• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Perempuan (Istri) Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga T1 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perlindungan Hukum terhadap Perempuan (Istri) Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga T1 BAB I"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG MASALAH

Pada prinsipnya hubungan hukum melahirkan hak dan kewajiban hukum bagi

para subjek hukum serta berakibat hukum. Demikian prinsip tersebut berlaku untuk

hubungan hukum yang terjadi antara rakyat dengan negara. Hubungan antara negara

(pemerintah) dengan rakyatnya, menurut Locke seperti yang dipaparkan oleh Titon

Slamet Kurnia, adalah hubungan yang bersifat fiduciary trust (hubungan

kepercayaan), dimana rakyat adalah sebagai pihak yang memberikan kepercayaan

(trustor) sekaligus beneficiary dan pemerintah sebagai pihak trustee1. Pada tulisannya

yang lain, Titon Slamet Kurnia mengemukakan bahwa obyek kepercayaan yang

dimaksud adalah Hak Asasi Manusia2. Hal tersebut dikemukakan berdasarkan Teori

Locke, bahwa perlindungan hak-hak kodrati merupakan basis dalam pendirian Negara

(Friedrich, 1969:101-103)3, yang dengan demikian, negara memperoleh legitimasi

kekuasaannya dari rakyat hanya karena kepercayaan bahwa negara akan

merealisasikan hak-hak asasi rakyatnya4.

Konsep tersebut seiring-sejalan dengan teori hukum HAM berdasarkan

yurisprudensi atau case law yang dipaparkan oleh Titon Slamet Kurnia, bahwa

1

Locke dalam Titon Slamet Kurnia, Reparasi (Reparation) terhadap Korban Pelanggaran HAM di Indonesia, Cetakan Ke-1, Penerbit P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, h. 10.

2 Locke dalam Titon Slamet Kurnia, Hak atas Derajat Kesehatan Optimal sebagai HAM di Indonesia ,

Cetakan ke-1, Penerbit P.T. Alumni, Bandung, 2007, h. 1. 3

Ibid.

4

(2)

terdapat dua kewajiban hukum utama negara/pemerintah, yakni (1) primary rules,

yaitu the duty to abstain from infringing upon human rights dan (2) secondary rules,

yaitu the duty to guarantee respect of human rights5. Bahwa pemerintah tidak hanya wajib tidak melanggar atau menghormati HAM rakyatnya, tetapi juga wajib

melakukan upaya untuk melindungi rakyatnya dari perbuatan melanggar HAM yang

dilakukan oleh pihak ketiga, baik dalam ruang lingkup hubungan hukum yang

bersifat privat maupun dalam ruang lingkup hubungan hukum yang bersifat publik.

Salah satu hak asasi warga negara atau rakyat yang harus dilindungi oleh

Negara adalah perlindungan oleh Negara dari penyiksaan atau perlakuan yang

merendahkan derajat martabat manusia6, demikian konstitusi negara Indonesia mengamanatkan. Negara wajib melindungi warga negaranya dari

perlakuan-perlakuan yang melanggar hak asasi warganya, termasuk didalamnya tindakan

kekerasan (violence) yang merupakan suatu peristiwa hukum dimana terjadi suatu

tindakan penggunaan kekuatan fisik yang melanggar hukum dan membahayakan oleh

satu pihak (pelaku) terhadap pihak lain (korban). Black’s Law Dictionary

mendefinisikan violencesebagai “the use of physical force, usu. accompanied by fury,

vehemence, or outrage, esp., physical force unlawfully exercised with the intent to harm”7

(terjemahan penulis:“kekerasan merupakan suatu penggunaan kekuatan fisik

yang biasanya disertai dengan kemarahan, kegeraman, atau kekejaman, secara khusus

5

Titon Slamet Kurnia II, Op.Cit., h. 12.

6 Pasal 28G ayat (2), Undang-Undang Dasar 1945, yang berbunyi Setiap orang berhak untuk bebas

dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh

suaka politik dari negara lain”.

(3)

menggunakan kekerasan fisik yang bertentangan dengan hukum dan dilakukan

dengan niat untuk membahayakan”).

Kekerasan dalam rumah tangga atau yang sering dikenal dengan singkatan

KDRT merupakan salah satu tindakan kekerasan. Undang-Undang No 23 Tahun

2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pasal 1 ayat (1)

mendefinisikan KDRT sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang terutama

perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk

melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan

hukum dalam lingkup rumah tangga. Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan tindak

kekerasan oleh suami terhadap istrinya. atau orang tua terhadap anak. Dengan demikian

Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan suatu bentuk pelanggaran hak-hak asasi

manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan, juga merupakan tindakan diskriminasi.

Data dari hasil Survei Kekerasan terhadap perempuan dan anak tahun 2006 oleh

BPS dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, khususnya mengenai

Tindak Kekerasan terhadap Perempuan menurut Pelaku menunjukkan bahwa:

sebanyak 51,1%(pelaku: suami); 11,7% (pelaku: orang tua/mertua, anak/cucu, dan

famili); 19,6%(pelaku:tetangga); 2,5%(pelaku: atasan/majikan); 2,9 (pelaku: rekan

kerja); 0,2% (pelaku: guru);dan 8,0% (pelaku: lainnya).selain itu dalam penilitian yang

dilakukan oleh Rina Septiani dalam mengumpulkan data dalam penulisan karya

ilmiah tahun 2011, dia mengatakan bahwa kasus di Jakarta pusat pada beberapa tahun

(4)

yang didalamnya hakim mengunakan UU No. 23 tahun 2004 dengan acuan putusan

pengadilan Jakarta pusat dengan nomor perkara 078/Pdt.G/2007/PA.JP. maka dari

kasus itu yang digunakan adalah Undang-Undang No 23 Tahun 2004 karena

didalamnya ada kekerasan serta penganiaan dalam rumah tangga.

Dengan menyatakan:

1. Menyatakan terdakwa terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan

diancam hukuman dalam Pasal 44 ayat (1) Undang-undang No. 23 Tahun 2004

Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga oleh karena itu

membebaskan terdakwa dari dakwaan dimaksud ;

2. Menyatakan terdakwa TERDAKWA bersalah melakukan tindak pidana

sebagaimana diatur dan diancam hukuman dalam Pasal 44 ayat (4)

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang KDRT.

3. Menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama

5 (lima) bulan dengan percobaan selama 10 (sepuluh) bulan.

4. Menetapkan agar terdakwa juga dibebani untuk membayar biaya perkara sebesar

Rp. 1.000,- (seribu rupiah) ;

Dari gambaran data tersebut menunjukkan bahwa bentuk kekerasan dalam

rumah tangga sangat mendominasi, yakni, dengan pelaku adalah suami (tertinggi),

kemudian pelaku kekerasan adalah orang tua/mertua, anak dan cucu, dan menyusul

pelaku adalah atasan/majikan. Hal ini tentu saja cukup memprihatinkan.

Sedangkan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang

(5)

negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam

rumah tangga, adalah pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat

kemanusiaan serta bentuk diskriminasi.

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan perbuatan yang dikategorikan oleh

hukum sebagai kejahatan yang luar biasa. KDRT terutama dengan korban perempuan

merupakan tindak pidana khusus yang hanya melanggar penghormatan atas HAM,

tetapi juga telah sekaligus melanggar prinsip atau asas keadilan dan kesetaraan gender

serta non diskriminasi.

Norma hukum internasional yang menegaskan larangan tersebut salah satunya

melalui Universal Declaration of Human Rights. The Universal Declaration of

Human Rights telah menegaskan larangan atas perbuatan kekerasan pada article 5

dan article 7, yang bunyinya sebagai berikut:

1) Article 5:

“No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading

treatment or punishment”. Bahwa tidak ada seorangpun boleh di siksa atau

diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau di kukung secara tidak

manusiawi atau dihina.

2) Article 7:

“All are equal before the law and are entitled without any discrimination to

equal protection of the law. All are entitled to equal pr otection against any

discrimination in violation of this declaration and against any incitement to

(6)

atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas

perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang

bertentangan dengan diskriminasi ini, dan terhadap segala hasutan yang

mengarah pada diskriminasi semacam ini.

Larangan atas kekerasan dalam rumah tangga sangat beralasan jika

memperhatikan dampak yang sangat buruk dari perbuatan yang melawan hukum

tersebut. Berdasarkan The United Nations Office at Vienna, Centre for International

Crime Prevention, Office for Drug Control and Crime Prevention, the Office for

Victims of Crime, United States Department of Justice, secara umum dampak

kekerasan bagi korban dapat dikategorikan menjadi:

1) Direct Impact

Dampak langsung kekerasan terhadap korban diantaranya berkaitan dengan

dampak fisik dan finansial, yang terjadi baik pada saat dilakukannya

kekerasan maupun pada saat kekerasan telah selesai dilakukan, dan dampak

psikis dan biaya sosial.

a. The physical and financial impact of victimization:

i. At the time of a crime

ii. After the time of a crime

b. Psychological injury and social cost:

i. Post-traumatic stress disorder

ii. Post-traumatic stress and the “conspiracy of silence”

(7)

2) Indirect Impact

Secondary victimization refers to the victimization that occurs not as a direct

result of the criminal act but through the response of institutions and

individuals to the victim. Maksudnya, dampak tidak langsung bagi korban

diantaranya adalah berkaitan dengan respon dari lembaga-lembaga atau

institusi-institusi sosial dan masyarakat terhadap sistem peradilan atas

kejahatan yang dilakukan.

Mohammad Taufik Makarao, dkk. juga memberikan pemaparan yang tidak jauh

berbeda dengan pemaparan tentang dampak KDRT bagi perempuan. Mohammad

Taufik Makarao, dkk. menyatakan bahwa dampak kekerasan bagi perempuan dapat

ditinjau dari berbagai perspektif, yaitu :

1) Tinjauan Psikologis, dampak yang terjadi pada korban dapat berupa:

a. Terisolasi;

b. Memiliki perasaan tidak berdaya;

c. Selalu menyalahkan diri sendiri;

d. Memiliki harga diri rendah;

e. Tidak realistis dan memiliki sikap pasrah

2) Tinjauan Medis

Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, dampak

kekerasan pada korban akan berakibat antara lain :

(8)

i. Kematian, akibat kekerasan fisik, pembunuhan, dan

bunuh diri;

ii. Trauma fisik berat, yaitu memar, patah tulang, hingga

cacat;

iii. Trauma fisik kehamilan yang berisiko pada ibu dan

janin (abortus, infeksi, anemia, dan sebagainya);

iv. Luka pada anak sebagai korban dalam kejadian

kekerasan;

v. Kehamilan yang tidak diinginkan, akibat perkosaan dan

kelahiran premature;

vi. Meningkatnya risiko terhadap kesakitan seperti

gangguan haid, infeksi saluran air kencing, dan

gangguan pencernaan.

b. Aspek psikis korban

i. Gangguan mental, seperti depresi, stres, ketakutan,

rendah diri, kelelahan kronis, putus asa, sulit tidur,

mimpi buruk, disfungsi seksual, gangguan makan,

kecanduan alkohol, mengisolasi dan menarik diri dari

lingkungan;

ii. Pengaruh psikologis yang dialami oleh anak akibat

(9)

3) Tinjauan Waktu

Secara umum kasus kekerasan terhadap perempuan (penganiayaan dan

pelecehan seksual), korban akan mengalami dampak jangka pendek

dan dampak jangka panjang, yaitu :

a. Dampak Jangka Pendek

Biasanya dialami sesaat hingga beberapa hari setelah kejadian.

Pada umumnya berupa cedera fisik seperti luka. Dari segi

psikologis biasanya korban merasa sangat marah, jengkel,

merasa bersalah, malu, dan terhina. Gangguan emosi ini

biasanya menyebabkan kesulitan tidur dan kehilangan nafsu

makan.

b. Dampak Jangka Panjang

Dapat terjadi apabila korban kekerasan tidak mendapat

penanganan dan bantuan (konseling psikologis) yang memadai.

Dampak yang timbul dapat berupa sikap atau persepsi yang

negatif terhadap laki-laki, atau terhadap seks, serta dapat pula

mengakibatkan stres pascatrauma yang biasanya ditandai

dengan gejala-gejala yang khas seperti mimpi buruk, atau

ingatan-ingatan kejadian yang muncul secara tiba-tiba yang

berkepanjangan.

Fakta pada kehidupan sehari-hari yang disampaikan oleh Sri Nurherwati

(10)

lembaga mitra pengadalayanan di Indonesia sepanjang tahun 2012 berjumlah 8.315

kasus (66%), sementara 34% lainnya merupakan kekerasan di ranah komunitas dan

ranah negara, dan dari jumlah tersebut, kekerasan psikis merupakan bentuk

KDRT/RP paling tinggi (46%), bentuk kekerasan fisik mencapai 28%, kekerasan

seksual 17%, dan kekerasan ekonomi sejumlah 8% . Jumlah tersebut menunjukan

betapa Kekerasan Dalam Rumah Tangga merupakan satu kejahatan yang sangat

tinggi jumlahnya dan diperkirakan berpotensi semakin tinggi jumlahnya jika seluruh

pihak yang berkewajiban untuk mencegah terjadinya Kekerasan Dalam Rumah

Tangga tersebut tidak patuh terhadap hukum yang mengatur.

Atas kegagalan Negara dalam mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah

tangga tersebut, hukum telah menentukan suatu kewajiban turunan atau kewajiban

sekunder bagi Pemerintah untuk memulihkan kondisi korban KDRT, terutama

perempuan. Paling tidak menurut Theo Van Boven, seperti yang dikutip oleh Ifdhal

Kasim, secara komprehensif hak-hak korban adalah mencakup hak untuk tahu (right

to know), hak atas keadilan (right to justice), dan hak atas reparasi (right to

reparation)8.

Perlindungan hukum menjadi upaya utama Negara (Pemerintah) dalam rangka

melaksanakan kewajibannya sebagai pihak yang telah dipercaya oleh rakyat untuk

melindungi dan memenuhi HAM rakyat. Namun faktanya, realisasi dari kewajiban

8 Theo Van Boven, Mereka yang Menjadi Korban: Hak Korban atas Restitusi, Kompensasi, dan

(11)

tersebut merupakan upaya yang harus dikerjakan secara bersinergi, yakni melibatkan

seluruh komponen bangsa.

Melihat potensi kejahatan yang demikian “masif”, baik dari sisi obyek yang

dilanggar, yakni HAM, dampak yang diderita oleh korban, dimana korban yang

sudah mengalami penderitaan berpotensi mengalami penderitaan lanjutan dari

reviktimisasi, serta keutamaan Pemerintah yang wajib melindungi dan memenuhi

HAM rakyatnya, maka upaya perlindungan hukum terhadap perempuan korban

KDRT menjadi isu hukum yang penting untuk dikaji. Inilah yang menjadi latar

belakang penelitian hukum (legal research), “Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga”.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan pemaparan dari latar belakang penelitian hukum, maka penulis

merumuskan masalah yang akan diteliti adalah: “Apakah pengaturan UU No. 23

Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah

memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan korban kekerasan dalam

rumah tangga?”

C. TUJUAN PENELITIAN

Berdasarkan rumusan masalah penelitian hukum diatas, maka yang

(12)

pengaturan tentang perlindungan hukum terhadap perempuan korban

kekerasan dalam rumah tangga dalam UU No. 23 Tahun 2004”

D. MANFAAT PENELITIAN

Menurut Prof. Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum merupakan suatu

kegiatan know-how yang dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi9. Yang dimaksud dengan kegiatan know-how tersebut adalah kegiatan menemukan

hukum yang berlaku dalam kegiatan hidup bermasyarakat yang berkaitan dengan isu

hukum yang sedang dihadapi. Sehingga, penelitian hukum harus bermanfaat secara

teoritis dan praktis.

Berdasarkan konsep penelitian hukum yang demikian, maka penelitian hukum

Penulis dimaksudkan untuk bermanfaat secara teoritis dan praktis, yakni dalam

rangka memperkaya wawasan hukum dan dapat menjadi bagian rujukan dalam

rangka memecahkan permasalahan hukum yang terkait dengan perlindungan hukum

dari reviktimisasi terhadap perempuan korban KDRT.

E. METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian dalam studi ilmu hukum, maka metode

penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian penulis adalah penelitian hukum

(legal research), yaitu upaya mengkaji isu hukum dengan menemukan dan

9Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Penerbit Kencana, Edisi Revisi, Cetakan ke-8, Jakarta,

(13)

menerapkan teori-teori hukum, prinsip-prinsip hukum, dan norma-norma hukum yang

relevan.

Pendekatan dalam penelitian hukum (legal research) penulis adalah Pendekatan

Undang-Undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual

approach). Pendekatan Undang-Undang (statute approach) dilakukan dengan

menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu

hukum yang sedang ditangani, dalam hal ini penulis akan menelaah beberapa

peraturan perundang-undangan yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan isu hukum

“Perlindungan Hukum Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga”.

Sedangkan berdasarkan definisi pendekatan konseptual (conceptual approach), Peter

Mahmud Marzuki, memaparkan bahwa pendekatan konseptual (conceptual

approach) merupakan suatu pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan

dan doktrin-doktrin yang berkembang didalam ilmu hukum, maka penulis akan

merujuk pada pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang didalam

ilmu hukum yang mengatur tentang bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap

perempuan korban KDRT. Lebih lanjut Peter Mahmud Marzuki, menjelaskan bahwa

dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin didalam ilmu hukum,

Peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum,

konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.

Sedangkan sumber hukum Penulis untuk mengkaji dan memecahkan isu hukum

(14)

Perundang-Undangan Negara Republik Indonesia yang berkaitan dengan isu hukum

dalam judul penelitian hukum penulis, diantaranya; Undang-Undang Dasar Tahun

1945, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang HAM (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3886), Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004

Nomor 95, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4419),

Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4635), Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 5234), Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2006 Tentang

Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 15, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4604), serta Convention Internasional Law yang

telah diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia, dan sumber hukum sekunder, yaitu

yang terutama dari buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum

dan jurnal-jurnal hukum, kamus hukum dan komentar-komentar atas putusan

Referensi

Dokumen terkait

rumah tangga serta hasil dari proses komunikasi terapeutik psikolog terhadap.. perempuan korban kekerasan dalam

TanpaNya penulis tidak akan dapat menyelesaikan penulisan hukum yang berjudul “ Perlindungan Hukum terhadap Istri Sebagai Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga”.. Penulisan hukum

perlindungan hukum bagi korban kejahatan kekerasan dalam rumah tangga. di Wilayah Hukum

Karakteristik perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga : Kekerasan Dalam Rumah Tangga masih dipandang sebagai ikatan yang sakral, dan lebih dipenuhi

Rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu: (1) Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga menurut

Sosialisasi / penyuluhan tentang Upaya Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga di Kecamatan Tarub, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah ini

Pihak-pihak yang dapat melakukan perlindungan hukum bagi perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga, bisa siapa saja misalnya dapat dilakukan oleh keluarga korban,

Hasil penelitian yang diperoleh yaitu hukum positif Indonesia tidak mengatur mengenai perlindungan hukum bagi korban kekerasan rumah tangga dalam perkawinan sirri, Namun Pada UU