• Tidak ada hasil yang ditemukan

3) Kawasan Industri Berwawasan Lingkungan

2.3.2 Lembaga-lembaga Pendukung

Peran lembaga-lembaga pendukung sangat penting bahkan ikut menentukan keberhasilan dalam membangun keterpaduan pada pengembangan kawasan pertanian. Ada tiga pihak yang mutlak dibutuhkan dan harus terlibat secara aktif dalam membangun keterpaduan ini, yaitu (CADI, 2002):

1) Pemerintah (Pemerintah Daerah), untuk mengamankan pihak yang lebih lemah agar diperlakukan secara adil, melalui keberpihakan dalam bentuk kebijakan. 2) Bisnis, untuk menampung kepentingan usaha yang menguntungkan.

3) Masyarakat, untuk menjamin tata laksana yang sesuai dengan budaya yang dianut masyarakat setempat.

Disamping itu, secara teknis, pengembangan sektor pertanian harus didukung oleh beberapa lembaga ekonomi yang perlu direkayasa dan ditumbuh-kembangkan secara sehat, yaitu (Anonim, 1997/1998; Syukur et al., 2001; Gumbira dan Intan, 2001):

1) Pemerintah (Pemerintah Daerah), berperan dalam menciptakan lingkungan usaha pertanian yang kondusif dan mampu mendukung pengembangan agroindustri yang tangguh, dengan wewenang regulasi yang ada padanya.

2) Lembaga Keuangan Mikro – berperan dalam mengembangkan alternatif penyediaan modal investasi dan modal kerja, dari sektor hulu sampai hilir. Pembiayaan bukan hanya untuk produsen primer (usahatani), melainkan juga usaha yang ada di hulu (usaha pembenihan, penyediaan obat-obatan/pupuk, dan peralatan pertanian) dan di hilir (usaha distribusi produksi primer, sekunder dan tersier). 3) Kelompok Tani, berperan dalam mengelola penyediaan bahan baku agroindustri

berupa produk hasil pertanian, sehingga tersedia dalam harga, mutu, dan jumlah yang berkesinambungan serta layak secara teknoekonomis.

4) Lembaga Pemasaran dan Distribusi – berfungsi sebagai mediator yang menghubungkan konsumen pengguna (deficit units) dan produsen (surplus units) yang efektif dan efisien.

5) Koperasi – sebagai badan ekonomi rakyat berperan dalam menghimpun kekuatan ekonomi anggota untuk kemaslahatan bersama dengan azas kekeluargaan.

6) Lembaga Pendidikan Formal dan Informal. Lembaga pendidikan formal yang berbasis keilmuan agroindustri dan pendukungnya, serta pelatihan informal yang berbasis pengetahuan praktis, diperlukan untuk mendukung sektor riil di bidang usahatani dan agroindustri.

7) Lembaga Penyuluhan Pertanian Lapangan – berperan memperkenalkan (desiminasi dan sosialisasi) berbagai program peningkatan produksi hortikultura melalui

bimbingan dalam pelaksanaan melalui para penyuluh pertanian lapangan (PPL) di lapangan.

8) Lembaga Riset – berperan untuk memajukan sektor agro terutama dalam mengupayakan keunggulan mutu dan diferensiasi produk yang sesuai permintaan pasar melalui rekayasa genetika atau bio-teknologi.

9) Lembaga Penjamin dan Penanggungan Resiko – berperan menghilangkan kekhawatiran para petani budidaya yang ingin masuk ke dalam sektor industri mikro terhadap resiko yang besar di sektor pertanian.

10) Lembaga Arbritator – berperan dalam merumuskan rambu-rambu perniagaan dan kemitraan usaha, serta menyelesaikan konflik kepentingan yang merugikan salah satu pelaku (terutama yang lemah) yang beranggotakan para pemuka daerah dan tokoh yang disegani.

Pemerintah (Pemerintah Daerah) dan Lembaga Keuangan Mikro merupakan kelembagaan primer dalam rekayasa kawasan kertanian terpadu, artinya merupakan lembaga yang berpengaruh langsung terhadap keberhasilan dalam penerapannya. Oleh karena itu, secara khusus perlu dibahas tentang Lembaga Keuangan Mikro yang melalui perannya dapat meningkatkan usaha ekonomi skala mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang terkonsentrasi pada sektor pertanian (petani), perdagangan dan industri rumah tangga (84.7%). Pertumbuhan UMKM (2003) sebesar 5.36%, lebih besar dibanding pertumbuhan usaha skala besar (4.04%) membuktikan peran UMKM yang sangat besar dalam menopang pertumbuhan ekonomi nasional.

Pengembangan UMKM terhambat oleh kemampuan permodalannya yang rendah, akibat lemahnya akses kepada lembaga keuangan formal. Sampai saat ini UMKM masih sulit memenuhi persyaratan administratif yang ditetapkan oleh lembaga perkreditan mikro yang ada, hanya 12% UMKM yang mempunyai akses kepada perbankan yang disebabkan oleh beberapa keterbatasan yaitu:

1) Produk bank tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi UMKM. 2) Pencadangan yang berlebihan terhadap resiko kredit UMKM. 3) Biaya transaksi kredit UMKM relatif tinggi.

4) Persyaratan teknis bank (proposal dan agunan) kurang terpenuhi baik. 5) Monitoring dan koleksi kredit UMKM tidak efisien.

6) Bantuan teknis masih harus disediakan oleh bank sehingga biaya pelayanan UMKM relatif mahal.

7) Bank belum terbiasa dengan pembiayaan UMKM.

Kredit Usahatani (KUT) dan Kredit Umum Perdesaan (KUPEDES) merupakan kredit bersubsidi dari Pemerintah untuk usahatani dan usaha penunjang pertanian lainnya. Salah satu tujuan KUT adalah untuk memacu penerapan teknologi pertanian, khususnya untuk pemilihan input produksi. Kredit program semacam KUT ini adalah alat yang sangat efektif dalam peningkatan produksi melalui program intensifikasi. Tingkat bunga yang rendah dan prosedur yang relatif mudah dalam pelaksanaan penyaluran kredit program telah mendorong adopsi teknologi yang direkomendasikan dan mendorong petani ke arah yang lebih baik. Kredit program adalah langkah awal yang strategis untuk memberdayakan golongan ekonomi lemah untuk mengatasi aksesibilitas mereka terhadap kredit umum. Dalam kredit program ini yang perlu diperbaiki adalah prosedur administrasi yang masih relatif panjang yang menjadi penyebab utama keengganan masyarakat perdesaan untuk berhubungan dengan perbankan (Sudaryanto et al., 2002a).

Dikaitkan dengan arah pembangunan pertanian yang menitik-beratkan kepada pendekatan keterpaduan sektor pertanian, maka karakteristik skim permodalan usaha pertanian haruslah memiliki karakteristik sebagai berikut:

1) Dapat mengakomodasi besaran kredit yang diperlukan petani skala kecil.

2) Dapat melayani subsistem produksi (budidaya dan pengolahan), juga subsistem lainnya (distribusi dan pemasaran).

3) Bersifat lentur dalam hal waktu pelayanan dan penyaluran sesuai dengan struktur musim di pertanian, khsususnya untuk kredit produksi.

4) Memiliki prosedur pengajuan, penyaluran dan pengembalian yang sederhana dan mudah dipahami maupun dipenuhi.

5) Dapat memberikan pelayanan, monitoring penggunaan pinjaman dan kontrol terhadap penyaluran kredit yang menjamin kredit disalurkan kepada sasaran dalam jumlah dan waktu yang tepat.

6) Mampu menumbuhkan penumpukan modal (capital formation) melalui tabungan petani/kelompok tani yang pada gilirannya dapat mengurangi ketergantungan petani kepada sumber pembiayaan dari luar (terutama dari tengkulak).

Di Indonesia hingga saat ini belum ada lembaga khusus yang menangani pembiayaan bagi UMKM. Berbagai Lembaga Keuangan Mikro (LKM) telah dibentuk dengan jenis yang sangat bervariasi, baik dari sisi tujuan pendirian, kelembagaan, budaya masyarakat, kebijakan Pemerintah maupun sasaran lainnya. Secara umum, dua jenis LKM yang bersifat formal dan informal, disamping penyedia pinjaman yang bersifat perorangan dapat diuraikan menjadi:

1) LKM formal terdiri dari:

a. Bank, yaitu: Badan Kredit Desa (BKD), Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan BRI Unit.

b. Non bank mencakup: Lembaga Dana dan Kredit Perdesaan (LDKP), Koperasi (Koperasi Simpan Pinjam/KSP, Koperasi Unit Desa/KUD), dan Lembaga Pegadaian.

2) LKM informal terdiri dari Kelompok dan Lembaga Swadaya Masyarakat (KSM dan LSM), antara lain: Lembaga keuangan syariah (1992) yaitu Baitul Mal Wa Tamwil (BMT), Lembaga Ekonomi Produktif Masyarakat Mandiri (LEPM), Unit Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UEDSP), dan berbagai bentuk kelompok usaha lainnya. 3) Bentuk lain LKM adalah sumber keuangan perorangan yang sering dimanfaatkan

oleh UMKM seperti rentenir dan kolega (pedagang input, output atau pengolah). Di luar lembaga keuangan mikro tersebut di atas masih terdapat beberapa lembaga lain, tapi kemampuan finansial lembaga-lembaga tersebut tidak sesuai dengan jumlah pengusaha skala kecil menengah. Demikian juga Baitul Mal Wa Tamwil (BMT) dipandang belum mampu mengatasi masalah ekonomi secara nyata di masyarakat. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain belum memadainya sumberdaya manusia, dan manajemen, serta jiwa wirausaha (entrepreneurship) yang masih lemah dan permodalan (dana) yang terbatas.

Dalam upaya untuk mengatasi masalah jaminan kredit yang masih menjadi kendala bagi UMKM, terutama di sektor pertanian, Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No.9/2006 tentang Sistem Resi Gudang. Sistem ini memungkinkan

bukti kepemilikan atas barang yang disimpan oleh petani (document of title) di gudang untuk dialihkan, diperjual-belikan dan dijadikan agunan tanpa perlu persyaratan yang lain. Dalam hal itu, penguasaan terhadap barang jaminan berada di tangan pengelola gudang. Dengan Sistem Resi Gudang, maka penjualan komoditi dapat dilakukan sepanjang waktu maupun menunggu sampai harga naik, tanpa ada kekhawatiran bahwa komoditi menjadi turun kualitasnya karena berada dalam pengelolaan pengelola gudang yang dapat dipertanggungjawabkan. Sementara menunggu harga naik, petani pemilik komoditi dapat mengangunkan resinya guna memperolah pembiayaan bagi usahanya.

Dari bentuk-bentuk itu, lembaga koperasi yang paling dominan baik dari segi titik layanan (unit lembaga) maupun nasabah (peminjam). Dengan demikian koperasi, khususnya koperasi simpan pinjam (KSP) yang kegiatan usahanya dikhususkan pada aktivitas simpan pinjam, atau koperasi yang memiliki unit simpan pinjam (USP-Kop), berpotensi menjadi lembaga-lembaga pengelola pendanaan kredit mikro dan kecil, walaupun untuk itu koperasi juga masih terkendala dengan sumber permodalan. Oleh karena itu perlu dibangun keterkaitan antara koperasi dengan sumber keuangan lainnya baik bank maupun non-bank.

Pada dasarnya ada tiga fungsi yang harus dilakukan oleh LKM untuk pengembangan UMKM dari sisi pembiayaan, yaitu:

1) Memberikan jaminan atas kredit yang diberikan bank kepada UMKM.

2) Memberikan bantuan teknis kepada UMKM di bidang usaha sesuai kebutuhan. 3) Memberikan kredit kepada UMKM yang belum terjangkau oleh bank.

Masalah permodalan LKM diharapkan akan dapat diatasi melalui adanya keterkaitan antara LKM dengan institusi keuangan lainnya (Bank dan BPR). Selain itu, telah ditempuh terobosan dalam pemberian bantuan modal berbentuk Bantuan Perkuatan Dana Bergulir bagi Koperasi Simpan Pinjam di sektor pertanian (Dana Bergulir KSP), sumber dana berasal dari Pemerintah dan disalurkan ke KSP di sektor agribisnis untuk disalurkan kepada anggotanya.