• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN LEMBAGA PERLINDUNGAN PEREMPUAN DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KDRT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN LEMBAGA PERLINDUNGAN PEREMPUAN DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KDRT"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN LEMBAGA PERLINDUNGAN PEREMPUAN DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN KDRT

Oleh : Sukarno

Sukarnonaufal@gmail.com

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar Mataram

ABSTRAK

Kekerasan terhadap perempuan akhir-akhir ini banyak dibicarakan baik dalam bentuk lokakarya, seminar, diskusi, maupun dialog publik. Pihak penyelenggaraan terdiri dari berbagai kalangan baik dari organisasi pemerintah, non pemerintah maupun para akademisi. Rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu: (1) Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004; (2) Bagaimana peran lembaga perlindungan perempuan dalam memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga; Penelitian ini mengkaji pokok permasalahan melalui pendekatan yuridis normatif yaitu menelaah peraturan-peraturan mengenai Peran Lembaga Perlindungan Perempuan dalam memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga terlahir untuk menyelamatkan para korban kejahatan dalam rumah tangga. Hal ini merupakan pertanda baik bagi mereka korban kekerasan dalam rumah tangga karena dapat melakukan penuntutan dan dilindungi secara hukum. Bentuk perlindungan korban, memberikan pendidikan hukum yang berkesetaran gender, pendampingan pada proses hukum,serta peran lembaga perlindungan perempuan, lembaga bantuan hukum, dan peran pemerintah dalam memperjuangkan emansipasi wanita yang berkesetaran gender.

Kata Kunci:Perlindungan Perempuan, KDRT

Abstract

Violence against women lately has been widely discussed in the form of workshops, seminars, discussions and public dialogues. The organizers consisted of various groups both from government, non-government organizations and academics. The formulation of the problems raised in this study are: (1) What is the form of legal protection for victims of domestic violence according to Law Number 23 of 2004; (2) What is the role of women's protection institutions in providing protection to victims of domestic violence; This study examines the subject matter through a normative juridical approach which is examining the regulations regarding the Role of the Women's Protection Agency in providing protection to victims of domestic violence according to Law Number 23 of 2004 concerning the elimination of violence in household. The conclusion in this study is the Law on the Elimination of Domestic Violence was born to save victims of crime in the household. This is a good sign for those victims of domestic violence because they can carry out prosecutions and are legally protected. Forms of victim protection, providing legal education with gender equality, assistance in the legal process, and the role of women's protection institutions, legal aid institutions, and the role of the government in fighting for the emancipation of women of gender equality.

(2)

Sukarno : Peran Lembaga Perlindungan Perempuan Dalam……….…..70-79

PENDAHULUAN A.Latar Belakang

Dewasa ini kemajuan dalam

penegakan hukum mendapatkan dukungan seluruh bangsa di dunia. Kemajuan tersebut dapat diketahui dari banyaknya instrumen hukum nasional dan internasional yang digunakan untuk mendukung terciptanya tujuan hukum berupa kedamaian dan ketertiban di masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai oleh hukum tersebut sangat diharapkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi hak-hak individu dan hak-hak

masyarakat dari perbuatan yang

mengahancurkan sendi-sendi kemanusiaan dalam sejarah peradaban manusia1.

Kekerasan terhadap perempuan akhir-akhir ini banyak dibicarakan baik dalam bentuk lokakarya, seminar, diskusi, maupun dialog publik. Pihak penyelenggara terdiri dari berbagai kalangan baik dari organisasi pemerintah, non pemerintah maupun para akademisi. Dari berbagai kekerasan terhadap perempuan seperti perkosaan, pelacuran, pornografi, pelecehan seksual, dan sebagainya. Ternyata yang paling menonjol saat ini adalah kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence) yang dapat di golongkan kepada tindakan kejahatan. Seharusnya istri bersama suami

duduk bersama dalam mengarungi

kehidupan rumah tangga, yang lebih menyedihkan kasus tersebut dari waktu ke waktu terus meningkat2.

Pada dasarnya dari pihak pemerintah telah berupaya melindungi kaum perempuan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1984 Tentang Pengesahan Konvensi

1 Aroma Eimana Martha, 2003, Perempuan,

Kekerasan, dan Hukum, UII Press, Yogyakarta, Hal. 43

2 Nani Kurniasih, 2005, Kajian Yuridis

Sosiologis Terhadap Kekerasan yang Berbasis Gender, Refika Aditama, Bandung, Hal. 55

Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Pada tahun 1994, sejumlah perempuan yang terdiri dari para pengajar dan aktivis sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) perempuan membentuk kelompok kerja “convention watch”3. Mereka adalah pengajar Program Studi Kajian Wanita (PSKW), Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Pada saat itu (PSKW) dibentuk di tiap perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Lembaga terkini yang dibentuk melalui Keputusan presiden (kepres) Nomor 1 Tahun 1998 adalah Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (komnas perempuan) dan telah diperbaharui dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2005, terakhir terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga4.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 juga mengatur tentang perlindungan sementara yaitu perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian atau lembaga sosial sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan sementara sangat penting untuk segera diberikan pada korban karena jika korban harus menunggu turunnya penetapan pengadilan yang berisikan perintah perlindungan, dikhawatirkan

prosesnya lama sementara korban

membutuhkan perlindungan dalam waktu relatif cepat5.

Adapun bentuk perlindungan hukum dilihat dari segi fungsi Administrasi Dalam pengertian umum, Budiono mengungkapkan

3Aroma Eimana Martha, Ibid, Hal. 55 4Nani Kurniasih, Ibid, Hal. 67

5M. Arief Mansur, 2007, Urgensi Perlindungan

Korban Kejahatan antara Norma dan Realita. PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal.137

(3)

dan keadilan. Ketertiban umum yang dimaksud adalah suatu keadaan yang menyangkut penyelenggaraan kehidupan manusia sebagai kehidupan bersama. Keadaan tertib yang umum menunjukkan suatu keteraturan yang diterima secara umum sebagai suatu kepatutan,supaya kehidupan bersama tidak berubah menjadi anarki. Menurut Sjachran Basah, ada lima fungsi hukum dalam kaitannya dengan kehidupan masyarakat, yaitu sebagai berikut:

a. Direktif, sebagai pengarah dalam

membangun suatu negara untuk

membentuk;

masyarakat yang hendak dicapai sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara; b. Integratif, sebagai pembina kesatuan

bangsa;

c. Stabilitatif, sebagai pemelihara (termasuk di dalamnya hasil-hasil pembangunan) dan penjaga keselarasan, keserasian, dan

keseimbangan dalam kehidupan

bernegara dan bermasyarakat.

Fungsi hukum pidana dalam

perlindungan korban untuk menjamin keadilan dan kesejahtraan bagi masyarakat dalam mencari keadilan ada dua yaitu fungsi secara umum dan fungsi secara khusus yaitu:

a. Fungsi secara umum

Fungsi hukum pidana secara umum yaitu fungsi hukum pidana sama saja dengan fungsi hukum-hukum lain pada umumnya karena untuk mengatur hidup

dalam kemasyarakatan atau

menyelenggarakan suatu tata dalam masyarakat.

b.Fungsi secara khusus

Fungsi hukum secara khusus nya yaitu untuk melindungi suatu kepentingan hukum terhadap perbuatan-perbuatan yang

ditetapkan Undang-Undang yang telah ditetapkan dan yang sifatnya lebih tajam dari pada hukum-hukum lain nya atau untuk memberikan aturan-aturan untuk melindungi yang pihak yang telah dirugikan.

Tindak kekerasan terhadap

perempuan khususnya dalam rumah tangga berkisar dari bentuk yang ringan sampai

yang berat juga mengenal modus

operandinya. Berita-berita tentang meningkatnya tindak kekerasan terhadap perempuan dalam tahun-tahun terakhir ini sudah sangat memprihatinkan masyarakat. Kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga seperti penganiayaan,

penganiayaan yang mengakibatkan

kematian, serta pembunuhan mengalami peningkatan yang cukup tajam. Terdapat beberapa kasus yang menjadi dasar pertimbangan perlunya perlindungan kekerasan terhadap perempuan sebagaimana data yang dikemukakan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, seperti pemukulan, penyiksaan secara fisik terus menerus, bahkan sampai pada kekerasan fisik yang

mengakibatkan korban tidak dapat

melaksanakan aktivitasnya sehari-hari seperti korban Nur Jazilah. Angka kekerasan terhadap perempuan terbilang banyak, terhitung Tahun 2015 terdapat 140 kasus pengaduan diantara terdapat 35 kasus kekerasan dalam rumah tangga6.

Dari uraian di atas dapat diambil pemahaman bahwa beberapa aturan tentang perlindungan terhadap perempuan korban KDRT telah dibuat oleh pemerintah, namun seiring dengan itu tindak kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga juga

6 www.Tribuntimur.co.id.blogspot.com/2016/06/

(4)

Sukarno : Peran Lembaga Perlindungan Perempuan Dalam……….…..70-79

semakin meningkat, dengan demikian Penulis tertarik untuk mengkaji “Peran Lembaga Perlindungan PerempuanDalam Memberikan Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004”. B.Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat diuraikan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004?

2. Bagaimana peran lembaga perlindungan

perempuan dalam memberikan

perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga?

C.Metode Penelitian

Penelitian ini akan mengkaji pokok masalah dengan menggunakan metode yuridis normatif yaitu menelaah

peraturan-peraturan mengenai Peran Lembaga

Perlindungan Perempuandalam memberikan perlindungan terhadap korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

D. Pembahasan

1. Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Undang-Undang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

(UUPKDRT) terlahir untuk menyelamatkan para korban kejahatan dalam rumah tangga. Hal ini merupakan pertanda baik bagi mereka korban kekerasan dalam rumah tangga karena dapat melakukan penuntutan

dan dilindungi secara hukum.

Dikeluarkannya berbagai konvensi atau undang-undang berperspektif gender untuk melindungi perempuan dari pelanggaran

Hak Asasi Manusia belum dapat sepenuhnya menjamin perempuan dari pelanggaran Hak Asasi Manusia. Ancaman kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga yang sering dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri sulit dapat dilihat oleh orang luar seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dialami oleh istri, ibu, anak perempuan, pembantu rumah tangga perempuan. Korban seperti ini sering tidak berani melapor,

antara lain karena ikatan-ikatan

kekeluargaan, nilai-nilai sosial tertentu, nama baik (prestise) keluarga maupun dirinya atau korban merasa khawatir apabila pelaku melakukan balas dendam. Kesulitan-kesulitan seperti inilah yang diperkirakan akan muncul apabila korban melapor. Para pelaku dan korban dari suatu viktimisasi kerap kali pernah berhubungan atau saling mengenal satu sama lainnya terlebih dahulu7.

Berdasarkan hasil Konfrensi Perempuan Sedunia IV di BeijingTahun 1995, istilah kekerasan terhadap perempuan diartikan sebagai kekerasan yang dilakukan berdasarkan gender. Harkristuti Harkrisnowo mengutip pendapat Schuler yang mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan sebagai setiap

kekerasan yang diarahkan kepada

perempuan hanya karena mereka perempuan. Pendapat tersebut menjurus pada semua kegiatan kekerasan yang objeknya adalah perempuan8.

Rumusan kekerasan tersebut

menunjukkan bahwa konsep tindak

kekerasan terhadap perempuan meliputi kekerasan fisik dan psikis. Berdasarkan pengertian di atas, ada beberapa elemen

7 Arief Gosita, 1993, Masalah Korban

Kejahatan, Akademika Presindo, Jakarta, Hal. 23

8 Aroma Eimina Martha, 2003, Perempuan,

Kekerasan, dan Hukum, UII Press, Yogyakarta, Hal. 23

(5)

1. Setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin;

2. Yang berakibat atau mungkin berakibat;

3. Kesengsaraan atau penderitaan

perempuan;

4. Secara fisik, seksual, atau psikologis; 5. Termaksud ancaman tindakan tertentu;

6. Pemaksaan atau perampasan

kemerdekaan secara sewenang-wenang; 7. Baik yang terjadi di depan umum atau

dalam kehidupan pribadi.

Di Indonesia ketentuan tentang larangan melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga terdapat pada Pasal 5 sampai Pasal 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Perlindungan ini sangat diperlukan bagi perempuan sebagai korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang memang sangat memerlukan pemulihan kerugian, baik fisik (ekonomi, kesehatan) maupun psikis (trauma).

a.Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Hukum pidana Indonesia, masih tetap memberikan ancaman bagi setiap pelaku kekerasan dalam rumah tangga maupun kejahatan lainnya. Beberapa ancaman pidana bagi pelaku kekerasan dalam KUHP yang sebelum berlakunya UU KDRT sebagai acuan aparat penegak hukum sebagai instrumen hukum untuk

meiindungi kaum perempuan dari

kejahatan kekerasan. Adapun pasal dan ancaman pidananya adalah sebagai berikut9:

Pasal 351 menyatakan sebagai

9Andi Zainal Abidin, 2007, Hukum Pidana I,

Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 53

penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak Rp. 4.500,- (empat ribu lima ratus rupiah).

2. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang dibersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. 3. Jika mengakibatkan mati, diancam

dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

4. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.

5. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak di pidana.

Pasal 354 menyatakan sebagai berikut:

1. Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

2. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Pasal 355 menyatakan sebagai berikut:

1. Penganiayaan berat yang dilakukan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

2. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal-Pasal tersebut (Pasal 351, 352, 353, 354 dan 355 KUHP) mencantumkan sistem pidana tunggal yaitu pidana penjara. Sistem ini mewajibkan hakim untuk menentukan, menetapkan, atau menjatuhkan pidana penjara terhadap pelaku, namun belum ada mengenal ganti rugi yang dapat diperoleh korban KDRT

(6)

Sukarno : Peran Lembaga Perlindungan Perempuan Dalam……….…..70-79

akibat perbuatan pelaku.Dapat dikatakan bahwa pasal-pasal tersebut merupakan bentuk perlindungan secara tidak langsung

karena belum mencantumkan

perlindungan secara langsung atau konkret misalnya adanya ganti rugi yang diberikan pelaku terhadap korban10.

b. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUPKDRT).

Dalam Undang-undang KDRT terdapat beberapa perbuatan kekerasan yang merupakan bagian dari kekerasan terhadap perempuan. Salah satu tujuan yang ingin dicapai adalah memberikan perlindungan hukum bagi korban KDRT. Berikut ini pasal yang mengatur perlindungan terhadap korban KDRT sebagai berikut:

Pasal 15 UUPKDRT menyatakan sebagai berikut:

Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:

a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana;

b. Memberikan perlindungan kepada korban;

c. Memberikan pertolongan darurat;

d. Membantu proses pengajuan

permohonan penetapan perlindungan. Pada pasal 15, hukum diciptakan

sabagai alat untuk melindungi

kepentingan masyarakat agar tercipta kehidupan yang aman dan tertib, upaya ini guna untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan dianiaya oleh orang lain dan untuk mencegah masyarakat agar tidak melakukan KDRT. Permasalahan

10Ibid, Hal. 65

Kekerasan Dalam Rumah Tangga

(KDRT) paling sering dialami oleh perempuan dan jumlahnya diperkirakan cukup besar.

Pada pasal-pasal yang

dicantumkan di atas yang terkait dengan perundang-undangan terhadap KDRT sudah memungkinkan sebagai sarana atau upaya bagi aparat penegak hukum untuk dijadikan acuan sebagai tindakan represif bagi pelaku KDRT. Dalam UUPKDRT pada rumusan Pasal 5 tentang pengertian kekerasan dalam rumah tangga yang meliputi, kekerasan pisik, psikis, seksual dan penelantaran keluarga.Pasal tersebut

arah yang ingin dicapai oleh

UUPKDRT11.

Pada konteks perempuan, tidak

menutup kemungkinan terjadi

peningkatan jumlah yang signifikan

perempuan korban kekerasan.

Peningkatan jumlah korban kekerasan menjadi indikator bahwa terjadi peningkatan perilaku kekerasan terhadap perempuan, dan sikap keterbukaan korban untuk mengakui dan melakukan gugatan secara hukum atas perilaku

kekerasan yang menimpanya.

Pertambahan jumlah korban dan bentuk

kekerasan yang menimpa kaum

perempuan menjadi permasalahan serius yang harus segera dicari solusi

strategisnya. Adapun bentuk

perlindungan bagi perempuan korban kekerasan adalah12:

1.Menyediakan Lembaga Perlindungan Korban

Lembaga perlindungan korban sangat dibutuhkan bagi proses advokasi korban kekerasan. Lembaga ini

11

http/www.makalahkekerasandalamrumahtangga.co.id /18/06/2016

(7)

korban kekerasan.

2.Memberikan Pendidikan Hukum yang Berkesetaraan Gender

Tidak bisa kita pungkiri bahwa masih banyak perempuan korban kekerasan yang tidak paham tentang

adanya undang-undang yang

melindungi mereka. Kaum perempuan sendiri masih menganggap kekerasan yang mereka terima adalah konsekuensi

logis kodrati atas status

keperempuanannya. Pemberian

pendidikan hukum yang kesetaraan gender kepada kaum perempuan yaitu dalam rangka merombak konstruksi sosial yang memposisikan perempuan sebagai kelas kedua (second sex). 3.Pendampingan pada proes hukum

Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2004 merupakan bentuk

keseriusan Negara untuk melindungi perempuan dan meminimalisir bentuk serta jumlah perempuan korban kekerasan. Disini perempuan korban

kekerasan akan mendapatkan

perlindungan secara hukum dan menjerat pelaku kekerasan.

2. Peran Lembaga Perlindungan Perempuan Dalam Memberikan Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

i. Upaya Lembaga Komisi Nasional

Perlindungan Perempuan Terhadap

Korban Kekerasan Dalam Rumah

Tangga.

Mandat utama Komnas

Perempuan adalah mengupayakan adanya kebijakan yang melindungi perempuan yang sebagai korban. Bersama dengan kelompok perempuan dan kelompok masyarakat lainnya. Komnas Perempuan telah berhasil mendorong terbentuknya

(KDRT) dan UU Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Komnas perempuan terus berupaya agar Undang-undang yang tersedia tersebut dapat diimplemmentasikan dan korban dapat mengakses perlindungan dan layanan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang tersebut.

ii. Peran Pemerintah, dan Lembaga Perlindungan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT.

Untuk upaya pencegahan,

Undang-Undang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga telah memberikan mandat kepada Menteri yang bertugas dan bertanggung jawab di bidang pemberdayaan perempuan

(Menteri Negara Pemberdayaan

Perempuan), untuk melakukan tindakan

pencegahan. Mandat tersebut

sebagaimana diatur dalam Bab V mengenai Kewajiban Pemerintah dan Masyarakat pada Pasal 11 dan Pasal 12

UUPKDRT, yang pada intinya

menekankan bahwa pemerintah

bertanggung jawab dalam upaya pencegahan KDRT, yang dilakukan dengan:

a. Merumuskan kebijakan tentang KDRT;

b. Menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang KDRT;

c. Menyelenggarakan advokasi dan sosialisasi tentang KDRT; dan

d. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu-isu KDRT serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender.

(8)

Sukarno : Peran Lembaga Perlindungan Perempuan Dalam……….…..70-79

Adapun tujuannya adalah untuk meningkatkan efektifitas dalam upaya pencegahan dan penyelenggaraan kerja sama dalam rangka pemulihan korban KDRT. Untuk itu, upaya-upaya tersebut bukan hanya dapat dilakukan oleh

Kementerian Negara Pemberdayaan

Perempuan, melainkan juga dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga lain, yakni, lembaga sosial yang berada di lingkungan masyarakatnya, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga Bantuan Hukum (LBH), LBH APIK, Lembaga Komisi Nasional Perempuan

(KOMNAS Perempuan), Lembaga

Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK),

bahkan sangat dihimbau untuk

melakukan penyebaran informasi serta pemahaman atau pengertian mengenai KDRT dalam rangka mewaspadai akan munculnya KDRT dilingkungannya.

Beberapa kebijakan di tingkat Nasional diantaranya adalah:

1.Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;

2.Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan

Kerja Sama Pemulihan Korban

Kekerasan dalam Rumah Tangga, yang telah ditindaklanjuti dengan terbitnya

Peraturan Menteri Negara

Pemberdayaan Perempuan Nomor 1 Tahun 2006 tentang Forum Koordinasi

Penyelenggaraan Kerja Sama

Pencegahan dan Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga; 3.Peraturan Kepolisian Negara Republik

Indonesia Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit

Pelayanan Perempuan dan Anak

(UPPA) di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia;

4.Himbauan Menteri Kesehatan Nomor 659 Tahun 2007 untuk Membentuk Pusat Pelayanan Terpadu di Rumah Sakit dan Pelayanan Korban di Puskesmas.

Pasal 10 Undang-Undang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004 Korban berhak mendapatkan:

a.Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;

b.Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;

c.Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;

d.Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

e.Pelayanan bimbingan rohani.

iii. Peran Lembaga Pemerintah Untuk Memberikan Perlindungan Terhadap Korban KDRT.

Implementasi perundangan

dimaksud adalah penerapan suatu aturan oleh aparat penegak hukum dan instansi lain yang terkait dalam pelaksanaan perundangan dimaksud. Berkenaan dengan Undang-undang PKDRT ini terkait pihak Kepolisian,

Kejaksaan, Pengadilan, Biro

Pemberdayaan Perempuan pada Kantor Pemerintahan Daerah, dan beberapa instansi lain seperti Rumah Sakit milik Pemerintah, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Terkait dengan Undang-undang PKDRT ini ada kewajiban pemerintah untuk mensosialisasikannya sehingga

(9)

tersebut. Di antaranya tujuan Undang-undang ini diberlakukan, apa subtansi undang-undang ini, dan mekanisme penyelesaian masalah terkait dengan

KDRT yang terjadi. Minimnya

pemahaman masyarakat tentang tujuan Undang-undang tersebut, mekanisme penyelesaian masalah KDRT yang dihadapi, serta kurangnya sarana

pendukung bagi korban KDRT,

menyebabkan penyelesaian kasus KDRT seringkali menjadi faktor penyebab terjadinya perceraian.

Tentunya tidaklah menjadi kehendak pembuat Undang-undang ini, bahwa tiap rumah tangga yang

mengalami KDRT akan berakhir

dengan perceraian. Meski demikian juga bukan suatu hal yang diharamkan bahwa suatu rumah tangga yang

mengalami KDRT akan berakhir

dengan perceraian. Persoalannya adalah bagaimana semua pihak yang terkait dengan penerapan Undang-undang ini dapat mengedepankan penyelesaian masalah secara damai, sebelum melangkah kepada proses hukum melalui Sistem Peradilan Pidana.

E. Penutup Kesimpulan

1. Berdasarkan Undang-Undang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2004 bentuk perlindungan hukum terhadap korban yaitu dengan mendapatkan perlindungan sementara berupa perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Setelah perlindungan dengan penetapan pengadilan dikeluarkan dalam bentuk

Pengadilan dapat melakukan penahanan dengan surat perintah penahanan terhadap pelaku KDRT selama 30 hari setelah pelaku tersebut melakukan pelangaran atas pernyataan yang ditandatanganinya mengenai kesangupan untuk memenuhi perintah perlindungan dari pengadilan. 2. Komnas Perempuan telah berhasil

mendorong terbentuknya UU Nomor 23 Tahun 2004 Tetntang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan UU Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Komnas perempuan terus berupaya agar Undang-undang yang

tersedia tersebut dapat

diimplemmentasikan dan korban dapat mengakses perlindungan dan layanan

sebagaimana diamanatkan dalam

Undang-undang tersebut. Saran

Aparat penegak hukum seperti

kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, atau pihak lainnya hendaknya lebih serius dalam penanganan tindak kekerasan dalam rumah tangga dan dalam hal memberikan perlindungan terhadap korban,dimana dalam kenyataannya dilapangan, korban tindak kekerasan dalam rumah tangga belum mendapatkan perlindungan yang memadai dan juga memperbaiki yang menjadi kendala dalam penerapan Undang-Undang ini,

yangdiharapkan kedepannya sistem

perlindungan hukum yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004ini benar-benar ditujukan untuk perlindungan korban.

(10)

Sukarno : Peran Lembaga Perlindungan Perempuan Dalam……….…..70-79

DAFTAR PUSTAKA Buku - buku

Abidin, Andi Zainal, Hukum Pidana I, Jakarta, Sinar Grafika, 2007.

Ahmad Yani, Perlindungan Hukum

Terhadap HAM, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2000.

Aroma, Eimana Martha, Perempuan,

Kekerasan, dan Hukum, Yogyakarta, UII Press, 2003.

Ester Lianawati, Tiada Keadilan Tanpa Kepedulian KDRT, Yogyakarta, Paradigma Indonesia, 2009.

Arief, Barda Nawawi, Kebijakan Hukum Pidana (penal policy), Bahan Penataran Nasional Hukum Pidanadan Viktomologi, Semarang,

Fakultas Hukum Universitas

Diponegoro, 1998.

Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Presindo, Jakarta, Rajawali Press, 1993.

Kurniasih,Nani, Kajian Yuridis Sosiologis Terhadap Kekerasan yang Berbasis Gender, Bandung, Refika Aditama, 2005.

Mansur, M.,Arief, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatanantara Norma dan Realita. Jakarta, PT. Raja grafindo Persada, 2007.

Martha, Aroma Eimina, Perempuan,

Kekerasan, danHukum, Yogyakarta, UII Press, 2003.

Marzuki,Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2005.

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar

Hukum Internasional, Bandung, Alumni, 2003.

Muladi, Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsepdan

ImplikasinyadalamPerspektifHukum dan Masyarakat, Bandung, Refika Aditama, 2005.

Mulyana W., Kusuma, Analisis

Kriminoloais Tentana Kejahatandan Kekerasan, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1982.

Soeroso, R.,Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, 2006.

Suyud Margono, ADR dan Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Bogor, Ghalia Indonesia, 2004. Romany Sihite, Perempuan, Kesetaraan

Gender, Keadilan, Jakarta, Rajawali Press, 2007.

PeraturanPerundang-undangan

Undang-UndangNomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Internet

www.Tribuntimur.co.id.blogspot.com/2016/ 06/07

www.academia.edu.14-05-2016. 17:10 https://fathulmuin19.wordpress.com

Referensi

Dokumen terkait

Bentuk kekerasan seksual yang paling banyak dialami oleh responden SMA adalah pelecehan seksual berupa kata-kata tidak senonoh, sedangkan bentuk kekerasan seksual pada

Panliten tindakan kelas katindakake kanggo aweh inovasi sajrone piwulangan basa Jawa mligine ing materi aksara Jawa legena lan sandhangan swara ngunakake model

Dari beberapa pilihan karir yang sesuai dengan program keahlian saya harus fokus merencanakan salah satu untuk saya tekuni

c. Criteria of A Good Textbook ... Criteria of Good Speaking Material ... Supplementary Material ... Video – Based Supplementary Material to teach Speaking Based on Curriculum

Jika ada politisi mengatakan , “a a tidak korupsi itu juga fakta erita da e pu ai nilai berita, entah yang dikatakan politisi itu benar atau salah. Yang jelas ada

Secara umum, teori agensi dan teori sinyal yang digunakan dalam penelitian ini berhasil membuktikan bahwa konflik keagenan akan berkurang jika corporate governance

Membaca Relaas Pemberitahuan dan Membaca berkas kepada para Terbanding / para Penggugat I s/d Penggugat IX tanggal 18 April 2012 dalam tenggang waktu 14 (empat belas)

Adanya pramuniaga diharapkan akan mempengaruhi konsumen untuk melakukan pembelian impulsif (impulse buying) sehingga dapat meningkatkan penjualan. Pramuniaga tersebut