• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor yang Memengaruhi Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I Kabupaten Kampar Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor yang Memengaruhi Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I Kabupaten Kampar Tahun 2014"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan adalah hak asasi manusia dan investasi untuk keberhasilan pembangunan bangsa. Untuk itu diselenggarakan pembangunan kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan. Tujuan Sistem Kesehatan Nasional adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua potensi bangsa, baik masyarakat swasta maupun pemerintah secara sinergis, berhasil-guna dan berdayaguna, sehingga tercapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya (Depkes RI, 2004).

Derajat kesehatan masyarakat dapat dilihat dari berbagai indikator, yang meliputi indikator angka harapan hidup, angka kematian, angka kesakitan, dan status gizi masyarakat sehingga banyak program-program kesehatan yang dilakukan pemerintah terutama pada penduduk usia rentan, seperti program Safe Motherhood Initiative, program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), program Maternal and Neonatal

Tetanus Elimination (MNTE), dan program Pemberantasan Penyakit Menular

(Depkes RI, 2010) .

Tujuan pembangunan millenium yang dicanangkan oleh masyarakat dunia atau yang sering disebut dengan Millenium Development Goals (MDGs) adalah menurunkan angka kematian anak usia di bawah lima tahun pada rentang waktu antara 1990-2015. Kemudian ditegaskan kembali bahwa tujuan dari MDGs yang

(2)

belum tercapai secara merata khususnya di negara berkembang termasuk Indonesia adalah menurunkan sepertiga kematian oleh Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) (Depkes RI, 2005). World Health Organization (WHO) memperkirakan insidensi ISPA di negara berkembang 0,29% dan negara industri 0,05% (WHO, 2012b). ISPA menempati urutan pertama penyakit yang diderita pada kelompok bayi dan balita di Indonesia.

Masa balita merupakan masa yang sangat penting dari seluruh kehidupan manusia dan merupakan masa kritis yang menentukan kualitas hidup anak selanjutnya. Masa pertumbuhan dan perkembangan tercepat dalam kehidupan anak terjadi pada masa balita (Triton, 2006). Usia balita juga merupakan masa paling pesat dalam hal pertumbuhan dan perkembangan dibandingkan dengan tahapan umur berikutnya. Balita adalah anak yang berusia dari 0- 59 bulan (Depkes, 2005), sedangkan menurut UU No.20 tahun 2003 balita adalah insan manusia yang berusia 0-5 tahun. Usia balita lebih sering terkena penyakit dibandingkan orang dewasa, yang pertumbuhan dan perkembangannya sudah lengkap. Hal ini disebabkan sistem pertahanan tubuh pada balita terhadap penyakit infeksi masih dalam tahap perkembangan (Sastroasmoro, 2007).

(3)

China (21 juta) dan Pakistan (10juta) dan Bangladesh, Indonesia, Nigeria masing-masing 6 juta episode. Dari semua kasus yang terjadi di masyarakat, 7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. Episode batuk-pilek pada Balita di Indonesia diperkirakan 2-3 kali per tahun (Rudan et al Bulletin WHO 2008). ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien di Puskesmas (40%-60%) dan rumah sakit (15%-30%) (Depkes RI, 2011).

Meskipun pemberantasan penyakit ISPA telah dikembangkan sejak tahun 1984, bersamaan dengan dilancarkannya pemberantasan penyakit ISPA di tingkat global oleh World Health Organization (WHO). Namun hingga saat ini penyakit ISPA masih disebut wabah raya yang terlupakan (The Forgotten Pandemic), karena begitu banyak korban yang meninggal karena ISPA dan Pneumonia tetapi sangat sedikit perhatian yang diberikan kepada masalah ISPA (Depkes, 2005).

Data World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa proporsi kematian balita dan bayi karena ISPA di dunia adalah sebesar 19% dan 26% (Depkes, 2005). Menurut WHO 78% kematian balita di Indonesia terjadi pada usia neonatus sekitar 38%, usia 1-11 bulan sekitar 40% dan 22% terjadi pada usia 1-5 tahun. Penyebab kematian balita terbesar di Indonesia adalah diare 18%, pneumonia 14%, campak 5%, atau sekitar 37% dari 161.000 kematian balita di Indonesia.

(4)

korban perbulan, atau 416 kasus sehari, atau 17 anak per jam, atau 1 orang balita tiap 5 menit (Misnadiarly, 2008). Diperkirakan setiap anak mengalami 3 sampai 6 episode ISPA setiap tahunnya dan mengakibatkan kematian sekitar 20-30% (Depkes RI, 2002). Penyebab kematian terbanyak pada balita akibat ISPA adalah terjadinya pneumonia.

Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, menunjukkan prevalensi nasional ISPA 25,5%, dimana angka kesakitan (morbiditas) pneumonia pada bayi 2,2%, pada balita 3%, sedangkan angka kematian (mortalitas) pada bayi 23,8% dan balita 15,5% dan pada tahun 2013 hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan prevalensi nasional ISPA 25,0% karakteristik penduduk dengan ISPA yang tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun (25,8%) dimana ISPA tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30,0%), Nusa Tenggara Barat (28,3%), dan Jawa Timur (28,3%), dan pada Riskesdas 2007, Nusa Tenggara Timur juga merupakan provinsi tertinggi dengan ISPA.

(5)

Hulu, Kota Dumai, Bengkalis, Kampar, Siak dan Pelalawan. Dan wilayah dengan penderita < 2.000 orang adalah Meranti, Indragiri Hilir, Indragiri Hulu, dan Kuantan Sengingi.

Kematian balita akibat ISPA terjadi karena Pnemonia yang tidak cepat ditolong secara dini dan diberikan pengobatan yang tepat. Dalam upaya pencegahan dan menghindari peningkatan kejadian pnemonia yang berakibat kematian balita disebabkan pneumonia dilakukan upaya program deteksi dini ISPA pada balita. Case Detection Rate (CDR) pneumonia balita selama kurun waktu 2010-2012, jumlah

kasus ISPA terlihat berfluktuasi pada tahun 2010 sebesar 17,8% atau 10.024 balita menurun cukup signifikan dibandingkan tahun 2011 sebesar 13,7% atau 8.653 balita dan tahun 2012 mengalami peningkatan yaitu sebesar 15.9% Jumlah kasus yang ditemukan sebanyak 10.059 kasus (Dinkes Riau, 2012).

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Kampar 2013, didapatkan data penderita ISPA balita dari Januari sampai dengan September sebanyak 19.887 dengan 658 balita menderita ISPA dengan pneumonia, sebanyak 19.229 balita dengan ISPA bukan pneumonia. ISPA juga merupakan 10 besar penyakit yang ditangani di Puskesmas (Dinkes Kab Kampar, 2013).

(6)

2012 dan 1356 orang (22,62%) pada tahun 2013 dari seluruh kunjungan, Penyakit ISPA dari data 10 besar menduduki urutan pertama dari tahun 2010 sampai tahun 2013. Proporsi penderita ISPA pada balita pada tahun 2013 sebesar 36%, dan meningkat dari tahun 2012 yaitu sebesar 29%.

Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian ISPA terbagi atas faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor instrinsik meliputi umur, jenis kelamin, status gizi, Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), status imunisasi, pemberian Air Susu Ibu (ASI), dan pemberian vitamin A. Faktor ekstrinsik seperti kondisi fisik lingkungan rumah yang meliputi kepadatan hunian, polusi udara, tipe rumah, ventilasi, asap rokok, penggunaan bahan bakar, serta faktor ibu baik pendidikan, umur, maupun perilaku ibu (Dewi, 2012).

Secara umum ada 3 (tiga) faktor risiko terjadinya ISPA yaitu faktor lingkungan, faktor individu anak, serta faktor perilaku. Faktor lingkungan meliputi pencemaran udara dalam rumah, kondisi fisik rumah, dan kepadatan hunian rumah. Faktor individu anak meliputi umur anak, berat badan lahir, status gizi, vitamin A, dan status imunisasi. Sedangkan faktor perilaku berhubungan dengan pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita dalam hal ini adalah praktek penanganan ISPA di keluarga baik yang dilakukan oleh ibu ataupun anggota keluarga lainnya (Depkes RI, 2002).

(7)

dalam sehari, hal ini berhubungan dengan polusi udara dalam rumah yang kurang mendukung kesehatan balita.

Penelitian Hariyani (2010) menunjukkan bahwa, status gizi balita, dan status imunisasi balita berhubungan dengan penyakit ISPA pada balita usia 12-60 bulan. Dewi (2012) menunjukkan bahwa ada hubungan antara status luas ventilasi, kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita, sejalan dengan penelitian Angelina (2012). Penelitian Ria (2008) menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara bahan bakar untuk memasak dengan kejadian ISPA pada balita.

Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian tentang “faktor yang memengaruhi kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I Kabupaten Kampar”.

1.2 Permasalahan

Permasalahan yang dikemukakan adalah belum diketahui faktor yang memengaruhi kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I Kabupaten Kampar Tahun 2013.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

(8)

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui hubungan status gizi terhadap kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.

2. Untuk mengetahui hubungan Berat Badan Lahir (BBL) terhadap kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.

3. Untuk mengetahui hubungan status ASI terhadap kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.

4. Untuk mengetahui hubungan status imunisasi terhadap kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.

5. Untuk mengetahui hubungan ventilasi terhadap kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.

6. Untuk mengetahui hubungan kepadatan hunian terhadap kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.

7. Untuk mengetahui hubungan bahan bakar untuk memasak terhadap kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.

1.4 Hipotesis

1. Ada hubungan status gizi terhadap kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I

2. Ada hubungan Berat Badan Lahir (BBL) terhadap kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I

(9)

wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.

4. Ada hubungan status imunisasi terhadap kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.

5. Ada hubungan ventilasi rumah terhadap kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.

6. Ada hubungan kepadatan hunian terhadap kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.

7. Ada hubungan bahan bakar untuk memasak terhadap kejadian ISPA pada balita di wilayah kerja Puskesmas XIII Koto Kampar I.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan pada petugas kesehatan dalam merencanakan upaya penanggulangan kejadian ISPA pada anak balita.

2. Menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti khususnya yang berkaitan dengan faktor-faktor yang memengaruhi kejadian ISPA.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 16 Tahun 2007 tentang Pembentukan Organisasi Dinas Daerah di Lingkungan Kabupaten Bantul (Lembaran Daerah Kabupaten Bantul Tahun

yang ditetapkan dalarn SK KONI No.:08/I(ONU20l0 tanggal 1 Juni 2010 dan biaya yang timbul dibebankan kepada KONI DIY sesuai anggaran yang dialokasikan untuk

[r]

[r]

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 sebagaimana telah diubah. beberapa kali terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70

[r]