• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep pengembangan wilayah adalah perencanaan yang didasarkan pada proses perekonomian wilayah secara menyeluruh dan terpadu (comprehensive & integrated development). Konsep pengembangan ini dalam implementasinya didukung dengan konsep tata ruang wilayah yang merupakan model corridor and radial concentric development, yaitu pengendalian pembangunan oleh masyarakat yang diarahkan dengan investasi yang ditanamkan oleh Pemerintah dalam corridor (infrastruktur) prioritas. Tata ruang merupakan suatu kombinasi dari penyebaran pemukiman dan pembangunan ekonomi wilayah. Komposisi ini berbentuk struktur keruangan wilayah yang kompleks dan memberi arti khusus bagi penampilan spasial wilayah tersebut.

Pada hakekatnya tata ruang (ruimtelijke ordering atau spatial order) berarti pengaturan geografis, dilandaskan antara lain pada rencana pengembangan wilayah. Menurut istilah geografi regional, ruang merupakan wilayah yang mempunyai batas geografi, berupa batas menurut keadaan fisik, sosial, atau pemerintahan, diterjemahkan dalam tata guna lahan (land use) yang merupakan bagian dari tata ruang, yang mengatur penggunaan tanah (Johara, 1999).

Tata ruang sebagai organisasi spasial menampakkan adanya unsur pengaturan dan nilai/status ruang-ruang di pewilayahan. Faktor-faktor yang mempengaruhi hierarki suatu daerah adalah aktivitas manusia, fasilitas yang ada untuk melakukan aktivitas, sumberdaya alam, dan sumberdaya manusia. Penataan ruang mempunyai arti yang penting dalam pengembangan wilayah, terutama karena adanya tata ruang yang jelas, disusun dan disepakati bersama akan mampu untuk (Craig, 2003):

1) Memberikan kepastian usaha bagi semua pihak yang terkait.

2) Melindungi keberadaan lahan pertanian yang sering tergeser karena dinilai tidak kompetitif.

3) Menghindarkan pertentangan (conflict) melalui proses penyusunan yang transparan, disertai dengan langkah sosialisasi dan integrasi tata ruang.

Semua kegiatan ekonomi terkait erat dengan ruang dan lokasi, oleh karena itu perencanaan ekonomi harus didahului dengan perumusan kebijakan pengembangan wilayah, diterjemahkan dalam penataan ruang, dan program pembangunan daerah. Penataan ruang mempunyai dampak biaya yang sangat luas, terutama dengan timbulnya jaringan infrastruktur yang ditetapkan. Ketersediaan dana pembangunan Pemerintah perlu diperhitungkan dalam menyusun perencanaan tata ruang. Sebaliknya, perencanaan tata ruang yang buruk akan berakibat pada penataan ulang (re-zoning) dan relokasi, sehingga menimbulkan biaya ekonomi dan sosial yang tinggi di berbagai sektor, termasuk produksi dan industri pertanian (Craig, 2003).

Strategi pengembangan wilayah (regional planning) melalui konsep tata ruang diarahkan kepada pengaturan wilayah dalam keruangan yang bersifat menyeluruh, terpadu, dan regional (comprehensive, integrated, and regional development). Hal ini dilakukan untuk menggali dan memanfaatkan potensi geografi dan sumberdaya yang ada, khususnya di wilayah perdesaan. Kombinasi yang unik dari berbagai sumberdaya yang ada di suatu daerah membentuk kompetensi wilayah tersebut untuk fungsi ekonomi tertentu (Warpani, 1980). Seringkali pengembangan wilayah menghadapi beberapa persoalan dan kendala yang mencakup beberapa aspek, yaitu kebijakan penggunaan dan strategi pengembangan lahan yang ada (Riyadi, 2001).

Setiap daerah mempunyai sistem pengolahan sumberdaya alam, tenaga kerja, dan produksi, yang merupakan kegiatan pengembangan setiap daerah dalam usahanya untuk

mencukupi kebutuhan dan mengembangkan daerahnya secara maksimal. Kekurangan dan kelebihan di masing-masing daerah menjadi penyebab terjadinya kegiatan ekspor- impor antar daerah (Warpani, 1980). Pemilihan kawasan strategis yang ditetapkan untuk mendorong pengembangan di kabupaten/kota berpengaruh besar pada penataan ruang, karena prioritas penataan wilayah dipilih sesuai arah pengembangan wilayah itu. Pemanfaatan dan peruntukan sumber air menjadi salah satu acuan untuk penyusunan rencana tata ruang wilayah. Pengembangan sumberdaya air pada wilayah sungai yang ditujukan bagi peningkatan manfaat guna memenuhi kebutuhan air baku untuk berbagai keperluan (diantaranya untuk pertanian) dilaksanakan sesuai tata ruang (FAO, 2000).

Undang-undang No. 24/1992 dan No. 119/1992, tentang Penataan Ruang memberikan perlindungan khusus untuk para petani sehamparan dan mengamanahkan bahwa tata ruang adalah pola dan wujud struktural pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang, dan berkelanjutan. Penataan ruang juga merupakan salah satu instrumen dalam pengelolaan lingkungan hidup, karena itu harus dilakukan dengan memperhatikan kemampuan dan daya dukung alami ruang tersebut dalam mengkonservasi air dan menjalankan fungsi-fungsi ekologisnya, terutama dalam kaitannya dengan daya tampung (ruang sebagai wadah) dan daya dukung lingkungan (ruang sebagai sumberdaya alam). Kemampuan alami tersebut sangat ditentukan oleh komposisi biotik dan abiotik serta penutupan lahan di atasnya serta jenis tanah, jenis geologi, kondisi hidrologi, kemiringan lahan, serta faktor klimat (Künzel, 1996).

Pengelompokan dalam penataan ruang dilakukan berdasarkan fungsi utama kawasan. Hal ini dimaksud untuk membagi ruang yang bisa dimanfaatkan sumberdayanya dan ruang yang harus dijaga kelestariannya. Melalui perencanaan tata ruang, dampak negatif lingkungan yang mungkin terjadi dapat diantisipasi dan dihindari dalam rangka tercapainya pembangunan yang berkelanjutan. Untuk itu perencanaan keruangan wilayah harus bersifat menyeluruh, terpadu, dan memenuhi kaidah pembangunan berkelanjutan, yaitu:

1) Faktor ekonomi, berkaitan langsung dengan kegiatan pembangunan (faktor penyebab), direpresentasikan oleh kebutuhan konversi lahan (pemukiman, pertanian

dan industri) yang selalu berubah. Setiap peralihan penggunaan lahan harus dihitung besarnya kadar pencemaran lingkungan yang ditimbulkan.

2) Faktor ekologis, berkaitan dengan kemampuan alamiah untuk mendukung kegiatan pembangunan yang berlangsung serta dampaknya (faktor akibat).

3) Faktor alokasi ruang secara proporsional, yaitu terpenuhinya syarat minimal alami dari suatu wilayah, sesuai dengan kemampuan daya dukung lingkungan. Hal ini diperhitungkan sebelum dilakukan konversi lahan untuk kepentingan pembangunan. 4) Faktor pendekatan keterpaduan, yaitu keterpaduan dalam konsep penataan ruang

wilayah yang terjadi antar sektor pembangunan serta keterpaduan vertikal (skala lokal, regional dan nasional).

5) Faktor pendapatan penduduk, yaitu upaya untuk meningkatkan pendapatan di berbagai sektor dengan tetap menjaga kualitas lingkungan pada setiap skenario pembangunan yang dirancang.

Lima faktor di atas pada hakekatnya menggambarkan keterkaitan antara tata ruang dengan dampak yang terjadi akibat pembangunan terhadap lingkungan. Dampak negatif yang mungkin terjadi harus diantisipasi dan dihindari dalam rangka tercapainya tujuan pembangunan yang berkelanjutan. Dalam upaya pelestarian lingkungan ini, disadari sepenuhnya bahwa perencanaan secara nasional harus didukung oleh implementasi pada tingkat lokal (Brody, 2003).

Menurut Marsudi (1992) dan Johara (1999), pengkajian tata ruang dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai teori yang telah dikembangkan, antara lain: Teori Lokasi oleh Von Thünen sebagai landasan bagi teori-teori penggunaan tanah (pertanahan) modern, Model Gravitasi, Analisis Input Output, dan Teori Kluster. Teori-teori ini dikembangkan untuk penggunaan pada situasi yang berbeda.

2.2.1 Teori Lokasi (Location Theory)

Setiap kegiatan manusia selalu memerlukan lokasi tanah dan kondisi lingkungan yang baik. Dalam hal ini harga memegang peranan yang penting dan menentukan pemilihan serta intensitas persaingan untuk mendapatkan tanah. Motivasi ekonomi manusia adalah untuk dapat mencapai target keuntungan yang maksimum, biaya transpor minimum dari penggunaan tanah di lokasi yang memadai. Untuk itu, maka

diperlukan pemahaman tentang kebijakan lokasi dan struktur spasial yang menyangkut pola penggunaan tanah, lokasi industri dan interaksi spasial.

Konsep dasar dari Teori Lokasi memerlukan kajian struktur spasial terhadap sistem jaringan nodal dan hierarki, blok diagram, bangunan normatif konsep pendekatan spasial ekonomi. Wacana teori ini tidak lepas dari interaksi aspek sosial, fisik dan ekonomi. Teori Lokasi masuk ke bidang ilmu ekonomi sejak Von Thünen mengembangkan teorinya sekitar tahun 1880. Teori Lokasi kemudian diperkenalkan secara utuh oleh Walter Isard pada tahun 1952, sehingga konsep pemilihan lokasi produksi mulai disadari pengaruhnya terhadap efisiensi, serta mulai masuk dalam ilmu ekonomi.

Von Thünen pada dasarnya mengembangkan Teori Lokasi secara keruangan. Lingkaran lokasi yang disusunnya merupakan daerah yang efisien sebagai lokasi kegiatan usaha tertentu dalam daerah tersebut. Teori yang dimulai oleh Launhardt diteruskan oleh Weber yang membahas teori tempat lokasi yang kemudian berkembang pesat. Akhirnya Hotelling mengembangkan teori yang merupakan sumbangan penting dalam perkembangan keseimbangan keruangan. Sejak Isard berhasil mengintegrasikan Teori Lokasi jalur Von Thünen dan Launhardt/Weber dan mengintroduksikan peralatan yang dikenal dalam ekonomi, maka Teori Lokasi lebih diterima di kalangan ahli ekonomi. Dalam perkembangan selanjutnya tampaknya teori tentang tempat lokasi dan ketergantungan lokasi menyatu dalam bentuk yang disebut mikro ekonomi spasial. Sebaliknya teori yang dirintis oleh Thünen menjadi landasan bagi teori pertanahan modern (Johara, 1999).

Teori Lokasi maupun Teori Pertumbuhan Ekonomi Wilayah (Growth Theory) sependapat tentang adanya tahapan perkembangan dan pertumbuhan suatu wilayah perdesaan. Transformasi struktural wilayah perdesaan melalui industrialisasi untuk menumbuhkan produktivitas sumberdaya manusia, dapat dilakukan terutama dengan pengaturan tata ruang dan infrastruktur (prasarana) yang progresif di wilayah perdesaan. Peter Hall menyimpulkan bahwa perencanaan dan penataan dalam pengembangan wilayah merupakan upaya perancangan investasi usaha dan masyarakat melalui penataan ruang dan penciptaan fasilitas menjadi insentif yang positif untuk investasi.

Menurut Claudius Petit, hal itu menunjukkan bahwa perencanaan tata ruang harus dilakukan oleh dan untuk masyarakat di wilayah itu sendiri (Gillingwater, 1975).

Teori Lokasi untuk industri (Industrial Location Theory) menyatakan bahwa investor yang akan membangun suatu industri, secara rasional dan komprehensif mempertimbangkan dan memilih lokasi yang mampu menghasilkan keuntungan maksimal. Dengan pola pikir ini, maka pelaku industri akan tertarik pada lokasi yang paling kompetitif dalam hal upah tenaga kerja, biaya energi, ketersediaan pemasok, fasilitas komunikasi, pendidikan dan diklat, kualitas pelayanan dan tanggung jawab Pemerintah Daerah (Smith, 1973; Glasson, 1992; Arsyad, 1999; Dirdjojuwono, 2004).

2.2.2 Model Gravitasi (Gravity Model)

Model Gravitasi merupakan pendekatan yang fleksibel untuk analisis keterkaitan dan interaksi antara wilayah pusat dan daerah tepi maupun antar wilayah pusat. Model ini menghitung bobot (tingkat) keterkaitan yang dilandaskan pada dua komponen yaitu besarnya massa (mass) dan jarak antara titik-titik wilayah (nodes). Komponen massa menunjukkan tingkat dominasi ekonomi suatu titik wilayah, sedangkan komponen jarak menunjukkan pertimbangan lain yang lebih bersifat non-ekonomi (Misra et al., 1978).

Tingkat simplikasi dalam model ini seringkali dianggap terlalu berlebihan. Keterkaitan antar wilayah merupakan hubungan yang kompleks yang tidak terwakili hanya oleh dua komponen. Namun Richardson berpendapat bahwa Model Gravitasi tetap menjadi model yang secara praktis mampu menunjukkan potensi hubungan antara daerah yang berpengaruh (dominant) terhadap daerah-daerah lain yang dipengaruhinya (dominated). Gambaran tentang potensi ini digunakan untuk penyusunan prediksi yang sangat diperlukan dalam perencanaan perkembangan wilayah. Model Gravitasi menekankan pada kekuatan daya tarik teoritis dari suatu wilayah daripada arus keterkaitannya terhadap wilayah yang lainnya. Namun dengan analisa yang cermat akan tercermin potensi arus keterkaitan dari beberapa wilayah penelitian (Gillingwater, 1975).

Permasalahan yang dihadapi dalam penggunaan Model Gravitasi adalah keterbatasan data, oleh karena itu prinsip wilayah fungsional dan wilayah administrasi harus mampu dipadukan, sehingga diperoleh hasil yang dapat diimplementasikan. Hal

ini terkait erat dengan penentuan kriteria pewilayahan yang dijadikan dasar penyusunan wilayah perencanaan (planning region).

2.2.3 Analisis Input Output

Analisis Input Output adalah teknik yang digunakan untuk kuantifikasi tingkat keterkaitan antara wilayah pusat dengan daerah tepi, atau pasangan pusat-pusat wilayah sehingga dapat diidentifikasi tingkat (derajat) keterkaitan dari jaringan yang ada. Analisis ini digunakan untuk identifikasi struktur dan hierarki dari hubungan pewilayahan. Keterkaitan diukur dari besar dan arah arus hubungan fungsional yang terjadi.

Hubungan fungsional di dalam wilayah ini dapat ditelusuri dari banyak pendekatan, misalnya arus komoditi intra-regional, pola komunitas dan arus migrasi; kepadatan komunikasi telpon; dan pola perjalanan dari sentra-sentra tenaga kerja ke tempat kerja; distribusi air irigasi ke wilayah pertanian. Kaitan-kaitan ini dapat diikhtisarkan dalam hubungan wilayah dan daerah-daerah nodal dalam suatu kerangka tata ruang yang lebih luas. Kalau daerah tidak sama besarnya dan tidak mengalami tingkat pertumbuhan yang sama, maka sistem regional sebagai suatu keseluruhan akan memperlihatkan tingkat ketidak-seimbangan yang ada, dan satu atau dua daerah yang mendominasi daerah-daerah lainnya. Arus dalam perekonomian nasional sering lebih berkaitan dengan produksi, jaringan infrastruktur interregional, meliputi jaringan transportasi, komunikasi, sistem jaringan sumberdaya manusia, air, listrik, daripada dengan hubungan-hubungan jasa yang mendominasi arus intraregional. Kerangka interregional ini bersifat hierarki. Secara makro, hierarki keterkaitan wilayah ini mengalami perkembangan yang cepat, sehingga mempunyai efek arus balik terhadap lokasi kegiatan-kegiatan ekonomi karena pada hakekatnya semua industri dan jasa berorientasi pada pasar (Glasson, 1992).

Analisis Input Output juga merupakan teknik yang berguna untuk menguraikan dan menggambarkan daya saing dari suatu daerah dalam hubungannya dengan keterkaitan antar wilayah. Dalam analisis ini potensi terjadinya impor diabaikan, atau diasumsikan dalam suatu angka tetap atau faktor yang ditentukan secara empiris atas

dasar data masa lalu. Faktor impor pada hakekatnya sangat dipengaruhi oleh tingkat keterbukaan perekonomian suatu negara dimana analisis ini dilakukan.

Dengan segala keterbatasan yang ada, Analisis Input Output tetap merupakan pendekatan yang praktis dan mampu memberikan gambaran yang berguna. Keunggulan Analisis Input Output karena menggunakan pendekatan keseimbangan yang sederhana, bersifat netral dan mampu menyesuaikan dengan pola perekonomian yang ada. Hal-hal ini yang menjadikan Analisis Input Output banyak digunakan.

Analisis Input Output berguna untuk meramalkan perekonomian wilayah dalam jangka pendek. Untuk peramalan itu perlu ditambahkan beberapa pendekatan dan asumsi dasar yang sangat menentukan ketepatan dari hasilnya, namun seringkali penetapan asumsi ini yang justru menghambat sehingga Analisis Input Output sulit dilaksanakan. Hal ini diatasi dengan membatasi asumsi dasar pada beberapa faktor penting dengan data yang tersedia. Beberapa manfaat dari Analisis Input Output yang paling berguna adalah prediksi dampak (multiplier effect) dari suatu pola pengembangan, baik terhadap peningkatan ekonomi, pengadaan kesempatan kerja, maupun sasaran-sasaran lain dari rancangan pengembangan wilayah (Glasson, 1992).

2.2.4 Teori Kluster

”Kluster” selain merupakan salah satu teori dalam pengembangan wilayah yang dilengkapi dengan teknik analisa, juga telah berkembang menjadi istilah yang digunakan untuk menggambarkan pengembangan kelompok dalam tata ruang, serta mengilhami pengembangan kawasan. Oleh karena itu, prinsip-prinsip Kluster perlu dipahami dalam merekayasa suatu kawasan pertanian terpadu. Teknik Analisis Kluster pada definisi fungsionalnya adalah alat untuk memilah data yang tidak teratur dari beberapa situasi, menganalisis, mencari derajat kesamaan (dan perbedaannya) serta membagikan dalam kelompok-kelompok. Dengan memperoleh kelompok data yang terstruktur dengan variabel yang ditentukan, maka dapat dilihat peta hubungan dan struktur keterkaitan yang dapat dikembangkan lebih lanjut (Everitt, 1980; Porter, 1998).

Lingkup geografis Kluster sering digambarkan sesuai dengan batas wilayah administrasi pemerintahan, namun dalam kenyataannya lingkup Kluster sering melampaui batas formal. Sebagai contoh, penerapan Kluster untuk agroindustri anggur

di California (USA) mencakup wilayah yang luas dengan keterpaduan lingkup yang rumit. Lebih dari itu, Kluster industri sepatu terkemuka di Italia mencakup seluruh wilayah negara. Berbeda dengan itu, Kluster patung ukiran kayu berpusat di pulau Bali, dan Kluster perabot kayu kelas ekspor di Jepara mencakup wilayah yang lebih terbatas yang terkonsentrasi pada proses produksi saja. Tampak bahwa lingkup geografis dari Kluster dapat mencakup kota, wilayah, hingga sekelompok negara yang saling terkait. Keterkaitan fungsional di dalam Kluster sering digunakan sebagai upaya untuk mencari cara-cara baru dalam bersaing serta terobosan bagi usahanya. Salah satu contoh adalah Silicon Valley yang tercipta menjadi Kluster yang paling inovatif. Keberhasilan penerapan konsep Kluster terutama tergantung dari kemampuan untuk menerapkan konsep itu sendiri (Gattorna, 1998). Hal ini menjelaskan bahwa manajemen pengelolaan merupakan fungsi yang sangat penting yang akan menentukan keberhasilan suatu Kluster (kawasan).

Uraian ini menunjukkan bahwa penataan ruang yang dilandaskan pada kejelian dan keberanian dalam menata keterkaitan fungsional (bukan geografis) merupakan pendekatan yang inovatif (sebagaimana terjadi di Silicon Valley, Amerika). Patut pula disimak keberhasilan perkembangan industrialisasi di Cina yang dikembangkan dengan menekankan pada penataan ruang yang disiplin, penyediaan infrastuktur yang lengkap, dan kemampuan manajemen pengelolaan yang efektif dalam memacu perkembangan industri, termasuk agroindustri (Ho dan Hsieh, 2006).

Dokumen terkait