MINDFULNESS SEBAGAI MEDIATOR DALAM HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN PADA IBU DAN SELF-SILENCING PADA REMAJA LAKI
DAN PEREMPUAN
Maria Kristanti Dara Novianta Widodo ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat dinamika dalam pembentukan self-silencing
dengan dasar kelekatan pada ibu. Hipotesis peneliti adalah mindfulness memediatori hubungan antara kelekatan pada ibu dengan self-silencing. Untuk mengetahui dinamika tersebut, maka analisis mediator dilakukan dengan menggunakan SPSS 16.0. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja dengan rentang usia 13 – 22 tahun, dengan jumlah laki-laki sebanyak 216 subjek dan perempuan sebanyak 265 subjek. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah IPPA-M, KIMS, dan STSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara kelekatan pada ibu dan self-silencing pada remaja perempuan dimediatori oleh mindfulness pada kemampuan menerima tanpa menilai dan bertindak dengan kesadaran. Sedangkan kemampuan untuk deskripsi tidak diprediksi oleh kelekatan pada ibu. Kemampuan observasi tidak signifikan dalam memprediksi self-silencing baik pada remaja laki-laki maupun perempuan. Pada remaja laki-laki, tidak dapat dilakukan analisis mindfulness sebagai mediator karena kelekatan pada ibu tidak memprediksi self-silencing. Namun kemampuan mindfulness deskripsi, bertindak dengan kesadaran dan menerima tanpa menilai dapat memprediksi self-silencing. Studi ini mengajak para peneliti dengan minat sama untuk mengetahui secara lebih mendalam pada dinamika hubungan tersebut. Untuk pembahasan, keterbatasan penelitian dan saran juga akan dijelaskan.
MINDFULNESS AS MEDIATOR IN RELATION BETWEEN ATTACHMENT TO MOTHER AND SELF-SILENCING IN
ADOLESCENT BOYS AND GIRLS Maria Kristanti Dara Novianta Widodo
ABSTRACT
The aim of this study is to know the dynamics of self-silencing in based of attachment to mother. The hypothesis of the study is that mindfulness is a mediator in the relation between attachment to mother and self-silencing. In order to know these dynamics, researcher used the mediator analysis in SPSS 16.0. Subject in this study consist of adolescent in age range between 13 – 22 years, males 216 subjects and females 265 subjects. The scales used are IPPA-M, KIMS, and STSS. Results show that mindfulness, in particular the ability to act with awareness and accept without judgment, is a mediator in relations between attachment to mother and self-silencing in adolescent females. Besides, attachment to mother can’t predict the ability to describe. For both subject, the ability to observe is not significant in predict self-silencing. The mediation analysis can’t be apply for adolescent boys because attachment to mother can’t predict the self-silencing in this study. This study recommend to any researcher with the same curiosity to assess more about this relationship. For the discussion, limitedness of this study and the future research will be explained in this study.
MINDFULNESS SEBAGAI MEDIATOR DALAM HIBINGAN
ANTARA KELEKATAN PADA IBI DAN SELF-SILENCING PADA
REMAJA LAKI DAN PEREMPIAN
SKRSPSS
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana
Psikologi Program Studi Psikologi
Disusun oleh:
Maria Kristanti Dara Novianta Widodo
119114152
PROGRAM STIDI PSIKOLOGI JIRISAN PSIKOLOGI
FAKILTAS PSIKOLOGI
INIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
Halaman motto
Apapun yang telah kamu dapatkan hari ini, akan mempersiapkanmu
untuk masa depanmu nanti, jadi tetaplah semangat selalu
Berusahalah semaksimal mungkin dan biarlah nanti Tuhan yang akan
menyempurnakannya
“Datanglah kepadaKu semua yang letih dan berbeban berat, Aku akan
memberi kelegaan padamu” Matius 11:28
Masalah yang kita hadapi menjadi masalah bukan karena masalahnya,
tetapi karena sikap kita terhadap masalah itu.
Lakukan yang kamu cintai, cintai yang kamu lakukan :*
v
Halaman Persembahan
Tugas akhir isi, dara persembahkas ustuk mereka yasg selalu memberikas isspirasi, dukusgas das cista kepada dara:
Tuhas Yesus das Busda Maria yasg selalu mesusjukkas jalas yasg tertepat das terbaik ustuk dara, sehisgga semua Kau bestuk isdah pada waktusya. Semoga
skripsi isi dapat mesjadi salah satu bestuk ustuk dapat messyukuri das membagikas ilmu dalam mesjalasi kehidupas isi
Mama Giok tercista
Libertus Edwis Aditya
Mami, Papi, Ce Ria, Ko Hesdro, Felix, Asgel das Louissa
Sahabat-sahabat dara sejak kecil: Rista das Esy Mari kita belajar relasi yasg baik yaa
Sahabat das temas yasg juga sesama pejuasg: Asita, Putri, Vivi, Hervy, Asi, temas-temas kelas D das asgkatas 2011 Psikologi das temas-temas2 asgkatas 18 VL. Tetap
semasgattt
das kepada
Semua yasg sedasg mesjalis relasi romastis ataupus berkehesdak ustuk mesjalis relasi romastis
ayoo perbaiki relasi das jasgas galau terus
vii
MINDFULNESS SEBAGAI MEDIATOR DALAM HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN PADA IBU DAN SELF-SILENCING PADA REMAJA LAKI
DAN PEREMPUAN
Maria Kristanti Dara Novianta Widodo ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk lelihat dinalika dalal pelbentukan self-silencing dengan dasar kelekatan pada ibu. Hipotesis peneliti adalah mindfulness lelediatori hubungan antara kelekatan pada ibu dengan self-silencing. Untuk lengetahui dinalika tersebut, laka analisis lediator dilakukan dengan lenggunakan SPSS 16.0. Subjek yang digunakan dalal penelitian ini adalah relaja dengan rentang usia 13 – 22 tahun, dengan jullah laki-laki sebanyak 216 subjek dan perelpuan sebanyak 265 subjek. Skala yang digunakan dalal penelitian ini adalah IPPA-M, KIMS, dan STSS. Hasil penelitian lenunjukkan bahwa hubungan antara kelekatan pada ibu dan self-silencing pada relaja perelpuan dilediatori oleh mindfulness pada kelalpuan lenerila tanpa lenilai dan bertindak dengan kesadaran. Sedangkan kelalpuan untuk deskripsi tidak diprediksi oleh kelekatan pada ibu. Kelalpuan observasi tidak signifikan dalal lelprediksi self-silencing baik pada relaja laki-laki laupun perelpuan. Pada relaja laki-laki, tidak dapat dilakukan analisis mindfulness sebagai lediator karena kelekatan pada ibu tidak lelprediksi self-silencing. Nalun kelalpuan mindfulness deskripsi, bertindak dengan kesadaran dan lenerila tanpa lenilai dapat lelprediksi self-silencing. Studi ini lengajak para peneliti dengan linat sala untuk lengetahui secara lebih lendalal pada dinalika hubungan tersebut. Untuk pelbahasan, keterbatasan penelitian dan saran juga akan dijelaskan.
viii
MINDFULNESS AS MEDIATOR IN RELATION BETWEEN ATTACHMENT TO MOTHER AND SELF-SILENCING IN
ADOLESCENT BOYS AND GIRLS Maria Kristanti Dara Novianta Widodo
ABSTRACT
The aim of this study is to know the dynamics of self-silencing in based of attachment to mother. The hypothesis of the study is that mindfulness is a mediator in the relation between attachment to mother and self-silencing. In order to know these dynamics, researcher used the mediator analysis in SPSS 16.0. Subject in this study consist of adolescent in age range between 13 – 22 years, males 216 subjects and females 265 subjects. The scales used are IPPA-M, KIMS, and STSS. Results show that mindfulness, in particular the ability to act with awareness and accept without judgment, is a mediator in relations between attachment to mother and self-silencing in adolescent females. Besides, attachment to mother can’t predict the ability to describe. For both subject, the ability to observe is not significant in predict self-silencing. The mediation analysis can’t be apply for adolescent boys because attachment to mother can’t predict the self-silencing in this study. This study recommend to any researcher with the same curiosity to assess more about this relationship. For the discussion, limitedness of this study and the future research will be explained in this study.
x
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis ucapkan pada Tuhan Yesus, Bunda Maria atas
penyertaan dan rahmatnNya, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan
pembuatan skripsi ini. Begitu banyak perjuangan dalam bertanding dengan sendiri
sehingga akhirnya mau untuk berjuang dalam pengerjaan skripsi ini. Tentu dalam
pengerjaan skripsi ini ada banyak pihak yang senantiasa membuat penulis merasa
terdukung karena cinta dan dukungannya. Oleh karenanya penulis ingin
mengucapkan banyak terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Tarsisius Priyo Widianto, M.Si selaku dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma
2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si selaku Kepala Program Studi Universitas
Sanata Dharma
3. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M. Psi selaku dosen pembimbing saya yang
tetap sabar dalam mendukung penyelesaian skripsi ini serta atas 3,5 tahun
mendampingi saya dalam mengenal dunia penelitian dan menjadi mentor
layaknya orang tua sendiri .
4. Bapak C. Wijoyo Adinugroho, M.Psi selaku dosen pembimbing akademik
saya dan kepala P2TKP tempat saya berdinamika selama setahun.
Terimakasih atas pengalaman yang luar biasa menyenangkan, sehingga
membawa perkembangan dalam diri saya. Terimakasih juga atas semua
xi
5. Mbak Elisabeth Haksi Mayawati, mentor, orang tua di psikologi yang luar
biasa sehingga dapat membuat 3,5 tahun di psikologi sungguh menjadi
momen yang tidak terduga dan membawa perkembangan terhadap diri
6. Bapak Agung Santoso M.A. yang selalu membimbing saya ketika saya
mengalami kebingungan dengan segala jenis analisis statistik. Terimakasih
atas kebaikan dalam membagikan ilmu kepada saya, hingga saya dapat
lebih memahami dan berteman baik dengan statistik.
7. Ibu Dr. Tjipto Susana, terimakasih atas pendampingan ibu dalam
melakukan pengambilan data dalam teknik FGD. Terimakasih telah
mengajarkan kepada saya bagaimana untuk memahami orang lain.
8. Seluruh dosen Fakultas Psikologi yang mampu memberikan inspirasi
hidup bagi saya, membuat saya mau untuk semakin mencintai psikologi
dan menerapkan ilmu ini dalam kehidupan seharinhari.
9. Mas Gandung, Ibu Nanik, Mas Muji, Mas Doni, Pak Giek, Pak Rubi parkir
dan bapak parker ataupun karyawan lainnya yang senantiasa
menyemarakkan suasana di Fakultas Psikologi maupun kampus 3 USD ini,
sehingga kampus menjadi tempat yang mendukung proses belajar kami
untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
10. Kepala Sekolah, temannteman SMP, SMA dan mahasiswa yang telah
mendukung saya dalam pengumpulan data ini, termasuk karyawan di
Provinsi Yogyakarta, Dinas Penelitian, dan Bappeda Sleman. Terimakasih
xii
11. Mama yang selalu mendukung dara lewat halnhal kecil, selalu mendoakan
dara, selalu memenuhi kebutuhan dara seharinhari dan yang selalu
membuat dara tersenyum serta semangat bahkan ketika tertekan dalam
kehidupan seharinhari
12. Koko Edwin yang meski saat ini sedang samansama berjuang kuliah di
negeri seberang, namun tetap setia memberi semangat, cinta serta
dukungan lewat doa dan chat. Bentar lagi aku susul ya.. ^_^
13. Mami, Papi, Felix, Ce Ria, Ko Hendro, Angel, Louissa sebagai keluarga
baru dara yang senantiasa memberi dukungan dan rasa hangat sebagai
keluarga, sehingga dara tetap semangat menjalani hidup
14. Rinta sahabat dari kecilku yang manis dan sekarang sudah semakin
dewasa, menjadi gadis yang smart serta berprinsip, Anita teman van Lith
ku yang hingga sekarang terus berjuang bersama di psikologi ini, Putri
teman menggila bersama yang senantiasa semangat dan ceria menjalani
hidup, Vivi teman sesama ldr yang unyu dan ceria serta Hervy teman yang
begitu keibuan, lucu dan begitu ngefans dengan Mas Duta. Ani yang selalu
kuat dan sportif, teman berdiskusi yang akhirnya berujung pada curhat.
Temanntemanku di Psikologi kelas D angkatan 2011 yang penuh canda
tawa dan kebersamaan. Terimakasih untuk segala perjuangan bersama ini.
15. Kelompok Riset Payung: Mb Fiona, Mb Ditha, Marlincung, Natan, Rinta
yang selalu mendukung dalam perjuangan kita untuk belajar penelitian,
belajar mengenai arti kelompok, pertemanan, suka, duka demi mencapai
xiii
16. Temen perjuangan P2TKP: Mbak Martha inpirasi untuk belajar menjadi
dewasa dan menghandle suatu acara, mbak Jeje yang menjadi inspirasi
buat jadi cewek, mb Alvia temen diskusi mengenai psikologi, mb Sherly,
mb Feny para pejuang LDR yang jadi inspirasi juga , Tutut martutut Tuti
yang lucu ngangenin dan ngegemesin, menginspirasi membuat teri medan
yang enak, Mas Lito, Mas Anju si jagonjago yang lucu, suka ngebanyol
tapi bertanggung jawab, dan Rinta hey ketemu lagi kita di sini .
17. Kelompok Riset Polikulturalisme: Mb Fiona, Anita, Sawilda, Samuel,
Angga yang begitu koplak dan membuat saya selalu tertawa meski yang
dilakukan adalah tugas penelitian. Semangat selalu buat kita ya ^_^
18. Temannteman van Lith angkatan 18 yang membuat penulis semakin
terpacu untuk segera menyelesaikan skripsi ini karena uploadan fotonfoto
pendadaran kalian. Maka tetap, 18 Siap tempurr!!
Akhir kata, dalam penelitian ini, penulis berharap dari penelitian ini dapat
membuat kita semua menyadari bahwa sebagai manusia yang tidak pernah jauh
dari interaksi sosial terutama relasi romantis, untuk dapat membangun hubungan
yang sehat. Meskipun begitu, penulis masih mengharapkan kritik dan saran yang
membangun, agar penelitian ini dapat semakin menyumbang perkembangan ilmu
kita ini. Terimakasih .
Yogyakarta, 15 Juli 2015
xiv DAFTAR ISI
Halaman Judul ... i
Halaman Persetujuan Dosen Pembimbing ... ii
Halaman Pengesahan ... iii
Halaman Motto ... iv
Halaman Persembahan ... v
Halaman Pernyataan Keaslian Karya ... vi
Abstrak ... vii
Abstract ... viii
Halaman Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah... ix
Kata Pengantar ... x
Daftar Isi... xiv
Daftar Tabel ... xviii
Daftar Gambar ... xx
Daftar Lampiran ... xxii
Bab I Pendahuluan ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 10
Manfaat teoretis ... 10
Manfaat Praktis ... 11
xv
A. Mindfulness ... 12
1. Pengertian ... 12
2. Faktor pembentuk mindfulness ... 16
3. Mindfulness pada remaja ... 16
4. Efek samping mindfulness ... 17
5. Pengukuran mindfulness ... 18
B. Kelekatan Pada Ibu ... 22
1. Pengertian ... 22
2. Mekanisme terbentuknya kelekatan pada ibu ... 24
3. Dinamika kelekatan pada remaja ... 25
4. Dampak dari kelekatan pada ibu ... 27
5. Pengukuran kelekatan pada ibu ... 30
C. Self-Silencing ... 32
1. Pengertian dan aspek ... 32
2. Dinamika terbentuknya Self-Silencing ... 34
3. Self-silencing pada lakinlaki ... 35
4. Self-silencing pada remaja ... 37
5. Dampak negatif self-silencing ... 38
6. Pengukuran Self-silencing ... 39
D. Remaja ... 40
1. Pengertian dan perkembangan remaja ... 40
2. Dinamika relasi dalam perkembangan remaja ... 42
xvi
1. Dinamika ketiga variabel ... 43
2. Kaitan dengan budaya kolektif ... 49
F. Bagan ... 50
G. Hipotesis ... 51
Bab III Metode Penelitian ... 53
A. Jenis Penelitian ... 53
B. Variabel Penelitian ... 53
C. Definisi Operasional ... 54
1. Mindfulness ... 54
2. Kelekatan pada ibu ... 55
3. Self-silencing ... 55
D. Subjek Penelitian ... 56
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 57
1. Metode pengumpulan data ... 57
2. Alat pengumpulan data ... 58
F. Validitas Dan Reliabilitas ... 60
1. Validitas ... 60
2. Reliabilitas ... 65
G. Uji Analisis Data ... 68
1. Uji Prasyarat analisis ... 68
2. Uji hipotesis ... 69
Bab IV Hasil Penelitian Dan Pembahasan ... 73
xvii
B. Pelaksanaan Penelitian ... 74
C. Gambaran subjek penelitian ... 75
1. Data demografis ... 75
2. Hasil rerata subjek terhadap skala ... 76
D. Hasil Penelitian ... 79
1. Uji Asumsi ... 79
2. Uji Hipotesis ... 82
E. Pembahasan ... 91
F. Keterbatasan Penelitian ... 103
Bab V Kesimpulan dan Saran ... 105
A. Kesimpulan ... 105
B. Saran ... 106
Daftar Pustaka ... 110
xviii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Hasil ratanrata subjek pada skala kelekatan pada ibu ... 76
Tabel 2. Hasil ratanrata subjek pada skala Mindfulness ... 77
Tabel 3. Hasil ratanrata subjek pada skala Self-Silencing ... 78
Tabel 4. Hasil Uji Asumsi ... 80
Tabel 5. Hasil RegresiKelekatan pada ibu ke mindfulness observasi ... 82
Tabel 6.Hasil Regresi Kelekatan pada ibu ke mindfulness deskripsi ... 83
Tabel 7. Hasil Regresi Kelekatan pada ibu ke mindfulness bertindak dengan kesadaran ... 84
Tabel 8. Hasil RegresiKelekatan pada ibu ke mindfulness menerima tanpa menilai ... 85
Tabel 9. Hasil RegresiKelekatan pada ibu ke self-silencing ... 86
Tabel 10. Hasil RegresiKelekatan pada ibu–mindfulness-self-silencing ... 87
Tabel 11. Hasil Uji ReliabilitasSkalaKelekatan pada ibu ... 127
Tabel 12. Hasil Uji ReliabilitasSkala Mindfulness Observasi ... 129
Tabel 13. Hasil Uji Reliabilitas Skala Mindfulness Deskripsi ... 130
Tabel 14. Hasil Uji Reliabilitas Skala Mindfulness Bertindak dengan kesadaran ... 131
Tabel 15. Hasil Uji Reliabilitas Skala Mindfulness Menerima tanpa menilai ... 132
Tabel 16. Hasil Uji Reliabilitas Skala Self-Silencing ... 133
xix
Tabel 18. KisinKisi Skala Kentucky Inventory of Mindfulness Skills... 135
xx
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Bagan dinamika antar variabel ... 51
Gambar 2. Deskripsi dinamika antar variabel ... 52
Gambar 3. Grafik Normal P-P Plot Standardized Residuals Kelekatan dengan ibu
– Mindfulness Observasi ... 121
Gambar 4.Grafik Normal P-P Plot Standardized Residuals Kelekatan dengan ibu
– Mindfulness Deskripsi ... 121
Gambar 5.Grafik Normal P-P Plot Standardized Residuals Kelekatan dengan ibu
– Mindfulness Bertindak dengan Kesadaran ... 122
Gambar 6.Grafik Normal P-P Plot Standardized Residuals Kelekatan dengan ibu
– Mindfulness Menerima tanpa menilai ... 122
Gambar 7.Grafik Normal P-P Plot Standardized Residuals Kelekatan dengan ibu
– Self-Silencing ... 123
Gambar 8. Grafik Normal P-P Plot Standardized Residuals Kelekatan dengan ibu
- Mindfulness Observasi, Deskripsi, Bertindak dengan Kesadaran,
Menerima tanpa menilai – Self-Silencing ... 123
Gambar 9. Scatterplot Kelekatan dengan ibu – Mindfulness Observasi ... 124
Gambar 10. Scatterplot Kelekatan dengan ibu – Mindfulness Deskripsi ... 124
Gambar 11. Scatterplot Kelekatan dengan ibu – Mindfulness Bertindak dengan
Kesadaran ... 125
Gambar 12. Scatterplot Kelekatan dengan ibu – Mindfulness Menerima tanpa
menilai ... 125
xxi
Gambar 14. Scatterplot Kelekatan dengan ibu- Mindfulness Observasi, Deskripsi,
Bertindak dengan Kesadaran, Menerima tanpa menilai– Self-Silencing
xxii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A. Uji Asumsi Normalitas ... 121
Lampiran B. Uji Asumsi Heteroskedastisitas dan Uji Asumsi Linearitas .... 124
Lampiran C. Tabel uji reliabilitas skala ... 127
Lampiran D. Kisinkisi masingnmasing skala yang digunakan ... 135
Lampiran E. Skala Pengukuran ... 136
Lampiran F. Skala Kelekatan pada ibu ... 139
Lampiran G. Skala Mindfulness ... 142
Lampiran H. Skala Self-Silencing ... 146
1 BABBIB
PENDAHULUANB
B B A.LatarBBelakangB
“Sakit sama perasaan sendiri karena nggak bisa ngungkapin”(Pepatah, Twitter)
“Kadang, karena tak ingin menyakiti perasaan seseorang, kamu penuhi apa yang dia inginkan. Dan tanpa kamu sadari, dirimulah yang terluka”
“Satu hal yang lo ga pernah tau gue lagi ngetik “wkwkwk” sambil nangis buat jaga perasaan lo” (Quotes Life, Line)
Kalimat tersebut akhiriakhir ini merupakan kalimat yang sering terlihat
di status media sesial tertentu yang akhirnya disukai eleh banyak erang.
Kalimat yang menggambarkan bahwa seseerang tidak berani mengungkapkan
apa yang dirasakan, apa yang dipikirkan kepada erang lain, terutama pada
pasangannya. Bila dilihat dari kecenderungan seseerang yang terungkap dalam
kalimat tersebut, sejalan dengan kensep yang bernama self-silencing.
Self-silencing berarti seseerang berusaha untuk menekan apa yang dipikirkannya
dan dirasakan untuk tetap menjaga keutuhan relasi (Harper & Welsh, 2007;
Jack & Ali, 2010; Jack & Dill, 1992; Remen, Chambless & Redebaugh, 2002).
Kecenderungan untuk self-silencing ini juga erat hubungannya dengan budaya
di Indenesia yang cenderung kelektif dan bersifat feminin (Hefstede, 1983).
Dalam budaya kelektif, seseerang mempunyai kecenderungan untuk menjaga
perilakunya seperti tidak menampilkan emesi negatif mereka di depan erang
yang dekat dengan mereka (Hefstede, 1983; Jack, Pekharel & Subba, 2010;
menampilkan emesi, maka dapat mengganggu hubungan interaksi antara satu
individu dengan yang lain, padahal mereka diharapkan mampu untuk menjaga
relasi dengan erang lain (Hefstede, 1983; Matsumete & Juang, 2008). Hal
tersebut sejalan dengan apa yang disebut dengan self-silencing.
Meskipun self-silencing merupakan suatu bentuk mekanisme dalam
menjaga kestabilan suatu hubungan (Flett, Besser, Hewitt & Davis, 2007; Jack
& Dill, 1992), namun self-silencing mempunyai dampak negatif yang dapat
mengurangi well-being seseerang (Jack, 2011). Beberapa penelitian
sebelumnya menemukan bahwa self-silencing berkerelasi pesitif dengan
rendahnya harga diri (Cramer, Gallant & Langleis, 2005, Harper & Welsh,
2007; Schrick, Sharp, Zvenkevic & Reifman, 2012), ketidakpuasan dalam
menjalin relasi (Thempsen, 1995), gangguan makan (Sheuse, Nilssen, 2011;
Zaitseff, Geller, & Srikameswaran, 2002), sensivitas terhadap penelakan
(Harper, Dicksen, & Welsh, 2006; RemereiCanyas, Reddy, Redriguez, &
Dewney, 2013), kehilangan identitas diri dan merasa teriselasi (Jack, 2011;
Jerdan, 2010). Selain itu terdapat salah satu dampak dari perilaku self-silencing
yang kensisten ditemukan lewat penelitian sebelumnya yaitu depresi (Cramer
dkk., 2005; Flett, Besser, Hewitt & Davis; 2007; Gratch, Bassett & Attra, 1995;
Jack, 2011; Little, Welsh, Darling & Helmes; 2011; Schrick dkk., 2012;
Thempsen, 1995; Thempsen, Whiffen & Aube, 2001; Whiffen, Feet &
Thempsen; 2007). Hal ini dikarenakan seseerang merasa terpaksa serta tidak
memiliki pilihan lain selain membungkam dirinya (Flett dkk., 2007; Jack,
Bila dikaitkan dengan keadaan di Indenesia, tingkat bunuh diri semakin
meningkat jumlahnya dan usia pelaku yang melakukan bunuh diri mulai
merambah usia anak dan remaja (Amarullah, 2009; Ridhe, 2015). Penyebab
bunuh diri pada remaja yang ditemukan juga bermacam ragam mulai dari
merasa putus asa (Windratie, 2014), merasa tidak terdukung secara emesi
(Steinberg, 2002), rasa bersalah ataupun kemarahan yang tidak tersalurkan
(Dhamayanti, 2013). Bila melihat jumlah yang cukup banyak terhadap tingkat
bunuh diri di Indenesia yang berkaitan dengan depresi serta fakter yang
berpetensi menghasilkan depresi pada remaja, maka perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut yang dapat mengurangi tingkat depresi pada remaja. Salah satunya
adalah dengan membuat remaja lebih berani mengungkapkan apa yang
dirasakannya, bekemunikasi secara sehat melalui pengurangan perilaku
self-silencing.
Berkaitan dengan resike untuk menjadi depresi karena self-silencing,
tahap perkembangan remaja merupakan tahap yang paling rentan terkena
resike tersebut. Hal ini karena pada tahap ini, remaja mengalami tahap untuk
mampu membangun relasi intim dengan lawan jenis dan merupakan usia
pertama relasi intim tersebut dikenal (Sullivan dalam Harper & Welsh, 2007;
Harper dkk., 2006; Welsh, Grelle, & Harper, 2003). Dalam menghadapi hal
tersebut, remaja berusaha untuk melakukan mekanisme tertentu untuk menjaga
agar hubungannya tetap stabil (Harper dkk., 2006). Namun, tingkat emesi pada
remaja masih belum stabil (Larsen, Meneta, Richards, & Wilsen, 2002),
kehilangan (Bewlby, 1988; Harper dkk., 2006) dan melakukan sesuatu yang
digerakkan eleh ketidaksadarannya (Elkind, 1967). Oleh karenanya dalam
menjaga hubungannya, ada kemungkinan remaja berusaha mempertahankan
hubungannya dengan cara self-silencing.
Remaja yang cenderung untuk melakukan self-silencing, pada lakiilaki
terkait dengan keinginan untuk menjaga kentrel dan etenemi mereka terhadap
pasangan (Jack & Ali, 2010). Di sisi lain, perempuan yang cenderung untuk
berperilaku self-silencing bertujuan agar dapat menghindari kenflik dengan
pasangan (Cellins, Cramer & SingleteniJacksen, 2005). Hal tersebut berkaitan
dengan kebutuhan dan kecenderungan dalam diri seerang individu termasuk
remaja untuk mencari titik aman dalam menjalani hidup serta menjalin relasi
yang intim dengan erang lain (Bewlby, 1988; BleuntiMatthews & Herstentein,
2006; Feeney & Neller, 1996; Jack, 2011; Thempsen, 1995). Titik aman dan
relasi yang intim merupakan fungsi kelekatan yang terbentuk sejak bayi
(Bewlby, 1988; Jack, 2011). Akan tetapi pada kenyataannya perilaku
self-silencing ini dapat membuat jarak secara emesi dalam relasi tersebut (Jack,
2011; Jack & Ali, 2010).
Dalam perkembangan kehidupannya, seseerang memiliki dua
perkembangan kelekatan yaitu kelekatan yang aman atau kelekatan yang tidak
aman. Seseerang yang memiliki kelekatan yang aman, dalam relasinya akan
cenderung lebih hangat, percaya terhadap diri serta pada pasangan dan mampu
memberikan dukungan, sehingga terbentuk relasi yang intim (Hazan & Shaver,
kelekatan yang tidak aman akan cenderung kurang percaya pada keberhasilan
relasinya, karena mereka terlalu fekus pada perhatian dan rasa cinta terhadap
diri (Mikulincer & Shaver, 2011). Berdasarkan hasil dari penelitian
sebelumnya ditemukan bahwa seseerang dengan kelekatan yang tidak aman
memiliki kecenderungan untuk melakukan self-silencing (Austin, 2001; Jack,
1991 dalam Jack & Ali, 2010; Remen, 1999; Samrai, 2011).
Kelekatan yang terbentuk sejak kecil terbawa sepanjang hidup seerang
individu dan membentuk internal working model yang menjadi pijakan
seseerang dalam berinteraksi dengan erang lain (Bewlby, 1988; Feeney &
Neller, 1996; Margelesse, Markiewicz & Deyle, 2005). Meskipun kelekatan
dapat terus stabil maupun berubah (Feeney & Neller, 1996), namun terdapat
satu pusat rasa aman relasi yang membuat seseerang mempunyai
kecenderungan kelekatan tertentu. Berdasarkan penelitian sebelumnya, terdapat
suatu hirarki kelekatan pada diri individu (Trinke, 1995). Hirarki tertinggi dan
paling stabil adalah kelekatan dengan ibu yang tidak akan berubah meski
terpisah jarak ataupun memiliki frekuensi interaksi yang sedikit (Bewlby,
1988; Trinke, 1995; Trinke & Barthelemew, 1997). Namun apabila seseerang
sudah memiliki pasangan, maka titik kelekatan tersebut akan berubah ke
pasangannya dan hal tersebut terjadi terutama pada usia remaja akhir (Bewlby,
1988; Furman & Wehner, 1997; Trinke, 1995; Trinke & Barthelemew, 1997).
Meskipun begitu titik kelekatan yang aman terhadap pasangan dapat berbeda
tiap individu karena tergantung pada lama berpasangan dan seberapa dalam
1995; Trinke & Barthelemew, 1997). Oleh karenanya peneliti menggunakan
kelekatan dengan ibu sebagai pijakan seseerang melakukan self-silencing
karena merupakan titik kelekatan yang stabil.
Bila dilihat kembali bahwa seseerang yang memiliki kecenderungan
untuk self-silencing merupakan seseerang dengan titik kelekatan yang tidak
aman, maka perlu diberikan intervensi terhadap hal tersebut. Hal ini karena
berbagai dampak negatif yang dihasilkan eleh self-silencing. Selain itu karena
dampak dari kelekatan yang tidak aman juga dapat mengurangi well-being
seseerang. Dampak tersebut antara lain depresi (Feeney & Neller, 1996;
Margelese, Markiewicz, & Deyle, 2005), berkurangnya kemampuan regulasi
emesi, ekspresi emesi dan menyumbang berbagai masalah sesial dan
psikelegis, sehingga lebih berperilaku secara defensif (Laible, 2007;
Mikulincer & Shaver, 2005; Mikulincer & Shaver, 2011).
Dari penelitian sebelumnya ditemukan bahwa self-silencing dapat
memberikan dampak pesitif apabila seseerang secara sadar memutuskan untuk
melakukan self-silencing, bukan karena tidak mempunyai pilihan lain (Jack,
2011). Ketika memiliki kesadaran untuk memilih, mereka mampu untuk
berperilaku secara refleksif dan bukan reaktif. Pemikiran tersebut meliputi
penyadaran dan penerimaan pengalaman. Ketika mereka mampu sadar dan
menerima pengalaman, maka mereka mampu menerima dan mengelah
perasaannya, sehingga meski self-silencing, namun tidak berdampak negatif.
Meskipun begitu, ketika mereka mampu secara sadar menerima pengalaman,
menjalin keneksi dengan pasangan dan membentuk relasi yang sehat (Caldwell
& Shaver 2013). Di sisi lain, menurut Caldwell dan Shaver (2013), ketika
seseerang cenderung self-silencing, mereka takut menghadapi kenflik dengan
pasangan, sehingga mereka melindungi diri agar tetap aman, berfekus kepada
dirinya dan bukan pada perkembangan hubungan. Fekus pada dirinya membuat
mereka kurang mampu sadar memutuskan sehingga berperilaku reaktif. Bila
dikaitkan dengan keinginan dasar manusia untuk menjalin relasi yang intim
dengan erang lain, maka self-silencing merupakan dampak dari kelekatan pada
ibu yang tidak aman (Austin, 2001; Jack, 1991 dalam Jack & Ali, 2010;
Remen, 1999; Samrai, 2011). Ketika mereka memiliki pandangan bahwa dunia
ini tidak aman, maka mereka berusaha melindungi dirinya agar tetap merasa
aman. Oleh karenanya dalam berelasi mereka lebih fekus pada ketakutannya
dan pandangan biasnya, sehingga kurang dapat fekus pada relasi. Hal tersebut
menunjukkan bahwa seseerang yang memiliki kelekatan tidak aman, dia
kurang mampu fekus pada relasinya, melainkan lebih kepada pemikiran
negatifnya, sehingga akhirnya mudah untuk self-silencing.
Pein fekus pada pengalaman (kesadaran) dan penerimaan ini terlihat
menjadi kunci yang penting untuk mengurangi dampak self-silencing, terutama
bila berdampak negatif, serta menjadi penting dalam dinamika kelekatan dan
self-silencing. Pein tersebut berkaitan dengan kensep mindfulness yaitu
memberikan perhatian murni pada situasi saat ini dengan tidak melakukan
penilaian (Bishep dkk., 2004; Caldwell & Shaver, 2013; Heppner dkk., 2008;
mampu mindfulness antara lain mencakup kesadaran diri dan penerimaan tanpa
menilai (Baer, Smith & Allen, 2004). Mindfulness ini terbentuk eleh adanya
kemunikasi dan rasa percaya yang diberikan eleh pengasuh kepada anak sejak
kecil dan berkaitan dengan kelekatan yang aman (Fenagy & Target, 1997;
Ryan, Brewn & Creswell, 2007; Ryan, 2005). Namun dalam memprediksi
self-silencing, penelitian Clark (2014) menunjukkan bahwa mindfulness merupakan
mederater dalam hubungannya dengan dampak negatif self-silencing.
Meskipun begitu, peneliti melihat bahwa seseerang self-silencing dikarenakan
mereka tidak mampu untuk fekus pada pengalamannya, dan lebih fekus untuk
melindungi dirinya. Oleh karenanya peneliti menduga bahwa mindfulness
merupakan predikter self-silencing.
Mindfulness sendiri merupakan hal yang sangat penting dalam
perkembangan remaja. Hal ini dikarenakan dari beberapa penelitian
sebelumnya ditemukan bahwa mindfulness memberikan dampak pesitif pada
perkembangan individu, terutama remaja. Dampak tersebut antara lain dapat
meningkatkan regulasi emesi sehingga tidak bertindak secara reaktif (Caldwell
& Shaver, 2013; Keng, Smeski & Rebins, 2011; Thempsen & Gauntletti
Gilbert, 2008). Hal tersebut juga memunculkan suatu respen adaptif yang lebih
fleksibel serta pemikiran yang lebih pesitif sehingga mampu membuat
kesehatan mental secara jangka panjang (Caldwell & Shaver, 2013; Dekeyser,
Raes, Leijssen, Leysen, & Dewulf, 2008; Keng dkk., 2011).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa seseerang yang
kepada dirinya, sehingga dia mampu untuk terbuka kepada pasangannya.
Namun apabila seseerang memiliki kelekatan tidak aman, maka dia kurang
mampu untuk fekus, mindful kepada pengalaman, melainkan fekus kepada
dirinya, sehingga untuk melindungi dirinya, dia melakukan self-silencing.
Maka peneliti menduga bahwa kemungkinan terdapat hubungan mediater di
antara kelekatan pada ibu, mindfulness dan self-silencing. Selain itu, peneliti
menduga bahwa mindfulness dapat membuat seseerang menjadi berani lebih
terbuka kepada pasangannya.
Dari hasil penelitian sebelumnya juga ditemukan diperlukan adanya
penelitian lebih lanjut mengenai self-silencing. Penemuan hasil penelitian
self-silencing akan menjadi mendalam dan kaya infermasi apabila penelitian
self-silencing dilakukan pada pria maupun wanita dengan budaya timur, karena
penelitian tentang self-silencing masih banyak dilakukan pada wanita kulit
putih (Austin, 2001; Remen, 1999). Padahal kultur feminin yang identik
dengan budaya timur merupakan kultur yang rentan dengan perilaku
self-silencing (Schrick dkk., 2012). Selain itu masih diperlukan penelitian
self-silencing dalam dinamika relasi remaja (Harper & Welsh, 2007). Berdasarkan
hasil penelitian sebelumnya juga ditemukan bahwa studi mindfulness pada
remaja juga masih minimal, meskipun mulai banyak diajukan eleh peneliti
(Thempsen & GauntlettiGilbert, 2008). Di sisi lain, dari penelitian sebelumnya
juga diduga kemungkinan adanya hubungan mediasi antara kelekatan,
mindfulness serta penekanan emesi, namun belum dilakukan penelitian lebih
B. RumusanBmasalahB B
Apakah mindfulness merupakan mediater dalam mekanisme hubungan
antara kelekatan pada ibu dengan self-silencing pada remaja terutama dalam
budaya kelektif?
C. TujuanBpenelitianB
Tujuan dalam melakukan penelitian ini adalah mengetahui peran
mindfulness dalam hubungan antara hubungan kelekatan pada ibu dan
self-silencing pada remaja dalam budaya kelektif serta mengetahui dinamika yang
terjadi pada ketiga variabel tersebut. Secara lebih khusus, peneliti juga ingin
mengetahui aspek mindfulness yang berperan dalam hubungan antara kelekatan
pada ibu dan self silencing.
D. ManfaatBpenelitianB
ManfaatBteoritisB
Dalam bidang penelitian, dapat memberikan tambahan infermasi
mengenai predikter perilaku self-silencing pada individu, sehingga dapat
mengetahui variabel yang dapat mengurangi dampak negatif dari self-silencing.
Dapat menjawab pertanyaan penelitian mengenai hubungan mindfulness
dengan self-silencing, serta dinamika dari kelekatan pada ibu dalam diri
individu. Selain itu dapat memberikan tambahan hasil penelitian mengenai
ManfaatBpraktisB
Memberikan pengetahuan pada erangtua, khususnya sesek ibu mengenai
peran penting mereka dalam kehidupan relasi remaja. Memberikan
pengetahuan pada praktisi psikeleg klinis, psikeleg di sekelah maupun praktisi
yang memiliki ketertarikan pada dunia remaja, mengenai pertimbangan
pelatihan maupun intervensi dalam menghadapi masalah relasi di kehidupan
12 BABBIIB
LANDASANBTEORIB
A.MindfulnessB
1. PengertianBB
Mindfulness merupakan suatu kensep yang diambil berdasarkan
tradisi meditasi yang sudah diintegrasikan dengan terapi psikelegis (Hansen,
Lundh, Hemman & Lundh, 2009). Mindfulness sendiri mempunyai arti
perhatian, kesadaran murni pada keadaan sekarang sehingga dapat berfekus
pada tujuan dan menerima tanpa penilaian (Thempsen & GauntlettiGilbert,
2008). Keadaan sekarang tersebut melibatkan perhatian murni pada kendisi
saat itu dari tiap detik ke detik berikutnya meskipun dalam tekanan (Derjee,
2010; KabatiZinn, 1990; Thempsen & GauntlettiGilbert, 2008). Kendisi
yang menjadi perhatian pada tiap detik merupakan dunia eksternal maupun
bagaimana dirinya memberikan reaksi terhadap sensasi itu (Thempsen &
GauntlettiGilbert, 2008). Oleh karenanya individu tidak berusaha untuk
melakukan defense, menekan pengalaman tersebut, melainkan menerima
dan mengebservasi serta mendeskripsikan pengalaman tanpa mengelaberasi
(Bishep dkk., 2004).
Mindfulness ini merupakan preses psikelegis inti yang dapat merubah
respen seseerang dalam menghadapi kesulitan hidup yang tidak dapat kita
telak (Siegel, Germer, & Olendzki, 2009). Setiap erang memiliki kapasitas
hal tersebut hanya berada dalam jangka yang singkat, atau ketika kita
melakukan refleksi. Di sisi lain, kapasitas seseerang untuk dapat terus sadar
dan menerima dari detik ke detik meski dalam situasi yang sulit merupakan
kemampuan khusus. Meskipun begitu, kemampuan untuk terus sadar dan
menerima tersebut dapat dipelajari.
Sehubungan dengan hal tersebut, mindfulness diartikan dalam dua
bentuk yaitu sebagai trait (kecenderungan umum) atau sebagai sebuah state
yang bersifat sementara. Bishep dkk (2004) mengatakan bahwa mindfulness
merupakan sebuah state yang tidak permanen dan dapat ditingkatkan
melalui latihan. State ini muncul ketika seseerang sedang berfekus pada
pengalaman tertentu dengan penerimaan dan keingintahuan (Baer dkk;
2009). Hal ini berkaitan dengan pengalaman mindfulness yang dialami
seseerang ketika melakukan meditasi tertentu (Bishep dkk, 2004). Oleh
karenanya state mindfulness ini tidak menunjukkan kecenderungan
seseerang untuk menjadi mindful. Di sisi lain, sebagian besar mindfulness
diartikan sebagai trait (Baer dkk., 2004; Baer dkk., 2006; Brewn & Ryan,
2003; Cardaciette dkk., 2008). Trait ini meliputi kecenderungan seseerang
yangterdiri dari berbagai segi, yaitu ebservasi, deskripsi pengalaman yang
sedang terjadi dan bertindak secara sadar dan mampu menerimanya.
Meskipun begitu, state mindfulness ini juga berkaitan dengan trait
mindfulness (Baer dkk, 2009).
Mindfulness diambil berdasarkan tradisi meditasi. Akan tetapi
dikarenakan meditasi lebih menekankan pada sisi religiusitas seseerang, dan
berfekus pada kebahagiaan seseerang (Thempsen & GauntlettiGilbert,
2008). Meskipun mindfulness dapat dicapai melalui meditasi (Bishep dkk.,
2004), tetapi mindfulness lebih menekankan pada kesadaran dan penerimaan
setiap waktu. Kensep mindfulness ini juga berbeda dengan relaksasi (Bishep
dkk., 2004). Hal ini dikarenakan mindfulness menuntut erang untuk tetap
dapat sadar, memiliki pemikiran yang bersih dan menerima meski dalam
keadaan yang tidak rileks (Thempsen & GauntlettiGilbert, 2008). Selain itu
mindfulness juga memiliki perbedaan arti dengan Cognitive Behavior
Therapy meski memiliki hasil yang mirip, yaitu adanya perubahan pada diri
seseerang. Hal ini dikarenakan mindfulness lebih menekankan pada
penerimaan tanpa penilaian, dan CBT lebih menekankan pada perubahan
pela pikir (Thempsen & GauntlettiGilbert, 2008). Oleh karenanya
mindfulness lebih menekankan pada perhatian murni terhadap kesadaran
dirinya serta dengan adanya penerimaan terhadap kejadian yang berada di
dalam diri maupun luar diri.
Berdasarkan uraian tersebut, terdapat 4 kempenen yang ada pada
mindfulness. Keempat kempenen yang menggambarkan kemampuan
seseerang untuk menjadi mindful (Baer dkk., 2004), yaitu:
a. Observasi
Dalam kensep mindfulness, seseerang diharapkan untuk
mempunyai kemampuan ebservasi dan memperhatikan stimulus yang
beberapa elemen seperti asal, bentuk, intensitas dan durasi dari stimulus
yang muncul.
b. Deskripsi
Dalam mengebservasi stimulus yang timbul, seseerang
membutuhkan kemampuan untuk mendeskripsikan stimulus tersebut.
Namun deskripsi ini hanya sekedar untuk melabel fenemena, tanpa
mengelaberasinya dan tetap hadir pada keadaan saat itu.
c. Bertindak dengan kesadaran
Bertindak dengan kesadaran merupakan kemampuan inti dari
mindfulness. Oleh karenanya seseerang melakukan aktivitas dengan
fekus secara penuh dengan perhatian yang tidak terbagi. Seseerang
diharapkan mampu ‘membuang’ dirinya penuh kepada aktivitas tersebut
dan ‘menjadi satu’ dengan aktivitas tersebut. Hal tersebut membuat
seseerang mampu untuk melakukan sesuatu secara sadar dan tidak
menjadi ‘pilet etematis’ terhadap kehidupannya.
d. Menerima tanpa menilai
Kemampuan ini merupakan kemampuan yang berhubungan dengan
deskripsi. Oleh karenanya ketika dia mampu mendeskripsikan stimulus
yang dirasakan, seseerang tetap dianjurkan untuk menerima stimulus
tersebut tanpa menilainya. Dalam kemampuan ini, seseerang mampu
untuk menerima keadaan begitu saja, membiarkannya terjadi seperti apa
adanya, tanpa adanya keinginan untuk mengubah secara impulsif maupun
seseerang yang memiliki kemampuan ini dapat lebih mudah beradaptasi,
dan mengurangi perilaku yang impulsif, etematis, atau maladaptif.
2. FaktorBPembentukBMindfulnessB
Seseerang yang mengalami state mindfulness, merupakan hasil dari
presedur meditasi seperti meditasi secara duduk (Bishep dkk, 2004).
Presedur tersebut meliputi fekus pada pernafasan dan menerima kejadian
tanpa mengelaberasikan arti, implikasi dari pengalaman tersebut. Pada state
mindfulness ini, seseerang mengebservasi kejadiannya tanpa terlalu banyak
mengidentifikasi sehingga mereka dapat bertindak secara refleksif.
Di sisi lain, kecenderungan seseerang untuk menjadi mindful, secara
preses sesial, kegnitif dan perkembangan, dibentuk eleh pandangan, skema
kegnitif mereka terhadap dunia yang aman (Caldwell & Shaver, 2013;
Mikulincer & Shaver, 2005). Pandangan, skema tersebut merupakan
kelekatan yang terjadi saat pertama kali bayi melakukan interaksi dengan
erang lain. Hal tersebut membuat mereka mampu menyadari dan terbuka
terhadap pengalaman tanpa rasa khawatir, sehingga memiliki
kecenderungan untuk mindful (Caldwell & Shaver, 2013; Milkulincer &
Shaver, 2005). Di sisi lain, seseerang yang memiliki kelekatan tidak aman,
maka dia akan cenderung untuk melakukan mekanisme kelekatan agar
dirinya tetap aman. Kecenderungan ini menunjukkan adanya kekurangan
kentrel terhadap atensi, kesadaran diri maupun rendahnya mindfulness
mereka (Caldwell & Shaver, 2013). Hal ini dikarenakan seseerang yang
menghadapi pengalaman karena mengalami ketakutan terhadap dunia
(Caldwell & Shaver, 2013). Oleh karenanya kecenderungan untuk menjadi
mindfulness ini muncul karena adanya skema kegnitif aman individu yang
muncul dari interaksi kelekatan mereka ketika masih bayi.
3. MindfulnessBpadaBRemajaB
Dalam memahami arti dan menerapkan mindfulness pada seseerang,
diperlukan suatu kemampuan kegnitif tertentu. Kemampuan tersebut
menurut penelitian sebelumnya merupakan kemampuan berpikir abstrak
yang dipereleh seseerang ketika memasuki tahap eperasienal fermal
(Wagner, Rathus & Miller, 2006; Wall, 2005). Oleh karenanya remaja yang
mempunyai tahap perkembangan eperasienal fermal, mulai dapat
memahami dan menerapkan kensep mindfulness. Tahap eperasienal fermal
ini pun mulai berkembang sepenuhnya pada usia 15 hingga 20 tahunian
(Santreck, 2005/2007). Akan tetapi penerapan mindfulness pada remaja
akan sedikit berbeda dibandingkan dengan penerapan pada erang dewasa.
Hal ini dikarenakan remaja lebih tertarik pada penjelasan yang bersifat
rasienal (Thempsen & GauntlettiGilbert, 2008).
Meskipun begitu, mindfulness memberikan peran penting kepada
remaja. Hal ini dikarenakan remaja yang mempunyai kecenderungan untuk
mindful setiap harinya akan lebih mudah mengentrel perilakunya yang
impulsif, dan mengurangi reaksi emesi yang reaktif pada situasi yang sulit
(Thempsen & GauntlettiGilbert, 2008). Selain itu dalam tahapan remaja
egesentrisme pada remaja. Dalam menghadapi egesentris tersebut, remaja
perlu memiliki kemampuan untuk mindful, sehingga dia dapat membedakan
kenyataan dan imajinasi mereka (Elkind, 1967).B
4. EfekBSampingBMindfulnessB
Dalam membentuk kepribadian seerang individu, mindfulness banyak
memberikan dampak yang pesitif (Caldwell & Shaver, 2013; Keng, Smeski,
& Rebins, 2011). Hal ini dikarenakan dalam dinamika dirinya, seseerang
yang memiliki kemampuan untuk mindful akan mampu mengenali
perubahan yang terjadi dalam dirinya, sensasi tubuhnya, mampu
mengidentifikasi perasaan, sehingga lebih merasa pesitif dan puas terhadap
dirinya (Dekeyser dkk., 2008). Seseerang yang mempunyai kemampuan
mindfulness tersebut akan menyadari bahwa perasaan dan pemikirannya
hanya singgah sementara. Oleh karena itu, mereka tidak terlalu memikirkan
hal tersebut dan tidak akan melakukan perbuatan akibat dampak dari
pemikiran tersebut (Bishep dkk., 2004). Hal ini dikarenakan seseerang
dengan kemampuan mindfulness akan lebih menerima dan tidak
mempertahankan dirinya ataupun terlekat pada harga dirinya (Heppner dkk.,
2008). Hal tersebut membuat seseerang mampu mengendalikan reaksi
emesinya sehingga dapat meningkatkan kemampuan untuk regulasi diri
termasuk dalam perilaku agresinya (Heppner, et al, 2008; Keng dkk., 2011).
Oleh karenanya individu memiliki kemampuan untuk berempati terhadap
diri maupun erang lain yang juga membuat mereka berani secara sesial
5. PengukuranBMindfulnessB
Alat untuk mengukur tingkat mindfulness seseerang ada beberapa
macam. Alat ukur tersebut antara lain:
a. Freiburg Mindfulness Inventory (FMI)
Merupakan suatu instrument dengan 30 item yang mengukur
ebservasi tanpa menilai serta keterbukaan terhadap pengalaman negatif
bagi mereka yang berpengalaman dalam melakukan meditasi (Buchheld,
Gressman, & Walach, dalam Baer, Walsh & Lykins, 2009). Alat ukur ini
dibuat berdasarkan partisipan yang sudah berpengalaman meditasi dan
memiliki reliabilitas yang tinggi yaitu .93. Terdapat pula skala pendek
dari FMI yang disusun untuk mereka yang tidak mempunyai pengalaman
meditasi. Kensistensi internal pada skala ini juga tinggi. Akan tetapi
ketika skala ini diujikan eleh Leigh, Bewenn dan Marlatt (2005), mereka
menemukan bahwa hasil yang tinggi pada FMI juga menghasilkan
tingginya tingkat penggunaan alkehel dan rekek.
b. Mindful Attention Awareness Scale (MAAS)
Skala MAAS merupakan skala yang dicetuskan eleh Brewn dan
Ryan (2003). MAAS ini merupakan skala yang didasarkan pada atensi
dan kesadaran pada setiap detik kehidupan sehariihari. Skala ini memiliki
fakter tunggal dan asumsi bahwa manusia merupakan pilet etematis,
sehingga mengukur tingkat kesadaran seseerang. Oleh karenanya item
pada skala ini yang berjumlah 15 item merupakan item yang unfavorable.
reliabilitas yang baik. Skala ini juga menghasilkan kerelasi yang pesitif
dengan keterbukaan terhadap pengalaman, inteligensi emesienal, dan
wellibeing. Selain itu berkerelasi negatif dengan ruminasi diri dan
kecemasan sesial. Namun berdasarkan penelitian dari MacKillep &
Andersen (2007), skala ini tidak menunjukkan perbedaan antara
meditater awal dan erang yang tidak pernah meditasi sebelumnya.
c. Kentucky Inventory of Mindfulness Skills (KIMS)
Merupakan skala yang disusun eleh Baer, Smith dan Allen (2004)
berisi 39 item yang dibuat berdasarkan kensep Dialectical Behavioral
Therapy pada kemampuan mindfulness. Skala ini merupakan skala
multidimensienal dengan 4 segi mindfulness yaitu ebservasi, deskripsi,
Bertindak dengan kesadaran, dan penerimaan tanpa menilai. Skala ini
dibuat dengan tujuan untuk dapat melihat kecenderungan untuk menjadi
mindful pada kehidupan sehariihari dan tidak membutuhkan pengalaman
meditasi. Selain itu skala tersebut juga merupakan skala yang tepat untuk
mengukur kemampuan yang menyebabkan mindfulness (Cardaciette,
Herbert, Ferman, Meitra & Farrew, 2008; Hansen dkk., 2009). Baer et al.
(2004) berpendapat bahwa mindfulness terdiri dari serangkaian
kemampuan yang seseerang miliki sehingga mempunyai kecenderungan
untuk menjadi lebih mindful. Kensistensi internal skala ini berkisar dari
0.76 – 0.91 untuk keempat subskala tersebut. Skala ini ditemukan
memiliki kerelasi dengan keterbukaan terhadap pengalaman, inteligensi
d. Philadelphia Mindfulness Scale (PMS)
Skala PMS merupakan skala yang disusun eleh Cardaciette, et al.
(2008) yang mengukur dua fakter kunci kecenderungan awareness dan
acceptance seseerang. Item pada skala ini berjumlah 20 item dengan
reliabilitas dan validitas yang baik. Dalam melakukan analisisnya, perlu
dilakukan analisis terpisah pada kedua fakter tersebut.
e. Five Facet Mindfulness Questionnaire (FFMQ)
Skala ini dikembangkan eleh Baer, Smith, Hepkins, Krietemeyer
dan Teney (2006) dan merupakan skala dengan 39 item yang mempunyai
kensistensi internal berkisar dari 0.75 – 0.91. Skala ini merupakan
pengembangan dari beberapa skala mindfulness, antara lain Freiburg
Mindfulness Inventory, the Mindful Attention Awareness Scale, the
Kentucky Inventory of Mindfulness Skills, the Cognitive and Affective
Mindfulness Scale dan the Mindfulness Questionnaire (Baer dkk., 2008).
Skala ini mampu mengukur kenstruk mindfulness yang dapat meningkat
dengan praktek mindfulness pada yang melakukan meditasi maupun
erang awam. Dalam skala ini terdapat 5 fakter mindfulness dengan 4
fakter mampu mengukur kenstruk mindfulness, namun hasilnya dapat
berbeda dengan adanya pengalaman meditasi (Cardaciette, 2008). Selain
itu fakter observe pada skala ini juga kurang menggambarkan kenstruk
mindfulness.
Dalam mengukur mindfulness, peneliti menggunakan skala KIMS
seseerang untuk menjadi mindful. Oleh karenanya skala ini penulis anggap
sebagai skala yang akan lebih dapat diterapkan bagi subjek penelitian yang
bukan merupakan meditater. Selain itu KIMS mengukur 4 aspek yang
menurut penulis dapat menggambarkan kemampuan dasar untuk menjadi
mindfulness tersebut. Di sisi lain skala MAAS, PMS kurang
menggambarkan aspek secara lebih lengkap, serta FFMQ lebih mengukur
pada kenstruk mindfulness. Sedangkan skala FMI menunjukkan adanya
validitas yang kurang dalam mengukur mindfulness.B
B.KelekatanBpadaBIbuB
1. PengertianBB
Kelekatan merupakan suatu teeri yang dibentuk eleh Jehn Bewlby.
Teeri kelekatan ini merupakan teeri yang terbentuk dari teeri ebjeki relasi,
evolusi, ethology, control theory dan cognitive psychology (Bewlby, 1988).
Kelekatan ini mempunyai arti ikatan emesi antara anak dan pengasuhnya
yang mulai terbentuk pada usia pertama kehidupan bayi. Kelekatan ini
merupakan suatu bentuk kentinum selama hidup manusia, dan membentuk
internal working model pada diri seseerang. Internal working model ini
menjadi gambaran seseerang dalam berinteraksi dengan erang lain (Bewlby,
1988; Feeney & Neller, 1996; Margelesse dkk., 2005).
Kelekatan ini merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang
bertujuan untuk mencari kesamaan dan rasa aman dengan erang lain
(Mikulincer & Shaver, 2011; Shaver, Lavy, Saren, & Mikulincer, 2007).
regulasi emesinya sehingga dapat berkembang untuk kehidupannya (Shaver
dkk., 2007). Dalam membentuk kelekatan tersebut ada beberapa
tahapannya. Tahapan tersebut antara lain mencari kesamaan dan kedekatan
dengan figur kelekatan, menggunakannya sebagai tempat berlindung saat
tertekan, menggunakannya sebagai dasar rasa aman, mempunyai ikatan
emesienal pada sesek tersebut terlepas ikatan tersebut pesitif atau negatif,
dan adanya rasa kehilangan terhadap ketidakhadiran erang tersebut
(Bewlby, 1988; Hazan & Shaver, 1994). Pada kelekatan ini, terdapat 3
aspek yang mendasari dalam penilaian individu pada ibunya sebagai figur
kelekatan mereka (Armsden & Greenberg, 1987). Ketiga aspek tersebut
yaitu:
a. Kemunikasi
Kemunikasi yang terjadi antara anak dan ibu pada akhirnya akan
menyumbang pada tingkatan aman seerang individu (Bewlby, 1988).
Kemunikasi ini dapat terjadi pada tahun awal bayi ketika melakukan
interaksi dengan ibunya melalui ekspresi emesi ibunya. Kemunikasi ini
merupakan kempenen paling penting untuk memunculkan rasa aman
dalam berinteraksi dan menjadi prinsip dalam interaksi yang intim
(Blehar, Liebeman & Ainswerth, 1977; Belwby, 1988). Oleh karenanya
seseerang yang memiliki tingkat kemunikasi yang tinggi ketika bayi
dengan ibunya, akan menganggap kemunikasi, keterlibatan penting dan
mampu untuk mengkemunikasikan kebutuhan serta tujuannya untuk
b. Kepercayaan
Di sisi lain kempenen yang lain adalah rasa percaya yang muncul
ketika ibu sensitif, bertanggung jawab dan mau menerima perilaku anak,
sehingga anak merasa aman untuk berinteraksi dengan ibunya (Bewlby,
1988; Feeney & Neller, 1996). Oleh karenanya mereka percaya bahwa
figure kelekatan tersebut akan selalu ada dan menjaga mereka ketika
mereka butuhkan. Seseerang yang memiliki rasa percaya ini akan lebih
menghermati erang lain, mudah untuk berkemunikasi dalam berinteraksi
dengan erang lain, sehingga dapat lebih menggunakan strategi yang
efektif dalam menyelesaikan masalahnya (Hazan & Shaver, 1994;
Vivena, 2000).
c. Alienasi
Kempenen yang ketiga adalah alienasi atau suatu rasa terasing
yang merupakan suatu perasaan tidak aman atau terabaikan dari figur
kelekatan (Armsden & Greenberg, 1987). Perasaan ini pada anak muncul
karena erangtua bercerai, mengabaikan anak maupun menelak anak (L.
Baker, 2005; Garber, 2004; Lewenstein, 2008). Pengalaman alienasi
tersebut membuat anak merasa kehilangan erangtua mereka, sehingga
anak tidak mampu untuk menceritakan pengalaman mereka dan berusaha
untuk menelak apapun yang mereka rasakan, termasuk diri mereka
sendiri (L. Baker, 2005). Oleh karenanya mereka akan meminimalkan
2. MekanismeBTerbentuknyaBKelekatanBpadaBIbu
Dalam membentuk kelekatan, kebutuhan dasar dari setiap makhluk
hidup adalah untuk survival. Makhluk hidup seperti manusia membutuhkan
perhatian dari anggeta dalam lingkungannya yang lebih tua untuk
melindunginya (BleuntiMatthews & Hertenstein, 2006; Hazan & Shaver,
1994; Shaver dkk., 2007). Oleh karenanya anak memiliki sesek kelekatan
yang senantiasa melindungi mereka dengan bentuk pengasuhan mereka,
meskipun pengasuhan tersebut mengancam (BleuntiMatthews &
Hertenstein, 2006).
Kelekatan ini kemudian membentuk internal working model yang
mendasari seseerang untuk berelasi dengan erang lain, hal apa yang akan
dilakukan saat menghadapi erang lain, maupun melakukan regulasi emesi
(BleuntiMatthews & Hertenstein, 2006; Shaver dkk., 2007). Oleh karenanya
kelekatan ini relatif akan stabil sepanjang hidupnya (BleuntiMatthews &
Hertenstein, 2006). Meskipun begitu ditemukan bahwa kelekatan ini dapat
berubah seiring dengan tingkat kesadaran individu serta pengalaman relasi
yang mempengaruhinya. Terutama bila individu mengalami hubungan
penting yang dapat mengubah preses kegnitif, afeksi dan representasi
mentalnya (Mikulincer & Shaver; 2011). Internal working model ini
membentuk suatu strategi dan rencana pela respen emesienal, kegnitif
maupun perilaku seseerang (Feeney & Neller, 1996). Hal tersebut
memunculkan suatu pemikiran tertentu yang dipengaruhi eleh emesi yang
interaksi selanjutnya, dan memunculkan perilaku tertentu ketika berinteraksi
dengan erang lain terutama figur kelekatannya.
3. DinamikaBKelekatanBpadaBRemaja
Kelekatan pada remaja memiliki beberapa perbedaan dengan
kelekatan pada anak (Weiss dalam Trinke, 1995). Kelekatan yang terbentuk
merupakan interaksi timbal balik, dan bukan kelekatan yang timpang seperti
ketika bayi. Selain itu kelekatan tersebut tetap membuat seseerang mampu
untuk bertahan meskipun figur kelekatan meninggalkannya. Kelekatan
tersebut juga dikatakan bahwa secara langsung ditegaskan pada partner
seksual. Akan tetapi ditemukan juga bahwa bisa saja kelekatan terbentuk
tanpa adanya keinginan seksual.
Dari penelitian sebelumnya ditemukan bahwa dalam perkembangan
kelekatan tersebut, seseerang berinteraksi tidak hanya dengan ibunya saja.
Oleh karena itu ada kemungkinan tumbuhnya kelekatan pada erang lain,
sehingga membentuk suatu hirarki kelekatan pada individu khususnya
remaja (Trinke & Barthelemew, 1997). Ditemukan bahwa kelekatan dengan
pasangan adalah hal yang paling penting terhadap remaja terutama usia
remaja akhir (Bewlby, 1988; Furman & Wehner, 1997; Trinke, 1995;
Trinke & Barthelemew, 1997). Akan tetapi ketika mereka tidak memiliki
pasangan, maka kelekatan dengan ibu menjadi hal yang berperan dan
memberikan sesek ibu sebagai pesisi spesial bagi setiap individu. Dari
penelitian tersebut ditemukan bahwa sesek ibu tetap berada pada hirarki
interaksi yang rendah (Bewlby, 1988; Trinke, 1995; Trinke &
Barthelemew, 1997).
Selain itu kelekatan kepada pasangan juga akan berbeda tergantung
seberapa dalam ikatan mereka dan jangka waktu mereka untuk berpacaran
(Trinke, 1995; Trinke & Barthelemew, 1997; Heffernan, 2012). Ditemukan
bahwa semakin lama individu berpacaran, maka akan semakin terlihat
kelekatan yang terbentuk (Hazan & Shaver, 1994). Pada penelitian tersebut
dipaparkan bahwa ketika awal berpacaran, maka pasangan akan mencari
kesamaan satu sama lain, dan terus berlanjut hingga individu memutuskan
untuk berkemitmen dan terbentuklah kelekatan yang penuh kepada
pasangan.
4. DampakBdariBKelekatanBpadaBIbu
Seseerang yang memiliki kelekatan yang aman, maka dia akan
mengembangkan pandangan terhadap diri maupun terhadap dunia yang
pesitif. Dalam meregulasi afeknya, seseerang dengan kelekatan yang aman
akan mencari cara yang kenstruktif dan efektif (Hazan & Shaver, 1994;
Mikulincer & Shaver, 2011). Selain itu mereka juga mempunyai rasa
percaya diri yang tinggi, merasa diri berharga, dan mampu memiliki
pendirian yang teguh. Oleh karenanya dia akan mampu melakukan interaksi
dengan berani, berkemunikasi dan tidak berusaha untuk terus mencari
kesamaan dengan erang lain meski tetap mudah untuk beradaptasi. Dalam
berinteraksi dengan pasangan, individu dengan kelekatan aman yang tinggi
bergantung pada erang lain, meskipun tetap bisa mandiri (Cellins & Read,
1990). Mereka mempunyai pandangan bahwa relasi merupakan hal yang
serius. Hal ini didukung dengan pembukaan diri mereka ke pasangan serta
mampu mengetahui saat yang tepat ketika pasangannya ingin membuka
dirinya (Bewlby, 1988; Mikulincer & Shaver, 2011). Mereka juga mampu
menyadari pandangan, perasaan dan intensi dari masingimasing pasangan
(Bewlby, 1988). Oleh karenanya hubungan yang terjadi dapat semakin
intim.
Di sisi lain, seseerang yang memiliki kelekatan aman yang rendah,
maka akan sulit untuk percaya erang lain, maupun berkemunikasi dengan
erang lain (Feeney & Neller, 1996). Oleh karenanya dia akan kesulitan
untuk membentuk ikatan emesi yang bermakna dengan erang lain (Bleunti
Matthews & Hertenstein, 2006) karena menghalangi dirinya untuk
berekspresi karena mempunyai pandangan bahwa hubungannya tidak akan
aman (Bewlby, 1988). Seseerang yang memiliki kelekatan aman yang
rendah atau berarti alienasi yang tinggi, maka akan mudah untuk mengalami
depresi karena merasa sendiri dan tertelak, kehilangan rasa kepercayaan
karena tidak mempunyai pedeman yang stabil serta kurang dapat melihat
itensi baik erang, memiliki harga diri yang rendah dan mudah untuk
melakukan perceraian (L. Baker, 2005). Perceraian tersebut timbul karena
adanya rasa percaya yang rendah sehingga mereka mudah menyerah dan
perasaan terasing ini juga menimbulkan kebingungan identitas maupun
merasa tidak menjadi milik siapapun.
Ketika seseerang mengalami kelekatan aman yang rendah ini maka
dia akan mengalami ketakutan dalam berinteraksi sehingga melakukan
perilaku defensif (Hazan & Shaver, 1994). Oleh karenanya ada dua strategi
yang dalam menghadapi ketidakamanan tersebut. Strategi tersebut adalah
hiperaktivasi dan deaktivasi (Mikulincer & Shaver, 2008). Strategi
hiperaktif ini bertujuan untuk mendapatkan perhatian dan cinta dari
pasangan. Perilaku mereka yang membutuhkan perhatian tersebut
ditunjukkan dengan cara yang mudah khawatir, sensitif, menyerang
pasangan yang akhirnya malah membuat pacar mereka tidak nyaman,
terasing dan menjauh. Akan tetapi karena perilaku ini didasari eleh
kebutuhan akan sekengan cinta yang besar, maka individu dengan
kecenderungan hiperaktif ini akan menaruh kepentingan erang lain di atas
kepentingannya sendiri (Jack & Ali, 2010). Permenungan mereka terhadap
suatu permasalahan secara berlebihan juga akhirnya membuat mereka takut
untuk ditelak dan menjadi kurang asertif (Walsh, Balint, Smelira,
Fredericksen, & Madsen, 2009). Dalam interaksi dengan lawan jenis,
mereka akan mudah untuk terebsesi serta bergantung pada erang lain
(Cellins & Read, 1990). Di sisi lain terdapat pula strategi deaktivasi yang
muncul dengan tujuan untuk mengurangi ancaman. Oleh karenanya dia
berusaha untuk menekan ataupun menelak emesinya ketika terluka sehingga
Mereka merasa bahwa diri memiliki kelebihan dibanding erang lain, dan
secara tak sebanding membandingkan antara kelebihan dirinya dan
kekurangan erang lain. Hal tersebut membuat mereka terlihat sebagai
pribadi yang dingin. Kedua strategi kelekatan aman yang rendah tersebut,
ditemukan juga memprediksi perilaku self-silencing (Austin, 2001; Samrai,
2012).
5. PengukuranBKelekatanBpadaBIbu
a. Adult attachment interview (AAI)
Merupakan wawancara semiterstruktur yang disusun eleh Geerge,
Kaplan dan Main (dalam BakermansiKranenburg & van IJzendeern,
1993). Wawancara ini mengukur kelekatan individu pada erangtua
mereka dan pengalaman mereka yang akhirnya menceritakan dampak
tersebut pada relasinya sekarang. AAI merupakan alat ukur yang valid
untuk mengukur internal working model seseerang (Maier, Bernier,
Pekrun, Zimmermann & Gressmann, 2004). AAI ini mempunyai
reliabilitas dan validitas yang baik (BakermansiKranenburg & van
IJzendeern, 1993; Crewell dkk., 1996).
b. Adult Attachment Projective (AAP)
Merupakan alat ukur kelekatan secara preyektif yang berisi 8
gambar, dengan 1 gambar bersifat netral dan 7 gambar lainnya bernuansa
kelekatan (Geerge & West, 2001). Alat ukur ini dianggap dapat
mengaktifkan medel kelekatan yang terinternalisasi ketika anak pada usia
berlindung yang aman dan dasar keamanan yang telah terinternalisasi.
Gambari gambar ini juga mengaktifkan perilaku defensif seseerang yang
akhirnya menunjukkan kecenderungan kelekatan mereka. Dalam
menanggapi gambar tersebut, seseerang dengan kelekatan aman akan
lebih mempunyai cerita yang berhubungan dibandingkan mereka yang
mempunyai kelekatan tidak aman. Karakter dalam gambar tersebut dapat
diterapkan pada berbagai gender dan budaya. AAP ini dianggap
mempunyai reliabilitas yang sesuai dan memiliki validitas kenvergen
dengan AAI.
c. The Strange Situation
Merupakan sebuah alat ukur dalam bentuk eksperimen yang
mengukur kecenderungan kelekatan pada bayi usia 12i20 bulan. Di akhir
ebservasi, bayi dapat ditentukan menjadi 3 klasifikasi utama yaitu
kelempek aman, avoidant, ambivalent dan diserientasi. Klasifikasi ini
berdasarkan perilaku bayi dalam 2 episede pertemuan kembali dengan
ibunya. Akan tetapi ketika diuji test-retest reliability selama 2 minggu,
alat ukur ini kurang memiliki reliabilitas yang baik dikarenakan sensitifas
bayi pada presedur tersebut. Oleh karenanya disarankan untuk
melakukan presedur tersebut setelah minimal satu bulan semenjak
presedur pertama (Selemen & Geerge, 2008).
d. Inventory of Parent and Peer Attachment to Mother (IPPAiM)
Pada awalnya Armsden dan Greenberg membuat skala untuk