• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

7 BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori

2.1.1 Pembelajaran Kooperatif

Menurut E. Slavin (2008), pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang dilakukan secara berkelompok, siswa dalam suatu kelas dijadikan kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 4-5 orang dengan memperhatikan keberagaman anggota kelompok sebagai wadah siswa bekerjasama dan memecahkan suatu masalah melalui interaksi sosial dengan teman sebayanya, memberikan kesempatan pada siswa untuk mempelajari sesuatu dengan baik pada waktu yang bersamaan dan ia menjadi narasumber bagi teman yang lain untuk memahami konsep yang difasilitasi oleh guru.

Menurut Isjoni (2009: 35) menyatakan pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan belajar siswa lebih baik dan meningkatkan sikap tolong menolong dalam perilaku sosial. Pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang mendorong siswa aktif menemukan sendiri pengetahuannya melalui keterampilan proses. Siswa belajar dalam kelompok kecil yang kemampuannya heterogen. Pengelompokkan heterogenitas (Lie, 2004: 41) merupakan ciri-ciri yang menonjol dalam metode pembelajaran kooperatif. Kelompok heterogenitas bisa dibentuk dengan memperhatikan keanekaragaman gender dan kemampuan akademis.

Kelompok ini biasanya terdiri satu orang berkemampuan akademis tinggi, dua orang dengan kemampuan sedang, dan satu lainnya dari kelompok berkemampuan akademis kurang. Dalam menyelesaikan tugas kelompok, setiap anggota kelompok saling bekerjasama dan membantu dalam memahami suatu bahan ajar. Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan materi dan saling membantu teman sekelompok mencapai ketuntasan (Slavin, 1995: 73).

Dalam pembelajaran kooperatif ini siswa dapat lebih menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit melalui diskusi dan bila dibandingkan dengan pembelajaran individual, pembelajaran kooperatif lebih dapat mencapai kesuksesan akademik, tanggung jawab individu dan kelompok serta sosial siswa. Agar siswa dapat bekerjasama dengan

(2)

8

baik di dalam kelompoknya perlu diajarkan keterampilan-keterampilan kooperatif pada peserta didik.

Nurhadi (Isjoni, 2009), menyebutkan adanya beberapa keuntungan metode pembelajaran kooperatif antara lain:

1) Meningkatkan kepekaan dan kesetiakawanan sosial.

2) Memungkinkan para siswa saling belajar mengenai sikap, keterampilan, informasi, dan

perilaku sosial.

3) Menghilangkan sifat mementingkan diri sendiri atau egois.

4) Membangun persahabatan yang dapat berlanjut hingga masa dewasa.

5) Meningkatkan rasa saling percaya kepada sesama manusia.

6) Meningkatkan kemampuan memandang masalah dan situasi dari berbagai perspektif.

7) Meningkatkan kesediaan menggunakan ide orang lain yang dirasakan lebih baik.

8) Meningkatkan kegemaran berteman tanpa memandang perbedaan kemampuan, jenis

kelamin, normal atau cacat, etnik, kelas sosial, dan agama.

Menurut Robert E. Slavin (2008), model pembelajaran kooperatif juga mempunyai kelemahan diantaranya sebagai berikut:

1) Memerlukan persiapan yang rumit untuk pelaksanaannya.

2) Apabila terjadi persaingan yang negatif maka hasilnya akan buruk.

3) Apabila ada siswa yang malas atau ada yang ingin berkuasa dalam kelompoknya

sehingga menyebabkan usaha kelompok tidak berjalan sebagaimana mestinya.

4) Adanya siswa yang tidak memanfaatkan waktu sebaik-baiknya dalam belajar kelompok.

Hal ini penting karena siswa yang tidak aktif didorong untuk aktif. Perlu diterapkan pembelajaran kooperatif dalam upaya mempengaruhi hasil belajar siswa terutama dalam mata pelajaran IPA karena pembelajaran kooperatif tersebut diharapkan dapat mempengaruhi kemampuan belajar siswa dan kehadiran siswa serta kerja siswa yang lebih positif, menambah motivasi dan percaya diri serta menambah rasa senang berada di sekolah. Dengan model pembelajaran kooperatif diharapkan juga siswa akan lebih suka dengan pelajaran IPA. Jadi, model pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran dengan membagi siswa dalam kelompok-kelompok kecil yang dimana mereka akan memperdalami materi, mengerjakan tugas yang diberikan guru dengan baik.

(3)

9

Dengan pembelajaran kooperatif siswa akan lebih menghargai teman yang lain dan saling membantu satu sama lain dalam mewujudkan tujuan yang akan dicapai dalam pembelajaran.

2.1.2 Model Pembelajaran Kooperatif tipe TGT (Team Games Tournament)

Model pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Games Tournament) merupakan

salah satu model pembelajaran kooperatif dengan dibentuknya kelompok-kelompok kecil dalam kelas yang terdiri dari 4-5 siswa yang heterogen baik dalam prestasi akademik, jenis

kelamin, ras, maupun etnis. Dalam pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Games

Tournament) ini digunakan turnamen akademik, dimana siswa berkompetisi sebagai wakil dari timnya melawan anggota tim yang lain yang mencapai hasil atau prestasi serupa pada waktu lalu. Teman satu tim akan saling membantu dalam mempersiapkan diri untuk permainan dengan mempelajari lembar kegiatan dan menjelaskan masalah-masalah satu sama lain, memastikan telah terjadi tanggung jawab individual (Robert E. Slavin, 2008). Menurut Robert E. Slavin (2008), pembelajaran kooperatif tipe TGT terdiri dari 5 komponen utama yaitu: 1) presentasi di kelas atau penyajian materi, 2) tim (kelompok), 3) game (permainan), 4) turnamen (pertandingan), dan 5) rekognisi tim (penghargaan kelompok). Prosedur pelaksanaan TGT dimulai dari aktivitas guru dalam menyampaikan pelajaran, kemudian siswa bekerja dalam tim mereka untuk memastikan bahwa semua anggota tim telah menguasai pelajaran. Selanjutnya diadakan turnamen, dimana siswa memainkan

gameakademik dengan anggota tim lainnya untuk menyumbangkan poin bagi skor timnya.

Komponen-komponen dalam TGT adalah penyajian materi, tim, game, turnamen dan penghargaan kelompok. Secara rinci, penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Presentasi Kelas

Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam penyajian kelas, biasanya dilakukan dengan pengajaran langsung atau dengan ceramah, dan diskusi yang dipimpin guru. Di samping itu, guru juga menyampaikan tujuan, tugas, atau kegiatan yang harus dilakukan siswa, dan memberikan motivasi. Pada saat penyajian kelas ini siswa harus benar-benar memperhatikan dan memahami materi yang disampaikan guru, karena akan membantu siswa bekerja lebih baik pada saat kerja kelompok dan pada saat game/turnamen karena skor game/turnamen akan menentukan skor kelompok.

(4)

10 2. Belajar Kelompok (Tim)

Guru membagi siswa dalam kelompok-kelompok kecil. Siswa bekerja dalam kelompok yang terdiri atas 5 orang yang anggotanya heterogen dilihat dari kemampuan akademik, jenis kelamin, dan ras atau etnik yang berbeda.

Dengan adanya heterogenitas anggota kelompok, diharapkan dapat memotivasi siswa untuk saling membantu antar siswa yang berkemampuan lebih dengan siswa yang berkemampuan kurang dalam menguasai materi pelajaran.

Hal ini akan menyebabkan tumbuhnya rasa kesadaran pada diri siswa bahwa belajar secara kooperatif model TGT sangat menyenangkan. Pada saat pembelajaran, fungsi kelompok adalah untuk lebih mendalami materi bersama teman kelompoknya dan lebih khusus untuk mempersiapkan anggota kelompok agar bekerja dengan baik dan optimal pada saat game/turnamen.

Setelah guru menginformasikan materi dan tujuan pembelajaran, masing-masing kelompok berdiskusi dengan menggunakan modul. Dalam kelompok terjadi diskusi untuk memecahkan masalah bersama, saling memberikan jawaban dan mengoreksi jika ada anggota kelompok yang salah dalam menjawab. Penataan ruang kelas diatur sedemikian rupa sehingga proses pembelajaran dapat berlangsung dengan baik.

3. Persiapan Permainan/Pertandingan

Guru mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan materi, bernomor 1 sampai 30. Kemudian guru mempersiapkan alat-alat untuk permainan, yaitu: kartu permainan yang dilengkapi nomor, skor, pertanyaan, dan jawaban mengenai materi. Game dimainkan oleh tiga siswa pada sebuah meja, dan masing-masing siswa mewakili tim yang berbeda yang dipilih secara acak.

4. Turnamen

Turnamen merupakan struktur game yang dimainkan. Biasanya diselenggarakan pada akhir pekan atau unit, setelah guru melaksanakan penyajian materi dan tim telah berlatih dengan lembar kerja. Turnamen 1, guru menempatkan siswa ke meja turnamen, tiga siswa terbaik pada hasil belajar yang lalu pada meja 1, tiga siswa berikutnya pada meja 2, dan seterusnya.

Kompetisi yang selama ini memungkinkan siswa dari semua tingkat pada hasil belajar yang lalu memberi kontribusi pada skor timnya secara maksimal jika mereka

(5)

11

melakukan yang terbaik. Setelah turnamen satu, siswa pindah meja tergantung pada hasil mereka dalam turnamen satu. Pemenang satu pada tiap meja ditempatkan ke meja berikutnya yang setingkat lebih tinggi, misalnya dari 5 ke 6. Pemenang kedua pada meja yang sama, dan yang kalah diturunkan ke meja di bawahnya.

Dengan cara ini, jika siswa salah ditempatkan pada mulanya, mereka akan naik atau turun sampai mereka mencapai tingkat yang sesuai. Secara skematis model pembelajaran TGT untuk turnamen tampak seperti gambar berikut:

Gambar 2.1

Skema pertandingan atau turnamen TGT (Slavin : 2008). 5. Rekognisi Tim/Penghargaan Kelompok

Tim dimungkinkan mendapatkan sertifikat atau penghargaan lain apabila skor rata-rata mereka melebihi kriteria tertentu.

Menurut Slavin (1995: 80) penghargaan yang diberikan kepada kelompok adalah dengan kriteria sebagai berikut:

Tabel 2.1 Kriteria Penghargaan Kelompok

Skor rata-rata Penghargaan

40 45

Good team Great team

50 Supergreat team

Model pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Games Tournament) juga memiliki

kelebihan dan kelemahan, antara lain:

Meja Turnamen 4 Meja Turnamen 3 Meja Turnamen 1 Meja Turnamen 2 C1 C2 C3 C4 Tinggi Sedang Sedang Rendah B1 B2 B3 B4

Tinggi Sedang Sedang Rendah

A1 A2 A3 A4 Tinggi Sedang Sedang Rendah

(6)

12 1) Kelebihan

1. Keterlibatan siswa dalam belajar lebih tinggi.

2. Siswa menjadi bersemangat dalam belajar.

3. Pengetahuan yang diperoleh siswa bukan semata-mata dari guru, tetapi juga

melalui konstruksi sendiri oleh siswa.

4. Dapat menumbuhkan sikap-sikap positif dalam diri siswa, seperti kerjasama,

toleransi, tanggung jawab, serta bisa menerima pendapat orang lain.

5. Melatih siswa mengungkapkan atau menyampaikan gagasan atau idenya.

2) Kekurangan

1. Bagi pengajar pemula, model ini membutuhkan waktu yang banyak. 2. Membutuhkan sarana dan prasarana yang memadai.

3. Dapat menumbuhkan suasana gaduh di kelas. Siswa terbiasa dengan adanya hadiah.

Model pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Games Tournament) adalah

model pembelajaran yang menitikberatkan belajar dengan kelompok dan mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru secara bersama-sama. Siswa akan lebih aktif dalam pembelajaran, karena akan dituntut tanggung jawab setiap individu dan tanggung jawab kelompok yang akan mengikuti game pada akhir pokok bahasan pembelajaran.

Dengan demikian akan terjadi suatu kompetisi atau pertarungan dalam hal akademik, setiap siswa berlomba-lomba untuk memperoleh hasil belajar yang optimal. Dengan model pembeljaran kooperatif tipe TGT diharapkan siswa lebih aktif dalam mengikuti pembelajaran, lebih bisa bekerjasama dengan teman lain, lebih bertanggung jawab dan membuat suasana pembelajaran lebih menyenangkan.

Sehingga dengan model pembelajaran kooperatif tipe TGT akan mempengaruhi tingkat konsentrasi, kecepatan menyerap materi pelajaran, dan kematangan pemahaman terhadap sejumlah materi pelajaran sehingga hasil belajar mencapai optimal.

2.1.3 IPA

1. Pengertian IPA

Menurut Kurikulum Pendidikan Dasar dalam Garis-Garis Besar Program Pendidikan (GBPP) kelas V Sekolah Dasar menyatakan: Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)

(7)

13

atau Sains merupakan hasil kegiatan manusia yang berupa pengetahuan, gagasan dan konsep-konsep yang terorganisasi tentang alam sekitar, yang diperoleh dari pengalaman melalui serangkaian proses kegiatan ilmiah anatar lain penyelidikan, penyusunan dan pengujian gagasan-gagasan.

Ilmu Pengetahuan Alam atau Sains (science) diambil dari kata latin Scientia yang

arti harfiahnya adalah pengetahuan, tetapi kemudian berkembang menjadi khusus Ilmu Pengetahuan Alam atau Sains. Sund dan Trowbribge merumuskan bahwa Sains merupakan kumpulan pengetahuan dan proses.

Sedangkan Kuslan Stone menyebutkan bahwa Sains adalah kumpulan pengetahuan dan cara-cara untuk mendapatkan dan mempergunakan pengetahuan itu. Sains merupakan produk dan proses yang tidak dapat dipisahkan.

Sains sebagai proses merupakan langkah-langkah yang ditempuh para ilmuan untuk melakukan penyelidikan dalam rangka mencari penjelasan tentang gejala-gejala alam. Langkah tersebut adalah merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen, mengumpulkan data, menganalisis dan akhirnya menyimpulkan. Dari sini tampak bahwa karakteristik yang mendasar dari Sains ialah kuantifikasi artinya gejala alam dapat berbentuk kuantitas.

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) adalah studi mengenai alam sekitar, dalam hal ini berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja, tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Cain dan Evans (1990) menyatakan bahwa IPA mengandung empat hal yaitu: konten atau produk, proses atau metode, sikap, dan teknologi.

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sebagai konten atau produk mengandung arti bahwa di dalam IPA terdapat fakta-fakta, hukum-hukum, prinsip-prinsip, dan teori-teori yang sudah diterima kebenarannya.

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sebagai proses atau metode berarti bahwa IPA merupakan suatu proses atau metode untuk mendapatkan pengetahuan.

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sebagai sikap berarti bahwa IPA dapat berkembang karena adanya sikap tekun, teliti, terbuka, dan jujur.

(8)

14

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sebagai teknologi mengandung pengertian bahwa IPA terkait dengan peningkatan kualitas kehidupan.

Jika IPA mengandung keempat hal tersebut, maka dalam pendidikan IPA di sekolah seyogyanya siswa dapat mengalami keempat hal tersebut, sehingga pemahaman siswa terhadap IPA menjadi utuh dan dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan hidupnya.

2. Perkembangan Pendidikan IPA

Pemberian pendidikan IPA di sekolah dasar bertujuan agar siswa paham dan menguasai konsep alam. Pembelajaran ini juga bertujuan agar siswa dapat menggunakan metode ilmiah untuk menyelesaikan persoalan alam tersebut.

Pendidikan IPA atau IPA itu sendiri memiliki peran penting dalam meningkatkan mutu pendidikan terutama dalam menghasilkan peserta didik yang berkualitas yang mempunyai pemikiran kritis dan ilmiah dalam menanggapi isu di masyarakat. Perkembangan IPA ini dapat menyesuaikan dengan era teknologi informasi yang saat ini tengah hangat dibicarakan dalam dunia pendidikan.

Menyadari hal ini maka pendidikan IPA perlu mendapat perhatian, sehingga dapat dilakukan suatu usaha yang disebut modernisasi. Modernisasi sendiri merupakan proses pergeseran sikap, cara berpikir dan bertindak sesuai dengan tuntunan zaman. Dengan demikian modernisasi pendidikan IPA memiliki upaya untuk mengubah sistem menjadi lebih modern dan akan terus berjalan dinamis.

Modernisasi dalam pendidikan IPA meliputi dua hal yaitu materi IPA dan matematika, serta sistem penyampaian. Modernisasi pendidikan IPA telah berkembang di negara-negara maju seperti Amerika, namu untuk Indonesia sendiri belum nampak perkembangannya.

Modernisasi yang dilakukan di Indonesia terkait dengan adanya perubahan kurikulum yang dominan terlihat pada kurikulum 1975, kurikulum ini berpengaruh pada kurikulum 1984 dan 1994. Selanjutnya berubah menjadi kurikulum 2004 yang biasa dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sampai akhirnya sekarang telah disempurnakan menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

(9)

15 3. Tujuan Pendidikan IPA

Tujuan pendidikan IPA di SD hendaknya lebih menekankan kepada pemilikan kecakapan proses atau kecakapan generik dibandingkan dengan penguasaan konsep, karena kecakapan generik merupakan prasyarat yang harus dimiliki siswa, agar siswa dapat mempelajari bidang studi lainnya sesuai dengan minatnya. Kecakapan generik yang dimiliki siswa SD akan berfungsi menjadi alat bagi mereka untuk menggali konsep-konsep keilmuan yang diminatinya pada jenjang pendidikan berikutnya.

Adapun kecakapan proses yang dimiliki siswa adalah: 1. Kecakapan observasi

2. Kecakapan klasifikasi 3. Kecakapan pengukuran 4. Kecakapan memprediksi

5. Kecakapan inferensi (pengambilan keputusan) 6. Kecakapan membuat hipotesa

7. Kecakapan komunikasi

2.1.4 Pengertian Hasil Belajar

Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar siswa pada hakikatnya adalah perubahan mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik yang berorientasi pada proses belajar mengajar yang dialami siswa (Nana Sudjana, 2011:2). Sementara menurut Aunurrahman (2011:37) mengemukakan hasil belajar merupakan perubahan tingkah laku yang diperoleh dari aktivitas belajar. Walapun tidak semua perubahan tingkah laku merupakan hasil belajar, akan tetapi aktivitas umumnya disertai perubahan tingkah laku. Perubahan tingkah

laku pada kebanyakan hal merupakan suatu perubahan yang dapat diamati (observable).

Akan tetapi juga tidak selalu perubahan tingkah laku yang dimaksudkan sebagai hasil belajar tersebut dapat diamati. Perubahan-perubahan yang dapat diamati kebanyakan berkenaan dengan perubahan aspek-aspek motorik. Menurut Winkel (Purwanto, 2011) hasil belajar adalah perubahan yang mengakibatkan manusia berubah dalam sikap dan tingkah lakunya. Aspek perubahan itu mengacu pada taksonami tujuan pengajaran yang dikembangkan oleh Bloom, Simpson dan Haroow mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.

(10)

16

Berdasarkan pendapat beberapa para ahli mengenai pengertian hasil belajar, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah perubahan pada kognitif, afektif, dan psikomotorik sebagai pengaruh pengalaman belajar yang dialami siswa.

2.1.5 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Menurut Slameto (2003:54-72) faktor-faktor yang mempengaruhi belajar yaitu: 1. Faktor intern, yang terdiri dari tiga faktor berikut:

1) Faktor jasmaniah yang meliputi faktor kesehatan dan cacat tubuh.

2) Faktor psikologis yang meliputi intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif,

kematangan, dan kesiapan.

3) Faktor kelelahan yang meliputi kelelahan jasmani dan rohani.

2. Faktor ekstern

1) Faktor keluarga yang meliputi cara orang tua mendidik, relasi antaranggota

keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua, dan latar belakang kebudayaan.

2) Faktor sekolah yang meliputi metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan

siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung, metode belajar, dan tugas rumah.

3) Faktor masyarakat yang meliputi kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media,

teman bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat.

2.2 Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan

Penelitian tentang model pembelajaran TGT sebelumnya pernah diuji atau diteliti oleh beberapa orang. Penelitian ini relevan dengan penelitian Restika Parendrarti yang telah melakukan tentang penelitian Aplikasi Model TGT Upaya meningkatkan Motivasi Belajar Siswa yang menyatakan bahwa model TGT mampu meningkatkan motivasi belajar siswa dan penelitian dengan menggunakan metode TGT menunjukkan adanya pengaruh motivasi dan hasil belajar baik dari aspek kognitif maupun dari aspek afektif karena pembelajaran ini melibatkan seluruh siswa untuk aktif dalam mengikuti proses pembelajaran.

(11)

17

Selain itu, beberapa penelitian berikut juga memfokuskan pada penerapan

model pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Games Tournament) adalah sebagai

berikut:

1. Gregoria Aryanti (2007), mengungkapkan bahwa pembelajaran kooperatif

menunjukkan siswa lebih aktif dan kreatif, kemampuan siswa dalam memahami soal. Terdapat pengaruh tingkat kemampuan awal siswa terhadap kemampuan siswa memecahkan masalah IPA dan terdapat interaksi pengaruh model pembelajaran kooperatif dan tingkat kemampuan awal siswa terhadap kemampuan siswa memecahkan masalah IPA.

2. Pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Games Tournament) menurut praktikan

akan berjalan dengan baik apabila masing-masing kelompok saling bekerjasama dalam menyelesaikan tugas kelompoknya dan mau menerima pendapat temannya serta tidak mementingkan egonya masing-masing.

Dari kedua penelitian di atas menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan penelitian saya dan penelitian Gregoria Ariyanti (2007), karena penelitian yang kami lakukan sama-sama berfokus pada kerjasama dalam kelompok kecil dan mau menerima pendapat temannya yang lain hingga termotivasi untuk saling bekerjasama serta mampu memecahkan masalah IPA dengan kemampuannya masing-masing.

2.3 Kerangka Berpikir

Metode ceramah sering dipandang sudah biasa bahkan cenderung membuat siswa merasa bosan dalam mengikuti proses pembelajaran. Hal ini menjadikan siswa

Terdapat pengaruh yang signifikan terhadap penggunaan pembelajaran kooperatif model TGT di mana hasil belajar kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol

Hasil pretest tidak boleh ada perbedaan yang signifikan

Pembelajaran Kooperatif model TGT

Kelas

Eksperimen Pretest Posttest

(12)

18

menjadi pasif. Oleh karena itu, perlu adanya penggunaan model-model pembelajaran yang dapat menjadikan siswa menjadi lebih aktif dan kreatif.

Pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif tipe TGT (Team Games

Tournament) selama kegiatan pembelajaran siswa bekerja secara bersama-sama, sehingga terjadi suatu interaksi yang baik dengan siswa, guru maupun media belajar selama kegiatan belajar berlangsung sebagian besar aktivitas yang ada di dalam kelas dilakukan oleh siswa, guru hanya sebagai motivator dan fasilitator bagi siswa. Sehingga konsep materi ditanamkan sendiri oleh siswa selama memecahkan masalah yang dihadapinya. Proses pembelajaran IPA yang berlangsung saat ini di sekolah biasanya dimulai dari teori kemudian diberikan contoh soal dan dilanjutkan dengan latihan soal. Di dalam pembelajaran IPA di sekolah saat ini, masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari hanya digunakan sebagai aplikasi dari teori-teori yang sudah diberikan.

Dalam pembelajaran dengan model pembelajaran kooperatif, siswa mencari pemecahan masalah dari seluruh masalah-masalah yang diberikan oleh guru dengan memanfaatkan media belajar yang ada. Oleh karena itu diperlukan suatu kreativitas dan kemandirian dari siswa untuk belajar.

2.4 Hipotesis

Hipotesis dapat diartikan sebagai suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap suatu permasalahan penelitian sampai terbukti data yang terkumpul (Arikunto, 1998: 67).

Berdasarkan tinjauan teori dan kerangka berpikir, dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: ada perbedaan pengaruh penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe

TGT (Team Games Tournament) dengan model pembelajaran konvensional terhadap hasil

Gambar

Tabel 2.1 Kriteria Penghargaan Kelompok

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa zeolit alam Ende tanpa aktivasi dan modifikasi (ZA), zeolit teraktivasi asam (ZAA), zeolit teraktivasi basa (ZAB), Na-zeolit

antara alkohol dengan suatu anhidrida asam atau klorida asam, yang lebih reaktif.. daripada asam karboksilat dan dapat bereaksi secara tak

EDS adalah proses evaluasi diri sekolah yang bersifat internal yang melibatkan pemangku kepentingan untuk melihat kinerja sekolah berdasarkan Standar Pelayanan Minimal

Berdasarkan uraian di atas maka pemecahan masalah dalam penelitian ini adalah dengan implementasi model pembelajaran Problem Posing dengan metode Brainstorming diharapkan dapat

Keterangan: yang ditebalkan dan di warna merah masuk dalam

Metode studi lapangan dilakukan dengan melakukan wawancara dengan pihak perusahaan untuk mendapatkan data, serta menganalisa data tersebut, sedangkan metode studi pustaka

Hasil dari pengujian dapat disimpulkan bahwa metode Template Matching dapat diterapkan untuk mengidentifikasi penyakit Tuberkulosis paru dengan prosentase keberhasilan

Dalam bab ini akan dijabarkan tentang langkah - langk h pengerjaan tugas akhir ini yang terdiri dari anali a optimasi, analisa keandalan dan resiko, serta anali