• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

12

1. Tindak Pidana dan Tindak Pidana Kesusilaan a. Pengertian Tindak Pidana

Pembentuk undang-undang menggunakan kata “strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal dengan istilah tindak pidana. Beberapa istilah lain yang digunakan untuk menggambarkan tindak pidana, yakni antara lain: perbuatan pidana, peristiwa pidana, delik, pelanggaran pidana, dan lainnya (Adami Chazawi, 2011: 67-68). Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak dijelaskan mengenai istilah “strafbaar feit” tersebut. Kata “feit” di dalam bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan, sedangkan “strafbaar” berarti dapat dihukum, sehingga secara harafiah istilah “strafbaar feit” dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum (Lamintang, 2013: 181). Andi Hamzah di dalam bukunya Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari retribusi ke reformasi berusaha memisahkan pengertian istilah pidana dengan istilah hukuman. Hukuman adalah suatu pengertian umum, sebagai suatu sanksi yang menderitakan atau nestapa yang sengaja ditimpakan kepada seseorang, sedangkan pidana merupakan suatu pengertian khusus yang berkaitan dengan hukum pidana. Sebagai suatu pengertian yang khusus, masih juga terdapat pengertian umum, sebagai suatu sanksi atau nestapa yang menderitakan. Menurut Andi Hamzah istilah pidana harus dikaitkan dengan ketentuan yang tercantum di dalam Pasal 1 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau yang biasa disebut dengan asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali atau asas legalitas. Dengan adanya perbedaan antara hukuman dan pidana tersebut, maka Indonesia memiliki istilah hukum yang lebih kaya daripada di Negeri Belanda, karena mereka hanya memiliki satu istilah

(2)

baik sebagai padanan istilah hukuman maupun pidana, yaitu straf (Andi Hamzah, 1986: 1-2). Simons menerangkan bahwa “strafbaar feit” adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab (Moeljatno, 2008: 61).

Moeljatno dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana menggunakan istilah perbuatan pidana untuk menunjuk suatu tindak pidana. Moeljatno menyimpulkan bahwa perbuatan pidana tidak dihubungkan dengan kesalahan yang merupakan pertanggungjawaban pidana bagi orang yang melakukan perbuatan pidana, namun perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifat perbuatannya saja, yaitu sifat yang dilarang dengan ancaman pidana apabila dilanggar (Moeljatno, 2008: 62). Perbuatan pidana merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan dimana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Perbuatan pidana juga dapat dikatakan sebagai perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana. Larangan tersebut ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau keajaiban yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu (Moeljatno, 2008: 59). Sehubungan dengan hal pengertian tindak pidana tersebut, Bambang Poernomo berpendapat bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut (Bambang Poernomo, 1992: 130). Dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tindak pidana diartikan sebagai perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Selain itu juga dikemukakan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bahwa untuk

(3)

dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum dalam masyarakat. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali apabila terdapat alasan pembenar.

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Unsur-unsur tindak pidana pada umumnya dibagi menjadi dua yaitu unsur subyektif dan unsur obyektif. Unsur subyektif adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subyektif tindak pidana antara lain:

a) Kesengajaan atau kealpaan (dolus atau culpa);

b) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 Ayat (1) KUHP; c) Macam-macam maksud oogmerk seperti yang terdapat

misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain;

d) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

e) Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut pasal 308 KUHP (Lamintang, 2013: 193-194).

Unsur obyektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur obyektif tindak pidana antara lain:

a) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;

b) Kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris

(4)

dari suatu perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;

c) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat (Lamintang, 2013: 194).

c. Jenis-jenis Tindak Pidana

Hukum Pidana membagi semua tindak pidana, baik yang termuat di dalam maupun di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjadi dua golongan besar, yaitu golongan kejahatan yang termuat dalam Buku II dan golongan pelanggaran yang termuat dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wirjono Prodjodikoro, 2002: 4). Pembagian atas kejahatan dan pelanggaran ini muncul di dalam WvS (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda) tahun 1886, yang kemudian turun ke WvS (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia) tahun 1918 (Andi Hamzah, 2010: 105). Pembagian tersebut bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjadi Buku II dan Buku III melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan pidana sebagai keseluruhan.

Kejahatan merupakan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak (Mahrus Ali, 2012: 101). Sekalipun tidak dirumuskan sebagai delik dalam undang-undang, perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang bertentangan dengan keadilan. Jenis perbuatan pidana ini juga disebut mala in se, artinya, perbuatan tersebut merupakan perbuatan jahat karena sifat perbuatan tersebut memang jahat. Sedangkan pelanggaran merupakan pebuatan-perbuatan yang oleh masyarakat baru disadari sebagai perbuatan pidana, karena undang-undang merumuskannya sebagai delik. Perbuatan-perbuatan ini dianggap sebagai tindak pidana oleh masyarakat oleh karena undang-undang mengancamnya dnegan

(5)

sanksi pidana. Perbuatan pidana jenis ini disebut juga dengan istilah mala prohibita (malum prohibitum crimes) (Tongat, 2008: 117-118).

Jenis pidana antara kejahatan dan pelanggaran tidak ada perbedaan yang mendasar. Perbedaan hanya terdapat pada pelanggaran yang tidak pernah diancamkan dengan pidana penjara (Andi Hamzah, 2010: 107). Pembagian tersebut memberikan kesan bahwa pembentuk undang-undang kita telah membuat suatu perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran berdasarkan suatu pandangan yang bersifat obyektif sesuai dengan pandangan menurut mazhab hukum alam, yang telah menjadi sumber dari perbedaan-perbedaan pendapat di dalam pembahasan-pembahasan selanjutnya mengenai dasar-dasar dari pembentuk undang-undang di dalam membuat pembagian dari tindak pidana itu menjadi kejahatan dan pelanggaran (Lamintang, 2013: 211). Selain kedua jenis tindak pidana tersebut, jenis tindak pidana juga dibedakan atas dasar-dasar tertentu lainnya, yaitu:

a) Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materiil (materieel delicten).

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan suatu perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak memperhatikan dan/atau tidak memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata pada perbuatannya. Sebaliknya dalam rumusan tindak pidana materiil, inti larangana adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang.

b) Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan menjadi antara tindak pidana sengaja (doleus delicten) dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpose delicten).

(6)

Tindak pidana sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan sengaja atau mengandung unsur kesengajaan. Sementara itu, tindak pidana tidak dengan sengaja adalah tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung unsur tidak sengaja (culpa). c) Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara

tindak pidana aktif/positif dapat juga disebut tindak pidana komisi (delicta commissionis) dan tindak pidana pasif/negatif, yang dapat disebut juga tindak pidana omisi (delicta omissionis).

Tindak pidan aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif (positif). Perbuatan aktif (disebut juga perbuatan materiil) adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat. Berbeda dengan tindak pidana aktif, dalam tindak pidana pasif, ada suatu kondisi dan/atau keadaan tertentu yang mewajibkan seseorang dibebani kewajiban hukum untuk berbuat tertentu, yang apabila ia tidak melakukan perbuatan itu, ia telah melanggar kewajiban hukumnya tersebut.

d) Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama atau berlangsung terus menerus.

Tindak pidana terjadi seketika adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat saja. Sebaliknya ada tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan dilakukan.

(7)

e) Bedasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.

Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai kodifikasi hukum pidana materiil. Sementara itu, tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat di luar kodifikasi tersebut.

f) Dilihat dari sudut subyek hukumnya, dapat dibedakan antara tindak pidana communia (delicta communia, yang dapat dilakukan oleh siapa saja), dan tindak pidana propria (hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kualitas pribadi tertentu).

Pada umumnya tindak pidana itu dibentuk dan dirumuskan untuk semua orang, akan tetapi ada perbuatan-perbuatan yang khusus hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu saja.

g) Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka dibedakan antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht delicten).

Tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan pidana terhadap pembuatnya tidak disyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak. Sementara itu, tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang untuk dapatnya dilakukan penuntuutan pidana disyaratkan untuk terlebih dulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan, yakni korban atau wakilnya dalam perkara perdata.

h) Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten), tindak pidana yang diperberat

(8)

(gequalificeerde delicten), dan tindak pidana yang diperingan (gepriviligieerde delicten).

Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap, artinya semua unsurnya dicantumkan dalam rumusannya. Sementara itu, pada bentuk yang diperberat dan atau yang diperingan, tidak mengulang kembali unsur-unsur bentuk pokok itu, melainkan sekedar menyebut kualifikasi bentuk pokoknya atau pasal bentuk pokoknya, kemudian disebutkan atau ditambahkan unsur yang bersifat memberatkan atau meringankan secara tegas dalam rumusan.

i) Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi.

Berdasarkan kepentingan hukum yang dilindungi, maka tindak pidana tidak terbatas macamnya, bergantung dari kepentingan hukum yang dilindungi, seperti tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh, terhadap harta benda, tindak pidana pemalsuan, tindak pidana terhadap nama baik, terhadap kesusilaan, dan lain sebagainya.

j) Dari sudut berapa kali perbuatan untuk menjadi suatu larangan, dibedakan antara tindak pidana tunggal (enkelvoudige delicten) dan tindak pidana berangkai (samengestelde delicten).

Tindak pidana tunggal adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang selesainya tindak pidana dan dapat dipidananya pelaku cukup dilakukan satu kali perbuatan saja. Sementara itu, tindak pidana berangkai adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk dipandang sebagai selesai dan dapat dipidananya pembuat, disyaratkan dilakukan secara berulang (Adami Chazawi, 2005: 121-136).

(9)

d. Merumuskan Tindak Pidana

Apabila kita melihat dalam Buku II dan Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, maka di situ kita akan menjumpai beberapa banyak rumusan-rumusan perbuatan beserta sanksinya yang dimaksud untuk perbuatan-perbuatan mana yang dilarang dan pantang untuk dilakukan. Pada umumnya maksud tersebut dapat dicapai dengan menentukan beberapa elemen, unsur, atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tersebut, sehingga dapat dibedakan dari perbuatan-perbuatan lain yang tidak dilarang (Moeljatno 2008: 71).

Rumusan suatu delik di dalam undang-undang pada umumnya dimulai dengan subyek atau pelaku tindak pidana yang dirumuskan tersebut. Sebagian besar dimulai dengan kata “Barangsiapa: (dalam bahasa Belanda: “Hij die. . .”). Kata ini sejajar dengan bahasa Inggris “Whoever. . .”. Hal ini menandakan bahwa yang menjadi subyek ialah siapapun (Andi Hamzah, 2010: 100). Sebagai ketentuan, untuk dapat mengetahui secara tepat mengenai arti atau maksud dari sesuatu perkataan oleh pembentuk undang-undang, maka dapat berusaha untuk menemukan penjelasannya di dalam undang-undang itu. Apabila orang tidak dapat memperoleh penjelasannya di dalam undang-undang, oleh karena undang-undang itu sendiri telah tidak memberikan penjelasannya mengenai perkataan-perkataan yang dimaksud, maka biasanya orang kemudian melihat ke dalam yurisprudensi, yakni putusan-putusan dari badan-badan peradilan tertinggi kita mengenai berbagai masalah yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, untuk berusaha menemukan petunjuk-petunjuk tentang arti atau maksud dari perkataan-perkataan yang dianggap kurang jelas (Lamintang, 2013: 202).

Perumusan tindak pidana dapat dilakukan secara formal maupun material. Dikatakan ada perumusan formal apabila yang disebut atau yang menjadi pokok dalam formulering adalah

(10)

kelakuannya, sebab kelakuanitulah yang dianggap sebagai pokok untuk dilarang. Akibat dari kelakuan tersebut tidak dianggap penting untuk masuk dalam perumusan. Sedangkan dikatakan sebagai perumusan material apabila yang disebut atau yang menjadi pokok formulering adalah akibatnya. Oleh karena akibatnya itulah yang dianggap pokok untuk dilarang. Bagaimana caranya mendatangkan akibat tersebut tidak dianggap penting (Moeljatno, 2008: 75-76).

e. Tindak Pidana Kesusilaan

Kesusilaan (zedelijkheid) pada umumnya berhubungan dengan adat kebiasaan yang baik dalam perhubungan antara pelbagai anggota masyarakat, tetapi secara khusus sedikit banyak berhubungan mengenai kelamin (seks) seorang manusia (Sudrajat Bassar, 1986: 161). Tindak pidana pelanggaran kesusilaan telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam Pasal 281-283. Ketentuan-ketentuan ini mengatur persoalan pelanggaran kesusilaan yang berkaitan dengan tilisan, gambar, atau benda yang melanggar kesusilaan. Pasal 281 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengatur mengenai tindak pidana kesusilaan, yang berbunyi:

Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

1. barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan;

2. barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.

Sebenarnya kesusilaan yang dirusak ini adalah apa yang dirasakan sebagai kesusilaan oleh segenap orang biasa dalam suatu masyarakat tertentu (Sudrajat Bassar, 1986: 162). R.Soesilo menggunakan istilah kesopanan untuk menyebut kesusilaan. Kesopanan yaitu dalam arti kata

(11)

kesusilaan, perasaan malu yang berhubungan nafsu kelamin misalnya bersetubuh, meraba buah dada perempuan, meraba tempat kemaluan wanita, memperlihatkan anggota kemaluan wanita atau pria, mencium, dan sebagainya. Pengerusakan kesopanan ini semuanya dilakukan dengan perbuatan. Sifat merusak kesusilaan perbuatan-perbuatan tersebut kadang-kadang amat tergantung pada pendapat umum pada waktu dan tempat itu (R. Soesilo, 1996: 212). Masyarakat secara umum menilai kesusilaan sebagai bentuk penyimpangan atau kejahatan karena bertentangan dengan hukum dan norma-norma yang berlaku dimasyarakat. Kejahatan terhadap kesusilaan meskipun jumlahnya relatif tidak banyak yang apabila dibandingkan dengan kejahatan terhadap harta benda (kekayaan) namun sejak dahulu hingga sekarang sering menimbulkan kekhawatiran, khusunya bagi para orang tua. Salah satu bentuk tindak pidana kesusilaan yang menimbulkan kekhawatiran tersebut adalah eksploitasi seksual komersial.

Kata eksploitasi sangat sering kita dengarkan, bahkan kata ini banyak digunakan sekalipun mereka tidak mengerti pengertian eksploitasi yang sebenarnya. Eksploitasi merupakan suatu tindakan untuk memanfaatkan sesuatu secara berlebihan atau sewenang-wenang. Eksploitasi ini tentunya menimbulkan kerugian pada lingkungan sekitar atau pada orang lain. Eksploitasi diambil dari bahasa Inggris yaitu exploitation yang artinya politik untuk memanfaatkan dengan sewenang-wenang terhadap subjek tertentu. Istilah eksploitasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah pemanfaatan untuk keuntungan sendiri; pengisapan; pemerasan (tentang tenaga orang). Eksploitasi telah dilarang oleh pemerintah, namun masih banyak pihak yang melakukan eksploitasi hanya untuk mendapatkan keuntungan semata. Secara singkat eksploitasi selalu dikaitkan dengan suatu hal yang bersifat untuk mengambil subjek yang menguntungkan secara terus-menerus untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Eksploitasi tidak mempertimbangkan hal buruk yang akan terjadi pada tindakan tersebut

(12)

bahkan sering melanggar peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial dalam Pasal 1 Angka 21 mendefinisikan bahwa eksploitasi merupakan tindakan pemanfaatan fisik, seksual, tenaga dan/atau kemampuan diri sendiri oleh pihak lain yang dilakukan atau sekurang-kurangnya dengan cara sewenang-wenang atau penipuan yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan baik material maupun non material.

Eksploitasi seksual komersial atau yang biasa kita kenal dengan perdagangan wanita atau pria merupakan suatu bentuk pemanfaatan baik wanita maupun pria tersebut sebagai objek pemuas hasrat seksual atau perdagangan orang untuk tujuan seksual. Di dalam Pasal 1 Angka 23 Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial dijelaskan bahwa Eksploitasi Seksual Komersial adalah tindakan eksploitasi terhadap orang (dewasa dan anak, perempuan dan laki-laki) untuk tujuan seksual dengan imbalan tunai atau dalam bentuk lain antara orang, pembeli jasa seks, perantara atau agen, dan pihak lain yang memperoleh keuntungan dari perdagangan seksualitas orang tersebut. Eksploitasi seksual komersial tersebut disertai dengan pertukaran uang atau barang untuk jasa seksual dan melibatkan pihak ketiga. Banyak istilah-istilah yang digunakan untuk menggambarkan eksploitasi seksual komersial tersebut, antara lain percabulan atau perzinaan.

Seseorang yang mengambil keuntungan dari eksploitasi seksual komersial tersebut biasanya dikenal dengan istilah koppelar atau germo, selain itu dikenal juga dengan istilah “mucikari” atau “penggandeng”, sedangkan Rumah yang khusus disediakan untuk prostitusi ini dinamakan “bordil”, berasal dari kata bahasa Belanda “bordeel” (Sudrajat Bassar, 1986: 173). Pengertian ini tidak termasuk ke dalam perdagangan budak-budak belian pada umumnya.

(13)

Perdagangan wanita harus diartikan sebagai semua perbuatan yang langsung bertujuan untuk menempatkan seorang perempuan dalam keadaan tergantung dari kemauan orang lain, yang ingin menguasai perempuan itu untuk disuruh melakukan perbuatan-perbuatan cabul dengan orang ketiga (prostitusi) (Sudrajat Bassar, 1986: 173). Prostitusi/pelacuran/kerja seksual komersial ini merupakan produk mata rantai faktor ekonomi, sosial, budaya dan politik, serta merupakan hasil kerja berbagai pihak yang mungkin tidak disadari dan diakui.

f. Jenis Eksploitasi Seksual Komersial

Eksploitasi Seksual Komersial di Indonesia paling mudah terlihat di kompleks rumah bordil (lokalisasi), namun demikian, manifestasi kerja seks komersial ini tidak hanya dapat ditemui di tempat ini, karena industri seks juga beroperasi di sejumlah lokasi dan konstelasi yang jumlahnya terus bertambah, yaitu rumah bordir, hotel bar, rumah makan, dan panti pijat. Aktivitas sektor seks termasuk semua jasa seksual yang ditawarkan secara komersial, bahkan tidak merancangkan tempat untuk melakukan transaksi seks. Hal tersebut menimbulkan hubungan simbiosis antara korban yang diperdagangkan dan pelaku eskploitasi seksual komersial. Pelaku eksploitasi seksual komersial tersebut biasanya menarik korbannya dengan cara mendapatkan uang yang mudah, biasanya korban direkrut secara informal oleh teman-teman dan kerabat mereka (Linus Akor, Corvinus Journal Of Sociology And Social Policy, 2011: 102). Berikut adalah tipe kerja seks secara langsung:

a) Kompleks rumah bordil resmi (lokalisasi); b) Kompleks hiburan;

c) Wanita jalanan;

d) Penjual minuman ringan;

(14)

f) Perempuan yang bekerja di perusahaan (yaitu staf bidang hubungan masyarakat atau humas);

g) ”Sekretaris plus”;

h) Pecun dan perek;

i) Istri kontrakan; j) Panti pijat;

k) Model dan aktris film; l) Resepsionis hotel;

m) Anak jalanan, pedagang keliling dan pedagang kaki lima (Martha Widjaja, 2003: 82-86).

g. Faktor Terjadinya Eksploitasi Seksual Komersial

Suatu tindak pidana dapat terjadi karena faktor-faktor tertentu. Tindak pidana eksploitasi seksual komersial pun juga terjadi karena faktor-faktor tertentu. Penyebabnya dapat dipengaruhi oleh kondisi yang mendukung, keberadaan korban yang secara tidak langsung mendorong pelakunya dan bisa jadi karena unsur-unsur lain yang mempengaruhinya (Lukman Hakim Nainggolan, Jurnal Equality, 2008: 75).

.Faktor-faktor terjadinya tindak pidana eksploitasi seksual komersial tersebut berasal dari internal atau pribadi seseorang dan faktor-faktor eksternal lainnya. Banyak faktor seperti kemiskinan, tingkat kebodohan dan keluarga menyebabkan mengapa perempuan dan anak sangat rentan dan mudah sekali menjadi korban para pelaku tindak pidana eksploitasi seksual tersebut. Selain itu terdapat faktor-faktor lain yang menyebabkan orang melakukan eksploitasi seksual komersial dan orang lain menjadi korban eksploitasi seksual komersial, antara lain:

a) Faktor lingkungan;

b) Kurangnya pendidikan dan pengawasan dari orangtua terhadap anak;

(15)

c) Di kota besar, misalnya: banyak wisatawan yang datang untuk berwisata dan membutuhkan pelayanan seksual; d) Adanya ekses pola hidup mewah yang dapat menimbulkan

kejahatan (Topo Santoso, 2001: 23)

Faktor-faktor tersebut mempengaruhi perubahan dalam lingkungan masyarakat yang lebih cenderung mengarah ke arah gaya konsumsi masyarakat barat. Sebagian korban eksploitasi seksual berusaha meraih kemewahan dengan jalan yang tidak sama dengan kelompok lapisan atas lain yang mempunyai model. Secara psikologis, pola hidup mewah dapat diartikan sebagai gaya tindak-tanduk yang merupakan fiksasi yang menghambat kemampuan pertumbuhan manusia yang integral yang dapat memberikan perubahan yang mencolok dalam usaha pencapaian keinginan untuk meniru gaya hidup barat (Ediwarman, Lely Asni, 1988: 16). Dilain sisi eksplotasi seksual ini juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi dimana dijadikan sebagai strategi untuk bertahan hidup oleh sekelompok orang yang telah putuh asa berada dalam ekonomi yang sangat sulit. Orang bisa melakukan apa pun yang mungkin untuk melepaskan diri dari belenggu kemiskinan termasuk terjerat dalam perdagangan seksual. Kemiskinan dan kurangnya kesempatan untuk meningkatkan kondisi sosial masyarakat menyebabkan hilangnya kepercayaan umum sehingga menyebabkan meningkatnya kejahatan seperti perampokan bersenjata, prostitusi, perdagangan perempuan dan perdagangan narkoba, dan masih banyak lagi. Wujud kemiskinan seperti buta huruf, pengangguran, dan standar hidup yang buruk tersebut disebabkan oleh kegagalan kebijakan sosial-ekonomi pemerintah, sehingga munculah perdagangan manusia. Para wanita ataupun anak-anak lebih rentan menjadi korban dengan diberi janji-janji palsu dari pelaku eksploitasi seksual komersial ketika mereka miskin. Selain itu, pengenalan, pertumbuhan, dan pemanfaatan tenologi informasi dan komunikasi saat ini juga mempengaruhi peningkatan eksploitasi seksual komersial dan penyalahgunaan teknologi tersebut

(16)

untuk kegiatan kriminal. Teknologi informasi dan komunikasi menyediakan sarana baru dan alat-alat yang memfasilitasi perdagangan manusia terutama untuk eksploitasi seksual. Oleh sebab itu, dalam memerangi ancaman eksploitasi seksual komersial komersial memerlukan koordinasi yang terpadu dan dorongan dari semua pihak, dalam hal ini kolaborasi antara pemerintahn dengan masyarakat.

2. Eksploitasi Seksual Komersial sebagai Kejahatan Kemanusiaan Kegiatan eksploitasi seksual komersial merupakan kejahatan berat terhadap kemanusiaan yang sangat merisaukan dan mencemaskan karena korban terbanyak adalah anak dan perempuan. Pasal 28A dan 28B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menjelaskan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Dijelaskan pula bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Dalam Hal ini, jelas dikatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta mempertahankan kehidupannya secara layak sesuai hak-haknya. Selain itu dikatakan juga bahwa setiap orang memiliki hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah adalah perkawinan yang telah disahkan atau diakui baik oleh agama maupun negara. Perkawinan disini ditujukan agar menghindari tindakan-tindakan penyaluran hasrat seksual yang menyimpang. Dikatakan pula pada Ayat (2) bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Kekerasan dalam Pasal 1 Angka (16) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman

(17)

untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. Berdasarkan pengertian tersebut maka terdapat unsur-unsur yaitu mengancam, memaksa, dan merampas. Ancaman adalah tindakan menakut-nakuti, tujuannya adalah agar pihak lain bertindak sesuai dengan keinginan pihak yang menakut-nakuti. Memaksa adalah perintah dari satu pihak agar pihak lain mengerjakan sesuatu yang diinginkannya, walaupun pihak lain tersebut tidak ingin mengerjakannya, namun pihak yang memberikan perintah mengharuskan pihak lain untuk mengerjakannya (Ismantoro Dwi Yuwono, 2015: 4). Sedangkan perampasan kemerdekaan secara melawan hukum adalah pengambilan secara paksa terhadap hak-hak kemerdekaan seseorang dengan cara-cara yang melawan hukum.

Pada butir c bagian pertimbangan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juga disebutkan bahwa perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia serta melanggar Hak Asasi Manusia. Perdagangan manusia adalah perbudakan modern yang melibatkan pergerakan korban yang tunduk pada kekerasan, penipuan atau pemaksaan untuk tujuan eksploitasi seksual atau kerja paksa. Korban perdagangan manusia khususnya untuk tujuan seksual dipaksa untuk masuk kedalam industri seksual komersial-pornografi, prostitusi, pertunjukan seks secara langsung atau panti pijat ilegal atau layanan pendamping. Perdagangan tersebut merupakan permasalahan global yang sebagian besar korbannya adalah wanita dan anak-anak. Oleh sebab itu, di dalam konsideran Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial mempertimbangkan peningkatan kegiatan Eksploitasi Seksual Komersial di Kota Surakarta yang merupakan tindak pidana terhadap kemanusiaan semakin merisaukan dan dapat mengancam masa depan korban khususnya anak sehingga harus ditangani sungguh-sungguh dan melibatkan semua pihak. Kebijakan terhadap jaminan sosial harus

(18)

diberikan sebagai akses untuk meningkatkan taraf hidup. Hal tersebut sebenarnya dapat memberikan keuntungan demi menjamin hak bagi anak yang lebih terjangkau. Kebijakan tersebut juga harus berupaya untuk dapat meningkatkan status wanita, khususnya menghalau terjadinya kerugian yang akan mereka hadapi. Peraturan Daerah ini buat untuk melindungi hak-hak anak dan perempuan serta menyelenggarakan pelayanan dan perlakuan khusus terhadap korban eksploitasi seksual komersial dan menjatuhkan sanksi yang jelas dan tegas terhadap pelaku.

3. Ketentuan Sanksi Pidana dalam Peraturan Daerah

Peraturan perundang-undangan mempunyai peran yang cukup penting dalam geraknya masyarakat tidak terbatas kepada segi pengamanan dari hal-hal yang telah ada dan tumbuh dalam masyarakat, tetapi lebih daripada itu, bahkan justru merupakan sesuatu yang menentukan gerak masyarakat, maupun arahnya (Roeslan Saleh, 1984: 47). Pemerintah berusaha untuk memperbesar pengaruhnya terhadap masyarakat dengan alat-alat yang ada padanya, salah satunya hukum pidana (Roeslan Saleh, 1983: 51). Perumusan ketentuan pidana dalam arti merumuskan tindak pidana dan sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan merupakan hal yang sangat penting, terlebih bagi negara yang menganut undang-undang sebagai sumber hukum dalam menyelesaikan masalah yang terjadi di masyarakat. Hal tersebut dibuat seiring dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat dengan berbagai kejahatan atau tindak pidana yang ada. Perumuskan suatu ketentuan pidana dalam Peraturan Perundang-undangan haruslah dirumuskan dengan baik agar tidak mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Apabila dalam perumusan tindak pidana tersebut tidak memberikan rumusan yang jelas dan tepat, maka akan berdampak tidak adanya kepastian hukum yang tentunya dalam proses pelaksanaannya akan jauh dari keadilan dan kemanfaatan sebagai tujuan dari hukum pidana itu sendiri. Perumusan tersebut akan mempengaruhi perumusan tiga masalah mendasar dalam

(19)

hukum pidana, yaitu: perumusan perbuatan yang bersifat melawan hukum atau tindak pidana, pertanggungjawaban pidana atau kesalahan, dan sanksi, baik pidana maupun tindakan yang dapat dijatuhkan beserta asas-asas hukum pidana yang mendasarinya. Dalam hal ini ditentukan mengenai perbuatan-perbuatan yang dilarang atau melawan hukum dan ancaman dengan pidana terhadap barangsiapa yang melakukannya. Hal ini berdasarkan pada pandangan bahwa hanya oranglah yang dapat

melakukan kesalahan. Adapun perumusan tersebut yang mengandung

kalimat “Aturan hukum pidana” dimaksudkan akan memenuhi keadaan hukum di Indonesia yang masih mengenal kehidupan hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Pada Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga menyebutkan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundangan lainnya diancam dengan pidana kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain. Ketentuan Pasal 103 tersebut menjadi pedoman pembentuk Undang-undang dalam menentukan garis kebijakan pemidanaan.

Peraturan Perundang-undangan khususnya Peraturan Daerah Kabupaten/Kota merupakan Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Dalam pembentukan Peraturan Daerah tersebut tentunya harus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Materi muatan dalam Peraturan Daerah tersebut berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Materi muatan mengenai pidana dapat termuat di dalam Peratuan Daerah. Ketentuan pidana yang dimaksud berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima

(20)

puluh juta rupiah). Selain itu, Peraturan Daerah dapat juga memuat ancaman pidana kurungan dan pidana denda sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya. Ketentuan-ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatakan bahwa:

Pasal 14:

Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundangundangan yang lebih tinggi.

Pasal 15:

(1) Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam:

a. Undang-Undang;

b. Peraturan Daerah Provinsi; atau c. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) huruf b dan huruf c berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

(3) Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya.

Larangan yang disertai ancaman sanksi pidana terhadap perbuatan-perbuatan tertentu, dapat dipandang sebagai pengaturan kewajiban tertentu bagi anggota masyarakat. Pada satu sisi,

(21)

kewajiban-kewajiban tersebut dapat saja diartikan sebagai perintah. Perintah untuk tidak berbuat yang dilarang oleh hukum pidana. Remmelink mengatakan bahwa hukum pidana memiliki karakter khas sebagai hukum yang berisikan perintah yang apabila tidak dilaksanakan maka dapat diancam dengan sanksi pidana (Jan Remmelink; Hukum Pidana; Komentar atas Pasal-pasal Terpenting dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, 2003:9). Ancaman pidana ini haruslah ditujukan bagi orang yang melakukan tindak pidana. Ancaman pidana tidak ditujukan terhadap perbuatan terlarang tersebut melainkan kepada orang yang melakukan perbuatan yang dilarang, mengabaikan perintah yang seharusnya dilakukan, dan karena perbuatannya menimbulkan akibat yang terlarang (Septa Candra, Jurnal Hukum Prioris, 2013: 127).

Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial memuat ancaman berupa sanksi pidana. Sanksi tersebut ditujukan kepada orang yang melakukan tindak pidana eksploitasi seksual komersial. Ancaman berupa sanksi pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (Lima puluh juta rupiah). Unsur-unsur dalam hukum pidana tentunya juga sangat berpengaruh dalam pembentukan Peraturan Daerah yang berhubungan dengan tindak pidana, antara lain:

a. Mengenai jenis sanksi pidana

Jenis Pidana di dalam Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dijadikan sebagai acuan bagi pembentuk Peraturan Perundang-undangan, khususnya Peraturan Daerah dalam menentukan sanksi pidana bagi para pelaku. Jenis pidana pokok yang digunakan dalam Peraturan Daerah adalah pidana kurungan dan pidana denda. Jenis-jenis sanksi pidana yang digunakan dalam peraturan daerah ini erat kaitannya dengan bobot dan kualifikasi tindak pidana yang di atur dalam Peraturan Daerah. Sanksi tersebut mengacu pada pembagian klasifikasi tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang membagi menjadi dua macam yaitu kejahatan dan pelanggaran. Secara

(22)

umum Pemerintah Daerah mengkualifikasi pelanggaran sebagai tindak pidana dalam Peraturan Daerah sehingga lebih menekankan pada pidana kurungan dialternatifkan dengan pidana denda.

b. Jumlah atau Lamanya Pidana

Perumusan sanksi pidana kurungan maupun pidana denda dalam Peraturan Daerah ditentukan dengan menggunakan sistem sanksi maksimum. Pola yang tersebut mengikuti pola Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menganut sistem atau pendekatan absolut. Arti dari sistem atau pendekatan absolut ini adalah untuk setiap tindak pidana ditetapkan “bobot/kualitas”-nya sendiri-sendiri, yaitu dengan menetapkan ancaman pidana maksimum (dapat juga ancaman minimumnya) untuk setiap tindak pidana.

c. Pola Perumusan Sanksi Pidana

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa jenis pidana yang dirumuskan dalam rumusan sanksi pidana pada Peraturan Daerah, untuk pidana pokonya yaitu pidana kurungan dan pidana denda dirumuskan dengan menggunakan perumusan alternatif. Perumusan sanksi pidana kurungan dan denda secara alternatif ini merupakan salah satu bentuk perumusan pidana pokok yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, disamping 8 (delapan) bentuk perumusan pidana lainnya. Pidana pokok berupa kurungan disebutkan terlebih dahulu dalam rumusan sanksi pidana daripada denda. Hal ini dubuat yakni untuk menunjukkan bahwa pidana kurungan diangggap lebih berat dibandingkan pidana denda.

(23)

B. Kerangka Pemikiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Tindak Pidana Eksploitasi Seksual Komersial

Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun

2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual

(24)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Keterangan:

Kerangka pemikiran diatas menjelaskan pemikiran penulis dalam menganalisis, menjabarkan, dan menemukan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini, yaitu mengenai analisis terhadap tindak pidana eksploitasi seksual komersial dalam peraturan daerah kota surakarta nomor 3 tahun 2006 tentang penanggulangan eksploitasi seksual komersial.

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, penulis menjabarkan bahwa eksploitasi seksual komersial merupakan suatu tindak pidana. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana eksploitasi seksual komersial ini merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Peningkatan kegiatan eksploitasi seksual komersial merupakan tindak pidana terhadap kemanusiaan yang semakin merisaukan dan mencemaskan yang berakibat dapat mengancam masa depan korban.

Pelanggaran-Rumusan sanksi pidana telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan? Rumusan tindak pidana

eksploitasi seksual komersial

(25)

pelanggaran terhadap eksploitasi seksual komersial telah merampas hak-hak dasar para korbannya. Aturan hukum yang merumuskan tentang tindak pidana eksploitasi seksual komersial tersebut salah satunya adalah Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial.

Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial dikeluarkan oleh pemerintah daerah Kota Surakarta sebagai tanggungjawab dan kewajiban pemerintah untuk melindungi masyarakat terhadap kejahatan seksual. Di dalam Peratuan Daerah Kota Surakarta Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial ini tentunya terdapat rumusan-rumusan mengenai tindak pidana eksploitasi seksual komersial dan sanksi pidana bagi pelaku tindak pidana eksploitasi seksual komersial. Penulis melakukan penelitian dengan menelaah rumusan tindak pidana dalam Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan Eksploitasi Seksual Komersial dan menelaah mengenai ancaman sanksi pidananya berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-undangan, apakah telah sesuai atau belum.

(26)

Referensi

Dokumen terkait

Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk memberikan bukti empiris mengenai hubungan antara tipologi strategi kompetitif, kematangan teknologi

Dari hasil survey yang telah dilakukan diper- oleh data nilai kepuasan masyarakat per unsur pe- layanan sebagaimana terdapat pada Tabel 4 men- unjukkan bahwa nilai indeks

Persentase Penguasaan materi bangun datar dan bangun ruang dalam mata pelajaran matematika siswa kelas V SD pada siklus I dan siklus II seperti disajikan pada

Ditemukan adanya sistematika vertikal dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam Pasal 5 Ayat 4 yang berisi tentang

Yusuf Kalla (SBY- Kalla) diangkat melalui suatu proses demokrasi pemilihan umum yang panjang dalam sejarah suksesi di Indonesia. Tidak seperti proses suksesi

Lembaga Pemasyarakatan sebagai sistem pemasyarakatan berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 yang merupakan bagian akhir sistem peradilan pidana, dan

Hal ini sependapat dengan ulama-ulama lain seperti Malikiyah, sebagian ulama Syafi’iyah, Zahiriyah yang tidak membedakan tempat dilakukan jarimah baik di kota

Penalisasi adalah suatu proses pengancaman suatu perbuatan yang dilarang dengan sanksi pidana. Umumnya penalisasi ini berkaitan erat dengan kriminalisasi, karena