• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGENAL ICC. Mahkamah Pidana International. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional. Seri Buku Saku

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MENGENAL ICC. Mahkamah Pidana International. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional. Seri Buku Saku"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

MENGENAL

ICC

Mahkamah Pidana International

(2)
(3)

2009

MENGENAL

ICC

(4)

Diterbitkan oleh:

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional Sekretariat pusat:

IKOHI

Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia Jl. Kalasan Dalam No. 5

Menteng, Jakarta Pusat Telp: +62 21 315 79 15 Email : kembalikan@yahoo.com Penyusun : Simon, SH Tata Letak : Didie P

Percetakan : Sentralisme Production Buku saku ini diterbitkan oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional dengan dukungan Indonesia Austalia Legal Development Facility (IALDF)

Informasi dalam dokumen ini diambil dari berkas-berkas Departemen Penerangan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Amnesti Internasional dan Komite Pengacara untuk Hak-hak Asasi Manusia (sekarang Human Rights First). Informasi ini juga merupakan produk dari Sekretariat CICC dan tidak selalu mewakili ide-ide organisasi tersebut.

(5)

Penyelesaian pelanggaran HAM yang berhasil memenuhi rasa keadilan masyarakat di Indonesia masih merupakan harapan. Pembentukan institusi dan instrument HAM masih belum cukup untuk memuaskan dahaga masyarakat, terutama korban, akan keadilan. Berbagai upaya dan pengalian terhadap berbagai mekanisme penyelesaian terus dilakukan. Tak lebih dan tak kurang untuk memenuhi dahaga tersebut sekaligus menjamin masa depan umat manusia yang lebih baik.

Mekanisme Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court – ICC) merupakan mekanisme yang dibangun untuk menunaikan kebutuhan agar tidak lagi ada impunitas bagi pelaku kejahatan kemanusiaan. Sejak didirikan pada tahun 2002, Mahkamah Pidana Internasional telah menjadi lembaga yang kompeten dalam upaya pemidanaan bagi pelaku kejahatan kemanusiaan.

Buku saku ini disusun sebagai upaya awal dari kami mengenalkan dan sekaligus memberikan tambahan semangat bagi korban dan masyarakat akan sebuah mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM yang dapat ditempuh ketika semua mekanisme yang ada di Indonesia tak berdaya berhadapan dengan kekuasaan. Diskusi yang lebih mendalam dan aksi-aksi penekanan pada Negara untuk segera melakukan ratifikasi terhadap perjanjian ini menjadi agenda berikutnya yang sangat penting dalam menghadang impunitas.

Salam Solidaritas Melawan Impunitas! Penyusun

(6)

“Akhirnya, Mahkamah Pidana

Internasional mengisi keterputusan

yang telah lama hilang dalam

sistem hukum internasional:

sebuah pengadilan tetap untuk

menghakimi berbagai kejahatan

terberat yang menjadi perhatian

seluruh masyarakat internasional

- genosida, kejahatan terhadap

kemanusiaan dan perang.”

Koffi Annan

(7)

BAB I

MENGENAL MAHKAMAH

PIDANA INTERNASIONAL (ICC)

(8)
(9)

Buku Saku ICC

Apakah Mahkamah Pidana Internasional itu?

Mahkamah Pidana Internasional (atau dalam bahasa Inggris disebut sebagai International Criminal Court atau ICC) adalah pengadilan tetap dan independen pertama yang mampu melakukan penyelidikan dan mengadili setiap orang yang melakukan pelanggaran terberat terhadap hukum kemanusiaan internasional, seperti kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, pembunuhan dan tindakan agresi.

Apa dasar Mahkamah Pidana Internasional? Bagaimana sejarahnya?

Mahkamah Pidana Internasional atau ICC ini dibentuk berdasarkan Statuta Roma -- perjanjian dasar ICC-- pada tanggal 1 Juli 2002. Hingga saat ini, perjanjian Mahkamah Pidana Internasional telah diratifikasi oleh 108 negara perwakilan di seluruh dunia. Kerangka kerja hukum Mahkamah Pidana Internasional ini ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tercatat dalam kurun waktu empat tahun, sejak penandatangan pertama 17 Juli 1998 hingga 11 April 2002, perjanjian Mahkamah Pidana Internasional telah diratifikasi banyak negara dan dijadikan hukum internasional pada tanggal 1 Juli 2002.

Mengapa dibutuhkan Mahkamah Pidana Internasional? Berangkat dari pengalaman sejarah hidup umat manusia selama berabad-abad yang penuh dengan tindak kekerasan terburuk dimana lebih dari 86 juta warga sipil tewas, sebagian besar perempuan dan anak-anak, dan lebih dari 170 juta orang dirampas hak-haknya, harta benda dan harga dirinya tanpa adanya pemberian keadilan yang memadai, Majelis Umum PBB ditahun 1948 mengakui perlu adanya mekanisme tetap untuk mengadili pembunuhan

(10)

Buku Saku ICC

massal dan kejahatan perang. Sejak itu, banyak undang-undang, perjanjian, konvensi dan protokol membatasi dan melarang segala hal menyangkut kejahatan perang hingga gas beracun dan senjata kimia. Namun, belum ada pengajuan sistem peradilan yang mampu menahan setiap individu yang bertanggung jawab atas tindak kejahatan hukum international hingga tahun 1998 saat Statuta Roma diadopsi. Selain untuk mewujudkan keadilan bagi para korban kejahatan, Mahkamah Pidana Internasional diharapkan dapat memberikan efek jera bagi para pelaku dan mengakhiri budaya pemberian ampunan (impunitas) kepada para penjahat internasional.

Apa pencapaian Mahkamah Pidana Internasional hingga saat ini?

Sejak pengadilan dibentuk bulan Juli 2002, Mahkamah Pidana Internasional telah mendirikan kantor di Den Haag dengan 3 organisasi utama pengadilan: Kantor Jaksa Penuntut, Kepresidenan/Hakim dan Pejabat Catatan Sipil. Sejak Desember 2005, Kantor Jaksa Penuntut, diketuai oleh Jaksa Luis Moreno. Kantor Jaksa Penuntut Mahkamah Pidana Internasional baru-baru ini sedang meneliti 8 situasi di empat benua, termasuk Afrika Tengah dan Pantai Gading. Apa beda antara Mahkamah Pidana Internasional dengan Pengadilan Tinggi International dan Pengadilan ad hoc bekas Yugoslavia dan Rwanda?

Pengadilan Tinggi International, badan pengambil keputusan utama pengadilan PBB, khusus dirancang untuk menyelesaikan pertikaian antar Negara. Pengadilan Tinggi International ini tidak memiliki yuridiksi bagi permasalahan yang melibatkan tanggung jawab kejahatan setiap orang. Sedang

(11)

Buku Saku ICC

Pengadilan ad hoc bekas Yugoslavia dan Rwanda berbeda dengan Mahkamah Pidana Internasional dalam yuridiksi geografis dan wilayah temporal. Karena dibuat oleh Dewan Keamanan PBB, Pengadilan ad hoc hanya diberikan mandat untuk menangani kejahatan di wilayah-wilayah tersebut dalam kurun waktu tertentu. Sebaliknya, Pengadilan Kejahatan International adalah sebuah lembaga yang permanen dan independen yang mampu mengadili kejahatan yang teridentikasi oleh Statuta Roma dan telah dilakukan setiap individu sejak 1 Juli 2002. Mengana masih dibutuhkan Mahkamah Pidana Interna-sional bila sudah ada Pengadilan Tinggi International dan Pengadilan ad hoc bekas Yugoslavia dan Rwanda? Telah digelarnya peradilan terhadap para penjahat dalam Perang Dunia Kedua tidak membuat pemikiran untuk membuat sebuah institusi peradilan permanen memudar untuk mengadili para pelaku kejahatan internasional. Hal ini disebabkan karena mekanisme pengadilan internasional yang bersifat ad hoc mempunyai kelemahan-kelemahan yang mendasar, yaitu:

(1) Victor’s justice

Dari keempat pengadilan internasional yang telah diselenggarakan, semuanya mempunyai kesamaan, yaitu yang dianggap bertanggung jawab atas kejahatan yang terjadi adalah individu-individu dari negara yang kalah perang, sementara bagi negara-negara pemenang perang akan terbebas dari tanggung jawab, meskipun mereka juga melakukan kejahatan-kejahatan serupa. Inilah mengapa keadilan yang dicapai melalui keempat proses pengadilan tersebut dianggap sebagai victor’s justice (keadilan bagi pemenang)

(12)

Buku Saku ICC

(2) Selective justice

Kelemahan lain dari mekanisme pengadilan internasional ad hoc adalah terjadinya keadilan “tebang pilih” (selective justice). Maksudnya adalah tidak semua kasus kejahatan internasional paling serius mempunyai kesempatan yang sama untuk dibentuk pengadilan internasional, hanya kasus-kasus tertentu yang dianggap mempengaruhi stabilitas dan keamanan internasional saja yang akan diadili, dan hanya kasus-kasus yang melibatkan negara-negara penting yang mempunyai kesempatan untuk diselesaikan. Artinya, akan ada pelaku yang tidak ditindak, dan akan ada korban yang tidak mendapatkan hak-haknya atas keadilan dan kompensasi. Lebih jauh, kondisi seperti ini tidak banyak memberikan sumbangan untuk menghentikan praktek-praktek impunitas di berbagai penjuru dunia.

(3) Tidak adanya efek jera dan pencegahan di masa mendatang

Meskipun terdapat kemajuan yang pesat dari kedua Mahkamah Pidana Internasional pasca Perang Dunia Kedua, kedua pengadilan berikutnya masih memiliki keterbatasan yang sama. Di antaranya, tidak adanya kerjasama dengan negara di mana kejahatan internasional yang serius terjadi; tidak bisa menghentikan konflik yang sedang berlangsung dan tidak bisa mencegah berulangnya konflik; serta jangkauan dari penuntutan terbatas pada kategori konflik yaitu konflik internal atau internasional.

(4) Muatan politis

Lebih dari setengah abad sejak peradilan Nuremberg dan Tokyo, banyak negara gagal membawa mereka yang bertanggung-jawab atas genosida, kejahatan

(13)

Buku Saku ICC

kemanusiaan dan kejahatan perang ke pengadilan. Ini disebabkan karena mekanisme pembentukan pengadilan internasional ad hoc HANYA bisa dilakukan melalui Dewan Keamanan PBB. Artinya, “nasib” keadilan sangat tergantung pada komposisi anggota Dewan Keamanan PBB dan penggunaan hak veto oleh anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Dalam konteks ini tentu saja kepentingan politik akan lebih banyak berperan ketimbang pertimbangan hukum dan keadilan. Berangkat dari alasan-alasan di atas, maka diperlukan sebuah mekanisme pengadilan internasional yang relatif bebas dari intervensi politik internasional, menjunjung tinggi kedaulatan negara, dan bersifat independen dan berlaku lebih fair, bahkan kepada pelaku.

Bentuk kejahatan apa saja yang ditangani oleh ICC? Mahkamah ini memiliki yuridiksi untuk mengadili bagi setiap pelaku tindak kejahatan terberat: genosida, kejahatan kemanusian, kejahatan perang dan yang disebut agresi. Apa itu genocida?

Genosida mencakup aksi-aksi terlarang yang didaftar secara rinci (misalnya pembunuhan, kejahatan serius) dan bertujuan untuk menghancurkan, seluruh atau sebagian, bangsa, suku bangsa, ras atau kelompok agama.

Apa itu kejahatan terhadap kemanusiaan?

Kejahatan kemanusian mencakup aksi-aksi terlarang yang didaftar secara rinci, dilakukan sebagai bagian dari agresi menyeluruh atau sistematis terhadap setiap warga sipil. Aksi-aksi termasuk pembunuhan, pengusiran, pemerkosaan, perbudakan seksual, penghilangan paksa dan kejahatan aparteid.

(14)

Buku Saku ICC

Apa itu kejahatan perang?

Kejahatan perang mencakup pelanggaran berat atas Konvensi Geneva tahun 1949 dan pelanggaran serius lain terhadap undang-undang perang, dilakukan baik dalam skala besar internasional maupun konflik bersenjata internal. Adanya konflik internal sesuai dengan hukum adat internasional dan mencerminkan realitas bahwa dalam 50 tahun terakhir, pelanggaran paling serius terhadap hak asasi manusia tidak terjadi dalam konflik internasional tetapi dalam konflik bersenjata internal. Definisi kejahatan dalam Statuta adalah hasil kerja keras bertahun-tahun yang melibatkan banyak delegasi dan pakar. Para hakim Mahkamah Pidana Internasional diharuskan bersikap tegas dalam menjelaskan definisi tersebut dan tidak boleh memperluas dengan analogi. Tujuannya adalah untuk menetapkan standard obyektif internasional tanpa memberi ruang bagi keputusan arbitrer. Jika terdapat ambiguitas, definisi tersebut akan diterjemahkan untuk membantu tersangka atau tertuduh.

Kapan Mahkamah Pidana Internasional menetapkan yuridiksi kejahatan?

Sejak awal diberlakukan Statuta Roma pada tanggal 1 Juli 2002, Mahkamah Pidana Internasional menetapkan yuridiksi atas kejahatan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa yang telah meratifikasi Statuta Mahkamah Pidana Internasional, serta atas kejahatan yang dilakukan di wilayah Negara-negara yang telah meratifikasi perjanjian tersebut. Mahkamah Pidana Internasional dirancang untuk melengkapi sistem keadilan nasional yang ada, namun Mahkamah Pidana Internasional dapat menerapkan yuridiksinya jika pengadilan nasional tidak mau atau tidak mampu menyelidiki atau menghukum kejahatan-kejahatan tersebut. Oleh karena itu, Mahkamah Pidana

(15)

Buku Saku ICC

Internasional juga berperan sebagai katalis dalam proses investigasi dan pemberian hukuman kejahatan Negara-negara yang dilakukan baik dalam wilayah atau oleh bangsa mereka. Kasus dapat diajukan ke Mahkamah Pidana Internasional oleh negara anggota Statuta Roma, Jaksa Penuntut dan Dewan Keamanan PBB. Dengan demikian Pengadilan dapat melaksanakan yuridiksinya atas masalah tersebut jika baik negara tempat kejahatan dilakukan, atau negara kebangsaan tertuduh, merupakan peserta Statuta. Negara-negara bukan Peserta dapat menerima yuridiksi di tingkat ad hoc atau ketika suatu masalah diajukan Dewan Keamanan, Mahkamah Pidana Internasional akan membuat yuridiksi tanpa memandang apakah negara tersebut peserta perjanjian Mahkamah Pidana Internasional atau bukan.

Dapatkah seorang warga negara dari negara bukan penandatangan Statuta Roma dijatuhi hukuman? Dapat, semua warga negara manapun berada dibawah yuridiksi Mahkamah Pidana Internasional dalam salah satu kondisi berikut ini: 1) negara dimana kejahatan terjadi adalah nagara yang telah meratifikasi perjanjian Mahkamah Pidana Internasional, 2) negara tersebut telah mengakui yuridiksi Mahkamah Pidana Internasional pada basis ad hoc, atau 3) Dewan Keamanan PBB menyampaikannya ke Mahkamah Pidana Internasional. Namun, menurut prinsip saling melengkapi, Mahkamah Pidana Internasional akan bertindak hanya jika pengadilan nasional atas tertuduh tidak memulai penyelidikan dan hukuman.

Dapatkah Pejabat tingkat tinggi atau petinggi militer dijatuhi hukuman oleh Mahkamah Pidana Internasional? Dapat. Tanggung jawab kejahatan akan diberlakukan sama kepada semua orang tanpa pengecualian, termasuk

(16)

Buku Saku ICC

Kepala Negara atau pemerintah, anggota pemerintahan atau parlemen, wakil terpilih atau pejabat pemerintah. Kenyataan bahwa kejahatan telah dilakukan oleh seseorang atas perintah penguasa biasanya tidak akan dapat membebaskan orang tersebut dari pertanggung-jawaban kejahatan. Komandan militer bertanggungjawab atas kejahatan yang dilakukan oleh pasukan di bawah perintah dan pengawasannya. Tanggung-jawab atas kejahatan ini juga meliputi ketika seorang komandan militer mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang atau akan melakukan kejahatan namun gagal untuk mencegah atau menekan tindakan mereka. Selain itu, warga sipil yang bertindak sebagai komandan militer dianggap bertanggungjawab atas kejahatan ketika mereka mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang jelas-jelas menunjukkan bahwa kejahatan sedang atau akan dilakukan.

Apakah Mahkamah Pidana Internasional melanggar hukum internasional jika menetapkan yuridiksi atas anggota pasukan nasional atau pasukan penjaga perdamaian? Di bawah hukum internasional yang berlaku saat ini, negara di mana genosida, kejahatan perang atau kejahatan kemanusiaan ternyata telah dilakukan, atau di mana bangsa-bangsanya merupakan korban kejahatan tersebut, berhak untuk dan seringkali secara hukum wajib melakukan penyelidikan dan menjatuhkan hukuman atas para tertuduh pelaku kejahatan tersebut. Statuta Mahkamah Pidana Internasional tidak melanggar prinsip hukum perjanjian internasional manapun dan belum menetapkan hak-hak atau kewajiban hukum apapun yang tidak ada menurut hukum internasional. Kerjasama Negara bukan peserta sesungguhnya bersifat sukarela dan tidak ada pemaksaan. Statuta Mahkamah

(17)

Buku Saku ICC

Pidana Internasional memberikan perlindungan khusus dari penjaga perdamaian dengan memasukkan serangan sengaja terhadap personil, instalasi, unit materi atau kendaraan untuk kemanusiaan atau misi perdamaian sebagai kejahatan yang dapat dihukum. Pelanggaran-pelanggaran tersebut termasuk kejahatan perang atau kejahatan kemanusiaan dalam situasi tertentu.

Apakah Mahkamah Pidana Internasional membatasi yuridiksi pengadilan nasional?

Tidak. Mahkamah Pidana Internasional akan melengkapi, bukan mengambil-alih, yuridiksi pengadilan nasional. Pengadilan-pengadilan nasional terutama akan tetap menyelidiki dan menjatuhkan hukuman atas kejahatan dalam yuridiksi mereka. Atas dasar saling melengkapi, Mahkamah Pidana Internasional akan bertindak hanya jika pengadilan nasional tidak mampu atau tidak mau menerapkan yuridiksi. Jika pengadilan nasional mampu dan mau menerapkan yuridikasinya, Mahkamah Pidana Internasional tidak dapat mencampuri. Alasan-alasan untuk membawa sebuah kasus ke hadapan Mahkamah Pidana Internasional dijelaskan dalam Statuta. Berbagai keadaan penyebab adanya mampuan dan ketidak-inginan dijelaskan dengan hati-hati untuk menghidari keputusan arbitrer. Selain itu, Negara-negara tertuduh dan yang berminat, baik peserta Statuta atau bukan, dapat menantang yuridiksi Pengadilan atas diterimanya kasus tersebut. Mereka juga berhak untuk mengajukan naik banding untuk keputusan terkait apapun.

Apa peranan Dewan Keamanan PBB dalam kerja Mahkamah Pidana Internasional?

Kerja Dewan Keamanan dan Mahkamah Pidana Internasional saling melengkapi. Statuta Roma mengakui

(18)

Buku Saku ICC

peran Dewan Keamanan dalam memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Lebih jelasnya, menurut Bab VII Piagam PBB, Dewan Keamanan dapat merujuk suatu “situasi” ke Mahkamah Pidana Internasional ketika satu atau lebih kejahatan yang dibahas Statuta sepertinya telah dilakukan. Hal tersebut akan menjadi dasar bagi Jaksa Penuntut untuk memulai sebuah penyelidikan. Karena situasi yang dirujuk Dewan Keamanan didasarkan pada kemampuannya yang bersifat mengikat dan dan secara hukum dapat ditegakkan di semua Negara, pelaksanaan yuridiksi Mahkamah Pidana Internasional menjadi bagian alat penegak Dewan. Yuridiksi tersebut menjadi mengikat meskipun Negara tempat terjadi kejahatan tidak mengakui atau Negara kebangsaan tertuduh bukan anggota Statuta. Dalam contoh tersebut di atas, Mahkamah Pidana Internasional, lewat penyelidikan dan pengadilan, membantu Dewan Keamanan dalam menjaga perdamaian dan keamanan. Yuridiksi hasil dari rujukan Dewan Keamanan ini memperkuat peran Mahkamah Pidana Internasional dalam menegakkan hukum kejahatan internasional. Pada saat yang sama, yuridiksi Pengadilan diperluas hingga mencakup Negara-negara bukan Peserta. Tambahan lagi, Dewan Keamanan, dengan mengambil resolusi, dapat meminta Mahkamah Pidana Internasional menunda penyeldikan atau pengadilan. Untuk memperjelas independensi Pengadilan, rujukan Dewan Keamanan hanya merupakan satu dari tiga cara Mahkamah Pidana Internasional menjalankan yuridiksinya.

Bagaimana Statuta Roma mengatur independensi Jaksa Penuntut?

Ada berbagai persyaratan rinci yang dimasukkan dalam Statuta Roma untuk memastikan pemeriksaan dan keseimbangan bagi Jaksa Penuntut untuk dapat memulai

(19)

Buku Saku ICC

penyelidikan ketika ada cukup bukti mendukung pelanggaran serius. Pertama-pertama, Jaksa Penuntut harus menerima keinginan Negara-negara tersebut dan sanggup menyelesaikan penyelidikan mereka sendiri. Sebelum memulai penyelidikan, Jaksa Penuntut diwajibkan menyerahkan semua materi pendukung serta memperoleh izin dari Lembaga Pra-Peradilan yang terdiri dari tiga hakim untuk diteruskan. Terdakwa dan Negara bersangkutan juga mempunyai hak untuk menantang yuridiksi Mahkamah Pidana Internasional atau alasan-alasan kasus sebelum atau diawal peradilan. Statuta Roma mewajibkan Jaksa Penuntut memiliki karakter moral tertinggi, kemampuan dan pengalaman dalam mengajukan tuntutan atau sidang kasus-kasus kejahatan. Jaksa Penuntut tidak diperbolehkan berpartisipasi dalam kasus apapun di mana mungkin perlakuan adilnya diragukan. Semua pertanyaan berkaitan dengan diskualifikasi akan diputuskan oleh Badan Banding Pengadilan. Majelis Negara Anggota mempunyai kekuatan untuk memberhentikan Jaksa Penuntut jika ia diketahui telah melakukan kejahatan atau pelanggaran serius terhadap tugas-tugasnya.

Adakah jaminan bagi hak-hak tersangka sebelum proses dan selama proses sidang?

Ada. Statuta Roma menciptakan sistem pengadilan kejahatan sebagai refleksi dari masukan semua sistem dan tradisi hukum utama. Statuta mengakui sejumlah besar hak-hak tersangka, dan bahkan memperluas standar-standar lembaga-lembaga yang termasuk dalam instrumen utama hak-hak asasi manusia internasional. Hal itu akan menghasilkan hakim-hakim yang tidak berpihak dan memenuhi syarat, sehubungan dengan proses dan sidang keadilan dalam wilayah yuridiksi Pengadilan. Perlindungan tambahan terhadap hak-hak tersangka

(20)

Buku Saku ICC

termasuk mekanisme screening oleh badan penyidik dan Jaksa Penuntut dan badan hukum Pengadilan, yang dirancang untuk melindungi orang-orang tak bersalah dari penyelidikan dan tuntutan bersifat main-main, mengganggu dan mengandung muatan politik. Selain itu, para pengambil keputusan yang memulai penyelidikan atau sidang kejahatan harus memiliki kualifikasi kemampuan, independensi dan rasa keadilan maksimal. Terlebih lagi, Statuta Mahkamah Pidana Internasional juga mengandung persyaratan rinci (lebih dari 60 pasal) tentang dasar-dasar hukum tentang kejahatan, penyelidikan, tuntutan, sidang, bantuan dan kerjasama serta penegak hukum. Persyaratan ini membutuhkan keselarasan prosedur dan hukum kriminal nasional yang secara diametris bertentangan dan berlainan arah. Kesepatan tersebut dicapai atas dasar permasalahan teknis dan mewakili keberhasilan utama hukum internasional.

Apa jaminan agar para Hakim bersikap adil dan terbebas dari pengaruh politik dari luar?

Statuta Roma menuntut agar para hakim memiliki kemampuan profesional tertinggi, orang-orang yang bermoral dengan integritas tinggi dan tidak memihak. Mereka juga harus memenuhi persyaratan dari Negara mereka bersangkutan untuk duduk di badan hukum tertinggi atau ICJ. Mereka juga harus independen dalam melaksanakan fungsi mereka dan tidak terlibat dalam setiap aktivitas yang akan menggangu fungsi hukum atau kepercayaan diri mereka sebagai badan yang independen. Setiap hakim harus memiliki kemampuan tentang hukum krimila dan prosedurnya, serta pengalaman yang diperlukan dalam sidang-sidang kejahatan, atau

(21)

Buku Saku ICC

kemampuan di bidang-bidang yang berkaitan dengan hukum internasional seperti hukum kemanusiaan internasional dan hukum hak-hak asasi manusia. Untuk memastikan apakah komposisi kursi benar-benar seimbang dan internasional, pemilihan para hakim mempertimbangkan perlunya mewakili sistem hukum utama dunia dan memastikan bahwa para hakim mewakili semua wilayah, jumlah hakim laki-laki dan perempuan seimbang, serta para hakim dengan keahlian tentang kekerasan terhadap perempuan atau anak-anak. Dua hakim tidak diperkenankan berasal dari satu Negara. Mereka terpilih untuk periode tiga, enam dan sembilan tahun. Seorang hakim bisa saja diberhentikan dari jabatannya jika ia melakukan kejahatan atau pelanggaran berat dalam tugas. Semua alat perlindungan tersebut adalah untuk memastikan independensi, integritas dan kemampuan serta untuk mencegah masuknya pengaruh politik dari luar. Apakah Mahkamah Pidana Internasional dapat dipercaya dan memiliki independensi?

Majelis Negara Anggota (The Assembly of States Party) -terdiri dari semua Negara yang telah mensahkan perjanjian sebagai peserta penuh dan negara-negara penanda-tangan perjanjian sebagai pengamat - mengawasi kerja Mahkamah Pidana Internasional; mempersiapkan manajemen menyeluruh sehubungan dengan administrasi Mahkamah Pidana Internasional untuk Presiden, Jaksa Penuntut dan Petugas Catatan Sipil; menetapkan anggaran; menetapkan jumlah para hakim; dan mempertimbangkan segala pertanyaan berkaitan dengan non-kerjasama negara-negara dengan Mahkamah Pidana Internasional. Majelis Negara Anggota tidak dapat mencampuri fungsi-fungsi hukum

(22)

Buku Saku ICC

Mahkamah Pidana Internasional. Segala pertikaian yang berhubungan dengan fungsi-fungsi hukum Mahkamah Pidana Internasional akan diselesaikan oleh Mahkamah Pidana Internasional itu sendiri. Hingga saat ini ter dapat 94 Negara anggota Majelis Negara-negara Anggota, mewakili banyak demokrasi dan seluruh wilayah di dunia.

Seberapa kuatkah dukungan untuk membentuk Mahkamah Pidana Internasional?

Seratus enam puluh negara tergabung dalam Konferensi Diplomatis PBB (diadakan di Roma dari 15 Juni hingga 17 Juli 1998), mengarah ke pengadopsian Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional. Melalui kelompok kerja, perundingan informal dan debat terbuka, teks berimbang muncul dan penyelesaian yang telah disetujui secara umum ditemukan untuk banyak isu kompleks secara hukum dan sensitif secara politik. Statuta dan Final Act diajukan sebagai “paket” lengkap pengadopsian. Paket ini merupakan produk perundingan terus-menerus dan kompromisasi hukum yang dirancang untuk mendapatkan persetujuan menyeluruh. Dalam hal ini, “mosi tidak percaya” - alat prosedural untuk tidak menganggap undang-undang ini- diadopsi oleh negara dalam jumlah besar. Meskipun banyak yang mengira bahwa untuk mencapai 60 ratifikasi agar Statuta berlaku dan Mahkamah Pidana Internasional terbentuk memerlukan waktu ratusan tahun, kejadian penting ini akhirnya tercapai pada tanggal 11 april 2002, dalam kurun empat tahum pengadopsian perjanjian. Baru-baru ini, 108 negara dari setiap wilayah telah meratifikasi Statuta Roma.

Mengapa ada negara tidak memilih Statuta?

Tujuh Negara yang tidak memilih Statuta tidak dicatat. Tiga Negara - Cina, Amerika Serikat dan Israel - menyatakan alasan mereka mengapa tidak menandatangani perjanjian tersebut. Cina menyatakan bahwa kekuasaan yang diberikan ke Pra-Peradilan untuk mengkaji usulan Jaksa

(23)

Buku Saku ICC

Penuntut tidaklah cukup dan bahwa pengadopsian Statuta harus berdasarkan konsensus, bukan pemilihan. Keberatan utama Amerika Serikat adalah terhadap penerapan yuridiksi Mahkamah Pidana Internasional atas negara-negara bukan Anggota. Pihak Amerika juga menegaskan bahwa Statuta harus mengakui peranan Dewan Keamanan dalam menentukan aksi penyerangan. Israel menegaskan bahwa Statuta gagal memahami mengapa pemindahan penduduk ke dalam suatu wilayah terjajah masuk dalam daftar kejahatan perang.

Apakah Mahkamah Pidana Internasional akan menuntut kejahatan penyerangan, terorisme dan perdagangan obat terlarang?

Berbagai dukungan untuk Konferensi Roma telah disebarluaskan untuk memasukkan agresi sebagai kejahatan menurut yuridiksi Mahkamah Pidana Internasional. Tetapi, tidak cukup waktu untuk menyelesaikan pengertian serangan itu sendiri agar dapat diterima oleh semua pihak. Hasilnya, Statuta memasukkan kejahatan jenis ini. Namun, seandainya Mahkamah Pidana Internasional tidak melaksanakan yuridiksi atas kejahatan agresi hingga kesepakatan dicapai oleh Negara-negara Anggota di Konferensi Ulangan tentang definisi, unsur-unsur dan persyaratan yang menjadi dasar pelaksanaan yuridiksi oleh Pengadilan tanpa mengabaikan kejahatan ini. Menurut Piagam PBB, Dewan Keamanan mampu menentukan apakah aksi agresi telah dilakukan atau tidak. Statuta menyebutkan bahwa teks akhir tentang kejahatan agresi harus konsisten dengan persyaratan Piagam PBB bersangkutan. Meskipun ada keinginan yang patut dipertimbangkan ketika memasukkan terorisme dan perdagangan obat terlarang dalam mandat Mahkamah Pidana Internasional, negara-negara yang tidak setuju tentang definisi terorisme di Roma dan yang merasa bahwa penyelidikan atas kejahatan obat terlarang berada di luar

(24)

Buku Saku ICC

sumber-sumber Mahkamah Pidana Internasional. Resolusi konsensus telah dilalui dan menuntut Negara-negara Peserta untuk kembali membicarakan masalah kejahatan tersebut dalam konferensi berikutnya.

Apakah Mahkamah Pidana Internasional akan menuntut kejahatan seksual? Bagaimana Mahkamah Pidana Internasional membicarakan kebutuhan para korban dan saksi?

Ya. Statuta memasukkan kejahatan seksual seperti perkosaan, perbudakan seksual, prostitusi paksaan dan kehamilan paksa sebagai kejahatan kemanusiaan ketika mereka dilakukan sebagai bagian dari serangan menyeluruh atau sistematis terhadap penduduk sipil. Mereka juga dianggap sebagai kejahatan perang ketika dilakukan konflik bersenjata internasional atau dalam negeri. Di Rwanda dan bekas Yugoslavia, pemerkosaan dan kekerasaan gender secara luas dipakai sebagai senjata teror dan menghina serta merendahan perempuan etnis tertentu, dan seluruh kelompok masyarakat mereka. Dalam mengadili kasus perkosaan dan kekerasaan gender lain, sidang ad hoc menemukan para korban yang takut mengajukan kisah mereka dan bahkan takut menjadi korban proses pengadilan. Untuk membantu para korban dan saksi menghadapi proses pengadilan, Mahkamah Pidana Internasional membentuk Unit Korban dan Saksi. Unit ini memberikan langkah-langkah perlindungan dan keamanan, konseling dan bantuan lain bagi para saksi dan korban dengan menghormati hak-hak penuh tertuduh. Pengadilan juga harus mengambil langkah-langkah tetap untuk melindungi privasi, harga diri, kondisi fisik dan sikologi serta keamanan para korban dan saksi, khususnya kejahatan yang melibatkan kekerasan seksual dan gender.

(25)

Buku Saku ICC

Apakah para korban berhak atas kompensasi?

Mahkamah Pidana Internasional telah mendirikan Lembaga Pengumpul Dana Bagi Para Korban dan Keluarga, termasuk restitusi, kompensasi dan rehabilitasi. Pengadilan diberi kekuasaan untuk menentukan luas wilayah kerusakan, kerugian dan luka para koban, dan memerintahkan terdakwa untuk mengganti. Sumber dana dapat berupa uang dan harta benda hasil pembayaran denda dan ganti rugi pelanggaran yang diharuskan Mahkamah Pidana Internasional. Negara dan perorangan dianjurkan untuk memberikan sumbangan ke unit ini. Hal tersebut merupakan mekanisme perbaikan pertama yang pernah ada dan ditetapkan oleh pengadilan internasional. Bagaimana mengajukan para terdakwa ke hadapan Mahkamah Pidana Internasional?

Semua Negara Anggota Statuta harus berjanji pada diri mereka sendiri untuk sejalan dengan perintah dan permintaan Mahkamah Pidana Internasional. Jika mereka gagal memenuhi komitmen mereka berarti mereka telah melanggar hukum internasional sehingga membuat negara tersebut semakin ditekan untuk memenuhi permintaan. Lebih dari satu abad, negara-negara telah memenuhi hampir setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pengadilan-pengadilan internasional atas dasar perjanjian - seperti Pengadilan Tinggi Internasional dan Pengadilan Hak-hak Asasi Manusia Eropa - dan biaya politis karena menolak bekerja sama biasanya terlalu besar agar penolakan diizinkan selamanya. Kasus tentang negara-negara yang gagal bekerja sama berada di halaman depan berita. Undang-undang beberapa negara melarang negara tersebut untuk mengekstradisi dakwaan kejahatan perang untuk diadili di negara lain. Namun, selama perundingan Mahkamah Pidana Internasional, banyak

(26)

Buku Saku ICC

negara menyatakan bahwa undang-undang mereka tidak akan menghalangi mereka untuk membawa tersangka ke pengadilan internasional karena hal itu dianggap menyerah dan bukan ekstradisi. Negara-negara lain menunjukkan bahwa mereka akan mengubah undang-undang mereka. Hukuman apa yang dapat diberikan Mahkamah Pidana Internasional? Dapatkah berupa hukuman mati? Sejalan dengan standar hak-hak asasi manusia, Mahkamah Pidana Internasional tidak mampu untuk memutuskan hukuman mati. Pengadilan dapat memperpanjang masa tahanan hingga 30 tahun atau seumur hidup sesuai dengan berat kasus. Selain itu, Pengadilan bisa saja menuntut denda atau ganti rugi pengadilan, harta benda atau aset hasil kejahatan.

Apa kewajiban negara bukan anggota kepada Mahkamah Pidana Internasional?

Karena tidak ada kewajiban umum disebutkan dalam Statuta Roma yang menganjurkan negara-negara bukan Anggota untuk bekerjasama, semua negara - baik peserta atau bukan - diwajibkan hukum internasional untuk mengadili mereka yang bertanggung-jawab atas genosida, kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang. Jika Negara tidak mampu, mereka diminta untuk mengekstradisi para tersangka ke negara pelaksana pengadilan. Terlebih lagi, pada Desember 1973, Majelis UmumPBB mengadopsi Prinsip-prinsip kerjasama internasional dalam mendeteksi, menahan, mengekstradisi dan menghukum orang-orang pelaku kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan ke dalam Resolusi 3074 yang menyatakan bahwa semua negara saling bekerja sama secara bilateral atau multilateral untuk mengadili orang-orang yang bertanggung-jawab atas kejahatan tersebut. Mahkamah Pidana Internasional

(27)

Buku Saku ICC

melengkapi sistem hukum nasional yang ada dan akan masuk hanya bila pengadilan nasional tidak ingin atau tidak mampu menyelidiki atau mengadili kejahatan tersebut, Pengadilan dapat meminta pengadilan nasional untuk bekerja sama berdasarkan kesepakatan ad hoc. Jika suatu negara memilih untuk menyimpulkan kesepakatan itu, negara tersebut harus mau membantu. Tambahan lagi, jika Dewan Keamanan merujuk suatu situasi yang mengancam persamaian san keamanan internasional kepada Mahkamah Pidana Internasional, maka Dewan Keamanan dapat menggunakan kekuasaannya menurut Piagam PBB untuk memaksa Negara bukan anggota agar bekerja sama membantu Mahkamah Pidana Internasional.

(28)
(29)

BAB II

INDONESIA DAN RATIFIKASI STATUTA

ROMA UNTUK MAHKAMAH PIDANA

INTERNASIONAL

(30)

Buku Saku ICC

Bagaimana peran Indonesia dalam proses Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional?

Dalam proses pengadopsian Statuta Roma, Indonesia terlibat secara aktif dengan mengirimkan delegasi untuk mengikuti Konferensi Diplomatik di Roma ketika Statuta Roma itu disahkan pada bulan Juli 1998. Pada saat bersejarah itu, Indonesia menyatakan dukungannya atas pengesahan Statuta Roma dan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional dan menyatakan niatnya untuk meratifikasi Statuta Roma. Dalam pernyataan yang sama, Indonesia menyatakan bahwa Statuta Roma menambah arti penting pada nilai-nilai yang terkandung dalam Piagam PBB yang meliputi persepakatan, imparsialitas, non-diskriminasi, kedaulatan negara dan kesatuan wilayah. Adakah ratifikasi Statuta Roma dalam rencana legislasi Indonesia?

Pada tahun 2004, Presiden Megawati Sukarnoputeri mengesahkan Rencana Aksi Nasional tentang Hak-Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2004 -2009. Rancangan tersebut menyatakan bahwa Indonesia bermaksud meratifikasi Statuta Roma pada tahun 2008. Untuk melaksanakan Rancangan tersebut, Presiden membentuk sebuah Komite Nasional. Dalam beberapa kesempatan, pemerintah juga menyatakan bahwa Statuta Roma sedang dipelajari dan bahwa legislasi nasional perlu dibuat demi keperluan kerjasama dengan Mahkamah sebelum ratifikasi dilaksanakan.

Bagaimana parlemen Indonesia menyikapi ratifikasi Statuta Roma di Indonesia?

Pada Agustus 2006, perwakilan parlemen Indonesia berpartisipasi dalam konferensi regional dengan seluruh

(31)

Buku Saku ICC

parlemen Asia tentang Mahkamah Pidana Internasional dan berjanji akan bekerja untuk mengupayakan ratifikasi/ aksesi pada tahun 2008 atau lebih cepat. Tahun 2007 telah didirikan pula Parliamentarian for Global Action (PGA) Indonesia Chapters, dimana sekretariat internasional PGA selama ini sangat aktif mendukung universalitas Mahkamah Pidana Internasional.

Mengapa Indonesia harus Meratifikasi Statuta Roma? Keharusan ratifikasi Statuta Roma pada tahun 2008 tidak hanya karena alasan normatif bahwa hal tersebut sudah disebutkan dalam RANHAM 2004 – 2009 tetapi juga akan memberikan kontribusi yang sangat positif bagi penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia dan perdamaian kawasan dan dunia. Selain itu, ratifikasi Statuta Roma juga akan menjadikan Indonesia dipandang sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia yang sudah lebih dulu mengikatkan dirinya pada tatanan keadilan internasional. Apa landasan untuk segera meratifikasi Statuta Roma? Terdapat beberapa hal yang melandasi Pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi statuta Roma.

Pertama, mengenai komitmen perlindungan HAM telah diatur dalam UUD 1945. UUD 1945 telah merumuskan pengaturan perlindungan HAM dalam UUD 1945 baik dalam Pembukaan maupun batang tubuh. Dalam Pembukaan, secara eksplisit dan implisit Indonesia mengemukakan pernyataan dan komitmennya dalam upaya perlindungan HAM. Dimana salah satunya dilakukan melalui peran aktif dalam upaya melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial yang juga merupakan salah satu tujuan bangsa Indonesia.

(32)

Buku Saku ICC

Bahwa paska reformasi, UUD 1945 mengalami perubahan penting dalam rangka untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia baik dalam bidang hak-hak sipil dan politik maupun yang termasuk dalam hak-hak sosial, ekonomi dan budaya. Pada tahun 2002, perubahan Kedua UUD 1945 menambahkan aturan yang lebih rinci berkenaan dengan pengaturan perlindungan HAM khususnya di bidang hak-hak sipil dan politik, yaitu dalam BAB X A Pasal 28A – Pasal 28J.

Kedua, dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2004-2009 berdasarkan Keppres No.40 Tahun 2004 tanggal 11 Mei 2004 diantaranya mencakup persiapan ratifikasi instrumen HAM internasional dan penerapan norma dan standar HAM. Peratifikasian Statuta Roma merupakan hal yang sejalan dengan pelaksanaan RANHAM 2004-2009 menegaskan itikad baik serta komitmen Indonesia dalam rangka perlindungan HAM internasional yang selaras dengan hukum nasional. Agenda ratifikasi Statuta Roma dalam RANHAM akan dilaksanakan pada tahun 2008. Urgensi peratifikasian Statuta Roma sudah semakin mendesak, untuk melengkapi mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM dan komitmen Indonesia dalam upaya perlindungan dan penegakan hukum HAM. Ratifikasi Statuta Roma diperlukan agar dapat mendorong kemajuan perlindungan HAM dan penegakan hukum terutama dalam konteks perbaikan sistem peradilan Indonesia.

Apakah Ratifikasi Statuta Roma Akan Mengurangi Kedaulatan Hukum Nasional Indonesia?

Berdasarkan pembukaan Statuta Roma, Mahkamah Pidana Internasional merupakan pelengkap dari peradilan nasional. Apa yang tercantum dalam pembukaan tersebut menegaskan salah satu prinsip penting dalam Mahkamah

(33)

Buku Saku ICC

Pidana Internasional yaitu prinsip komplementer. Berdasarkan pasal 17 ayat (1) Statuta Roma, pengadilan nasional tidak dapat dikontrol oleh ICC.

Larangan ICC untuk mencampuri yurisdiksi hukum nasional jika suatu negara sedang menyelidiki atau menuntut kejahatan tersebut, kasusnya tidak cukup gawat untuk membenarkan tindakan lanjutan oleh ICC, dan kasusnya telah diputuskan oleh pengadilan yang layak dan adil. Berdasarkan ketentuan ini, ICC sebetulnya bertujuan untuk mengefektifkan peradilan pidana nasional suatu negara.

Dengan demikian, tidak ada kekhawatiran bahwa ICC akan mengurangi kedaulatan dalam sistem hukum di Indonesia. Kasus-kasus yang akan dibawa ke ICC benar-benar hanya akan didasarkan pada pelanggaran terhadap proses peradilan domestik yang hanya ditujukan sebagai upaya untuk melindungi pelaku, adanya ketidakmauan negara, dan sistem hukum suatu negara tidak mampu mengadili kejahatan-kejahatan dalam yurisdiksi ICC. Mekanisme hukum nasional tetap menjadi langkah yang utama dan pertama (the forum of first resort) untuk melakukan penuntutan terhadap kejahatan-kejahatan tersebut. Apa saja arti penting dan keuntungan Indonesia bila meratifikasi Statuta Roma?

Sedikitnya ada tiga arti penting dan keuntungan Indonesia bila meratifikasi Statuta Roma. Pertama, menghentikan rantai impunitas di Indonesia. Pembentukan Mahkamah Pidana Internasional bertujuan untuk menghentikan dan mencegah praktik impunitas terhadap pelaku kejahatan internasional yang serius yang diatur oleh Statuta Roma serta membuat perubahan signifikan atas perilaku aktor negara-bangsa. Para pelaku kejahatan

(34)

Buku Saku ICC

demikian tidak dapat bebas dari penuntutan sekalipun mereka adalah representasi dari kedaulatan negaranya. Dengan keberadaan Mahkamah Pidana Internasional para penguasa tidak dapat lagi melakukan praktik dengan alasan apapun termasuk melakukan impunitas dengan maksud melindungi para pelaku menggunakan mekanisme hukum nasional, baik dengan jalan menggelar pengadilan yang bertujuan melindungi pelaku yang ataupun pengampunan (amnesty). Hal ini bisa dicegah karena Mahkamah Pidana Internasional memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penuntutan terhadap kejahatan yang serius yang terjadi serta menentukan apakah peradilan nasional yang digelar telah memenuhi persyaratan independen dan imparsial. Juga, dengan keberadaan Mahkamah Pidana Internasional yang sangat luas dalam menerapkan yurisdiksinya sekalipun kehadirannya bersifat komplementer. Para pelaku selain tidak dapat berlindung melalui mekanisme perundangan nasional negaranya juga tidak dapat berlindung pada negara lain sekalipun negara itu bukan menjadi pihak dari statuta.

Kedua. Keberadaan Mahkamah Pidana Internasional juga sangat menguntungkan Indonesia yang seringkali mengirimkan pasukan perdamaian. Mahkamah Pidana Internasional memberikan perlindungan bagi para personil pasukan penjaga perdamaian dari kemungkinan tindakan-tindakan yang dikategorikan sebagai kejahatan serius internasional. Statuta Roma memberikan jaminan kepada setiap personil angkatan bersenjata dari berbagai negara yang bertugas sebagai Pasukan Perdamaian PBB. Jaminan itu berupa peringatan, pencegahan dan perlindungan dari segala bentuk tindakan kejahatan yang menjadi yurisdiksi mahkamah selama bertugas di daerah konflik dan bukan sebaliknya menjadi penghalang dari kerja-kerja mereka dalam operasi perdamaian. Statuta Roma menyediakan

(35)

Buku Saku ICC

panduan yang lebih lengkap tentang aturan pelibatan (rules of engagement) pasukan perdamaian, sehingga anggota pasukan dapat memahami dengan lebih jelas apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama menjalankan tugasnya. Lebih lanjut, dengan definisi dan parameter element of crimes yang lebih jelas, Statuta roma justru mereduksi kemungkinan politisasi sebuah kasus yang melibatkan pasukan perdamaian.

Ketiga, Mengatasi Kelemahan Sistem Hukum Indonesia. Membawa pelaku kejahatan internasional ke pengadilan dan menghukumnya adalah bentuk dari kewajiban Negara (state responsibility) dan wujud perlindungan HAM yang diberikan Negara kepada warganegaranya. Namun, untuk melaksanakan kewajiban tersebut, Indonesia sering terhambat oleh berbagai kelemahan dan tidak memadainya sistem hukum yang ada. Dengan meratifikasi Statuta Roma, akan menjadi dorongan agar Indonesia segera membenahi kekurangannya tersebut. Selain itu, dengan meratifikasi Statuta Roma yang berisi aturan mengenai bentuk-bentuk kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) yang bersifat dinamis tetapi tidak diatur dalam KUHP dapat memotivasi negara untuk memperbaiki sistem peradilannya, termasuk dalam hal hukum acaranya. Mengingat bahwa setelah meratifikasi Statuta, negara pihak harus mempunyai aturan pelaksanaan yang berjalan sesuai isi Statuta dan Hukum nasional harus mampu memberikan jaminan bagi kerjasama penuh dengan Mahkamah Pidana Internasional.

Keempat, Memberikan Perlindungan pada Saksi dan Korban. Proses peratifikasian Statuta Roma merupakan upaya pencegahan terjadinya kejahatan dengan akibat yang lebih besar di kemudian hari, juga memberikan perlindungan dan reparasi bagi korban. Selain melaksanakan penghukuman bagi pelaku, pemberian kompensasi kepada korban adalah merupakan salah satu

(36)

Buku Saku ICC

bentuk tanggung jawab Negara ketika terjadi pelanggaran HAM yang berat di wilayahnya.

Bagaimana Statuta Roma mengatur perlindungan Saksi dan Korban?

Aturan perlindungan korban untuk pelanggaran berat HAM di Indonesia diatur dalam Pasal 34 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan diikuti oleh PP No. 2 Tahun 2002 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai aturan pelaksanaannya. Namun jika dibandingkan dengan Statuta Roma, banyak aturan dalam Statuta Roma tidak terakomodasi dalam peraturan tersebut. Misalnya, adanya Trust Fund untuk kepentingan saksi dan korban yang didapat dari hasil denda atau penebusan, yang pengaturannya diserahkan kepada Majelis Negara Pihak.

Selanjutnya Statuta Roma juga mengatur mengenai adanya Unit Saksi dan Korban yang tujuannya untuk menyediakan langkah-langkah perlindungan dan pengaturan keamanan, jasa nasihat dan bantuan yang perlu bagi para saksi, korban yang menghadap di depan Mahkamah dan orang-orang lain yang mungkin terkena risiko karena kesaksian yang diberikan oleh para saksi tersebut. Dengan meratifikasi Statuta Roma, maka Indonesia akan dapat secara efektif mengadopsi sistem dan mekanisme perlindungan saksi dan korban sebagaimana tercantum dalam Statuta ke dalam sistem dan mekanisme nasional. Lebih jauh lagi, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang dibentuk berdasarkan UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban akan mendapatkan legitimasi hukum yang lebih tegas ketika merujuk pada praktek-praktek yang dilakukan oleh Mahkamah Pidana Internasional dalam melaksanakan tugasnya.

(37)

Buku Saku ICC

Apa yang didapat Indonesia ketika meratifikasi Statuta Roma?

Berikut adalah keuntungan dan kesempatan yang terbuka bagi Indonesia ketika meratifikasi Statuta Roma. Diantaranya adalah:

a. Hak Preferensi Aktif

Keuntungan nyata yang diperoleh adalah apabila ada suatu mekanisme yang melibatkan Negara Pihak, misalnya Majelis Negara Pihak (Assembly of States Parties), maka kita akan dapat memberikan suara dan pandangan tentang hal-hal yang berkaitan dengan perubahan/perbaikan isi Statuta maupun hal-hal lain yang menyangkut pengaturan dan pelaksanaan Mahkamah Pidana Internasional, termasuk masalah administratif. Dengan meratifikasi Statuta Roma maka Indonesia otomatis menjadi anggota dari Majelis Negara Pihak yang memiliki fungsi sangat penting dalam Mahkamah Pidana Internasional. Fungsi penting dari Majelis Negara Pihak diantaranya adalah dapat ikut serta melakukan pemilihan terhadap semua posisi hukum di Mahkamah Pidana Internasional. b. Kesempatan untuk menjadi bagian dari organ

Mahkamah Pidana Internasional

Sebagai negara pihak tentunya Indonesia akan dapat berkesempatan untuk masuk dan terlibat dalam organ Mahkamah Pidana Internasional. Hal ini dikarenakan setiap negara pihak berhak mencalonkan salah satu warganegaranya untuk menjadi hakim, jaksa penuntut ataupun panitera. Tentunya kesempatan ini dapat meningkatkan kemampuan para aparat penegak hukum Indonesia dalam berpraktik di peradilan internasional dan dapat menguatkan posisi tawar

(38)

Buku Saku ICC

negara dalam pergaulan internasional. Itu juga berarti sumber-sumber daya manusia Indonesia akan memiliki kesempatan untuk berperan aktif dalam sistem international, sehingga hal itu akan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia Indonesia.

c. Mempercepat proses reformasi hukum di Indonesia Konsekuensi logis dari peratifikasian suatu ketentuan internasional yaitu bahwa negara peratifikasi terikat dengan aturan dalam konvensi tersebut. Dengan meratifikasi Statuta Roma, maka Indonesia akan segera terdorong untuk membenahi instrumen hukumnya yang belum memadai agar selaras dengan aturan dalam Statuta Roma. Hal ini dikarenakan prinsip non-reservasi dalam peratifikasian Statuta Roma, yang berarti bahwa negara peratifikasi tunduk pada semua aturan dalam Statuta Roma. Untuk mengefektifkan implementasi Statuta Roma, Negara yang telah meratifikasi diwajibkan membuat aturan implementasi yang dilakukan melalui proses harmonisasi perangkat hukum nasional disertai dengan sosialisasi aturan tersebut kepada berbagai elemen yang terkait dengan perlindungan hak asasi manusia.

d. Efektivitas sistem hukum nasional

Dalam Statuta Roma ditegaskan bahwa penyelesaian suatu perkara tetap mengutamakan upaya hukum nasional baik secara formal maupun material dengan prinsip dan asas-asas yang sesuai dengan hukum internasional. Artinya, Mahkamah Pidana Internasional justru membuka kesempatan yang besar untuk mengefektifkan sistem hukum nasional dan peradilan nasional dalam menuntut para pelaku kejahatan.

(39)

Buku Saku ICC

Lebih lanjut, Statuta Roma juga memungkinkan untuk memberikan bantuan teknis bagi Negara Pihak dalam proses perbaikan dan penyesuaian sistem hukum domestiknya agar memenuhi standar dan prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku. Bagi praktisi hukum di Indonesia, khususnya para hakim dan jaksa, Mahkamah Pidana Internasional juga membuka luas kesempatan untuk belajar dan berkarir baik melalui mekanisme magang maupun jalur “visiting professional”.

e. Peningkatan Upaya Perlindungan HAM

Adanya Mahkamah Pidana Internasional dapat menjadi motivator untuk terus menggiatkan dan meningkatkan peran Indonesia dalam upaya perlindungan HAM internasional, seperti tujuan negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu turut aktif dalam upaya menjaga ketertiban dan perdamaian dunia. Serta menunjukan komitmen Indonesia bahwa Indonesia dapat melaksanakan perlindungan HAM melalui pengadilan HAM secara efektif dan efisien dengan menjamin prinsip pertanggungjawaban individu, penuntutan dan penghukuman bagi pelaku kejahatan.

f. Posisi Diplomatik

Ratifikasi Indonesia akan menempatkan Indonesia sebagai salah satu pendukung utama keadilan internasional. Dalam pelaksanaannya, Indonesia akan bergabung dengan lebih dari setengah masyarakat dunia untuk meyakinkan adanya sistem keadilan yang efektif akan mencegah kejahatan terburuk yang pernah terjadi terhadap kemanusiaan dan memastikan

(40)

Buku Saku ICC

adanya perlindungan bagi seluruh bangsa di dunia, termasuk Indonesia sendiri.

Dengan meratifikasi Mahkamah Pidana Internasional, Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia yang juga salah satu negara terpenting di kawasan Asia Tenggara dapat menjadi contoh yang baik dalam upaya perlindungan HAM khusunya bagi negara tetangganya, maupun negara-negara besar lainnya di dunia. Secara politis, Ratifikasi ini penting bagi pergaulan internasional karena akan menunjukan komitmen Indonesia yang tinggi dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia khususnya dalam penegakan hukum pidana internasional dan yang terpenting adalah ikut serta bersama masyarakat internasional dalam menghapuskan praktik impunitas.

Bagaimana Mekanisme Perlindungan Bagi Perempuan Korban Konflik dalam Mahkamah Pidana Internasional? Di setiap konflik, perempuan dan anak adalah pihak yang sangat rentan dan selalu menjadi korban. Pada Nuremberg Tribunal dan Tokyo Tribunal terdapat kelemahan pada kedua charter-nya sebagai pedoman untuk mengadili pelaku kejahatan. Hal ini dikarenakan para perancang kedua charter tersebut telah gagal memasukan pemerkosaan atau kejahatan seksual (sexual crimes and gender violence). Unsur kejahatan lain seperti perbudakan seksual yang dilakukan oleh Jepang selama perang Asia Timur Raya juga tidak dimasukan dalam Tokyo Tribunal.

Pada ICTY, Dan ICTR , perancang statuta dari kedua Mahkamah Pidana Internasional tersebut berhasil memasukkan pemerkosaan. ICTY memasukkan pemerkosaan sebagai bagian dari penyiksaan (torture) dan

(41)

Buku Saku ICC

ICTR memasukkannya dalam bagian dari genocide. Akan tetapi dalam praktiknya di ICTR dalam kasus Akayesu, kejahatan terhadap perempuan terungkap ketika anggota majelis hakim bertanya kepada saksi korban sehingga kemudian jaksa baru juga menambahkan dakwaannya. Mahkamah Pidana Internasional menyediakan sebuah mekanisme perlindungan bagi perempuan yang jauh lebih progresif dibandingkan Mahkamah-mahkamah internasional yang pernah ada. Perlindungan tersebut dapat ditemui dalam bentuk:

(1) Kodifikasi Kejahatan. Statuta Roma memasukan kekerasan seksual dan jender sebagai bagian dari kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Secara rinci, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut termasuk diantaranya perkosaan, perbudakan seks (termasuk didalamnya perdagangan perempuan), prostitusi dengan paksaan, kehamilan dengan paksaan, dan segala bentuk kekerasan yang dilakukan karena pembedaan jender.

(2) Korban dan saksi perempuan dalam mekanisme ICC dapat meminta prosedur pemeriksaan dilakukan sesuai dengan kebutuhan mereka. Mahkamah memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap korban dan saksi perempuan untuk memperoleh rasa aman, kondisi fisik dan mental yang sehat, serta kerahasiaan saksi dan korban dengan kekhususan untuk kasus-kasus terkait kekerasan seksual dan jender. Statuta juga mengatur adanya unit khusus perlindungan saksi (Victim and Witness Protection), konsultasi dan berbagai bentuk asistensi lainnya. (3) Mekanisme pembuktian yang dibuat sedemikian rupa untuk melindungi korban kejahatan seksual dari proses pembuktian yang mampu merusak

(42)

Buku Saku ICC

kredibilitas mereka maupun harga diri mereka sebagai perempuan.

(4) Adanya staf ahli khusus untuk kejahatan jender dan seksual yang disediakan bagi penuntut umum (Office of The Prosecutor) ICC. Unit khusus saksi dan korban yang berada dibawah panitera (The Registry) Mahkamah juga harus memiliki staff yang berpengalaman dalam menangani kasus-kasus kejahatan seksual. Pemilihan hakim Mahkamah pun dilakukan dengan pertimbangan representasi yang adil antara jumlah hakim perempuan dan laki-laki. (5) Partisipasi korban dalam proses Mahkamah berupa keterlibatan langsung korban dalam proses peradilan. Korban dapat menyamaikan pendapatnya sesuai dengan aturan yang ada dimana mereka diberi kesempatan untuk menceritakan pengalamannya meskipun jika mereka tidak dihadapkan sebagai saksi. Mekanisme ini akan membuka kesempatan bagi setiap individu perempuan untuk bicara yang sering tidak terekam dalam proses peradilan internasional. Dengan berbagai pengaturan dan mekanisme yang disediakan oleh Mahkamah Pidana Internasional ini berarti Mahkamah tidak saja memberikan kepastian bagi para pencari keadilan namun juga menjamin kehormatan saksi dan korban perempuan.

Bagaimana Mahkamah Pidana Internasional memberikan perlindungan bagi Buruh Migran Indonesia?

Indonesia adalah salah satu negara dengan jumlah buruh migran terbanyak didunia. Tidak jarang buruh migran Indonesia bekerja di wilayah konflik yang dapat memungkinkan mereka menjadi korban dari konflik tersebut. Mahkamah Pidana Internasional dapat menjadi

(43)

Buku Saku ICC

salah satu pilihan bagi Pemerintah Indonesia untuk melindungi buruh migran Indonesia ketika kejahatan serius yang telah menjadi yurisdiksi Mahkamah. Hal ini terjadi jika Indonesia secepatnya meratifikasi Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional.

Sebagai negara pihak, Indonesia dapat saja mendorong Jaksa Penuntut Mahkamah untuk segera melakukan investigasi terhadap kejahatan yang menjadi yurisdiksi mahkamah yang menimpa buruh migran Indonesia. Dorongan ini tentunya muncul ketika pelaku kejahatan berasal dari negara yang telah pula menjadi pihak dalam Statuta Roma. Akan tetapi patut pula diingat bahwa Indonesia juga tidak kehilangan kesempatannya untuk mencari keadilan, walau pelakunya bukan dari Negara pihak.

Akan tetapi hal itu tidak menjadikan kesempatan menegakan keadilan bagi Warga Negara Indonesia yang menjadi buruh migran telah tertutup , Pemerintah Indonesia masih dapat mendorong dimulainya investigasi jika negara tersebut tidak berniat (unwilling) atau tidak mampu (unable) untuk mengadili pelaku kejahatan. Adakah kesesuaian pengaturan dan upaya perbaikan hukum di Indonesia?

Tentu saja ada kesesuaian antara Statuta Roma dengan prinsip-prinsip dan ketentuan umum Hukum Pidana Pidana Indonesia. Diantaranya adalah:

• Penerapan asas non retroaktif (asas legalitas) Berdasarkan pasal 24 Statuta Roma menyatakan bahwa seseorang tidak dapat bertanggung jawab secara pidana berdasarkan Statuta ini atas perbuatan yang dilakukan sebelum diberlakukannya Statuta ini.

(44)

Buku Saku ICC

Ketentuan ini menunjukkan bahwa Statuta Roma tidak berlaku surut (retroaktif) dan menjunjung tinggi asas legalitas sebagai asas kardinal dalam hukum pidana. Bahwa ketentuan tidak berlakunya ICC sejalan dengan asas pokok dalam hukum pidana bahwa tidak ada penghukuman tanpa adanya pemidanaan terlebih dahulu. Hal ini sesuai dengan hukum pidana nasional pasal 1 KUHAP yang menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah diadakan terlebih dahulu. Dengan demikian, baik Statuta Roma maupun hukum nasional mempunyai prinsip yang sama yakni melindungi setiap individu dari penerapan tuntutan pidana tertentu yang sebelumnya belum menjadi tindak pidana dalam hukum nasional maupun internasional.

• Pertanggungjawaban individual, percobaan, pembantuan dan permufakatan jahat.

Berdasarkan pasal 25 ayat (2) Statuta Roma, pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban yang bersifat individual. Dalam ayat (2) juga dinyatakan bahwa pelaku kejahatan dapat dikenakan pidana dan dijatuhi hukuman atas tindakan yang dilakukan secara bersama-sama, memerintahkan, mengusahakan, membantu atau melakukan persekongkolan untuk melakukan kejahatan dalam yurisdiksi ICC. Ketentuan sebagaimana diatur dalam Statuta Roma tersebut juga telah diatur dalam pasal 1 angka 4 UU Pengadilan yang menyatakan bahwa setiap orang adalah orang perseorangan, baik sipil, militer maupun polisi yang bertanggungjawab secara indvidual. Sementara tindakan berupa percoabaan, permufakatan jahat diatur dalam pasal 41 UU No. 26 Tahun 2000 dan dalam berbagai ketentuan dalam KUHP.

(45)

Buku Saku ICC

• Ne bis in idem

Berdasarkan pasal 20 Statuta Roma melarang adanya pengadilan dihadapan ICC atau pengadilan jika dasar kejahatan terhadap orang itu telah dinyatakan bersalah atau dibebaskan oleh ICC. Ketentuan tersebut dapat dikecualikan jika pengadilan lain yang mengadili kalau proses pengadilannya dilakukan; 1) dengan tujuan untuk melindungi orang yang bersangkutan dari tanggung jawab pidana, dan 2) tidak dilakukan secara mandiri dan memihak sesuai dengan norma-norma mengenai proses yang diakui oleh hukum internasional dan dilakukan dengan maksud untuk membawa orang tersebut ke pengadilan. Larangan untuk mengadili kembali tersebut merupakan salah satu prinsip penting dalam hukum pidana yaitu prinsip ne bis in idem. Prinsip ini diakui dalam hukum pidana Indonesia dan bahkan juga telah diatur secara tegas dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam pasal 18 yang menyatakan bahwa setiap orang tidak dapat dituntut kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

• Daluwarsa

Kejahatan-kejahatan yang diatur dalam Statuta Roma tidak mengenal daluwarsa yakni jangka waktu atau masa dimana suatu tindak pidana tidak dapat diadili atau diajukan ke pengadilan. KUHP Indonesia memang menganut asas ini sebagai sebuah asas dalam hukum pidana. Namun, ketentuan ini telah disimpangi berdasarkan ketentuan pasal 46 dalam UU Pengadilan HAM yang menyatakan bahwa untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluwarsa.

(46)

Buku Saku ICC

Harmonisasi dalam produk hukum Nasional apa saja yang perlu dilakukan ketika Indonesia meratifikasi Statuta Roma?

1. KUHP, RUU KUHP dan KUHAP

KUHP Indonesia belum mengatur tentang Kejahatan Genosida, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, dan Kejahatan Perang sebagaimana diatur dalam Statuta Roma. Baru pada tahun 2000, Kejahatan Genosida dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan masuk dalam leksikon hukum nasional sebagai pelanggaran HAM yang berat yang diatur secara khusus dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Namun demikian, Prinsip-prinsip dalam hukum pidana yang dianut oleh ICC yang juga telah diatur dalam KUHP Indonesia, yakni prinsip legalitas (non-retroactive principle), pertanggungjawaban individual, hal tentang penyertaan, percobaan dan pembantuan serta pemufakatan.

Dari sisi hukum acara, terdapat perbedaan yang cukup besar. Dalam Statuta Roma semua unsur penegak hukum dalam sistem peradilan ICC bersifat independen, berdiri sendiri tanpa pengaruh pihak manapun, begitu juga dengan proses beracara yang berbeda dengan perkara pidana biasa yang merupakan gabungan antara Anglo-Saxon dan Eropa Kontinental. Sedangkan dalam Pengadilan HAM kita yang diatur oleh Undang-Undang No.26 Tahun 2000, hukum acara yang digunakan adalah sama dengan acara yang terdapat dalam KUHAP dengan sistem kita yang menganut Eropa Kontinental.

Dalam Rancangan UU KUHP Tahun 2006, telah dimasukkan kejahatan-kejahatan yang menjadi

(47)

Buku Saku ICC

jurisdiksi ICC (kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang) menjadi bagian RKUHP. Pengaturan ini diantaranya terdapat dalam Buku Kedua tentang “Tindak Pidana Hak Asasi Manusia”, yang berisi pengaturan dari segi materi tindak pidana beserta hukuman yang dapat dijatuhkan kepada para pelaku tindak pidana tersebut. Bila RKHUP ini disahkan dengan segera artinya kita tidak perlu mengkhawatirkan kemungkinan buruk yang dapat timbul, dari peratifikasian Statuta Roma berkenaan dengan pengaturan jurisdiksi yang berbeda dengan Undang Undang Pengadilan HAM yang hanya memasukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam jurisdiksinya. Rancangan KUHP ini menunjukan komitmen dan kesiapan Indonesia dalam upaya perlindungan HAM yang sejalan dengan standar aturan hukum internasional.

2. UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Komnas HAM

Undang-Undang ini merupakan awal tonggak pengaturan HAM karena Undang Undang ini mengatur mengenai hak-hak mendasar yang wajib mendapat perlindungan diantaranya yang termasuk dalam hak-hak sipil dan politik serta yang termasuk dalam hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Undang-Undang ini mengatur tentang KOMNAS HAM sebagai lembaga yang independen. Lembaga independen ini diantaranya memiliki fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantuan dan meditasi tentang hak asasi manusia.

Berkaitan dengan forum internasional, Undang Undang ini pun tidak menentang adanya upaya yang dilakukan ke forum internasional dalam rangka perlindungan

(48)

Buku Saku ICC

HAM bilamana upaya yang dilakukan di forum nasional tidak mendapat tanggapan. Pasal 7 ayat (1) Undang Undang No. 39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk mengajukan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima negara Republik Indonesia. Maksudnya bahwa mereka yang ingin menegakan HAM dan kebebasan dasarnya diwajibkan untuk menempuh semua upaya hukum Indonesia terlebih dahulu (exhaustion of local remedies) sebelum menggunakan forum di tingkat regional maupun internasional. Hal ini seiring dengan prinsip komplementer yang dianut ICC.

Meskipun tidak secara rinci menyebutkan kejahatan-kejahatan seperti dalam jurisdiksi ICC, tetapi Undang Undang ini telah memandatkan pembentukan pengadilan HAM untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat. Kejahatan-kejahatan yang termasuk pelanggaran HAM yang berat dalam UU ini adalah pembunuhan massal (genocide) dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

3. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Undang–undang ini dibuat atas dasar kesadaran dan kepentingan bahwa Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Sebagi landasan filosofis, Undang-Undang ini dibuat sebagai penerapan cita-cita bangsa yang dipelopori oleh para pendiri bangsa ini dalam rangka pencapaian tujuan bangsa diantaranya mensejahterakan rakyat Indonesia melalui perlindungan HAM. Pertimbangan yuridis yang menjadi landasan Undang-Undang ini yaitu untuk menjamin keadilan

(49)

Buku Saku ICC

dan kepastian hukum, dikarenakan KUHP Indonesia tidak mengatur pelanggaran berat terhadap HAM yang merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes). Dalam sistem hukum Indonesia, suatu hal yang belum diatur dalam KUHP dapat diatur dalam peraturan tersendiri sehingga Undang-Undang 26 tahun 2000 banyak melakukan terobosan-terobosan aturan hukum yang tidak diatur sebelumnya dalam KUHAP. 4. UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi

dan Korban

Sejak tahun 2006, Indonesia telah mempunyai UU khusus tentang Perlindungan Saksi dan Korban. UU ini mengatur tentang hak-hak korban dan saksi, termasuk dalam saksi dan korban kejahatan-kejahatan yang merupakan pelanggaran HAM yang berat. Beberapa hak saksi yang diatur diantaranya hak-hak saksi untuk diberikan perlindungan pergantian identitas dan relokasi saksi (pasal 5). Selain itu juga mengadopsi berbagai ketentuan dalam Statuta Roma tentang perlindungan saksi diantaranya pemeriksaan saksi in camera, atau pemberian kesaksian melalui media elektronik lainnnya (pasal 9). Dalam UU perlindungan saksi dan korban, para korban kejahatan yang termasuk pelanggaran HAM mendapatkan hak untuk kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Hal ini sesuai dengan ketentuan di Statuta Roma mengenai hak-hak korban kejahatan yang menjadi yurisdiksi ICC.

(50)
(51)

PERJALANAN WAKTU

PEMBENTUKAN MAHKAMAH

PIDANA INTERNASIONAL (ICC)

Oktober 1946

Setelah Keputusan Pengadilan Nuremberg, kongres interna-sional mengadakan pertemuan di Paris dan menyerukan pengadopsian undang-undang kejahatan internasional yang melarang kejahatan kemanusiaan, dan penetapan Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

9 Desember 1948

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (MU PBB) mengadopsi Konvensi tentang Larangan dan Hukuman Kejahatan Genosida Konvensi ini menyerukan para penjahat untuk diadili “oleh pengadilan akhir internasional seperti halnyayang dilakukan yuridiksi.” Secara terpisah, para anggota meminta Komisi Hukum Internasional (International Law Commission) untuk mengkaji kemungkinan dibentuknya ICC.

10 Desember 1984

Majelis Umum PBB mengadopsi Deklarasi Universal tentang Hak-Hak Asasi Manusia berisi tentang rincian hak-hak asasi manusia dan kebebasan fundamental

(52)

Buku Saku ICC

1949 - 1954

ILC membuat rancangan untuk ICC, tetapi ditentang oleh negara-negara adi kuasa di kedua pihak dalam Perang Dingin mencegah usaha tersebut. MU PBB secara efektif mengabaikan usaha penundaan kesepakatan tentang definisi kejahatan agresi dan Hukum Kejahatan internasional 1974

Majelis Umum PBB menyetujui definisi agresi 1989

Akhir Perang Dingin meningkat drastis dari segi jumlah operasi perdamaian PBB di dunia, memberikan kepercayaan bagi pembentukan ICC

Juni 1989

Setelah termotivasi oleh usaha untuk memerangi perdagangan obat terlarang, Trinidad dan Tobago menerapkan kembali proposal yang pernah ada untuk membentuk ICC. MU PBB meminta ILC mempersiapkan statuta rancangan

1991-1992

Perang Bosnia-Herzegovina dan Kroasia, termasuk pelanggaran atas Konvensi tentang Genosida dan Genewa, mengarahkan Dewan Keamanan PBB untuk membentuk pengadilan ad hoc sementara bagi bekas Yugoslavia (tahun 1993) dan memperkuat pembahasan mengenai ICC tetap 1994

ILC menyerahkan statuta rancangan ICC kepada Majelis Umum PBB. Perang di Rwanda mengarahkan Dewan Keamanan PBB untuk menetapkan pengadilan kejahatan perang ad hoc PBB ke dua. ILC mengajukan

Referensi

Dokumen terkait