• Tidak ada hasil yang ditemukan

Agroniaga Komoditi Unggulan dalam Agroestat

BATAS WILAYAH AGROESTAT

5.4 Agroniaga Komoditi Unggulan dalam Agroestat

Globalisasi diindikasikan oleh meningkatnya keterbukaan hubungan ekonomi antar bangsa dalam semangat perdagangan dan pasar bebas dengan sasaran memperluas peluang usaha. Kenyataan ini harus dianggap sebagai peluang penguatan daya saing dengan kesadaran terhadap tuntutan konsumen serta pemenuhan standar mutu yang berkaitan dengan lingkungan dan kesehatan. Pengembangan sektor pertanian harus berorientasi pada pasar bebas yang berdaya saing tinggi (free competitive market) yang sudah menjadi kecenderungan (trend) tatanan perekonomian dunia. Implikasi yang timbul dari kecenderungan ini adalah peningkatan persaingan di pasar domestik dan internasional. Bagi negara berkembang hanya ada satu pilihan yaitu peningkatan daya saing melalui peningkatan efisiensi dan produksi usaha pertaniannya.

Oleh karena itu pemikiran dalam pengembangan wilayah harus diarahkan untuk memacu keterkaitan ekonomi perdesaan dengan ekonomi nasional dan global. Dengan demikian, kebijakan Pemerintah dalam pembangunan perdesaan harus mengacu kepada mekanisme pasar, penyediaan fasilitas insentif investasi yang positif, dan menekan kebijakan yang mendistorsi pasar. Sebagaimana diingatkan oleh Gwynne (2004) bahwa Pemerintah harus lebih selektif dalam penerapan kebijaksanaan yang berpihak, untuk menghindari dampak kebijaksanaan yang justru counter-productive karena menimbulkan inefisiensi dan biaya sosial yang tinggi, serta tidak mendukung keberpihakan kepada golongan lemah.

Peran Pemerintah sebagai pemberi subsidi beralih sebagai koordinasi, regulator dan fasilitasi subsidi tidak langsung (fasilitator). Keyakinan bahwa peran pemerintah

tetap diperlukan di sektor pertanian dengan prioritas sebagai berikut (Anonim, 1996; Arsyad, 1999; Sadjad et al., 2001):

1) Dalam peran sebagai fasilitator: a. Pengaturan tata ruang.

b. Peningkatan prasarana (infrastruktur) pertanian. c. Penyediaan kredit (pinjaman) lunak untuk petani.

d. Penyediaan pergudangan untuk menampung sementara kelebihan hasil produksi. 2) Dalam peran koordinasi:

Membentuk dan ikut-serta secara aktif dalam unit kerja atau lembaga yang berfungsi sebagai Pengelola.

3) Dalam peran sebagai regulator:

a. Menyiapkan peraturan daerah untuk menunjang agribisnis dari komoditi unggulan daerah.

b. Menjaga agroniaga dari tindakan monopoli dan oligopoli yang merugikan pelaku ekonomi kecil (UMKM).

Keterkaitan antara berbagai subsistem dalam sektor agribisnis hortikultura, diupayakan melalui rekayasa bentuk-bentuk Agroniaga yang alami dan berkelanjutan. Kemitraan dibangun secara informal dalam kerangka pasar bebas yang berkeadilan, bersifat lebih kepada keterikatan bisnis, dimana sistem kelembagaannya mengikuti norma adat istiadat setempat. Sebagaimana disimpulkan oleh Lewis (1966), pengelolaan kawasan pertanian terpadu dengan keterikatan formal semakin rentan terhadap keberpihakan dan peningkatan kesejahteraan petani dan masyarakat sekitar. Disamping itu, keberhasilan dan kesinambungan Agroniaga yang wajar (alami) membutuhkan prasyarat kesetaraan (bargaining position) dari semua pelaku yang terlibat, karena itu petani harus dilepaskan dari ketergantungan kepada tengkulak.

Pola Agroestat mempunyai perbedaan mendasar dibanding dengan pola pengelolaan kawasan komersial, terutama dari segi motivasi dan orientasi pengelolaan, Kawasan komersial berorientasi pada keuntungan finansial (profit oriented) semata tetapi pola Agroestat berorientasi pada kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat miskin (public wealth) dengan mata pencaharian berbasis pertanian.

Komoditas merupakan kunci keberhasilan meningkatkan kesejahteraan, sehingga diperlukan strategi penguatan komoditi unggulan yang berdaya saing tinggi.

Dengan demikian, tatanan Agroniaga untuk komoditi unggulan dalam pola Agroestat didasarkan pada lingkungan, sistem dan pelaku bisnis sebagai berikut :

1) Pasar Bebas yang berkeadilan. Pada dasarnya tata laksana perdagangan dikondisikan dan diberikan fasilitas dan dorongan yang maksimal menuju kepada terciptanya mekanisme pasar bebas yang adil (fair) dan etika niaga yang adil, sebagai berikut:

a. Tatanan bisnis dilaksanakan dengan mengikuti mekanisme kekuatan pasar (supply-demand) sehingga proses niaga berjalan secara alami. Hal ini dicapai dengan cara membatasi campur tangan langsung oleh Pemerintah dan melepaskan bentuk-bentuk kerjasama formal yang mengikat. Hal ini dimaksud untuk menjaga agar pasar tetap kompetitif dan mampu bertahan (sustainable) karena didukung kompetensi dan kualitas produk. Bekerjanya sistem pasar yang bersaing secara sehat tapi juga adil, merupakan prakondisi dalam memacu pertumbuhan ekonomi perdesaan. Peran Pemerintah tetap dibutuhkan untuk menjaga tata laksana pasar melalui instrumen peraturan dan ketentuan Pemerintah untuk menciptakan kondisi yang tetap berpihak kepada petani dan tidak memungkinkan terjadinya praktek monopoli.

b. Tatanan bisnis dilandasi etika niaga dengan motivasi utama rasa kepedulian dari para pelaku yang merupakan sebuah kualitas dari empati yang mendalam yang muncul dalam bentuk rasa kebersamaan yang aktif dalam kesetaraan. Hal ini dikembangkan untuk menghilangkan motivasi keserakahan yang menggerakkan kapitalisme dan bisnis saat ini. Keserakahan bukanlah budaya perdesaan karena nafsu ini tidak pernah dapat dipuaskan bahkan dilandasi pemikiran hak untuk mendapat tanpa keinginan untuk memberikan kesempatan kepada pihak lain. 2) Pelaku Pasar. Keberhasilan dan keberlanjutan suatu pola perdagangan

membutuhkan prasyarat kesetaraan dan bargaining position yang sama dari masing- masing pelaku yang terlibat. Hubungan keterkaitan antar pelaku dan antar subsektor di reposisi dengan memberdayakan petani yang selama ini selalu menjadi pelaku yang paling beresiko dan lemah, terutama dibanding pelaku perantara yang hanya

menerapkan perhitungan cost-plus profits (Gwynne, 2004). Keberpihakan yang diberikan kepada pelaku ekonomi lemah (petani dan pengusaha UMKM, khususnya di perdesaan) bisa efektif hanya dalam kondisi dimana:

a. Mekanisme pasar bekerja dengan baik.

b. Kemampuan kewirausahaan dari pelaku ekonomi lemah cukup memadai.

Petani secara perorangan Petani secara kelompok

Kelompok Tani Tengkulak Pengumpul Pedagang Industri / Pabrik Besar (luar kota) Pasar Sayur (daerah sekitar) Gudang Swasta / Pemda (dalam Kota) Industri Pengolahan Kecil (dalam kota) Pedagang Besar / Eksportir (luar kota) Petani Produsen Pedagang Perantara Pengguna

Konsumen Luar kota

Luar negeri / Ekspor Luar pulau

Jalur utama Jalur alternatif

Gambar 18. Alur Niaga Komoditi Hortikultura.

Peningkatan martabat petani sebagai pelaku bisnis dicapai melalui upaya menjadikan petani mandiri melalui subsidi tidak langsung, dengan cara menerapkan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Pengaturan ulang (re-arrangement) dari peran tengkulak.

b. Mengurangi ketergantungan finansial petani kepada tengkulak, melalui penyediaan pinjaman untuk usaha ekonomi skala mikro, kecil dan menengah (UMKM) dan mendukung kebutuhan petani termasuk biaya hidup sehari-hari. 3) Lembaga logistik. Sebagai penyeimbang dari besarnya tingkat pasokan ke pasar

maka dijalankan mekanisme pengendalian stok (stock control) oleh Pengelola Kawasan dimana saat pasokan (supply) terlalu tinggi, lembaga ini akan membeli, dan melepas produk saat tingkat pasokan di pasar membutuhkan. Untuk menjalankan fungsi ini, maka Pengelola diberi kewenangan untuk menggunakan

gudang yang telah ada ataupun membangun tambahan gudang sesuai kebutuhan. Dengan terciptanya keseimbangan tingkat ketersediaan, maka dapat dipenuhi kebutuhan pasokan bahan baku bawang merah industri secara berkesinambungan. 4) Penciptaan pasar industri. Untuk menyerap hasil budidaya bawang merah, tingkat

permintaan (demand) diupayakan naik dengan cara merangsang usaha kecil di tingkat rumah tangga (lokal) dan melakukan terobosan-terobosan guna menarik investor industri pengolahan (eksternal).

5) Lingkup pengelolaan. Agroestat mencakup seluruh alur agribisnis bawang merah sebagaimana digambarkan dalam Gambar 18. Kegiatan budidaya terkonsentrasi di perdesaan, namun kegiatan Agroindustri menyebar ke luar daerah tidak terbatas dalam wilayah administrasi Kabupaten. Pada alur ini tercakup banyak usaha penunjang agroindustri sebagaimana digambarkan dalam Tabel 18, sehingga dapat dimengerti banyaknya tenaga kerja dan modal yang terlibat dalam perdagangan komoditi hortikultura. Sebagian besar kegiatan usaha dilaksanakan di wilayah perdesaan, namun beberapa kegiatan yang mempunyai nilai tambah tinggi masih dilaksanakan di luar Kabupaten.

Ruiz (2004) dan Gwynne (2004) menyatakan bahwa dalam alur niaga komoditi hortikultura diperlukan (Gambar 18):

1) Peran pelaku perantara yang sangat menentukan keberhasilan jaringan pemasaran, terdiri dari pengumpul, tengkulak, pedagang, pedagang pasar induk, dan pedagang besar ekspor. Para perantara (middleman) berorientasi kepada keuntungan dan jenis komoditi, tanpa memperdulikan daerah asal komoditi, serta tidak mau menanggung resiko. Keberadaan rantai distribusi vertikal ini mengakibatkan kenaikan harga yang berlipat, bahkan lebih besar dari para petani produsen (budidaya) komoditi, namun upaya menghilangkan peran pelaku perantara akan berakibat lebih parah pada para petani produsen. Integrasi distribusi vertikal tetap merupakan alternatif pemasaran komoditi hortikultura dalam pasar nasional dan ekspor secara efisien yang menghindarikan petani dari biaya-biaya pengangkutan dan pemasaran yang mahal. 2) Keterikatan dan keterkaitan dalam keterpaduan antara:

b. Kerjasama antara petani dan agroindustri pengolahan pasca panen.

c. Kerangka kerjasama antar kelompok dari semua subsektor dalam jalur pertanian komoditi spesifik unggulan daerah pengembangan.

Tabel 18

Rantai Usaha Agro-industri dalam Alur Niaga Bawang Merah.

Usaha-usaha dalam lingkup Agro-industri Di Brebes Di luar Al u r Kegiatan utama P embersiha n So rt as i P engema sa n An gk ut an P erguda nga n Keu ang an Tr ansportas i C o ld st orage Ko nt ain er P engka pa la n

1 Pengumpulan hasil budidaya dari petani ■ ■ ■ ■ 2 Usaha pemasaran bersama melalui koperasi atau

kelompok tani

■ ■ ■ ■ ○

3 Penjualan langsung kepada pedagang ■ ■ ■ ■ ○ 4 Penjualan dalam volume besar ke tengkulak ■ ■ ■ ■ 5 Penjualan dalam volume besar ke pedagang ■ ■ ■ ■ ○ ○ 6 Penjualan ke pasar sayur ke daerah sekitar ■ ■ ■ ■ ○ 7 Penjualan ke industri pengolahan lokal (kecil) ■ ■ ■ ■ ○ 8 Penyimpanan di gudang oleh pedagang/tengkulak

di kota sekitar

■ ■ ■ ■ ■ ■

9 Penjualan tengkulak kepada pedagang pelanggan ■ ■ ■ ■ 10 Penjualan dari koperasi kepada pedagang dalam

volume besar

■ ■ ■ ■ ■ ■

11 Penjualan dari koperasi kepada industri besar biasanya dengan kontrak tertulis

■ ■ ■ ■ ■ ■

12 Penjualan dari pedagang kepada pedagang besar di luar kota

■ ■ ■ ■ ■ ■ ■

13 Penjualan dari pedagang kepada industri besar biasanya dengan kontrak tertulis

■ ■ ■ ■ ■ ■

14 Penjualan dari pedagang ke pasar induk di kota- kota besar

■ ■ ■ ■ ■ ■

15 Penjualan dari pedagang ke pedagang di luar pulau

■ ■ ■ ■ ■ ■ ■ ■ ■ ■

16 Penjualan dari pedagang ke luar negeri (ekspor) melalui distributor besar

Keterkaitan dan keterpaduan ini harus diatur dalam koordinasi yang dilandasi kepercayaan antar unsur pelaku yang terlibat.