• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Lesi Pra-kanker Leher Rahim

Lesi pra-kanker leher rahim merupakan awal dari perubahan menuju karsinoma leher rahim. Pada dasarnya faktor risiko lesi pra-kanker dan kanker leher rahim adalah sama. Leher rahim secara alami melalui proses pertumbuhan sel abnormal akibat saling menekan pada ke dua lapisan pada leher rahim. Dengan masuknya virus, portio yang dalam keadaan erosi (metaplasia skuamosa) yang awalnya isiologik menjadi berkembang kearah abnormal (displastik-diskariotik) melewati tingkatan CIN I, karsinoma yang secara klasik dinyatakan dapat berkembang menjadi NIS II, dan kemudian menjadi NIS III dan selanjutnya berkembang menjadi KIS/carsinoma leher rahim. Konsep regresi yang spontan serta lesi yang persisten menunjukkan lesi pra-kanker tidak seluruhnya berkembang menjadi invasif, sebagian kasus antara 30-70% dapat menjadi normal kembali sehingga diakui bahwa masih banyak faktor yang berpengaruh (Andrijono, 2013).

2.2 Epidemiologi Kanker Leher Rahim

Secara global, kanker leher rahim menyumbang sekitar 530.000 kasus kanker baru di seluruh dunia dan 275.000 orang mengalami kematian pada tahun 2008. Kasus baru kanker leher rahim 86 % terjadi di negara-negara berkembang. Tingkat insiden dan kematian global tergantung pada adanya program skrining untuk pra-kanker leher rahim. Karena intervensi ini, telah terjadi penurunan 75%

(2)

dalam insiden dan angka kematian kanker leher rahim selama 50 tahun terakhir di negara-negara maju. Pada tahun 2008 di negara maju, kanker leher rahim adalah tipe ke sepuluh paling umum,dari kanker pada wanita (9,0 per 100.000 perempuan) dan peringkat di bawah sepuluh sebagai penyebab kematian kanker (3,2 per 100.000). Sebaliknya, di negara-negara berkembang adalah jenis kedua yang paling umum dari kanker (17,8 per 100.000) dan penyebab kematian akibat kanker (9,8 per 100.000) di kalangan wanita. Di benua Afrika dan di Amerika Tengah, kanker leher rahim merupakan penyebab nomor satu kematian terkait kanker di kalangan perempuan (Bruni, 2014).

Frekuensi kanker leher rahim terbanyak dijumpai pada negara-negara berkembang seperti Indonesia, India, Bangladesh, Thailand, Vietnam dan Filipina. Di Amerika Latin dan Afrika Selatan frekuensi kanker rahim juga merupakan penyakit keganasan terbanyak dari semua penyakit keganasan yang ada. Penelitian yang dilakukan oleh American Cancer Society membuktikan bahwa kanker leher rahim lebih sering terjadi pada kelompok wanita minoritas seperti imigran Vietnam, Afrika dan wanita India. Hal ini berkaitan dengan anggapan mereka bahwa wanita yang tidak berganti-ganti pasangan (promikuitas) tidak perlu melakukan Pap smear. Proyeksi menunjukkan bahwa pada tahun 2030, hampir setengah juta wanita meninggal karena kanker leher rahim, dengan lebih dari 98% dari kematian ini diperkirakan akan terjadi pada rendah dan menengah negara berpenghasilan rendah (American Cancer Society, 2010).

Menurut perkiraan Departemen Kesehatan tahun 1988-1994 insiden kanker leher rahim mencapai 100/100.000 penduduk pertahun, sedangkan

(3)

proporsi kanker leher rahim dari semua jenis kanker dibeberapa bagian patologi anatomi pada tahun 2000, seperti Surabaya ditemukan sebesar 24,3%, Yogyakarta 25,7%, Bandung sebesar 25,1%, Surakarta sebesar 28,2% dan Medan sebesar 16,9%. Di rumah sakit Sanglah Denpasar kanker serviks menempati urutan pertama dari keganasan ginekologi yaitu 73,36% disusul oleh karsinoma ovarium (10,28%), penyakit trofoblastik gestasional ganas (9,35%) (Darmaputra, 2001).

2.3 Studi Terkait Faktor Risiko Kanker Leher Rahim

2.3.1 Umur

Pada dekade tahun 70-an dilaporkan bahwa umur merupakan faktor risiko kanker leher rahim. Data dari beberapa rumah sakit pusat pendidikan menyatakan bahwa umur pasien kanker leher rahim terbanyak adalah 55-58 tahun (Nugroho, 2000). Pada dekade 90-an umur kasus kanker leher rahim terbanyak antara 43-47 tahun seperti yang dilaporkan oleh rumah sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung mendapatkan umur terbanyak 45-59 tahun dan rumah sakit Sanglah Denpasar 41-48 tahun (Suwiyoga, 2000).

Pada penelitian retrospektif terhadap 2.628 wanita, didapatkan bukti insiden dan derajat keganasan lebih banyak terjadi pada wanita usia tua. Proporsi wanita diatas 35 tahun yang menderita kanker leher rahim meningkat dari 9% menjadi 25%, dan pada tiap penelitian ditemukan bahwa wanita tua mempunyai risiko metastasis limfonodus yang lebih besar. Insidensi metastasis limfonodus pelvis pada wanita tua meningkat dari 23% menjadi 40% selama periode 34 tahun. Wanita yang rentan menderita kanker leher rahim adalah yang berusia

(4)

antara 35-50 tahun, terutama yang telah aktif secara seksual sebelum usia 16 tahun (Rasjidi, 2008).

2.3.2 Paritas

Paritas meningkatkan insiden kanker leher rahim, lebih banyak merupakan refleksi dari aktifitas seksual dan saat mulai kontak seks pertama kali dari pada akibat trauma persalinan. Hacker menyatakan bahwa paritas hanya menyebabkan perubahan NIS yang tidak tergantung HPV (Hacker, 2000). Sementara peneliti lain Wright dan Kurman melaporkan bahwa umur pada kehamilan pertama lebih berperan dibandingkan dengan jumlah persalinan, tetapi bagaimana pun jumlah persalinan juga merupakan faktor prognostik (Wright, 2005).

Pada wanita dengan paritas 6 atau lebih mempunyai risiko untuk menjadi kanker serviks 2,5 kali lebih besar dibandingkan dengan wanita dengan paritas tiga atau kurang. Eversi epitel kolumner selama kehamilan menyebabkan dinamika baru epitel metaplastik matur sehingga meningkatkan risiko transformasi sel. Middeldorp tahun 2001 membuktikan bahwa pada kehamilan progesteron dapat menginduksi onkogen HPV menjadi stabil sehingga terjadi integrasi DNA virus ke dalam genom penjamu dan menurunnya kekebalan mukosa zona transformasi (Middeldorp, 2001). Hal ini dapat menjelaskan peningkatan risiko neoplasia serviks pada paritas yang semakin tinggi.

Penelitian oleh Paramita di Kalimantan Timur tahun 2010 menyatakan hal yang sama yaitu perempuan dengan 5-12 anak dibandingkan 0-4 anak memiliki peningkatan risiko kanker serviks sebanyak 2,6 kali (Paramita, 2010).

(5)

Di India penelitian menunjukkan kehamilan lebih dari 4 memiliki risiko yang kuat untuk menderita kanker leher rahim, HR=7.1; 1.0, 52 in 4+vs 0 (Thulaseedharan, 2012).

2.3.3 Hubungan Seksual Usia Dini

Berbagai penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara lesi prakanker dan kanker serviks dengan hubungan seksual pada usia dini, khususnya sebelum umur 16 tahun. Faktor risiko ini dihubungkan dengan karsinogen pada zona transformasi yang sedang berkembang dan paling berbahaya apabila terpajan HPV dalam 5-10 tahun setelah menars (Wright, 2005). Satu dekade terakhir perhatian difokuskan pada HPV sebagai agen etiologi primer patogenesis lesi pra-kanker leher rahim (Wright, 2005). Berdasarkan berbagai penelitian, hubungan seks usia dini, dibawah umur 20 tahun memiliki kemungkinan 3 kali lebih besar untuk menderita kanker leher rahim daripada perempuan saat melakukan hubungan seks diatas umur 20 tahun (Novel, 2010). Pada penelitian yang dilakukan Suriani di Kecamatan Payangan tahun 2011 didapatkan bahwa umur menikah di bawah 20 tahun dapat meningkatkan risiko terjadinya lesi pra-kanker leher rahim sebesar 3 kali dibandingkan menikah umur di atas 20 tahun (Suriani, 2011).

2.3.4 Kontrasepsi Hormonal

Penggunaan kontrasepsi oral dilaporkan meningkatkan insiden NIS meskipun secara tidak langsung, diduga mempercepat perkembangan progresivitas lesi. Pendapat ini masih kontroversi sebab penelitian lain tidak menemukan hubungan yang jelas antara kontrasepsi oral dengan NIS (Diananda,

(6)

2009). Perubahan epitel serviks terlihat setelah pemakaian pil kontrasepsi 5 tahun berturut-turut (Rusmana, 2009). Sarwenda tahun 2013, menemukan ada hubungan yang bermakna pemakaian kontrasepsi hormonal dan non hormonal dengan kejadian kanker leher rahim dimana nilai p=0,001, nilai OR 0,18, bahwa kontrasepsi hormonal lebih berisiko 0,18 kali terkena kanker leher rahim pada wanita di Menado (Sarwenda, 2013).

Penggunaan kontrasepsi hormonal terutama pil KB kemungkinan mengurangi kadar vitamin C, B12, B6, asam folate B2 dan zinc yang terlibat dalam kekebalan tubuh. Tercatat bahwa 67% wanita dengan kanker leher rahim memiliki sedikitnya 1 kadar vitamin abnormal, 38% terlihat banyak terjadi gangguan penyerapan nutrisi dalam tubuhnya (Emilia, 2010).

Terjadi peningkatan insiden 2 kali lipat pada wanita yang mengkonsumsi kontrasepsi oral lebih dari 5 tahun (Samadi, 2011). Nathalie, et al di Swedia dengan rancangan crossectional tahun 2009 menunjukkan dalam hasil penelitiannya bahwa penggunaan kontrasepsi oral dikaitkaan dengan 4 kali lipat peningkatan risiko secara keseluruhan (OR 3,64, 95% CI 1,91-6,93) terhadap kejadian lesi prakanker leher rahim (Nathalie, et al 2009).

2.3.5 Merokok/Paparan Asap Rokok

Asap rokok mengandung uap nitrosamin, nitrosamine akan menghasilkan mutagenic berupa volatile, sedangkan bentuk partikel dari asap pada rokok mengandung nitrosamine yaitu dihasilkan oleh lakaloid tembakau nikotin dan nor nikotin yang diketahui sangat karsinogen dan mutagenik. Bahan tersebut oleh peneliti ditemukan pada serviks wanita yang aktif merokok dan dapat menjadi

(7)

ko-karsinogen infeksi HPV dan diketahui dapat menimbulkan kerusakan epitel serviks sehingga mempermudah infeksi HPV dan menyebabkan neoplasma atau populasi sel kanker serviks (Fujita, et al, 2008).

Secara epidemiologi, merokok mempunyai kontribusi dalam perkembangan kanker leher rahim, dengan risiko 2 kali dibandingkan dengan yang bukan perokok. Merokok berhubungan dengan intensivitas dan lama, menjadi ko-faktor terhadap NIS III. Konsumsi lebih dari 10 batang rokok per hari meningkatkan risiko menderita kanker leher rahim (Anna, 2002). Menurut Novia Dewi dalam penelitiannya di Denpasar tahun 2012, wanita yang menghirup asap rokok > 4 jam per hari meningkatkan kejadian lesi pra-kanker kanker leher rahim sebesar 4 kali (OR=4,75; 95%,CI 2,19-10,33).

2.3.6 Status Gizi

Status sosial ekonomi rendah meningkatkan insiden kanker serviks yang berhubungan dengan status gizi. Status gizi berhubungan dengan daya tahan tubuh terhadap infeksi maupun kemampuan melawan keganasan. Status gizi dan peranan mikronutrien seperti kekurangan Zink, Cuprum, asam folat juga diduga sebagai faktor risiko kanker serviks. Pengolahan makanan dalam suhu tinggi pada makanan yang mengandung protein dan lemak yang tinggi akan membentuk berbagai senyawa mutagenik (Novel, 2010). Wanita dengan status gizi buruk sangat mudah terinfeksi virus HPV. Seseorang dengan diet ketat akan menimbulkan defisiensi vitamin A, C, dan E dan menurunnya daya imunitas, yang mengarah pada berkembangnya penyakit dengan mudah. Kekurangan yang sangat bermakna dari retinol dapat meningkatkan kemungkinan displasia serviks, dan

(8)

mempermudah terinfeksi HPV secara independen. Demikian pula pada perempuan dengan kekurangan vitamin C pada makanan dalam jangka waktu lama sehingga kadar vitamin C rendah dalam tubuh, memiliki kemungkinan terjangkit virus HPV yang lebih tinggi (Kwasiniewska, 2007).

American Cancer Society tahun 2010 dalam terbitan ilmiahnya menyatakan, folat adalah salah satu faktor nutrisi yang memegang peranan dalam proses karsinogenesis serviks. Kekurangan folat menimbulkan inkorporasi DNA HPV pada situs kromosom sehingga menjadi rapuh yang dapat memudahkan terjadinya transformasi ke arah keganasan (Giuliano, 2003).

2.3.7 Riwayat Infeksi Menular Seksual

Human Immunodeficiency Virus (HIV) diduga berhubungan dengan lesi

pra-kanker dan kanker leher rahim atas dasar sistem imunitas berperan penting pada proses keganasan. Sistem imunitas yang tertekan merupakan predisposisi infeksi virus onkogenik, apalagi dengan keadaan mekanisme regulator sel yang sudah terganggu akan mempercepat perkembangan keganasan.

Cuzick tahun 2008, mendapatkan insiden NIS meningkat pada kasus HIV (Cuzick, 2008). Infeksi kelamin lain diduga sebagai faktor yang meningkatkan terjadinya kanker pada leher rahim. Dalam penelitiannya tahun 2008, Melva menemukan keadaan yang tidak berbeda secara statistik bahwa responden dengan riwayat penyakit kelamin memiliki potensi yang kuat untuk terkena kanker leher rahim, dengan nilai RP 2.528 (95% CI 1.698 – 3.764) (Melva, 2008). Temuan serupa oleh Kharsany tahun 2002 di Durban mengemukakan prevalensi tinggi patogen menular seksual terjadi pada semua wanita yang pernah terinfeksi IMS.

(9)

Keputihan yang dibiarkan terus menerus tanpa diobati serta adanya IMS yaitu penyakit yang mudah menular melalui hubungan seks yang tidak aman antara lain

syphilis, gonorrhea, herpes simplex, candidiasis, bacterial vaginosis, kutil

kelamin, trichomoniasis yang sering disertai keluhan keputihan abnormal dapat meningkatkan terjadinya kanker leher rahim (Setiati, 2009).

Dari penelitian serupa oleh Dirk tahun 2012 pada ibu rumah tangga di Surakarta menunjukkan hubungan untuk riwayat IMS yaitu Gonorrhoea p = 0.299, CI95% = 0.236-71.357 dan RR = 4.10, candidiasis p = 0.160, CI95% = 0.236-71.357 dan RR = 6.29, bacterial vaginosis p = 0.117, CI95% = 0.413-136.271 dan RR = 7.50. Dinyatakan ibu rumah tangga yang pernah menderita IMS tidak memiliki hubungan terhadap kejadian lesi pra-kanker leher rahim. Christensen tahun 2004 dalam upaya untuk menyelidiki hubungan antara

bacterial vaginosis menyatakan bahwa sell clue yang menandakan adanya

vaginosis bakteri pada 10% hasil Pap smear dengan semua kasus CIN, lebih umum terjadi pada wanita dengan vaginosis bakteri (p< 0,001).

Menendez tahun 2010 dalam kajian ilmiahnya di Desa Mozambique Selatan menemukan 12% dari 262 wanita mengalami neoplasma serviks dan 79% sebelumnya pernah didiagnosis IMS jenis trikomonas dan gonore. Disebutkan bahwa IMS terjadi karena memiliki pasangan seksual lebih dari satu, berhubungan dengan kejadian neoplasma servik di Mosambique Selatan (Menendez, 2010).

2.3.8 Perilaku Seksual

Perilaku seksual berganti-ganti pasangan pada pernikahan lebih dari satu kali secara bermakna meningkatkan peluang terjadinya kanker leher rahim, penis

(10)

dan vulva. Terjadi peningkatan 10 kali lipat lebih besar bila seorang wanita pernah memiliki pasangan enam orang atau lebih selain itu, virus herpes simpleks tipe-2 dapat menjadi faktor pendampingnya (Novel, 2010).

Wanita memiliki hasil IVA positif 14,10%, pada studi yang dilakukan oleh Andi dan Ong tahun 2011, pada perilaku berganti-ganti pasangan dan merupakan satu-satunya faktor yang mempunyai asosiasi bermakna dengan hasil tes IVA. Hal ini disebabkan karena sel-sel dalam mulut rahim, memiliki Ph yang tidak sama antara satu sperma dengan sperma lainnya, sehingga dapat memicu terjadinya perubahan kearah displasia (Andi, 2011). Untuk risiko terkena lesi pra kanker leher rahim pada wanita yang memiliki jumlah pasangan seksual >1 orang adalah 3,441 kali lebih tinggi dibanding mereka yang mempunyai pasangan seksual 1 orang, setelah dikontrol variabel umur dan kejadian lesi pra- kanker pada seorang wanita dapat dicegah 70,94% bila tidak mempunyai jumlah pasangan seksual >1 (Susanti, 2009).

2.4 Konsep Inspeksi Visual Dengan Asam Asetat (IVA)

Skrining dengan metode IVA unggul di sensitivitas yakni sangat peka mendeteksi adanya sel yang tidak normal, biaya murah dan terjangkau oleh masyarakat. Keunggulan lain IVA, dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih tetapi subyektifitas IVA akan memunculkan hasil positif palsu sehingga dampaknya bagi masyarakat justru meningkatkan biaya tambahan untuk pengobatan yang tidak tepat sehubungan dengan hasil positif palsu tersebut. Meskipun protokol pelaksanaan pemeriksaan ini bervariasi, hasil penelitian yang dilakukan di beberapa negara berkembang menunjukkan bahwa metode IVA

(11)

mempunyai sensitivitas yang sebanding dengan tes Pap dalam mendeteksi lesi pra-kanker derajat tinggi meskipun spesivisitasnya lebih rendah dari tes Pap. Kurang spesifiknya skrining dengan metode ini diantaranya karena subyektivitas petugas medis yang melakukan pemeriksaan di lapangan, selain dipengaruhi juga oleh prevalensi kasus. Pada daerah dengan prevalensi kasus yang rendah, angka kejadian positif palsu dari pemeriksaan akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah yang memiliki prevalensi kasus lebih tinggi (Depkes RI, 2008).

Hal tersebut dapat diperbaiki dengan meningkatkan supervisi atau melakukan pemeriksaan triase. Upaya lain untuk meningkatkan efektivitas suatu pemeriksaan dengan menambahkan pemeriksaan lain. Ketepatan protokol skrining tergantung pada riwayat alamiah dan sifat biologis keganasan atau bagian premaligna, seperti kemanjuran tes yang telah digunakan untuk menskrining kanker leher rahim. Protokol skrining yang optimal termasuk tes yang efektif biaya, sensitif, spesifik, dan bebas risiko serta punya nilai prediksi positif dan negatif yang dapat diterima, ketika digunakan pada skrining berdasar populasi (Nuranna, 2006).

Subyektivitas pemeriksaan IVA merupakan salah satu hambatan, sehingga diperlukan kesesuaian antara metode skrining yang berbeda agar hasil akhir dapat dipercaya keakuratannya. Upaya mengidentifikasi orang yang benar–benar tidak sakit dengan tes IVA dalam skrining lesi pra-kanker leher rahim yaitu pemeriksaan tidak hanya dengan satu metode saja dibutuhkan penapisan dua tahap agar dapat meningkatkan spesivisitas IVA.

(12)

Tes IVA dengan kelebihannya mempunyai sensitivitas yang baik, namun memiliki positif palsu yang tinggi, apabila dikombinasikan dengan tes Pap dimana sensitivitas dan spesivisitasnya cukup baik maka diharapkan sistem skrining dua tahap ini dapat diberlakukan sebagai sistem skrining kanker leher rahim di Indonesia. Solusi ini untuk menemukan sistem skrining yang efektif dan menekan jumlah biaya yang dikeluarkan.

2.5 Pemeriksaan IVA

Pemeriksaan secara visual adalah salah satu metode skrining kanker leher rahim menggunakan asam cuka (IVA) adalah tehnik pemeriksaan yang pemeriksanya dapat dilakukan oleh tenaga terlatih seperti dokter umum, bidan dan perawat untuk menemukan secara cepat kanker leher rahim dengan mengamati portio yang sudah diolesi asam cuka 3-5% secara inspekulo dan dinilai secara langsung menggunakan bantuan pencahayaan (Nuranna, 2006).

2.5.1 Pengenalan Zona Transformasi dan Sambungan Skuamo

Kolumnar (SSK)

Sambungan skuamo kolumnar (SSK) tampil sebagai garis melingkar yang timbul akibat perbedaan tebal antara lapisan epitel skuamosa dan kolumnar (Nuranna, 2006).

2.5.2 Epitel Putih Temuan IVA

Mekanisme tampilan bercak putih ini sesuai dengan mekanisme tampilan white epithelium pada pandang kolposkopi. Epitel skuamosa ini tebal dan berlapis-lapis yang berfungsi sebagai filter yang efektif sehingga

(13)

serviks tampak merah muda hingga merah karena pembuluh darah di bawahnya/stroma (Nuranna, 2006).

2.5.3 Interpretasi Hasil Pemeriksaan IVA

Menurut Nuranna (2006), pengamatan hasil IVA dapat di interpretasikan seperti dibawah ini.

1. IVA negatif berarti serviks normal.

2. IVA radang di interpretasikan sebagai serviks dengan radang, atau kelainan jinak lainnya (polip serviks).

3. IVA positif yaitu ditemukan bercak putih (aceto white epithelium). Kelompok ini yang menjadi sasaran temuan skrining kanker leher rahim dengan metode IVA karena temuan ini mengarah pada diagnosis lesi pra-kanker leher rahim (displasia ringan-sedang-berat atau kanker serviks in-situ).

4. Kanker leher rahim. Pada tahap ini, upaya penurunan temuan stadium kanker leher rahim,akan bermanfaat bagi penurunan kematian bila ditemukan pada stadium invasif dini (stadium IB-II).

2.6 Pap Smear

Penelitian secara random belum pernah dilakukan untuk mengkonfirmasi kemanjuran skrining tes Papanicolaou. Pemeriksaan dengan Pap smear telah banyak diterima olah komunitas medis dan pasien secara luas dan menunjukkan keefektifannya. Sejak skrining dengan Papanicolaou, kematian akibat kanker leher rahim berkurang lebih dari 40%. Hal ini ditunjukkan dengan tes

(14)

kanker leher rahim, tes Pap menunjukkan metode skrining terefektif dalam mencegah kematian pada kanker leher rahim serta Pap smear lebih unggul di spesivisitas dalam arti hasilnya lebih akurat mengenali sel kanker (Nuranna, 2006).

Meskipun tes Pap sukses sebagai contoh dalam mengurangi kematian akibat kanker ini, namun karena biaya yang mahal dan waktu yang lama dalam memperoleh hasil menjadikan Pap smear bukan pilihan utama dalam skrining lesi pra-kanker leher rahim. Dari berbagai penelitian diperoleh bahwa sensitivitas Pap smear untuk mendeteksi kanker leher rahim sangat bervariasi yaitu antara 44%-98%. Selain memiliki sensitivitas yang amat bervariasi, Pap smear juga memiliki angka palsu yang cukup tinggi yaitu berkisar antara 5%-50%, antara lain akibat pengambilan sediaan yang tidak adekuat 62%, kegagalan skrining 15%, dan kesalahan interpretasi 23% (Rusmana, 2009;Suwiyoga, 2010).

Pemeriksaan dengan dua metode secara serial ataupun paralel terbukti efektif mengurangi kelemahan Pap smear seperti dilakukan oleh Surendra di Mumbai tahun 2004 menambahkan tes visual dalam kombinasi paralel dengan Pap smear dan menghasilkan peningkatan substansial dalam sensitivitas, meningkat secara signifikan bila dikombinasikan dengan VIA. Sejalan dengan penelitian Leena dan Jogdand di India tahun 2013, melakukan tes bersamaan dengan dua metode IVA dan Pap smear, menemukan secara keseluruhan tes positif adalah 21,4% untuk IVA dan 2,24% untuk Pap smear (LSIL ambang batas). IVA positif 70% dari wanita dengan CIN 1. Ada kesesuaian yang signifikan ditunjukkan dari abnormal IVA dan kelainan sitologi, dikatakan bahwa

(15)

kedua tes memiliki potensi kuat untuk mendeteksi penyakit leher rahim/serviks bila dilakukan secara bersamaan (Leena, 2013).

2.6.1 Kriteria Hasil Tes Pap

Terdapat banyak sistem dalam menginterpretasikan hasil pemeriksaan Pap smear, sistem Papanicolaou, sistem Cervical Intraepithelial Neoplasma (CIN), dan sistem Bethesda. Klasifikasi Bethesda pertama kali diperkenalkan pada tahun 1988. Setelah melalui beberapa kali pembaharuan, maka saat ini digunakan klasifikasi Bethesda 2001 (Andrijono, 2010).

1. Sel skuamosa

a. Atypical Squamous Cells Undetermined Significance (ASC-US)

b. Low Grade Squamous Intraepithelial Lesion (LSIL)


c. High Grade Squamous Intraepithelial Lesion (HSIL)


d. Squamous Cells Carcinoma

Bila dalam hasil Pap smear ditemukan beberapa perubahn sel-sel ke arah abnormal, menunjukkan adanya sel atipik atau displasia serviks/ LSIL dan HSIL, dikatagorikan dalam stadium lesi pra-kanker leher rahim.

2. Sel glandular

a. Atypical Endocervical Cells

b. Atypical Endometrial Cell

c. Atypical Glandular Cells

d. Adenokarsinoma Endoservikal In situ

(16)

2.7 Konsep Wanita Pasangan Usia Subur/PUS

Pasangan Usia Subur adalah pasangan suami istri yang masih berpotensi untuk mempunyai keturunan atau biasanya ditandai dengan belum datangnya waktu menopause. Pasangan usia subur (PUS) adalah pasangan yang istrinya berumur 20-49 tahun, atau pasangan suami istri yang istrinya berumur kurang dari 15 tahun dan sudah haid (datang bulan), juga termasuk istri berumur lebih dari 50 tahun, tetapi masih haid. Pada wanita-wanita usia subur (WUS) adalah wanita yang keadaan organ reproduksinya berfungsi dengan baik antara umur 20-45 tahun, puncak kesuburan ada pada rentang usia 20-29 tahun, pada usia ini wanita memiliki kesempatan 95% untuk hamil (BPS, 2007).

Referensi

Dokumen terkait

Menurut American Cancer Society, wanita yang mempunyai resiko tinggi terkena kanker payudara, seperti pada wanita dengan mutasi gen BRCA atau banyak anggota keluarganya

Telaah pada berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa golongan wanita yang mulai melakukan hubungan seksual pada usia &lt; 20 tahun atau mempunyai pasangan seksual yang

Pap smear (juga dikenal sebagai tes Pap) adalah suatu tindakan medis yang mana mengambil sampel sel dari serviks (leher rahim) seorang wanita (serviks merupakan bagian

Sesuai dengan etiologi infeksinya, wanita yang memulai dengan hubungan seksual pada usia muda akan meningkatkan risiko terkena kanker serviks.. Karena sel kolumner serviks lebih

Hasil penelitian : variabel yang berhubungan dengan dini lesi pra kanker leher rahim dengan menggunakan metode pemeriksaan IVA adalah usia pertama.. kali

Kanker serviks menyerang daerah leher rahim atau serviks yang disebabkan infeksi virus HPV (human papillomavirus) yang tidak sembuh dalam waktu lama.. HVP adalah DNA virus

Dalam pendeteksian dini kanker leher rahim yang dijalankan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2009-2010, telah didapat 46 positif kanker leher rahim dari

Kanker serviks atau kanker leher rahim adalah suatu proses keganasan yang terjadi pada serviks yaitu bagian terendah dari rahim yang menonjol ke liang senggama atau vagina