• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

E. HUBUNGAN ANATARA KELEKATAN TERHADAP IBU,

1. Rasa Bangga sebagai Mediator

Sensitivitas terhadap penolakan merupakan suatu konstruk yang tergolong baru dikenal dan perlu dilakukan penelitian yang mendalam (Leary, Twenege, & Quinlivan, 2006). Langkah awal untuk dapat menjadi sehat secara mental atau sejahtera secara psikologis adalah dengan menyadari kecenderungan-kecenderungan yang dimiliki. Adanya kesadaran akan kecenderungan yang membuat diri merespon stimulus dengan perilaku tertentu dapat mempermudah individu untuk mengenali diri dan mampu berusaha untuk mengurangi atau memperkuat kecenderungan yang ada. Dengan melakukan penelitian ini, peneliti berusaha untuk memperkenalkan konstruk sensitivitas terhadap penolakan kepada remaja, sehingga remaja yang memiliki sensitivitas terhadap penolakan yang tinggi mampu berefleksi mengenai kecenderungan yang dimiliki. Dalam kehidupan sehari-hari peneliti dan berdasarkan pada curhatan remaja di media internet, banyak remaja yang tidak mampu menggunakan masa-masa produktifnya sebagai remaja karena tingginya

sensitivitas terhadap penolakan. Remaja tidak mampu untuk memulai suatu hal yang baru dikarenakan merasa takut, cemas, dan marah akan penolakan bahkan bereaksi berlebihan ketika berada pada situasi yang memungkinkan dirinya ditolak.

Dalam tahap perkembangan remaja, banyak hal yang memungkinkan remaja untuk memunculkan kecenderungan yang tinggi dalam sensitivitas terhadap penolakan. Tampak dari cara berpikir remaja yang belum matang, interaksi remaja yang semakin luas seperti menjalin relasi dengan pacar, teman, dan orang tua memungkinkan individu mengalami penolakan. Masa remaja merupakan masa yang penting untuk bereksplorasi mengenai ketertarikan yang dimiliki sehingga mampu menemukan jati diri dan berkarya. Apabila remaja yang memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap penolakan tidak menyadari akan kecenderungannya dan tetap merespon setiap stimulus yang memunkinkan adanya penolakan dengan perilaku berlebihan maka pencarian jati diri pada remaja tidak akan selesai atau jelas. Hal tersebut akan mengganggu tahap perkembangan individu selanjutnya.

Prediktor terbesar dari tingginya sensitivitas terhadap penolakan merupakan pengalaman penolakan orang tua terhadap anak pada masa bayi. Pengalaman penolakan tersebut dapat berkembang menjadi kelekatan yang tidak aman. Dari beberapa penelitian, diketahui bahwa kelekatan yang tidak aman berhubungan signifikan dengan sensitivitas

terhadap penolakan. Peneliti tertarik untuk melihat proses terbentuknya sensitivitas yang tinggi terhadap penolakan dengan kelekatan dengan ibu. Berdasarkan literatur, peneliti mengetahui bahwa kelekatan yang terbentuk sejak lahir memiliki peran penting dalam perkembangan emosi (Pearce & Pezzot-Pearce, 2007) dan pada masa remaja terdapat pergolakan emosional yang tinggi (Santrock, 2003). Peneliti melihat emosi menjadi hal penting dalam hubungan antara kelekatan dengan sensitivitas terhadap penolakan. Perasaan yang berkaitan dengan kelekatan dan sensitivitas terhadap penolakan adalah perasaan bangga yang hubristik dan autentik. Peneliti tertarik mengambil perasaan bangga sebagai variabel yang berkontribusi dalam proses hubungan antara kelekatan dengan ibu dan sensitivitas terhadap penolakan karena perasaan bangga merupakan salah satu faktor protektif untuk dapat mengurangi tingginya sensitivitas individu terhadap penolakan. Selain itu, perasaan bangga merupakan jenis perasaan yang jarang diteliti dan masih perlu dipelajari (Castonguay, Brunet, Ferguson & Sabistos, 2012; Tracy, Robins, & Tangney, 2007; Higgins, Friedman, Harlow, Idson, Ayduk & Taylor, 2001; Fourie, Rauch, Morgan, Ellis, Jordaan & Thomas, 2011) terutama di budaya kolektif yang menganggap individu yang merasa bangga merupakan suatu hal yang negatif. Terbentuknya perasaan bangga yang hubristik memiliki kesamaan dalam hal pola pikir dengan terbentuknya sensitivitas terhadap penolakan. Individu yang memiliki

perasaan bangga yang hubristik cenderung memandang bahwa kesuksesan yang diperoleh berasal dari suatu hal yang melekat pada dirinya. Individu yang mengembangkan perasaan bangga yang hubristik akan merasa bangga hanya ketika ada orang yang memuji dirinya. Individu yang hubristik dikenal dengan individu yang sombong. Individu yang seringkali menceritakan kesuksesannya untuk mendapatkan pujian memiliki kemungkinan untuk mengalami pengalaman penolakan. Di budaya kolektif, individu yang sombong akan dijauhi. Individu yang hubristik ketika tidak mendapatkan pujian dari kesuksesannya maka akan merasa tertolak. Pengalaman penolakan tersebut memperkuat sensitivitas terhadap penolakan yang dimiliki oleh individu.

Dengan demikian, kelekatan yang tidak aman merupakan bibit dari munculnya sensitivitas terhadap penolakan. Sensitivitas terhadap penolakan tidak akan menjadi tinggi apabila individu mengembangkan perasaan bangga yang autentik. Sensitivitas terhadap penolakan akan menjadi tinggi ketika individu mengembangkan perasaan bangga yang hubristik. Perasaan bangga yang hubristik muncul dari kelekatan tidak aman yang tercipta dari hubungan antara orang tua dan anak. Orang tua memberikan tanggapan yang global terhadap perilaku anak, sehingga anak tidak tahu perilaku mana yang membuat orang tua merasa bangga akan dirinya. Apabila pola tersebut terus berulang-ulang maka anak akan tumbuh dengan menganggap bahwa kesuksesan yang dia alami bukan dari

usahanya melainkan dari hal yang melekat pada dirinya dan tujuannya adalah untuk mendapatkan pujian dari orang lain.

Oleh karena itu, penting untuk melakukan penelitian mengenai posisi yang jelas antara kelekatan, perasaan bangga, dan sensitivitas terhadap penolakan. Apakah perasaan bangga merupakan mediator dalam hubungan antara kelekatan dengan ibu dan sensitivitas terhadap penolakan. Hal tersebut menandakan bahwa individu yang memiliki kelekatan tidak aman akan menjadi individu yang memiliki sensitivitas terhadap penolakan yang tinggi apabila individu memiliki kecenderungan untuk bangga.

Penelitian ini memiliki urgensi teoritis yang berangkat dari saran peneliti sebelumnya. Peneliti sebelumnya menyarankan untuk mempelajari tentang sensitivitas terhadap penolakan dengan mengaitkannya pada aspek lain dan menemukan prediktor lain dari sensitivitas individu terhadap penolakan (Leary, Twenge & Quinlivan, 2006; Butler, Doherty, & Potter, 2007). Penelitian ini juga menjawab saran peneliti berikutnya tentang mempelajari perasaan bangga kaitannya dengan kesejahteraan individu dalam jangka waktu yang panjang (Fourie, Rauch, Morgan, Ellis, Jordaan, & Thomas, 2011) serta menambah penelitian tentang perasaan bangga di budaya kolektif. Perasaan bangga memiliki dampak yang besar. Perasaan bangga mampu memotivasi individu untuk terus melakukan perilaku yang dapat menghasilkan

perasaan bangga. Meskipun demikian, perasaan bangga juga mampu berdampak negatif bagi diri individu. Memperkenalkan macam-macam perasaan bangga juga merupakan hal penting untuk diketahui oleh para remaja, orangtua, dan guru. Dengan demikian, orangtua dan guru dapat lebih memperhatikan didikan yang diberikan kepada anak agar anak tidak mengembangkan perasaan bangga yang hubristik. Memuji dengan tepat dan spesifik merupakan langkah awal untuk mengembangkan perasaan bangga yang autentik.

Gambar 3. Model perasaan bangga sebagai mediator

Dokumen terkait