• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

B. SARAN

bangga. Leary, Twenege, & Quinlivan (2006) menyatakan bahwa perlu penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara sensitivitas penolakan dan emosi, selain itu diperlukan pula untuk dipelajari lebih lanjut mengenai prediktor dari sensitivitas individu terhadap penolakan (Butler, Doherty, & Potter, 2007). Fourie, Rauch, Morgan, Ellis, Jordaan, & Thomas (2011) menyatakan bahwa penting untuk memperjelas implikasi dari rasa bangga terhadap kesejahteraan individu dalam jangka panjang. Sampai pada saat ini, penelitian tentang perasaan bangga tergolong dalam kategori yang terbatas (Castonguay, Brunet, Ferguson & Sabistos, 2012; Tracy, Robins, & Tangney, 2007; Higgins, Friedman, Harlow, Idson, Ayduk & Taylor, 2001; Fourie, Rauch, Morgan, Ellis, Jordaan & Thomas, 2011) padahal rasa bangga

memiliki dampak positif dan dampak buruk yang sungguh-sungguh penting untuk disadari. Oleh karena itu, penting bagi peneliti mempelajari lebih lanjut mengenai rasa bangga.

B. RUMUSAN MASALAH

Apakah kecenderungan untuk merasa bangga merupakan mediator dalam struktur hubungan antara kelekatan individu dengan ibu dengan sensitivitas individu terhadap penolakan di budaya kolektif?

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mencari tahu apakah ada hubungan antara kelekatan dengan ibu, rasa bangga, serta sensitivitas terhadap penolakan di budaya kolektif. Kemudian untuk mengetahui apakah kecenderungan untuk bangga memediasi hubungan antara kelekatan individu dengan ibu dengan sensitivitas individu terhadap penolakan.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Teoretis

Dalam bidang penelitian, penelitian ini menjawab saran yang diutarakan oleh peneliti sebelumnya. Penelitian ini bermanfaat menambahkan pengetahuan ilmu Psikologi, terutama Psikologi Klinis dan Psikologi Sosial mengenai sensitivitas individu terhadap penolakan dan

kecenderungan untuk bangga pada remaja dalam budaya kolektif. Hasil penelitian ini juga menegaskan peran dari rasa bangga dalam struktur hubungan antara kelekatan individu dengan ibu dengan sensitivitas individu terhadap penolakan, apakah perasaan bangga menjadi variabel mediator dalam hubungan antara kelekatan individu dengan ibu dan sensitivitas individu terhadap penolakan.

2. Praktis

Penelitian ini dapat digunakan bagi praktisi dalam bidang Psikologi untuk membuat treatment bagi individu yang memiliki tingkat sensitivitas terhadap penolakan yang tinggi dengan mempertimbangkan rasa bangga. Mengetahui perasaan bangga sebagai mediator yang memperlemah munculnya sensitivitas individu terhadap penolakan yang tinggi dapat memberikan informasi baru bagi praktisi untuk dapat membentuk treatment yang berhubungan dengan kecenderungan untuk merasa bangga.

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada orang tua agar dapat lebih memperhatikan pola pengasuhannya terhadap anak. Ketika anak mendapatkan pola pengasuhan yang baik maka anak akan mengembangkan kelekatan yang aman. Hal tersebut akan mendukung anak untuk menyelesaikan tugas-tugas perkembangan di tahap perkembangan berikutnya.

Berdasarkan hasil penelitian ini, para remaja bisa lebih mengenali dirinya sendiri. Bahwa sesungguhnya terdapat suatu konstruk yang bernama sensitivitas terhadap penolakan atau biasa dikenal dengan rejection sensitivity. Hal ini akan membuat remaja lebih berhati-hati dalam melakukan evaluasi diri. Apakah penolakan yang dirasakan merupakan benar-benar penolakan atau hanya berasal dari persepsi diri mereka sendiri.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. SENSITIVITAS TERHADAP PENOLAKAN

1. Definisi

Sensitivitas individu terhadap penolakan adalah kecenderungan untuk mengira-ira atau menyangka bahwa akan ditolak oleh orang lain, seakan-akan telah merasakan penolakan, dan bereaksi berlebihan terhadap penolakan (Downey, Feldman, Khuri & Friedman, 1994; Downey & Feldman, 1996). Sensitivitas terhadap penolakan merupakan salah satu bentuk sistem pertahanan motivasi (defensive motivational system) (Pietrzak, Downey, & Ayduk, 2005) yang didesain untuk menyediakan respon yang cepat pada ancaman lingkungan yang berhubungan dengan adanya penolakan (Henson, Derlega, Pearson, Ferrer, & Holmes, 2013). Selain itu, Feldman & Downey (1994) mendefinisikan sensitivitas individu terhadap penolakan merupakan hasil internalisasi dari pengalaman penolakan di masa-masa awal kehidupan yang mempengaruhi hubungan interpersonal seseorang.

Sensitivitas individu terhadap penolakan dapat dilihat sebagai sebuah motif untuk menghindari penolakan. Penolakan tersebut sebenarnya merupakan dugaan, bias ketika menginterpretasikan stimulus, dan bentuk regulasi diri yang mampu mempengaruhi perilaku

orang-orang dalam berbagai situasi sosial (Feldman & Downey, 1994). Sensitivitas terhadap penolakan merupakan bentuk kepribadian yang mana individu akan selalu cemas dengan dugaan-dugaan penolakan dan kemudian memunculkan perilaku sebagai respon dari penolakan karena merasa sudah ditolak (Downey & Feldman, 1996; Mischel & Shoda, 1995; Downey & Feldman, 1994).

Sensitivitas individu terhadap penolakan dapat dilihat secara kontinum di dalam pribadi setiap individu. Terdapat individu yang memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap penolakan sampai pada individu yang memiliki sensitivitas yang rendah pada penolakan. Downey & Feldman (1996) menyatakan bahwa konstruk sensitivitas individu terhadap penolakan menjelaskan bahwa beberapa individu sangat rapuh terhadap pengalaman penolakan dan kemudian meresponnya dengan maladaptif. Semakin tinggi tingkat sensitivitas individu terhadap penolakan semakin rapuhlah individu tersebut. Begitupula sebaliknya, individu yang memiliki tingkat sensitivitas terhadap penolakan yang rendah merupakan individu yang kuat ketika menghadapi situasi yang memungkinkan terjadinya penolakan.

Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa sensitivitas terhadap penolakan adalah pemikiran akan ditolak, perasaan merasa tertolak dan perilaku yang merespon penolakan yang berpola dan terus menerus muncul ketika individu berada pada situasi yang

memungkinkan dirinya untuk ditolak meskipun pada kenyataannya penolakan tersebut tidak terjadi.

2. Macam-macam Sensitivitas Individu Terhadap Penolakan a. Sensitivitas individu terhadap penolakan secara keseluruhan

Individu merasa bahwa orang lain menolak dirinya karena dirinya memang tidak pantas untuk diterima. Individu menganggap bahwa orang lain menolak dirinya karena keseluruhan diri yang dia miliki atau secara umum, baik itu kepribadian, penampilan, dll. (Park, 2007). Perasaan ditolak ini berasal dari pengalaman penolakan yang pernah dialami oleh individu. Kemudian, pengalaman tersebut membentuk pola pikir individu dalam berinteraksi dengan orang lain (Feldman & Downey, 1994; Park, 2007). Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai sensitivitas individu yang merasa ditolak oleh lingkungan dan memahami bahwa alasan dari penolakan itu adalah keseluruhan dirinya.

b. Sensitivitas individu terhadap penolakan yang didasarkan pada penampilan fisik

Sensitivitas penolakan yang didasari oleh penampilan fisik merupakan sebuah sistem proses kepribadian yang berfokus pada ketidakmenarikan fisik ketika merasa tertolak. Individu yang menganggap bahwa penampilan secara fisik merupakan hal yang sangat penting, meletakkan harga diri pada pandangan orang terhadap

penampilan fisiknya (Park, 2007) dan selalu kurang puas dengan penampilan dirinya (Park, Calogero, & Diraddo, 2010). Pandangan masyarakat setempat mengenai fisik yang menarik memiliki peran dalam membentuk tingginya sensitivitas penolakan yang didasari oleh penampilan fisik (Park & Calogero, 2009). Sensitivitas penolakan yang disebabkan oleh penampilan fisik memiliki hubungan yang positif dengan sensitivitas penolakan secara umum (Park, 2007). Hal tersebut dikarenakan keduanya memiliki suatu pelopor yang sama yaitu pengalaman penolakan.

c. Sensitivitas individu terhadap penolakan yang didasarkan pada ras Individu merasa bahwa ia ditolak karena ras yang dimiliki. Sensitivitas individu terhadap penolakan yang didasarkan pada ras muncul karena pengalaman penolakan sebelumnya berkaitan dengan ras (Henson, Derlega, Pearson, Ferrer, & Holmes, 2013). Penelitian mengenai hal ini dilakukan pada subjek pelajar Afrika-Amerika (Mendoza-Denton, Downey, Purdie, Davis, & Pietrzak, 2002; Murry, Brody, McNair, Luo, Gibbons, Gerrard, & Wills, 2005).

3. Efek Samping Tingginya Tingkat Sensitivitas terhadap Penolakan a. Gangguan kepribadian

Sensitivitas terhadap penolakan yang tinggi dapat menyebabkan munculnya berbagai gangguan dalam kepribadian seperti neurotis (Berenson, et al., 2009), gangguan kepribadian

menghindar (Feldman & Downey, 1994; Berenson, et al., 2009), gangguan kepribadian dependensi (McCabe, Blankstein, & Mills, 1999), self efficacy rendah (Khoskam, et al., 2012), harga diri rendah (Berenson, et al., 2009), dan self-silencing (Harper, Dickson, & Welsh, 2006).

b. Masalah mental dan perilaku

Selain gangguan kepribadian, tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap penolakan memiliki hubungan dengan masalah mental dan perilaku seperti depresi (Brookings, Zembar, & Hochstetler, 2003; Berenson, et al., 2009), bulimia dan anoreksia (Selby, Ward, & Joiner, 2010; O’Shaughnessy & Dallos, 2009; Cardi, Matteo, Corfield, & Treasure, 2013), orientasi pemecahan masalah yang negatif (Harper, Dickson, & Welsh, 2006), agresi (Khoskam, et al., 2012), dan kebencian (Feldman & Downey, 1994).

c. Interpersonal

Sensitivitas terhadap penolakan juga menimbulkan masalah dalam menjalin hubungan interpersonal seperti menjadi individu yang sulit menjalin relasi dengan orang lain (Downey, Feldman, & Ayduk, 2000), phobia sosial (Feldman & Downey, 1994; Khoskam, et al., 2012), kelekatan yang tidak aman (Downey, Feldman, & Ayduk, 2000), dan memiliki kecenderungan untuk mencemarkan nama orang lain (Feldman & Downey, 1994).

d. Lainnya

Tingkat sensitivitas penolakan yang tinggi juga memiliki hubungan dengan perfomansi akademik rendah (McCabe, Blankstein, & Mills, 1999).

4. Faktor Penyebab Individu Memiliki Sensitivitas terhadap Penolakan yang Tinggi

Sensitivitas individu yang tinggi terhadap penolakan muncul karena adanya pengalaman penolakan. Pengalaman penolakan didapatkan dari berbagai orang di sekitar individu yang berada di lingkungan yang tidak suportif (Feldman & Downey, 1994). Penolakan yang mungkin terjadi adalah penolakan yang berasal dari orang tua seperti perlakuan kasar, siksaan, pengabaian, penolakan, dan kebencian. Selain itu, orang tua yang selalu bersikap kondisional, ditangkap anak sebagai sebuah bentuk penolakan (Downey, Bonica, & Rincon, 1999). Perilaku penolakan tersebut membuat anak merasa tidak diterima apa adanya dan kemudian mengembangkan kelekatan yang tidak aman (Logue, 2006).

Penolakan dari teman sebaya dapat berupa menjadi korban secara fisik dan korban dalam relasi (Downey, Bonica, & Rincon, 1999; Butler, Doherty & Potter, 2007). Individu juga mungkin mendapatkan penolakan dari pacar. Semakin akrab suatu hubungan pertemanan atau pacaran maka semakin besar pula efek penolakan yang dialami mempengaruhi individu (Özen, Sümer, & Demir, 2010). Selain itu, karakteristik status kelompok

seperti orientasi seksual, ras/etnis dan disabilitas bisa membuat seseorang mengalami pengalaman penolakan dari teman sebaya dan lingkungan (Downey, Bonica & Rincon, 1999).

Pengalaman penolakan yang dialami oleh individu baik itu dari orang tua, sahabat, pacar maupun orang asing akan membentuk internal working models atau pola berpikir individu. Pola pemikiran tersebut akan digunakan ketika individu akan menjalin relasi dengan orang lain (Downey, Bonica & Rincon, 1999; Feldman & Downey, 1994). Pola atau skema pemikiran tersebut akan muncul ketika individu berada pada situasi yang memungkinkan dirinya ditolak.

Internal working models atau pola pemikiran individu dapat terbentuk melalui kelekatan, afektif-kognitif, dan hubungan interpersonal individu. Ketika kebutuhan individu di masa kecil terpenuhi dengan baik dan konsisten maka individu akan mengembangkan pola pemikiran yang aman bahwa lingkungan disekitarnya akan menerima dan mendukungnya. Begitu pula sebaliknya, bila individu di masa kecil dibesarkan dalam keadaan lingkungan yang menolak dirinya baik itu penolakan yang tersembunyi maupun yang dilakukan secara terang-terangan akan membentuk pola pemikiran yang tidak aman sehingga individu akan cenderung takut dan ragu dalam menjalin hubungan interpersonal apakah lingkungan akan menerima dan mendukungnya atau tidak. Pola berpikir yang dimiliki oleh individu dapat terus dimodifikasi selaras dengan

pengalaman yang dialami. Proses afektif dan kognitif individu bekerja untuk memodifikasi pola pemikiran individu dalam berinteraksi dengan orang lain. Individu yang memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap penolakan, apabila semakin sering mengalami penolakan maka pola pemikiran akan penolakan akan semakin kuat. Begitu pula sebaliknya, individu yang lebih sering mengalami pengalaman penerimaan akan memodifikasi internal working models yang dimiliki menjadi pola pemikiran yang lebih adaptif.

Menurut Bowlby, interaksi individu yang intens dengan orang lain akan membentuk suatu kelekatan. Hasil penelitian sebelumnya menyatakan bahwa kelekatan memiliki hubungan yang kuat dengan sensitivitas terhadap penolakan (Khoshkam, Bahrami, Ahmadi, Fatehizade, & Etemadi, 2012). Oleh karena itu, penting untuk membangun kelekatan yang aman karena kelekatan yang tidak aman menjadi faktor pendukung munculnya sensitivitas terhadap penolakan.

Individu yang memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap penolakan cenderung akan mengembangkan rasa bangga yang hubristik (Grant & Higgins, 2003; Tracy, Shariff, & Cheng, 2010). Hal ini terkait dengan pola pemikiran yang digunakan oleh individu. Individu cenderung untuk mengatribusikan suatu hal yang terjadi secara global, stabil, dan tidak dapat dikontrol. Individu merasa pengalaman penolakan yang dialami akan terjadi lagi dan penolakan tersebut karena diri individu, serta

individu tidak mampu mengontrol penolakan yang akan terjadi. Individu yang memiliki kecenderungan untuk bangga yang hubristik juga memiliki pola pemikiran yang sama. Individu memandang bahwa kesuksesan yang dicapai berasal dari dalam dirinya yang melekat, bukan karena usaha.

Sejauh ini telah diketahui bahwa pengalaman penolakan menjadi prediktor munculnya sensitivitas individu terhadap penolakan, perlu diketahui lebih lanjut prediktor lainnya sehingga dengan demikian dapat diketahui pula cara preventif dan intervensinya.

Gambar 1. Siklus proses munculnya sensitivitas terhadap penolakan 5. Alat ukur

Alat ukur sensitivitas terhadap penolakan terdapat berbagai macam, seperti RSQ-A (Rejection Sensitivity Questionnaire– Adolescent), CRSQ (Children Rejection Sensitivity Questionnaire),

RSQ-1Pengalaman penolakan

2Proses kognitif dan afektif bahwa akan

ditolak 3Muncul perilaku-perilaku negatif: Agresi, withdrawal dsb. 4Lingkungan melihat perilaku negatif 5Lingkungan benar-benar menolak

R (Rejection Sensitivity - Revised), GRS (Gay-related Rejection Sensitivity), dan IPSM (Interpersonal Sensitivity Measure).

Skala RSQ (Rejection Sensitivity Questionnaire) dibuat oleh Downey & Feldman. Skala ini ada 3 macam sesuai dengan tahap perkembangan manusia yaitu RSQ Adult (18 item), RSQ Adult young (9 item) dan RSQ Children (12 item). Pada kuesioner ini akan terdapat beberapa situasi. Partisipan diminta untuk membayangkan diri mereka berada pada situasi tersebut dan kemudian menjawab tiga pertanyaan pada skala Likert yang berkaitan dengan situasi tersebut. Pertanyaan pertama mengindikasikan seberapa gelisah individu akan penolakan. Skala 1 untuk sangat tidak gelisah sampai skala 6 untuk sangat gelisah disajikan secara gradasi atau dengan kata lain pada skala 3 tingkat kegelisahannya akan lebih rendah daripada skala 4. Pertanyaan kedua mau melihat seberapa marah individu akan penolakan, skala 1 untuk sangat tidak marah; 6 untuk sangat marah. Pertanyaan ketiga perkiraan subjektif individu terhadap situasi tersebut, skala 1 untuk sangat tidak sesuai; 6 untuk sangat tidak sesuai. Downey & Feldman (1996) melaporkan bahwa Cronbach α dari RSQ adalah sebesar 0.83 yang menandakan bahwa reliabilitas skala ini dalam kategori tinggi. Selain itu, RSQ juga sudah didukung dengan validasi konstruk dari tiga penelitian tambahan (Khoshkam, Bahrami, Ahmadi, Fatehizade & Etemadi 2012).

Selain RSQ terdapat skala lain untuk mengukur sensitivitas terhadap penolakan yaitu Interpersonal Sensitivity Measure (IPSM). IPSM dikemukakan oleh Boyce & Parker pada tahun 1989. IPSM terdiri dari 36 item yang mengukur ciri-ciri dari sensitivitas terhadap penolakan dalam hubungan interpersonal. Skala ini berisi lima subskala yaitu kesadaran akan hubungan interpersonal, kebutuhan untuk disetujui, kecemasan yang terbagi, malu-malu, dan keadaan dalam diri yang rapuh (Luterek, Harb, Heimberg, & Marx, 2004). Pada setiap pernyataan dalam IPSM, partisipan diminta untuk memilih salah satu dari empat skala yang bertingkat mulai dari “sesuai dengan diriku” sampai “sangat tidak sesuai dengan diriku”. IPSM memiliki konsistensi internal yang baik dengan memiliki alpha cronbach sebesar 0.85, dan reliabilitas tes-retes sebesar 0.70 (Butler, Doherty, & Potter, 2007). IPSM memiliki korelasi dengan neurotis dan skala RSQ (Butler, Doherty, & Potter, 2007).

Skala terakhir adalah Gay-related Rejection Sensitivity. Skala ini digunakan pada subjek yang memiliki orientasi seksual minoritas (homoseksual). Skala ini mengukur kecemasan individu karena orientasi seksual yang dimilikinya. Pada skala ini terdapat 14 situasi dan masing-masing situasi terdapat dua pertanyaan yang berkaitan dengan situasi yang telah dijelaskan. GRS memiliki reliabilitas alpha cronbach sebesar 0.86.

B. KECENDERUNGAN UNTUK MERASA BANGGA 1. Definisi

Bangga adalah salah satu bentuk emosi moral (Tangney, 2002). Syarat utama untuk menjadi bangga sama dengan syarat emosi moral lainnya yaitu diperlukannya kesadaran diri dan evaluasi diri (Tracy & Robins, 2004). Individu akan merasakan bangga ketika individu menyadari bahwa ia hidup sesuai dengan beberapa kriteria diri idealnya atau dapat mencapai tujuannya (Carver, Sinclair & Johnson, 2010).

Perasaan bangga dibagi menjadi dua macam yaitu perasaan bangga yang autentik dan perasaan bangga yang hubristik (Tracy & Robins, 2004; Tracy & Robins, 2007). Perasaan bangga yang autentik merupakan perasaan bangga yang muncul karena individu mengatribusikan kesuksesan yang diperoleh merupakan hasil usahanya, kesuksesan tersebut tidak akan tercapai tanpa ada usaha yang dikerjakan dan menyadari bahwa dalam beberapa hal, ada banyak hal yang tidak selalu dapat dikontrol oleh diri kita sendiri (Tracy & Robins, 2007). Kecenderungan untuk merasa bangga yang autentik dapat membuat seseorang menjadi semangat untuk berprestasi, meraih kesuksesan dan status, menarik perhatian pasangan dsb. (Tracy, Shariff, & Cheng, 2010; Williams & DeSetno, 2009).

Perasaan bangga yang hubristik merupakan perasaan bangga yang muncul ketika kesuksesan yang diperoleh diatribusikan sebagai hal yang

memang seharusnya terjadi. Kesusksean tidak berasal dari usaha melainkan dikarenakan hal-hal yang melekat pada dirinya (Tracy, Cheng, Robins, & Trzesniewski, 2009). Kecenderungan untuk merasa bangga yang hubristik juga berhubungan dengan kecenderungan individu untuk memiliki kecenderungan narsisme, egois dan hanya berfokus pada diri sendiri (Alessandri & Lewis, 1993). Kecenderungan untuk bangga dapat berkorelasi dengan berbagai macam konsekuensi sosial yang positif dan sekaligus dengan konsekuensi sosial yang merugikan individu (Carver, Sinclair & Johnson, 2010). Oleh karena itu, beberapa peneliti menyarankan untuk membedakan perasaan bangga yang memiliki konsekuensi positif (autentik) dan perasaan bangga yang memiliki konsekuensi negatif (hubristik) (Ekman, 2003).

2. Jenis Perasaan Bangga dan Efek Sampingnya

Perbedaan antara bangga yang autentik dan hubristik terletak pada atribusi individu terhadap tercapainya tujuan. Perasaan bangga yang autentik dan hubristik memiliki dampak yang berbeda-beda pada interaksi sosial individu.

a. Kecenderungan untuk merasa bangga yang autentik

Individu yang mengembangkan bangga yang autentik menganggap bahwa keberhasilannya dalam mencapai tujuan dikarenakan usaha dari dirinya (Tracy, Shariff, Cheng, 2010; Liu, Lu,

Yu, & Chen, 2012; Tracy, Cheng, Robins, & Trzesniewski, 2009). Contohnya, ketika seorang siswa mendapatkan nilai yang baik, siswa ini menganggap bahwa nilai yang baik tersebut didapatkan karena dia belajar dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian, individu menyadari bahwa untuk mendapatkan kesuksesan atau untuk merasakan bangga individu harus berusaha sedemikian rupa. Bangga yang autentik memiliki hubungan dengan perilaku-perilaku yang positif seperti prososial, keramahan, kesuksesan dalam menjalin hubungan sosial, dan kesehatan mental (Tracy & Robins 2004; Tangney & Tracy, 2012). Selain itu, perasaan bangga yang autentik memungkinkan individu untuk meningkatkan produktivitasnya (Williams & DeSetno, 2009). Perasaan bangga yang autentik juga mampu meningkatkan harga diri individu (Liu, et al, 2012; Stanculescu, 2012). Individu ini mampu merasa bangga akan kesuksesan yang didapat meskipun tidak ada orang yang menyadari dan memuji usaha dirinya untuk mencapai kesuksesan tersebut. Individu yang memiliki perasaan bangga yang autentik juga cenderung memiliki regulasi diri yang baik (Grant & Higgins, 2003). b. Kecenderungan untuk merasa bangga yang hubristik

Bangga yang hubristik dikembangkan oleh individu yang menganggap kesuksesan yang didapatkan bukan dari usaha melainkan dari berbagai hal yang melekat dalam diri mereka (Tracy, Shariff,

Cheng, 2010; Liu, Lu, Yu, & Chen, 2012; Tracy, Cheng, Robins, & Trzesniewski, 2009). Misalnya, seorang siswa mendapatkan nilai yang baik. Kemudian, siswa ini menganggap bahwa nilai baik tersebut memang pantas untuk dia dapatkan karena dia memang hebat, dia adalah anak guru dan siswa yang selalu berada dalam peringkat 10 besar. Individu menggeneralisasi keberhasilannya dan tidak spesifik terhadap suatu perilaku tertentu melainkan pada hal yang melekat pada dirinya. Individu ini akan merasa bangga ketika ada orang yang memujinya. Bangga yang hubristik berhubungan dengan narsisme, sensitivitas terhadap penolakan yang tinggi, antisosial, dan egois (Tracy & Robins, 2004; Tracy & Robins, 2007).

3. Proses dan Faktor Munculnya Perasaan Bangga

Menurut Tracy & Robins (2007), kecenderungan untuk bangga muncul ketika individu mengalami beberapa peristiwa yang memunculkan perasaan bahagia karena bangga. Tiga hal penting yang diperlukan dalam proses merasa bangga, yaitu memfokuskan perhatian pada representasi diri, membandingkan representasi diri dengan tujuan yang dimiliki, dan mengetahui secara jelas penyebab dari kesuksesan.

Awalnya, individu mengalami peristiwa tertentu dan kemudian mengevaluasi dirinya terhadap peristiwa yang dialami, apakah perilaku yang membuat peristiwa ini muncul sesuai dengan tujuan dirinya atau

tidak. Apabila peristiwa yang terjadi sesuai dengan tujuannya maka individu akan mulai mengatribusikan atau mencari tahu apa yang membuat tujuannya tercapai. Dengan mengetahui hal tersebut, maka individu akan cenderung melakukan hal yang sama karena dapat mencapai tujuan memunculkan perasaan yang menyenangkan. Dalam merasakan bangga, individu cenderung mengatribusikan kesuksesan tersebut secara internal.

Dalam melakukan atribusi internal, individu melakukannya secara spesifik. Dilihat dari stabilitas, kemampuan individu untuk mengontrol dan atribusi internal yang dilakukan spesifik atau global. Apabila individu menganggap bahwa kesuksesan yang didapat merupakan suatu hal yang memang harusnya terjadi dan selalu akan terjadi pada dirinya (stabil), kemudian kesuksesan yang didapat bukan merupakan suatu hal yang muncul karena usaha (tidak dapat dikontrol), dan mengatribusikan kesuksesan karena dirinya memang hebat (global) maka inidividu akan mengembangan kecenderungan untuk bangga yang hubristik (Alessandri & Lewis, 1993).

Individu akan mengembangkan bangga yang autentik bila individu mengatribusikan internal kesuksesan yang dicapai bukan merupakan hal yang biasa dicapai (tidak stabil) karena diperlukan usaha yang besar untuk mencapai setiap kesuksesan (dapat dikontrol) dan kesuksesan tersebut

hanya dapat dicapai karena indiviu memahami bahwa kesuksesan hanya dapat dicapai dengan berusaha (spesifik).

Kecenderungan individu untuk memunculkan perasaan bangga yang autentik maupun hubristik memiliki kaitan dengan bagaimana pola asuh orang tua pada individu. Orang tua yang cenderung memuji atau memarahi anak secara global atau tidak spesifik pada suatu perilaku, misalnya “Kamu anak yang sangat pintar.” atau “Kenapa kamu bodoh sekali.” cenderung akan membuat anak berpikir secara global sehingga mengembangkan rasa bangga yang hubristik. Anak merasa bahwa kesuksesan maupun kesalahan yang dialaminya bukan berasal dari perilaku yang spesifik melainkan berasal dari hal yang melekat pada

Dokumen terkait