• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA. daging, misalnya dipilih ternak sapi tipe pedaging atau sapi potong. Ciri-ciri sapi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA. daging, misalnya dipilih ternak sapi tipe pedaging atau sapi potong. Ciri-ciri sapi"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Ternak Sapi Potong

Pemilihan ternak sapi disesuaikan dengan tujuan usaha peternakan yang dilaksanakan. Tipe ternak yang akan dipelihara untuk tujuan menghasilkan daging, misalnya dipilih ternak sapi tipe pedaging atau sapi potong. Ciri-ciri sapi tipe pedaging adalah : (a) tubuh dalam, besar, berbentuk persegi empat atau balok; (b) kualitas dagingnya maksimum dan mudah dipasarkan; (c) laju pertumbuhannya cepat; (d) cepat mencapai dewasa; (e) efisiensi pakannya tinggi (Santosa, 1995).

Menurut Suryana (2009), sistem pemeliharaan sapi potong di Indonesia dibedakan menjadi tiga, yaitu : intensif, ekstensif, dan usaha campuran (mixed

farming). Pada pemeliharaan secara intensif, sapi dikandangkan secara

terus-menerus atau hanya dikandangkan pada malam hari dan pada siang hari ternak digembalakan. Pola pemeliharaan sapi secara intensif banyak dilakukan petani peternak di Jawa, Madura, dan Bali. Pada pemeliharaan secara ekstensif, ternak dipelihara di padang penggembalaan dengan pola pertanian menetap atau di hutan. Pola tersebut banyak dilakukan peternak di Nusa Tenggara Timur, Kalimantan, dan Sulawesi.

Usaha ternak sapi potong di Indonesia berkembang sangat banyak. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2005, rumah tangga peternak di Indonesia berjumlah 4.980.302 dan 58 persen dari jumlah tersebut atau sebesar 2.888.575 adalah rumah tangga peternak sapi potong5.

5

Mengapa Swasembada Daging saja tidak Cukup? (http://bangkittani.com/wacana/mengapa-swasembada-daging-saja-tidak-cukup/). Tanggal akses : 23/07/2010.

(2)

Banyak sistem yang biasa digunakan untuk mengembangkan ternak sapi potong. Salah satu sistem yang paling dikenal adalah sistem kandang dalam lembaga yang berbadan hukum resmi seperti koperasi. Sistem ini termasuk sistem berskala besar karena jumlah sapi yang dibudidayakan bisa mencapai ratusan ekor. Namun di beberapa daerah seperti Sumatera Barat, mulai berkembang sistem ternak sapi potong berskala rumah tangga yang menggunakan cara konvensional sehingga memudahkan sebuah rumah tangga untuk mengembangkan usaha ternak sapi potongnya. Sistem ini dikembangkan karena usaha ternak sapi potong dipandang sebagai bentuk usaha yang dapat memberikan tambahan pendapatan kepada para peternak kecil skala rumah tangga tersebut sekaligus mengangkat masyarakat ekonomi lemah. Ternak sapi potong berskala rumah tangga tersebut sangat ekonomis, baik dari sisi biaya pemeliharaan maupun biaya pembuatan kandang. Usaha ternak ini bersifat kecil sehingga pembuatan kandang biasanya berbentuk tunggal. Hal teknis lainnya seperti ukuran kandang untuk seekor sapi tidak jauh berbeda dengan ukuran kandang untuk penggemukan sapi komersil dalam skala besar6.

Industri penggemukan sapi potong sendiri mulai berkembang dengan pesat pada tahun 1992 yang ditandai dengan berdirinya beberapa perusahaan penggemukan sapi feedlot. Jumlah ini berkembang terus hingga mencapai lebih dapi 40 perusahaan pada tahun 1997 yang tersebar terutama di Pulau Jawa dan Lampung dengan total impor sapi bakalan berkisar antara 300.000 - 400.000 ekor per tahun7.

6

Bisnis Ternak Sapi Potong Tetap Menguntungkan.

(http://kaitokid724.multiply.com/journal/item/13). Tanggal akses : 23/07/2010

7

Peluang Usaha Budidaya Sapi Potong. (Peluang Usaha Budidaya Sapi Potong _ Maju bersama UKM http _binaukm.com.htm). Tanggal akses : 17/07/2010

(3)

2.2. Penggemukan Sapi Potong

Menurut Sugeng (1998), dalam usaha penggemukan sapi potong ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu langkah awal usaha penggemukan, sistem penggemukan, dan lama penggemukan. Syarat yang perlu diperhatikan dalam langkah awal usaha penggemukan sapi potong adalah : (1) keseragaman sapi, dalam hal ini menyangkut keseragaman tipe, umur dan besar tubuh; (2) jumlah sapi sesuai dengan jumlah modal, dimana modal ini digunakan untuk menyediakan fasilitas penunjang seperti kemudahan dalam memperoleh pakan, kandang, serta kemampuan peternak dalam pengelolaan dan manajemen; (3) penggunaan bangsa sapi, yang dipilih sebaiknya adalah bangsa sapi yang sudah beradaptasi baik dengan lingkungannya.

Sugeng (1998) membedakan sistem penggemukan sapi pedaging menjadi tiga macam yakni sistem kereman, sistem dry lot fattening, dan sistem pasture

fattening. Penggemukan sapi sistem kereman merupakan sapi yang dipelihara dan

dikerem (disekap) dalam kandang terus-menerus selama periode tertentu. Sapi-sapi tersebut diberi makan dan minum di dalam kandang, tidak digembalakan ataupun dipekerjakan. Pakan yang diberikan adalah rumput dan pakan penguat yang terdiri dari campuran dedak dan ubi kayu. Pakan penguat diberikan sebanyak 3 kilogram per ekor per hari. Pada umumnya sapi yang digemukkan dipilih sapi jantan berumur 1 - 2 tahun. Lama penggemukan berlangsung selama 3 - 4 bulan. Keuntungan sistem penggemukan ini adalah petani bisa memperoleh pupuk untuk keperluan usaha pertanian dan petani tidak memerlukan biaya dan tenaga yang besar karena caranya masih sederhana. Sedangkan kelemahannya adalah

(4)

pertumbuhan sapi lambat sehingga kenaikan berat badan sangat rendah, hanya 0,35 kilogram per hari.

Penggemukan dengan sistem dry lot fattening merupakan salah satu cara penggemukan yang mengutamakan pemberian pakan berupa biji-bijian secara penuh, sedangkan pakan hijauan diberikan dalam jumlah yang sangat terbatas. Dalam sistem penggemukan ini, sapi yang dipelihara juga tinggal dalam kandang terus-menerus, tidak digembalakan ataupun dipekerjakan. Pelaksanaan penggemukan sesuai dengan kriteria sebagai berikut : (1) sapi calon penggemukan dipilih yang berumur 1 tahun; (2) pada umumnya penggemukan berlangsung selama 3 - 6 bulan; (3) pakan berupa konsentrat (biji-bijian) diberikan dalam kandang. Keuntungan penggemukan dry lot fattening ini adalah sapi cepat menjadi gemuk dan pertumbuhan pesat karena sapi-sapi banyak mendapatkan unsur karbohidrat dan lemak. Sedangkan kelemahannya adalah cara ini hanya bisa dilakukan di daerah/negara yang kaya akan hasil ikutan seperti dedak, bungkil, dan sebagainya.

Sistem penggemukan pasture fattening, dimana pada sistem ini sapi-sapi digembalakan disuatu lapangan penggembalaan yang luas sebagai sumber penyedia pakan utama hijauan. Pelaksanaan penggembalaan adalah sebagai berikut ; (1) sapi calon penggemukan dipilih yang umurnya sekitar 2,5 tahun karena sapi tersebut sudah tumbuh sempurna, terlebih rumennya yang sudah berfungsi penuh sehingga sangat efisien terhadap penggunaan pakan rumput; (2) lama penggemukan berlangsung 6 - 8 bulan; (3) sapi dilepas di lapangan penggembalaan yang luas dengan tanaman hijauan yang memadai dan berkualitas tinggi. Keuntungan penggemukan sistem ini adalah dapat menghemat tenaga kerja

(5)

dan biaya karena sapi merumput sendiri dipadang penggembalaan, sedangkan rumput merupakan bahan pakan yang murah dibandingkan dengan konsentrat. Disamping itu juga tidak memerlukan pembuatan kandang secara khusus. Sapi-sapi yang digembalakan sekaligus juga dapat menyebarkan pupuk melalui kotorannya. Sedangkan kelemahannya adalah lamanya waktu penggemukan, hanya bisa dilakukan pada daerah yang memiliki lahan cukup luas, dimusim kemarau sapi-sapi akan kekurangan volume dan mutu pakan yang memadai, lapangan penggembalaan memerlukan peneduh berupa pepohonan serta sumber air yang cukup, dan sapi-sapi akan banyak kehilangan energi karena berjalan mencari rumput.

Sistem penggemukan dengan perpaduan antara dry lot fattening dan

pasture fattening juga bisa dilakukan. Sapi-sapi yang dipelihara diberi pakan

penguat dan digembalakan di lapangan. Pada saat hijauan sulit diperoleh sapi diberi pakan penguat, sedangkan saat rumput tumbuh baik dan subur sapi digembalakan di lapangan.

Mengenai lamanya penggemukan, setiap sapi yang dikelola memiliki waktu berbeda-beda dalam proses penggemukannya. Perbedaan waktu penggemukan sapi yang satu dengan yang lain ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain : umur, kondisi dan berat badan sapi pada awal penggemukan, jenis kelamin, kualitas bibit, dan mutu pakan (Sugeng, 1998).

Usaha penggemukan sapi bertujuan mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan bobot sapi yang dipelihara. Pertumbuhan dan lama penggemukan itu ditentukan oleh faktor individu, ras (bangsa) sapi, jenis kelamin, dan usia ternak bakalan (Sarwono dan Arianto, 2006).

(6)

2.3. Budidaya Penggemukan Sapi Potong

Budidaya merupakan usaha yang bermanfaat dan memberikan hasil. Budidaya penggemukan sapi potong disini mencakup beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum melakukan kegiatan usaha penggemukan sapi potong, yaitu pemilihan bakalan yang tepat untuk digemukkan, pemilihan lokasi peternakan dan lokasi kandang, pakan yang diberikan, serta penyakit yang dapat menyerang ternak sapi potong.

2.3.1. Bakalan Untuk Digemukkan

Menurut Sarwono dan Arianto (2006), keberhasilan penggemukan sapi potong sangat tergantung pada pemilihan bibit yang baik dan kecermatan selama pemeliharaan. Bakalan yang akan digemukkan dengan pemberian pakan tambahan dapat berasal dari sapi lokal yang dipasarkan di pasar hewan atau sapi impor yang belum maksimal pertumbuhannya. Sebaiknya bakalan dipilih dari sapi yang memiliki potensi dapat tumbuh optimal setelah digemukkan. Prioritas utama bakalan sapi yang dipilih yaitu kurus, berusia remaja, dan sepasang gigi serinya telah tanggal.

Umur sapi yang ideal untuk digemukkan adalah mulai 1,5 sampai 2,5 tahun. Pada umur ini kondisi pertumbuhan tulang sapi sudah mulai maksimal dan hanya tinggal mengejar penambahan massa otot (daging) yang secara praktis dapat dilihat dari gigi yang sudah berganti besar sebanyak 2 sampai 4 buah. Sapi yang sudah berganti gigi besarnya sebanyak 6 buah (3 tahun ke atas) juga cukup bagus. Hanya saja diumur ini sudah muncul gejala fatt (perlemakan) yang tentunya akan berpengaruh dengan nilai jual. Apabila umur sapi masih di bawah

(7)

umur ideal penggemukan, biasanya proses penggemukannya akan berlangsung lebih lambat karena bersamaan dengan pertumbuhan tulang dan gigi8.

Pada umumnya sapi yang digemukkan adalah sapi jantan. Laju pertumbuhan dan penimbunan daging sapi jantan lebih cepat dari sapi betina, terlebih jika sapi jantan tersebut dikebiri. Sapi yang dikebiri proses penimbunan dagingnya cepat, mutu dagingnya lebih baik, empuk, dan lezat. Oleh karena itu, para pengusaha sapi-sapi penggemukan memilih jenis kelamin jantan yang dikebiri sebagai sapi bakalan untuk digemukkan (Sugeng, 1998).

Bangsa sapi bakalan yang dapat dipilih untuk digemukkan berdasarkan asalnya adalah sebagai berikut :

2.3.1.1. Bakalan Lokal

Sarwono dan Arianto (2006) membedakan bangsa sapi lokal yang dominan dikembangkan masyarakat adalah Sapi Ongole, Sapi Bali, dan Sapi Madura.

1. Sapi Ongole

Sapi Ongole merupakan keturunan sapi liar Bos indicus yang berhasil dijinakkan di India. Di Indonesia, sapi ini dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu Sumba Ongole (SO) dan Peranakan Ongole (PO). Persilangan antara SO dengan sapi setempat di Jawa menghasilkan anakan yang mirip sapi ongole sehingga disebut dengan istilah Peranakan Ongole (PO).

Sapi Ongole akan masak kelamin pada umur 24 - 30 bulan. Jenis sapi ini akan mencapai dewasa pada umur 4 - 5 tahun. Pada usia dewasa, bobot rata-rata

8

Analisis Penggemukan Sapi Potong Simmental dan Limousin.

(http://ternakonline.wordpress.com/2009/10/11/analisis-penggemukan-sapi-potong-simmental-dan-limousin/). Tanggal akses : 23/07/2010.

(8)

sapi jantan 400 - 559 kilogram dan sapi betina 300 - 400 kilogram. Persentase karkas 45 - 58 persen dan perbandingan daging serta tulang 4,23 : 1.

Untuk meningkatkan produktivitas Sapi Ongole, banyak peternak yang melakukan kawin silang lewat kawin suntik antara induk betina Sapi Ongole dengan sapi eropa. Jenis-jenis sapi eropa yang diminati peternak sebagai induk untuk mendapatkan keturunan pertama (F1) diantaranya adalah Limousin, Charolais, Hereford, Shorthorn, dan Simmental.

2. Sapi Bali

Sapi Bali murni merupakan keturunan langsung dari sapi liar (banteng) yang telah mengalami domestikasi (penjinakan) sejak berabad-abad lalu. Keunggulan Sapi Bali diantaranya mutu daging dan daya reproduksinya yang bagus. Umur masak kelamin antara 16 - 24 bulan. Bobot rata-rata sapi jantan dewasa antara 375 - 400 kilogram dan sapi betina dewasa 275 - 300 kilogram. Persentase karkas 56 - 57 persen dengan perbandingan daging dan tulang 4,44 : 1. 3. Sapi Madura

Sapi Madura terkenal sebagai sapi karapan. Selain itu, bangsa sapi ini juga digunakan sebagai sapi kerja dan sapi potong. Umur masak kelamin antara 20 - 24 bulan. Bobot sapi madura jantan dewasa 275 - 300 kilogram dan sapi betina dewasa 180 - 250 kilogram. Persentase karkas 48 - 63 persen dan perbandingan daging dengan tulang 5,84 : 1.

2.3.1.2. Bakalan Impor

Beberapa bangsa sapi impor yang juga dikembangkan di Indonesia diantaranya Brahman, Brahman Cross, Santa Gertrudis, Droughtmaster, Shorthorn, dan Hereford.

(9)

1. Brahman

Brahman adalah keturunan sapi zebu atau nellore (Bos indicus) yang berkembang pesat di Amerika Serikat yang beriklim tropis. Bobot sapi jantan dewasa maksimum dapat mencapai 800 kilogram dan sapi betina 550 kilogram. Persentase karkas 48,6 - 54,2 persen (Sarwono dan Arianto, 2006).

2. Brahman Cross

Brahman Cross merupakan sapi hasil silangan antara sapi Brahman dengan bangsa sapi lainnya seperti Shorthorn dan Hereford. Karkas Brahman Cross bervariasi antara 45 - 55 persen. Keistimewaan sapi ini adalah tidak terlalu selektif terhadap pakan yang diberikan, lebih kebal terhadap gigitan caplak dan nyamuk, serta tahan panas. Pemeliharaan ideal untuk fattening adalah selama 60 - 70 hari untuk sapi betina, sedangkan untuk sapi jantan antara 80 - 90 hari karena apabila digemukkan terlalu lama maka perkembangannya akan semakin lambat dan akan terjadi perlemakan dalam daging (marbling) dimana hal ini di pasar lokal (RPH) tradisional kurang disukai konsumen9.

3. Santa Gertrudis

Santa Gertrudis merupakan hasil silangan antara jantan Brahman dan betina beef Shorthorn. Berat sapi jantan dewasa mencapai 900 kilogram dan sapi betina mencapai 725 kilogram (Sarwono dan Arianto, 2006).

4. Droughtmaster

Sarwono dan Arianto (2006) mendefinisikan sapi ini sebagai hasil persilangan antara Brahman dan Shorthorn yang dikembangkan di Australia. Sifat Brahman pada Droughtmaster lebih dominan. Bangsa sapi ini dicirikan dengan

9

Semua Tentang Sapi : Brahman Cross. (http://agro-trader.blogspot.com/2010/01/brahman-cross_22.html). Tanggal akses : 21/10/2010

(10)

badannya yang besar dan otot yang padat. Warna bulu merah cokelat muda hingga merah atau cokelat tua.

5. Shorthorn

Shorthorn merupakan bangsa sapi asal Inggris. Berat badan sapi betina sekitar 750 kilogram dan jantan 1000 kilogram. Sapi ini termasuk tipe sapi potong yang terberat diantara bangsa sapi lain yang berasal dari Inggris (Sugeng, 1998). 6. Hereford

Hereford juga merupakan sapi potong asal Inggris. Berat sapi betina sekitar 650 kilogram dan sapi jantan sekitar 850 kilogram. Bangsa ini lebih terkenal bila dibandingkan dengan kelompok sapi Bos taurus lainnya karena mutu dagingnya bagus dan adaptasinya baik, baik terhadap lingkungan yang suhunya tinggi maupun yang rendah, serta pakannya sederhana (Sugeng, 1998).

2.3.2. Lokasi dan Kandang

Pemilihan lokasi peternakan dan lokasi kandang yang sesuai diantaranya adalah dengan mempertimbangkan letak yang strategis, kondisi tanah, dan kesesuaian iklim untuk masing-masing jenis sapi. Lokasi peternakan juga harus memiliki sumber air bersih yang akan digunakan untuk sumber air minum, pembuatan pakan, membantu dalam proses pengomposan, dan membersihkan areal kandang. Selain itu tempat peternakan sebaiknya juga dibangun tidak jauh dari jalan raya untuk memudahkan transportasi. Iklim yang sesuai untuk lokasi penggemukan disesuaikan dengan bangsa sapinya. Lokasi penggemukan untuk sapi bakalan umur 2 - 3 tahun dan berat badan awal >290 kilogram bangsa SO/PO/Brahman baik pada lokasi dengan suhu 27 - 34oC dan ketinggian <25 meter diatas permukaan laut (dpl). Untuk bangsa bakalan

(11)

Droughtmaster/Bali/Madura cocok pada lokasi dengan suhu 24 - 29oC dan ketinggian 25 - 100 m dpl, dan untuk bangsa sapi bakalan Simmental/Limousin/Brangus/Angus cocok pada suhu <24oC dan ketinggian >100 m dpl (Sarwono dan Arianto, 2006).

Mengenai lokasi yang ideal untuk membangun kandang, Sarwono dan Arianto (2006) menyatakan bahwa lokasi kandang sebaiknya cukup jauh dari pemukiman penduduk agar bau dan limbah peternakan tidak mengganggu penghuni pemukiman. Jarak kandang dari tempat pemukiman minimal 50 meter. Untuk membangun kandang ternak sapi sebaiknya dipilih lokasi berupa lahan terbuka dan tidak tertutup bangunan atau pepohonan. Lokasi kandang dipilih dengan kemiringan relatif landai. Bentuk kandang di dataran rendah dan dataran tinggi dibuat berbeda karena tinggi suhunya pun berbeda. Bangunan kandang di dataran rendah sebaiknya memiliki dinding yang lebih terbuka untuk ventilasi serta karena suhunya lebih panas dibandingkan di dataran tinggi.

Kandang itu sendiri diperlukan untuk melindungi ternak sapi dari keadaan lingkungan yang merugikan sehingga dengan adanya kandang ini ternak akan memperoleh kenyamanan. Kandang sapi dapat berupa kandang barak atau kandang individual. Luas kandang barak diperhitungkan tidak boleh kurang dari 2,0 m2/ekor. Ukuran kandang individual dapat lebih kecil daripada kandang barak, yaitu sekitar 1,7 m2/ekor, masing-masing untuk bobot badan sapi sekitar 150 kg (Santosa, 1995).

Sarwono dan Arianto (2006) membedakan tipe kandang menjadi kandang koloni dan kandang tunggal. Kandang koloni adalah kandang yang hanya terdiri dari satu bangunan atau ruangan, tetapi digunakan untuk ternak dalam jumlah

(12)

banyak. Sebuah kandang koloni berukuran 7 x 9 m dapat menampung 20 - 24 ekor sapi. Kandang tunggal adalah kandang yang hanya terdiri dari satu ruangan atau bangunan dan hanya digunakan untuk memelihara satu ekor ternak saja. Untuk penggemukan sapi jenis PO, Brahman Cross, Bali, dan bangsa sapi eropa, setiap satu ekor sapinya membutuhkan kandang seluas 3,75 m2 dengan ukuran panjang 2,25 m, lebar 1 m, dan tinggi 2 - 2,5 m.

2.3.3. Pakan

Santosa (1995) menyatakan bahwa yang penting untuk diperhatikan dalam pemberian pakan di kandang adalah mengetahui berapa jumlah pakan dan bagaimana keadaan ransum yang diberikan kepada ternak pada berbagai tingkat kelas dan keadaan sapi yang bersangkutan. Pemberian pakan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu ad libitum (pakan diberikan dalam jumlah yang selalu tersedia), dan restricted (pemberian pakan dibatasi). Cara pemberian ad libitum seringkali tidak efisien karena akan menyebabkan bahan pakan banyak terbuang dan pakan yang tersisa menjadi busuk sehingga ditumbuhi jamur dan sebagainya yang dapat membahayakan ternak apabila termakan.

Oleh karena itu, yang terbaik adalah membatasi pemberian pakan dengan catatan baik kuantitas maupun kualitasnya benar-benar mencukupi kebutuhan. Disinilah pentingnya penyusunan ransum dan pemberian pakan. Dalam menyusun ransum harus diusahakan agar kandungan zat-zat makanan di dalam ransum sesuai dengan zat-zat makanan yang dibutuhkan ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, untuk pertumbuhan, dan untuk berproduksi (Santosa, 1995).

(13)

Ransum adalah pakan yang diberikan kepada ternak selama 24 jam, dengan jumlah pemberian satu atau beberapa kali. Beberapa petunjuk umum dalam menyusun ransum untuk sapi yang digemukkan yaitu10 :

a. Konsumsi BK (bahan kering) : 2,5 – 3 persen bobot badan (BB). b. Pakan konsentrat diberikan 2 persen BB, sisanya adalah pakan hijauan. c. Konsentrat sebagai pakan penguat mengandung protein kasar (PK) minimal

17 persen, 2500Kcal energi & 12 persen serat kasar.

d. Penggunaan pakan lengkap mengandung PK : 10 - 13 persen, TDN : 71 - 78 persen, ME : 2,61 - 2,82 Mcal/kg, NEg : 1,0 - 1,2 Mcal/kg, Ca : 0,22 - 0,6 persen, P : 0,22 - 0,4 persen, Vit A : 2,2 IU/mg.

e. Karena kebutuhan protein yang relatif rendah, sebaiknya sapi yang digemukkan mulai umur 2 tahun.

f. Mineral dapat diberikan sampai dengan 1,0 persen dalam ransum. g. Level penambahan garam dalam ransum adalah 0,45 persen BK ransum. h. Penggunaan urea dapat dilakukan dengan memperhatikan aturan pemberian.

Penghitungan konsumsi harus selalu distandarkan pada bentuk bahan kering (BK). Hal ini disebabkan setiap hijauan atau bahan pakan mempunyai kandungan air yang berbeda-beda (Santosa, 1995). Bahan kering merupakan unsur nutrisi yang sangat penting dalam pemberian pakan pada ternak ruminansia. Kandungan BK suatu pakan harus diketahui secara tepat, karena diharapkan ternak dapat kenyang oleh BK dan bukan oleh air. Konsumsi BK untuk ternak ruminansia dipengaruhi oleh faktor : bobot badan, macam bahan pakan, umur dan kondisi ternak, kadar energi bahan pakan, stress, dan jenis kelamin10.

10

Nutrisi – Bahan Pakan – Teknis Penyajian Pakan.

(http://www.scribd.com/doc/18674953/FeedFeedingFeed-Lot-Fattening). Tanggal akses : 09/12/2010

(14)

Pemberian pakan sangat penting dalam pembentukan kualitas daging. Daging yang berkualitas baik, dapat diperoleh dengan pemberian pakan yang berkualitas tinggi. Pemberian pakan yang berkualitas rendah akan mempengaruhi lamanya waktu pemeliharaan untuk mencapai target kualitas daging yang diinginkan (Santosa, 2002).

Pada dasarnya, sumber pakan sapi dapat disediakan dalam bentuk pakan hijauan dan konsentrat. Satu hal yang terpenting adalah pakan dapat memenuhi kebutuhan protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral. Disamping itu, terdapat juga pakan tambahan yang membuat proses penggemukan sapi berlangsung lebih cepat, efisien, murah, dan mudah diterapkan (Sarwono dan Arianto, 2006).

2.3.3.1. Pakan Hijauan

Pakan hijauan adalah semua pakan yang berasal dari tanaman ataupun tumbuhan berupa daun-daunan, terkadang termasuk batang, ranting, dan bunga. Berdasarkan bentuknya hijauan dibagi menjadi hijauan segar dan hijauan kering. Hijauan segar adalah hijauan yang diberikan dalam keadaan masih segar atau berupa silase. Silase adalah produk hasil fermentasi dan penyimpanan hijauan segar dalam keadaan anaerob. Sedangkan hijauan kering berupa hay yaitu hijauan yang sengaja dikeringkan atau jerami kering. Umumnya pada ternak sapi potong bahan pakan hijauan diberikan dalam jumlah 10 persen dari bobot badan (Sugeng, 1998).

2.3.3.2. Pakan Konsentrat

Konsentrat adalah makanan utama bagi ternak sapi dengan pemeliharaan

(15)

dengan waktu relatif singkat, diperlukan pakan yang berkualitas tinggi. Hal ini hanya dapat dicapai dengan tersedianya konsentrat yang cukup tinggi dan tidak mungkin tercapai bila pakannya hanya berupa rumput atau hijauan (Santosa, 2002). Kebutuhan pakan konsentrat pada ternak sapi potong umumnya sebanyak 1 - 2 persen dari bobot badan11.

2.3.3.3. Pakan Tambahan

Beberapa jenis pakan tambahan yang sudah dipasarkan dan dapat dimanfaatkan dalam upaya penggemukan sapi potong diantaranya bossdext, starbio, dan bioplus. Boosdext tergolong pakan tambahan cair. Formula pakan tambahan cair ini terdiri dari enzim ekstrak tumbuhan pilihan, dan bahan lain yang bermanfaat untuk meningkatkan proses pencernaan sapi. Enzim tersebut berperan untuk mengoptimalkan penyerapan dan efisiensi penggunaan pakan. Starbio dan bioplus merupakan pakan tambahan yang berbentuk serbuk. Fungsi keduanya untuk membantu meningkatkan daya cerna pakan dalam pencernaan ternak (Sarwono dan Arianto, 2006).

2.3.4. Penyakit

Penyakit pada ternak merupakan hal yang perlu diwaspadai karena dapat sangat merugikan peternak. Dalam usaha penggemukan sapi potong terdapat beberapa jenis penyakit yang perlu diwaspadai dan dicegah yaitu antraks atau radang limpa, penyakit mulut dan kuku (PMK) atau Apthae Epizootica (AE), penyakit mendengkur atau Septichaema Epizootica (SE), penyakit kuku busuk atau foot rot, bloat atau kembung, dan cacing hati.

11

Budidaya Ternak Sapi Potong.

(http://banten.litbang.go.id/ind/index.php?option=com_content&view=article&id=164&Ite mid=11). Tanggal akses : 09/12/2010

(16)

Pengendalian penyakit sapi yang paling baik adalah menjaga kesehatan sapi dengan tindakan pencegahan. Tindakan pencegahan untuk menjaga kesehatan sapi adalah12 :

1. Menjaga kebersihan kandang beserta peralatannya, termasuk memandikan sapi. 2. Sapi yang sakit dipisahkan dengan sapi sehat dan segera dilakukan pengobatan. 3. Mengusahakan lantai kandang selalu kering.

4. Memeriksa kesehatan sapi secara teratur dan dilakukan vaksinasi sesuai petunjuk.

2.3.4.1. Antraks (Radang Limpa)

Penyebab dari penyakit ini adalah bakteri Bacillus anthracis yang menular melalui kontak langsung, makanan/minuman atau pernafasan. Gejala yang timbul pada sapi yang terkena penyakit ini adalah : (1) demam tinggi, badan lemah dan gemetar; (2) gangguan pernafasan; (3) pembengkakan pada kelenjar dada, leher, alat kelamin dan badan penuh bisul; (4) kadang-kadang darah berwarna merah hitam yang keluar melalui hidung, telinga, mulut, anus, dan vagina; (5) kotoran ternak cair dan sering bercampur darah; (6) limpa bengkak dan berwarna kehitaman. Pengendaliannya adalah dengan melakukan vaksinasi, pengobatan antibiotik, mengisolasi sapi yang terinfeksi serta mengubur atau membakar sapi yang mati.

2.3.4.2. Penyakit Mulut dan Kuku (PMK)/Penyakit Apthae Epizootica (AE) Virus yang menyebabkan penyakit ini menular melalui kontak langsung dari urin, air susu, air liur dan benda lain yang tercemar kuman AE. Gejala yang ditimbulkan : (1) rongga mulut, lidah, dan telapak kaki atau tracak melepuh serta

12

Budidaya Ternak Sapi Potong.

(www.disnak.jabarprov.go.id/.../BUDIDAYA%20TERNAK%20SAPI%20POTONG.doc). Tanggal akses : 07/07/2010

(17)

terdapat tonjolan bulat berisi cairan yang bening; (2) demam atau panas, suhu badan menurun drastis; (3) nafsu makan menurun bahkan tidak mau makan sama sekali; (4) air liur keluar berlebihan. Vaksinasi dapat dilakukan sebagai pencegahan. Sapi yang sakit diasingkan dan diobati secara terpisah.

2.3.4.3. Penyakit Ngorok/Penyakit Septichaema Epizootica (SE)

Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Pasturella multocida. Penularannya melalui makanan dan minuman yang tercemar bakteri. Gejalanya : (1) kulit kepala dan selaput lendir lidah membengkak, berwarna merah dan kebiruan; (2) leher, anus, dan vulva membengkak; (3) paru-paru meradang, selaput lendir usus dan perut masam dan berwarna merah tua; (4) demam dan sulit bernafas sehingga mirip suara orang mendengkur. Dalam keadaan sangat parah sapi akan mati dalam waktu antara 12 - 36 jam. Pengendalian dapat dilakukan dengan memberikan vaksinasi anti SE dan diberi antibiotik atau sulfa.

2.3.4.4. Penyakit Radang Kuku atau Kuku Busuk (Foot Rot)

Penyakit ini menyerang sapi yang dipelihara dalam kandang yang basah dan kotor. Gejala yang ditimbulkan : (1) mula-mula sekitar celah kuku bengkak dan mengeluarkan cairan putih keruh; (2) kulit kuku mengelupas; (3) tumbuh benjolan, menimbulkan rasa sakit; (4) sapi pincang dan akhirnya bisa lumpuh. 2.3.4.5. Bloat

Bloat adalah keadaan rumen (perut pertama) yang mengembang,

membesar akibat kelebihan gas yang tidak cepat keluar. Gejalanya : (1) lambung sebelah kiri atas membesar dan kencang, bila dipukul berbunyi seperti drum; (2) pernapasan dan sirkulasi darah terganggu.

(18)

2.3.4.6. Cacing Hati

Penyakit ini disebabkan oleh cacing hati yang disebarkan melalui pakan dan air minum. Gejala yang terjadi : (1) sapi menjadi kurus, lesu, pucat; (2) berat badan berkurang; (3) kadang sapi menjadi busung pada berbagai bagian tubuhnya. Pencegahannya adalah dengan membasmi hospes perantara cacing hati seperti siput dan bekicot dan tidak membiarkan tempat pakan tergenang. Sapi yang telah menderita diobati dengan Hexachlorophene.

2.4. Penelitian Terdahulu

Febriliyani (2007) melakukan penelitian mengenai efisiensi usaha penggemukan sapi potong Peranakan Ongole (PO) dan Brahman Cross (BX) pada PT. Santosa Agrindo, Purbalingga. Dalam penelitiannya, penulis mencoba untuk mengkaji faktor-faktor produksi yang berpengaruh terhadap bobot badan sapi hasil penggemukan, serta pengalokasian faktor produksi tersebut agar tercapai kondisi efisien. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data, diperoleh model fungsi produksi terbaik dengan menggunakan model fungsi Cobb-Douglas untuk sapi PO adalah : Y = 3,32 X10,149 X20,674, fungsi produksi pada sapi BX bull : Y = 2,11 X10,249 X20,648, dan untuk sapi BX steer : Y = 2,06 X10,252 X20,642. Faktor-faktor yang mempengaruhi bobot badan akhir (Y) adalah konsumsi konsentrat (X1) dan bobot badan awal (X2).

Tingkat penggunaan input aktual sapi PO terjadi pada penggunaan konsumsi konsentrat sebanyak 1233 kg dan bobot badan awal sebesar 258 kg. Efisiensi penggunaan inputnya terjadi pada penggunaan konsumsi konsentrat sebanyak 1688,43 kg dan bobot badan awal sebesar 296,76 kg dimana dengan

(19)

kombinasi tersebut akan menghasilkan bobot badan akhir sebesar 466,66 kg dan meningkatkan keuntungan sebesar Rp 219.068,28 per ekor.

Tingkat penggunaan input aktual sapi BX bull terjadi pada penggunaan konsumsi konsentrat sebanyak 1204 kg dan bobot badan awal sebesar 317 kg. Tingkat efisiensi penggunaan input sapi BX bull terjadi pada penggunaan konsumsi konsentrat sebanyak 3240,59 kg dan bobot badan awal sebesar 367,79 kg yang menghasilkan bobot badan akhir sebesar 726,47 kg dan meningkatkan keuntungan sebesar Rp 1.509.677,86 per ekor.

Tingkat penggunaan input aktual sapi BX steer terjadi pada penggunaan konsumsi konsentrat sebanyak 1102 kg dan bobot badan awal sebesar 315 kg. Efisiensi penggunaan input sapi terjadi pada penggunaan konsumsi konsentrat sebanyak 3049,78 kg dan bobot badan awal sebesar 328,41 kg. Penggunaan input pada tingkat efisien tersebut akan menghasilkan bobot badan akhir sebesar 643,31 kg dan meningkatkan keuntungan sebesar Rp 1.098.384,91 per ekor.

Analisis lain mengenai efisiensi juga dilakukan oleh Legawati (2007) namun dengan komoditi yang berbeda yaitu domba. Penelitian Legawati (2007) mencoba untuk menganalisis fungsi produksi yang dapat mewakili peternakan domba Tawakkal, Bogor, serta menganalisis tingkat efisiensi produksinya.

Berdasarkan parameter nilai R-sq, R-sq (adj), F-hit, autokorelasi, heteroskedastisitas, dan multikolinearitas yang dilakukan antara model fungsi produksi kuadratik dan Cobb-Douglas, maka dapat disimpulkan bahwa model fungsi produksi Cobb-Douglas adalah model fungsi produksi yang lebih baik dan sesuai untuk peternakan domba Tawakkal, Bogor. Fungsi Cobb-Douglas tersebut adalah Y = 4,966 x 10-3 X10,772 X20,655. Faktor-faktor produksi yang berpengaruh

(20)

terhadap pertambahan bobot badan domba (Y) adalah konsumsi rumput (X1) pada α =0,05 dan konsumsi ampas tahu (X2) pada α = 0,10.

Secara umum jumlah elastisitas produksi pada peternakan domba Tawakkal sebesar 1,472 yang menyatakan bahwa penggunaan faktor produksi secara keseluruhan belum efisien atau berada pada daerah irrasional (daerah I). Kondisi ini menunjukkan bahwa peternakan masih pada tahap perkembangan usaha. Hal ini disebabkan karena ruang lingkup penelitian hanya selama bulan awal pemeliharaan dan data yang dikumpul adalah data pada satu bulan awal penggemukan. Walaupun demikian untuk masing-masing faktor produksi yang digunakan sudah efisien.

Analisis mengenai pendapatan usaha ternak dilakukan oleh Hertika (2009) dengan komoditi sapi perah di Perusahaan X, Bogor. Penelitian ini mencoba mengkaji tentang besar pendapatan, nilai R/C ratio, serta nilai titik impas pada Perusahaan X, Bogor. Total biaya variabel dan biaya tetap yang dikeluarkan Perusahaan X, Bogor, masing-masing sebesar Rp 378.510.065 dan Rp 338.473.671. Total penerimaan perusahaan adalah Rp 965.570.080, sehingga total pendapatan Perusahaan X selama satu tahun sebesar Rp 248.586.344.

Nilai R/C ratio perusahaan adalah 1,35 yang dapat diartikan setiap rupiah yang digunakan untuk kegiatan usaha akan memberikan penerimaan sebesar Rp 1,35. Untuk titik impas, yaitu saat dimana biaya sama dengan penerimaan, adalah saat produksi susu sebesar 13,23 liter/ekor/hari dan saat induk yang dipelihara sebanyak 49 ekor. Saat ini produksi susu Perusahaan X sebesar 14,99 liter/ekor/hari dan induk sapi yang dipelihara sebanyak 72 ekor. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan Perusahaan X memperoleh keuntungan.

Referensi

Dokumen terkait

Gar paused, then nodded like Dave Wilson used to in biology class, trying to look like an innocent three-year-old because he'd just looked the word 'vagina' up in the dictionary

Disimpulkan bahwa secara in vitro ekstrak daun wudani berkhasiat sebagai anthelmintik yang memiliki efek ovisidal sehingga dapat dikembangkan penggunaanya untuk pengendalian

Dalam kaitan dengan upaya yang sedang dilakukan, para informan mengungkapkan bahwa hal yang paling penting adalah memahami komunikasi interpersonal, menempatkan baik orang tua

--- = tidak termasuk di dalam penelitian.. kerja yang tinggi. Selain itu, penduduk miskin di Indonesia sebagian besar bekerja pada sektor pertanian. Bidang pendidikan dan

Metode penelitian merupakan usaha untuk menemukan sesuatu serta bagaimana cara untuk menemukan sesuatu tersebut dengan menggunakan metode atau teori ilmiah

Pada kelas kontrol terlihat nilai modus tanggung jawab lebih rendah dari pada kelas eksperimen karena pada saat guru menjelaskan materi siswa tidak memperhatikan

Di sisi lain yakni sebagai salah satu faktor penentu baik buruknya mutu dan citra rumah sakit adalah Motivasi kerja perawat merupakan salah satu faktor terpenting yang bisa

Syarat khusus Tanda Kehormatan berupa Satyalancana Karya Satya adalah PNS yang telah bekerja dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik