• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLA RADIKALISME INTOLERANSI KELAS MENEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "POLA RADIKALISME INTOLERANSI KELAS MENEN"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

POLA RADIKALISME & INTOLERANSI KELAS MENENGAH MUSLIM : CATATAN SINGKAT1

Oleh

Wasisto Raharjo Jati / Staf Peneliti di Pusat Penelitian Politik-LIPI

Pola Umum Keagamaan Kelas Menengah Muslim

“Konsumtif dan Intoleran” , Kedua kata tersebut mewakili kondisi umum kelas menengah Indonesia yang sebenarnya masih jauh dari harapan sebagai agen perubahan.

Sebagai sebuah kelompok masyarakat baru, posisi kelas menengah berjumlah 50,3 persen

dan kelas menengah atas 3,6 persen, sisanya merupakan kelas atas (1 persen), bawah (39,6

persen), dan sangat bawah atau kelas yang betul-betul miskin (5,6 persen)2. Pengertian

konsumtif tersebut dapat dilacak dari pola konsumerisme produk semisal rumah, televisi,

mobil atau rumah yang memiliki prosentase populasi 45 % maupun kepemilikan telepon

genggam yang mencapai 74 %. Dalam indikator terbaru, kelas menengah perkotaan

teridentifikasi sebagai kelompok yang memiliki pengeluaran rumah tangga 1,2 – 5 juta per

bulan, rumah berdaya listrik 1300 VA dengan biaya pengeluaran listrik Rp 300.000-Rp

600.000,00, dan 3segmen penerima terbesar progam subsidi negara. Artinya bahwa definisi

kelas menengah di Indonesia senantiasa berkembang mengukuti pola konsumerisme yang

berkembang sehingga kini belum menemukan definisi tunggal.

Namun demikian dari indikator-indikator makro ekonomi tersebut bisa dirumuskan

secara sosio-politis bahwa kelas menengah Indonesia adalah kelompok masyarakat semu

yang ambigu, di satu sisi ingin menunjukkan status sosial yang lebih tinggi, namun di sisi

lain masih mempertahankan nilai-nilai tradisional dan primordial4. Pengejaran terhadap

status sosial tersebut menunjukkan bahwa kelas menengah Indonesia masih dalam kategori

leisure and pleasure oriented karena status sosial yang digapai bukan karena prestasi tapi

1 Disampaikan dalam Diskusi Ahli : Pemuda, Kelas Menengah Muslim,& Tantangan Radikalisasi dan Intoleransi

di Perkotaan, Wahid Foundation, 17 Oktober 2017.

2Ba ba g “etia a , , Kelas Me e gah : Ko su tif da I tolera , retrie ed fro

http://nasional.kompas.com/read/2012/06/08/11204529/Kelas.Menengah.Konsumtif.dan.Intoleran, accesed in 15 Oktober 2017.

3Rosali a Margaretha, Melihat Arah “uara Kelas Me e gah , KOMPA“ edisi Dese ber 6 4 Aiko Kurosawa & Horton, Co su i g I do esia : Co su ptio i I do esia i the early th Ce tury

(2)

menjaga gengsi. Sedangkan sikap masih mempertahankan sikap identitas

tradisional-primordial merupakan bentuk eksistensi sekunder manakala eksistensi berbasis materi

sebagai sumber primer belum tercapai. Maka esensi yang ditampilkan kemudian adalah

pola segregasi sosial yang nanti menciptakan adanya enklave sosial dalam masyarakat. Dari

situlah, kemudian problematika intoleransi di kalangan kelas menengah muncul di

permukaan. Sikap intoleransi tersebut kemudian ditunjukkan dengan gejala konservatisme

agama yang melahirkan adanya pandangan chauvinistik. Kondisi tersebut yang kemudian

dirasa rentan menciptakan konflik laten dan manifest di ruang publik dengan

mengatasnamakan agama sebagai kompor politik.

Penggunaan identitas Islam dalam kelas menengah yang kemudian menjelma sebagai

kelas menengah muslim adalah sebentuk ekspresi identitas di ruang publik. Munculnya

kelas menengah muslim Indonesia awalnya merupakan bentuk priyanisasi santri maupun

juga borjuisasi Islam yang kemudian melahirkan cara pandang baru dalam memahami

Islam. Pola dakwah Islam kemudian tidak lagi berbasiskan pada model pengajaran literal berbasis kajian Qur’an dan Hadist maupun ijtihad ulama, namun lebih pada pengajaran visual berbasis narasi media massa. Selain itu pula, pemahaman nilai, prinsip,dan norma

Islam dalam kelas menengah muslim terbagi dalam dua jalur yakni 1) puritanisme baru

yang berusaha menerapkan secara ideal Islam seperti era zaman Nabi 2) modernisme yakni pola negosiasi Islam dan modernisasi yang kemudian melahirkan pemahaman Islam secara

simbolik.

Kelas menengah muslim ini adalah kalangan terdidik kota yang berusaha menempatkan

agama sebagai solusi ukhrawi atas permasalahan duniawi. Oleh karena itulah, pandangan

mereka untuk melekatkan agama Islam begitu tinggi dan kental dalam aspek

kehidupan,bahkan cenderung berlebihan. Selain menempatkan agama secara solutif dan

instan. Pola umum lain yang ditemui dalam kelas menengah muslim adalah intepretasi

terhadap teks-teks agama bukan dilakukan dalam kerangka kontekstual namun lebih pada

pemahamanan ideal yang disesuaikan dengan pemahaman masing-masing. Oleh karena

itulah ekspresi kelas menengah muslim Indonesia cenderung terfragmentasi secara

teologis. Kondisi tersebut menjadikan potret kelas menengah muslim Indonesia tidaklah

berada dalam satu rumah besar. Oleh karena itulah, imajinasi sebagai umat kemudian

ditafsirkan secara variatif tergantung pada mahzab teologi dan organisasi massa yang

(3)

Faktor Pembentuk dan Pola Intoleransi / Radikalisme di Kalangan Kelas Mennegah Muslim

Radikalisme yang berkembang dalam kasus kelas menengah muslim Indonesia pada

dasarnya lahir dalam bentuk responsif dalam menyikapi isu atau permasalahan tertentu5.

Kondisi tersebut yang kemudian mengilhami lahirnya kebangkitan Islam sebagai bentuk

obat mujarab (panacea) atas segala problematika yang dihadapi oleh umat. Dengan kata lain, masyarakat muslim diibaratkan dalam kondisi tertindas sebagai mayoritas diam (silent

majority) sehingga perlu bangkit berbasiskan pada legitimasi teologis Qur’an dan Hadist. Dalam hal ini, konteks radikalisme yang berkembang dalam kelas menengah muslim

kemudian berkembang dalam ketiga ranah penting yakni 1) radikalisme berbasis pada

ideologi, 2) radikalisme berbasis eksistensi, 3) radikalisme berbasis pada materi6. Ketiga

ekspresi tersebut yang kemudian menghasilkan hasil yang berbeda pula. Pertama,

radikalisme yang berkembang dalam skope ideologi pada dasarnya kemudian mengarah

pada teokrasi berbentuk negara Islam. Imaji negara Islam kemudian diidealkan seperti era

Rasulullah SAW dan masa Khulafaur Rasyidin yang akan membawa Islam kembali

berdaulat setelah Recoquinsta pada abad 18. Kedua, radikalisme berbasis pada eksistensi lebih mengarah pada syariatisasi dan formalisasi syariah. Dalam bentuk kedua ini, negara

boleh sekuler, tapi masyarakatnya harus agamis dengan berpatokan pada nilai, prinsip, dan

norma Islam. Ketiga, radikalisme berbasis materi, pola radikalisme yang seperti ini lebih

mengarah pada tujuan kepentingan politis sesaat dengan menggunakan dalil Islam sebagai

intimidasi ukhrawi terhadap duniawi melalui isu moralitas sebagai pintu masuk.

Terhadap ketiga bentuk ekspresi radikalisme dalam kelas menengah muslim tersebut,

isu moralitas yang terdegradasi menjadi pintu pembuka yang kemudian berujung pada arah

pembentukan negara atau masyarakat muslim. Selebihnya,praktik intoleransi tersebut

dijadikan landasan untuk membedakan mana yang Islam dan non Islam, mana yang muslim

dan mana yang kafir. Adanya bentuk polarisasi pandangan tersebut terjadi karena

keengganan masyarakat kelas menengah muslim membuka dialog lintas iman dan budaya

sehingga berpandangan sempit. Terlebih lagi hal tersebut dikuatkan dengan misintepretasi

dalil sunnah dan kitab suci yang melegitimasi perilaku tersebut dengan dicarikan potongan

5 Endang Turmudi & Riza Sihbudi (Ed.), Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta : LIPI Press, 2005),

hal.109-111.

6 Wasisto Raharjo Jati, Radikalisme Politik Kelas Menengah Muslim Paska Reformasi, Miqot 61(1), halaman

(4)

ayat maupun sunnah yang kuat. Pada akhirnya membentuk sikap politik kelas menengah

muslim Indonesia yang emosional-agamis dan sensitif-represif.

Kesimpulan

Solusi Sederhana Pencegahan Intoleransi dan Radikalisme

Pendidikan berkarakter dan dialog lintas iman dan budaya mutlak perlu dilakukan

sedini mungkin untuk mencegah adanya bibit-bibit intoleransi dan radikalisme

berkembang. Dalam kasus sekolah saja, pendidikan sekolah negeri telah menjadi ladang

persemaian baru kedua bibit tersebut melalui pengajaran agama maupun kegiatan ekstra

kurikuler. Solusi yang mungkin bisa dilakukan semisal mengadakan pertukaran siswa

sekolah ke komunitas non muslim, sedangkan siswa non muslim dibawa ke sekolah

muslim. Hal tersebut diperlukan agar membuka pikiran terbuka mengenai perbedaan itu

harus diterima dan bukan disingkirkan. Pengajaran dakwah Islam perlu sekali lagi

menghindari minsintpretasi terhadap dalil Sunnah maupun Hadist yang bertendensi

mengarahkan kepada sikap chauvisnisme karena akan menyulut konflik di ruang publik.

Pada akhirnya kemudian, permasaahan infoleransi dan radikalisme sendiri berujung pada

(5)

Referensi

Jati, Wasisto Raharjo, “Radikalisme Politik Kelas Menengah Muslim Paska Reformasi”, Miqot 40 (1), 214-230.

Kurosawa, Aiko & Horton, “Consuming Indonesia : Consumption in Indonesia in the early

21th Century” (Jakarta : Gramedia, 2015)

Margaretha, Rosalina, “Melihat Arah Suara Kelas Menengah”, KOMPAS edisi 23 Desember

2016

Setiawan, Bambang, 2012, “Kelas Menengah : Konsumtif dan Intoleran”, retrieved from

http://nasional.kompas.com/read/2012/06/08/11204529/Kelas.Menengah.Konsumtif.dan.Intol

eran, accesed in 15 Oktober 2017.

Referensi

Dokumen terkait

Semakin baik upaya perusahaan dalam mempertahankan citra merek suatu produk yang dihasilkan oleh perusahaan akan mempengaruhi loyalitas konsumen terhadap merek

agama, yakni Buddha, Islam, dan Hindu, serta beberapa Kristen, hubungan sosial berjalan dengan baik didasari nilai-nilai budaya Tengger yang dianut oleh warga Desa

Untuk melihat seberapa besar reaksi pasar modal terhadap kebijakan tax amnesty pada saat sebelum dan sesudah diterapkannya kebijakan tersebut, maka penelitian ini

Jika kardinalitas , maka pasti bukan partisi pembeda dan pasti akan ditemukan sedikitnya dua titik dengan representasi yang sama.. Untuk itu, sedikitnya ada 3

Untuk mengetahui hasil belajar Biologi pada siklus I dan siklus II dengan penerapan model pembelajaran langsung pada siswa kelas VII SMP Negeri 2 Batu

Satu dari sekian banyak masalah dalam sebuah keluarga yang sering dialami anak yang memiliki saudara lebih dari satu yakni munculnya rasa persaingan antar saudara kandung atau

pengamatannya dan memferivikasi dari data atau dari buku-buku yang lain tentang materi interaksi antarnegara di kawasan ASEAN Memecahkan masalah dengan merumuskannya Peserta

Hasil ini didukung wawancara yang dilakukan dengan kepala sekolah diketahui bahwa berbagai kegiatan sudah dilakukan untuk meningkatkan kemampuan guru dalam pembelajaran di antaranya