toni, Mbak Tia, Bella, Pudar, Anin, Ester, Bibin, Rika, Lukas, Nats, Anju, Lito, Ardi, Grace, Yovran, Christy, dan Wuri. Terimakasih untuk membantu penulis belajar mempercayai lagi, belajar memahami orang lain, belajar mencintai diri sendiri.

13. PMK Ebenhaezer, Koko Dicky, Kak Rea, Kak Alvi, Raisa, Maureen, Leo, Itha, dan temen-temen PMK semuanya yang menjadi teman berproses dan bertumbuh dalam iman.

14. Dugem (FIO, GINA, EVI), The_Ronk_Shockz (Fiona, Dwi, Anggi, Sella, Tantri), kelas XA, XII IPA, teman-teman SMA yang masih terus mendukung dalam doa dari jauh. Terimakasih untuk setiap kalimat-kalimat penyemangat, menjadi pendengar yang baik, menjadi penghibur di kala rindu menerpa “you can if you think you can”.

15. Seluruh teman-teman angkatan 2010, terimakasih atas kebersamaan kita. 16. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan, terimakasih atas doa dan

dukungan selama ini

Akhir kata, tiada gading yang tak retak. Begitu pula pada skripsi yang masih jauh dari sempurna ini, skripsi ini merupakan usaha maksimal penulis. Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat diharapkan untuk perkembangan penelitian selanjutnya. Terima kasih.

(13)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERESEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xxi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. RUMUSAN MASALAH ... 8

C. TUJUAN PENELITIAN ... 8

D. MANFAAT PENELITIAN ... 8

1. Teoretis ... 8

(14)

xiv

BAB II LANDASAN TEORI ... 11

A. SENSITIVITAS TERHADAP PENOLAKAN ... 11

1. Definisi ... 11

2. Macam-macam Sensitivitas Individu terhadap Penolakan ... 13

3. Efek Samping Tingginya Tingkat Sensitivitas terhadap Penolakan... 14

4. Faktor Penyebab Individu Memiliki Sensitivitas terhadap Penolakan yang Tinggi ... 16

5. Alat ukur ... 19

B. KECENDERUNGAN UNTUK MERASA BANGGA ... 22

1. Definisi ... 22

2. Jenis Perasaan Bangga dan Efek Sampingnya ... 23

3. Proses dan Faktor Munculnya Perasaan Bangga ... 25

4. Alat ukur ... 27

C. KELEKATAN ... 29

1. Definisi ... 29

2. Aspek-aspek Kelekatan ... 30

3. Macam-macam Kelekatan dan Dampaknya ... 31

4. Mekanisme terbentuknya Kelekatan ... 33

5. Kelekatan dengan Ibu ... 35

6. Alat Ukur ... 36

D. REMAJA ... 37

(15)

xv

2. Perkembangan Remaja ... 38

3. Tugas Perkembangan Remaja ... 40

E. HUBUNGAN ANATARA KELEKATAN TERHADAP IBU, KECENDERUNGAN UNTUK BANGGA, DAN SENSITIVITAS TERHADAP PENOLAKAN ... 40

1. Rasa Bangga sebagai Mediator ... 40

2. Budaya Kolektif ... 46

F. HIPOTESIS ... 47

BAB III METODE PENELITIAN... 48

A. JENIS PENELITIAN ... 48

B. VARIABEL PENELITIAN ... 48

C. DEFINISI OPERASIONAL ... 48

1. Sensitivitas terhadap Penolakan ... 48

2. Perasaan Bangga ... 49

3. Kelekatan dengan Ibu ... 50

D. SUBJEK PENELITIAN ... 51

E. METODE DAN ALAT PENGUMPULAN DATA ... 52

1. Metode ... 52

2. Alat Pengumpulan Data ... 52

F. VALIDITAS DAN RELIABILITAS ... 53

1. Validitas Skala ... 53

2. Reliabilitas ... 56

(16)

xvi

H. TEKNIK ANALISIS DATA ... 61

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 62

A. PERSIAPAN PENELITIAN ... 62

B. PELAKSANAAN PENELITIAN ... 63

C. HASIL PENELITIAN ... 64

1. Uji Linearitas ... 65

2. Uji Normalitas residu... 68

3. Uji Homogenitas ... 73

4. Analisis Regresi Perasaan Bangga sebagai Mediator ... 76

D. PEMBAHASAN ... 84

E. KETERBATASAN PENELITIAN ... 87

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 88

A. KESIMPULAN ... 89

B. SARAN ... 89

1. Bagi Remaja ... 89

2. Bagi Institusi Pendidikan ... 89

3. Bagi Orangtua ... 90

4. Bagi Peneliti Berikutnya ... 90

DAFTAR PUSTAKA ... 91

(17)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Data Demografi Subjek berdasarkan Pendidikan ... 64 Tabel 2 Hasil uji F Kelekatan dengan ibu dan perasaan bangga yang autentik ... 76 Tabel 3 Hasil analisis koefisien Kelekatan dengan ibu dan perasaan bangga yang

autentik ... 77 Tabel 4 Hasil uji F Kelekatan dengan ibu dan perasaan bangga yang hubristik ... 77 Tabel 5 Hasil analisis koefisien Kelekatan dengan ibu dan perasaan bangga yang

hubristik ... 78 Tabel 6 Hasil uji F Perasaan bangga yang autentik dan sensitivitas terhadap

penolakan ... 78 Tabel 7 Hasil analisis koefisien Perasaan bangga yang autentik dan sensitivitas

erhadap penolakan ... 78 Tabel 8 Hasil uji F Perasaan bangga yang hubristik dan sensitivitas terhadap

penolakan ... 79 Tabel 9 Hasil analisis koefisien Perasaan bangga yang hubristik dan sensitivitas

terhadap penolakan ... 79 Tabel 10. Hasil uji F Kelekatan pada ibu dan sensitivitas terhadap penolakan ... 80 Tabel 11. Hasil analisis koefisien Kelekatan pada ibu dan sensitivitas terhadap

penolakan ... 80 Tabel 12. Hasil uji F Sensitivitas terhadap Penolakan pada Kelekatan dengan Ibu

(18)

xviii

Tabel 13. Hasil analisis koefisien Sensitivitas terhadap Penolakan pada Kelekatan dengan Ibu dan Perasaan Bangga yang Autentik ... 81 Tabel 14. Hasil uji F Sensitivitas terhadap Penolakan pada Kelekatan dengan Ibu

dan Perasaan Bangga yang Hubristik ... 82 Tabel 15. Hasil analisis koefisien Sensitivitas terhadap Penolakan pada

(19)

xix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Siklus proses munculnya sensitivitas terhadap penolakan ... 19

Gambar 2 Kelekatan aman yang tinggi dan yang rendah ... 33

Gambar 3 Model perasaan bangga sebagai mediator ... 45

Gambar 4 Framework penelitian perasaan bangga sebagai mediator ... 47

Gambar 5 Scatterplot kelekatan dengan ibu dan perasaan bangga autentik ... 65

Gambar 6 Scatterplot kelekatan dengan ibu dan perasaan bangga hubristik ... 66

Gambar 7 Scatterplot perasaan bangga yang autentik dan sensitivitas terhadap penolakan ... 66

Gambar 8 Scatterplot perasaan bangga yang hubristik dan sensitivitas terhadap penolakan ... 67

Gambar 9 Scatterplot kelekatan dengan ibu dan sensitivitas terhadap penolakan . 68 Gambar 10 Grafik normal P-P plot of regression standardized residual perasaan bangga yang autentik dan kelekatan dengan ibu ... 69

Gambar 11 Grafik normal P-P plot of regression standardized residual perasaan bangga yang hubristik dan kelekatan dengan ibu ... 70

Gambar 12 Grafik normal P-P plot of regression standardized residual perasaan bangga yang autentik dan sensitivitas terhadap penolakan ... 70

Gambar 13 Grafik normal P-P plot of regression standardized residual perasaan bangga yang hubristik dan sensitivitas terhadap penolakan ... 71

(20)

xx

Gambar 15 Scatterplot perasaan bangga autentik dan kelekatan dengan ibu ... 73 Gambar 16 Scatterplot perasaan bangga hubristik dan kelekatan dengan ibu ... 74 Gambar 17 Scatterplot perasaan bangga autentik dan sensitivtas terhadap

penolakan ... 74 Gambar 18 Scatterplot perasaan bangga hubristik dan sensitivitas terhadap

(21)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Skala Pengukuran ... 101

Lampiran B. Skala Self-Conscious Emotions ... 103

Lampiran C. Skala Sensitivitas terhadap Penolakan ... 112

Lampiran D. Skala Kelekatan dengan Ibu ... 119

Lampiran E. Reliabilitas... 123

(22)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Salah satu kebutuhan dasar manusia adalah diterima (Baumeister, 1995). Kebutuhan itulah yang membuat individu berperilaku sedemikian rupa agar tidak ditolak. Padahal dapat dikatakan bahwa situasi yang memungkinkan diri untuk ditolak tidak dapat dihindari. Dari beberapa blog yang berisi curhatan remaja, banyak remaja yang menjadi tidak berkembang karena takut akan penolakan, ingin keluar dari organisasi karena merasa diacuhkan oleh pimpinan (curhatonline, 2014), menjadi sangat tertekan karena merasa dikucilkan oleh teman sebaya (majalah-elfata, 2013), dan tidak berpacaran karena takut ditolak (curhatonline, 2013). Penolakan yang sesungguhnya belum terjadi tetapi banyak remaja menjadi tidak sejahtera karena memiliki sensitivitas yang tinggi akan penolakan.

(23)

selalu memperhatikan dirinya secara mendetil (imaginary audience) (Elkind dalam Santrock, 1995) meningkatkan sensitivitas remaja akan penolakan.

Hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa sensitivitas individu terhadap penolakan berkaitan dengan banyak hal negatif seperti agresi, orientasi pemecahan masalah yang negatif, sulit menjalin relasi dengan orang lain, kelekatan yang tidak aman, self efficacy rendah, perfomansi akademik rendah, harga diri rendah, self silencing, neurotis, phobia sosial, gangguan kepribadian menghindar, dependensi, dan depresi (MacCabe, Blankstein, & Mills, 1999; Brookings, Zembar, & Hochstetler, 2003; Harper, Dickson, & Welsh, 2006; Downey, Feldman, & Ayduk, 2000; Khoskam, Bahrami, Ahmadi, Fatehizade, & Etemadi, 2012; Berenson, Gyurak, Ayduk, Downey, Garner, Mogg, Bradley, & Pine, 2009; Feldman & Downey, 1994).

Sensitivitas terhadap penolakan muncul karena adanya internalisasi kerangka berpikir dari pengalaman penolakan dan berkembangnya kelekatan yang tidak aman (Feldman & Downey, 1994). Penolakan yang memiliki pengaruh besar dalam terbentuknya working models adalah penolakan dari orang tua di masa anak-anak (Downey & Feldman, 1996). Oleh karena itu, pengalaman individu bersama significant others menjadi faktor penting dalam berkembangnya sensitivitas terhadap penolakan (Çardak, Sarıçam, & Onur, 2012).

(24)

aman memiliki hubungan yang signifikan dengan tingginya sensitivitas individu terhadap penolakan (Khoskam, Bahrami, Ahmadi, Fatehizade, & Etemadi, 2012; Çardak et al, 2012; Erozkan, 2009; Downey & Feldman, 1996). Kelekatan memiliki tiga komponen penting yaitu kepercayaan, komunikasi, dan pengasingan (Armsden & Greenberg, 1987). Pola kelekatan yang terbentuk sejak bayi dapat mempengaruhi tahap perkembangan selanjutnya terutama dalam menjalin hubungan dengan orang lain (Ma & Huebner, 2008). Pola kelekatan terbentuk dari interaksi anak dengan orang yang paling dekat dengannya secara emosional. Dalam budaya kolektif, orang yang paling dekat dengan anak adalah figur ibu. Hal ini disebabkan karena di budaya kolektif, ibu memiliki peran untuk merawat anak mulai dari dalam kandungan. Kelekatan yang terbentuk sejak lahir memiliki peran penting dalam perkembangan emosi anak (Pearce & Pezzot-Pearce, 2007)

(25)

Kecenderungan untuk merasa bangga memiliki hubungan yang signifikan dengan sensitivitas individu terhadap penolakan (Tracy, Shariff, & Cheng, 2010; Ayduk, May, Downey & Higgins,2003). Perasaan bangga dibagi menjadi dua macam yaitu perasaan bangga yang autentik dan perasaan bangga yang hubristik (Tracy & Robins, 2004; Tracy & Robins, 2007). Perasaan bangga yang autentik merupakan perasaan bangga yang muncul karena individu mengatribusikan kesuksesan yang diperoleh merupakan hasil usahanya, kesuksesan tersebut tidak akan tercapai tanpa ada usaha yang dikerjakan dan menyadari bahwa dalam beberapa hal, ada banyak hal yang tidak selalu dapat dikontrol oleh diri kita sendiri (Tracy & Robins, 2007). Sedangkan perasaan bangga yang hubristik merupakan perasaan bangga yang muncul ketika kesuksesan yang diperoleh diatribusikan sebagai hal yang memang seharusnya terjadi. Kesuksesan tidak berasal dari usaha melainkan dikarenakan hal-hal yang melekat pada dirinya (Tracy, Cheng, Robins, & Trzesniewski, 2009).

(26)

Kecenderungan untuk bangga yang hubristik tidak hanya menyebabkan sensitivitas individu terhadap penolakan meningkat. Kecenderungan untuk bangga yang hubristik juga berhubungan negatif dengan harga diri, berhubungan positif dengan narsisme, berhubungan positif dengan kecenderungan untuk malu dan berhubungan negatif dengan sifat yang dapat diterima (agreeableness), sifat berhati-hati (conscientiousness) (Tracy & Robins, 2007), dan kebencian (Webster, Duvall, Gaines & Smith, 2003). Sebaliknya, kecenderungan untuk bangga yang autentik memiliki dampak yang positif bagi individu. Oleh karena itu, penting untuk individu mulai mengembangkan kecenderungan untuk bangga yang autentik sejak masa anak-anak.

(27)

& Cheng, 2010; Putri, Ferdian, Widyatmoko, & Mayawati, 2013). Di sisi lain, perasan bangga yang autentik memiliki hubungan dengan hal-hal yang positif yaitu harga diri yang baik, kesejahteraan, meningkatkan tanggung jawab personal, meningkatkan prestasi kelompok dan membuat individu bertindak sesuai dengan norma yang berlaku (Hardy & Van Vugt, 2006; Stoeber, Harris & Moon, 2007; Tracy & Robins, 2007a)

Berkembangnya kecenderungan untuk bangga yang autentik atau hubristik bergantung pada pola kelekatan yang dikembangkan di masa anak-anak (Murry, Brody, McNair, Luo, Gibbons, Gerrard, & Wills, 2005; Guilamo-Ramos, 2009). Perasaan bangga muncul ketika individu mulai berusia 3 tahun. Hal ini disebabkan karena pada usia 3 tahun individu baru mampu mengevaluasi diri sendiri (Stipek, Recchia, & McClintic, 1992). Pada usia 3 tahun, individu juga akan mengembangkan masa-masa emas dalam tahap perkembangannya. Apabila mulai dari masa anak-anak, individu sudah dibiasakan untuk mengalami rasa bangga yang autentik atau rasa bangga yang hubristik maka kecenderungan tersebut akan berkembang saat individu beranjak dewasa.

(28)

dengan sensitivitas individu terhadap penolakan (Grant & Higgins, 2003; Tracy, Shariff, & Cheng, 2010), dan kelekatan individu dengan ibu dengan sensitivitas individu terhadap penolakan (Çardak, Sarıçam, & Onur, 2012; Khoshkam, Bahrami, Ahmadi, Fatehizade, & Etemadi, 2012; Erozkan, 2009; Feldman & Downey, 1994; Downey & Feldman 1996). Hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian apakah proses munculnya sensitivitas individu terhadap penolakan tidak secara langsung berhubungan dengan kelekatan individu dengan ibu melainkan dimediasi atau melalui kecenderungan untuk bangga terlebih dahulu.

(29)

memiliki dampak positif dan dampak buruk yang sungguh-sungguh penting untuk disadari. Oleh karena itu, penting bagi peneliti mempelajari lebih lanjut mengenai rasa bangga.

B. RUMUSAN MASALAH

Apakah kecenderungan untuk merasa bangga merupakan mediator dalam struktur hubungan antara kelekatan individu dengan ibu dengan sensitivitas individu terhadap penolakan di budaya kolektif?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mencari tahu apakah ada hubungan antara kelekatan dengan ibu, rasa bangga, serta sensitivitas terhadap penolakan di budaya kolektif. Kemudian untuk mengetahui apakah kecenderungan untuk bangga memediasi hubungan antara kelekatan individu dengan ibu dengan sensitivitas individu terhadap penolakan.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Teoretis

(30)

kecenderungan untuk bangga pada remaja dalam budaya kolektif. Hasil penelitian ini juga menegaskan peran dari rasa bangga dalam struktur hubungan antara kelekatan individu dengan ibu dengan sensitivitas individu terhadap penolakan, apakah perasaan bangga menjadi variabel mediator dalam hubungan antara kelekatan individu dengan ibu dan sensitivitas individu terhadap penolakan.

2. Praktis

Penelitian ini dapat digunakan bagi praktisi dalam bidang Psikologi untuk membuat treatment bagi individu yang memiliki tingkat sensitivitas terhadap penolakan yang tinggi dengan mempertimbangkan rasa bangga. Mengetahui perasaan bangga sebagai mediator yang memperlemah munculnya sensitivitas individu terhadap penolakan yang tinggi dapat memberikan informasi baru bagi praktisi untuk dapat membentuk treatment yang berhubungan dengan kecenderungan untuk merasa bangga.

(31)

Berdasarkan hasil penelitian ini, para remaja bisa lebih mengenali dirinya sendiri. Bahwa sesungguhnya terdapat suatu konstruk yang bernama sensitivitas terhadap penolakan atau biasa dikenal dengan rejection sensitivity. Hal ini akan membuat remaja lebih berhati-hati

(32)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. SENSITIVITAS TERHADAP PENOLAKAN

1. Definisi

Sensitivitas individu terhadap penolakan adalah kecenderungan untuk mengira-ira atau menyangka bahwa akan ditolak oleh orang lain, seakan-akan telah merasakan penolakan, dan bereaksi berlebihan terhadap penolakan (Downey, Feldman, Khuri & Friedman, 1994; Downey & Feldman, 1996). Sensitivitas terhadap penolakan merupakan salah satu bentuk sistem pertahanan motivasi (defensive motivational system) (Pietrzak, Downey, & Ayduk, 2005) yang didesain untuk

menyediakan respon yang cepat pada ancaman lingkungan yang berhubungan dengan adanya penolakan (Henson, Derlega, Pearson, Ferrer, & Holmes, 2013). Selain itu, Feldman & Downey (1994) mendefinisikan sensitivitas individu terhadap penolakan merupakan hasil internalisasi dari pengalaman penolakan di masa-masa awal kehidupan yang mempengaruhi hubungan interpersonal seseorang.

(33)

orang-orang dalam berbagai situasi sosial (Feldman & Downey, 1994). Sensitivitas terhadap penolakan merupakan bentuk kepribadian yang mana individu akan selalu cemas dengan dugaan-dugaan penolakan dan kemudian memunculkan perilaku sebagai respon dari penolakan karena merasa sudah ditolak (Downey & Feldman, 1996; Mischel & Shoda, 1995; Downey & Feldman, 1994).

Sensitivitas individu terhadap penolakan dapat dilihat secara kontinum di dalam pribadi setiap individu. Terdapat individu yang memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap penolakan sampai pada individu yang memiliki sensitivitas yang rendah pada penolakan. Downey & Feldman (1996) menyatakan bahwa konstruk sensitivitas individu terhadap penolakan menjelaskan bahwa beberapa individu sangat rapuh terhadap pengalaman penolakan dan kemudian meresponnya dengan maladaptif. Semakin tinggi tingkat sensitivitas individu terhadap penolakan semakin rapuhlah individu tersebut. Begitupula sebaliknya, individu yang memiliki tingkat sensitivitas terhadap penolakan yang rendah merupakan individu yang kuat ketika menghadapi situasi yang memungkinkan terjadinya penolakan.

(34)

memungkinkan dirinya untuk ditolak meskipun pada kenyataannya penolakan tersebut tidak terjadi.

2. Macam-macam Sensitivitas Individu Terhadap Penolakan a. Sensitivitas individu terhadap penolakan secara keseluruhan

Individu merasa bahwa orang lain menolak dirinya karena dirinya memang tidak pantas untuk diterima. Individu menganggap bahwa orang lain menolak dirinya karena keseluruhan diri yang dia miliki atau secara umum, baik itu kepribadian, penampilan, dll. (Park, 2007). Perasaan ditolak ini berasal dari pengalaman penolakan yang pernah dialami oleh individu. Kemudian, pengalaman tersebut membentuk pola pikir individu dalam berinteraksi dengan orang lain (Feldman & Downey, 1994; Park, 2007). Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai sensitivitas individu yang merasa ditolak oleh lingkungan dan memahami bahwa alasan dari penolakan itu adalah keseluruhan dirinya.

b. Sensitivitas individu terhadap penolakan yang didasarkan pada penampilan fisik

(35)

penampilan fisiknya (Park, 2007) dan selalu kurang puas dengan penampilan dirinya (Park, Calogero, & Diraddo, 2010). Pandangan masyarakat setempat mengenai fisik yang menarik memiliki peran dalam membentuk tingginya sensitivitas penolakan yang didasari oleh penampilan fisik (Park & Calogero, 2009). Sensitivitas penolakan yang disebabkan oleh penampilan fisik memiliki hubungan yang positif dengan sensitivitas penolakan secara umum (Park, 2007). Hal tersebut dikarenakan keduanya memiliki suatu pelopor yang sama yaitu pengalaman penolakan.

c. Sensitivitas individu terhadap penolakan yang didasarkan pada ras Individu merasa bahwa ia ditolak karena ras yang dimiliki. Sensitivitas individu terhadap penolakan yang didasarkan pada ras muncul karena pengalaman penolakan sebelumnya berkaitan dengan ras (Henson, Derlega, Pearson, Ferrer, & Holmes, 2013). Penelitian mengenai hal ini dilakukan pada subjek pelajar Afrika-Amerika (Mendoza-Denton, Downey, Purdie, Davis, & Pietrzak, 2002; Murry, Brody, McNair, Luo, Gibbons, Gerrard, & Wills, 2005).

3. Efek Samping Tingginya Tingkat Sensitivitas terhadap Penolakan a. Gangguan kepribadian

(36)

menghindar (Feldman & Downey, 1994; Berenson, et al., 2009), gangguan kepribadian dependensi (McCabe, Blankstein, & Mills, 1999), self efficacy rendah (Khoskam, et al., 2012), harga diri rendah (Berenson, et al., 2009), dan self-silencing (Harper, Dickson, & Welsh, 2006).

b. Masalah mental dan perilaku

Selain gangguan kepribadian, tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap penolakan memiliki hubungan dengan masalah mental dan perilaku seperti depresi (Brookings, Zembar, & Hochstetler, 2003; Berenson, et al., 2009), bulimia dan anoreksia (Selby, Ward, & Joiner, 2010; O’Shaughnessy & Dallos, 2009; Cardi, Matteo, Corfield, &

Treasure, 2013), orientasi pemecahan masalah yang negatif (Harper, Dickson, & Welsh, 2006), agresi (Khoskam, et al., 2012), dan kebencian (Feldman & Downey, 1994).

c. Interpersonal

(37)

d. Lainnya

Tingkat sensitivitas penolakan yang tinggi juga memiliki hubungan dengan perfomansi akademik rendah (McCabe, Blankstein, & Mills, 1999).

4. Faktor Penyebab Individu Memiliki Sensitivitas terhadap Penolakan yang Tinggi

Sensitivitas individu yang tinggi terhadap penolakan muncul karena adanya pengalaman penolakan. Pengalaman penolakan didapatkan dari berbagai orang di sekitar individu yang berada di lingkungan yang tidak suportif (Feldman & Downey, 1994). Penolakan yang mungkin terjadi adalah penolakan yang berasal dari orang tua seperti perlakuan kasar, siksaan, pengabaian, penolakan, dan kebencian. Selain itu, orang tua yang selalu bersikap kondisional, ditangkap anak sebagai sebuah bentuk penolakan (Downey, Bonica, & Rincon, 1999). Perilaku penolakan tersebut membuat anak merasa tidak diterima apa adanya dan kemudian mengembangkan kelekatan yang tidak aman (Logue, 2006).

(38)

seperti orientasi seksual, ras/etnis dan disabilitas bisa membuat seseorang mengalami pengalaman penolakan dari teman sebaya dan lingkungan (Downey, Bonica & Rincon, 1999).

Pengalaman penolakan yang dialami oleh individu baik itu dari orang tua, sahabat, pacar maupun orang asing akan membentuk internal working models atau pola berpikir individu. Pola pemikiran tersebut akan

digunakan ketika individu akan menjalin relasi dengan orang lain (Downey, Bonica & Rincon, 1999; Feldman & Downey, 1994). Pola atau skema pemikiran tersebut akan muncul ketika individu berada pada situasi yang memungkinkan dirinya ditolak.

Internal working models atau pola pemikiran individu dapat

(39)

pengalaman yang dialami. Proses afektif dan kognitif individu bekerja untuk memodifikasi pola pemikiran individu dalam berinteraksi dengan orang lain. Individu yang memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap penolakan, apabila semakin sering mengalami penolakan maka pola pemikiran akan penolakan akan semakin kuat. Begitu pula sebaliknya, individu yang lebih sering mengalami pengalaman penerimaan akan memodifikasi internal working models yang dimiliki menjadi pola pemikiran yang lebih adaptif.

Menurut Bowlby, interaksi individu yang intens dengan orang lain akan membentuk suatu kelekatan. Hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa kelekatan memiliki hubungan yang kuat dengan sensitivitas terhadap penolakan (Khoshkam, Bahrami, Ahmadi, Fatehizade, & Etemadi, 2012). Oleh karena itu, penting untuk membangun kelekatan yang aman karena kelekatan yang tidak aman menjadi faktor pendukung munculnya sensitivitas terhadap penolakan.

(40)

individu tidak mampu mengontrol penolakan yang akan terjadi. Individu yang memiliki kecenderungan untuk bangga yang hubristik juga memiliki pola pemikiran yang sama. Individu memandang bahwa kesuksesan yang dicapai berasal dari dalam dirinya yang melekat, bukan karena usaha.

Sejauh ini telah diketahui bahwa pengalaman penolakan menjadi prediktor munculnya sensitivitas individu terhadap penolakan, perlu diketahui lebih lanjut prediktor lainnya sehingga dengan demikian dapat diketahui pula cara preventif dan intervensinya.

Gambar 1. Siklus proses munculnya sensitivitas terhadap penolakan

5. Alat ukur

Alat ukur sensitivitas terhadap penolakan terdapat berbagai macam, seperti RSQ-A (Rejection Sensitivity Questionnaire– Adolescent), CRSQ (Children Rejection Sensitivity Questionnaire),

RSQ-1Pengalaman

penolakan

2Proses kognitif dan

afektif bahwa akan ditolak

3Muncul

perilaku-perilaku negatif: Agresi, withdrawal dsb.

4Lingkungan

melihat perilaku negatif

5Lingkungan

(41)

R (Rejection Sensitivity - Revised), GRS (Gay-related Rejection Sensitivity), dan IPSM (Interpersonal Sensitivity Measure).

(42)

Selain RSQ terdapat skala lain untuk mengukur sensitivitas terhadap penolakan yaitu Interpersonal Sensitivity Measure (IPSM). IPSM dikemukakan oleh Boyce & Parker pada tahun 1989. IPSM terdiri dari 36 item yang mengukur ciri-ciri dari sensitivitas terhadap penolakan dalam hubungan interpersonal. Skala ini berisi lima subskala yaitu kesadaran akan hubungan interpersonal, kebutuhan untuk disetujui, kecemasan yang terbagi, malu-malu, dan keadaan dalam diri yang rapuh (Luterek, Harb, Heimberg, & Marx, 2004). Pada setiap pernyataan dalam IPSM, partisipan diminta untuk memilih salah satu dari empat skala yang bertingkat mulai dari “sesuai dengan diriku” sampai “sangat tidak sesuai

dengan diriku”. IPSM memiliki konsistensi internal yang baik dengan

memiliki alpha cronbach sebesar 0.85, dan reliabilitas tes-retes sebesar 0.70 (Butler, Doherty, & Potter, 2007). IPSM memiliki korelasi dengan neurotis dan skala RSQ (Butler, Doherty, & Potter, 2007).

(43)

B. KECENDERUNGAN UNTUK MERASA BANGGA 1. Definisi

Bangga adalah salah satu bentuk emosi moral (Tangney, 2002). Syarat utama untuk menjadi bangga sama dengan syarat emosi moral lainnya yaitu diperlukannya kesadaran diri dan evaluasi diri (Tracy & Robins, 2004). Individu akan merasakan bangga ketika individu menyadari bahwa ia hidup sesuai dengan beberapa kriteria diri idealnya atau dapat mencapai tujuannya (Carver, Sinclair & Johnson, 2010).

Perasaan bangga dibagi menjadi dua macam yaitu perasaan bangga yang autentik dan perasaan bangga yang hubristik (Tracy & Robins, 2004; Tracy & Robins, 2007). Perasaan bangga yang autentik merupakan perasaan bangga yang muncul karena individu mengatribusikan kesuksesan yang diperoleh merupakan hasil usahanya, kesuksesan tersebut tidak akan tercapai tanpa ada usaha yang dikerjakan dan menyadari bahwa dalam beberapa hal, ada banyak hal yang tidak selalu dapat dikontrol oleh diri kita sendiri (Tracy & Robins, 2007). Kecenderungan untuk merasa bangga yang autentik dapat membuat seseorang menjadi semangat untuk berprestasi, meraih kesuksesan dan status, menarik perhatian pasangan dsb. (Tracy, Shariff, & Cheng, 2010; Williams & DeSetno, 2009).

(44)

memang seharusnya terjadi. Kesusksean tidak berasal dari usaha melainkan dikarenakan hal-hal yang melekat pada dirinya (Tracy, Cheng, Robins, & Trzesniewski, 2009). Kecenderungan untuk merasa bangga yang hubristik juga berhubungan dengan kecenderungan individu untuk memiliki kecenderungan narsisme, egois dan hanya berfokus pada diri sendiri (Alessandri & Lewis, 1993). Kecenderungan untuk bangga dapat berkorelasi dengan berbagai macam konsekuensi sosial yang positif dan sekaligus dengan konsekuensi sosial yang merugikan individu (Carver, Sinclair & Johnson, 2010). Oleh karena itu, beberapa peneliti menyarankan untuk membedakan perasaan bangga yang memiliki konsekuensi positif (autentik) dan perasaan bangga yang memiliki konsekuensi negatif (hubristik) (Ekman, 2003).

2. Jenis Perasaan Bangga dan Efek Sampingnya

Perbedaan antara bangga yang autentik dan hubristik terletak pada atribusi individu terhadap tercapainya tujuan. Perasaan bangga yang autentik dan hubristik memiliki dampak yang berbeda-beda pada interaksi sosial individu.

a. Kecenderungan untuk merasa bangga yang autentik

(45)

Yu, & Chen, 2012; Tracy, Cheng, Robins, & Trzesniewski, 2009). Contohnya, ketika seorang siswa mendapatkan nilai yang baik, siswa ini menganggap bahwa nilai yang baik tersebut didapatkan karena dia belajar dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian, individu menyadari bahwa untuk mendapatkan kesuksesan atau untuk merasakan bangga individu harus berusaha sedemikian rupa. Bangga yang autentik memiliki hubungan dengan perilaku-perilaku yang positif seperti prososial, keramahan, kesuksesan dalam menjalin hubungan sosial, dan kesehatan mental (Tracy & Robins 2004; Tangney & Tracy, 2012). Selain itu, perasaan bangga yang autentik memungkinkan individu untuk meningkatkan produktivitasnya (Williams & DeSetno, 2009). Perasaan bangga yang autentik juga mampu meningkatkan harga diri individu (Liu, et al, 2012; Stanculescu, 2012). Individu ini mampu merasa bangga akan kesuksesan yang didapat meskipun tidak ada orang yang menyadari dan memuji usaha dirinya untuk mencapai kesuksesan tersebut. Individu yang memiliki perasaan bangga yang autentik juga cenderung memiliki regulasi diri yang baik (Grant & Higgins, 2003). b. Kecenderungan untuk merasa bangga yang hubristik

(46)

Cheng, 2010; Liu, Lu, Yu, & Chen, 2012; Tracy, Cheng, Robins, & Trzesniewski, 2009). Misalnya, seorang siswa mendapatkan nilai yang baik. Kemudian, siswa ini menganggap bahwa nilai baik tersebut memang pantas untuk dia dapatkan karena dia memang hebat, dia adalah anak guru dan siswa yang selalu berada dalam peringkat 10 besar. Individu menggeneralisasi keberhasilannya dan tidak spesifik terhadap suatu perilaku tertentu melainkan pada hal yang melekat pada dirinya. Individu ini akan merasa bangga ketika ada orang yang memujinya. Bangga yang hubristik berhubungan dengan narsisme, sensitivitas terhadap penolakan yang tinggi, antisosial, dan egois (Tracy & Robins, 2004; Tracy & Robins, 2007).

3. Proses dan Faktor Munculnya Perasaan Bangga

Menurut Tracy & Robins (2007), kecenderungan untuk bangga muncul ketika individu mengalami beberapa peristiwa yang memunculkan perasaan bahagia karena bangga. Tiga hal penting yang diperlukan dalam proses merasa bangga, yaitu memfokuskan perhatian pada representasi diri, membandingkan representasi diri dengan tujuan yang dimiliki, dan mengetahui secara jelas penyebab dari kesuksesan.

(47)

tidak. Apabila peristiwa yang terjadi sesuai dengan tujuannya maka individu akan mulai mengatribusikan atau mencari tahu apa yang membuat tujuannya tercapai. Dengan mengetahui hal tersebut, maka individu akan cenderung melakukan hal yang sama karena dapat mencapai tujuan memunculkan perasaan yang menyenangkan. Dalam merasakan bangga, individu cenderung mengatribusikan kesuksesan tersebut secara internal.

Dalam melakukan atribusi internal, individu melakukannya secara spesifik. Dilihat dari stabilitas, kemampuan individu untuk mengontrol dan atribusi internal yang dilakukan spesifik atau global. Apabila individu menganggap bahwa kesuksesan yang didapat merupakan suatu hal yang memang harusnya terjadi dan selalu akan terjadi pada dirinya (stabil), kemudian kesuksesan yang didapat bukan merupakan suatu hal yang muncul karena usaha (tidak dapat dikontrol), dan mengatribusikan kesuksesan karena dirinya memang hebat (global) maka inidividu akan mengembangan kecenderungan untuk bangga yang hubristik (Alessandri & Lewis, 1993).

(48)

hanya dapat dicapai karena indiviu memahami bahwa kesuksesan hanya dapat dicapai dengan berusaha (spesifik).

Kecenderungan individu untuk memunculkan perasaan bangga yang autentik maupun hubristik memiliki kaitan dengan bagaimana pola asuh orang tua pada individu. Orang tua yang cenderung memuji atau memarahi anak secara global atau tidak spesifik pada suatu perilaku, misalnya “Kamu anak yang sangat pintar.” atau “Kenapa kamu bodoh

sekali.” cenderung akan membuat anak berpikir secara global sehingga

mengembangkan rasa bangga yang hubristik. Anak merasa bahwa kesuksesan maupun kesalahan yang dialaminya bukan berasal dari perilaku yang spesifik melainkan berasal dari hal yang melekat pada dirinya, suatu hal yang bertahan lama, dan tidak dapat diubah. Tanggapan global yang diberikan oleh orang tua, membuat anak bingung untuk merasa bangga akan hal yang mana atau harus mengubah hal yang mana. Hal tersebut membuat individu mengembangkan pola kelekatan yang tidak aman.

4. Alat ukur

Alat ukur untuk mengukur kecenderungan untuk bangga terdapat beberapa macam, misalnya Authentic and Hubristic Pride Scales,

(49)

skala yang dapat mengukur perasaan bangga yang autentik dan hubristik. Item AHPS terdiri dari 14 item, 7 item autentik, dan 7 item hubristik. Pada skala ini, partisipan diminta untuk mengidentifikasi kata-kata atau ungkapan yang ada dan kemudian perasaan mana yang dominan pada partisipan ketika partisipan membaca kata-kata tersebut. Skala ini merupakan bentuk skala Likert, skala 1 untuk partisipan yang tidak merasa, skala 2 untuk partispan yang agak merasakan, skala 3 untuk partisipan yang rata-rata, skala 4 untuk partisipan yang sangat merasa, dan skala 5 untuk partisipan yang merasa sangat ekstrim (Tracy & Robins, 2007). Alat ukur yang kedua adalah Regulaatory Focus Questionnaire (RFQ). RFQ merupakan alat ukur rasa bangga yang teridiri dari dua subskala. Subskala pertama merupakan Promotion subscale yang mengukur subjektivitas individu mengenai pengalamannya untuk mencapai kesuksesan, sedangkan subskala kedua merupana Prevention subscale yang mengukur subjektivitas individu mengenai hal-hal yang

dilakukan untuk tidak mencapai kesuksesan (Higgins, Friedman, Harlow, Idson, Ayduk, & Taylor, 2001). Alat ukur yang ketiga adalah Trait

(50)

sangat tidak setuju sampai skala 7 yang menunjukkan sangat setuju (Oveis, Horberg, & Keltner, 2010).

Kecenderungan untuk bangga adalah salah satu subskala dari pengukuran emosi moral. Oleh karena itu, pada remaja alat ukur yang digunakan untuk mengukur pride adalah Test of Self-Conscious Affect for Adolescents (TOSCA-A). Skala ini terdiri dari 15 cerita mengenai

kehidupan sehari-hari yang diikuti dengan respon yang mewakili kognitif, afektif, dan perilaku. Subjek akan diminta untuk memberi penilaian dengan menekankan pada respon yang paling sesuai dengan diri mereka ketika berada pada situasi yang sama. Skala 1 untuk tidak sesuai dan skala 5 untuk sangat sesuai dengan keadaan. 5 item pada skala ini mengindikasikan bangga yang hubristik dan 5 item mengindikasikan bangga yang autentik. Koefisien α cronbach untuk skala ini adalah 0.67 yang menunjukkan bahwa reliabilitas skala ini dalam kategori moderat sedang (Stanculescu, 2012).

C. KELEKATAN

1. Definisi

(51)

Kelekatan yang terbentuk dari pola pengasuhan orang tua akan sangat mempengaruhi kehidupan individu di tahap perkembangan berikutnya (Fabes, Leonard, Kupanoff, & Martin, 2001).

2. Aspek-aspek Kelekatan a) Kepercayaan

Kepercayaan adalah sikap yang menganggap suatu pemahaman merupakan hal yang baik dan benar (Ishak, Yunus, & Iskandar, 2010). Kepercayaan dapat meningkatkan kepercayaan diri dalam menjalin hubungan interpersonal (Larzelere & Huston, 1980). Kepercayaan memunculkan perasaan aman dan keyakinan bahwa orang lain akan membantu atau memenuhi kebutuhannya saat dibutuhkan. Bayi membangun kepercayaan melalui proses belajar. Keberadaan figur kelekatan dalam memenuhi kebutuhan bayi menjadi sarana bagi bayi untuk mengembangkan kepercayaan. Kualitas kepercayaan bergantung pada seberapa sensitif seorang ibu terhadap kebutuhan anaknya dan seberapa konsistennya ibu dalam memenuhi kebutuhan anak (Ishak, Yunus, & Iskandar, 2010). Armsden & Greenberg (1987) menyatakan bahwa kepercayaan yang terbentuk akan memberikan pengaruh pada tahap perkembangan berikutnya.

b) Komunikasi

(52)

pengasuhnya menjadi salah satu hal yang penting dalam perkembangan kelekatan yang aman (Ishak, Yunus, & Iskandar, 2010). Komunikasi yang baik dapat mengembangkan kepercayaan dan perasaan dapat dipercaya antara dua individu yang saling berinteraksi. Komunikasi individu dan bayi akan membentuk internal working models individu dalam menghadapi lingkungan dan ikatan emosional (Bretherton, 1990).

c) Alienasi

Alienasi atau keterasingan disebabkan adanya pengabaian yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak. Pada masa anak-anak, figur yang diharapkan hadir tidak hadir karena sibuk dengan pekerjaan atau karena hal lain sehingga anak akan merasa tertolak dan tidak diharapkan. Alienasi berkaitan erat dengan penghindaran dan penolakan seperti amarah, tidak bertanggung jawab, dan ketidak-konsistenan hadirnya pengasuh pada bayi. Alienasi yang dilakukan oleh orang tua berperan penting dalam terbentuknya kelekatan anak (Lowenstein, 2010).

3. Macam-macam Kelekatan dan Dampaknya

(53)

a) Kelekatan aman yang tinggi

Individu dikategorikan dalam kelompok yang memiliki kelekatan aman yang tinggi apabila skor alienasi tidak tinggi, dan skor kepercayaan dan komunikasi berada pada level medium. Hal ini dikarenakan pentingnya teori yang dinyatakan oleh Bowlby terhadap kepercayaan dalam hubungan kelekatan. Dalam hal ini, ketika skor kepercayaan pada level medium dan skor alienasi di level medium juga maka kelekatan aman yang tinggi tidak akan terbentuk.

Individu yang memiliki kelekatan aman yang tinggi, mampu berkembang menjadi individu yang memiliki harga diri yang positif, kepuasan hidup, kesejahteraan hidup, kesuksesan akademik, rasa bangga yang autentik, serta memiliki penyesuaian sosial dan emosional yang baik (Khoshkam, Bahrami, Ahmadi, Fatehizade, & Etemadi, 2012; Nickerson & Nagle, 2005; Bell, Allen, Hauser & O'Connor, 1996; Cutrona, Cole, Colangelo, Assouline, & Russell, 1994)

b) Kelekatan aman yang rendah

(54)

aman yang rendah terbentuk jika alienasi berada pada skor yang tinggi.

Individu yang memiliki kelekatan aman yang rendah cenderung akan mengembangkan perilaku agresi, perilaku submisif, kriminal, gangguan kecemasan, depresi, dan mengalami penolakan dari teman sebaya, sensitivitas terhadap penolakan yang tinggi (Fabes, Leonard, Kupanoff, & Martin, 2001; Erozkan, 2009; Downey & Feldman 1996)

Gambar 2. Kelekatan aman yang tinggi dan yang rendah

4. Mekanisme terbentuknya Kelekatan

Kelekatan muncul dan mulai berkembang sejak lahir. Bayi belum mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Oleh karena itu, bayi memerlukan pengasuh untuk memenuhi kebutuhannya. Interaksi antara bayi dan pengasuh ini akan mengarahkan pembentukan kelekatan. Melihat teori Piaget (dalam Santrock, 1995), kognitif bayi berada pada tahap sensori-motor yang mana bayi belum memahami bahwa adanya suatu benda yang eksis atau ada. Apabila ibu sebagai pengasuh bayi pergi

(55)

untuk bekerja dan tidak bisa terus menerus memenuhi kebutuhan bayi maka bayi akan cenderung menganggap bahwa ibu hilang atau tidak eksis. Dengan pengalaman tersebut bayi akan mengembangkan pemikiran bahwa bayi tidak dapat mempercayai orang lain. Selain itu, bayi juga akan merasa terabaikan karena kebutuhannya tidak terpenuhi dengan baik.

Pengalaman-pengalaman pada masa bayi tersebut membuat bayi mengembangkan kelekatan aman yang rendah. Interaksi yang sedemikian rupa akan membentuk internal working model individu dalam berinteraksi dengan orang lain. Dengan demikian, individu akan berperilaku dalam situasi tertentu berdasarkan kerangka berpikir yang terbentuk sejak kecil. Pengalaman pengabaian atau tertolak mampu berkontribusi dalam meningkatkan tingkat sensitivitas individu terhadap penolakan. Oleh karena itu, kelekatan aman yang rendah memiliki hubungan atau menjadi prediktor pada sensitivtas terhadap penolakan. Anak yang mengembangkan kelekatan yang aman pada anak memiliki pola pengasuhan yang baik terhadap anak sehingga mampu membiasakan anak untuk mengembangkan emosi secara baik dalam situasi tertentu. Dalam penelitian ini, emosi yang relevan adalah kecenderungan perasaan bangga dalam menyikapi suatu kesuksesan. Apakah individu cenderung mengembangkan rasa bangga yang autentik atau hubristik.

(56)

mengembangkan rasa bangga yang autentik. Di sisi lain, apabila orang tua cenderung memberikan pujian terhadap kesuksesan didasarkan pada suatu hal yang melekat pada anak, misalnya anak mendapatkan nilai yang bagus tidak karena belajar melainkan karena anak memang sudah pintar, maka anak akan cenderung mengembangkan perasaan bangga yang hubristik. Pola berpikir anak terbentuk berdasarkan pengalaman yang diterima, menilai suatu hal secara spesifik atau secara global.

5. Kelekatan dengan Ibu

(57)

6. Alat Ukur

Alat ukur kelekatan anak pada ibu terdapat bebera macam, seperti Ainsworth’s Strange Situation (ASS), Picture Attachment Test (PAT),

Kerns Security Scale (KSS), dan Inventory of Parent and Peer Attachment

– Mother (IPPA-M). Ainsworth’s Strange Situation merupakan sebuah

metode yang dibuat oleh Ainsworth untuk mengukur kelekatan anak. Alat ukur ini merupakan sebuah eksperimen dalam sebuah ruangan dengan berbagai situasi yang memunculkan atau menghilangkan ibu dan orang asing. ASS telah diuji reliabilitasnya dengan menguji bayi berumur 18 bulan dan kemudian diuji kembali pada umur 6 tahun. Hasilnya menunjukkan adanya reliabilitas yang baik. Beberapa opini dari validitas ASS menyatakan bahwa eksperimen tersebut tidak mengukur kelekatan anak dengan ibu melainkan mengukur hubungan antara anak dan ibu saja. Meskipun demikian, beberapa penelitian mendukung validitas dari ASS (Grienenberger, Kelly, & Slade, 2005; Benoit, 2004).

(58)

aman. Reliabilitas dan validitas dari KSS telah dibuktikan dalam penelitian. Relibilitas KSS dengan alpha cronbcah sebesar 0.93, yang menunjukkan KSS memiliki reliabilitas yang sangat tinggi. Selain itu, KSS memiliki hubungan yang signifikan dengan jumlah persahabatan, penerimaan oleh teman sebaya, dan tidak adanya perasa sendiri (Lieberman, Doyle, Markiewicz, 1999).

Inventory of Parent and Peer Attachment – Mother (IPPA-M) dikembangkan oleh Greenberg (1987) dan kemudian di reveisi oleh Armsden (2009). Skala ini mengukur cara pandang remaja pada hubungan mereka dengan ibu mereka. Skala ini terdiri dari 25 item yang mengukur kepercayaan, komunikasi dan alienasi. Reliabilitas (Cronbach’s alpha) skala asli ini adalah 0.87 yang mana menunjukkan reliabilitas yang tinggi. Item-item pada skala ini menggunakan skala likert, skala 1 menunjukkan hampir tidak pernah atau tidak benar, 2 menunjukkan seringkali tidak benar, 3 menunjukkan kadang-kadang benar, 4 menunjukkan seringkali benar, dan 5 menunjukkan hampir selalu sepanjang waktu atau selalu benar (Armsden & Greenberg, 1987; Gullone & Robinson, 2005).

D. REMAJA 1. Definisi

(59)

oleh para ahli adalah antara 12 tahun sampai 21 tahun. Rentang waktu usia remaja biasanya dibedakan menjadi tiga, yaitu remaja awal yang rentangan umurnya berkisar 12 tahun sampai 15 tahun, kemudian remaja tengah berkisar 15 tahun sampai 18 tahun, dan remaja akhir mulai 18 tahun sampai 21 tahun. Di Indonesia, Sarlito (2008) menyatakan bahwa rentang usia remaja Indonesia adalah 11 – 24 tahun dan belum menikah.

2. Perkembangan Remaja a) Perkembangan Fisik

Pada masa remaja, tubuh individu akan berkembang. Remaja memberi perhatian yang besar dan kemudian merasa tidak puas terhadap gambaran tubuh yang dimiliki (Santrock, 2003). Tidak dapat menerima perubahan fisik pada tubuh membuat remaja berada pada situasi yang mendukung munculnya sensitivitas terhadap penolakan yang tinggi.

b) Perkembangan Kognitif

(60)

ketidak-matangan pemikiran, salah satunya adalah egosentris. Menurut Elkind (dalam Santrock, 2003), egosentrisme remaja dapat dibagi menadi dua yaitu:

1) Imaginary audience: remaja berkeyakinan bahwa orang lain memberikan perhatian yang sangat terhadap dirinya.

2) Personal fable: remaja berkeyakinan bahwa tidak ada orang lain yang dapat memahami dirinya.

(61)

c) Perkembangan Sosial

Pada masa remaja, lingkungan sosial yang dimiliki lebih luas dibandingkan anak-anak. Remaja mulai menjalin hubungan romantis dan memiliki sahabat. Semakin luas hubungan personal remaja, semakin besar pula peluang remaja untuk mengalami situasi penolakan.

d) Perkembangan Emosi

Pada tahun 1904, G. Stanley Hall mengajukan istilah “badai dan

stres” (storm and stress) untuk menggambarkan masa remaja yang

merupakan masa bergolak yang diwarnai konflik dan perubahan suasana hati.

3. Tugas Perkembangan Remaja

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1991) tugas perkembangan remaja adalah sebagai berikut:

a) Memperluas hubungan antar pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan kawan sebaya, baik laki-laki maupun perempuan. b) Memperoleh peranan sosial

c) Menerima kebutuhannya dan menggunakannya dengan efektif

d) Memperoleh kebebasan emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya

(62)

g) Mempersiapkan diri dalam pembentukan keluarga h) Membentuk sistem nilai, moralitas dan falsafah hidup

E. HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN TERHADAP IBU,

KECENDERUNGAN UNTUK BANGGA, DAN SENSITIVITAS TERHADAP PENOLAKAN DI BUDAYA KOLEKTIF

1. Rasa Bangga sebagai Mediator

(63)

sensitivitas terhadap penolakan. Remaja tidak mampu untuk memulai suatu hal yang baru dikarenakan merasa takut, cemas, dan marah akan penolakan bahkan bereaksi berlebihan ketika berada pada situasi yang memungkinkan dirinya ditolak.

Dalam tahap perkembangan remaja, banyak hal yang memungkinkan remaja untuk memunculkan kecenderungan yang tinggi dalam sensitivitas terhadap penolakan. Tampak dari cara berpikir remaja yang belum matang, interaksi remaja yang semakin luas seperti menjalin relasi dengan pacar, teman, dan orang tua memungkinkan individu mengalami penolakan. Masa remaja merupakan masa yang penting untuk bereksplorasi mengenai ketertarikan yang dimiliki sehingga mampu menemukan jati diri dan berkarya. Apabila remaja yang memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap penolakan tidak menyadari akan kecenderungannya dan tetap merespon setiap stimulus yang memunkinkan adanya penolakan dengan perilaku berlebihan maka pencarian jati diri pada remaja tidak akan selesai atau jelas. Hal tersebut akan mengganggu tahap perkembangan individu selanjutnya.

(64)
(65)

perasaan bangga yang hubristik cenderung memandang bahwa kesuksesan yang diperoleh berasal dari suatu hal yang melekat pada dirinya. Individu yang mengembangkan perasaan bangga yang hubristik akan merasa bangga hanya ketika ada orang yang memuji dirinya. Individu yang hubristik dikenal dengan individu yang sombong. Individu yang seringkali menceritakan kesuksesannya untuk mendapatkan pujian memiliki kemungkinan untuk mengalami pengalaman penolakan. Di budaya kolektif, individu yang sombong akan dijauhi. Individu yang hubristik ketika tidak mendapatkan pujian dari kesuksesannya maka akan merasa tertolak. Pengalaman penolakan tersebut memperkuat sensitivitas terhadap penolakan yang dimiliki oleh individu.

(66)

usahanya melainkan dari hal yang melekat pada dirinya dan tujuannya adalah untuk mendapatkan pujian dari orang lain.

Oleh karena itu, penting untuk melakukan penelitian mengenai posisi yang jelas antara kelekatan, perasaan bangga, dan sensitivitas terhadap penolakan. Apakah perasaan bangga merupakan mediator dalam hubungan antara kelekatan dengan ibu dan sensitivitas terhadap penolakan. Hal tersebut menandakan bahwa individu yang memiliki kelekatan tidak aman akan menjadi individu yang memiliki sensitivitas terhadap penolakan yang tinggi apabila individu memiliki kecenderungan untuk bangga.

(67)

perasaan bangga. Meskipun demikian, perasaan bangga juga mampu berdampak negatif bagi diri individu. Memperkenalkan macam-macam perasaan bangga juga merupakan hal penting untuk diketahui oleh para remaja, orangtua, dan guru. Dengan demikian, orangtua dan guru dapat lebih memperhatikan didikan yang diberikan kepada anak agar anak tidak mengembangkan perasaan bangga yang hubristik. Memuji dengan tepat dan spesifik merupakan langkah awal untuk mengembangkan perasaan bangga yang autentik.

Gambar 3. Model perasaan bangga sebagai mediator

2. Budaya Kolektif

Perbedaan budaya dapat mempengaruhi cara individu untuk merespon stimulus yang dialami. Budaya kolektif sangat khas dengan perasaan yang terkait dengan individu lain (Gudykunst, et al., 1996). Individu berusaha untuk mampu menyesuaikan diri dalam kelompok. Nilai keberhasilan individu, perasaan bangga dan harga diri didapatkan

Kecenderungan Rasa bangga

Kelekatan dengan ibu

(68)

apabila individu dianggap mampu untuk menjadi bagian penting dalam kelompoknya. Individu berfokus pada penghargaan dan tanggung jawab sosialnya.

Dengan demikian, standar, peraturan dan tujuan (SRG) individu dibuat dengan tujuan kepentingan kelompok bukan diri sendiri. Penghargaan dari individu lain menjadi hal penting dalam diri individu. Mendapatkan penghargaan membuat individu merasa diterima sebagai kelompok. Sehingga, individu berusaha untuk tidak ditolak.

F. HIPOTESIS

(69)

Gambar 4 Framework penelitian perasaan bangga sebagai mediator

Kelekatan

- Membandingkan representasi diri

dengan tujuan yang dimiliki

- Kepercayaan yang rendah,

komunikasi yang rendah, dan pengabaian yang tinggi, membuat individu menggeneralisasi penyebab kesuksesan yang dicapai

- Memfokuskan perhatian pada

representasi diri

- Membandingkan representasi diri

dengan tujuan yang dimiliki

- Kepercayaan yang tinggi,

komunikasi yang tinggi, dan pengabaian yang rendah, membuat individu memahami secara jelas (spesifik) hal-hal apa yang membuat dirinya mencapai kesuksesan penolakan yang rendah dan

(70)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang menghubungkan antara variabel independen dan variabel dependen. Peneliti ingin melihat hubungan tidak langsung antara kelekatan dengan ibu, perasaan bangga, dan sensitivitas terhadap penolakan. Selain itu, dalam penelitian ini dapat dilakukan pula pengujian kembali hubungan antara kelekatan dengan rasa bangga, kelekatan dengan sensitivitas terhadap penolakan, dan rasa bangga dengan sensitivitas terhadap penolakan pada remaja di Indonesia.

B. VARIABEL PENELITIAN 1. Variabel dependen

Variabel dependen dalam penelitian ini adalaha sensitivitas terhadap penolakan.

2. Variabel independen

Variabel independen dalam penelitian ini adalah kelekatan dengan ibu. 3. Variabel mediasi

Variabel mediasi dalam penelitian ini adalah rasa bangga.

C. DEFINISI OPERASIONAL

1. Sensitivitas terhadap penolakan

(71)

penolakan tersebut dengan perilaku yang tidak adaptif (Downey & Feldman, 1996). Penolakan yang dimaksud bukanlah penolakan yang sesungguhnya, penolakan yang direspon oleh individu merupakan hasil dari pola pikir. Sensitivitas terhadap penolakan muncul ketika individu berada dala situasi yang memungkinkan terjadinya penolakan oleh orang-orang terdekat (Feldman & Downey, 1994).

Sensitivitas individu terhadap penolakan akan diukur menggunakan skala Children Rejection Sensitivity Questionnaire (CRSQ). Adapun tingkat tinggi rendahnya sensitivitas terhadap penolakan dapat dilihat berdasarkan besarnya skor yang diperoleh pada skala. Semakin besar nilai skor total pada skala, maka semakin tinggi kecenderungan individu memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap penolakan, begitu pula sebaliknya, semakin kecil nilai skor total pada skala, maka semakin rendah tingkat sensitivitas individu terhadap penolakan.

Skala Children Rejection Sensitivity Questionnaire (CRSQ) digunakan untuk subjek remaja di Indonesia. Hal ini disebabkan karena apabila dibandingkan, skala CRSQ lebih sesuai dengan konteks remaja di Indonesia dibandingkan dengan skala RSQ for Adolsecent.

2. Perasaan Bangga

(72)

dibagi menjadi perasaan bangga yang hubristik dan autentik berdasarkan atribusi individu terhadap perasaan bangga yang dialami. Apabila individu beranggapan bahwa individu bangga akan suatu hal karena hal-hal yang melekat akan dirinya maka individu mengembangkan perasaan bangga yang hubristik. Individu akan mengembangkan perasaan bangga yang autentik apabila individu menganggap bahwa keberhasilan individu didapatkan karena usaha yang telah dilakukan. Perasaan bangga memungkinkan individu untuk terus bertindak sesuai peraturan yang ada dan memotivasi individu untuk terus mencapai apa yang telah menjadi tujuan hidupnya (Tracy & Robins, 2007).

Adapun kecenderungan individu untuk mengembangkan perasaan bangga yang hubristik atau autentik dapat dilihat dari subskala perasaan bangga yang terdapat pada skala TOSCA-A (Tests Of Self Conscious Affect for Adolescent). Apabila total skor pada autentik lebih besar

daripada hubristik, maka individu tersebut memiliki kecenderungan untuk mengembangkan perasaan bangga yang autentik, begitu pula sebaliknya. Kecilnya total skor pada autentik daripada hubristik, menggambarkan bahwa individu cenderung untuk mengembangkan perasaan bangga yang hubristik.

3. Kelekatan dengan ibu

(73)

Kepercayaan, komunikasi, dan alienasi yang terjadi antara individu di masa bayinya dan ibu menjadi faktor pembentuk kelekatan individu terhadap ibu yang akan mempengaruhi interaksi individu dengan lingkungannya.

Individu akan berkembang dengan kelekatan aman yang tinggi apabila individu memiliki kepercayaan yang tinggi, komunikasi yang medium dan alienasi yang rendah. Demikian pula sebaliknya, individu mengembangkan kelekatan aman yang rendah apabila individu memiliki kepercayaan yang rendah, komunikasi yang rendah dan alienasi yang tinggi. Skor tersebut dapat dilihat berdasarkan besarnya skor yang diperoleh pada skala Inventory of Parent and Peer Attachment - Mother (IPPA-M).

D. SUBJEK PENELITIAN

Subjek penelitian ini adalah remaja berjumlah 323 orang. Kriteria subjek yang dipilih adalah remaja laki-laki dan perempuan yang memiliki usia berkisar antara 12 tahun sampai 22 tahun. Kriteria ini dapat diketahui dengan cara menyediakan formulir identitas diri yang harus diisi oleh subjek pada lembar akhir skala penelitian, seperti inisial, usia, dan jenis kelamin.

(74)

E. METODE DAN ALAT PENGUMPULAN DATA 1. Metode

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode skala. Skala adalah alat ukur psikologis dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan sikap yang disusun sedemikian rupa sehingga respon seseorang terhadap pernyataan tersebut dapat diberi skor dan dapat diinterpretasikan.

2. Alat Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini ada tiga skala yang digunakan yakni: (1) Sensitivitas terhadap penolakan

CRSQ (Children Rejection Sensitivity Questionnaire) yang dikembangkan oleh Downey untuk mengukur tingkat sensitivitas seseorang terhadap penolakan. Skala ini berisi 12 cerita yang mana masing-masing situasi terdapat tiga pertanyaan yang berkaitan dengan respon individu terhadap situasi tersebut.

(2) Perasaan bangga

Peneliti menggunakan TOSCA-A (Test of Self-Conscious Affect for Adolescent) yang dikembangkan oleh Tangney (1991) untuk

(75)

(3) Kelekatan

Untuk mengukur kelekatan, peneliti menggunakan IPPA-M (Inventory of Parent scale and Peer Attachment - Mother) yang dikembangkan oleh Greenberg (1987) dan kemudian di revisi oleh Armsden (2009). Skala ini mengukur cara pandang remaja pada hubungan mereka dengan ibu mereka.

F. VALIDITAS DAN RELIABILITAS 1. Validitas Skala

Validitas tes adalah tingkat kemampuan tes mengukur atribut yang hendak diukur (Sarwono, 2006). Alat ukur yang memiliki validitas yang tinggi menandakan bahwa alat ukur tersebut mampu manjalankan fungsi ukur dengan akurat dalam melakukan pengukuran (Azwar, 1999).

(76)

memperoleh hasil pengukuran yang sama, meskipun berbeda bahasa. Dengan menerjemahkan skala asing, diharapkan skala tersbeut dapat dimengerti oleh subjek penelitian sehingga respon-respon jawaban serupa dengan skala aslinya.

(77)

translation sampai try out skala merupakan validasi isi dari skala yang digunakan dalam penelitian ini.

a) Sensitivitas terhadap penolakan

Dalam usaha untuk melihat validasi CRSQ, beberapa peneliti melakukan penelitian dengan menggunakan CRSQ untuk melihat validitasnya. Terdapat penelitian yang mendukung validasi RSQ, yakni penelitian yang berjudul Rejection sensitivity and children’s interpersonal difficulties (Downey, Lebolt, Rincon, & Freitas, 1998).

Pada penelitian tersebut diketahui CRSQ memiliki hubungan yang positif dengan kebencian, dan negatif pada kepekaan sosial dan kecakapan perilaku.

b) Rasa bangga

Terdapat beberapa penelitian yang dilakukan untuk melihat validitas skala untuk mengukur rasa bangga yang autentik dan hubristik. Validitas pada skala ini tampak dari hubungannya dengan variabel lain yang relevan (Tracy & Robins, 2007). Rasa bangga yang autentik berkorelasi dengan harga diri, ekstraversi, agreeableness, conscientiousness, dan stabilitas emosi. Sedangkan rasa bangga yang

Gambar

Tabel 15. Hasil analisis koefisien Sensitivitas terhadap Penolakan pada
Gambar 19 Scatterplot kelekatan dengan ibu dan sensitivitas terhadap penolakan76
Gambar 1. Siklus proses munculnya sensitivitas terhadap penolakan
Gambar 2. Kelekatan aman yang tinggi dan yang rendah
+7

Referensi

Dokumen terkait