• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Obesitas pada Siswa di SMP Negeri 1 Tebing Tinggi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Obesitas pada Siswa di SMP Negeri 1 Tebing Tinggi"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Obesitas

Kata obesitas berasal dari bahasa latin : obesus, obedere yang artinya gemuk atau kegemukan. Obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebihan yang dapat mengganggu kesehatan (WHO, 2015).

Obesitas menunjukkan adanya penumpukan lemak yang berlebihan di dalam tubuh, yang ditandai dengan peningkatan nilai Indeks Massa Tubuh (IMT) di atas normal. Secara klinis, seseorang dinyatakan mengalami obesitas bila terdapat kelebihan berat badan sebesar 15% atau lebih dari berat badan idealnya. Dengan pengukuran yang lebih ilmiah, penentuan obesitas didasarkan pada proporsi lemak terhadap berat badan total seseorang. (Misnadiarly, 2007). Rata-rata wanita memiliki lemak tubuh yang lebih banyak dibandingkan pria. Perbandingan yang normal antara lemak tubuh dengan berat badan adalah sekitar 25 – 30% pada wanita dan 18 – 23% pada pria. Wanita dengan lemak tubuh lebih dari 30% dan pria lebih dari 25% mengalami obesitas (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).

2.2 Remaja

2.2.1 Definisi Remaja

(2)

(middle adolescent) terjadi pada usia 15 – 17 tahun, dan akhir (late adolescent) terjadi pada usia 18 – 21 tahun. Menurut World Health Organization (WHO), batasan remaja secara umum adalah mereka yang berusia 10 tahun sampai 19 tahun (Proverawati, 2010).

2.2.2 Permasalahan Gizi Remaja

Cukup banyak masalah yang berdampak negatif terhadap kesehatan dan gizi remaja. Dalam beberapa hal, masalah gizi remaja merupakan kelanjutan dari masalah gizi pada usia kanak-kanak, yaitu anemia defisiensi besi serta kelebihan dan kekurangan berat badan. Kebiasaan makan yang diperoleh semasa remaja akan berdampak pada kesehatan dalam fase kehidupan selanjutnya, setelah dewasa dan berusia lanjut. Pola makanan yang tidak sehat diantaranya banyak mengonsumsi makanan yang berkalori tinggi, yang banyak mengandung gula, dan minuman berkalori tinggi tetapi jarang sekali mengonsumsi sayuran, buah, dan makanan berserat lainnya (Mitayani dan Sartika, 2010).

(3)

2.3 Epidemiologi Obesitas

2.3.1 Distribusi dan Frekuensi a. Berdasarkan Orang

(1) Kelompok Umur

Data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa, prevalensi gizi lebih secara nasional pada kelompok balita di Indonesia sebesar 11,9%. Pada kelompok umur sekolah dasar 5 – 12 tahun mencapai 18.8% terdiri dari gemuk 10,8% dan sangat gemuk atau obesitas 8,8%. Pada kelompok remaja umur 13 – 15 tahun sebesar 10,8%, terdiri dari 8,3% gemuk dan 2,5% sangat gemuk atau obesitas. Pada kelompok umur remaja akhir usia 16 – 18 tahun, prevalensi mencapai 7,3% terdiri dari 5,7% untuk kegemukan dan 1,6% untuk obesitas. Prevalensi pada kelompok dewasa umur >18 tahun sangat tinggi yaitu 15,4% untuk kegemukan dan 13,5% untuk obesitas. Hal ini menunjukkan bahwa, obesitas dapat terjadi pada setiap kelompok umur baik anak-anak, remaja, maupun dewasa.

(2) Jenis Kelamin

(4)

pada remaja di Minahasa adalah 26,33% yang terdiri dari 4,30% remaja laki-laki dan 22.03% remaja perempuan (Kussoy et al, 2013). Hal ini menunjukkan bahwa, obesitas dapat terjadi baik pada laki-laki maupun pada perempuan namun prevalensi perempuan yang obesitas lebih banyak daripada laki-laki.

a. Berdasarkan Tempat

Obesitas tidak hanya terjadi di negara-negara maju, tetapi juga terjadi di negara-negara berkembang. Di Amerika Serikat, prevalensi obesitas pada usia 12 – 19 tahun sebesar 20,5% pada tahun 2011 – 2012 (Ogden et al , 2013). Di Inggris, prevalensi obesitas pada usia 11 – 15 tahun sebesar 19,9% pada tahun 2013 diantaranya obesitas pada anak laki-laki sebesar 20,4% sedangkan pada anak perempuan sebesar 19,4% (HSE, 2015). Di Malaysia, prevalensi obesitas pada remaja mencapai 6,6%. Di Cina, kurang lebih 10% remaja mengalami obesitas, sedangkan di Jepang, prevalensi obesitas pada umur 6-14 tahun berkisar antara 5-11% (Adriani dan Wijatmadi, 2012). Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riskesdas 2013 prevalensi gemuk dan obesitas pada remaja umur 13 – 15 tahun sebesar 10,8%, terdiri dari 8,3% gemuk dan 2,5% sangat gemuk atau obesitas. Sebanyak 13 provinsi dengan prevalensi kegemukan diatas nasional, yaitu Jawa Timur (8,9%), Kepulauan Riau (9,2%), DKI Jakarta (9,4%), Bengkulu (12,1%), Sumatera Selatan (9,5%), Kalimantan Barat (9,6%), Sumatera Utara (10,9%), Bangka Belitung (9,7%), Bali (9,7%), Kalimantan Timur (11,3%), Lampung (11,4%), Sulawesi Utara (13,1%) dan Papua (13,8%).

b. Berdasarkan Waktu

(5)

mengalami kelebihan berat badan. Di Amerika Serikat, prevalensi obesitas pada usia 12 – 19 tahun mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Obesitas pada anak laki-laki mengalami peningkatan pada tahun 2009 – 2010 sebesar 19,6% menjadi 20,3% pada tahun 2011 – 2012 dan obesitas pada anak perempuan juga mengalami peningkatan dari 17,1% pada tahun 2009 – 2010 menjadi 20,7% pada tahun 2011 – 2012 (Ogden et al, 2013). Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil Riskesdas 2013 prevalensi kegemukan pada usia 13 – 15 tahun juga mengalami peningkatan dari tahun 2010 – 2013. Pada tahun 2010, prevalensi kegemukan di Indonesia sebesar 2,5% menjadi 10,8% pada tahun 2013.

2.3.2 Determinan a. Jenis Kelamin

Jenis kelamin tampaknya juga ikut berperan dalam timbulnya obesitas meskipun dapat terjadi pada kedua jenis kelamin. Di negara-negara maju, karena merupakan masalah kesehatan masyarakat, penelitian yang berkaitan dengan obesitas cukup banyak dilakukan. Dari survey yang dilakukan terhadap populasi dewasa umur 20 – 74 tahun dan Amerika Serikat, dilaporkan bahwa obesitas lebih banyak dijumpai pada kaum wanita dibanding pria (Misnadiarly,2007).

Obesitas tiga kali lebih banyak dijumpai pada wanita, keadaan ini disebabkan metabolisme pada wanita lebih rendah (Adriani dan Wijatmadi, 2012).

b. Pendidikan Orangtua

(6)

yang sangat penting dalam pembentukan kebiasaan makan seseorang. (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat UI, 2014).

c. Pola Makan

(1) Kecukupan Energi

Pola makan remaja akan menentukan jumlah zat-zat gizi yang diperlukan oleh remaja untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Jumlah makanan yang cukup sesuai dengan kebutuhan akan menyediakan zat-zat gizi yang cukup pula bagi remaja guna menjalankan kegiatan fisik yang sangat meningkat. Pola makan pada dasarnya merupakan variabel yang secara langsung berhubungan dengan status gizi. Pola makan diketahui dengan banyak cara antara lain dengan menilai asupan gizi (Hendrayati et al, 2010).

Kebutuhan energi diperlukan remaja untuk kegiatan sehari-hari maupun untuk proses metabolisme tubuh. Pada remaja perempuan usia 13 – 15 tahun kebutuhan energinya sebesar 2.125 kal/hari sedangkan pada remaja laki-laki usia 13 – 15 tahun kebutuhan energinya sebesar 2.475 kal/hari (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Apabila ingin melakukan perbandingan antara konsumsi zat gizi dengan keadaan gizi seseorang, biasanya dilakukan perbandingan pencapaian konsumsi zat gizi individu tersebut terhadap AKG (Supariasa, 2002).

Kecukupan energi = Konsumsi

(7)

(2) Kebiasaan Makan Utama

Menurut Budiyanto (2004), kebiasaan makan utama diukur berdasarkan frekuensi makan dengan mengonsumsi sejumlah makanan lengkap dalam satu hari. Kebiasaan makan berasal dari budaya kelompok yang diajarkan kepada anggota keluarga. Keluarga Indonesia pada umumnya makan 3 kali sehari yaitu pada saat sarapan pagi, makan siang, dan makan malam. Beberapa keluarga mengembangkan pola makan dua kali sehari yaitu makan siang dan malam.

(3) Kebiasaan Konsumsi Jajanan

Kebiasaan senang mengonsumsi jajanan membuat tubuh memperoleh tambahan energi sehingga tanpa disadari asupan energi ke dalam tubuh melebihi kebutuhan dan dampaknya berupa bertambahnya timbunan lemak dalam tubuh. Kebiasaan seperti itu akan memudahkan terjadinya obesitas pada usia remaja (Moehyi, 2003).

Jenis makanan jajanan menurut Kementerian Kesehatan RI (2011) dapat digolongkan menjadi tiga golongan yaitu :

a. Makanan sepinggan

(8)

b. Makanan camilan

Makanan camilan adalah makanan yang dikonsumsi diantara dua waktu makan. Makanan camilan terdiri dari makanan camilan basah dan makanan camilan kering. Makanan camilan basah dapat disiapkan di rumah terlebih dahulu atau disiapkan di tempat penjualan, seperti pisang goreng, lemper, lumpia, risoles, dan lain-lain. Makanan camilan kering umumnya diproduksi oleh industri pangan baik industri besar, industri kecil, dan industri rumah tangga, seperti produk ekstrusi (brondong), keripik, biskuit, kue kering, coklat dan lain-lain.

c. Minuman

Kelompok minuman yang biasanya dijual meliputi yang pertama air minum, baik dalam kemasan maupun yang disiapkan sendiri. Kedua, minuman ringan seperti minuman sari buah, minuman berkarbonasi, es sirup dan lain-lain. Ketiga, minuman campur seperti es buah, es cendol, es doger, dan lain-lain.

d. Aktifitas Fisik

Ketersediaan televisi telah meningkatkan angka kejadian obesitas di kalangan remaja. Anak-anak dan remaja menghabiskan lebih banyak waktu di depan komputer atau perangkat video game daripada bermain di luar ruangan. Singkatnya, olahraga kini kian berkurang, sementara nafsu memakan santapan, terutama pangan yang berkadar lemak tinggi justru meningkat. Semua ini berujung pada obesitas (Arisman, 2011)

(9)

risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih besar dibanding mereka yang menonton TV 2 jam setiap harinya (Hidayati et al, 2006)

(10)

Tabel 2.1 Estimasi Standar Faktorial dari Total Pengeluaran Energi

No Jenis Kegiatan Durasi

(Jam) PAR Total (PAL) Aktivitas Ringan

1 Tidur 8 1,0 8,0

2 Perawatan Pribadi (Berpakaian, mandi) 1 2,3 2,3

3 Makan 1 1,5 1,5

4 Berangkat ke/dari sekolah (naik angkutan umum, naik becak, antar-jemput)

1 1,2 1,2

5 Duduk (belajar di sekolah, les di sekolah, les di luar sekolah, belajar di rumah)

8 1,5 12,0

6 Berjalan 1 3,2 3,2

7

Kegiatan yang dilakukan sambil duduk (main play station, main computer, main gadget)

4. Duduk (belajar di sekolah, les di sekolah, les di luar sekolah, belajar di rumah)

8 1,5 12,0

Olahraga (sepak bola, futsal, basket, kasti, bola volli, renang, tenis meja, tenis

lapangan, badminton, dll)

4. Duduk (belajar di sekolah, les di sekolah, les di luar sekolah, belajar di rumah)

8 1,5 12,0

5. Berjalan 1 4,1 4,1

6. Olahraga (sepak bola, futsal, basket, kasti, bola volli, renang, tenis meja, tenis

lapangan, badminton, dll)

3 4,1 12,3

7. Ekstrakulikuler (drumband, bela diri, menari, dll)

2 4,1 8,2

Total 24 50,3/24= 2,1

(11)

Besarnya aktivitas fisik yang dilakukan oleh seseorang dalam waktu 24 jam dinyatakan dalam PAL (Physical Activity Level) atau tingkat aktivitas fisik. PAL merupakan besarnya energi yang dikeluarkan dalam kkal per kilogram berat badan dalam 24 jam. Rumus yang digunakan untuk menentukan PAL yaitu : (FAO, 2001)

Keterangan :

PAL : Physical Activity Level PAR : Physical Activity Ratio

Berikut ini tabel kategori aktivitas fisik standar berdasarkan nilai Physical Activity Level (PAL).

Tabel 2.2 Kategori Aktivitas Fisik Standar Berdasarkan Nilai Physical

Activy Level (PAL)

No. Kategori aktivitas fisik berdasarkan nilai Physical Activity Level (PAL)

Nilai PAL

Berdasarkan Riskesdas (2013), aktifitas fisik dibagi menjadi dua kategori, yaitu :

a. Kurang aktif, jika tidak melakukan aktifitas fisik sedang dan berat b. Aktif, jika melakukan minimal aktifitas fisik sedang atau berat

(12)

2.4 Pengukuran Obesitas

Ukuran yang digunakan untuk menentukan apakah seseorang menderita obesitas adalah berdasarkan berat badan dan tinggi badan, yaitu menggunakan suatu indeks berdasarkan berat badan dalam kilogram dibagi tinggi badan kuadrat dalam meter, yang disebut indeks massa tubuh (Adriani dan Wijatmadi, 2012).

BB = berat badan TB = tinggi badan

IMT pada anak disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin anak karena anak laki-laki dan perempuan memiliki kadar lemak tubuh yang berbeda. Berdasarkan Kepmenkes RI Nomor : 1995/MENKES/SK/XII/2010, Menteri Kesehatan RI pada tahun 2011 telah mengeluarkan kategori standar antropometri penilaian status gizi anak yang mengacu pada standar World Health Organization (WHO) 2005. Berikut ini tabel Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks :

Tabel 2.3 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks

Indeks Kategori Normal -2SD sampai dengan 1 SD Gemuk >1SD sampai dengan 2 SD

Obesitas >2SD

Sumber :Kemenkes RI, 2011 IMT = �� ��

(13)

2.5 Dampak Obesitas

2.5.1 Dampak Sosial dan Emosional a. Percaya Diri Rendah

Anak-anak maupun remaja sering kali mengganggu atau mencela teman mereka yang kelebihan berat badan dan seringkali mengakibatkan teman mereka tersebut kehilangan rasa percaya diri dan meningkatkan risiko terjadinya depresi (Misnadiarly, 2007).

b. Problem Pada Pola Tingkah Laku dan Pola Belajar

Seseorang yang kelebihan berat badan cenderung lebih sering merasa cemas dan memiliki kemampuan bersosialisasi lebih rendah daripada seseorang dengan berat badan normal. Hal ini akan menyebabkan orang tersebut menarik diri dari pergaulan sosial (Misnadiarly, 2007). Obesitas pada anak maupun remaja dapat menurunkan tingkat kecerdasan, karena aktivitas dan kreativitas menjadi menurun dan cenderung malas (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).

c. Depresi

Isolasi sosial dan rendahnya rasa percaya diri menimbulkan rasa perasaan tidak berdaya pada sebagian remaja yang kelebihan berat badan. Bila remaja kehilangan harapan bahwa hidup mereka akan menjadi lebih baik, pada akhirnya mereka akan mengalami depresi. Seorang remaja yang mengalami depresi akan kehilangan rasa tertarik pada aktivitas normal, lebih banyak tidur dari biasanya atau sering kali menangis (Misnadiarly, 2007).

2.5.2 Dampak Klinis

(14)

risiko penyait degeneneratif (Arisman, 2010). Adapun penyakit degeneratif tersebut diantaranya :

1. Diabetes tipe 2

Kelebihan massa lemak dikaitkan dengan keadaan resistensi insulin yang berhubungan dengan diabetes mellitus. Resiko diabetes mellitus akan meningkat secara linear sesuai dengan peningkatan IMT. Obesitas akan meningkatkan angka kejadian diabetes mellitus 3-4 kali dibandingkan orang dengan IMT normal. Angka penyandang diabetes meningkat seiring epidemik obesitas. Seiring dengan peningkatan obesitas, WHO memperkirakan tahun 2030 sekitar 21,3 juta orang Indonesia terkena diabetes (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).

2. Hipertensi

Hubungan antara angka kejadian hipertensi dan berat badan meningkat tajam sesuai dengan peningkatan berat badan. Risiko terjadinya hipertensi meningkat 1,6 kali untuk overweight dan menjadi 2,5 – 3,2 kali untuk obesitas (Adriani dan Wirjatmadi, 2012).

3. Stroke

(15)

4. Kanker

Obesitas merupakan faktor risiko terhadap terjadinya penyakit kanker. Laki – laki yang obesitas mempunyai risiko lebih besar terkena kanker usus besar dan kanker kelenjar prostat, bila dibandingkan dengan laki – laki berbobot tubuh normal. Adapun wanita yang obesitas berisiko tinggi terkena kanker payudara, kanker indung telur (ovarium) dan kanker mulut rahim, terutama pada wanita pasca menopause yaitu yang telah berhenti haidnya (Lean M, 2013).

5. Penyakit Kardiovaskuler

Seseorang yang memiliki berat badan di atas normal, bahkan memasuki tahap obesitas akan mengalami risiko pengurangan fungsi jantung termasuk ketidaknormalan denyut jantung. Hasil riset tim dari AS dan Italia, pimpinan Dr. Giovanni de Simone melihat hal ini akan menjadi masalah tersendiri bagi penderita obesitas (Lean M, 2013).

2.6 Pencegahan Obesitas 2.6.1 Pencegahan Primer

(16)

2.6.2 Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan dengan menghambat timbulnya penyakit dengan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal. Deteksi dini obesitas dengan cara melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan sehingga diperoleh nilai IMT, melakukan penilaian secara visual dan anamnesa yang dapat dilihat dari riwayat pola konsumsi makan dan aktifitas fisik. Upaya yang dilakukan bagi anak maupun remaja penderita obesitas diantaranya yaitu pengaturan makanan dan melakukan aktivitas fisik (IDAI, 2014).

2.6.3 Pencegahan Tersier

(17)

2.7 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Obesitas Pola Makan :

Kecukupan Energi Kebiasaan Makan Utama Kebiasaan Konsumsi Jajanan

Aktivitas Fisik Karakteristik Individu : Umur

Jenis Kelamin

Gambar

Tabel 2.1 Estimasi Standar Faktorial dari Total Pengeluaran Energi
Tabel 2.3 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks

Referensi

Dokumen terkait

Uji Duncan menunjukkan bahwa produksi bahan kering hijauan sorgum yang dipanen 55 hari setelah tanam lebih tinggi dibanding dengan umur panen 35 hari setelah tanaman. Hal

Pemberian pupuk organik berpengaruh nyata pada jumlah daun dan berat basah bawang merah serta tidak berbeda nyata pada tingi tanaman dan jumlah daun. Daun sangat dibutuhkan

Standar Kompetensi Lulusan berbasis KKNI adalah kemampuan minimum yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan yang pengetahuan, keterampilan dan sikap kerja dalam

Simpulan penelitian pengembangan ini adalah (1) Dihasilkan modul pembelajaran fisika dengan strategi inkuiri terbimbing pada materi fluida statis yang tervalidasi; (2)

Demikian Pengumuman ini di sampaikan untuk diketahui sebagaimana mestinya dan atas perhatiannya diucapkan terima kasih. Tanjungpinang, 08 Maret 2017

Berdasarkan Hasil Evaluasi POKJA ULP Kantor SAR Mataram terhadap surat Penawaran saudara untuk Paket Pekerjaan Jasa Lainnya Pemeliharaan Rescue Boat 36 M Berupa Docking

Selama proses elektrolisis potensial sel teoritis yang diperlukan tidak mengalami penurunan, nilai potensial sel teoritis yang diperlukan untuk pembentukan klorat hanya

Terkait dengan adanya penguatan dan pengembangan lembaga ekonomi dipesantren, diperlukan upaya untuk meningkatkan taraf (ekonomi) masyarakat sekitar sebagai bagian dari