1. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Wacana mengenai upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negara-negara
berkembang semakin mengarah pada kebijakan untuk menciptakan kawasan-kawasan
terpadu sebagai cara untuk mempercepat perkembangan ekonomi (Porter, 2000;
Pietrobelli dan Rabelloti, 2003). Kawasan terpadu dipandang sebagai kekuatan yang
mampu mendorong ekspor, menarik investor, dan berfungsi sebagai katalisator
pertumbuhan, karena itu beberapa negara merancang pembentukan kawasan terpadu
sebagai prioritas program pengembangan wilayah yang berkesinambungan (Breschi dan
Malerba, 2001).
Pemberdayaan masyarakat sebagai landasan pengembangan wilayah diupayakan
dengan cara meningkatkan produksi sumberdaya lahan pertanian, sehingga petani
budidaya mendapatkan tambahan penghasilan dan perolehan nilai tambah secara nyata
dari proses industri hasil pertanian. Peningkatan produksi budidaya yang mampu
mendukung agroindustri dengan pasokan bahan baku dalam volume dan harga yang
pasti akan mensinergikan usahatani dan agroindustri, meningkatkan nilai tambah dan
efisiensi dari keseluruhan proses pengembangan kawasan pertanian. Pengelolaan
agroniaga dalam pola Agroestat direkayasa dengan mengacu pada mekanisme pasar
bebas yang berkeadilan (fair free trade). Melalui cara ini distribusi nilai tambah dapat
berlangsung secara adil (fair) dan alami ke semua pihak (Lewis, 1966; Arsyad, 1999;
Ary, 1999). Pasar yang tidak sempurna (imperfect markets), infrastruktur yang tidak
efektif, sistem pendidikan yang buruk, dan sistem pemerintahan yang lemah menjadikan
proses peralihan ke arah pasar dan persaingan bebas menyakitkan bagi perekonomian
suatu negara (Stiglitz, 2002).
Strategi industrialisasi pertanian merupakan cara yang paling tepat untuk
mengembangkan kegiatan ekonomi yang menjadi tumpuan kehidupan sebagian besar
rakyat. Ide dasar dari strategi ini adalah bahwa pembangunan agroindustri akan mampu
meningkatkan produksi dan nilai tambah seluruh subsistem yang terkait di dalamnya,
yaitu subsistem usahatani, agroindustri, agroniaga, dan usaha jasa/layanan pendukung
dan berkembang secara proporsional dan fokus. Sebagai antisipasi dari globalisasi
ekonomi dan dalam rangka peningkatan efektivitas sumberdaya yang ada di daerah
otonom, harus diupayakan agar setiap wilayah (daerah otonom) menentukan komoditi
unggulan yang menjadi spesialisasi kabupaten/kota. Pengembangan komoditi unggulan
lokal akan berjalan secara konsisten, jika ditetapkan secara bersama sebagai pilihan
masyarakat, sesuai dengan kondisi wilayah. Peningkatan produksi komoditi unggulan
yang disepakati harus diupayakan melalui integrasi yang utuh (backward and forward
linkage) dalam satu sistem kelola (manajemen). Pengembangan kawasan pertanian
terpadu pada sentra-sentra budidaya pertanian yang mempunyai komoditi unggulan
akan menjadikan struktur usahatani terintegrasi secara vertikal dengan agroindustri
(Eriyatno et al., 1995; IBRD, World Bank, 2000; Haeruman, 2000; Haeruman dan
Eriyatno, 2001; Sadjad et al., 2001).
Pendekatan keterpaduan merupakan upaya pemberdayaan rakyat yang dapat
menyesuaikan dan menyerap dinamika dan kemampuan masyarakat lokal dan desa-desa
yang terdapat di sekitarnya, sehingga akan menghilangkan resiko banyaknya petani
yang beralih pekerjaan dan bertambahnya buruh tani yang tidak mempunyai lahan
(Hawiset, 1998; Zen, 1999). Keterkaitan ini didasarkan pada arahan untuk mewujudkan
keterpaduan agroindustri dengan dukungan pertanian yang mantap (Lewis, 1966;
Arsyad, 1999; Ary, 1999).
Usahatani yang berada di wilayah perdesaan akan terhambat oleh rendahnya
tingkat produksi dan nilai tambah jika tidak didukung oleh agroindustri. Oleh karena itu,
peningkatan produksi usahatani melalui perbaikan infrastruktur pertanian harus
dipikirkan secara menyeluruh, termasuk pasar untuk peningkatan hasil produksi petani
yang sangat tergantung dari kelanggengan permintaan dari agroindustri. Keberhasilan
suatu wilayah untuk menarik industri masuk ke wilayah budidaya di perdesaan
merupakan tahap penting yang menentukan keberhasilan perkembangan suatu wilayah,
khususnya untuk agroindustri yang memproses bahan baku pertanian menjadi produk
konsumsi (material-oriented industries) (Carroll dan Stanfield, 2004).
Semua negara di dunia, baik negara maju maupun negara berkembang, saat ini
sangat mengharapkan masuknya investasi asing ke daerahnya. Investasi modal asing
sumberdaya yang berguna bagi negara bersangkutan, khususnya daerah lokasi investasi,
antara lain sumberdaya modal, teknologi, informasi, manajemen, serta jaringan
pemasaran (Lee, 2005).
Rekayasa sistem Agroestat merupakan pengembangan kawasan pertanian terpadu
berbasis komoditi unggulan yang berdayasaing dengan konsep keterpaduan, bukan
kemitraan, membutuhkan keterlibatan pemerintah (daerah) dalam bentuk subsidi tidak
langsung (infrastruktur) dan regulasi penataan ruang. Pada hakekatnya rekayasa sistem
Agroestat bersifat holistik, mencakup seluruh alur dari rangkaian nilai tambah (value
chain) agribisnis, mulai tahap usahatani, agroindustri, dan agroniaga dalam lingkup
regional, nasional, dan internasional (ekspor) (Carroll dan Stanfield, 2004). Sistem
Agroestat dirancang untuk dapat memperoleh manfaat dari adanya saling
ketergantungan dan keterkaitan multi-dimensi (sosial, budaya, ekonomi) antar-sektor
(pertanian, industri, dan perdagangan). Rekayasa ini dimaksud untuk menjadikan
struktur sektor pertanian terintegrasi dalam satu manajemen (Brown, 1994; Lowe,
2001).
Rekayasa kawasan pertanian terpadu dengan sistem Agroestat mengacu
(benchmarking) pada tiga bentuk pola kemitraan dalam pengelolaan kawasan terpadu
saat ini, yaitu: Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR), Pola Agropolitan, dan Pola Kawasan
Industri Berwawasan Lingkungan (Eco-industrial Park). Masing-masing pola ini
menggambarkan karakter kemitraan dan latar belakang kawasan terpadu yang spesifik.
PIR dikembangkan Pemerintah sejak tahun 1977 untuk perkebunan kelapa sawit
masih berjalan hingga saat ini. Pola ini dengan bentuk-bentuk derivatifnya, menganut
sistem inti dan plasma yang diatur dalam suatu perjanjian kerjasama formal.
Instansi-instansi Pemerintah (Pusat, Provinsi, dan Kabupaten) ikut aktif sebagai lembaga
sekunder dalam wadah Tim Koordinasi PIR (TK-PIR). Pembiayaan berasal dari kredit
Bank atau dana Pemerintah yang berasal dari bantuan luar negeri dan APBN.
Bentuk kedua yang sedang dikembangkan Pemerintah adalah Agropolitan dengan
konsep pengembangan wilayah perdesaan yang terkait pada pembangunan perkotaan
(urban development). Peran Pemerintah terbatas pada pembentukan unit pengembangan
Bentuk ketiga merupakan kawasan komersial, dalam hal ini diambil contoh
Kawasan Industri Berwawasan Lingkungan atau Eco-industrial Park/ (EIP) atau Estate.
Kawasan industri yang mulai dikembangkan sejak akhir abad ke-19 dengan pola
komersial ini telah menghasilkan pengelolaan yang terorganisasi serta memenuhi
harapan semua pabrik/industri yang menghuni. Pengembangan kawasan industri
(komersial) dilandasi pemikiran untuk mendapatkan keuntungan dari pengurangan biaya
infrastruktur serta manfaat-manfaat lainnya dari adanya economic of scale. EIP
merupakan pengembangan kawasan industri terbaru, yang dirancang sebagai suatu
keterpaduan bisnis, efisiensi usaha (pasar), waste exchange network, dan memfokuskan
pada kelestarian lingkungan masyarakat sekitar. EIP mengembangkan upaya dan
teknologi yang melibatkan dan memberikan manfaat kepada seluruh perusahaan
penghuni yang berbeda kepemilikannya (tenants), bahkan mendorong timbulnya
kerjasama Pemerintah dan Swasta (public-private partnership), sehingga tercipta
manfaat langsung oleh masyarakat sekitar kawasan.
Kemitraan akan berlangsung langgeng apabila distribusi keuntungan dilandaskan
pada kontribusi dan kompetensi secara wajar dan dirasa adil oleh semua pelaku. Oleh
karena itu, penambahan penghasilan petani sebagai salah satu tujuan dari rekayasa
sistem Agroestat diupayakan melalui peningkatan produksi sumberdaya lahan sesuai
dengan kompetensi petani. Selain itu juga diusahakan adanya perolehan nilai tambah
secara nyata (riil) dari pengkayaan usaha petani dalam proses produksi hasil pertanian.
Kebutuhan dana pinjaman menjadikan petani selalu pada posisi yang lemah
(inferior) dalam tawar-menawar, sehingga tidak terjadi kesetaraan dalam mekanisme
pasar bebas yang adil dan alami. Petani terpaksa berhutang kepada pelaku lainnya
khususnya tengkulak, pedagang besar dan industri, dengan mengorbankan posisi
tawarnya. Mata rantai ini harus dipecahkan dengan peningkatan penghasilan dan
penyediaan paket-paket pinjaman khusus bagi petani lemah, demi terlaksananya
kesetaraan dengan menjadikan petani sebagai pebisnis yang bermartabat.
Pengertian ’berkesinambungan’ meliputi aspek ekonomi, sosial/budaya, dan
ekologi. Dalam kaitan itu, obyek penelitian ini dipilih produk hortikultura yang
merupakan usahatani yang sangat strategis di Indonesia, baik ditinjau dari jumlah
perdagangan dalam negeri dan ekspor. Proses pemilihan komoditi unggulan secara
bersama merupakan upaya pemberdayaan masyarakat, yang memperhatikan dinamika
dan potensi masyarakat lokal (USAID, 2006).
Perencanaan wilayah sistem Agroestat mengacu pada paradigma pembangunan
berkelanjutan, dimana aspek ekologi dijadikan salah satu landasan utama dalam
pengaturan tata guna lahan. Esensi pembangunan diarahkan pada internalisasi aspek
lingkungan ke dalam perencanaan pembangunan (faktor penyebab) dan faktor ekologis
yang terkait pada kemampuan alam untuk mendukung kegiatan pembangunan
dihubungkan dengan dampak yang terjadi (faktor akibat).
1.2
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah rekayasa sistem Agroestat sebagai bentuk
pengembangan kawasan pertanian secara berkesinambungan yang dapat meningkatkan
penghasilan petani, dengan pendekatan keterpaduan wilayah berbasis komoditi
hortikultura unggulan lokal yang berdaya saing. Rekayasa ini dijabarkan melalui
tahapan-tahapan penelitian sebagai berikut:
1) Analisis kebutuhan elemen-elemen stakeholders dalam wilayah pengembangan.
2) Analisis potensi komoditi hortikultura unggulan lokal yang dapat dikembangkan di
daerah penelitian, sebagai landasan strategi pengembangan wilayah yang mampu
mengundang, mendukung dan mendorong agroindustri dengan prinsip mekanisme
pasar bebas yang berkeadilan (fair free trade).
3) Sintesa untuk menciptakan kesetaraan posisi tawar elemen-elemen stakeholders,
khususnya petani, dalam mekanisme agroniaga produk hortikultura (sesuai
sifat-sifat khas dari komoditi) yang berlangsung secara alami, adil dan langgeng.
4) Perumusan peran Pemerintah dalam kerangka otonomi daerah, pada peran
koordinasi dan fasilitasi, terutama melalui kebijakan pewilayahan, tata ruang (tata
guna lahan), bentuk-bentuk subsidi tidak langsung dalam bentuk pengadaan
infrastruktur (sesuai kebutuhan), serta unit kerja atau lembaga koordinasi untuk
meyakinkan berlangsungnya pengelolaan agroestat yang profesional.
5) Aplikasi soft system methodology untuk rekayasa Model Konseptual Agroestat (soft
1.3
Manfaat Penelitian
Rancangan pola Agroestat sebagai hasil dari penelitian ini diharapkan akan
memberikan beberapa manfaat, sebagai berikut:
1) Menyelaraskan kepentingan dan saling ketergantungan para pelaku dalam sistem
agribisnis, khususnya dalam upaya mengembangkan agroindustri di sentra budidaya
hortikultura serta meningkatkan penghasilan dan kesetaraan petani.
2) Perumusan pola Agroestat sebagai bahan penunjang keputusan bagi:
a. Para pengambil keputusan (Pemerintah) dalam perumusan kebijakan di sektor
pertanian, perdagangan, perijinan dan penentuan tata ruang.
b. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dalam implementasi UU No. 32/2004 dan
No. 33/2004 menuju pola pengembangan wilayah secara nyata dan
bertanggungjawab.
c. Para peneliti untuk landasan penelitian pengembangan wilayah khususnya untuk
daerah perdesaan.
d. Para pengembang, pelaku agro-industri, dan penyandang dana, sebagai kerangka
dasar usaha kerjasama lintas sektoral.
3) Sumbangan pemikiran untuk pengembangan model konseptual agroindustri melalui
aplikasi teori perumusan kebijakan dengan pendekatan sistem.
1.4
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada beberapa ruang lingkup yang sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai, sebagai berikut:
1) Sistem Agroestat mencakup seluruh proses agribisnis, mulai tahap usahatani,
agroindustri, dan agroniaga (perdagangan/distribusi) dalam lingkup regional,
nasional dan internasional (ekspor).
2) Sistem Agroestat dirancang khusus untuk dan sesuai dengan karakteristik khas
komoditi hortikultura sebagai komoditi unggulan daerah.
3) Pewilayahan Agroestat dirancang berdasarkan kondisi infrastruktur pertanian, serta
perkembangan ekonomi di lokasi pengembangan.
regulasi, guna memfasilitasi pengembangan sektor pertanian dalam kerangka
pewilayahan (planning region), penataan ruang (spatial planning), lingkungan
(ecology), infrastruktur, agribisnis (business), pembiayaan, dan pengelolaan
kawasan.
5) Pengembangan Agroestat didasarkan konsep keterpaduan antara budidaya dan
agroindustri serta agroniaga dalam kerangka mekanisme pasar bebas yang adil dan
alami, dengan keberpihakan kepada petani sebagai pelaku sektor pertanian yang
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pengembangan Wilayah
2.1.1 Pengertian tentang Pengembangan Wilayah
Richardson (1979) berpendapat bahwa pengertian tentang pewilayahan
(regionalisation) dan lingkup wilayah (region) tidak dapat didefinisikan secara baku
karena kriteria yang digunakan sangat tergantung dari lingkup rancangan studi yang
akan disusun. Cakupannya dapat beragam mulai dari pusat pemukiman kecil, hingga
wilayah yang sangat luas mencakup beberapa pulau, bahkan negara (Raymond, 1996).
Menurut Poernomosidi (1981) pengertian tentang wilayah, kawasan, dan daerah
adalah sebagai berikut:
1) Wilayah (region) dapat diartikan sebagai batasan geografis yang mempunyai
karakter penggunaan tertentu, seperti wilayah pertanian (budidaya), wilayah hutan,
atau wilayah padat penduduk.
2) Kawasan dapat meliputi beberapa wilayah karena batasnya ditentukan oleh suatu
fungsi tertentu, seperti kawasan pengembangan pertanian yang mencakup wilayah
pertanian dan industri hasil pertanian.
3) Daerah adalah wilayah dengan batas administrasi pemerintahan (formal).
Perbedaan juga terjadi pada istilah pembangunan (development) yang sering
digunakan secara rancu dengan kata pengembangan. Kedua istilah ini mempunyai
pengertian sebagai berikut (Poernomosidi, 1981):
1) Pembangunan adalah upaya untuk mengadakan/membuat/mengatur sesuatu yang
belum ada.
2) Pengembangan adalah upaya untuk memajukan/memperbaiki/meningkatkan sesuatu
yang telah ada.
Richardson (1979) dan Glasson (1992) mendefinisikan wilayah secara formal
adalah suatu kesatuan alam yang mempunyai keterkaitan yang menjadi pengikat. Suatu
wilayah dalam pengertian geografi, merupakan kesatuan alam (homogeneous region)
wilayah ekonomi yang berkaitan dengan suatu proyek pembangunan dan
pengembangan.
Menurut Raymond (1996), wilayah perencanaan (planning region) pada dasarnya
adalah wilayah geografis yang memungkinkan perencanaan dan penerapan program
pengembangan wilayah sesuai dengan permasalahan dan kondisi spesifik di wilayah itu.
Kesimpulan ini memperkenalkan pengertian tentang wilayah fungsional (functional
region), yaitu suatu wilayah dengan keadaan alam yang tidak sama tetapi
memungkinkan berlangsungnya bermacam-macam kegiatan/fungsi yang saling mengisi
dalam kehidupan masyarakat (Glasson, 1992; Porter, 1998). Dalam kaitannya dengan
perencanaan pengembangan, pengertian wilayah formal dan wilayah fungsional
menghasilkan dua macam pendekatan yang berguna, yaitu (Johara, 1999):
1) Perencanaan wilayah formal (teritorial) memperhitungkan mobilisasi terpadu dari
semua sumberdaya manusia dan sumberdaya alam dari suatu wilayah tertentu yang
dicirikan oleh perkembangan masyarakatnya sehingga terbentuk menjadi beberapa
kelompok sosial. Strategi yang melandasi perencanaan wilayah formal ini
menggunakan pendekatan dari bawah ke atas (bottom up), serta menekankan pada
pelayanan aspirasi masyarakat.
2) Perencanaan wilayah fungsional memperhitungkan lokasi berbagai kegiatan/fungsi
ekonomi dan perdagangan, serta pengaturan secara ruang dari berbagai simpul
(pusat) dan jaringan. Strategi pengembangan dari atas ke bawah (top down)
melandasi perencanaan wilayah fungsional ini.
Pewilayahan adalah proses perancangan wilayah yang sangat tergantung dari
maksud penyusunan, kriteria yang digunakan, dan data yang tersedia. Dalam hal
ketersediaan data yang tidak memadai maka perancangan wilayah akan menghasilkan
batas-batas yang kabur (misty boundaries). Oleh karena itu sering digunakan
pendekatan kuantitatif untuk mengelompokkan berbagai sub-wilayah. Pengembangan
metode kuantitatif dipelopori oleh Berry (1961) yaitu metode Analisis Faktor (The
Factor Analysis) yang kemudian dianggap terlalu rumit, sehingga dikembangkan
metode Nilai Indeks Terbobot (The Weighed Index Number) oleh Boudeville (1966)
yang lebih banyak digunakan. Pada dasarnya perancangan membagi wilayah formal
perancangan juga memperhatikan faktor fungsi, keterkaitan, dan ketergantungan antar
sub-wilayah, yang ditinjau dari dua aspek dasar yaitu (Raymond, 1996):
1) Analisis Aliran (Flow Analysis), dilakukan dengan observasi lapangan yang melihat
kenyataan tentang intensitas aliran kegiatan penduduk. Hal ini akan menggambarkan
daerah pusat (dominant center) dan daerah penunjang (surrounding sattelites). Dari
tingkat intensitas yang ditampakkan maka dapat ditentukan batas-batas wilayah
ditinjau dari sisi kriteria tertentu. Kriteria aktivitas yang digunakan dapat berupa
aktivitas ekonomi (angkutan barang atau penumpang, jalan raya, atau kereta api),
atau motivasi (belanja, sekolah, bekerja, atau informasi).
2) Analisis Gravitasi (Gravitational Analysis), disusun tentang kegiatan yang secara
teoritis dilakukan oleh penduduk. Analisa ini menggunakan asumsi bahwa kekuatan
interaksi antara dua kutub (poles) ditentukan oleh besarnya massa (jumlah
penduduk) dan berbanding terbalik dengan jauhnya jarak.
Wilayah perencanaan yang disusun dengan kriteria formal maupun fungsional
pada hakekatnya tidak terkait pada wilayah administrasi pemerintahan. Namun
demikian, Smith (1965) menekankan pentingnya orientasi wilayah administrasi dalam
penerapan program pengembangan. Dalam kenyataannya, perancangan wilayah
seringkali tumpang tindih dan tidak dapat dibedakan secara tegas. Untuk menghindari
kerancuan yang bisa berakibat fatal pada penerapan program pengembangan wilayah,
maka pewilayahan tidak dapat disusun dengan melandaskan pada salah satu kriteria
murni namun harus disusun secara komprehensif, lentur dengan beberapa kompromi.
Hal ini terjadi terutama antara pewilayahan berdasarkan kriteria formal atau fungsional,
dan administrasi.
Raymond (1996) menyatakan bahwa pewilayahan dapat ditinjau secara subyektif
atau obyektif. Untuk keperluan studi dan penelitian, pewilayahan dipakai sebagai alat
untuk menganalisis secara subyektif atas dasar kriteria yang sesuai dengan tujuan
penelitian. Dengan pendekatan ini dapat dideskripsikan wilayah formal, fungsional,
administrasi, dan kawasan pengembangan ekonomi secara terinci, sehingga
memudahkan penyusunan rekayasa pengembangan wilayah secara memadai (ideal).
Namun pendekatan subyektif membutuhkan ketersediaan data yang memadai untuk
kenyataannya, data yang dibutuhkan sesuai format studi seringkali tidak tersedia,
sehingga pewilayahan biasanya disusun berdasarkan ketersediaan data wilayah
administrasi dengan tetap memperhatikan dan memperhitungkan prinsip-prinsip dasar
subyektif (teoritis) (Glasson, 1992).
2.1.2 Konsep Pengembangan Wilayah
Program pengembangan wilayah akan berhasil dan berkesinambungan jika
dilandasi pandangan yang holistik tentang proses perekonomian. Pengembangan
wilayah daerah pertanian di perdesaan harus ditempuh melalui pemberdayaan ekonomi
rakyat dengan memanfaatkan sumberdaya spesifik daerah itu, seperti sumberdaya
tenaga kerja, iklim, atau lahan, untuk menghasilkan produk-produk pertanian yang
memenuhi persyaratan pasar. Petani di perdesaan, seringkali menghadapi paradoks,
yakni peningkatan produksi (termasuk akibat panen musiman) yang justru menurunkan
pendapatan petani akibat terjadinya kelebihan pasokan (excess supply). Oleh karena itu,
rekayasa pada subsistem usahatani, antara lain melalui perbaikan infrastruktur
pertanian, harus dilakukan secara menyeluruh, termasuk penyelarasan pasar dalam
peningkatan produksi petani sesuai dengan kelanggengan permintaan (Saragih, 2001).
Pada hakekatnya, pengembangan wilayah dimaksudkan untuk menyeimbangkan
dan menyelaraskan (Carroll dan Stanfield, 2004):
1) perekonomian usahatani dengan agroindustri dan agroniaga,
2) perekonomian perdesaan dengan perkotaan,
3) tingkat kemakmuran antar wilayah, dari sisi ekonomi (pendapatan dan biaya hidup),
maupun sisi sosial (fasilitas pendidikan, kesehatan, dan rekreasi).
Tingkat kemakmuran suatu wilayah yang dimaksudkan tidak hanya dilihat dari
rendahnya angka pengangguran, namun sejak tahun 1960-an telah diperluas dengan
tolok ukur yang lebih komprehensif. Hal ini mulai disadari karena rendahnya tingkat
kesejahteraan hidup umumnya terkait dengan masalah ketidak-seimbangan demografi,
ketertinggalan pembangunan, atau tingginya biaya produksi (Blunden et al., 1973;
McCrone, 1973; Triutomo, 1999).
Penelitian yang dilakukan oleh USAID (2006) pada 17 proyek pengembangan
30 tahun terakhir menunjukkan faktor-faktor keberhasilan (atau kegagalan) suatu
proyek pengembangan, adalah:
1) Kelembagaan.
Desentralisasi dan keterlibatan masyarakat merupakan hal yang utama agar proyek
pengembangan dapat berjalan lancar dan langgeng, oleh karena itu:
a. Pendekatan top-down dalam pengembangan wilayah perdesaan telah mengalami
kegagalan. Pemerintah Pusat dan lembaga donor harus membatasi
keterlibatannya pada penetapan kebijakan, sehingga menjadi tanggung jawab
Pemerintah Daerah dan masyarakat lokal untuk mengembangkan daerahnya.
b. Rasa memiliki harus ditumbuhkan kepada Pemerintah Daerah dan
organisasi/lembaga/masyarakat lokal, terutama untuk menetapkan visi dan
strategi daerah. Hal ini sekaligus dimaksud untuk menampung aspirasi,
kebiasaan, dan budaya lokal.
c. Unit-unit kerja yang telah ada sebaiknya secara aktif dilibatkan dalam
implementasi program. Unit-unit kerja yang masih lemah dan tidak efektif justru
menjadi kuat saat diikutsertakan dalam program pengembangan daerahnya.
2) Perencanaan dan pelaksanaan proyek.
Perencanaan yang tidak tepat sering menjadi sebab dari terjadinya kegagalan
program, terutama simplifikasi pada diagnosa permasalahan dan optimisme yang
berlebihan terhadap solusi yang telah (apriori) ditentukan. Pelaksanaan proyek yang
dilaksanakan secara bertahap, fleksibel, serta dimungkinkannya
penyesuaian-penyesuaian, akan berjalan langgeng. Ketidakpastian dan perubahan akibat dari
pengembangan itu sendiri membutuhkan fleksibilitas.
3) Penciptaan jaringan.
Proyek pengembangan dirancang secara terfokus, namun tidak boleh mengabaikan
adanya dinamika dari berbagai program lain yang sedang berjalan secara bersamaan.
4) Kesinambungan.
Tidak langgengnya suatu proyek pengembangan juga dapat disebabkan oleh:
a. Ketergantungan pada agen technical assistance, tanpa dibarengi pelatihan,
b. Biaya perawatan yang mahal yang harus dibiayai masyarakat pada saat proyek
berakhir akibat penggunaan peralatan yang terlalu canggih.
c. Unit Kerja atau Lembaga (Pengelola) tidak membaur dengan masyarakat.
d. Jangka waktu pelaksanaan dan pengembangan proyek yang relatif pendek.
e. Tidak ada rasa ikut memiliki pada masyarakat lokal yang tidak dilibatkan.
Carroll dan Stanfield (2004) menyimpulkan bahwa program pengembangan
wilayah harus memenuhi tiga persyaratan utama, yaitu:
1) Berorientasi pada keterpaduan dan menyeluruh (system approach).
2) Berbasis sumberdaya yang tersedia di wilayah lokal (local specific).
3) Cakupan wilayah mempunyai batas-batas yang jelas.
Program pengembangan fungsional (functional program) bertujuan untuk
mengatasi kendala khusus (yang utama) bagi pengembangan wilayah di suatu wilayah
perdesaan. Program demikian lebih terarah dan mudah dilaksanakan karena tujuannya
spesifik serta mampu memberikan manfaat dalam waktu yang singkat (Lele, 1975).
Program pengembangan fungsional umumnya bersifat komprehensif walaupun terfokus
pada beberapa fungsi, misalnya pembangunan infrastruktur, pengadaan pinjaman
khusus petani, atau pemasaran hasil pertanian.
Pada hakekatnya, pendekatan pewilayahan fungsional dapat mencakup kota,
wilayah, atau sekelompok negara yang saling terkait dalam keterpaduan lingkup bisnis
yang rumit. Pendekatan secara fungsional tidak terikat pada batas wilayah administrasi
pemerintahan (formal). Hal ini juga telah tertanam pada manajemen pemerintahan pasca
otonomi daerah yang tidak sekedar menekankan pada batas-batas geografis dan aturan
yang berlaku untuk satu wilayah administrasi tertentu, tetapi lebih ke arah pencapaian
tujuan organisasi (boundaryless organization) (Thoha, 2001).
Integrated Area Development (IAD) merupakan program pengembangan wilayah
fungsional yang berbasis pewilayahan multi-sektoral dan plural. Program ini digunakan
untuk pengembangan yang meliputi areal pertanian yang luas untuk tanaman dengan
masa tanam pendek dan panjang, tunggal dan tumpangsari (Misra et al., 1978). Program
ini juga dirancang untuk meliputi infrastruktur jaringan irigasi, drainase, dan layanan
penunjang/pendukung, seperti riset, pemasaran, dan kelompok tani. Hakekat dari pola
activity), dan peran serta masyarakat (social). Dasar pemikiran penerapannya
menekankan pada upaya integrasi sumberdaya dan keterkaitan pasar (niaga) dengan
berpatokan (UN, 1989):
1) Fokus pada wilayah yang dicakup.
2) Mencakup beberapa komponen fungsi dan sektor.
3) Menerapkan partisipasi masyarakat sejak tahap perencanaan hingga pada
pelaksanaan proyek.
IAD digunakan untuk pengembangan wilayah perdesaan, sebagai mekanisme
untuk meningkatkan partisipasi lokal guna mendapatkan distribusi manfaat ekonomi
yang adil. Program IAD telah diterapkan oleh banyak negara berbasis pertanian di
Asia-Pasifik, termasuk Malaysia dan Filipina, untuk pengembangan wilayah sub-regional.
Pendekatan ini muncul sebagai reaksi dari pendekatan-pendekatan sektoral yang sempit,
sebagaimana dapat dilihat dari dua tujuannya, yaitu (UN, 1989):
1) Mempercepat pertumbuhan dari wilayah tertinggal untuk memperbaiki ketimpangan
regional.
2) Memaksimalkan manfaat bagi daerah-daerah miskin sehingga dicapai keseimbangan
dalam masyarakat.
Pendekatan program IAD membagi wilayah dalam beberapa sub-wilayah untuk
mempertajam analisa dalam perancangan. Dalam kenyataan, seringkali ditemui banyak
perbedaan nyata dalam satu sub-wilayah, misalnya sub-wilayah yang terdiri dari daerah
pertanian dan industri, sehingga tidak dapat disarikan kesamaan tingkat penghasilan
masyarakat. Untuk mengatasi hal itu pendekatan dilakukan dengan melakukan
penelusuran hubungan keterkaitan spesifik antar simpul (nodes/poles) yang ada di
dalam wilayah atau sub-wilayah tersebut, sehingga menjadi realistis (Richardson, 1979).
Penerapan konsep IAD dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan
fungsional yang memperhitungkan lokasi berbagai fungsi (kegiatan) ekonomi yang
dikelompokkan dalam beberapa Satuan Kawasan Pengembangan (SKP). Pengaturan
SKP dapat dilakukan secara ruang sesuai fungsinya, mencakup jaringan (network) dari
beberapa simpul yang merupakan Satuan Wilayah Ekonomi (SWE) tertentu
Secara diagramatis proses pengembangan suatu wilayah secara fungsional dengan
pendekatan IAD ditunjukkan oleh Gambar 1. Proses diawali dengan menata struktur
pewilayahan sesuai fungsi yang akan dianalisis. Uraian keterkaitan dari beberapa simpul
kegiatan ekonomi merupakan Satuan Wilayah Ekonomi yang tertentu secara fungsional.
Penyebaran simpul-simpul kegiatan ekonomi di beberapa wilayah dikelola secara
sistematis (termasuk koreksi dari alur simpul) setelah dilakukan analisis dan sesuai
dengan alur keterkaitannya. Melalui cara ini diperoleh keterkaitan yang sinergis dan
efisien, sehingga dapat diperoleh peningkatan nilai tambah bagi keseluruhan proses.
Non Formal Terkait Terpadu
Gambar 1 : Proses Pengembangan Kawasan secara Fungsional (Poernomosidi, 1981).
2.1.3 Keruangan Wilayah
Pemahaman struktur keruangan wilayah dapat dilakukan melalui dua komponen
dasar pembentuknya yaitu: pola penyebaran penduduk dan pola penyebaran
pembangunan kesejahteraan. Pola penyebaran pemukiman menggambarkan konsentrasi
penduduk sebagai indikator dimensi spasial wilayah dalam aspek nonfisik. Pola
penyebaran kesejahteraan secara langsung maupun tidak langsung menggambarkan
pembangunan ekonomi wilayah. Pemahaman spasial ekonomi wilayah ini menunjukkan
potensi yang dapat dikembangkan dan bermanfaat bagi pengembangan wilayah,
termasuk pembangunan sumberdaya manusianya.
Salah satu pendekatan keruangan perencanaan yang digunakan dalam
pembangunan wilayah adalah konsep pusat-tepi (center periphery) dari John
Friedman (1966) yang membedakan antara wilayah pusat yang teratur, dinamis dan
memiliki kapasitas tinggi untuk menyerap perubahan inovatif, dan daerah tepi yang
1) Wilayah inti merupakan konsentrasi ekonomi metropolitan dengan kapasitas inovasi
dan perubahan yang tinggi. Wilayah pusat ini memiliki jaringan dari metropolis
sampai ke perdesaan (hamlet);
2) Wilayah peralihan adalah daerah tepi dari pusat. Wilayah ini mengandung
sumberdaya yang dapat dikembangkan;
3) Wilayah batas sumberdaya merupakan daerah-daerah tepi yang digunakan untuk
pemukiman baru;
4) Wilayah peralihan tidak berkembang adalah daerah-daerah yang mengalami stagnasi
atau daerah-daerah yang mengalami kemunduran.
Wilayah yang pertama dan kedua umumnya menjadi wilayah pikat, yaitu wilayah
yang dapat menarik penduduk sekitarnya karena memiliki potensi ekonomi yang baik.
Wilayah ketiga yaitu wilayah batas sumberdaya dapat juga menjadi sumber migran bagi
wilayah-wilayah sekitarnya apabila tidak dijaga keseimbangan daya dukung lingkungan
terhadap tambahnya penduduk. Wilayah yang paling parah keadaannya dan merupakan
sumber migran bagi wilayah-wilayah terdekat adalah wilayah keempat yaitu wilayah
peralihan tidak berkembang (Friedman, 1966).
Perkembangan suatu wilayah mengalami empat tahap evolusi ruang, yaitu: Tahap
Pra-industri; Tahap Mula Industrialisasi; Tahap Transisi; dan Tahap Mantap. Menurut
Friedman, tahap Pra-industri ditandai dengan adanya keseimbangan dari sejumlah
pusat-pusat pewilayahan yang kecil, tidak saling tergantung, dan tersebar di wilayah
yang luas. Dalam keadaan ini ekonominya cenderung statis dan kemungkinan
berkembang sangat kecil. Tahap Mula Industrialisasi (incipient-industrialization),
ditandai dengan munculnya primate city yang mendominasi suatu wilayah yang
luas. Primate city ini memanfaatkan dan mengeruk sumberdaya dari daerah tepinya,
sehingga perekonomian daerah tepi akan banyak dipengaruhi dan terikat. Pada Tahap
Transisi primate city tetap berperan dalam wilayah yang luas itu walaupun mulai
tumbuh beberapa pusat pertumbuhan yang mengurangi pengaruhnya. Tahap terakhir,
yaitu Tahap Mantap baik dari segi keruangan maupun taraf industri. Dalam tahap ini
sudah ada sistem dasar dari suatu pewilayahan. Sistem pewilayahan yang secara
fungsional memiliki saling ketergantungan ini mempunyai manfaat di bidang efisiensi
yang tinggi. Ketimpangan sosiologis, ekonomi maupun teknologi, akan ikut memacu
migrasi penduduk, termasuk urbanisasi (Friedman, 1966).
Senada dengan konsep pusat-tepi dari Friedman, Perroux (1950) juga mengamati
adanya suatu mekanisme yang menyebar-luaskan aspek-aspek pengembangan ekonomi
yang disebut kutub pertumbuhan (growth pole). Pengertian kutub pertumbuhan menurut
Perroux :
“Kutub pertumbuhan adalah pusat (fokus) dalam wilayah ekonomi yang abstrak
yang memancarkan kekuatan yang menarik. Tiap pusat mempunyai pusat penarik
dan pendorong dalam atau terhadap pusat-pusat yang lain.”
Pengertian ini kemudian dikembangkan oleh Boudeville (1966) dari dan untuk segi
geografi menjadi:
“Sebuah kutub pertumbuhan adalah suatu aglomerasi geografis dari berbagai
sektor dan kegiatan dalam sistem yang kompleks. Kutub pertumbuhan ini
merupakan wilayah yang memiliki industri propulsif (industri pendorong).”
Adanya beberapa wilayah pusat dan daerah tepi yang dapat membentuk berbagai
kutub pertumbuhan, maka dimungkinkan terjadinya ketimpangan regional atau
perbedaan keadaan antar wilayah. Akibat selanjutnya adalah timbulnya gejala
polarisasi, dan tiap-tiap kutub dengan kekuatan tarik-dorongnya menimbulkan
perpindahan penduduk dari tepi ke pusat atau sebaliknya (Misra et al., 1978).
Program khusus yang mengkaitkan urbanisasi dengan tata wilayah dan tata
perdesaan diperlukan agar selalu ada keseimbangan yang serasi antara wilayah pusat
dengan daerah tepi. Program ini akan sangat bermanfaat dan mendukung pembangunan
wilayah yang menjadi pusat pengumpulan berbagai potensi dan daerah perdesaan yang
banyak memiliki sumberdaya alam.
Konsep mengenai daerah nodal oleh Friedman telah dikembangkan oleh Harry
Richardson yang menyatakan bahwa ciri dari perekonomian ruang adalah
ketidak-homogenannya. Tampak bahwa terdapat aglomerasi kegiatan ekonomi dan distribusi
penduduk pada lokasi-lokasi tertentu. Aglomerasi-aglomerasi ini terlihat dari adanya
beberapa daerah yang penduduknya lebih padat, terutama pada daerah yang memiliki
dan lalu-lintas bergravitasi. Pusat (nuclei) terdapat di suatu wilayah di mana
kegiatan-kegiatan bisnis, komersial dan sosial berlangsung. Hal ini terlihat pada peta kepadatan
arus lalu-lintas intra wilayah.
Polarisasi merupakan akibat dari adanya kegiatan ekonomi dari poles. Gejala
polarisasi yang paling penting adalah terjadinya peningkatan ketimpangan antar wilayah
dengan adanya keterkaitan dan interaksi diantaranya. Konsep wilayah penggerak
pertumbuhan (generative region) dalam kenyataannya justru tidak mampu menyebarkan
dampak pembangunan apalagi memperkecil kesenjangan, bahkan menimbulkan dampak
yang sebaliknya. Namun, sebaliknya, suatu wilayah tidak mampu untuk memacu
pertumbuhannya sendiri tanpa berhubungan dengan wilayah lainnya (isolasi). Hal ini
menjadi landasan penting dalam perencanaan pengembangan wilayah yang mampu
membangun secara seimbang, menjadikan pentingnya permodelan dan teknik
pengukuran pengaruh, serta keterkaitan antar wilayah (Raymond, 1996; Misra et al.,
1978).
2.2
Konsep Tata Ruang
Konsep pengembangan wilayah adalah perencanaan yang didasarkan pada proses
perekonomian wilayah secara menyeluruh dan terpadu (comprehensive & integrated
development). Konsep pengembangan ini dalam implementasinya didukung dengan
konsep tata ruang wilayah yang merupakan model corridor and radial concentric
development, yaitu pengendalian pembangunan oleh masyarakat yang diarahkan dengan
investasi yang ditanamkan oleh Pemerintah dalam corridor (infrastruktur) prioritas.
Tata ruang merupakan suatu kombinasi dari penyebaran pemukiman dan pembangunan
ekonomi wilayah. Komposisi ini berbentuk struktur keruangan wilayah yang kompleks
dan memberi arti khusus bagi penampilan spasial wilayah tersebut.
Pada hakekatnya tata ruang (ruimtelijke ordering atau spatial order) berarti
pengaturan geografis, dilandaskan antara lain pada rencana pengembangan wilayah.
Menurut istilah geografi regional, ruang merupakan wilayah yang mempunyai batas
geografi, berupa batas menurut keadaan fisik, sosial, atau pemerintahan, diterjemahkan
dalam tata guna lahan (land use) yang merupakan bagian dari tata ruang, yang mengatur
Tata ruang sebagai organisasi spasial menampakkan adanya unsur pengaturan dan
nilai/status ruang-ruang di pewilayahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi hierarki
suatu daerah adalah aktivitas manusia, fasilitas yang ada untuk melakukan aktivitas,
sumberdaya alam, dan sumberdaya manusia. Penataan ruang mempunyai arti yang
penting dalam pengembangan wilayah, terutama karena adanya tata ruang yang jelas,
disusun dan disepakati bersama akan mampu untuk (Craig, 2003):
1) Memberikan kepastian usaha bagi semua pihak yang terkait.
2) Melindungi keberadaan lahan pertanian yang sering tergeser karena dinilai tidak
kompetitif.
3) Menghindarkan pertentangan (conflict) melalui proses penyusunan yang transparan,
disertai dengan langkah sosialisasi dan integrasi tata ruang.
Semua kegiatan ekonomi terkait erat dengan ruang dan lokasi, oleh karena itu
perencanaan ekonomi harus didahului dengan perumusan kebijakan pengembangan
wilayah, diterjemahkan dalam penataan ruang, dan program pembangunan daerah.
Penataan ruang mempunyai dampak biaya yang sangat luas, terutama dengan timbulnya
jaringan infrastruktur yang ditetapkan. Ketersediaan dana pembangunan Pemerintah
perlu diperhitungkan dalam menyusun perencanaan tata ruang. Sebaliknya, perencanaan
tata ruang yang buruk akan berakibat pada penataan ulang (re-zoning) dan relokasi,
sehingga menimbulkan biaya ekonomi dan sosial yang tinggi di berbagai sektor,
termasuk produksi dan industri pertanian (Craig, 2003).
Strategi pengembangan wilayah (regional planning) melalui konsep tata ruang
diarahkan kepada pengaturan wilayah dalam keruangan yang bersifat menyeluruh,
terpadu, dan regional (comprehensive, integrated, and regional development). Hal ini
dilakukan untuk menggali dan memanfaatkan potensi geografi dan sumberdaya yang
ada, khususnya di wilayah perdesaan. Kombinasi yang unik dari berbagai sumberdaya
yang ada di suatu daerah membentuk kompetensi wilayah tersebut untuk fungsi
ekonomi tertentu (Warpani, 1980). Seringkali pengembangan wilayah menghadapi
beberapa persoalan dan kendala yang mencakup beberapa aspek, yaitu kebijakan
penggunaan dan strategi pengembangan lahan yang ada (Riyadi, 2001).
Setiap daerah mempunyai sistem pengolahan sumberdaya alam, tenaga kerja, dan
mencukupi kebutuhan dan mengembangkan daerahnya secara maksimal. Kekurangan
dan kelebihan di masing-masing daerah menjadi penyebab terjadinya kegiatan
ekspor-impor antar daerah (Warpani, 1980). Pemilihan kawasan strategis yang ditetapkan untuk
mendorong pengembangan di kabupaten/kota berpengaruh besar pada penataan ruang,
karena prioritas penataan wilayah dipilih sesuai arah pengembangan wilayah itu.
Pemanfaatan dan peruntukan sumber air menjadi salah satu acuan untuk penyusunan
rencana tata ruang wilayah. Pengembangan sumberdaya air pada wilayah sungai yang
ditujukan bagi peningkatan manfaat guna memenuhi kebutuhan air baku untuk berbagai
keperluan (diantaranya untuk pertanian) dilaksanakan sesuai tata ruang (FAO, 2000).
Undang-undang No. 24/1992 dan No. 119/1992, tentang Penataan Ruang
memberikan perlindungan khusus untuk para petani sehamparan dan mengamanahkan
bahwa tata ruang adalah pola dan wujud struktural pemanfaatan ruang bagi semua
kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang,
dan berkelanjutan. Penataan ruang juga merupakan salah satu instrumen dalam
pengelolaan lingkungan hidup, karena itu harus dilakukan dengan memperhatikan
kemampuan dan daya dukung alami ruang tersebut dalam mengkonservasi air dan
menjalankan fungsi-fungsi ekologisnya, terutama dalam kaitannya dengan daya
tampung (ruang sebagai wadah) dan daya dukung lingkungan (ruang sebagai
sumberdaya alam). Kemampuan alami tersebut sangat ditentukan oleh komposisi biotik
dan abiotik serta penutupan lahan di atasnya serta jenis tanah, jenis geologi, kondisi
hidrologi, kemiringan lahan, serta faktor klimat (Künzel, 1996).
Pengelompokan dalam penataan ruang dilakukan berdasarkan fungsi utama
kawasan. Hal ini dimaksud untuk membagi ruang yang bisa dimanfaatkan
sumberdayanya dan ruang yang harus dijaga kelestariannya. Melalui perencanaan tata
ruang, dampak negatif lingkungan yang mungkin terjadi dapat diantisipasi dan dihindari
dalam rangka tercapainya pembangunan yang berkelanjutan. Untuk itu perencanaan
keruangan wilayah harus bersifat menyeluruh, terpadu, dan memenuhi kaidah
pembangunan berkelanjutan, yaitu:
1) Faktor ekonomi, berkaitan langsung dengan kegiatan pembangunan (faktor
dan industri) yang selalu berubah. Setiap peralihan penggunaan lahan harus dihitung
besarnya kadar pencemaran lingkungan yang ditimbulkan.
2) Faktor ekologis, berkaitan dengan kemampuan alamiah untuk mendukung kegiatan
pembangunan yang berlangsung serta dampaknya (faktor akibat).
3) Faktor alokasi ruang secara proporsional, yaitu terpenuhinya syarat minimal alami
dari suatu wilayah, sesuai dengan kemampuan daya dukung lingkungan. Hal ini
diperhitungkan sebelum dilakukan konversi lahan untuk kepentingan pembangunan.
4) Faktor pendekatan keterpaduan, yaitu keterpaduan dalam konsep penataan ruang
wilayah yang terjadi antar sektor pembangunan serta keterpaduan vertikal (skala
lokal, regional dan nasional).
5) Faktor pendapatan penduduk, yaitu upaya untuk meningkatkan pendapatan di
berbagai sektor dengan tetap menjaga kualitas lingkungan pada setiap skenario
pembangunan yang dirancang.
Lima faktor di atas pada hakekatnya menggambarkan keterkaitan antara tata ruang
dengan dampak yang terjadi akibat pembangunan terhadap lingkungan. Dampak negatif
yang mungkin terjadi harus diantisipasi dan dihindari dalam rangka tercapainya tujuan
pembangunan yang berkelanjutan. Dalam upaya pelestarian lingkungan ini, disadari
sepenuhnya bahwa perencanaan secara nasional harus didukung oleh implementasi pada
tingkat lokal (Brody, 2003).
Menurut Marsudi (1992) dan Johara (1999), pengkajian tata ruang dapat dilakukan
dengan menggunakan berbagai teori yang telah dikembangkan, antara lain: Teori Lokasi
oleh Von Thünen sebagai landasan bagi teori-teori penggunaan tanah (pertanahan)
modern, Model Gravitasi, Analisis Input Output, dan Teori Kluster. Teori-teori ini
dikembangkan untuk penggunaan pada situasi yang berbeda.
2.2.1 Teori Lokasi (Location Theory)
Setiap kegiatan manusia selalu memerlukan lokasi tanah dan kondisi lingkungan
yang baik. Dalam hal ini harga memegang peranan yang penting dan menentukan
pemilihan serta intensitas persaingan untuk mendapatkan tanah. Motivasi ekonomi
manusia adalah untuk dapat mencapai target keuntungan yang maksimum, biaya
diperlukan pemahaman tentang kebijakan lokasi dan struktur spasial yang menyangkut
pola penggunaan tanah, lokasi industri dan interaksi spasial.
Konsep dasar dari Teori Lokasi memerlukan kajian struktur spasial
terhadap sistem jaringan nodal dan hierarki, blok diagram, bangunan normatif konsep
pendekatan spasial ekonomi. Wacana teori ini tidak lepas dari interaksi aspek sosial,
fisik dan ekonomi. Teori Lokasi masuk ke bidang ilmu ekonomi sejak Von Thünen
mengembangkan teorinya sekitar tahun 1880. Teori Lokasi kemudian diperkenalkan
secara utuh oleh Walter Isard pada tahun 1952, sehingga konsep pemilihan lokasi
produksi mulai disadari pengaruhnya terhadap efisiensi, serta mulai masuk dalam ilmu
ekonomi.
Von Thünen pada dasarnya mengembangkan Teori Lokasi secara keruangan.
Lingkaran lokasi yang disusunnya merupakan daerah yang efisien sebagai lokasi
kegiatan usaha tertentu dalam daerah tersebut. Teori yang dimulai oleh Launhardt
diteruskan oleh Weber yang membahas teori tempat lokasi yang kemudian berkembang
pesat. Akhirnya Hotelling mengembangkan teori yang merupakan sumbangan penting
dalam perkembangan keseimbangan keruangan. Sejak Isard berhasil mengintegrasikan
Teori Lokasi jalur Von Thünen dan Launhardt/Weber dan mengintroduksikan peralatan
yang dikenal dalam ekonomi, maka Teori Lokasi lebih diterima di kalangan ahli
ekonomi. Dalam perkembangan selanjutnya tampaknya teori tentang tempat lokasi dan
ketergantungan lokasi menyatu dalam bentuk yang disebut mikro ekonomi spasial.
Sebaliknya teori yang dirintis oleh Thünen menjadi landasan bagi teori pertanahan
modern (Johara, 1999).
Teori Lokasi maupun Teori Pertumbuhan Ekonomi Wilayah (Growth Theory)
sependapat tentang adanya tahapan perkembangan dan pertumbuhan suatu wilayah
perdesaan. Transformasi struktural wilayah perdesaan melalui industrialisasi untuk
menumbuhkan produktivitas sumberdaya manusia, dapat dilakukan terutama dengan
pengaturan tata ruang dan infrastruktur (prasarana) yang progresif di wilayah perdesaan.
Peter Hall menyimpulkan bahwa perencanaan dan penataan dalam pengembangan
wilayah merupakan upaya perancangan investasi usaha dan masyarakat melalui
Menurut Claudius Petit, hal itu menunjukkan bahwa perencanaan tata ruang harus
dilakukan oleh dan untuk masyarakat di wilayah itu sendiri (Gillingwater, 1975).
Teori Lokasi untuk industri (Industrial Location Theory) menyatakan bahwa
investor yang akan membangun suatu industri, secara rasional dan komprehensif
mempertimbangkan dan memilih lokasi yang mampu menghasilkan keuntungan
maksimal. Dengan pola pikir ini, maka pelaku industri akan tertarik pada lokasi yang
paling kompetitif dalam hal upah tenaga kerja, biaya energi, ketersediaan pemasok,
fasilitas komunikasi, pendidikan dan diklat, kualitas pelayanan dan tanggung jawab
Pemerintah Daerah (Smith, 1973; Glasson, 1992; Arsyad, 1999; Dirdjojuwono, 2004).
2.2.2 Model Gravitasi (Gravity Model)
Model Gravitasi merupakan pendekatan yang fleksibel untuk analisis keterkaitan
dan interaksi antara wilayah pusat dan daerah tepi maupun antar wilayah pusat. Model
ini menghitung bobot (tingkat) keterkaitan yang dilandaskan pada dua komponen yaitu
besarnya massa (mass) dan jarak antara titik-titik wilayah (nodes). Komponen massa
menunjukkan tingkat dominasi ekonomi suatu titik wilayah, sedangkan komponen jarak
menunjukkan pertimbangan lain yang lebih bersifat non-ekonomi (Misra et al., 1978).
Tingkat simplikasi dalam model ini seringkali dianggap terlalu berlebihan.
Keterkaitan antar wilayah merupakan hubungan yang kompleks yang tidak terwakili
hanya oleh dua komponen. Namun Richardson berpendapat bahwa Model Gravitasi
tetap menjadi model yang secara praktis mampu menunjukkan potensi hubungan antara
daerah yang berpengaruh (dominant) terhadap daerah-daerah lain yang dipengaruhinya
(dominated). Gambaran tentang potensi ini digunakan untuk penyusunan prediksi yang
sangat diperlukan dalam perencanaan perkembangan wilayah. Model Gravitasi
menekankan pada kekuatan daya tarik teoritis dari suatu wilayah daripada arus
keterkaitannya terhadap wilayah yang lainnya. Namun dengan analisa yang cermat akan
tercermin potensi arus keterkaitan dari beberapa wilayah penelitian (Gillingwater,
1975).
Permasalahan yang dihadapi dalam penggunaan Model Gravitasi adalah
keterbatasan data, oleh karena itu prinsip wilayah fungsional dan wilayah administrasi
ini terkait erat dengan penentuan kriteria pewilayahan yang dijadikan dasar penyusunan
wilayah perencanaan (planning region).
2.2.3 Analisis Input Output
Analisis Input Output adalah teknik yang digunakan untuk kuantifikasi tingkat
keterkaitan antara wilayah pusat dengan daerah tepi, atau pasangan pusat-pusat wilayah
sehingga dapat diidentifikasi tingkat (derajat) keterkaitan dari jaringan yang ada.
Analisis ini digunakan untuk identifikasi struktur dan hierarki dari hubungan
pewilayahan. Keterkaitan diukur dari besar dan arah arus hubungan fungsional yang
terjadi.
Hubungan fungsional di dalam wilayah ini dapat ditelusuri dari banyak
pendekatan, misalnya arus komoditi intra-regional, pola komunitas dan arus migrasi;
kepadatan komunikasi telpon; dan pola perjalanan dari sentra-sentra tenaga kerja ke
tempat kerja; distribusi air irigasi ke wilayah pertanian. Kaitan-kaitan ini dapat
diikhtisarkan dalam hubungan wilayah dan daerah-daerah nodal dalam suatu kerangka
tata ruang yang lebih luas. Kalau daerah tidak sama besarnya dan tidak mengalami
tingkat pertumbuhan yang sama, maka sistem regional sebagai suatu keseluruhan akan
memperlihatkan tingkat ketidak-seimbangan yang ada, dan satu atau dua daerah yang
mendominasi daerah-daerah lainnya. Arus dalam perekonomian nasional sering lebih
berkaitan dengan produksi, jaringan infrastruktur interregional, meliputi jaringan
transportasi, komunikasi, sistem jaringan sumberdaya manusia, air, listrik, daripada
dengan hubungan-hubungan jasa yang mendominasi arus intraregional. Kerangka
interregional ini bersifat hierarki. Secara makro, hierarki keterkaitan wilayah ini
mengalami perkembangan yang cepat, sehingga mempunyai efek arus balik terhadap
lokasi kegiatan-kegiatan ekonomi karena pada hakekatnya semua industri dan jasa
berorientasi pada pasar (Glasson, 1992).
Analisis Input Output juga merupakan teknik yang berguna untuk menguraikan
dan menggambarkan daya saing dari suatu daerah dalam hubungannya dengan
keterkaitan antar wilayah. Dalam analisis ini potensi terjadinya impor diabaikan, atau
dasar data masa lalu. Faktor impor pada hakekatnya sangat dipengaruhi oleh tingkat
keterbukaan perekonomian suatu negara dimana analisis ini dilakukan.
Dengan segala keterbatasan yang ada, Analisis Input Output tetap merupakan
pendekatan yang praktis dan mampu memberikan gambaran yang berguna. Keunggulan
Analisis Input Output karena menggunakan pendekatan keseimbangan yang sederhana,
bersifat netral dan mampu menyesuaikan dengan pola perekonomian yang ada. Hal-hal
ini yang menjadikan Analisis Input Output banyak digunakan.
Analisis Input Output berguna untuk meramalkan perekonomian wilayah dalam
jangka pendek. Untuk peramalan itu perlu ditambahkan beberapa pendekatan dan
asumsi dasar yang sangat menentukan ketepatan dari hasilnya, namun seringkali
penetapan asumsi ini yang justru menghambat sehingga Analisis Input Output sulit
dilaksanakan. Hal ini diatasi dengan membatasi asumsi dasar pada beberapa faktor
penting dengan data yang tersedia. Beberapa manfaat dari Analisis Input Output yang
paling berguna adalah prediksi dampak (multiplier effect) dari suatu pola
pengembangan, baik terhadap peningkatan ekonomi, pengadaan kesempatan kerja,
maupun sasaran-sasaran lain dari rancangan pengembangan wilayah (Glasson, 1992).
2.2.4 Teori Kluster
”Kluster” selain merupakan salah satu teori dalam pengembangan wilayah yang
dilengkapi dengan teknik analisa, juga telah berkembang menjadi istilah yang
digunakan untuk menggambarkan pengembangan kelompok dalam tata ruang, serta
mengilhami pengembangan kawasan. Oleh karena itu, prinsip-prinsip Kluster perlu
dipahami dalam merekayasa suatu kawasan pertanian terpadu. Teknik Analisis Kluster
pada definisi fungsionalnya adalah alat untuk memilah data yang tidak teratur dari
beberapa situasi, menganalisis, mencari derajat kesamaan (dan perbedaannya) serta
membagikan dalam kelompok-kelompok. Dengan memperoleh kelompok data yang
terstruktur dengan variabel yang ditentukan, maka dapat dilihat peta hubungan dan
struktur keterkaitan yang dapat dikembangkan lebih lanjut (Everitt, 1980; Porter, 1998).
Lingkup geografis Kluster sering digambarkan sesuai dengan batas wilayah
administrasi pemerintahan, namun dalam kenyataannya lingkup Kluster sering
di California (USA) mencakup wilayah yang luas dengan keterpaduan lingkup yang
rumit. Lebih dari itu, Kluster industri sepatu terkemuka di Italia mencakup seluruh
wilayah negara. Berbeda dengan itu, Kluster patung ukiran kayu berpusat di pulau Bali,
dan Kluster perabot kayu kelas ekspor di Jepara mencakup wilayah yang lebih terbatas
yang terkonsentrasi pada proses produksi saja. Tampak bahwa lingkup geografis dari
Kluster dapat mencakup kota, wilayah, hingga sekelompok negara yang saling terkait.
Keterkaitan fungsional di dalam Kluster sering digunakan sebagai upaya untuk mencari
cara-cara baru dalam bersaing serta terobosan bagi usahanya. Salah satu contoh adalah
Silicon Valley yang tercipta menjadi Kluster yang paling inovatif. Keberhasilan
penerapan konsep Kluster terutama tergantung dari kemampuan untuk menerapkan
konsep itu sendiri (Gattorna, 1998). Hal ini menjelaskan bahwa manajemen pengelolaan
merupakan fungsi yang sangat penting yang akan menentukan keberhasilan suatu
Kluster (kawasan).
Uraian ini menunjukkan bahwa penataan ruang yang dilandaskan pada kejelian
dan keberanian dalam menata keterkaitan fungsional (bukan geografis) merupakan
pendekatan yang inovatif (sebagaimana terjadi di Silicon Valley, Amerika). Patut pula
disimak keberhasilan perkembangan industrialisasi di Cina yang dikembangkan dengan
menekankan pada penataan ruang yang disiplin, penyediaan infrastuktur yang lengkap,
dan kemampuan manajemen pengelolaan yang efektif dalam memacu perkembangan
industri, termasuk agroindustri (Ho dan Hsieh, 2006).
2.3
Kawasan Pertanian Terpadu
Globalisasi melahirkan persaingan bebas dalam wujud pasar bebas yang berdaya
saing tinggi (free competitive market), oleh karena itu keterkaitan antara: (1) sektor
pertanian, industri, dan perdagangan; (2) berbagai subsistem dalam sektor pertanian; (3)
usaha mikro, kecil, menengah dan besar, harus dikembangkan melalui rekayasa
bentuk-bentuk kawasan pertanian terpadu dalam tatanan agroniaga yang wajar (alami).
Keberhasilan dan kesinambungan suatu kawasan pertanian yang terpadu membutuhkan
prasyarat kesetaraan (bargaining position) dari semua pelaku yang terlibat dalam
tergantung pada kemampuan untuk mewujudkan kesetaraan dalam agroniaga menuju
pada pemerataan ekonomi, serta meningkatkan produksi dan pendapatan petani.
Pengembangan suatu kawasan pertanian (Lingard, 2002) berkait erat dan sangat
bergantung pada ketersediaan sumberdaya lahan, air, manusia, fasilitas maupun
bahan-bahan pendukung produksi, serta dukungan atau peran serta penduduk lingkungan
sekitar (Craig, 2003). Secara khusus, pertanian merupakan sektor yang paling banyak
menggunakan dan membutuhkan sumberdaya air. Oleh karena itu masalah tata ruang
dan jaringan irigasi sangat penting bagi pengembangan suatu kawasan pertanian. Data
di banyak negara maju yang tergabung dalam Organization for Economic Co-operation
and Development (OECD) menunjukkan bahwa 80% dari penggunaan air untuk
keperluan irigasi, dan sisanya terutama untuk penggunaan peternakan (Lowe, 2001;
Journeaux, 2003).
Beberapa penelitian yang dilaksanakan di Asian Institute of Technology
(Pathumthani, Thailand) telah menunjukkan pentingnya jaringan irigasi dalam
pengembangan kawasan pertanian terpadu, sebagai berikut (AIT, 1994):
1) Peningkatan kegiatan dan budidaya pertanian, sebagai upaya untuk meningkatkan
pendapatan petani. Kehadiran industri di wilayah budidaya dan pengembangan
jaringan irigasi merupakan upaya yang efektif untuk mencegah urbanisasi.
2) Penurunan biaya budidaya pertanian ditentukan (terutama) oleh tingkat ketersediaan
jaringan irigasi, selain kombinasi dari peralatan bantu mekanik dan tenaga kerja
tersedia.
3) Ketersediaan jaringan irigasi mempunyai peran yang sangat penting dalam
meningkatkan budidaya pertanian yang dilakukan oleh petani miskin.
4) Perbaikan sistem operasi dan pengelolaan jaringan irigasi skala besar harus diawali
dengan penentuan tingkat kebutuhan. Dengan menggunakan model matematik dan
data yang disusun, dapat ditentukan skala jaringan yang paling memadai (optimal).
5) Peningkatan efisiensi penggunaan air akan memperluas lahan pertanian beririgasi
dengan menggunakan jumlah air yang sama.
6) Pengamatan pada area yang luas menunjukkan bahwa kehilangan air pada irigasi
terutama (lebih dari 50%) disebabkan oleh pelimpahan permukaan (surface runoff),
layout, kondisi fisik sawah, dan pengelolaan air. Perencanaan jaringan irigasi yang
2.3.1 Pola-pola Pengembangan Kawasan Terpadu
Pengembangan kawasan terpadu merupakan model yang mengintegrasikan
berbagai komponen ke dalam satu sistem. Hal ini umumnya dapat ditempuh melalui
suatu bentuk kemitraan. Ada dua bentuk kemitraan yang lazim diterapkan yaitu
kemitraan bisnis (business partnership) dan kemitraan antara Pemerintah dengan
Swasta (public-private partnership). Kemitraan dikembangkan dengan berlandaskan
pada prinsip saling memperkuat, saling menguntungkan, dan saling menghidupi, oleh
beberapa pihak tertentu yang memiliki kesetaraan posisi tawar (bargaining position)
(Sutarman dan Eriyatno, 2001; Haeruman dan Eriyatno, 2001; Sumardjo, 2001).
Pola kemitraan bisnis digunakan untuk mengubah keterkaitan yang ada dalam
agribisnis menjadi bentuk-bentuk keterikatan antara usaha on farm dengan off farm
melalui bentuk-bentuk formal berupa kontrak untuk jangka waktu tertentu, biasanya
jangka panjang. Pemilik modal kuat, pengusaha mikro/kecil dan petani disetarakan
dengan adanya peran aktif Pemerintah saat dibentuk kerjasama formal oleh para pihak.
Pola kemitraan antara Pemerintah-Swasta digunakan dengan keterkaitan yang lebih
bebas dalam suatu keterpaduan untuk mencapai tujuan bersama dari pihak-pihak yang
bermitra.
Secara umum pola-pola pengembangan kawasan terpadu yang telah ada saat ini
dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu (Weitz dan Wang, 2004):
1) Pola Rekayasa Pemerintah. Kawasan pertanian ini dirancang-bangun oleh dan berorientasi pada peran kekuatan (power) Pemerintah.
2) Pola Kemitraan Usaha. Kawasan pertanian dengan penguasaan lahan (sebagian atau seluruhnya) dan pembangunan oleh investor industri pengolahan, antara lain
bentuk contract farming yang berbentuk kerjasama dari sekelompok petani dengan
konsolidasi pengelolaan lahan sehamparan dengan kepemilikan tetap pada petani.
Dalam pola ini pengelolaan usaha (on farm dan atau off farm) diserahkan kepada
lembaga profesional dengan suatu perjanjian, dan petani bertindak selaku pemegang
saham. Pola ini tidak menguntungkan petani gurem dengan lahan yang sempit
(Simatupang, 2000).
petani, transmigran, atau masyarakat bisnis (umum). Pengembang tetap
berkewajiban mengelola kawasan (Anonim, 1994).
Perkembangan dari pola ke pola yang menunjukkan adanya tiga fenomena yang
sangat penting, yaitu (Hawiset, 1998; Maxwell dan Percy, 2002):
1) Peran Pemerintah yang berubah dari peran paternalistik sebagai inisiator, pengatur
dan penguasa pada Pola Rekayasa Pemerintah, menjadi lembaga yang mendukung
petani pada Pola Komersial. Hal ini sejalan dengan trend perubahan peran
Pemerintah dalam kawasan pertanian terpadu.
2) Komoditi yang menjadi obyek, dari tanaman perkebunan (kelapa sawit), menjadi
tanaman pangan dengan orientasi ekspor atau substitusi impor.
3) Bentuk pengaturan terhadap keterkaitan, dari suatu bentuk pengaturan oleh
Pemerintah menjadi transaksi komersial yang berorientasi pada pasar.
4) Bentuk keterkaitan antara para pelaku dari suatu kemitraan menjadi kebersamaan
dalam mengupayakan keterpaduan.
Beberapa masalah mendasar yang dihadapi dalam hubungan kemitraan formal
adalah (Lewis, 1966; Djarwadi dan Broto, 1999; Widiati, 1999):
1) Ketidaksiapan dan kompetensi yang tidak memadai dari pihak-pihak yang bermitra,
antara lain:
a. Masih lemahnya kesadaran petani tentang pengendalian mutu yang sesuai
dengan kebutuhan pasar, serta masih rendahnya kemampuan petani dalam
mengelola usahatani secara efisien dan komersial.
b. Keterbatasan kemampuan finansial perusahaan besar sehingga pembayaran
kepada petani sering tertunda.
2) Hubungan kemitraan tidak dilandasi dengan kesetaraan para pelakunya sehingga
semakin rentan terhadap keberpihakan dan peningkatan kesejahteraan petani.
3) Kemitraan yang dibangun tidak melibatkan masyarakat sekitar secara aktif, padahal
dukungan masyarakat di sekitar kawasan harus dapat diakomodasi untuk menjamin
kelanggengan dari program.
4) Perkembangan pola kawasan dalam kemitraan menjadi semakin komersial dan
perilaku masyarakat industri, yang tidak ramah lingkungan (environmental friendly),
(lingkungan) yang menjadi sumber konflik baru di masyarakat, baik di daerah yang
bersangkutan maupun wilayah pengaruhnya (hinterland).
5) Pengertian kemitraan secara tradisional yang harus terikat dalam suatu
kontrak/kerjasama tertulis yang mengikat para pihak telah ditinggalkan (Lowe,
2001). Pola kemitraan beralih menjadi koordinasi bersama pada suatu keterpaduan
yang alami dalam suatu tatanan keruangan guna mencapai kerjasama yang efektif
menuju efisiensi bersama (Weitz dan Wang, 2004).
Pengembangan pola kemitraan dalam komoditi hortikultura seyogyanya mengakar
pada adat budaya dan sistem kelembagaan yang dianut oleh masyarakat setempat dan
didukung dengan sistem kelembagaan yang representatif. Nampak dari berbagai
masalah yang masih selalu timbul, bahwa adat budaya setempat tidak dapat menerima
ketidak-seimbangan yang ada dan dalam ketidak-berdayaannya cenderung mengingkari
keterikatan (kontrak formal), sehingga menjadi faktor kontra produktif dalam
implementasi lembaga kemitraan. Karena itu dalam pengembangan pertanian,
khususnya hortikultura, pola kemitraan informal dalam bingkai pasar bebas yang adil
dan alami perlu dibangun, di mana sistem kelembagaannya mengikuti norma adat
istiadat setempat (Sutrisno et al., 2001; Syukur et al., 2001; Zohar dan Maarshall,
2005).
Untuk menghasilkan rekayasa yang teruji dan realistis, maka diamati secara
khusus tiga bentuk pola kemitraan dalam pengelolaan kawasan terpadu yang
menggambarkan kemajuan dari rekayasa kawasan terpadu hingga saat ini sebagai acuan
(benchmark), yaitu: Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR), Pola Agropolitan, dan Pola
Kawasan Industri berwawasan Lingkungan (Eco-industrial Park). Masing-masing
contoh ini menggambarkan karakter pola kemitraan dan latar belakang pengembangan
kawasan terpadu yang spesifik.
1) Perusahaan Inti Rakyat (PIR)
Sejak tahun 1977 Pemerintah telah mengembangkan Program Anak-Bapak
Angkat dan pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dengan bentuk-bentuk derivatif-nya yaitu
PIR Lokal, PIR Khusus, PIR Berbantuan, dan sejak 1986 dikembangkan PIR
beberapa komponen, yaitu kelembagaan, hubungan kerja, sumber dana dan sistem
pembayaran, alokasi lahan dan keagrariaan, perbankan dan pengorganisasian. PIR
merupakan perwujudan dari tiga pendekatan, yaitu: (1) keterpaduan dalam usahatani
(farming approach), (2) komoditi (commodity approach), dan (3) wilayah (regional
approach).
Pada pola-pola PIR, dianut sistem inti dan plasma yang terdiri dari
pelaku-pelaku ekonomi (independent individuals and firms) yang diatur dalam suatu kerjasama
dengan tujuan untuk menciptakan pembagian keuntungan yang adil. Secara
kelembagaan, Pola PIR memadukan dua lembaga primer yaitu perusahaan inti dan
petani plasma. Perkebunan besar sebagai perusahaan inti yang memberikan dukungan di
bidang produksi, pengolahan dan pemasaran, dengan petani perkebunan sebagai petani
plasma yang menghasilkan bahan baku primer hasil pertanian untuk diolah oleh
perusahaan inti. Di samping itu terdapat beberapa lembaga sekunder (pembantu) pada
pola PIR yaitu Pemerintah Daerah, perbankan, keagrariaan, pekerjaan umum, pertanian,
koperasi, transmigrasi, perindustrian dan perdagangan, kehutanan dan perkebunan, dan
lembaga lainnya.
Hubungan mitra kerja antara dua lembaga primer berlangsung dalam proses
produksi yang utuh. Hubungan kerja antar lembaga sekunder yakni kerjasama antar
instansi terkait (Pusat, Provinsi, dan Kabupaten) dijalankan menurut fungsinya
masing-masing di dalam wadah tim koordinasi PIR (TK PIR). Segala bentuk hubungan kerja
dituangkan ke dalam perjanjian formal/resmi, yaitu:
a. Perjanjian antara perusahaan inti, petani plasma dan bank yang disebut clearing
system, berupa kerjasama produksi antara perusahaan inti dengan petani plasma.
b. Perjanjian kredit modal kerja dan penjaminan atas kredit petani plasma.
c. Akad kredit (konversi) antara petani plasma dengan pihak bank.
Pembiayaan proyek PIR berasal dari dana Pemerintah dan kredit bank.
Berdasarkan sumber dananya, maka PIR dapat dibedakan menjadi PIR Berbantuan dan
PIR Swadana. Dana dari Pemerintah dapat berasal dari bantuan luar negeri dan dalam
negeri (APBN) yang digunakan untuk komponen kredit maupun komponen non kredit.
Di dalam pelaksanaannya ketentuan kegiatan-kegiatan yang dibiayai dengan kredit dan
situasi, kondisi, dan komitmen-komitmen yang disepakati sebelum proyek PIR
dibangun.
Untuk mencapai tujuan dari pendanaan oleh Pemerintah, maka telah dikeluarkan
beberapa acuan teknis, yaitu (Soeripto et al.,1994):
a. Pola Koperasi Usaha Perkebunan - 100% saham dimiliki Koperasi Usaha
Perkebunan,
b. Pola Patungan Koperasi dan Investor - 65% saham dimiliki Koperasi Petani dan
35% dimiliki oleh investor/perusahaan industri pengolahan,
c. Pola Patungan Investor dan Koperasi - 80% saham dimiliki perusahaan dan 20%
oleh koperasi yang ditingkatkan secara bertahap,
d. Pola Build, Operate, and Transfer (BOT), dimana pembangunan dan operasi oleh
perusahaan dan pada waktu yang ditentukan akan dialihkan kepada koperasi, dan
e. Pola Bank Tabungan Negara (BTN), dimana perusahaan membangun kebun dan
atau pabrik dan pada waktu tertentu dialihkan kepada koperasi melalui Kredit
Pemilikan dari BTN.
PIR membutuhkan lahan yang cukup luas tetapi harus dapat diperoleh dengan
harga penggantian yang murah. Lahan tersebut umumnya berupa tanah terpencil milik
negara maupun milik perorangan yang belum dimanfaatkan. Pencadangan lahan untuk
PIR ditetapkan oleh Gubernur, setelah dibebaskan dari semua rencana penggunaan.
Areal tersebut kemudian diatur tata guna tanahnya yaitu untuk plasma, sarana jalan,
sarana sosial, lahan untuk perusahaan inti dan lahan cadangan. Dalam pelaksanaannya,
beberapa kendala dijumpai dalam pelaksanaan Pola PIR, antara lain:
a. Pengalihan kebun kepada petani plasma umumnya mengalami keterlambatan.
b. Petani plasma umumnya tidak mengetahui masa pengalihan kebun dari perusahaan
inti kepada petani plasma
c. Rata-rata produksi kebun inti (TBS – tandan buah segar/ha) lebih besar dari
produksi kebun plasma untuk periode yang sama
d. Penerimaan TBS hasil panen kebun inti di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) berlangsung
cepat, berbeda dengan hasil petani plasma yang harus menginap.
e. Petani plasma merasa dirugikan dalam penentuan harga TBS, rendemen CPO/ PK,
Permasalahan di atas juga merupakan akibat dari kebijakan Pola PIR yang
memisahkan kepemilikan aset petani plasma dengan perusahaan inti.
2) Agropolitan
Konsep Agropolitan merupakan antisipasi dari ketimpangan antara wilayah
perkotaan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dengan perdesaan sebagai pusat
kegiatan sektor primer (pertanian) yang tertinggal. Interaksi ke dua wilayah ini secara
fungsional saling memperlemah. Wilayah perdesaan mengalami penurunan
produktivitas, sedangkan wilayah perkotaan sebagai pusat pasar dan pertumbuhan
menerima beban berlebih sehingga menimbulkan masalah sosial dan lingkungan.
Perkembangan wilayah perkotaan sebagai pusat pertumbuhan tidak memberikan
efek penetesan (trickle down effect), justru menimbulkan efek pengurasan sumberdaya
dari wilayah sekitarnya (backward effect). Konsep growth pole menganjurkan investasi
padat modal di pusat urban dengan harapan akan terjadi penyebaran pertumbuhan
(spread effect) sehingga berdampak pada pembangunan ekonomi wilayah yang lebih
luas. Namun pengalaman di negara sedang berkembang, kebijakan growth pole telah
gagal untuk menjadi pendorong utama (prime mover) ekonomi di wilayahnya. Proses
penetesan dan penyebaran yang ditimbulkan tidak cukup menggerakkan perekonomian
wilayah itu (Rondinelli, 1985).
Friedman dan Douglass (1975), menyarankan bentuk Agropolitan sebagai
aktivitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesaan (rural development)
dengan batasan jumlah penduduk antara 50.000-150.000 orang. Strategi pengembangan
Agropolitan ini dimaksud untuk menggerakkan ekonomi perdesaan dan penciptaan nilai
tambah oleh pelaku lokal di tingkat perdesaan. Kawasan perdesaan didorong untuk tidak
hanya menghasilkan bahan primer, tetapi juga bahan pangan olahan.
Konsep Agropolitan merupakan pengembangan wilayah perdesaan yang
dilakukan dengan mengaitkan pada pembangunan per