• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan pola rekayasa kawasan pertanian terpadu tidak dapat dilepaskan dari dua fenomena kecenderungan (trend) perubahan lingkungan strategis yang terjadi saat ini, yaitu:

1) Pada lingkup internasional, perekonomian dunia berorientasi pada mekanisme pasar bebas secara konsisten, privatisasi dan pergeseran peran Pemerintah. Ini berarti harus dicapai kemandirian petani dan bentuk kerjasama antar sektor harus direkayasa melalui suatu keterpaduan sehingga terjadi secara wajar (alami) dan adil. 2) Pada lingkup nasional, terjadi penerapan konsep otonomi daerah yang berintikan

desentralisasi kekuasaan pemerintahan pada tingkat Daerah Otonom Kabupaten/Kota.

Proses integrasi globalisasi ke dalam perekonomian dunia, berlangsung secara bertahap, dimulai dengan liberalisasi perdagangan dunia (1950), arus investasi (1960), arus keuangan (1980), hingga kemajuan teknologi informasi dan transportasi yang telah mengaburkan batas negara (Jomo dan Nagaraj, 2001). Bersamaan dengan itu, iklim demokrasi telah mendorong munculnya amanah otonomi daerah dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai pedoman dalam penyusunan Undang-undang No.22/1999 (diperbarui dengan UU No.32/2004) tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No.25/1999 (diperbarui dengan UU No.33/2004) tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Hal mana menandai perubahan politik yang mendasar dalam pemerintahan dimana wewenang dan kekuasaan dalam ketatanegaraan bergeser dari pusat yang sentralistik menyebar ke daerah otonom Kabupaten/Kota di seluruh wilayah Indonesia.

2.6.1 Globalisasi

Globalisasi dapat dideskripsikan sebagai proses peningkatan integrasi dan saling keterkaitan dalam perekonomian antar negara dalam lingkup internasional dan perekonomian masing-masing negara yang menjadi semakin terbuka, serta hilangnya batas antar negara. Keterkaitan ini ditandai oleh peningkatan arus perdagangan, investasi dan keuangan, juga arus jasa, teknologi, informasi, dan sumberdaya manusia

melewati batas wilayah/negara (Nayyar, 2001).

Menanggapi globalisasi, kelompok yang optimis mengharapkan terciptanya perdagangan internasional yang menguntungkan, karena harga barang-barang akan mencapai titik terendah. Selain itu, kemajuan teknologi akan memungkinkan produksi menjadi berlimpah, sehingga teori Adam Smith tentang keseimbangan supply-demand

dan invisible hand akan bekerja. Pada kondisi seperti itu pihak yang kuat dan lemah bersaing dengan bebas (Rustiani, 1996).

Teori produksi neo-klasik menganggap bahwa subsidi pada input atau output

(harga) akan meningkatkan intensifikasi dan ekstensifikasi produksi. Subsidi diambil dan menggunakan dana yang berasal dari pajak yang tidak dinikmati secara merata oleh para pembayar pajak, selain itu subsidi mengakibatkan penggunaan input secara boros dan berlebihan (Lingard, 2002). Pada saat yang sama, negara-negara maju (developed countries) terus berjuang untuk menghilangkan hambatan-hambatan, baik yang berbentuk tarif maupun non-tarif pada produk industri, jasa, dan terutama produk olahan pertanian (Miles, 2006).

Di sisi yang lain, kelompok yang pesimis mengatakan bahwa persaingan sebagai konsekuensi dari liberalisasi perdagangan menyebabkan fragmentasi dan hancurnya usaha-usaha kecil oleh usaha besar yang kuat modalnya. Kondisi ini mendorong timbulnya usaha monopoli dan oligopoli sehingga posisi ekonomi negara berkembang (developing countries) akan semakin sulit. Kerjasama antara pihak yang kuat dengan yang lemah terjadi di dalam posisi tawar yang tidak setara mengakibatkan kegagalan pada semua bentuk kerjasama dan kemitraan. Hal ini menimbulkan ketergantungan pelaku ekonomi kecil secara permanen kepada pelaku ekonomi besar. Pendapat ini menyimpulkan bahwa globalisasi merupakan ancaman terhadap kemandirian, kesejahteraan, dan kelangsungan hidup perekonomian rakyat, serta mengandung ancaman potensial bagi negara berkembang yang menggantungkan diri pada pertanian, baik sebagai eksportir maupun importir (Goldin dan Knudsen, 1990).

Liberalisasi perdagangan dapat mengakibatkan jatuhnya harga komoditi pertanian, hal mana akan berpengaruh pada penggunaan sumberdaya lahan. Persaingan yang ketat dan keinginan untuk meningkatkan produksi sering menjadi alasan bagi investor lokal maupun asing untuk menggunakan sumberdaya lahan yang tidak berkesinambungan dan

proses produksi secara tidak layak (impropriate production practices) (FAO, 2006). Pertentangan pendapat tentang penetapan operasionalisasi globalisasi di sektor riil masih terjadi hingga saat ini. Pertemuan 148 negara anggota World Trade Organization

(WTO) di Hongkong (2005) berupaya, tetapi belum berhasil merumuskan strategi global untuk melaksanakan pasar bebas antara negara maju dan negara berkembang, terutama mengenai masalah tarif, hambatan (barriers), dan subsidi yang masih terjadi di bidang pertanian. Banyak ahli ekonomi yakin bahwa dihilangkannya hambatan- hambatan dalam perekonomian dunia akan mengangkat 500 juta penduduk dari kemiskinan dalam dasawarsa mendatang (Siddiqi, 2005).

Globalisasi masih dalam proses yang panjang tetapi bisa menjadi ancaman atau harapan, tergantung dari sisi mana kita memandang dan menghadapinya. Perdagangan bebas yang sudah menjadi kecenderungan harus dimanfaatkan sebagai peluang penguatan daya saing dengan kesadaran terhadap tuntutan konsumen serta pemenuhan standar mutu yang berkaitan dengan lingkungan dan kesehatan. Globalisasi harus dihadapi dengan peningkatan efisiensi dan produksi sumberdaya, khususnya sumberdaya lahan untuk memperkuat basis pertanian (Siddiqi, 2005).

Sejauh ini dampak globalisasi pada kegiatan pembangunan pertanian telah menunjukkan beberapa perubahan mendasar, yaitu (FAO, 2006):

1) Orientasi pembangunan yang bertujuan pada peningkatan produksi menjadi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.

2) Budaya agraris menjadi budaya industri berbasis pertanian.

3) Prioritas kegiatan, yang menekankan pada peningkatan produksi beras, beralih ke pengembangan palawija, hortikultura, perikanan, dan peternakan.

4) Manajemen pembangunan pertanian yang berorientasi komoditi menjadi orientasi fungsional, mencakup keseluruhan rentang agribisnis.

5) Birokrasi pembangunan pertanian yang terpusat menjadi sistem yang terdesentralisasi.

Pasar bebas yang berkeadilan (Fair Free Trade)

Mencermati berbagai pandangan di atas maka harus dibangun desentralisasi produksi dalam suatu integrasi yang dilandasi dengan model fair free trade, yang berarti

kelangsungan (sustainability) masing-masing pelaku ditentukan oleh tingkat kompetensi dan independensinya. Hal ini berlaku terutama untuk sektor pertanian, yang dapat dicapai melalui banyak cara, antara lain pembangunan kawasan pertanian yang mampu untuk (Eriyatno et al., 1995; Rustiani, 1996):

1) Meningkatkan frekuensi mata rantai proses dari produsen awal hingga akhir. 2) Berinteraksi yang integral dan efektif antara sektor hulu dan hilir.

3) Berorientasi dan berkonsentrasi pada usaha-usaha di setiap subsektor. 4) Meningkatkan produksi hulu melalui ketersediaan dana.

5) Membangun database (informasi) yang komprehensif dan terjangkau.

Pasar bebas memang merupakan pilihan terbaik untuk masa depan, namun perdagangan dalam pasar bebas harus adil (fair). Hubungan perdagangan harus disusun atas dasar prinsip perdagangan, bukan pemaksaan keinginan pelaku yang mempunyai kekuatan ekonomi. Pengurangan subsidi pada negara berkembang yang terus ditekankan oleh negera maju pada hakekatnya akan memperlambat pengembangan ekonomi negara berkembang (Stiglitz, 2005).

Sektor pertanian merupakan bagian yang paling sulit dipecahkan dalam negosiasi WTO. Pertemuan di Cancun, Mexico (2003) terhambat oleh pertentangan negara-negara Utara-Selatan. Pada hakekatnya negara maju justru menentang liberalisasi sektor pertanian karena petaninya telah menikmati subsidi yang sangat besar selama ini. Ekonomi pasar bebas menentang pemberian subsidi, namun dalam kenyataannya banyak negara-negara maju masih menerapkan pemberian subsidi, termasuk: Norwegia (71%), Jepang (69%), dan negara-negara Uni Eropa (42%). Akibatnya, terjadi pemborosan karena Jepang membelanjakan 34% dari penggunaan pupuk dunia padahal hanya memproduksi 3% dari total produksi beras di dunia. OECD (Organization for Economic Cooperation and Development) menggambarkan besarnya subsidi pertanian dari negara-negara maju saat ini sama besarnya dengan total GDP (Gross Domestic Product) dari seluruh negara-negara di Afrika (Siddiqi, 2005).

J.Stiglitz dan A.Charlton berpendapat bahwa pengertian fair trade sebagai social justice, dimana semua anggota WTO yang memiliki GDP atau GDP per kapita yang lebih tinggi membuka akses yang lebih besar kepada negara-negara yang lebih miskin tanpa harus disertai timbal balik (Miles, 2006). Petani di Indonesia pada umumnya tidak

mempunyai akses kepada modal, kredit, dan pasar, karena itu pengurangan subsidi harus dilakukan secara bertahap, dan subsidi tidak langsung harus diciptakan. Mengacu pada pengalaman di India menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan infrastruktur disertai dengan peningkatan pendidikan, penyuluhan, dan penyediaan fasilitas kredit pertanian berjalan dengan sangat efektif. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian tetap memerlukan peran dan dukungan Pemerintah (Anonim, 1996; Arsyad, 1999).

Globalisasi yang berlandaskan konsep fair free trade dengan pengertian pasar

bebas yang berkeadilan merupakan alternatif yang paling tepat untuk negara

berkembang, termasuk Indonesia. Konsep fair free trade dilandasi keseimbangan harga melalui mekanisme supply-demand, namun secara operasional dan pemberlakuannya tetap didukung dengan subsidi tidak langsung dari Pemerintah dan keberpihakan kepada petani. Pelaku ekonomi yang lebih besar dan kuat sudah sewajarnya memberikan kelonggaran lebih kepada pelaku ekonomi yang lebih lemah, sehingga keseimbangan antar pelaku ekonomi di latar belakangi tanggung jawab sosial (asymmetrical).

2.6.2 Otonomi Daerah

Pokok-pokok pikiran tentang otonomi daerah dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dalam rangka menghadapi

persaingan global, dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada Daerah Otonom secara proporsional.

2) Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembagian kewenangan berdasarkan azas dekonsentrasi dan desentralisasi.

3) Wilayah negara dibagi ke dalam Daerah Propinsi, serta Daerah Kabupaten/Kota yang bersifat otonom. Bagian tertentu dari wilayah administrasi Kabupaten/Kota dapat dijadikan Daerah Otonom (Arsyad, 1999; Bratakusumah dan Solihin, 2001).

Otonomi daerah diharapkan akan membawa perubahan paradigma pemerintahan, yaitu dari pemerintahan dengan orientasi manajemen yang sarwa negara menjadi berorientasi ke pasar, sehingga kepentingan pasar dan publik menjadi pertimbangan utama dalam menangani segala macam persoalan yang timbul. Perencanaan pengembangan wilayah yang menyangkut upaya integrasi multi-sektoral dan multi-level di banyak negara (Kanada, Finlandia) telah dilimpahkan menjadi proses di tingkat

regional, propinsi, atau distrik (kabupaten), bahkan di New Zealand termasuk penyusunan kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan (Thoha, 2001; FAO, 2006).

Desentralisasi kelembagaan Pemerintah dipahami sebagai prasyarat dari terjadinya peran serta masyarakat. Ditinjau dari sisi analisis kebijakan (policy analysis), manfaat yang terpenting dari desentralisasi adalah keputusan yang cepat dan sesuai dengan kondisi lokal. Namun disamping itu sering mengakibatkan terhambatnya penerapan kebijakan nasional dan konflik antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang berdampak pada pelaksanaan proyek pengembangan (Weimer dan Vining, 1999; UN, 2000).

Perubahan paradigma Pemerintah mendorong dilakukannya reformasi birokrasi

(reorientation dan repositioning), baik dalam bidang kelembagaan, sistem dan mekanisme kerja. Faktor-faktor ini merupakan hal yang sangat fundamental dalam menentukan pola pengembangan agroindustri yang akan memberikan nilai tambah (value added) pada pasar domestik produk pertanian primer dan olahan. Peningkatan menuju perekonomian yang agraris, sangat tergantung keberhasilan dari upaya-upaya untuk (Eriyatno, 2001):

1) Mendekatkan nilai tambah.

2) Meningkatkan nilai tukar produk petani.

3) Menurunkan nilai tunda yang memojokkan petani.

Mendekatkan nilai tambah berarti konsistensi dalam memacu kehadiran agroindustri masuk ke wilayah sentra produksi bahan baku. Disamping itu, nilai tunda terkait dengan keterisolasian desa harus diatasi dengan peningkatan sarana perhubungan dan penyimpanan (gudang) (Sjarkowi, 2000).

Dokumen terkait