• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mindfulness sebagai mediator dalam hubungan antara kelekatan pada ibu dan self-silencing pada remaja laki dan perempuan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Mindfulness sebagai mediator dalam hubungan antara kelekatan pada ibu dan self-silencing pada remaja laki dan perempuan."

Copied!
175
0
0

Teks penuh

(1)

MINDFULNESS SEBAGAI MEDIATOR DALAM HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN PADA IBU DAN SELF-SILENCING PADA REMAJA LAKI

DAN PEREMPUAN

Maria Kristanti Dara Novianta Widodo ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk melihat dinamika dalam pembentukan self-silencing

dengan dasar kelekatan pada ibu. Hipotesis peneliti adalah mindfulness memediatori hubungan antara kelekatan pada ibu dengan self-silencing. Untuk mengetahui dinamika tersebut, maka analisis mediator dilakukan dengan menggunakan SPSS 16.0. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja dengan rentang usia 13 – 22 tahun, dengan jumlah laki-laki sebanyak 216 subjek dan perempuan sebanyak 265 subjek. Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah IPPA-M, KIMS, dan STSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hubungan antara kelekatan pada ibu dan self-silencing pada remaja perempuan dimediatori oleh mindfulness pada kemampuan menerima tanpa menilai dan bertindak dengan kesadaran. Sedangkan kemampuan untuk deskripsi tidak diprediksi oleh kelekatan pada ibu. Kemampuan observasi tidak signifikan dalam memprediksi self-silencing baik pada remaja laki-laki maupun perempuan. Pada remaja laki-laki, tidak dapat dilakukan analisis mindfulness sebagai mediator karena kelekatan pada ibu tidak memprediksi self-silencing. Namun kemampuan mindfulness deskripsi, bertindak dengan kesadaran dan menerima tanpa menilai dapat memprediksi self-silencing. Studi ini mengajak para peneliti dengan minat sama untuk mengetahui secara lebih mendalam pada dinamika hubungan tersebut. Untuk pembahasan, keterbatasan penelitian dan saran juga akan dijelaskan.

(2)

MINDFULNESS AS MEDIATOR IN RELATION BETWEEN ATTACHMENT TO MOTHER AND SELF-SILENCING IN

ADOLESCENT BOYS AND GIRLS Maria Kristanti Dara Novianta Widodo

ABSTRACT

The aim of this study is to know the dynamics of self-silencing in based of attachment to mother. The hypothesis of the study is that mindfulness is a mediator in the relation between attachment to mother and self-silencing. In order to know these dynamics, researcher used the mediator analysis in SPSS 16.0. Subject in this study consist of adolescent in age range between 13 – 22 years, males 216 subjects and females 265 subjects. The scales used are IPPA-M, KIMS, and STSS. Results show that mindfulness, in particular the ability to act with awareness and accept without judgment, is a mediator in relations between attachment to mother and self-silencing in adolescent females. Besides, attachment to mother can’t predict the ability to describe. For both subject, the ability to observe is not significant in predict self-silencing. The mediation analysis can’t be apply for adolescent boys because attachment to mother can’t predict the self-silencing in this study. This study recommend to any researcher with the same curiosity to assess more about this relationship. For the discussion, limitedness of this study and the future research will be explained in this study.

(3)

MINDFULNESS SEBAGAI MEDIATOR DALAM HIBINGAN

ANTARA KELEKATAN PADA IBI DAN SELF-SILENCING PADA

REMAJA LAKI DAN PEREMPIAN

SKRSPSS

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana

Psikologi Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

Maria Kristanti Dara Novianta Widodo

119114152

PROGRAM STIDI PSIKOLOGI JIRISAN PSIKOLOGI

FAKILTAS PSIKOLOGI

INIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

iv

Halaman motto

Apapun yang telah kamu dapatkan hari ini, akan mempersiapkanmu

untuk masa depanmu nanti, jadi tetaplah semangat selalu 

Berusahalah semaksimal mungkin dan biarlah nanti Tuhan yang akan

menyempurnakannya 

“Datanglah kepadaKu semua yang letih dan berbeban berat, Aku akan

memberi kelegaan padamu” Matius 11:28

Masalah yang kita hadapi menjadi masalah bukan karena masalahnya,

tetapi karena sikap kita terhadap masalah itu.

Lakukan yang kamu cintai, cintai yang kamu lakukan :*

(7)

v

Halaman Persembahan

Tugas akhir isi, dara persembahkas ustuk mereka yasg selalu memberikas isspirasi, dukusgas das cista kepada dara:



Tuhas Yesus das Busda Maria yasg selalu mesusjukkas jalas yasg tertepat das terbaik ustuk dara, sehisgga semua Kau bestuk isdah pada waktusya. Semoga

skripsi isi dapat mesjadi salah satu bestuk ustuk dapat messyukuri das membagikas ilmu dalam mesjalasi kehidupas isi

Mama Giok tercista

Libertus Edwis Aditya

Mami, Papi, Ce Ria, Ko Hesdro, Felix, Asgel das Louissa

Sahabat-sahabat dara sejak kecil: Rista das Esy Mari kita belajar relasi yasg baik yaa

Sahabat das temas yasg juga sesama pejuasg: Asita, Putri, Vivi, Hervy, Asi, temas-temas kelas D das asgkatas 2011 Psikologi das temas-temas2 asgkatas 18 VL. Tetap

semasgattt

das kepada

Semua yasg sedasg mesjalis relasi romastis ataupus berkehesdak ustuk mesjalis relasi romastis 

ayoo perbaiki relasi das jasgas galau terus 

(8)
(9)

vii

MINDFULNESS SEBAGAI MEDIATOR DALAM HUBUNGAN ANTARA KELEKATAN PADA IBU DAN SELF-SILENCING PADA REMAJA LAKI

DAN PEREMPUAN

Maria Kristanti Dara Novianta Widodo ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk lelihat dinalika dalal pelbentukan self-silencing dengan dasar kelekatan pada ibu. Hipotesis peneliti adalah mindfulness lelediatori hubungan antara kelekatan pada ibu dengan self-silencing. Untuk lengetahui dinalika tersebut, laka analisis lediator dilakukan dengan lenggunakan SPSS 16.0. Subjek yang digunakan dalal penelitian ini adalah relaja dengan rentang usia 13 – 22 tahun, dengan jullah laki-laki sebanyak 216 subjek dan perelpuan sebanyak 265 subjek. Skala yang digunakan dalal penelitian ini adalah IPPA-M, KIMS, dan STSS. Hasil penelitian lenunjukkan bahwa hubungan antara kelekatan pada ibu dan self-silencing pada relaja perelpuan dilediatori oleh mindfulness pada kelalpuan lenerila tanpa lenilai dan bertindak dengan kesadaran. Sedangkan kelalpuan untuk deskripsi tidak diprediksi oleh kelekatan pada ibu. Kelalpuan observasi tidak signifikan dalal lelprediksi self-silencing baik pada relaja laki-laki laupun perelpuan. Pada relaja laki-laki, tidak dapat dilakukan analisis mindfulness sebagai lediator karena kelekatan pada ibu tidak lelprediksi self-silencing. Nalun kelalpuan mindfulness deskripsi, bertindak dengan kesadaran dan lenerila tanpa lenilai dapat lelprediksi self-silencing. Studi ini lengajak para peneliti dengan linat sala untuk lengetahui secara lebih lendalal pada dinalika hubungan tersebut. Untuk pelbahasan, keterbatasan penelitian dan saran juga akan dijelaskan.

(10)

viii

MINDFULNESS AS MEDIATOR IN RELATION BETWEEN ATTACHMENT TO MOTHER AND SELF-SILENCING IN

ADOLESCENT BOYS AND GIRLS Maria Kristanti Dara Novianta Widodo

ABSTRACT

The aim of this study is to know the dynamics of self-silencing in based of attachment to mother. The hypothesis of the study is that mindfulness is a mediator in the relation between attachment to mother and self-silencing. In order to know these dynamics, researcher used the mediator analysis in SPSS 16.0. Subject in this study consist of adolescent in age range between 13 – 22 years, males 216 subjects and females 265 subjects. The scales used are IPPA-M, KIMS, and STSS. Results show that mindfulness, in particular the ability to act with awareness and accept without judgment, is a mediator in relations between attachment to mother and self-silencing in adolescent females. Besides, attachment to mother can’t predict the ability to describe. For both subject, the ability to observe is not significant in predict self-silencing. The mediation analysis can’t be apply for adolescent boys because attachment to mother can’t predict the self-silencing in this study. This study recommend to any researcher with the same curiosity to assess more about this relationship. For the discussion, limitedness of this study and the future research will be explained in this study.

(11)
(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis ucapkan pada Tuhan Yesus, Bunda Maria atas

penyertaan dan rahmatnNya, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan

pembuatan skripsi ini. Begitu banyak perjuangan dalam bertanding dengan sendiri

sehingga akhirnya mau untuk berjuang dalam pengerjaan skripsi ini. Tentu dalam

pengerjaan skripsi ini ada banyak pihak yang senantiasa membuat penulis merasa

terdukung karena cinta dan dukungannya. Oleh karenanya penulis ingin

mengucapkan banyak terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Tarsisius Priyo Widianto, M.Si selaku dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma

2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si selaku Kepala Program Studi Universitas

Sanata Dharma

3. Bapak C. Siswa Widyatmoko, M. Psi selaku dosen pembimbing saya yang

tetap sabar dalam mendukung penyelesaian skripsi ini serta atas 3,5 tahun

mendampingi saya dalam mengenal dunia penelitian dan menjadi mentor

layaknya orang tua sendiri .

4. Bapak C. Wijoyo Adinugroho, M.Psi selaku dosen pembimbing akademik

saya dan kepala P2TKP tempat saya berdinamika selama setahun.

Terimakasih atas pengalaman yang luar biasa menyenangkan, sehingga

membawa perkembangan dalam diri saya. Terimakasih juga atas semua

(13)

xi

5. Mbak Elisabeth Haksi Mayawati, mentor, orang tua di psikologi yang luar

biasa sehingga dapat membuat 3,5 tahun di psikologi sungguh menjadi

momen yang tidak terduga dan membawa perkembangan terhadap diri 

6. Bapak Agung Santoso M.A. yang selalu membimbing saya ketika saya

mengalami kebingungan dengan segala jenis analisis statistik. Terimakasih

atas kebaikan dalam membagikan ilmu kepada saya, hingga saya dapat

lebih memahami dan berteman baik dengan statistik.

7. Ibu Dr. Tjipto Susana, terimakasih atas pendampingan ibu dalam

melakukan pengambilan data dalam teknik FGD. Terimakasih telah

mengajarkan kepada saya bagaimana untuk memahami orang lain. 

8. Seluruh dosen Fakultas Psikologi yang mampu memberikan inspirasi

hidup bagi saya, membuat saya mau untuk semakin mencintai psikologi

dan menerapkan ilmu ini dalam kehidupan seharinhari. 

9. Mas Gandung, Ibu Nanik, Mas Muji, Mas Doni, Pak Giek, Pak Rubi parkir

dan bapak parker ataupun karyawan lainnya yang senantiasa

menyemarakkan suasana di Fakultas Psikologi maupun kampus 3 USD ini,

sehingga kampus menjadi tempat yang mendukung proses belajar kami

untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

10. Kepala Sekolah, temannteman SMP, SMA dan mahasiswa yang telah

mendukung saya dalam pengumpulan data ini, termasuk karyawan di

Provinsi Yogyakarta, Dinas Penelitian, dan Bappeda Sleman. Terimakasih

(14)

xii

11. Mama yang selalu mendukung dara lewat halnhal kecil, selalu mendoakan

dara, selalu memenuhi kebutuhan dara seharinhari dan yang selalu

membuat dara tersenyum serta semangat bahkan ketika tertekan dalam

kehidupan seharinhari

12. Koko Edwin yang meski saat ini sedang samansama berjuang kuliah di

negeri seberang, namun tetap setia memberi semangat, cinta serta

dukungan lewat doa dan chat. Bentar lagi aku susul ya.. ^_^

13. Mami, Papi, Felix, Ce Ria, Ko Hendro, Angel, Louissa sebagai keluarga

baru dara yang senantiasa memberi dukungan dan rasa hangat sebagai

keluarga, sehingga dara tetap semangat menjalani hidup

14. Rinta sahabat dari kecilku yang manis dan sekarang sudah semakin

dewasa, menjadi gadis yang smart serta berprinsip, Anita teman van Lith

ku yang hingga sekarang terus berjuang bersama di psikologi ini, Putri

teman menggila bersama yang senantiasa semangat dan ceria menjalani

hidup, Vivi teman sesama ldr yang unyu dan ceria serta Hervy teman yang

begitu keibuan, lucu dan begitu ngefans dengan Mas Duta. Ani yang selalu

kuat dan sportif, teman berdiskusi yang akhirnya berujung pada curhat.

Temanntemanku di Psikologi kelas D angkatan 2011 yang penuh canda

tawa dan kebersamaan. Terimakasih untuk segala perjuangan bersama ini.

15. Kelompok Riset Payung: Mb Fiona, Mb Ditha, Marlincung, Natan, Rinta

yang selalu mendukung dalam perjuangan kita untuk belajar penelitian,

belajar mengenai arti kelompok, pertemanan, suka, duka demi mencapai

(15)

xiii

16. Temen perjuangan P2TKP: Mbak Martha inpirasi untuk belajar menjadi

dewasa dan menghandle suatu acara, mbak Jeje yang menjadi inspirasi

buat jadi cewek, mb Alvia temen diskusi mengenai psikologi, mb Sherly,

mb Feny para pejuang LDR yang jadi inspirasi juga , Tutut martutut Tuti

yang lucu ngangenin dan ngegemesin, menginspirasi membuat teri medan

yang enak, Mas Lito, Mas Anju si jagonjago yang lucu, suka ngebanyol

tapi bertanggung jawab, dan Rinta hey ketemu lagi kita di sini .

17. Kelompok Riset Polikulturalisme: Mb Fiona, Anita, Sawilda, Samuel,

Angga yang begitu koplak dan membuat saya selalu tertawa meski yang

dilakukan adalah tugas penelitian. Semangat selalu buat kita ya ^_^

18. Temannteman van Lith angkatan 18 yang membuat penulis semakin

terpacu untuk segera menyelesaikan skripsi ini karena uploadan fotonfoto

pendadaran kalian. Maka tetap, 18 Siap tempurr!!

Akhir kata, dalam penelitian ini, penulis berharap dari penelitian ini dapat

membuat kita semua menyadari bahwa sebagai manusia yang tidak pernah jauh

dari interaksi sosial terutama relasi romantis, untuk dapat membangun hubungan

yang sehat. Meskipun begitu, penulis masih mengharapkan kritik dan saran yang

membangun, agar penelitian ini dapat semakin menyumbang perkembangan ilmu

kita ini. Terimakasih .

Yogyakarta, 15 Juli 2015

(16)

xiv DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Persetujuan Dosen Pembimbing ... ii

Halaman Pengesahan ... iii

Halaman Motto ... iv

Halaman Persembahan ... v

Halaman Pernyataan Keaslian Karya ... vi

Abstrak ... vii

Abstract ... viii

Halaman Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah... ix

Kata Pengantar ... x

Daftar Isi... xiv

Daftar Tabel ... xviii

Daftar Gambar ... xx

Daftar Lampiran ... xxii

Bab I Pendahuluan ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

Manfaat teoretis ... 10

Manfaat Praktis ... 11

(17)

xv

A. Mindfulness ... 12

1. Pengertian ... 12

2. Faktor pembentuk mindfulness ... 16

3. Mindfulness pada remaja ... 16

4. Efek samping mindfulness ... 17

5. Pengukuran mindfulness ... 18

B. Kelekatan Pada Ibu ... 22

1. Pengertian ... 22

2. Mekanisme terbentuknya kelekatan pada ibu ... 24

3. Dinamika kelekatan pada remaja ... 25

4. Dampak dari kelekatan pada ibu ... 27

5. Pengukuran kelekatan pada ibu ... 30

C. Self-Silencing ... 32

1. Pengertian dan aspek ... 32

2. Dinamika terbentuknya Self-Silencing ... 34

3. Self-silencing pada lakinlaki ... 35

4. Self-silencing pada remaja ... 37

5. Dampak negatif self-silencing ... 38

6. Pengukuran Self-silencing ... 39

D. Remaja ... 40

1. Pengertian dan perkembangan remaja ... 40

2. Dinamika relasi dalam perkembangan remaja ... 42

(18)

xvi

1. Dinamika ketiga variabel ... 43

2. Kaitan dengan budaya kolektif ... 49

F. Bagan ... 50

G. Hipotesis ... 51

Bab III Metode Penelitian ... 53

A. Jenis Penelitian ... 53

B. Variabel Penelitian ... 53

C. Definisi Operasional ... 54

1. Mindfulness ... 54

2. Kelekatan pada ibu ... 55

3. Self-silencing ... 55

D. Subjek Penelitian ... 56

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 57

1. Metode pengumpulan data ... 57

2. Alat pengumpulan data ... 58

F. Validitas Dan Reliabilitas ... 60

1. Validitas ... 60

2. Reliabilitas ... 65

G. Uji Analisis Data ... 68

1. Uji Prasyarat analisis ... 68

2. Uji hipotesis ... 69

Bab IV Hasil Penelitian Dan Pembahasan ... 73

(19)

xvii

B. Pelaksanaan Penelitian ... 74

C. Gambaran subjek penelitian ... 75

1. Data demografis ... 75

2. Hasil rerata subjek terhadap skala ... 76

D. Hasil Penelitian ... 79

1. Uji Asumsi ... 79

2. Uji Hipotesis ... 82

E. Pembahasan ... 91

F. Keterbatasan Penelitian ... 103

Bab V Kesimpulan dan Saran ... 105

A. Kesimpulan ... 105

B. Saran ... 106

Daftar Pustaka ... 110

(20)

xviii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Hasil ratanrata subjek pada skala kelekatan pada ibu ... 76

Tabel 2. Hasil ratanrata subjek pada skala Mindfulness ... 77

Tabel 3. Hasil ratanrata subjek pada skala Self-Silencing ... 78

Tabel 4. Hasil Uji Asumsi ... 80

Tabel 5. Hasil RegresiKelekatan pada ibu ke mindfulness observasi ... 82

Tabel 6.Hasil Regresi Kelekatan pada ibu ke mindfulness deskripsi ... 83

Tabel 7. Hasil Regresi Kelekatan pada ibu ke mindfulness bertindak dengan kesadaran ... 84

Tabel 8. Hasil RegresiKelekatan pada ibu ke mindfulness menerima tanpa menilai ... 85

Tabel 9. Hasil RegresiKelekatan pada ibu ke self-silencing ... 86

Tabel 10. Hasil RegresiKelekatan pada ibu–mindfulness-self-silencing ... 87

Tabel 11. Hasil Uji ReliabilitasSkalaKelekatan pada ibu ... 127

Tabel 12. Hasil Uji ReliabilitasSkala Mindfulness Observasi ... 129

Tabel 13. Hasil Uji Reliabilitas Skala Mindfulness Deskripsi ... 130

Tabel 14. Hasil Uji Reliabilitas Skala Mindfulness Bertindak dengan kesadaran ... 131

Tabel 15. Hasil Uji Reliabilitas Skala Mindfulness Menerima tanpa menilai ... 132

Tabel 16. Hasil Uji Reliabilitas Skala Self-Silencing ... 133

(21)

xix

Tabel 18. KisinKisi Skala Kentucky Inventory of Mindfulness Skills... 135

(22)

xx

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bagan dinamika antar variabel ... 51

Gambar 2. Deskripsi dinamika antar variabel ... 52

Gambar 3. Grafik Normal P-P Plot Standardized Residuals Kelekatan dengan ibu

– Mindfulness Observasi ... 121

Gambar 4.Grafik Normal P-P Plot Standardized Residuals Kelekatan dengan ibu

– Mindfulness Deskripsi ... 121

Gambar 5.Grafik Normal P-P Plot Standardized Residuals Kelekatan dengan ibu

– Mindfulness Bertindak dengan Kesadaran ... 122

Gambar 6.Grafik Normal P-P Plot Standardized Residuals Kelekatan dengan ibu

– Mindfulness Menerima tanpa menilai ... 122

Gambar 7.Grafik Normal P-P Plot Standardized Residuals Kelekatan dengan ibu

– Self-Silencing ... 123

Gambar 8. Grafik Normal P-P Plot Standardized Residuals Kelekatan dengan ibu

- Mindfulness Observasi, Deskripsi, Bertindak dengan Kesadaran,

Menerima tanpa menilai – Self-Silencing ... 123

Gambar 9. Scatterplot Kelekatan dengan ibu – Mindfulness Observasi ... 124

Gambar 10. Scatterplot Kelekatan dengan ibu – Mindfulness Deskripsi ... 124

Gambar 11. Scatterplot Kelekatan dengan ibu – Mindfulness Bertindak dengan

Kesadaran ... 125

Gambar 12. Scatterplot Kelekatan dengan ibu – Mindfulness Menerima tanpa

menilai ... 125

(23)

xxi

Gambar 14. Scatterplot Kelekatan dengan ibu- Mindfulness Observasi, Deskripsi,

Bertindak dengan Kesadaran, Menerima tanpa menilai– Self-Silencing

(24)

xxii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A. Uji Asumsi Normalitas ... 121

Lampiran B. Uji Asumsi Heteroskedastisitas dan Uji Asumsi Linearitas .... 124

Lampiran C. Tabel uji reliabilitas skala ... 127

Lampiran D. Kisinkisi masingnmasing skala yang digunakan ... 135

Lampiran E. Skala Pengukuran ... 136

Lampiran F. Skala Kelekatan pada ibu ... 139

Lampiran G. Skala Mindfulness ... 142

Lampiran H. Skala Self-Silencing ... 146

(25)

1 BABBIB

PENDAHULUANB

B B A.LatarBBelakangB

“Sakit sama perasaan sendiri karena nggak bisa ngungkapin”(Pepatah, Twitter)

“Kadang, karena tak ingin menyakiti perasaan seseorang, kamu penuhi apa yang dia inginkan. Dan tanpa kamu sadari, dirimulah yang terluka”

“Satu hal yang lo ga pernah tau gue lagi ngetik “wkwkwk” sambil nangis buat jaga perasaan lo” (Quotes Life, Line)

Kalimat tersebut akhiriakhir ini merupakan kalimat yang sering terlihat

di status media sesial tertentu yang akhirnya disukai eleh banyak erang.

Kalimat yang menggambarkan bahwa seseerang tidak berani mengungkapkan

apa yang dirasakan, apa yang dipikirkan kepada erang lain, terutama pada

pasangannya. Bila dilihat dari kecenderungan seseerang yang terungkap dalam

kalimat tersebut, sejalan dengan kensep yang bernama self-silencing.

Self-silencing berarti seseerang berusaha untuk menekan apa yang dipikirkannya

dan dirasakan untuk tetap menjaga keutuhan relasi (Harper & Welsh, 2007;

Jack & Ali, 2010; Jack & Dill, 1992; Remen, Chambless & Redebaugh, 2002).

Kecenderungan untuk self-silencing ini juga erat hubungannya dengan budaya

di Indenesia yang cenderung kelektif dan bersifat feminin (Hefstede, 1983).

Dalam budaya kelektif, seseerang mempunyai kecenderungan untuk menjaga

perilakunya seperti tidak menampilkan emesi negatif mereka di depan erang

yang dekat dengan mereka (Hefstede, 1983; Jack, Pekharel & Subba, 2010;

(26)

menampilkan emesi, maka dapat mengganggu hubungan interaksi antara satu

individu dengan yang lain, padahal mereka diharapkan mampu untuk menjaga

relasi dengan erang lain (Hefstede, 1983; Matsumete & Juang, 2008). Hal

tersebut sejalan dengan apa yang disebut dengan self-silencing.

Meskipun self-silencing merupakan suatu bentuk mekanisme dalam

menjaga kestabilan suatu hubungan (Flett, Besser, Hewitt & Davis, 2007; Jack

& Dill, 1992), namun self-silencing mempunyai dampak negatif yang dapat

mengurangi well-being seseerang (Jack, 2011). Beberapa penelitian

sebelumnya menemukan bahwa self-silencing berkerelasi pesitif dengan

rendahnya harga diri (Cramer, Gallant & Langleis, 2005, Harper & Welsh,

2007; Schrick, Sharp, Zvenkevic & Reifman, 2012), ketidakpuasan dalam

menjalin relasi (Thempsen, 1995), gangguan makan (Sheuse, Nilssen, 2011;

Zaitseff, Geller, & Srikameswaran, 2002), sensivitas terhadap penelakan

(Harper, Dicksen, & Welsh, 2006; RemereiCanyas, Reddy, Redriguez, &

Dewney, 2013), kehilangan identitas diri dan merasa teriselasi (Jack, 2011;

Jerdan, 2010). Selain itu terdapat salah satu dampak dari perilaku self-silencing

yang kensisten ditemukan lewat penelitian sebelumnya yaitu depresi (Cramer

dkk., 2005; Flett, Besser, Hewitt & Davis; 2007; Gratch, Bassett & Attra, 1995;

Jack, 2011; Little, Welsh, Darling & Helmes; 2011; Schrick dkk., 2012;

Thempsen, 1995; Thempsen, Whiffen & Aube, 2001; Whiffen, Feet &

Thempsen; 2007). Hal ini dikarenakan seseerang merasa terpaksa serta tidak

memiliki pilihan lain selain membungkam dirinya (Flett dkk., 2007; Jack,

(27)

Bila dikaitkan dengan keadaan di Indenesia, tingkat bunuh diri semakin

meningkat jumlahnya dan usia pelaku yang melakukan bunuh diri mulai

merambah usia anak dan remaja (Amarullah, 2009; Ridhe, 2015). Penyebab

bunuh diri pada remaja yang ditemukan juga bermacam ragam mulai dari

merasa putus asa (Windratie, 2014), merasa tidak terdukung secara emesi

(Steinberg, 2002), rasa bersalah ataupun kemarahan yang tidak tersalurkan

(Dhamayanti, 2013). Bila melihat jumlah yang cukup banyak terhadap tingkat

bunuh diri di Indenesia yang berkaitan dengan depresi serta fakter yang

berpetensi menghasilkan depresi pada remaja, maka perlu dilakukan penelitian

lebih lanjut yang dapat mengurangi tingkat depresi pada remaja. Salah satunya

adalah dengan membuat remaja lebih berani mengungkapkan apa yang

dirasakannya, bekemunikasi secara sehat melalui pengurangan perilaku

self-silencing.

Berkaitan dengan resike untuk menjadi depresi karena self-silencing,

tahap perkembangan remaja merupakan tahap yang paling rentan terkena

resike tersebut. Hal ini karena pada tahap ini, remaja mengalami tahap untuk

mampu membangun relasi intim dengan lawan jenis dan merupakan usia

pertama relasi intim tersebut dikenal (Sullivan dalam Harper & Welsh, 2007;

Harper dkk., 2006; Welsh, Grelle, & Harper, 2003). Dalam menghadapi hal

tersebut, remaja berusaha untuk melakukan mekanisme tertentu untuk menjaga

agar hubungannya tetap stabil (Harper dkk., 2006). Namun, tingkat emesi pada

remaja masih belum stabil (Larsen, Meneta, Richards, & Wilsen, 2002),

(28)

kehilangan (Bewlby, 1988; Harper dkk., 2006) dan melakukan sesuatu yang

digerakkan eleh ketidaksadarannya (Elkind, 1967). Oleh karenanya dalam

menjaga hubungannya, ada kemungkinan remaja berusaha mempertahankan

hubungannya dengan cara self-silencing.

Remaja yang cenderung untuk melakukan self-silencing, pada lakiilaki

terkait dengan keinginan untuk menjaga kentrel dan etenemi mereka terhadap

pasangan (Jack & Ali, 2010). Di sisi lain, perempuan yang cenderung untuk

berperilaku self-silencing bertujuan agar dapat menghindari kenflik dengan

pasangan (Cellins, Cramer & SingleteniJacksen, 2005). Hal tersebut berkaitan

dengan kebutuhan dan kecenderungan dalam diri seerang individu termasuk

remaja untuk mencari titik aman dalam menjalani hidup serta menjalin relasi

yang intim dengan erang lain (Bewlby, 1988; BleuntiMatthews & Herstentein,

2006; Feeney & Neller, 1996; Jack, 2011; Thempsen, 1995). Titik aman dan

relasi yang intim merupakan fungsi kelekatan yang terbentuk sejak bayi

(Bewlby, 1988; Jack, 2011). Akan tetapi pada kenyataannya perilaku

self-silencing ini dapat membuat jarak secara emesi dalam relasi tersebut (Jack,

2011; Jack & Ali, 2010).

Dalam perkembangan kehidupannya, seseerang memiliki dua

perkembangan kelekatan yaitu kelekatan yang aman atau kelekatan yang tidak

aman. Seseerang yang memiliki kelekatan yang aman, dalam relasinya akan

cenderung lebih hangat, percaya terhadap diri serta pada pasangan dan mampu

memberikan dukungan, sehingga terbentuk relasi yang intim (Hazan & Shaver,

(29)

kelekatan yang tidak aman akan cenderung kurang percaya pada keberhasilan

relasinya, karena mereka terlalu fekus pada perhatian dan rasa cinta terhadap

diri (Mikulincer & Shaver, 2011). Berdasarkan hasil dari penelitian

sebelumnya ditemukan bahwa seseerang dengan kelekatan yang tidak aman

memiliki kecenderungan untuk melakukan self-silencing (Austin, 2001; Jack,

1991 dalam Jack & Ali, 2010; Remen, 1999; Samrai, 2011).

Kelekatan yang terbentuk sejak kecil terbawa sepanjang hidup seerang

individu dan membentuk internal working model yang menjadi pijakan

seseerang dalam berinteraksi dengan erang lain (Bewlby, 1988; Feeney &

Neller, 1996; Margelesse, Markiewicz & Deyle, 2005). Meskipun kelekatan

dapat terus stabil maupun berubah (Feeney & Neller, 1996), namun terdapat

satu pusat rasa aman relasi yang membuat seseerang mempunyai

kecenderungan kelekatan tertentu. Berdasarkan penelitian sebelumnya, terdapat

suatu hirarki kelekatan pada diri individu (Trinke, 1995). Hirarki tertinggi dan

paling stabil adalah kelekatan dengan ibu yang tidak akan berubah meski

terpisah jarak ataupun memiliki frekuensi interaksi yang sedikit (Bewlby,

1988; Trinke, 1995; Trinke & Barthelemew, 1997). Namun apabila seseerang

sudah memiliki pasangan, maka titik kelekatan tersebut akan berubah ke

pasangannya dan hal tersebut terjadi terutama pada usia remaja akhir (Bewlby,

1988; Furman & Wehner, 1997; Trinke, 1995; Trinke & Barthelemew, 1997).

Meskipun begitu titik kelekatan yang aman terhadap pasangan dapat berbeda

tiap individu karena tergantung pada lama berpasangan dan seberapa dalam

(30)

1995; Trinke & Barthelemew, 1997). Oleh karenanya peneliti menggunakan

kelekatan dengan ibu sebagai pijakan seseerang melakukan self-silencing

karena merupakan titik kelekatan yang stabil.

Bila dilihat kembali bahwa seseerang yang memiliki kecenderungan

untuk self-silencing merupakan seseerang dengan titik kelekatan yang tidak

aman, maka perlu diberikan intervensi terhadap hal tersebut. Hal ini karena

berbagai dampak negatif yang dihasilkan eleh self-silencing. Selain itu karena

dampak dari kelekatan yang tidak aman juga dapat mengurangi well-being

seseerang. Dampak tersebut antara lain depresi (Feeney & Neller, 1996;

Margelese, Markiewicz, & Deyle, 2005), berkurangnya kemampuan regulasi

emesi, ekspresi emesi dan menyumbang berbagai masalah sesial dan

psikelegis, sehingga lebih berperilaku secara defensif (Laible, 2007;

Mikulincer & Shaver, 2005; Mikulincer & Shaver, 2011).

Dari penelitian sebelumnya ditemukan bahwa self-silencing dapat

memberikan dampak pesitif apabila seseerang secara sadar memutuskan untuk

melakukan self-silencing, bukan karena tidak mempunyai pilihan lain (Jack,

2011). Ketika memiliki kesadaran untuk memilih, mereka mampu untuk

berperilaku secara refleksif dan bukan reaktif. Pemikiran tersebut meliputi

penyadaran dan penerimaan pengalaman. Ketika mereka mampu sadar dan

menerima pengalaman, maka mereka mampu menerima dan mengelah

perasaannya, sehingga meski self-silencing, namun tidak berdampak negatif.

Meskipun begitu, ketika mereka mampu secara sadar menerima pengalaman,

(31)

menjalin keneksi dengan pasangan dan membentuk relasi yang sehat (Caldwell

& Shaver 2013). Di sisi lain, menurut Caldwell dan Shaver (2013), ketika

seseerang cenderung self-silencing, mereka takut menghadapi kenflik dengan

pasangan, sehingga mereka melindungi diri agar tetap aman, berfekus kepada

dirinya dan bukan pada perkembangan hubungan. Fekus pada dirinya membuat

mereka kurang mampu sadar memutuskan sehingga berperilaku reaktif. Bila

dikaitkan dengan keinginan dasar manusia untuk menjalin relasi yang intim

dengan erang lain, maka self-silencing merupakan dampak dari kelekatan pada

ibu yang tidak aman (Austin, 2001; Jack, 1991 dalam Jack & Ali, 2010;

Remen, 1999; Samrai, 2011). Ketika mereka memiliki pandangan bahwa dunia

ini tidak aman, maka mereka berusaha melindungi dirinya agar tetap merasa

aman. Oleh karenanya dalam berelasi mereka lebih fekus pada ketakutannya

dan pandangan biasnya, sehingga kurang dapat fekus pada relasi. Hal tersebut

menunjukkan bahwa seseerang yang memiliki kelekatan tidak aman, dia

kurang mampu fekus pada relasinya, melainkan lebih kepada pemikiran

negatifnya, sehingga akhirnya mudah untuk self-silencing.

Pein fekus pada pengalaman (kesadaran) dan penerimaan ini terlihat

menjadi kunci yang penting untuk mengurangi dampak self-silencing, terutama

bila berdampak negatif, serta menjadi penting dalam dinamika kelekatan dan

self-silencing. Pein tersebut berkaitan dengan kensep mindfulness yaitu

memberikan perhatian murni pada situasi saat ini dengan tidak melakukan

penilaian (Bishep dkk., 2004; Caldwell & Shaver, 2013; Heppner dkk., 2008;

(32)

mampu mindfulness antara lain mencakup kesadaran diri dan penerimaan tanpa

menilai (Baer, Smith & Allen, 2004). Mindfulness ini terbentuk eleh adanya

kemunikasi dan rasa percaya yang diberikan eleh pengasuh kepada anak sejak

kecil dan berkaitan dengan kelekatan yang aman (Fenagy & Target, 1997;

Ryan, Brewn & Creswell, 2007; Ryan, 2005). Namun dalam memprediksi

self-silencing, penelitian Clark (2014) menunjukkan bahwa mindfulness merupakan

mederater dalam hubungannya dengan dampak negatif self-silencing.

Meskipun begitu, peneliti melihat bahwa seseerang self-silencing dikarenakan

mereka tidak mampu untuk fekus pada pengalamannya, dan lebih fekus untuk

melindungi dirinya. Oleh karenanya peneliti menduga bahwa mindfulness

merupakan predikter self-silencing.

Mindfulness sendiri merupakan hal yang sangat penting dalam

perkembangan remaja. Hal ini dikarenakan dari beberapa penelitian

sebelumnya ditemukan bahwa mindfulness memberikan dampak pesitif pada

perkembangan individu, terutama remaja. Dampak tersebut antara lain dapat

meningkatkan regulasi emesi sehingga tidak bertindak secara reaktif (Caldwell

& Shaver, 2013; Keng, Smeski & Rebins, 2011; Thempsen & Gauntletti

Gilbert, 2008). Hal tersebut juga memunculkan suatu respen adaptif yang lebih

fleksibel serta pemikiran yang lebih pesitif sehingga mampu membuat

kesehatan mental secara jangka panjang (Caldwell & Shaver, 2013; Dekeyser,

Raes, Leijssen, Leysen, & Dewulf, 2008; Keng dkk., 2011).

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa seseerang yang

(33)

kepada dirinya, sehingga dia mampu untuk terbuka kepada pasangannya.

Namun apabila seseerang memiliki kelekatan tidak aman, maka dia kurang

mampu untuk fekus, mindful kepada pengalaman, melainkan fekus kepada

dirinya, sehingga untuk melindungi dirinya, dia melakukan self-silencing.

Maka peneliti menduga bahwa kemungkinan terdapat hubungan mediater di

antara kelekatan pada ibu, mindfulness dan self-silencing. Selain itu, peneliti

menduga bahwa mindfulness dapat membuat seseerang menjadi berani lebih

terbuka kepada pasangannya.

Dari hasil penelitian sebelumnya juga ditemukan diperlukan adanya

penelitian lebih lanjut mengenai self-silencing. Penemuan hasil penelitian

self-silencing akan menjadi mendalam dan kaya infermasi apabila penelitian

self-silencing dilakukan pada pria maupun wanita dengan budaya timur, karena

penelitian tentang self-silencing masih banyak dilakukan pada wanita kulit

putih (Austin, 2001; Remen, 1999). Padahal kultur feminin yang identik

dengan budaya timur merupakan kultur yang rentan dengan perilaku

self-silencing (Schrick dkk., 2012). Selain itu masih diperlukan penelitian

self-silencing dalam dinamika relasi remaja (Harper & Welsh, 2007). Berdasarkan

hasil penelitian sebelumnya juga ditemukan bahwa studi mindfulness pada

remaja juga masih minimal, meskipun mulai banyak diajukan eleh peneliti

(Thempsen & GauntlettiGilbert, 2008). Di sisi lain, dari penelitian sebelumnya

juga diduga kemungkinan adanya hubungan mediasi antara kelekatan,

mindfulness serta penekanan emesi, namun belum dilakukan penelitian lebih

(34)

B. RumusanBmasalahB B

Apakah mindfulness merupakan mediater dalam mekanisme hubungan

antara kelekatan pada ibu dengan self-silencing pada remaja terutama dalam

budaya kelektif?

C. TujuanBpenelitianB

Tujuan dalam melakukan penelitian ini adalah mengetahui peran

mindfulness dalam hubungan antara hubungan kelekatan pada ibu dan

self-silencing pada remaja dalam budaya kelektif serta mengetahui dinamika yang

terjadi pada ketiga variabel tersebut. Secara lebih khusus, peneliti juga ingin

mengetahui aspek mindfulness yang berperan dalam hubungan antara kelekatan

pada ibu dan self silencing.

D. ManfaatBpenelitianB

ManfaatBteoritisB

Dalam bidang penelitian, dapat memberikan tambahan infermasi

mengenai predikter perilaku self-silencing pada individu, sehingga dapat

mengetahui variabel yang dapat mengurangi dampak negatif dari self-silencing.

Dapat menjawab pertanyaan penelitian mengenai hubungan mindfulness

dengan self-silencing, serta dinamika dari kelekatan pada ibu dalam diri

individu. Selain itu dapat memberikan tambahan hasil penelitian mengenai

(35)

ManfaatBpraktisB

Memberikan pengetahuan pada erangtua, khususnya sesek ibu mengenai

peran penting mereka dalam kehidupan relasi remaja. Memberikan

pengetahuan pada praktisi psikeleg klinis, psikeleg di sekelah maupun praktisi

yang memiliki ketertarikan pada dunia remaja, mengenai pertimbangan

pelatihan maupun intervensi dalam menghadapi masalah relasi di kehidupan

(36)

12 BABBIIB

LANDASANBTEORIB

A.MindfulnessB

1. PengertianBB

Mindfulness merupakan suatu kensep yang diambil berdasarkan

tradisi meditasi yang sudah diintegrasikan dengan terapi psikelegis (Hansen,

Lundh, Hemman & Lundh, 2009). Mindfulness sendiri mempunyai arti

perhatian, kesadaran murni pada keadaan sekarang sehingga dapat berfekus

pada tujuan dan menerima tanpa penilaian (Thempsen & GauntlettiGilbert,

2008). Keadaan sekarang tersebut melibatkan perhatian murni pada kendisi

saat itu dari tiap detik ke detik berikutnya meskipun dalam tekanan (Derjee,

2010; KabatiZinn, 1990; Thempsen & GauntlettiGilbert, 2008). Kendisi

yang menjadi perhatian pada tiap detik merupakan dunia eksternal maupun

bagaimana dirinya memberikan reaksi terhadap sensasi itu (Thempsen &

GauntlettiGilbert, 2008). Oleh karenanya individu tidak berusaha untuk

melakukan defense, menekan pengalaman tersebut, melainkan menerima

dan mengebservasi serta mendeskripsikan pengalaman tanpa mengelaberasi

(Bishep dkk., 2004).

Mindfulness ini merupakan preses psikelegis inti yang dapat merubah

respen seseerang dalam menghadapi kesulitan hidup yang tidak dapat kita

telak (Siegel, Germer, & Olendzki, 2009). Setiap erang memiliki kapasitas

(37)

hal tersebut hanya berada dalam jangka yang singkat, atau ketika kita

melakukan refleksi. Di sisi lain, kapasitas seseerang untuk dapat terus sadar

dan menerima dari detik ke detik meski dalam situasi yang sulit merupakan

kemampuan khusus. Meskipun begitu, kemampuan untuk terus sadar dan

menerima tersebut dapat dipelajari.

Sehubungan dengan hal tersebut, mindfulness diartikan dalam dua

bentuk yaitu sebagai trait (kecenderungan umum) atau sebagai sebuah state

yang bersifat sementara. Bishep dkk (2004) mengatakan bahwa mindfulness

merupakan sebuah state yang tidak permanen dan dapat ditingkatkan

melalui latihan. State ini muncul ketika seseerang sedang berfekus pada

pengalaman tertentu dengan penerimaan dan keingintahuan (Baer dkk;

2009). Hal ini berkaitan dengan pengalaman mindfulness yang dialami

seseerang ketika melakukan meditasi tertentu (Bishep dkk, 2004). Oleh

karenanya state mindfulness ini tidak menunjukkan kecenderungan

seseerang untuk menjadi mindful. Di sisi lain, sebagian besar mindfulness

diartikan sebagai trait (Baer dkk., 2004; Baer dkk., 2006; Brewn & Ryan,

2003; Cardaciette dkk., 2008). Trait ini meliputi kecenderungan seseerang

yangterdiri dari berbagai segi, yaitu ebservasi, deskripsi pengalaman yang

sedang terjadi dan bertindak secara sadar dan mampu menerimanya.

Meskipun begitu, state mindfulness ini juga berkaitan dengan trait

mindfulness (Baer dkk, 2009).

Mindfulness diambil berdasarkan tradisi meditasi. Akan tetapi

(38)

dikarenakan meditasi lebih menekankan pada sisi religiusitas seseerang, dan

berfekus pada kebahagiaan seseerang (Thempsen & GauntlettiGilbert,

2008). Meskipun mindfulness dapat dicapai melalui meditasi (Bishep dkk.,

2004), tetapi mindfulness lebih menekankan pada kesadaran dan penerimaan

setiap waktu. Kensep mindfulness ini juga berbeda dengan relaksasi (Bishep

dkk., 2004). Hal ini dikarenakan mindfulness menuntut erang untuk tetap

dapat sadar, memiliki pemikiran yang bersih dan menerima meski dalam

keadaan yang tidak rileks (Thempsen & GauntlettiGilbert, 2008). Selain itu

mindfulness juga memiliki perbedaan arti dengan Cognitive Behavior

Therapy meski memiliki hasil yang mirip, yaitu adanya perubahan pada diri

seseerang. Hal ini dikarenakan mindfulness lebih menekankan pada

penerimaan tanpa penilaian, dan CBT lebih menekankan pada perubahan

pela pikir (Thempsen & GauntlettiGilbert, 2008). Oleh karenanya

mindfulness lebih menekankan pada perhatian murni terhadap kesadaran

dirinya serta dengan adanya penerimaan terhadap kejadian yang berada di

dalam diri maupun luar diri.

Berdasarkan uraian tersebut, terdapat 4 kempenen yang ada pada

mindfulness. Keempat kempenen yang menggambarkan kemampuan

seseerang untuk menjadi mindful (Baer dkk., 2004), yaitu:

a. Observasi

Dalam kensep mindfulness, seseerang diharapkan untuk

mempunyai kemampuan ebservasi dan memperhatikan stimulus yang

(39)

beberapa elemen seperti asal, bentuk, intensitas dan durasi dari stimulus

yang muncul.

b. Deskripsi

Dalam mengebservasi stimulus yang timbul, seseerang

membutuhkan kemampuan untuk mendeskripsikan stimulus tersebut.

Namun deskripsi ini hanya sekedar untuk melabel fenemena, tanpa

mengelaberasinya dan tetap hadir pada keadaan saat itu.

c. Bertindak dengan kesadaran

Bertindak dengan kesadaran merupakan kemampuan inti dari

mindfulness. Oleh karenanya seseerang melakukan aktivitas dengan

fekus secara penuh dengan perhatian yang tidak terbagi. Seseerang

diharapkan mampu ‘membuang’ dirinya penuh kepada aktivitas tersebut

dan ‘menjadi satu’ dengan aktivitas tersebut. Hal tersebut membuat

seseerang mampu untuk melakukan sesuatu secara sadar dan tidak

menjadi ‘pilet etematis’ terhadap kehidupannya.

d. Menerima tanpa menilai

Kemampuan ini merupakan kemampuan yang berhubungan dengan

deskripsi. Oleh karenanya ketika dia mampu mendeskripsikan stimulus

yang dirasakan, seseerang tetap dianjurkan untuk menerima stimulus

tersebut tanpa menilainya. Dalam kemampuan ini, seseerang mampu

untuk menerima keadaan begitu saja, membiarkannya terjadi seperti apa

adanya, tanpa adanya keinginan untuk mengubah secara impulsif maupun

(40)

seseerang yang memiliki kemampuan ini dapat lebih mudah beradaptasi,

dan mengurangi perilaku yang impulsif, etematis, atau maladaptif.

2. FaktorBPembentukBMindfulnessB

Seseerang yang mengalami state mindfulness, merupakan hasil dari

presedur meditasi seperti meditasi secara duduk (Bishep dkk, 2004).

Presedur tersebut meliputi fekus pada pernafasan dan menerima kejadian

tanpa mengelaberasikan arti, implikasi dari pengalaman tersebut. Pada state

mindfulness ini, seseerang mengebservasi kejadiannya tanpa terlalu banyak

mengidentifikasi sehingga mereka dapat bertindak secara refleksif.

Di sisi lain, kecenderungan seseerang untuk menjadi mindful, secara

preses sesial, kegnitif dan perkembangan, dibentuk eleh pandangan, skema

kegnitif mereka terhadap dunia yang aman (Caldwell & Shaver, 2013;

Mikulincer & Shaver, 2005). Pandangan, skema tersebut merupakan

kelekatan yang terjadi saat pertama kali bayi melakukan interaksi dengan

erang lain. Hal tersebut membuat mereka mampu menyadari dan terbuka

terhadap pengalaman tanpa rasa khawatir, sehingga memiliki

kecenderungan untuk mindful (Caldwell & Shaver, 2013; Milkulincer &

Shaver, 2005). Di sisi lain, seseerang yang memiliki kelekatan tidak aman,

maka dia akan cenderung untuk melakukan mekanisme kelekatan agar

dirinya tetap aman. Kecenderungan ini menunjukkan adanya kekurangan

kentrel terhadap atensi, kesadaran diri maupun rendahnya mindfulness

mereka (Caldwell & Shaver, 2013). Hal ini dikarenakan seseerang yang

(41)

menghadapi pengalaman karena mengalami ketakutan terhadap dunia

(Caldwell & Shaver, 2013). Oleh karenanya kecenderungan untuk menjadi

mindfulness ini muncul karena adanya skema kegnitif aman individu yang

muncul dari interaksi kelekatan mereka ketika masih bayi.

3. MindfulnessBpadaBRemajaB

Dalam memahami arti dan menerapkan mindfulness pada seseerang,

diperlukan suatu kemampuan kegnitif tertentu. Kemampuan tersebut

menurut penelitian sebelumnya merupakan kemampuan berpikir abstrak

yang dipereleh seseerang ketika memasuki tahap eperasienal fermal

(Wagner, Rathus & Miller, 2006; Wall, 2005). Oleh karenanya remaja yang

mempunyai tahap perkembangan eperasienal fermal, mulai dapat

memahami dan menerapkan kensep mindfulness. Tahap eperasienal fermal

ini pun mulai berkembang sepenuhnya pada usia 15 hingga 20 tahunian

(Santreck, 2005/2007). Akan tetapi penerapan mindfulness pada remaja

akan sedikit berbeda dibandingkan dengan penerapan pada erang dewasa.

Hal ini dikarenakan remaja lebih tertarik pada penjelasan yang bersifat

rasienal (Thempsen & GauntlettiGilbert, 2008).

Meskipun begitu, mindfulness memberikan peran penting kepada

remaja. Hal ini dikarenakan remaja yang mempunyai kecenderungan untuk

mindful setiap harinya akan lebih mudah mengentrel perilakunya yang

impulsif, dan mengurangi reaksi emesi yang reaktif pada situasi yang sulit

(Thempsen & GauntlettiGilbert, 2008). Selain itu dalam tahapan remaja

(42)

egesentrisme pada remaja. Dalam menghadapi egesentris tersebut, remaja

perlu memiliki kemampuan untuk mindful, sehingga dia dapat membedakan

kenyataan dan imajinasi mereka (Elkind, 1967).B

4. EfekBSampingBMindfulnessB

Dalam membentuk kepribadian seerang individu, mindfulness banyak

memberikan dampak yang pesitif (Caldwell & Shaver, 2013; Keng, Smeski,

& Rebins, 2011). Hal ini dikarenakan dalam dinamika dirinya, seseerang

yang memiliki kemampuan untuk mindful akan mampu mengenali

perubahan yang terjadi dalam dirinya, sensasi tubuhnya, mampu

mengidentifikasi perasaan, sehingga lebih merasa pesitif dan puas terhadap

dirinya (Dekeyser dkk., 2008). Seseerang yang mempunyai kemampuan

mindfulness tersebut akan menyadari bahwa perasaan dan pemikirannya

hanya singgah sementara. Oleh karena itu, mereka tidak terlalu memikirkan

hal tersebut dan tidak akan melakukan perbuatan akibat dampak dari

pemikiran tersebut (Bishep dkk., 2004). Hal ini dikarenakan seseerang

dengan kemampuan mindfulness akan lebih menerima dan tidak

mempertahankan dirinya ataupun terlekat pada harga dirinya (Heppner dkk.,

2008). Hal tersebut membuat seseerang mampu mengendalikan reaksi

emesinya sehingga dapat meningkatkan kemampuan untuk regulasi diri

termasuk dalam perilaku agresinya (Heppner, et al, 2008; Keng dkk., 2011).

Oleh karenanya individu memiliki kemampuan untuk berempati terhadap

diri maupun erang lain yang juga membuat mereka berani secara sesial

(43)

5. PengukuranBMindfulnessB

Alat untuk mengukur tingkat mindfulness seseerang ada beberapa

macam. Alat ukur tersebut antara lain:

a. Freiburg Mindfulness Inventory (FMI)

Merupakan suatu instrument dengan 30 item yang mengukur

ebservasi tanpa menilai serta keterbukaan terhadap pengalaman negatif

bagi mereka yang berpengalaman dalam melakukan meditasi (Buchheld,

Gressman, & Walach, dalam Baer, Walsh & Lykins, 2009). Alat ukur ini

dibuat berdasarkan partisipan yang sudah berpengalaman meditasi dan

memiliki reliabilitas yang tinggi yaitu .93. Terdapat pula skala pendek

dari FMI yang disusun untuk mereka yang tidak mempunyai pengalaman

meditasi. Kensistensi internal pada skala ini juga tinggi. Akan tetapi

ketika skala ini diujikan eleh Leigh, Bewenn dan Marlatt (2005), mereka

menemukan bahwa hasil yang tinggi pada FMI juga menghasilkan

tingginya tingkat penggunaan alkehel dan rekek.

b. Mindful Attention Awareness Scale (MAAS)

Skala MAAS merupakan skala yang dicetuskan eleh Brewn dan

Ryan (2003). MAAS ini merupakan skala yang didasarkan pada atensi

dan kesadaran pada setiap detik kehidupan sehariihari. Skala ini memiliki

fakter tunggal dan asumsi bahwa manusia merupakan pilet etematis,

sehingga mengukur tingkat kesadaran seseerang. Oleh karenanya item

pada skala ini yang berjumlah 15 item merupakan item yang unfavorable.

(44)

reliabilitas yang baik. Skala ini juga menghasilkan kerelasi yang pesitif

dengan keterbukaan terhadap pengalaman, inteligensi emesienal, dan

wellibeing. Selain itu berkerelasi negatif dengan ruminasi diri dan

kecemasan sesial. Namun berdasarkan penelitian dari MacKillep &

Andersen (2007), skala ini tidak menunjukkan perbedaan antara

meditater awal dan erang yang tidak pernah meditasi sebelumnya.

c. Kentucky Inventory of Mindfulness Skills (KIMS)

Merupakan skala yang disusun eleh Baer, Smith dan Allen (2004)

berisi 39 item yang dibuat berdasarkan kensep Dialectical Behavioral

Therapy pada kemampuan mindfulness. Skala ini merupakan skala

multidimensienal dengan 4 segi mindfulness yaitu ebservasi, deskripsi,

Bertindak dengan kesadaran, dan penerimaan tanpa menilai. Skala ini

dibuat dengan tujuan untuk dapat melihat kecenderungan untuk menjadi

mindful pada kehidupan sehariihari dan tidak membutuhkan pengalaman

meditasi. Selain itu skala tersebut juga merupakan skala yang tepat untuk

mengukur kemampuan yang menyebabkan mindfulness (Cardaciette,

Herbert, Ferman, Meitra & Farrew, 2008; Hansen dkk., 2009). Baer et al.

(2004) berpendapat bahwa mindfulness terdiri dari serangkaian

kemampuan yang seseerang miliki sehingga mempunyai kecenderungan

untuk menjadi lebih mindful. Kensistensi internal skala ini berkisar dari

0.76 – 0.91 untuk keempat subskala tersebut. Skala ini ditemukan

memiliki kerelasi dengan keterbukaan terhadap pengalaman, inteligensi

(45)

d. Philadelphia Mindfulness Scale (PMS)

Skala PMS merupakan skala yang disusun eleh Cardaciette, et al.

(2008) yang mengukur dua fakter kunci kecenderungan awareness dan

acceptance seseerang. Item pada skala ini berjumlah 20 item dengan

reliabilitas dan validitas yang baik. Dalam melakukan analisisnya, perlu

dilakukan analisis terpisah pada kedua fakter tersebut.

e. Five Facet Mindfulness Questionnaire (FFMQ)

Skala ini dikembangkan eleh Baer, Smith, Hepkins, Krietemeyer

dan Teney (2006) dan merupakan skala dengan 39 item yang mempunyai

kensistensi internal berkisar dari 0.75 – 0.91. Skala ini merupakan

pengembangan dari beberapa skala mindfulness, antara lain Freiburg

Mindfulness Inventory, the Mindful Attention Awareness Scale, the

Kentucky Inventory of Mindfulness Skills, the Cognitive and Affective

Mindfulness Scale dan the Mindfulness Questionnaire (Baer dkk., 2008).

Skala ini mampu mengukur kenstruk mindfulness yang dapat meningkat

dengan praktek mindfulness pada yang melakukan meditasi maupun

erang awam. Dalam skala ini terdapat 5 fakter mindfulness dengan 4

fakter mampu mengukur kenstruk mindfulness, namun hasilnya dapat

berbeda dengan adanya pengalaman meditasi (Cardaciette, 2008). Selain

itu fakter observe pada skala ini juga kurang menggambarkan kenstruk

mindfulness.

Dalam mengukur mindfulness, peneliti menggunakan skala KIMS

(46)

seseerang untuk menjadi mindful. Oleh karenanya skala ini penulis anggap

sebagai skala yang akan lebih dapat diterapkan bagi subjek penelitian yang

bukan merupakan meditater. Selain itu KIMS mengukur 4 aspek yang

menurut penulis dapat menggambarkan kemampuan dasar untuk menjadi

mindfulness tersebut. Di sisi lain skala MAAS, PMS kurang

menggambarkan aspek secara lebih lengkap, serta FFMQ lebih mengukur

pada kenstruk mindfulness. Sedangkan skala FMI menunjukkan adanya

validitas yang kurang dalam mengukur mindfulness.B

B.KelekatanBpadaBIbuB

1. PengertianBB

Kelekatan merupakan suatu teeri yang dibentuk eleh Jehn Bewlby.

Teeri kelekatan ini merupakan teeri yang terbentuk dari teeri ebjeki relasi,

evolusi, ethology, control theory dan cognitive psychology (Bewlby, 1988).

Kelekatan ini mempunyai arti ikatan emesi antara anak dan pengasuhnya

yang mulai terbentuk pada usia pertama kehidupan bayi. Kelekatan ini

merupakan suatu bentuk kentinum selama hidup manusia, dan membentuk

internal working model pada diri seseerang. Internal working model ini

menjadi gambaran seseerang dalam berinteraksi dengan erang lain (Bewlby,

1988; Feeney & Neller, 1996; Margelesse dkk., 2005).

Kelekatan ini merupakan suatu bentuk perilaku manusia yang

bertujuan untuk mencari kesamaan dan rasa aman dengan erang lain

(Mikulincer & Shaver, 2011; Shaver, Lavy, Saren, & Mikulincer, 2007).

(47)

regulasi emesinya sehingga dapat berkembang untuk kehidupannya (Shaver

dkk., 2007). Dalam membentuk kelekatan tersebut ada beberapa

tahapannya. Tahapan tersebut antara lain mencari kesamaan dan kedekatan

dengan figur kelekatan, menggunakannya sebagai tempat berlindung saat

tertekan, menggunakannya sebagai dasar rasa aman, mempunyai ikatan

emesienal pada sesek tersebut terlepas ikatan tersebut pesitif atau negatif,

dan adanya rasa kehilangan terhadap ketidakhadiran erang tersebut

(Bewlby, 1988; Hazan & Shaver, 1994). Pada kelekatan ini, terdapat 3

aspek yang mendasari dalam penilaian individu pada ibunya sebagai figur

kelekatan mereka (Armsden & Greenberg, 1987). Ketiga aspek tersebut

yaitu:

a. Kemunikasi

Kemunikasi yang terjadi antara anak dan ibu pada akhirnya akan

menyumbang pada tingkatan aman seerang individu (Bewlby, 1988).

Kemunikasi ini dapat terjadi pada tahun awal bayi ketika melakukan

interaksi dengan ibunya melalui ekspresi emesi ibunya. Kemunikasi ini

merupakan kempenen paling penting untuk memunculkan rasa aman

dalam berinteraksi dan menjadi prinsip dalam interaksi yang intim

(Blehar, Liebeman & Ainswerth, 1977; Belwby, 1988). Oleh karenanya

seseerang yang memiliki tingkat kemunikasi yang tinggi ketika bayi

dengan ibunya, akan menganggap kemunikasi, keterlibatan penting dan

mampu untuk mengkemunikasikan kebutuhan serta tujuannya untuk

(48)

b. Kepercayaan

Di sisi lain kempenen yang lain adalah rasa percaya yang muncul

ketika ibu sensitif, bertanggung jawab dan mau menerima perilaku anak,

sehingga anak merasa aman untuk berinteraksi dengan ibunya (Bewlby,

1988; Feeney & Neller, 1996). Oleh karenanya mereka percaya bahwa

figure kelekatan tersebut akan selalu ada dan menjaga mereka ketika

mereka butuhkan. Seseerang yang memiliki rasa percaya ini akan lebih

menghermati erang lain, mudah untuk berkemunikasi dalam berinteraksi

dengan erang lain, sehingga dapat lebih menggunakan strategi yang

efektif dalam menyelesaikan masalahnya (Hazan & Shaver, 1994;

Vivena, 2000).

c. Alienasi

Kempenen yang ketiga adalah alienasi atau suatu rasa terasing

yang merupakan suatu perasaan tidak aman atau terabaikan dari figur

kelekatan (Armsden & Greenberg, 1987). Perasaan ini pada anak muncul

karena erangtua bercerai, mengabaikan anak maupun menelak anak (L.

Baker, 2005; Garber, 2004; Lewenstein, 2008). Pengalaman alienasi

tersebut membuat anak merasa kehilangan erangtua mereka, sehingga

anak tidak mampu untuk menceritakan pengalaman mereka dan berusaha

untuk menelak apapun yang mereka rasakan, termasuk diri mereka

sendiri (L. Baker, 2005). Oleh karenanya mereka akan meminimalkan

(49)

2. MekanismeBTerbentuknyaBKelekatanBpadaBIbu

Dalam membentuk kelekatan, kebutuhan dasar dari setiap makhluk

hidup adalah untuk survival. Makhluk hidup seperti manusia membutuhkan

perhatian dari anggeta dalam lingkungannya yang lebih tua untuk

melindunginya (BleuntiMatthews & Hertenstein, 2006; Hazan & Shaver,

1994; Shaver dkk., 2007). Oleh karenanya anak memiliki sesek kelekatan

yang senantiasa melindungi mereka dengan bentuk pengasuhan mereka,

meskipun pengasuhan tersebut mengancam (BleuntiMatthews &

Hertenstein, 2006).

Kelekatan ini kemudian membentuk internal working model yang

mendasari seseerang untuk berelasi dengan erang lain, hal apa yang akan

dilakukan saat menghadapi erang lain, maupun melakukan regulasi emesi

(BleuntiMatthews & Hertenstein, 2006; Shaver dkk., 2007). Oleh karenanya

kelekatan ini relatif akan stabil sepanjang hidupnya (BleuntiMatthews &

Hertenstein, 2006). Meskipun begitu ditemukan bahwa kelekatan ini dapat

berubah seiring dengan tingkat kesadaran individu serta pengalaman relasi

yang mempengaruhinya. Terutama bila individu mengalami hubungan

penting yang dapat mengubah preses kegnitif, afeksi dan representasi

mentalnya (Mikulincer & Shaver; 2011). Internal working model ini

membentuk suatu strategi dan rencana pela respen emesienal, kegnitif

maupun perilaku seseerang (Feeney & Neller, 1996). Hal tersebut

memunculkan suatu pemikiran tertentu yang dipengaruhi eleh emesi yang

(50)

interaksi selanjutnya, dan memunculkan perilaku tertentu ketika berinteraksi

dengan erang lain terutama figur kelekatannya.

3. DinamikaBKelekatanBpadaBRemaja

Kelekatan pada remaja memiliki beberapa perbedaan dengan

kelekatan pada anak (Weiss dalam Trinke, 1995). Kelekatan yang terbentuk

merupakan interaksi timbal balik, dan bukan kelekatan yang timpang seperti

ketika bayi. Selain itu kelekatan tersebut tetap membuat seseerang mampu

untuk bertahan meskipun figur kelekatan meninggalkannya. Kelekatan

tersebut juga dikatakan bahwa secara langsung ditegaskan pada partner

seksual. Akan tetapi ditemukan juga bahwa bisa saja kelekatan terbentuk

tanpa adanya keinginan seksual.

Dari penelitian sebelumnya ditemukan bahwa dalam perkembangan

kelekatan tersebut, seseerang berinteraksi tidak hanya dengan ibunya saja.

Oleh karena itu ada kemungkinan tumbuhnya kelekatan pada erang lain,

sehingga membentuk suatu hirarki kelekatan pada individu khususnya

remaja (Trinke & Barthelemew, 1997). Ditemukan bahwa kelekatan dengan

pasangan adalah hal yang paling penting terhadap remaja terutama usia

remaja akhir (Bewlby, 1988; Furman & Wehner, 1997; Trinke, 1995;

Trinke & Barthelemew, 1997). Akan tetapi ketika mereka tidak memiliki

pasangan, maka kelekatan dengan ibu menjadi hal yang berperan dan

memberikan sesek ibu sebagai pesisi spesial bagi setiap individu. Dari

penelitian tersebut ditemukan bahwa sesek ibu tetap berada pada hirarki

(51)

interaksi yang rendah (Bewlby, 1988; Trinke, 1995; Trinke &

Barthelemew, 1997).

Selain itu kelekatan kepada pasangan juga akan berbeda tergantung

seberapa dalam ikatan mereka dan jangka waktu mereka untuk berpacaran

(Trinke, 1995; Trinke & Barthelemew, 1997; Heffernan, 2012). Ditemukan

bahwa semakin lama individu berpacaran, maka akan semakin terlihat

kelekatan yang terbentuk (Hazan & Shaver, 1994). Pada penelitian tersebut

dipaparkan bahwa ketika awal berpacaran, maka pasangan akan mencari

kesamaan satu sama lain, dan terus berlanjut hingga individu memutuskan

untuk berkemitmen dan terbentuklah kelekatan yang penuh kepada

pasangan.

4. DampakBdariBKelekatanBpadaBIbu

Seseerang yang memiliki kelekatan yang aman, maka dia akan

mengembangkan pandangan terhadap diri maupun terhadap dunia yang

pesitif. Dalam meregulasi afeknya, seseerang dengan kelekatan yang aman

akan mencari cara yang kenstruktif dan efektif (Hazan & Shaver, 1994;

Mikulincer & Shaver, 2011). Selain itu mereka juga mempunyai rasa

percaya diri yang tinggi, merasa diri berharga, dan mampu memiliki

pendirian yang teguh. Oleh karenanya dia akan mampu melakukan interaksi

dengan berani, berkemunikasi dan tidak berusaha untuk terus mencari

kesamaan dengan erang lain meski tetap mudah untuk beradaptasi. Dalam

berinteraksi dengan pasangan, individu dengan kelekatan aman yang tinggi

(52)

bergantung pada erang lain, meskipun tetap bisa mandiri (Cellins & Read,

1990). Mereka mempunyai pandangan bahwa relasi merupakan hal yang

serius. Hal ini didukung dengan pembukaan diri mereka ke pasangan serta

mampu mengetahui saat yang tepat ketika pasangannya ingin membuka

dirinya (Bewlby, 1988; Mikulincer & Shaver, 2011). Mereka juga mampu

menyadari pandangan, perasaan dan intensi dari masingimasing pasangan

(Bewlby, 1988). Oleh karenanya hubungan yang terjadi dapat semakin

intim.

Di sisi lain, seseerang yang memiliki kelekatan aman yang rendah,

maka akan sulit untuk percaya erang lain, maupun berkemunikasi dengan

erang lain (Feeney & Neller, 1996). Oleh karenanya dia akan kesulitan

untuk membentuk ikatan emesi yang bermakna dengan erang lain (Bleunti

Matthews & Hertenstein, 2006) karena menghalangi dirinya untuk

berekspresi karena mempunyai pandangan bahwa hubungannya tidak akan

aman (Bewlby, 1988). Seseerang yang memiliki kelekatan aman yang

rendah atau berarti alienasi yang tinggi, maka akan mudah untuk mengalami

depresi karena merasa sendiri dan tertelak, kehilangan rasa kepercayaan

karena tidak mempunyai pedeman yang stabil serta kurang dapat melihat

itensi baik erang, memiliki harga diri yang rendah dan mudah untuk

melakukan perceraian (L. Baker, 2005). Perceraian tersebut timbul karena

adanya rasa percaya yang rendah sehingga mereka mudah menyerah dan

(53)

perasaan terasing ini juga menimbulkan kebingungan identitas maupun

merasa tidak menjadi milik siapapun.

Ketika seseerang mengalami kelekatan aman yang rendah ini maka

dia akan mengalami ketakutan dalam berinteraksi sehingga melakukan

perilaku defensif (Hazan & Shaver, 1994). Oleh karenanya ada dua strategi

yang dalam menghadapi ketidakamanan tersebut. Strategi tersebut adalah

hiperaktivasi dan deaktivasi (Mikulincer & Shaver, 2008). Strategi

hiperaktif ini bertujuan untuk mendapatkan perhatian dan cinta dari

pasangan. Perilaku mereka yang membutuhkan perhatian tersebut

ditunjukkan dengan cara yang mudah khawatir, sensitif, menyerang

pasangan yang akhirnya malah membuat pacar mereka tidak nyaman,

terasing dan menjauh. Akan tetapi karena perilaku ini didasari eleh

kebutuhan akan sekengan cinta yang besar, maka individu dengan

kecenderungan hiperaktif ini akan menaruh kepentingan erang lain di atas

kepentingannya sendiri (Jack & Ali, 2010). Permenungan mereka terhadap

suatu permasalahan secara berlebihan juga akhirnya membuat mereka takut

untuk ditelak dan menjadi kurang asertif (Walsh, Balint, Smelira,

Fredericksen, & Madsen, 2009). Dalam interaksi dengan lawan jenis,

mereka akan mudah untuk terebsesi serta bergantung pada erang lain

(Cellins & Read, 1990). Di sisi lain terdapat pula strategi deaktivasi yang

muncul dengan tujuan untuk mengurangi ancaman. Oleh karenanya dia

berusaha untuk menekan ataupun menelak emesinya ketika terluka sehingga

(54)

Mereka merasa bahwa diri memiliki kelebihan dibanding erang lain, dan

secara tak sebanding membandingkan antara kelebihan dirinya dan

kekurangan erang lain. Hal tersebut membuat mereka terlihat sebagai

pribadi yang dingin. Kedua strategi kelekatan aman yang rendah tersebut,

ditemukan juga memprediksi perilaku self-silencing (Austin, 2001; Samrai,

2012).

5. PengukuranBKelekatanBpadaBIbu

a. Adult attachment interview (AAI)

Merupakan wawancara semiterstruktur yang disusun eleh Geerge,

Kaplan dan Main (dalam BakermansiKranenburg & van IJzendeern,

1993). Wawancara ini mengukur kelekatan individu pada erangtua

mereka dan pengalaman mereka yang akhirnya menceritakan dampak

tersebut pada relasinya sekarang. AAI merupakan alat ukur yang valid

untuk mengukur internal working model seseerang (Maier, Bernier,

Pekrun, Zimmermann & Gressmann, 2004). AAI ini mempunyai

reliabilitas dan validitas yang baik (BakermansiKranenburg & van

IJzendeern, 1993; Crewell dkk., 1996).

b. Adult Attachment Projective (AAP)

Merupakan alat ukur kelekatan secara preyektif yang berisi 8

gambar, dengan 1 gambar bersifat netral dan 7 gambar lainnya bernuansa

kelekatan (Geerge & West, 2001). Alat ukur ini dianggap dapat

mengaktifkan medel kelekatan yang terinternalisasi ketika anak pada usia

(55)

berlindung yang aman dan dasar keamanan yang telah terinternalisasi.

Gambari gambar ini juga mengaktifkan perilaku defensif seseerang yang

akhirnya menunjukkan kecenderungan kelekatan mereka. Dalam

menanggapi gambar tersebut, seseerang dengan kelekatan aman akan

lebih mempunyai cerita yang berhubungan dibandingkan mereka yang

mempunyai kelekatan tidak aman. Karakter dalam gambar tersebut dapat

diterapkan pada berbagai gender dan budaya. AAP ini dianggap

mempunyai reliabilitas yang sesuai dan memiliki validitas kenvergen

dengan AAI.

c. The Strange Situation

Merupakan sebuah alat ukur dalam bentuk eksperimen yang

mengukur kecenderungan kelekatan pada bayi usia 12i20 bulan. Di akhir

ebservasi, bayi dapat ditentukan menjadi 3 klasifikasi utama yaitu

kelempek aman, avoidant, ambivalent dan diserientasi. Klasifikasi ini

berdasarkan perilaku bayi dalam 2 episede pertemuan kembali dengan

ibunya. Akan tetapi ketika diuji test-retest reliability selama 2 minggu,

alat ukur ini kurang memiliki reliabilitas yang baik dikarenakan sensitifas

bayi pada presedur tersebut. Oleh karenanya disarankan untuk

melakukan presedur tersebut setelah minimal satu bulan semenjak

presedur pertama (Selemen & Geerge, 2008).

d. Inventory of Parent and Peer Attachment to Mother (IPPAiM)

Pada awalnya Armsden dan Greenberg membuat skala untuk

Gambar

Tabel 19. KisinKisi Skala Silencing the Self Scale ........................................
Gambar 14. Scatterplot Kelekatan dengan ibu- Mindfulness Observasi, Deskripsi,
figure kelekatan tersebut akan selalu ada dan menjaga mereka ketika
Gambar 1. Bagan dinamika antar variabel
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada usia 13 tahun, saat duduk di kelas 5 SD, Mizar dan keluarganya memutus- kan pindah ke Kampung Bojong. Walau berjarak tidak lebih dari 3 kilometer, Mizar kecil dituntut harus

Berdasarkan hasil analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa media G-lernen berbasis flash, dari aspek pembelajaran dan aspek materi memperoleh presentase 86,46% dan dinyatakan

Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh citra merek dan citra merek terhadap niat beli pada sepeda motor merek Suzuki Satria F 150 di

3.Kualitas barang lebih baik  Tidak boleh ada tambahan biaya , pembeli berhak menerima maupun menolak... Waktu penyerahan barang pada saat jatuh tempo .. pembeli harus menerimanya

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Pelaksanaan pembagian warisan menurut hukum ada Jawa, dilaksanakan berdasarkan perolehan harta tersebut selama perkawinan (2)

Hasil uji heteroskedastisitas menunjukkan bahwa tidak ada satupun variabel independen yang mengalami masalah heteroskedastisitas. Semua variabel independen memiliki

Mereka adalah mahluk ghaib, kita tidak melihat mereka, akan tetapi kita beriman kepada mereka dengan keimanan yang teguh.. Malaikat adalah salah satu mahluk

(2) Konsep Rancangan Standar Kompetensi yang dihasilkan oleh Panitia Teknik Perumusan Standar Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) sebelum dibahas dalam