• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. AKUNTABILITAS DAN KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN KAWASAN TERUMBU KARANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VI. AKUNTABILITAS DAN KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN KAWASAN TERUMBU KARANG"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

Penilaian terhadap akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh dilakukan dengan menggunakan analisis Rapid Appraisal Index of Sustainability for Coral Reef Management (Rap-Insus-COREMAG). Analisis Rap-Insus-COREMAG akan menghasilkan nilai indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang, pada masing-masing dimensi yaitu ekologi, teknologi, sosial ekonomi, dan kelembagaan serta bersifat multidimensi. Nilai indeks yang dihasilkan merupakan gambaran akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang yang terjadi pada saat ini. Nilai tersebut ditentukan oleh nilai skoring dari masing-masing atribut pada setiap dimensi yang dikaji (Lampiran 9).

6.1. Kondisi skor masing-masing atribut pada setiap dimensi

Nilai indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh ditentukan berdasarkan skor untuk masing-masing atribut pada setiap dimensi sesuai dengan kondisi pengelolaan yang dilakukan pada saat ini dengan mengacu pada kriteria dari konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Nilai skor masing-masing atribut pada setiap indikator pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh dapat dilihat pada Tabel 15 berikut.

(2)

Tabel 15. Kondisi nilai skor setiap atribut akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh

Dimensi dan Atribut Ekologi Pulau

Lembeh

Pesisir Bitung

Atribut Skor

Baik Buruk Keterangan

Persentase penutupan

karang 31-50% (2) 11-30% (1) 4 0

0-10% (0); 11-30% (1); 31-50% (2); 51-75% (3); 76-100% (4) Modifikasi, Gomez dan Yap, (1988)

Keanekaragaman

ikan karang Sedang (1) Sedang (1) 2 0

Kecil (0), Sedang (1), Tinggi (2)

Kecepatan arus 0.15 m/det (0) 0.15 m/det (0) 0 3 0-0,17 m/det (0); 0,17-0,34 m/det (1); 0,17- 0,34-0,51 m/det (2); > 0,34-0,51 m/det (3) (Nybakken, 1988)

Substrat perairan Pasir halus (1)

Pasir &

sedimen (2) 0 3

Pasir kasar (0); Pasir halus (1); Pasir & sedimen (2)Sedimen(3) (Sukarno et al. 1981) Suhu 28.09 (2) 28.09 (2) 0 3 23-250C (0); 19-220C (1); 26-350C (2); < 190C dan > 350C (3) (Nybakken, 1988) Salinitas 32.42 (0) 32.42 (0) 0 3 32-350/00 (0); 28-310/00 (1); > 360/00 (2); < 270/00 (3) (Nybakken, 1988) Kecerahan 10.07 m (1) 5-10 (2) 0 3 15-20 m (0); 10-15 m (1); 5-10 m (2); < 5 m (3) (Nybakken, 1988) Kedalaman 12.87 m (1) 12.87 m (1) 0 3 20-30 m (0); 10-19,9 m (1); 1-9,9 m (2); < 1 m (3) (Nybakken, 1988) Memiliki spesies endemik Ada (0) Tidak ada

(1) 1 0 Tidak ada (0); Ada (1), Sedimentasi Rendah (2) Sedang (1) 2 0 Tinggi (0), sedang (1),

rendah (2) Jumlah sungai 0 - 2 DAS

(2) > 8 DAS (0) 2 0

5 - 8 DAS (0); 2 - 5 DAS (1); 0 - 2 DAS(2) Kondisi perairan < Baku mutu

(1) > Baku mutu (0) 1 0 > Baku mutu (0); < Baku mutu (1) (KEPMEN KLH No. 51 Tahun 2004). Tingkat eksploitasi

ikan karang Tinggi (1) Tinggi (1) 0 3

Kurang (0); Tinggi (1); Lebih tangkap (2); collapsed (3) (Rapfish)

(3)

Teknologi Pulau Lembeh

Pesisir Bitung

Atribut Skor

Baik Buruk Keterangan

Jenis alat tangkap Seimbang (1) Seimbang (1) 0 2 Mayoritas pasif (0); seimbang (1); mayoritas aktif (2): (Rapfish) Selektivitas alat tangkap Agak selektif (1) Agak selektif (1) 2 0 Kurang selektif (0); agak selektif (1); sangat selektif (2) Ketersediaan alur pelayaran Tidak ada (0) Tidak ada

(0) 1 0 Tidak ada (0) ; Ada (1) Tipe kapal 5-10 GT (1) > 10 (2) 0 2 1-5 GT (0); 5-10 GT (1); > 10 (2) Teknologi penanganan pasca panen Sedikit (1) Sedikit (1) 2 0

Tidak ada (0); sedikit (1); cukup lengkap (2): (Rapfish)

Sosial Ekonomi Pulau Lembeh

Pesisir Bitung

Atribut Skor

Baik Buruk Keterangan

Jumlah lokasi potensi konflik

pemanfaatan

Sedikit (1) Sedikit (1) 0 2

Tidak ada (0); sedikit (1); banyak (2) (Nikijuluw, 2002) Tingkat pendidikan Tidak tamat

SD (0) Tamat SD-SMP (1) 3 0 Tdktamat SD (0); tamat SD-SMP (1); tamat SMA (2); S0-S1 (3) Pengetahuan

lingkungan Cukup (1) Cukup (1) 2 0

Sangat minim (0); cukup (1); banyak (2) Memiliki nilai

sejarah,seni& budaya Ada (1)

Tidak ada

(0) 1 0 Tidak ada (0); Ada (1) Memiliki nilai

estetika Tinggi (0) Sedang (1) 0 2

Tinggi (0), sedang (1), rendah (2) Ketergantungan pada perikanan sebagai sumber nafkah Sangat tergantung (0) Sedikit (1) 2 0 Sangat tergantung (0); sedikit (1); tidak tergantung (2) (Nikijuluw, 2002) Ketergantungan pada pariwisata bahari sebagai sumber nafkah Sedikit (1) Sedikit (1) 2 0 Sangat tergantung (0); sedikit (1); tidak tergantung (2) Waktu yang digunakan untuk pemanfaatan terumbu karang Penuh waktu (3) Musiman (2) 0 3

Hobi (0); paruh waktu (1); musiman (2); penuh waktu (3): (Rapfish)

Memiliki ekosistem untuk pendidikan dan penelitian

Ada (1) Ada (1) 1 0 Tidak ada (0); Ada (1) Pemandu wisata Ada (1) Tidak ada

(4)

Tempat sewa scuba Ada (1) Tidak ada

(0); 1 0 Tidak ada (0); ada (1) Wisatawan lokal Tidak ada

(0)

Tidak ada

(0) 2 0

Tidak ada (0) Sedikit (1); Banyak (2); Wisatawan

mancanegara Banyak (2) Sedikit (1) 2 0

Tidak ada (0) Sedikit (1); Banyak (2)

Jumlah objek wisata Banyak (2) Sedikit (1) 2 0 Tidak ada (0) Sedikit (1); Banyak (2)

Lama tinggal

wisatawan Lama (1) Singkat (0) 1 0 Singkat (0); Lama (1)

Keuntungan (profit) Menguntung kan (1) Menguntung kan (1) 0 4 Sangat menguntungkan (0); menguntungkan (1); break even (2); rugi (3); sangat merugikan (4): (Rapfish)

Transfer keuntungan Lokal (0) Seimbang

(1) 0 2

Lokal (0); seimbang antara orang lokal dengan orang luar (1); keuntungan lebih banyak ke orang luar daerah (2): (Rapfish) Zonasi peruntukan lahan Tidak ada (0) Tidak ada (0) 2 0

Tidak ada (0); ada tapi dilanggar (1); ada dan ditaati (2) (Nikijuluw, 2002) Kelembagaan Pulau Lembeh Pesisir Bitung Atribut Skor

Baik Buruk Keterangan

Ketersediaan peraturan pengelolaan sumberdaya secara formal Tidak ada (0) Tidak ada

(0) 1 0 Tidak ada (0); Ada (1)

Pemegang kepentingan utama Pemerintah (1) Pemerintah (1) 0 2 Nelayan (0); pemerintah (1); swasta (2) (Nikijuluw, 2002) Tingkat kepatuhan masyarakat Sedang (1) Tidak patuh (2) 2 0

Tidak patuh (0); sedang (1) Patuh (2) (Nikijuluw, 2002) Pelaksanaan pemantauan, pengawasan dan pengendalian Kadang-kadang (1) Tidak ada (0) 2 0

Tidak ada (0) kadang-kadang (1) Ada (2) (Nikijuluw, 2002) Tokoh panutan Sedikit (1) Sedikit (1) 2 0

Tidak ada (0); sedikit (1); banyak (2) (Nikijuluw, 2002) Penyuluhan hukum lingkungan Jarang (1) Tidak pernah (0) 2 0 Tidak pernah (0); jarang (1); sering (2) (Nikijuluw, 2002)

(5)

Koperasi Tidak ada (0)

Tidak ada

(0) 1 0 Tidak ada (0); Ada (1) Tradisi/budaya Ada (1) Tidak ada

(0) 1 0 Tidak ada (0); Ada (1) Forum Konservasi Ada (1) Tidak ada

(0) 1 0 Tidak ada (0); Ada (1) Berdasarkan Tabel 15 di atas, berikut dijelaskan kondisi masing-masing atribut sesuai dengan nilai skor pada setiap dimensi, yaitu:

6.1.1. Dimensi Ekologi 6.1.1.1. Kecepatan arus

Secara umum tidak terlihat adanya perbedaan yang mencolok kecepatan arus antara stasiun pengamatan. Hasil pengukuran kecepatan arus permukaan berkisar antara 0,13 - 0,17 ms-1 (Lampiran 3). Nilai rerata kecepatan arus permukaan tertinggi terjadi di Kareko, Binuang, Motto, Tanjung Merah, Makawidey, Tandurusa dan Paudean yaitu 0,17 ms-1, sedangkan terendah diperoeleh di Batuwoka dan Manembo-Nembo yaitu 0,13 ms-1. Rompas (2004), menyatakan bahwa pola arus Selat Lembeh terbagi dua, yaitu arus yang bergerak ke arah selatan pada saat pasang dan bergerak ke arah utara pada saat surut, dengan kecepatan arus berkisar 0,1 – 0,5 ms-1. Selanjutnya Tairas, dkk. (2004), melaporkan bahwa pada saat perubahan umur kuartir akhir menuju bulan baru, pergerakan arus permukaan yang tercepat sebesar 0,613 knot kearah barat, sedangkan yang terkecil sekitar 0,024 knot kea rah timur. Kecepatan rata-rata pergerakan arus permukaan adalah sekitar 0,163 knot. LIPI (2003), melaporkan bahwa pola arus perairan Selat Lembeh sangat bervariasi, hal ini dipengaruhi oleh sistem selat dan pengaruh topografi, pola arus yang terjadi dibangkitkan oleh pasang surut.

6.1.1.2. Substrat perairan

Tipe substrat yang keras diperlukan oleh planula untuk memulai penempelan. Tipe substrat yang ideal adalah substrat dengan permukaan yang keras seperti koloni karang yang telah mati, dan pecahan karang yang besar-besar dan batu (Reksodihardjo dan Lilley, 1999). Nilai substrat hasil pengukuran

(6)

seluruh stasiun pengamatan diperoleh nilai antara 4 (pasir berlumpur) – 8 (pasir berbatu), nilai substrat tertinggi pada stasiun Lirang, Nusu, Kareko, Binuang, Batuwoka, Posokan, Pancuran, Tanjung Merah, Kasawari, Makawidey, Tandurusa, Doorbolaang dan Pasir Panjang dan nilai kecerahan terendah diperoleh pada stasiun Papusungan, Manembo-Nembo, Mawali, Aertembaga dan Batulubang.

6.1.1.3. Suhu

Suhu merupakan salah satu parameter yang sangat penting bagi biota perairan. Perubahan suhu yang drastis dapat menimbulkan kematian bagi biota perairan. Hasil pengukuran suhu perairan Selat Lembeh berkisar 27,50C - 28,40C, suhu terendah diperoleh di lokasi Papusungan, sedangkan suhu tertinggi diperoleh di lokasi Kareko, Binuang, Posokan dan Kasawari (Lampiran 3). Suhu ini masih sesuai dengan suhu air laut permukaan yang normal. Menurut Ilahude dan Liasaputra (1980), suhu dipermukaan laut yang normal berkisar antara 25,6-32,30C dan antara 20-300C (Nybakken, 1988. Menurut Mulyanto (1992) suhu yang baik untuk kehidupan ikan di daerah tropis berkisar antara 25-320C.

Terumbu karang pada umumnya terbatas pada suhu perairan antara 18– 360C, dengan nilai suhu yang optimal antara 26-280C. Hal ini selanjutnya akan diekspresikan dalam pola distribusi dan keragaman terumbu karang secara latitudinal yang hanya terbatas antara sekitar 200 LU sampai 200 LS (Veron, 1995). Selain itu, suhu juga merupakan peubah yang berperan penting dalam mengendalikan sebaran horizontal dari terumbu karang. Distribusi terumbu karang dibatasi oleh distribusi karang, dimana hal ini secara umum menyangkut proses fisiologi khususnya dalam hal penangkapan pakan dan reproduksinya. Dengan demikian, suhu akan membatasi keduanya baik terumbu karang dan karang melalui proses-proses interaksi ekologi, dimana kebutuhan energi (cahaya dan hubungan simbiosis) dari terumbu karang secara progresif menjadi kurang kompetitif melawan dominasi organisme tertentu seperti makroalga dalam ekosistem (Veron, 1995; Szmant, 2002).

Lebih lanjut Veron (1995) menyatakan bahwa temperatur 18oC yang terus menerus dalam periode waktu tertentu diidentifikasi sebagai temperatur minimum air laut yang secara fungsional terumbu masih dapat bertahan hidup

(7)

normal. Korelasi ini baru-baru diuji ulang dalam cahaya dalam rentang temperatur dan dicatat di Jepang oleh Veron dan Minchin (1992) dan ditemukan benar. Temperatur rendah sering tercatat di lingkungan terumbu karang, tapi dalam sebagian kasus hanya ditemukan adanya kematian parsial (dimana bagian koloni karang mati) atau meliputi terumbu karang yang secara geologis merupakan hasil peninggalan lampau atau secara primer terdiri dari runtuhan yang tidak terkonsulidasi. Fluktuasi temperatur dalam jangka pendek di terumbu karang Teluk Arab dan Parsia (Coles, 1988; Coles dan Fadlallah, 1991) diketahui sebagai suhu minimum secara global.

Stress temperatur panas tidak seperti stress yang dialami oleh karang pada temperatur dingin, yakni bukan merupakan fenomena pembatasan dispersi karang dan juga tidak merupakan pengaruh batas-batas lintang. Secara prinsipil, pengaruh temperatur panas menyebabkan breakdown (kerusakan) simbiosis karang dengan zooxanthellae yang diekspresikan dalam bentuk keluarnya zooxanthellae dari jaringan sel karang atau yang lebih dikenal dengan istilah bleaching. Meskipun stress temperatur tinggi dapat terjadi di daerah terumbu karang lintang tinggi (seperti di Hawaii; Jokiel dan Coles, 2000; di Bermuda, Cook, 1990) itu cenderung terjadi dalam areal yang sempit di kawasan ekuator dimana secara umum berkaitan dengan saat surut atau surut yang tidak normal. Pada skala biogeografi, stress temperatur panas selalu berkorelasi dengan fluktuasi cuaca harian yang mana El Nino Southern Oscillation (ENSO) telah diketahui pengaruhnya yang sangat penting (Glynn, 1990; Guzman dan Cortes, 1992).

6.1.1.4. Salinitas

Salinitas menggambarkan konsentrasi dari total ion yang terdapat dalam suatu perairan dengan ion-ion utama penyusunnya adalah natrium, kalium, magnesium, khlorida, sulfat dan bikarbonat (Millero dan Sohn, 1992). Hasil pengukuran salinitas di lokasi studi berkisar antara 32,0-32,6 0/00 (Lampiran 3).

Salinitas terendah diperoleh di lokasi Binuang dan Aertembaga, sedangkan salinitas tertinggi diperoleh di lokasi Batulubang, Paudean, Doorbolaang dan Pasir Panjang. Salinitas ini sesuai dengan salinitas yang dijumpai diperairan laut umumnya, salinitas di perairan Indonesia umumnya berkisar antara 30-35 0/00.

(8)

Untuk daerah pesisir salinitas berkisar antara 32-34 0/00 (Romimohtarto dan

Juwana, 1999), sedangkan untuk laut terbuka umumnya salinitas berkisar antara 33-37 0/00 dengan rata-rata 35 0/00.

Pengaruh salinitas terhadap kehidupan binatang karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat dan/atau pengaruh alam, seperti run-off, badai, hujan, sehingga kisaran salinitas bisa sampai 17,5-52,5% (Vaughan, 1999; Wells, 1994). Bahkan seringkali salinitas di bawah minimum dan di atas maksimum tersebut karang masih bisa hidup, seperti tercatat di perairan Pantai Bandengan, Jepara Jawa Tengah salinitas nol permil (00/00) untuk

beberapa jam pada waktu air surut yang menerima limpahan air sungai (Supriharyono, 2000) dan di laguna Turneffe atoll, British Honduras yang salinitasnya mencapai 700/00 (Smith, 1993).

6.1.1.5. Kecerahan

Nilai kecerahan hasil pengukuran seluruh stasiun pengamatan diperoleh nilai antara 6 – 12 m, nilai kecerahan tertinggi pada stasiun Nusu dan Batuwoka dan nilai kecerahan terendah diperoleh pada stasiun Tandurusa (Lampiran 3). Menurut Kanwisher dan Wainwright (1997) titik kompensasi binatang karang terhadap cahaya adalah pada intensitas cahaya antara 200-700 fluks (umumnya terletak antara 300-500 fluks). Intensitas cahaya secara umum di permukaan laut 2500-5000 fluks. Mengingat kebutuhan tersebut maka binatang karang (reef corals) umumnya tersebar di daerah tropis. Berkaitan dengan pengaruh cahaya tersebut terhadap pertumbuhan karang, maka faktor kedalaman juga membatasi kehidupan binatang karang. Pada perairan yang jernih memungkinkan penetrasi cahaya bias sampai pada lapisan yang sangat dalam, sehingga binatang karang juga dapat hidup pada perairan yang cukup dalam.

Menurut Veron (1995), cahaya secara ekologi merupakan pembatas utama dari semua parameter fisika lingkungan, oleh sebab itu cahaya dapat menyebabkan pembatasan secara fisik terhadap biogeografi secara horizontal. Cahaya memegang peranan penting bagi pertumbuhan karang, karena ada zooxanthellae yang membutuhkannya untuk proses fotosintesa. Gladfelter (1995), menyatakan bahwa laju respirasi karang berbeda pada berbagai intensitas cahaya. Intensitas cahaya yang tinggi dapat menghambat proses kalsifikasi, mengurangi

(9)

fiksasi karbon dan konsentrai pigmen fotosintetik pada zooxanthellae dan dapat mengakibatkan kematian karang (Coles dan Jokiel, 1998).

Sinar matahari mengandung sinar tidak tampak atau ultra violet. Radiasi ultra violet berbahaya bagi semua bentuk kehidupan termasuk karang (Jokiel, 2000). Sinar ultra violet dengan derajat yang tinggi dapat mencapai permukaan laut karena adanya penipisan lapisan pelindung bumi (ozon) di dekat katulistiwa (Baker et al., 2000). Perairan yang jernih seperti di daerah terumbu karang sangat mudah bagi masuknya sinar ultra violet, dan mempengaruhi kehidupan sampai pada kedalaman 20 meter (Smith dan Baker, 1999) dalam Falkowski dan Dubinsky, 2001). Polip karang mempunyai kemiripan untuk menangkal sinar ultra violet dan melindungi zooxanthellae dari kerusakan akibat radiasi (Jokiel, 2000), dengan jalan menghasilkan substansi penyerap ultra violet yang mengandung pigmen yang dibentuk oleh lapisan ektodermal. Bila derajat ultra violet makin tinggi, konsentrasi substansi akan meningkat (Jokiel dan York, 2002).

6.1.1.6. Keberadaan spesies endemik

Ditinjau dari aspek biologi, kondisi perairan Selat Lembeh merupakan perairan yang cukup subur, hal ini disebabkan masuknya massa air dari Laut Sulawesi ataupun Samudera Pasifik yang banyak membawa plankton ke perairan ini yang diikuti oleh migrasi ikan-ikan pelagis kecil dan besar seperti tongkol (cakalang) layang (malalugis), tuna, dan ikan kembung. Bahka ikan herbivora besar seperti ikan lumba-lumba dan paus sering muncul di perairan ini. Perairan Selat Lembeh juga memiliki keragaman biota yang tinggi, termasuk jenis-jenis yang unik dan langka. Berbagai macam ikan hias seperti regal angel fish, bicolor angel fish dan red clown fish, bahkan ikan hias capungan “Banggai cardinal fish” yang endemik di perairan kepulauan Banggai Sulawesi Tengah banyak ditemukan di Selat Lembeh (Makatipu, 2003) dalam KKT Kota Bitung (2004). Lebih lanjut Mitra Pesisir (2005) dan BPPLT Provinsi Sulawesi Utara (2006), melaporkan bahwa jenis biota laut unik di Selat Lembeh adalah Orange Frogfish, Pigmy Cuttlefish, Ornate Ghost, Golden Blenny, Moray Eel, Mandarin fish, Giant Frog Fish, Pipefish, Mantis Shrimp, Blue Ring Octopus, dan Wonderpus.

(10)

6.1.1.7. Sedimentasi

Selain memiliki sumberdaya hayati laut, Pulau Lembeh juga terdapat aktivitas pertanian dan perkebunan, seperti kopi, kelapa dan sayur-sayuran. Akibat perkembangan aktivitas tersebut akan menyebabkan terjadinya perubahan tata guna lahan dan tidak tertutup kemungkinan terjadi pula praktek pertanian yang buruk yang akan berakibat terjadinya peningkatan sedimentasi dan masuknya unsur hara ke daerah tangkapan air. Sedimen dalam kolom air dapat mempengaruhi pertumbuhan karang atau bahkan menyebabkan kematian karang.

BPS Kota Bitung (2005), melaporkan bahwa terdapat 5 (lima) buah sungai utama yang bermuara ke Selat Lembeh, yaitu Sungai Girian, Sagerat, Tanjung Merah, Tewaan dan Rinondoran. Sungai-sungai ini mengalir sepanjang tahun, anak sungai yang berada disekitarnya bersifat sungai tadah hujan. Burke et al. (2002), menyatakan bahwa kandungan unsur hara yang tinggi dari aliran sungai dapat merangsang pertumbuhan alga yang beracun.

Soedharma et al. (2002) melaporkan bahwa sepanjang pesisir pantai dari Madidir, Wangurer ke arah Girian Bawah (Pesisir Bitung) merupakan daerah rawan abrasi, hal tersebut disebabkan selain pantainya bertekstur lembek, pantai juga berhadapan dengan laut terbuka dengan terpaan gelombang laut Maluku cukup besar. Faktor non alami juga patut diperhitungkan yaitu kontinuitas lalulintas kapal berbobot besar yang melewati perairan ini menimbulkan gelonbang yang menghempas daratan. Diperkirakan setiap tahun daerah pesisir ini kehilangan 2-3 m, keadaan ini sudah berlangsung selam 10 tahun dan kelihatannya semakin agresif akhir-akhir ini.

6.1.1.8. Tingkat eksploitasi ikan karang

Berdasarkan laporan Dinas Perikanan Provinsi Sulawesi Utara (2005), bahwa jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) di Kota Bitung adalah 2.299 orang dan 2.524 buah perahu/kapal perikanan. Berdasarkan data tersebut maka tingkat eksploitasi sumberdaya ikan diduga telah mencapai kategori ”tinggi”. Hal tersebut didukung oleh hasil wawancara yang dinyatakan bahwa nelayan semakin sulit menangkap ikan di dalam Selat Lembeh dan ikan yang tertangkap semakin kecil serta jenisnya pun berkurang. Oleh karena itu nelayan terpaksa menangkap ikan di luar Pulau Lembeh.

(11)

Pada kawasan Selat Lembeh Kota Bitung terdapat pelabuhan perikanan (PP-Bitung) yang setiap hari disinggahi kapal-kapal perikanan untuk menjual hasil tangkapannya, baik kapal kecil maupun kapal besar yang beroperasi disekitar perairan Bitung, Teluk Tomini, Laut Maluku dan zona ekonomi eksklusif. Jenis-jenis ikan yang umumnya didaratkan di PP-Bitung adalah layang, tongkol, sardin, cakalang, tuna, dan ikan campuran (Tabel 16). Hal ini didukung oleh adanya industri pengolahan dengan fasilitas pelabuhan, pabrik es (cold storage) yang selalu siap menampung hasil tangkapan. Berdasarkan hasil wawancara dilapangan bahwa nelayan di Pulau Lembeh menjual hasil tangkapannya kepada pedagang pengumpul yang setiap saat mendatangi tempat mereka.

Kegiatan operasional PP-Bitung mengacu pada SK Dirjen Perikanan Tangkap No. 3528/DPT.0/OT.210.S4/7/04. PP-Bitung sebagai prasarana perikanan tangkap mempunyai tugas dan fungsi sesuai SK menteri Kelautan dan Perikanan N0. 261/MEN/2001, yaitu melaksanakan tugas mengakomodir aktivitas perikanan tangkap meliputi penangkapan, penanganan/pengolahan, distrubusi dan pemasaran hasil perikanan.

Tabel 16. Jumlah ikan yang didaratkan di PP-Bitung

Tahun Bulan Produksi (Ton) Jenis Ikan

2003 Juni s/d

Desember 1102

Pelagis kecil: tongkol, layang, sardine, dan kembung

Pelagis besar: Tuna, cakalang, hiu, tetuhuk, dan marlin.

Ikan karang.

2004 Januari s/d

September 2002

Pelagis kecil: tongkol, layang, sardine, dan kembung

Pelagis besar: Tuna, cakalang, hiu, tetuhuk, dan marlin.

Ikan karang. Sumber: PP-Bitung (2005)

Kondisi perairan berdampak pada atribut tingkat eksploitasi sumberdaya ikan di Selat Lembeh. Berdasarkan hasil wawancara terhadap nelayan tangkap ikan konsumsi di Selat Lembeh diperoleh informasi bahwa pendapatan satu orang nelayan dapat memperoleh ikan dengan rata-rata 2 kg ikan karang dengan harga jual Rp. 4000,- s/d 6000,-/kg. Sementara itu hasil kajian tim Mitra Pesisitr Sulawesi Utara (2005), melaporkan bahwa harga rata-rata ikan per kg adalah

(12)

Binuang Rp. 4026,MakawideRp. 4600, Paudean Rp. 4350, dan Aertembaga Rp. 5000. Hal serupa juga dilaporkan oleh DKP (2004), bahwa penerimaan nelayan rata-rata sekali beroperasi adalah Rp. 10.000 – Rp. 20.000, sementara rata-rata penerimaan per bulan adalah Rp.400.000,-. Pendapatan nelayan terbesar yaitu dari jenis usaha pengangkapan ikan dengan jenis soma pajeko yaitu Rp. 9,6 juta bagi jelayan pemilik dan yang terkecil pada usaha yaitu sebesar Rp. 0,16 Juta. Sementara untuk pendapatan buruh terbesar yaitu pada usaha funae yaitu sebesar 0,65 juta per bulan dan yang terkecil pada usaha soma goib dan soma dampar yaitu sebesar 0,05 juta per bulan.

6.1.2. Dimensi Teknologi 6.1.2.1. Jenis alat Tangkap

Perkembangan teknologi di bidang penangkapan ikan karang pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan produktivitas penangkapan untuk memenuhi permintaan konsumsi yang terus meningkat baik kebutuhan pasar lokal maupun eksport. Di sisi lain perbaikan dan pengembangan teknologi penangkapan ikan karang juga terjadi dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing sesama nelayan karena semakin terbatasnya sumberdaya ikan, khususnya ikan karang. Pergeseran teknologi kearah yang semaikn efektif ini pada akhirnya akan berdampak terhadap menurunnya ketersediaan sumberdaya ikan. Pergeseran teknologi ke arah yang semakin efektif ini seperti memperkecil ukuran mata jaring dan menambah kedalaman jaring. Persaingan dalam teknologi penangkapan biasanya ditandai dengan dioperasikannya alat penangkapan ikan yang semakin produktif namun tidak ramah lingkungan bahkan bersifat destruktif. Kondisi ini terjadi di wilayah studi dengan masih adanya penggunaan bahan peledak.

Berdasarkan laporan Statistik Perikanan Tangkap Provinsi Sulawesi Utara (2004), (Gambar 19), mayoritas alat tangkap ikan yang digunakan oleh nelayan di Selat Lembeh adalah jaring, bagan, sero dan bubu. Selain jenis alat tersebut juga digunakan pancing dan panah (bahasa lokal jubi) dengan demikian mayoritas alat tangkap yang digunakan nelayan termasuk seimbang antara alat tangkap pasif dan aktif.

(13)

Jenis dan perkembangan alat tangkap 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 19 86 19 87 19 88 19 89 19 90 19 91 19 92 19 93 19 94 19 95 19 96 19 97 19 98 19 99 20 00 20 01 20 02 20 03 Un it Jaring I.H. Jaring I.T Bagan Sero Bubu

Gambar 19. Jenis dan perkembangan alat tangkap

Pada Gambar 19 menunjukkan bahwa penggunaan alat tangkap pancing dan panah (jubi) yang digunakan oleh mayoritas nelayan Selat Lembeh belum terdaftar pada Laporan Statistik Perikanan Tangkap, namun demikian pada Gambar tersebut terlihat bahwa alat tangkap jaring insang juga merupakan mayoritas yang digunakan oleh nelayan.

6.1.2.2. Selektivitas alat tangkap

Kegiatan perikanan tangkap di Selat Lembeh dengan alat tangkap jarring, jika titinjau dari ikan yang menjadi sasarannya dapat dikategorikan agak selektif. Alat tangkap jarring ini dapat menangkap beberapa jenis ikan yang bergerombol di sekitar rumpon namun dengan ukuran yang relative selektif, karena ukuran mata jarring (mesh size) yang tidak terlalu halus (rapat). Kegiatan perikanan dengan alat tangkap jaring mempunyai tujuan untuk menangkap udang lobster walaupun pada kenyataannya jenis-jenis ikan karang juga tersangkut pada jaring ini. Mata jaring alat tangkap ini relative besar sehingga hanya ikan-ikan ukuran tertentu yang dapat tertangkap dengan jaring udang ini, sedangkan ukuran udang lobster yang tertangkap bervariasi karena bentuk tubuh udang lobster. Dengan demikian secara umum ditinjau dari selektivitas penggunaan alat tangkap yang digunakan di Selat lembeh Kota Bitung masih tergolong selektif.

Penggunaan alat tangkap bubu juga dipergunakan oleh sebagian nelayan di Selat Lembeh. Bubu yang terbuat dari bambu dipasang di tubir pada tempat-tempat yang diduga sebagai jalur lalu lintas ikan. Pada alat tangkap bubu

(14)

diikatkan seutas tali ke darat, kemudian bubu ditarik kedarat pada saat tertentu (2-3 hari setelah dipasang). Kemungkinan terjadinya kerusakan karang pada aktivitas ini adalah pada saat penarikan bubu ke darat.

6.1.2.3. Tipe kapal

Tipe kapal yang digunakan nelayan cukup bervariasi, untuk nelayan skala menengah ke atas menggunakan kapal motor dan motor tempel, sedangkan nelayan skala kecil yang beroperasi di Selat Lembeh menggunakan perahu tanpa motor, namun ada juga yang sudah menggunakan motor tempel. Berdasarkan data dari PP-Bitung (2005), bahwa frekuensi tipe kapal perahu tanpa motor (PTM) yang berkunjung di PP-Bitung sampai dengan bulan Mei 2005 adalah 5906 unit, motor tempel (MT) sebanyak 1030 unit, dan kapal motor (KM) sebanyak 793 unit (Gambar 20). 0 200 400 600 800 1000 1200 1400 Unit

Jan. Feb. Mar. Apr. Mei

Tipe kapal yang berkunung di PP-Bitung

PTM MT KM

Gambar 20. Frekuensi tipe kapal yang berkunjung di PP-Bitung (Januari s/d Mei 2005)

6.1.2.4. Teknologi penanganan pascapanen

Untuk mempertahankan kesegaran ikan, nelayan hanya menggunakan es. Namun demikian khusus untuk ikan hias dan ikan kerapu, sebagian nelayan di Pulau Lembeh menjual dalam keadaan hidup sehingga diperlukan tabung-tabung oksigen. Ikan hasil tangkapan sebagian juga diolah dengan teknologi sederhana dengan cara pengasapan.

(15)

6.1.3. Dimensi Sosial Ekonomi 6.1.3.1. Tingkat pendidikan

Berdasarkan data BPS Kota Bitung, jumlah penduduk tahun 2004 sebanyak 167.625 jiwa, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 5,54% per tahun. Jika dihubungkan dengan luas wilayah Kota Bitung yaitu 304 km2, maka kepadatan penduduk mencapai 551 jiwa per km2 pada tahun 2004 (Gambar 21). Kecamatan yang terpadat memiliki 1.838 jiwa per km2 yaitu Kecamatan Bitung Tengah, Kecamatan Bitung Barat 1.104 jiwa per km2, dan Kecamatan Bitung Timur 900 jiwa per km2. Khusus untuk lokasi studi, yaitu Kecamatan Bitung Selatan masih relatif jarang penduduknya, yaitu pada tahun 2004 berkisar 16.683 jiwa, sedangkan Kecamatan Bitung Timur relatif lebih padat, yaitu berkisar 52.568 jiwa. Kepadatan jumlah penduduk dipengaruhi oleh adanya pelabuhan serta berbagai kegiatan industri.

11% 9%

20%

28%

32%

Bitung Selatan Bitung Tengah Bitung Barat Bitung Timur Bitung Utara

Gambar 21. Persentase pertumbuhan jumlah penduduk Kota Bitung

Meski merupakan wilayah yang dari segi jarak relatif dekat dengan ibu kota Provinsi, Manado, sebagian besar (hampir 50%) penduduk yang bermukim di sekitar Selat Lembeh berpendidikan relatif rendah yakni tamat sekolah dasar. Pratasik et al (2000) menyatakan bahwa salah satu alasan mengapa pendidikan di daerah ini relatif rendah adalah karena pandangan masyarakat yang menyatakan bahwa pendidikan yang tinggi tidak diperlukan untuk pekerjaan seperti menjadi nelayan dan petani. Tingkat pendidikan pada dua kecamatan di lokasi studi terlihat dari indikator rasio siswa terhadap guru SD dan rasio siswa terhadap guru SLTP (Tabel 17). Secara rata-rata tingkat pendidikan masyarakat yang bermukim di sekitar Selat Lembeh adalah tamat SD-SMP.

(16)

Tabel 17. Rasio siswa terhadap Guru SD dan Guru SLTP

Siswa Guru Siswa/guru

Kecamatan SD SLTP SD SLTP SD SLTP Bitung Tengah 5.231 2.606 169 121 30,95 21,54 Bitung Barat 4.044 1.711 123 86 32,88 19,90 Bitung Selatan 2.189 822 109 34 20,08 24,18 Bitung Timur 6.664 1.261 190 61 35,07 20,67 Bitung Utara 1.990 625 95 48 20,95 13,02 Sumber : BPS Kota Bitung, 2005

6.1.3.2. Pengetahuan lingkungan

Penduduk yang berdomisili di wilayah sekitar Selat Lembeh, Bitung bekerja sebagai nelayan, petani, buruh, wiraswasta dan PNS. Sebagian besar (lebih dari 40%.) penduduk bekerja sebagai nelayan. Pengetahuan lingkungan oleh masyarakat dapat dikatakan ”cukup”. Sampai saat ini kekhawatiran terhadap penurunan hasil tangkapan nelayan sudah mulai dirasakan. Oleh karena itu, beberapa masyarakat secara sadar telah menginginkan pentingnya mempertahankan hasil tangkapan walaupun mayarakat masih belum dapat mengawali. Secara mandiri upaya keprihatinan terhadap kawasan telah dimulai dengan dibentuknya masyarakat preservasi Selat Lembeh (Lembeh Strait Preservation Society-LSPS), dan beberapa LSM setempat yang menginginkan adanya konservasi di Selat Lembeh.

6.1.3.3. Memiliki nilai sejarah, seni dan budaya

Atribut ini dinilai dengan mempertimbangkan keberadaan bangunan atau benda-benda sejarah lainnya dari berbagai sumber, terutama yang bersifat resmi. Dari hasil pengamatan lapangan diperoleh bahwa di Papusungan (Pulau Lembeh) terdapat (”ada”) bangunan sejarah, yakni monumen Trikora Mandala Sakti, monumen perjuangan bangsa Indonesia, sedangkan di Pesisir Bitung ”tidak ada” nilai sejarah.

6.1.3.4. Memiliki nilai estetika

Penilaian nilai estetika atau keindahan alam bawah laut dilakukan dengan wawancara terhadap pengunjung kawasan wisata bahari. Juga wawancara dilakukan terhadap masyarakat sekitar tempat wisata dan pihak dari Dinas

(17)

Perikanan dan Kelautan Kota Bitung. Berdasarkan hasil wawancara, diperoleh bahwa Pulau Lembeh memiliki nilai estetika ”tinggi”, sedangkan Pesisir Bitung ”rendah”. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Soedharma et al. (2002), menunjukkan bahwa kawasan Selat Lembeh memiliki keindahan cukup baik, sehingga diperoleh skor untuk flora dan fauna masing-masing 2 (cukup indah). Selain itu, sebagi bukti tingginya nilai estetika khususnya keindahan bawah laut ditunjukkan dengan adanya beberapa Dive Sites di Selat Lembeh, yaitu

1. Batu Angus 15. Police Pier 29. Pantai Parigi 2. Aw Shucks 16. Pantai Kecil 30. Tnjng Tebal 3. Hairball 17. Rina Wreck 31. Batu Sandar 4. Hairball Too 18. Critter Hunt 32. Angel’Window 5. TK1/TK2/TK3 19. Serena North 33. Batu Merah 6. Larry’s Crack 20. Serena West 34. Pulau Putus

7. Slow Poke 21. Bimoli Wreck 35. California Dreaming 8. Magic Crack 22. Madidir 36. Kainah’s Treasure 9. Magic Rock 23. Goby A’Crab 37. Jiko Yansi

10.Nudi Retreat 24. Kapal Indah 38. Batu Kapal 11.Makawide 25. Pulau Abadi

12.Jahir 26. Wawali Wreek 13.Air Prang 27. Pintu Kota

14. Nudi Falls 28. Pintu Colanda

6.1.3.5. Ketergantungan pada perikanan sebagai sumber nafkah

Berdasarkan data dari BPS Kota Bitung, bahwa produksi perikanan laut tahun 2004 meningkat 13,29%, yakni dari 117.434,0 ton menjadi 133.046,6 ton. Nilai produksi perikanan laut pada tahun 2004 mengalami peningkatan sebesar 24,60%, yakni dari Rp. 550,321 (milyar) pada tahun 2003 menjadi Rp. 685,723 (milyar). Sementara itu berdasarkan hasil wawancara terhadap penduduk, diperoleh informasi bahwa pendapatan rata-rata dari usaha penangkapan ikan diatas 60% dari total pendapatan rumah tangganya.

Berdasarkan keragaman mata pencaharian seperti telah diuraikan di atas, dimana masyarakat Pulau Lembeh sebagain besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan, sebaliknya penduduk yang tinggal di Pesisir Bitung lebih sedikit yang bekerja sebagai nelayan.

(18)

6.1.3.6. Ketergantungan pada pariwisata bahari sebagai sumber nafkah Perkembangan pariwisata bahari hingga saat ini diakui telah memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat termasuk bagi pemerintah Kota Bitung. Hal ini terlihat dari data jumlah kunjungan wisatawan ke beberapa lokasi penyelaman di Selat Lembeh, yaitu setiap tahunnya berkisar 2000 orang penyelam. Data yang diperoleh dari Mitra Pesisir (2005), pada tahun 2004 wisatawan asing yang berkunjung ke Kota Bitung berjumlah 9.625 orang dan wisatawan lokal sebanyak 20.010 orang. Pariwisata bahari merupakan salah satu industri yang sedang dikembangkan di Selat Lembeh, industri ini memiliki tenaga lokal dan luar daerah. Karena jumlah resort yang relatif masih sedikit maka kebutuhan tenaga kerja juga rendah.

6.1.3.7. Waktu yang digunakan untuk pemanfaatan ekosistem terumbu karang

Pada umumnya nelayan yang ada di Pulau Lembeh masih bersifat tradisional, oleh sebab itu wilayah penangkapannya di sekitar Selat Lembeh. Jenis-jenis ikan karang yang ditangkap yaitu goropa (kerapu), bobara (kuwe). Jumlah masyarakat nelayan di Selat Lembeh sekitar 27,29% (PPPIK, 2005), dimanan nelayan menggunakan waktu secara “penuh” dalam pemanfaatan ekosistem terumbu karang, walaupun sebagian penduduk ada yang berprofesi sebagai petani, pegawai negeri maupun pegawai swasta.

6.1.3.8. Pemandu wisata

Selat Lembeh juga banyak dikunjungi oleh wisatawan baik wisatawan nusantara maupun domestik. Dalam melakukan wisata, khususnya snorkling atau diving, wisatawan dipandu oleh pemandu wisata yang bertugas di setiap resort. Resort yang sering dikunjungi wisatawan yaitu Kungkungan Bay Resort dan Lembeh Resort. Wisatawan yang hendak mengamati kehidupan bawah air di ekosistem terumbu karang biasanya telah menggunakan peralatan selam yang memadai, dalam melakukan kegiatan tersebut khususnya untuk snorkling dan diving telah diberikan petunjuk atau aturan-aturan oleh pemandu wisata di setiap resort, sebagai contoh adalah larangan mengambil dan merusak karang serta menginjak karang. Wisata bahari di Selat Lembeh belum dilengkapi dengan

(19)

kapal/perahu kaca, dimana wisatawan dapat melihat kehidupan bawah air tanpa harus menyelam sehingga mengurangi potensi kerusakan terumbu karang. Perahu seperti ini salah satu teknologi wisata bahari yang ramah lingkungan.

6.1.3.9. Wisatawan

Selat Lembeh merupakan daerah pariwisata bahari yang banyak dikunjungi oleh wisatawan nusantara maupun mancanegara. Berdasarkan Gambar 4.6 tersebut diatas, bahwa rata-rata persentase penutupan karang di 19 lokasi termasuk kategori baik sampai dengan cukup baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi pariwisata bahari Selat Lembeh cukup potensial untuk dikembangkan. Beberapa obyek wisata yang terkenal seperti pantai Tanjung Merah, teluk Kungkungan dan taman Laut Batu Kapal. Tabel 18 berikut ini adalah kondisi beberapa objek wisata bahari yang ada di Selat Lembeh .

Tabel 18. Objek Wisata di Selat Lembeh

Koordinat Jenis Wisata Penginapan Kondisi

No Lokasi

LU BT Pantai Diving Cottage Baik Akses

1. Bitung Selatan 1 0 23’37.68” 125010’26.04 Batu Kapal Pasir

Panjang 1 Baik Baik

2. Bitung Timur 1 0 29’31.2” 125014’17.6 Naemund ung

Kung-kungan 1 Baik Baik

3. Bitung

Barat 1

0

23’57.84” 12506’50.04 Tanjung

Merah - Kurang Baik

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kota Bitung (2005), bahwa jumlah kunjungan wisatawan mancanegara tahun 1995 mengalami peningkatan sampai dengan tahun 1998, namun pada lima tahun terakhir terjadi penurunan yakni pada tahun 2000 jumlah kunjungan wisatawan mancanegara sekitar 12864 orang sedangkan pada tahun 2004 menjadi 10920 orang. Jumlah kunjungan wisatawan nusantara sejak tahun 1995 mengalami penurunan (Gambar 22).

(20)

Kunjungan w isataw an m ancanegara dan nusantara 0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 199 5 199 6 199 7 199 8 199 9 200 0 200 1 200 2 200 3 200 4 Mcnegara Nusantara

Gambar 22. Perkembangan jumlah wisatawan mancanegara dan nusantara yang berkunjung di Kota Bitung

Untuk kegiatan pariwisata bahari (diving) di lokasi Selat Lembeh biaya/ harga yang harus dibayar oleh wisatawan bila ingin melakukan aktivitas diving termasuk penginapan dan tarif diving adalah sebagai berikut :

Lokasi : Lembeh Resort Kelurahan Pintu Kota (1 April 2005 – 31 Maret 2006)

a. Deluxe Cottage: Double occupancy : $99 pp; dan Single occupancy : $ 130 pp

b. Long Stay Bonus (untuk lebih dari 8 hari) : Double occupancy : $ 89 pp ; dan

Single occupancy : $ 120 pp

c. Penambahan tempat tidur dalam cottage $ 50 (max 2 tempat tidur/cottage, untuk cottage yang berkapasitas 2 ruangan)

a. Tarif anak-anak : Di bawah 5 tahun : free ; 6 – 11 tahun : $ 40/hari (5 jam) ; dan > 12 tahun : $ 50/hari (5 jam)

b. Sewa alat diving : 1 – 9 orang penyewa (@ $ 10/hari) ; dan > 8 orang penyewa (@ $ 8/hari).

Wisatawan asing biasanya menetap selama 5 – 10 hari, dengan biaya keseluruhan berkisar antara $ 800 - $ 1.250/orang selama tinggal di sana, umumnya melakukan aktivitas diving. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kegiatan perikanan dan pariwisata bahari di Selat Lembeh termasuk menguntungkan, sedangkan transfer keuntungan pada usaha perikanan dapat digolongkan seimbang antara orang lokal dengan orang luar.

(21)

6.1.3.10. Keuntungan (profit)

Pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) atau Gross Domestic Product (GDP) Kota Bitung cenderung meningkat, dimana pertumbuhannya seiring dengan laju pertumbuhan penduduk (LPP). Nilai PDRB Kota Bitung Tahun 1997 adalah 285,70 Milyar, dan pada tahun 2003 meningkat menjadi 433,25 Milyar. Laju pertumbuhan ekonomi (LPE) Kota Bitung adalah 5,79% sementara itu pendapatan per kapita Kota Bitung adalah Rp 6.815.507, Kontribusi ekonomi agregat (KEA) Kota Bitung terhadap Propinsi Sulawesi Utara cukup memiliki peranan yang berarti, dimana rata-rata KEA adalah 10,32% setiap tahunya. Setiap sektor lapangan usaha memiliki keragaman laju pertumbuhan ekonomi yang berbeda. Khusus untuk sektor perikanan memiliki LPE dengan kategori sedang yaitu 7,99 - 14,99%.

Berkaitan dengan kontribusi yang diberikan oleh pengguna Selat Lembeh terhadap PAD, sektor pariwisata memberikan konstribusi sebagai berikut : Monumen Trikora Mandala Sakti yang terletak di Kelurahan Papusungan, karcis tanda masuk : Dewasa Rp. 2.000/orang ; Anak-anak : Rp. 1.000/orang ; Kamar bilas/MCK : Rp. 1.000/orang ; Perahu motor : Rp. 3.000/orang (Mitra Pesisir Sulawesi Utara, 2005).

Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa satu orang nelayan dapat memperoleh Rp. 4000,- s/d 6000,-/kg. Hal ini berarti secara rata-rata keuntungan nelayan Selat Lembeh selama sebulan dengan 25 hari kerja adalah Rp. 100.000 – 150.000. Sementara itu Mitra Pesisir Sulawesi Utara (2005), melaporkan bahwa rata-rata pendapatan, penduduk di wilayah sekitar Selat Lembeh sebagian besar (25%) berpendapatan sekitar Rp 460 000 sampai Rp 600 000 per bulan. Hanya sebagian kecil saja yang berpendapatan di atas Rp 1 juta.

Selat Lembeh memiliki potensi pariwisata bahari yang dapat diandalkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain memiki pulau-pulau sangat kecil, Selat Lembeh memiliki pantai berpasir dan perairannya yang cukup jernih serta keberadaan terumbu karang yang masih baik. Kondisi tersebut dapat meningkatkan nilai ekosistem terumbu karang untuk dikembangkan sebagai pariwisata bahari. Penelitian tentang nilai ekonomi non-ekstraktif Selat Lembeh di laporkan oleh Fauzi dan Anna (2005), nilai ekonomi non-ekstraktif menyangkut

(22)

nilai ekonomi dari diving, sewa kapal, taxi air dan nilai non-existence. Tabel 19 berikut menyajikan nilai ekonomi non-ekstraktif Selat Lembeh.

Tabel 19. Nilai ekonomi non-ekstraktif Selat Lembeh Aktivitas Unit

Rata-Rata Penggunaan Rata-Rata/bulan Nilai Ekonomi PV at 8% Diving Rp/orang 750000 25 225.000.000 2.812.500.000

Carter kapal Rp/kapal/hari 175000 12 25.200.000 315.000.000 Taxi air Rp/orang 3000 1500 54.000.000 675.000.000 Sumber: Fauzi dan Anna (2005)

Sebagaimana terlihat pada Tabel 19 di atas, kegiatan penyeleman memberikan manfaat ekonomi (gross benefits) sekitar Rp 225 juta per tahun, sementara dari sewa kapal (charter boat) dan sea taxi masing-masing memberikan nilai ekonomi sebesar Rp 25 juta dan Rp 54 juta per tahun. Lebih lanjut Fauzi dan Anna (2005), melaporkan tingkat keuntungan pengoperasian kapal perikanan di Selat Lembeh dengan menggunakan data alat tangkap yang beroperasi di sekitar selat. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut (Tabel 20).

Tabel 20. Indikator ekonomi ekstraktif per vessel per tahun (dalam Rp juta) Indikator Binuang Makawide Paudean Aertembaga Total S.L

Rata-rata NPV Total pendapatan 32.038 207.718 184.142 24.012 447.910 111.978 5598.876 Pendapatan bersih 21.917 197.494 108.328 20.700 348.438 87.110 4355.481 Nilai tambah 20.682 171.694 86.578 20.561 299.515 74.879 3743.943 Pendapatan kapal 18.685 168.286 76.228 8.141 271.340 67.835 3391.755 Sumber: Fauzi dan Anna (2005)

Dari Tabel 20 di atas terlihat bahwa nilai pendapatan bersih (net revenue) dari perikanan di Selat Lembeh berkisar antara Rp 24 juta per kapal (vessel) per tahun sampai dengan Rp 207 juta per vessel per tahun. Nilai tambah yang dihasilkan (resource rent) berkisar antara Rp 20 juta per vessel per tahun hingga Rp 171 juta per vessel per tahun. Dengan mengaggregasikan nilai tersebut untuk seluruh kawasan selat lembeh maka diperoleh nilai ekonomi dengan kisaran Rp271 juta per vessel per tahun untuk boat income hingga Rp 348 juta per vessel

(23)

per tahun untuk net revenue. Nilai Net Present Value merupakan nilai ekonomi total capitalized dengan discount rate sebesar 8% per tahun. Artinya investasi perikanan di Selat Lembeh selama ini masih profitable untuk jangka panjang. 6.1.3.11. Transfer keuntungan

Transfer keuntungan di Pulau Lembeh pada usaha perikanan masih bersifat lokal, sedangkan untuk Pesisir Bitung bersifat seimbang antara orang lokal dengan orang luar karena selisih harga tidak terlalu berbeda jauh. Selisih nilai dari transfer keuntungan yang diperoleh dari petibo (pengumpul) dan nelayan atau orang lokal masih seimbang. Transfer keuntungan untuk usaha pariwisata bahari, keuntungannya lebih banyak dinikmati oleh orang luar karena pengusaha pariwisata dan tenaga kerja terampil berasal dari luar Bitung.

6.1.3.12. Zonasi peruntukan lahan

Zonasi peruntukan lahan perairan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah belum ada, namun demikian atas inisiatif Lembaga Swadaya Masyarakat bekerjasama dengan tokoh-tokoh masyarakat dengan aparat kelurahan membuat Daerah Perlindungan Laut yang berlokasi di Kelurahan Pasir Panjang Kecamatan Bitung Selatan, namun demikian karena kurangnya sosialisasi kepada masyarakat, DPL tersebut banyak yang melanggar. Dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, Pemda Kota Bitung tahun 2004 telah membuat ”Rencana Peraturan Daerah”, namun sampai saat ini belum disahkan menjadi Peraturan Daerah.

6.1.4. Dimensi Kelembagaan

6.1.4.1. Pemegang kepentingan utama

Pelaku pemanfaatan sumberdaya di lokasi studi terdiri dari, untuk Pulau Lembeh dilakukan secara individu sedangkan di pesisir Bitung dilakukan oleh pengusaha. Seperti pada umumnya di sebagian besar daerah di Sulawesi Utara, pemegang kepentingan utama masih ditangani oleh pemerintah artinya setiap kebijakan penggunaan lahan di atur oleh pemerintah. Jadi dapat dikatakan bahwa pemegang kepentingan utama didominasi oleh pemerintah. Adapun stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang Selat Lembeh disajikan pada Tabel 21.

(24)

Tabel 21. Stakeholder pengelolaan terumbu karang Selat Lembeh

No. Stakeholder Golongan - Level

1 Departemen Kelautan dan Perikanan Pemerintah - Pusat 2. Dinas Perikanan dan Kelautan Pemerintah - Kota

3. Dinas pariwisata Pemerintah - Kota

4. Bappeda Pemerintah - Kota

5. Bappedal Pemerintah - Kota

6. Pelindo-Perhubungan Laut Pemerintah – Pusat

7. Loka Konservasi Laut (LIPI-Bitung) Pemerintah – Pusat 8. Badan Pengelola Pesisir & Laut Terpadu Pemerintah – Provinsi

9. Industri Dunia usaha – Provinsi/Pusat

10. Program Mitra Bahari LSM - Provinsi

11. Yayasan Jaga Laut LSM - Kota

12. Pengusaha Resort Dunia usaha - Kota

13. Wisatawan Nusantara & Mancanegara

14. Nelayan Masyarakat Kelurahan

15. Peneliti Daerah, Pusat & Internasional 6.1.4.2. Tingkat kepatuhan masyarakat

Tingkat kepatuhan masyarakat, partisipasi, dan komitmen sangat menentukan keberhasilan pembangunan. Pelanggaran peraturan di wilayah pesisir dan laut biasanya didorong oleh persepsi adanya potensi keuntungan yang bisa didapatkan jika nelayan tersebut melanggar (Sutinen dan Kuperan, 1994). Model sifat kepatuhan sosial merupakan model ”basic compliance” atau ”basic deterrence” (Kuperan dan Sutinen, 1998) yang hanya mencakup faktor utilitas yang dipertimbangkan mempengaruhi kepatuhan nelayan terhadap peraturan. Model ini kemudian dikembangkan menjadi model ”extended compliance” yaitu model ”compliance” yang telah memperhitungkan variabel-variabel faktor moral dan faktor pengaruh sosial. Kuperan et al. (1997), menyatakan bahwa perilaku orang lain akan mempengaruhi kepatuhan seseorang terhadap peraturan. Oleh karena itu pengaruh dari daerah sekitar harus diperhitungkan.

6.1.4.3. Pelaksanaan pemantauan, pengawasan dan pengendalian

Pelaksanaan pemantauan, pengawasan dan pengendalian kadang-kadang dilakukan oleh aparat dalam bentuk patroli dan adanya larangan tidak menggunakan alat tangkap destruktif, serta masyarakat harus memperhatikan orang-orang yang masuk-keluar di wilayahnya. Maksudnya untuk menghindari terjadinya pengeboman ikan. Program tersebut bertujuan untuk

(25)

melindungi/menjaga keberadaan ekosistem terumbu karang dan merupakan salah satu wujud nyata kepedulian masyarakat terhadap ekosistem terumbu karang.

Penegakan aturan merupakan masalah nasional yang sampai saat ini belum mampu dilaksanakan. Kasus pengeboman karang masih sering terjadi khususnya disekitar Pulau Dua, namun jika ada laporan dari masyarakat kepada yang berwenang (Kepala Kelurahan dan aparatnya) tidak pernah ditanggapi. Informasi dilapangan diperoleh bahwa sulitnya menindak pelaku pengeboman tersebut karena dibekingi aparat kepolisian, namun hal ini masih sulit dibuktikan. Berkaitan dengan hal tersebut maka pemberian sangsi pun sulit dilakukan.

6.1.4.4. Tokoh panutan

Informasi dari lapangan diketahui bahwa setiap kelurahan di Kecamatan Bitung Selatan (Pulau Lembeh) dan Pesisir Bitung memiliki tokoh panutan, namun jumlahnya masih relatif sedikit. Tokoh masyarakat tersebut berasal dari pemuka agama (Ustadz dan pendeta).

6.1.4.5. Penyuluhan hukum lingkungan

Secara formal penyuluhan hukum lingkungan jarang dilakukan oleh intansi pemerintah terkait. Penyuluhan hukum informasl biasanya dilakukan pada saat pengajian dalam Majelis Taklim oleh umat Muslim dan perkumpulan ”kolom” oleh umat kristen.

Pola pikir masyarakat terhadap konsep partisipasi dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang masih mengikuti mekanisme dari atas kebawah dan dari bawah keatas (bottom-up top down). Dari hasil wawancara diperoleh bahwa masyarakat sering hadir dalam diskusi di kelurahan, namun demikian tingkat partisipasi dalam proses pengambilan keputusan rendah. Kegiatan partisipasi umumnya digerakkan oleh tokoh masyarakat walaupun ada atas inisiatif sendiri. Keragaan tersebut menunjukkan perkembangan partisipasi dipengaruhi aparat dan tokoh masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa belum optimalnya penerapan partisipasi sesuai dengan konsep co-manajemen. Usaha pengelolaan lingkungan pesisir yang lebih bersifat community based seperti program Rehabilitasi Mangrove yang pernah dilakukan dengan menggunakan pola kelompok masyarakat dalam kenyataannya dijalankan dalam mekanisme bottom-up dan

(26)

top-down planning. Kegiatan ini dikontrol dan dikendalikan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bitung karena sifatnya sebagai proyek pemerintah.

Sementara itu peranan wanita dapat dikatakan sedikit. Hal ini terlihat dari banyaknya waktu luang yang dimiliki oleh wanita nelayan belum dimanfaatkan untuk menambah penghasilan keluarga, waktu lebih banyak dihabiskan dirumah untuk mengurus rumah tangga, hal ini terlihat di Kecamatan Bitung Selatan. Dalam usaha dagang, kebanyakan wanita nelayan tidak berperan, namun demikian ada yang berperan sebagai pedagang sambilan baik berupa kegiatan menjual ikan hasil tangkapan suami, ataupun ikan olahan yang dibuatnya.

Berdasarkan uraian sebelumnya, dimana partisipasi masyarakat digerakkan oleh tokoh dan aparat, maka dapat dikatakan bahwa sikap dan perilaku serta nilai-nilai pemegang kepentingan terhadap proses pengambilan keputusan dapat menerima. Berdasarkan temuan ini maka paradigma sikap dan perilaku masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut saat ini berkembang dalam format (a) kuatnya peran aparat dan tokoh masyarakat, (b) masyarakat masih menaruh kepercayaan pada mereka yang berpendidikan relatif tinggi yang tercermin pada pengaruh tokoh masyarakat yang memiliki pendidikan lebih dihargai.

Keterlibatan masyarakat dalam kelompok bukan karena keinginan sendiri tetapi didorong oleh adanya faktor pemimpin formal yaitu Lurah. Hal ini seperti diungkap oleh Kepala Kelurahan, sebagai berikut: pada tahun 2005 ketika ada kegiatan dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bitung, yang mengikuti kegiatan adalah kelompok nelayan. Kelompok nelayan tersebut dibentuk oleh Lurah dengan kriteria tidak memiliki pekerjaan tetap dan patuh.

6.2. Akuntabilitas Pengelolaan Kawasan Terumbu Karang

Akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh dilakukan dengan menggunakan analisis Insus-COREMAG. Analisis Rap-Insus-COREMAG akan menghasilkan indeks akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang.

Hasil analisis Rap-Insus-COREMAG yang bersifat multidimensi, yaitu gabungan semua atribut dari empat dimensi yang dianalisis menghasilkan nilai indeks akuntabilitas sebesar 57,07 pada skala akuntabilitas 0 – 100. Hal ini

(27)

menunjukkan bahwa berdasarkan analisis terhadap 45 atribut dengan 4 dimensi, pengelolaan kawasan terumbu karang Selat Lembeh termasuk kategori cukup akuntabel, dengan nilai indeks akuntabilitas > 50 (Gambar 23).

Good Bad Up Down -80 -60 -40 -20 0 20 40 60 80 0 20 40 60 80 100 120

Sumbu X Setelah Rotasi Skala Akuntabilitas S u mbu Y S e te la h R ota s i

Gambar 23. Analisis Rap-Insus-COREMAG yang menunjukkan nilai akuntabilitas pengelolaan kawasan terumbu karang di Selat Lembeh Berdasarkan Gambar 23 tersebut diatas, dapat diketahui bahwa secara umum masih perlu dilakukan perbaikan pada berbagai dimensi pengelolaan kawasan terumbu karang, mencakup dimensi ekologi, teknologi, sosial ekonomi dan kelembagaan. Untuk mengetahui dimensi pengelolaan mana yang memerlukan perbaikan maka perlu dilakukan analisis Rap-Insus-COREMAG pada setiap dimensi.

6.2.1. Dimensi Ekologi

Berdasarkan Gambar 24 nilai indeks akuntabilitas untuk dimensi ekologi adalah sebesar 70,67 untuk lokasi Pulau Lembeh dan 47,04 untuk lokasi pesisir Bitung. Hal ini menunjukkan bahwa indeks akuntabilitas dimensi ekologi Pulau Lembeh cukup akuntabel, sedangkan pesisir Bitung termasuk kategori kurang akuntabel.

(28)

Ordinasi Dimensi Ekologi DOWN UP BAD GOOD -60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 1

Sumbu X setelah rotasi Skala Akuntabilitas S u m b u Y set el ah r o tasi 20

Gambar 24. Analisis Rap-Insus-COREMAG yang menunjukkan nilai indeks akuntabilitas dimensi ekologi

Analisis Leverage Dimensi Ekologi

2.595585143 1.036870019 1.092145732 1.36593863 1.395100115 1.346792958 1.527586857 1.825059521 2.156436877 2.002774936 1.489037128 2.939113622 2.699168795 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3

Persentase Penutupan Karang Keanekaragaman Ikan Karang Kecepatan Arus Substrat Perairan Suhu Salinitas kecerahan Kedalaman Spesies Endemik Sedimentasi Jumlah sungai Kondisi Perairan Tingkat Eksploitasi sumberdaya Ikan karang

A

tr

ibut

Perubahan Root M ean Square (RMS) jika satu atribut yang bersangkutan dihilangkan

.5

Gambar 25. Peran masing-masing atribut aspek ekologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS

Analisis leverage dilakukan bertujuan untuk melihat atribut yang sensitif memberikan konstribusi terhadap nilai indeks dimensi ekologi. Berdasarkan Gambar 25 dari tiga belas (13) atribut yang dianalisis, menunjukkan bahwa atribut ”kondisi perairan, tingkat eksploitasi sumberdaya ikan, persentase penutupan karang, spesies endemik, dan sedimentasi” memiliki tingkat sensitivitas yang

(29)

relatif lebih tinggi, sedangkan atribut ”keanekaragaman ikan karang” memiliki tingkat sensitivitas yang relatif lebih rendah dari ke dua belas (12) atribut lainnya.

Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem utama di wilayah pesisir yang sangat produktif, namun sangat rentan terhadap perubahan-perubahan atau pengaruh eksternal. Wilayah pesisir Selat Lembeh memiliki 5 (lima) buah sungai utama (DAS), yaitu Sungai Girian, Sagerat, Tanjung Merah, Tewaan dan Rinondoran (Lampiran 10), hal ini dapat menjadi sumber pembuangan limbah. Karena itu pengelolaan terumbu karang harus didasarkan atas pemahaman perspektif holistik dan berbasis ekologis. Clark (1996) mengelaborasi kaidah ekologis ini menjadi acuan bagi pengelolaan wilayah pesisir sebagai berikut: (1) integritas ekosistem: bahwa setiap ekosistem pesisir harus dikelola sejalan dengan keterkaitan bagian-bagian serta sebagai satu kesatuan yang utuh, (2) DAS: bahwa pengelolaan DAS sedapat mungkin mempertahankan pola alaminya, karena DAS adalah faktor kunci dalam pengelolaan air sebagai komponen utama keterkaitan elemen-elemen ekosistem, dan (3) penyangga DAS: perlu dibangun penyangga DAS berupa vegetasi sepanjang DAS tersebut sejalan dengan meningkatnya pembangunan. Tata guna lahan yang dicirikan oleh penutupan lahan menjadi hal yang sangat penting untuk mempertahankan fungsi hidrorologi DAS. Keberadaan DAS tersebut dapat mempengaruhi sifat fisika-kimia perairan, khususnya pola sebaran salinitas perairan Selat Lembeh Kota Bitung. Salinitas menggambarkan konsentrasi dari total ion yang terdapat dalam suatu perairan dengan ion-ion utama penyusunnya adalah natrium, kalium, magnesium, khlorida, sulfat dan bikarbonat (Millero dan Sohn, 1992). Salinitas akan bervariasi secara vertikal dan horizontal tergantung masukan air tawar, air hujan dan penguapan (evaporasi). Salinitas mempunyai peranan penting dalam kehidupan organisme laut dan kelarutan gas-gas di dalam air laut.

6.2.2. Dimensi Teknologi

Gambar 26 menunjukkan nilai indeks akuntabilitas dimensi teknologi sebesar 43,22 untuk Pulau Lembeh dan 33,22 untuk lokasi pesisir Bitung. Nilai indeks akuntabilitas dimensi teknologi lebih kecil daripada nilai indeks akuntabilitas dimensi ekologi dan termasuk kedalam kategori ”kurang berkelanjutan”. Rendahnya nilai indeks dimensi teknologi ini disebabkan karena

(30)

masih adanya penggunaan alat tangkap yang tidak selektif. Untuk meningkatkan status nilai indeks akuntabilitas dimensi teknologi ini perlu dilakukan perbaikan terhadap atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks tersebut.

Ordinasi Dimensi Teknologi

DOWN UP BAD GOOD -60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 120

Sumbu X setelah rotasi Skala Akuntabilitas Su m b u Y s e te la h r o ta s i

Gambar 26. Analisis Rap-Insus-COREMAG yang menunjukkan indeks akuntabilitas dimensi teknologi

Analisis Le v e rage Dime nsi Te knologi

3.250003081 2.883794492 1.388423019 2.724338823 0.513031913 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

Jenis Alat Tangkap Selektivitas Alat Tangkap Ketersediaan alur pelayaran Tipe Kapal Teknologi Penanganan pasca panen A tr ibut

Perubahan Root M ean Square (RMS) jika satu atribut yang bersangkutan dihilangkan

Gambar 27. Peran masing-masing atribut aspek teknologi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS

Berdasarkan hasil analisis leverage (Gambar 27) terdapat empat atribut yang sensitif mempengaruhi besarnya nilai indeks akuntabilitas dimensi teknologi yaitu, jenis alat tangkap dengan nilai 3,25, selektivitas alat tangkap dengan nilai 2,88, dan tipe kapal dengan nilai 2,72.

(31)

Menurut Russ (1991), tekanan penangkapan ikan yang berkepanjangan akan memberikan dampak pada terumbu karang, sehingga ketersediaan stok ikan akan mengalami perubahan. Mengacu pada hasil analisis leverage, maka dibutuhkan kebijakan pengelolaan terumbu karang, seperti pembentukan daerah konservasi laut untuk peningkatan persentase penutupan karang yang pada akhirnya memberikan peluang stok ikan karang melakukan pemijahan (spawning) sebagai sumber utama peremajaan (recruitment). Marsaoli (2001), menyatakan bahwa hubungan model pertumbuhan ikan lencam dengan sediaan stok menunjukkan bahwa pada kondisi karang baik pertumbuhan maksimum lestari (MSY) per tahun mencapai 7.083,97 kg/km2, sedangkan pada kondisi karang rusak pertumbuhan maksimum lestari hanya mencapai 3.001,10 kg/km2. Pertumbuhan ikan lencam mengalami penurunan sebesar 58% dari kondisi karang baik ke kondisi karang rusak. Aktivitas pertumbuhan ikan akan mengalami penurunan, jika kebanyakan ikan yang tertangkap adalah kelompok ikan yang sedang dalam proses pertumbuhan. Peristiwa ini akan menyebabkan overfishing pertumbuhan (growth overfishing) (Charles, 2001). Overfishing pertumbuhan lebih cepat terjadi pada kondisi karang rusak dibanding kondisi karang baik, selanjutnya dengan acuan hasil ini maka dibutuhkan kebijakan ukuran minimum (minimum size) ikan karang di Selat Lembeh yang tertangkap untuk menghindari mortalitas ikan yang masih dalam proses pertumbuhan, sehingga tidak perlu terjadi overfishing pertumbuhan.

Menurut Marsaoli (2001), jumlah upaya optimum untuk kondisi karang baik per tahun sebesar 168 trip/km2, sedangkan untuk kondisi karang rusak sebesar 123 trip/km2. Hasil maksimum lestari (CMSY) untuk kondisi karang baik per tahun sebesar 7.089,60 kg/km2 atau sekitar 58% lebih tinggi dari pada hasil maksimum lestari pada kondisi karang rusak yang berjumlah 2.992,59 trip/km2.

Berdasarkan pada analisis leverage yang diperoleh maka dapat dikatakan bahwa kerusakan terumbu karang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi keberadaan ikan karang. Selain itu, kerusakan terumbu karang akan memberikan dampak eksternalitas stok apabila tidak ditetapkan upaya zonasi atau konservasi laut. Langkah yang diambil misalnya penutupan sebagian kawasan untuk berbagai aktivitas penangkapan termasuk intensitas penangkapan

(32)

merupakan salah satu alternatif yang dibutuhkan untuk mencegah terjadinya overfishing malthus (malthusian overfishing). Penetapan upaya pemanfaatan yang sama di antara kedua kondisi tersebut akan berakibat overfishing malthus pada kondisi karang rusak jika mengikuti rekomendasi upaya zonasi atau konservasi laut pada kondisi karang baik. Sebaliknya, akan terjadi underfishing jika mengikuti rekomendasi zonasi atau konservasi laut pada kondisi karang rusak.

Menurut Russ (1991), overfishing malthus akan terjadi pada saat kondisi intensitas penangkapan ikan yang tinggi sedangkan hasil yang diperoleh semakin berkurang yang diikuti dengan rusaknya lingkungan. Solusi dalam pencegahan hal tersebut, dijelaskan oleh Pauly (1988) dengan mencoba memasukkan perikanan karang ke dalam suatu sistem pemanfaatan optimal dengan mempertimbangkan ekosistem terumbu karang dan wilayah sekitarnya. Selanjutnya menurut Munro (1984), penentuan hasil maksimum berkelanjutan sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya tangkap lebih (overfishing). Hal ini lebih menarik lagi pada perairan terumbu karang karena adanya efek penangkapan berdampak dua arah, yaitu terhadap stok ikan dan terumbu karang.

Studi Cesar (1997) menyatakan bahwa pengambilan batu karang memberikan keuntungan bersih sebesar $121.000 per km2 (dalam nilai netto saat ini), namun menimbulkan kerugian netto kepada masyarakat sebesar $ 93.600 dalam nilai perikanan, $ 12.000-260.000 dalam nilai proteksi wilayah pantai, $ 2.900 – 481.900 dalam nilai pariwisata, $ 67.000 dalam nilai kerusakan kawasan hutan dan kerugian yang tidak dapat dihitung karena kehilangan pangan dan keanekaragaman hayati.

Teknologi yang digunakan masyarakat menentukan keberlanjutan dan pengelolaan terumbu karang. Contoh kasus dalam hal ini adalah masyarakat desa pulau-pulau kecil di Maluku menggunakan alat tangkap sederhana untuk menangkap ikan. Akibatnya sumberdaya ikan tetap terjaga dengan baik. Pendatang harus menggunakan alat tangkap ikan yang sama dengan yang digunakan penduduk lokal. Di Papua, jika penduduk suatu suku tertentu ingin menangkap ikan di perairan yang menjadi milik suku lain, teknologi yang digunakan harus sama. Sementara itu, kehadiran alat tangkap yang modern, terutama yang terbuat dari bahan-bahan pabrik serta dengan menggunakan kapal

(33)

bermotor cenderung mendesak nelayan kecil untuk meninggalkan dan keluar dari perairan yang secara tradisi dan turun temurun telah menjadi daerah tempat usahanya.

Ditinjau dari kebutuhan aspek teknologi, kegiatan penangkapan ikan merupakan kegiatan yang memerlukan investasi modal yang cukup besar. Nikijuluw (2001), menyatakan bahwa besarnya investasi awal satu unit alat tangkap termasuk kapal berkisar antara Rp. 9,23 juta (untuk kapal dan alat tangkap gillnet) sampai dengan Rp.243,10 juta (untuk kapal dan alat tangkap mini purse seine). dari jumlah tersebut tidak semua nelayan mampu memilikinya dan bagi nelayan yang telah memiliki alat tangkap, terkadang dihadapkan pada masalah modal untuk renovasi. Mengingat investasi pada kegiatan perikanan tangkap senantiasa dihadapkan pada masalah depresiasi modal dan alat tangkap di samping resiko lainnya. Nikijuluw (2001), melaporkan bahwa usaha penangkapan ikan dari beberapa alat tangkap yang diamati di Jawa Tengah menunjukkan bahwa sebagian dari alat tangkap masih menghasilkan tingkat rentabilitas dan pendapatan sosial yang cukup tinggi (misalnya gillnet), sementara alat tangkap yang lain seperti mini purse seine, trammel net, dan bagan, dihadapkan pada resiko yang kurang menguntungkan, artinya besarnya tingkat rentabilitas maupun pendapatan sosial yang diterima oleh pemilik kapal relatif kecil. Hal ini disamping oleh tingginya biaya operasional penangkapan juga kendala hasil tangkapan yang tidak menentu. Kondisi ini mencerminkan bahwa upaya penangkapan ikan memerlukan perhatian serius, sehingga pengembangan penangkapan ikan perlu dimbangi dengan upaya perbaikan ekosistem, seperti terumbu karang yang dapat berfungsi sebagai daerah spawning ground dan fishing ground atau diperlukan adanya diversifikasi alat tangkap yang ramah lingkungan dan atau pengembangan usaha alternatif diluar kegiatan penangkapan ikan seperti pengelolaan pariwisata bahari. 6.2.3. Dimensi Sosial Ekonomi

Pada Gambar 28 menunjukkan nilai indeks akuntabilitas dimensi sosial ekonomi sebesar 61,64 untuk lokasi Pulau Lembeh dan 40,89 untuk lokasi Pesisir Bitung. Nilai indeks tersebut berada di bawah nilai indeks akuntabilitas dimensi ekologi dan berada di atas dimensi teknologi dan termasuk kedalam kategori ”cukup” akuntabel untuk lokasi Pulau Lembeh dan kategori ”kurang” akuntabel

(34)

untuk lokasi Pesisir Bitung. Hal ini mengandung pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya terumbu karang di dua lokasi studi mengindikasikan dimensi sosial ekonomi ”kurang” akuntabel dibanding aspek ekologi dan lebih akuntabel dibanding dimensi teknologi. Namun manfaat ini masih bersifat jangka pendek karena pemanfaatan terumbu karang masih ada yang bersifat destruktif. Perbaikan atribut yang sensitif terhadap nilai indeks dimensi sosial ekonomi, khususnya di lokasi Pesisir Bitung perlu dilakukan agar nilai indeks dimensi ini di masa yang akan datang semakin meningkat, sebaliknya nilai indeks untuk lokasi Pulau Lembeh perlu dipertahankan.

Ordinasi Dimensi Sosial Ekonomi

GOOD BAD UP DOWN -60 -40 -20 0 20 40 60 0 20 40 60 80 100 120

Sumbu X setelah rotasi Skala Akuntabilitas S u m b u Y setel a h r o tasi

Gambar 28. Analisis Rap-Insus-COREMAG yang menunjukkan indeks akuntabilitas dimensi sosial ekonomi

Berdasarkan hasil analisis leverage, terdapat 5 (lima) atribut yang sensitif mempengaruhi nilai indeks akuntabilitas dimensi sosial ekonomi (Gambar 29), yaitu Waktu yang digunakan untuk pemanfaatan terumbu karang, ketergantungan pada perikanan sebagai sumber nafkah, memiliki nilai sejarah, seni dan budaya, zonasi peruntukan lahan, dan potensi konflik.

(35)

Analisis Leverage Dimensi Sosial Ekonomi 2.638780556 1.78198294 1.521056677 2.76708084 1.937655166 3.441954345 1.621660101 3.762562246 1.402549063 1.162985838 1.053562591 1.415892506 1.34710047 1.195029678 1.17678618 1.056591717 1.506113152 2.617928892 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5

Jumlah lokasi potensi konflik pemanfaatan Tingkat pendidikan Pengetahuan lingkungan Memiliki nilai sejarah, seni dan budaya Memiliki nilai estetika Ketergantungan pada perikanan sebagai sumber nafkah Ketergantungan pada pariw isata bahari sebagai sumber nafkah Waktu yang digunakan untuk pemanfaatan terumbu karang Lokasi untuk pendidikan dan penelitian Pemandu w isata Tempat sew a scuba Wisataw an lokal Wisataw an mancanegara Jumlah objek w isata Lama tinggal w isataw an Keuntungan (profit) Transfer keuntungan Zonasi peruntukan lahan

A

tr

ibut

Perubahan Root Mean Square (RMS) jika satu atribut yang bersangkutan dihilangkan

4

Gambar 29. Peran Masing-Masing Atribut dimensi sosial ekonomi yang dinyatakan dalam bentuk perubahan nilai RMS

Dari lima atribut yang sensitif, atribut waktu yang digunakan untuk pemanfaatan terumbu karang memberikan nilai indeks yang paling sensitif terhadap dimensi sosial ekonomi yaitu 3,76. Memahami dimensi sosial ekonomi adalah sesuatu yang sangat penting dalam kaitannya dengan pengelolaan terumbu karang. Hal ini karena disamping sebagai kegiatan yang berbasis sumberdaya alam (natural resourcebased activity), pengelolaan terumbu karang merupakan kegiatan ekonomi yang berbasis pasar (market-based activity). Berdasarkan permasalahan pengelolaan terumbu karang dengan mempertimbangkan peran dari dimensi sosial ekonomi, dapat dirumuskan sebuah alternatif solusi yang representatif untuk menunjang pengelolaan secara berkelanjutan. Solusi alternatif pengelolaan ekosistem terumbu karang lebih diarahkan untuk memperkuat dan mengembangkan kelembagaan serta partisipasi masyarakat lokal. Wells et al. (1992), menyatakan bahwa pengelolaan partisipatif didasarkan pada tiga bagian utama, yaitu: (1) pemangku kepentingan (stakeholder) diberi kesempatan untuk terlibat aktif dalam pengelolaan. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin komitmen dan partisipasi mereka dan untuk menampung aspirasi dan pengalaman mereka dalam pengelolaan, (2) pembagian peran dan tanggung jawab dalam pengelolaan berbeda-beda tergantung kondisi khusus dari tiap kawasan, (3) kerangka kerja

(36)

pengelolaan tidak hanya untuk tujuan ekologis, melainkan juga mencakup tujuan ekonomi, sosial dan budaya.

Menurut Satria et al. (2002), pada dimensi sosial ekonomi, terdapat langkah-langkah menuju pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, yaitu melalui tiga tingkatan, (1) Tingkat masyarakat; pemerintah diharapkan dapat menyediakan fasilitas pemasaran pada masyarakat nelayan agar tidak bergantung pada pedagang besar dan pedagang perantara. Dalam tingkatan ini, pemerintah juga diharapkan dapat mengendalikan fluktuasi harga komoditas perikanan untuk menjamin kesejahteraan masyarakat nelayan. (2) Tingkatan kabupaten/kota; pemerintah diharapkan dapat memberikan akses dan jaringan pemasaran antara kalangan pengusaha besar dan masyarakat melalui sistem insentif dan disinsentif. Sejalan dengan itu, pemerintah daerah diharapkan lebih berorientasi pada pasar, (3) Tingkat antar kabupaten/kota; menjadikan hubungan pemasaran antara hulu dan hilir lebih baik dan mewujudkan mekanisme kontrol dan pengawasan terhadap pasar gelap dan antar daerah.

Sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, maka manfaat ekonomi dari potensi terumbu karang harus diarahkan untuk upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Tidak adil bila manfaat ekonomi dinikmati oleh orang luar, sedangkan penduduk setempat hanya menjadi penonton. Oleh karena itu manfaat terumbu karang harus diprioritaskan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Karena keterbatasan potensi terumbu karang dan modal serta peningkatan kebutuhan manusia yang selalu meningkat, maka penggunaan potensi tersebut harus efektif dan efisien.

Menurut Marsaoli (2001), Besarnya keuntungan berkelanjutan pada saat hasil maksimum lestari (MEY) menunjukkan bahwa kondisi karang baik, keuntungan berkelanjutan dicapai pada saat upaya tangkap per tahun sekitar 133 trip/km2. Pada kondisi karang rusak, keuntungan berkelanjutan dicapai ketika upaya tangkap berada pada posisi 78 trip/km2. Nilai keuntungan berkelanjutan pada kondisi karang baik per tahun sebesar Rp. 22.044.750 dan pada kondisi karang rusak diperoleh nilai keuntungan berkelanjutan sebesar Rp. 5.978.700.

Gambar

Tabel 15.  Kondisi nilai skor setiap atribut akuntabilitas pengelolaan kawasan  terumbu karang di Selat Lembeh
Gambar 19. Jenis dan perkembangan alat tangkap
Gambar 20.   Frekuensi  tipe  kapal  yang  berkunjung di PP-Bitung (Januari s/d  Mei  2005)
Gambar 22.   Perkembangan jumlah wisatawan mancanegara dan nusantara yang  berkunjung di Kota Bitung
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan nilai PVNR-land rent tersebut dapat disimpulkan bahwa secara ekonomi konversi lahan sawah menjadi kebun kelapa sawit adalah keputusan yang logis yang

Flavonoid yang terdapat pada ekstrak kulit lidah buaya termasuk jenis flavonoid yang kurang polar ka - rena lebih efektif menggunakan pelarut yang bersifat semi polar yaitu

Beberapa parameter yang diamati adalah: spektrum cerium-tiron, kondisi asam (pH), konsentrasi ligan, konsentrasi larutan penyangga, linieritas, pengaruh anion, deteksi limit,

Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa komunikasi memiliki peranan penting dalam kepemimpinan di Dinas Budparpora, hal ini perlu mendapat perhatian bagi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ekuitas merek yaitu kesadaran merek, kesan kualitas, asosiasi merek, dan brand loyality mempunyai pengaruh

(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, kepada Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di instansi Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan/atau

Hasil validasi pada video (Tabel 3) karakter hidup bersih dan sehat pada aspek konsistensi diperoleh persentase sebesar 100%, kelayakan kegrafisan sebesar 96,43%, dan komponen

Metode ASS menggunakan suatu kondisi lingkungan yang dapat mempercepat reaksi penurunan mutu produk pangan. Kelebihan metode ini adalah waktu pengujian yang