• Tidak ada hasil yang ditemukan

3) Kawasan Industri Berwawasan Lingkungan

2.3.3 Komoditi Unggulan Hortikultura

Kata hortikultura berasal dari bahasa Latin, yaitu hortus yang bermakna kebun dan colere (cultura) yang berarti menanam (cultivate). Di jaman Belanda, hortikultura

diartikan sebagai perkebunan rakyat (tuinbouw), jadi mengandung arti pengusahaan tanaman di kebun seputar tempat tinggal (Ashari, 1995). Tanaman hortikultura jenis sayuran dapat dibedakan dari jenis buah-buahan, berdasarkan (Sutarya et al., 1995): 1) Tempat tumbuhnya: sayuran ada dua jenis yaitu (a) sayuran dataran rendah dan (b)

sayuran dataran tinggi. Lahan tumbuh sayuran dataran rendah di Indonesia terbagi menjadi empat jenis, yakni: (a) sawah bekas tanaman padi (60%), (b) sawah khusus sayuran (10%), (c) ladang (25%), dan (d) pekarangan (10%).

2) Berdasarkan tujuannya: usahatani sayuran terbagi dalam 5 macam, yaitu: a. Budidaya pekarangan, digunakan untuk keperluan sendiri.

b. Budidaya komersial, untuk dijual ke pasar. Aktivitas usaha dilakukan pada sebidang tanah yang cukup luas. Pemeliharaan tanaman dilakukan secara intensif dengan mempertimbangkan biaya dan perkiraan pendapatan.

c. Budidaya agroindustri, sama dengan budidaya komersial, hanya berbeda dalam luas, skala usaha dan transportasi. Aktivitas usaha dilakukan di tempat yang jauh dari pasar dan memerlukan proses/pekerjaan yang lebih kompleks dan bervariasi.

d. Budidaya sayuran olahan (agroindustri). Hasil panen diolah lebih lanjut, antara lain diawetkan dalam kaleng. Areal usahatani ini sangat luas dengan menggunakan peralatan mesin pertanian yang canggih. Beberapa aktivitas usaha yang dilakukan dalam pengolahan hasil panen ini dengan proses: (i) pengalengan dengan penggunaan bahan pengawet, (ii) pembekuan untuk diawetkan dengan suhu rendah, dan (iii) dehidrasi melalui pengeringan atau cara lain sebelum disimpan.

e. Budidaya yang dilakukan dalam rumah kaca (ruang terkontrol), tujuannya untuk memproduksi sayuran di luar musimnya. Usahatani ini mahal namun prospeknya baik karena dapat mensuplai pasar setiap saat dengan kualitas produk yang tinggi.

Sebagian besar dari sayuran dataran rendah (>50%) tidak ditanam sebagai pola tanam tunggal (monokultur) tetapi sebagai tanaman campuran (tumpangsari) atau tanaman sisipan (mixed cropping, intercropping, relay cropping). Beberapa alasan petani menggunakan pola tumpangsari adalah:

1) Mengurangi risiko gagal panen.

2) Pemanfaatan tanah yang lebih baik pada satuan waktu yang sama. 3) Keuntungan dari penggunaan sarana produksi dan tenaga kerja.

Menurut catatan Direktorat Jendral Hortikultura, Departemen Pertanian (2005), tanaman hortikultura yang berumbi seperti bawang, tumbuh paling baik di tanah jenis aluvial, latosol atau tanah andosol yang ber-pH antara 5.15-7.0, ketinggian maksimum 250 m dpl (di atas permukaan laut), beriklim kering dengan suhu 25-32oC dengan suhu rata-rata tahunan 30oC, curah hujan 300-2.500 mm/tahun, dan cuaca dengan penyinaran matahari >12 jam per hari. Tanaman hortikultura bawang merah yang kekurangan sinar matahari akan menyebabkan pertumbuhan umbi yang kecil. Tanaman ini membutuhkan air yang cukup banyak selama pertumbuhan umbi, karena akarnya yang pendek. Namun, tanaman bawang merah juga tidak tahan terhadap genangan air dan tempat yang selalu basah (Rahayu dan Berlian, 2004).

Salah satu resiko dalam usahatani bawang merah adalah kegagalan panen akibat serangan hama. Hama utama yang menyerang tanaman bawang merah adalah ulat bawangatau disebut ulat grayak Spodoptera exigua (Lepidoptera: Noctuidae) dan lalat grandong (Lyriomiza Sp), karena sulit dibasmi (Suheriyanto, et al., 2000). Pencegahan hama dan penyakit pada tanaman bawang merah ini dapat dilakukan dengan menggunakan cara manual (fisik), musuh alami (biologi), atau pestisida (kimia). Hama ulat bawang memiliki arti yang sangat penting mengingat tingkat serangannya tercatat mencapai 21% dari total lahan produksi yang ada. Teknologi pengendalian yang paling efektif adalah menggunakan insektisida, dengan dosis yang tinggi. Cara ini dikombinasikan dengan penggunaan perangkap lampu (light trap). Menurut Negara (2003), ulat bawang dapat menyerang tanaman bawang merah sejak fase vegetatif sampai saat panen, dan pada serangan berat dapat menyebabkan kerugian total.

Serangan OPT (organisme pengganggu tanaman) yang terjadi hampir setiap musim tanam mendorong petani untuk menggunakan pestisida dan insektisida sebagai tindakan pengendalian, dengan penggunaan yang cenderung terus meningkat dalam frekuensi dan dosis yang digunakan. Perilaku petani ini mengakibatkan peningkatan biaya pada usahatani (Herwanto, et al, 2005).

Usahatani dari hortikultura memerlukan penanganan yang lebih intensif dibanding tanaman pangan, sehingga memerlukan modal yang lebih besar pula, namun nilai jual produknya juga lebih tinggi, sehingga memadai. Pola budidaya hortikultura masih bergantung pada musim, karena pada musimnya tanaman mudah dikendalikan dan hasil panennya tinggi. Akibatnya persediaan komoditi menjadi berlebihan di musim panen dan menurun di luar musimnya. Karena itu pada musim panen raya, penawaran jauh lebih besar dibandingkan dengan permintaan, sehingga posisi tawar petani menjadi lemah dan harga turun bahkan seringkali petani terpaksa menjual dengan merugi.

Di dalam era globalisasi peluang pasar hortikultura di dalam dan di luar negeri menjadi terbuka dan kompetitif. Sistem perniagaan hortikultura saat ini masih belum efisien, hal ini tampak dari perbedaan harga pada tingkat petani yang sangat rendah dibandingkan dengan harga pada tingkat konsumen. Untuk meningkatkan daya saing komoditi hortikultura harus dilakukan perubahan dari pola usahatani yang tradisional ke pola usahatani yang komersial melalui usaha pertanian terpadu.

Mekanisasi (penggunaan teknologi) untuk peningkatan usahatani merupakan alternatif untuk dapat memenuhi persyaratan kualitas produk yang ditetapkan oleh analisa pemasaran menekankan pada teknologi yang bersifat (Austin, 1981):

1) Spesifik daerah setempat yang mampu meningkatkan produksi dan mutu panen. 2) Dapat mengurangi resiko gagal panen dan menekan kehilangan hasil panen. 3) Hemat penggunaan air.

Pola produksi hortikultura yang berfluktuasi sesuai musim harus diupayakan agar lebih stabil untuk setiap periode waktu (Gunawan et al., 1997). Komoditi unggulan hortikultura ditandai dengan kemampuan produksi pada off season dengan kualitas yang baik selain dicirikan oleh produktivitas tanaman dan volume produksi yang tinggi dibandingkan dengan komoditi lainnya (Anonim, 2002).

Agroindustri hortikultura mempunyai peran yang sangat penting dalam pengembangan kawasan pertanian dengan pola Agroestat. Peningkatan agroindustri pada sentra-sentra budidaya akan merealisasi transformasi struktur perekonomian perdesaan dari dominasi sektor pertanian ke dominasi sektor industri (agroindustri) yang didukung ketersediaan bahan baku hortikultura secara berkesinambungan (Sudaryanto et al., 2002a).

Untuk peningkatan produksi komoditi hortikultura, rekayasa genetika bioteknologi dapat mempercepat masa tanam hortikultura sehingga panen dapat dilakukan lebih cepat. Dalam hal ini perusahaan agroindustri dapat berperan dalam mendiseminasikan kepada para petani (Rustiani et al., 1997). Indonesia yang terletak di kawasan hutan tropik basah, memiliki potensi sumberdaya alam berupa berbagai mikroba yang diperlukan bagi rekayasa genetika (Marx, 1989).

Pemikiran tentang komoditi unggulan untuk setiap satuan wilayah mulai digagas dan dicetuskan di Oita, Jepang disebut: One Village One Product. Program ini kemudian (Maret 2002) mulai diadopsi dengan sebutan One Tambon One Product (OTOP) di Thailand, karena penerapannya di wilayah administrasi seluas desa yang disebut “tambon”. Konsep dasar dari OTOP adalah pengembangan dan peningkatan komoditi/produk lokal dengan sinergi dan konsentrasi sumberdaya di wilayah setempat untuk kualitas perdagangan internasional (ekspor). Konsep ini menarik perhatian dunia setelah berhasil memasarkan produk-produk lokal Thailand melalui pameran di Shibuya, Tokyo, Jepang pada September 2002 (JETRO, 2003).

Sesuai pertimbangan dari aspek teknis, ekonomi, sosial dan lingkungan, komoditi unggulan hortikultura yang harus dikembangkan di negara tropis seperti Indonesia antara lain adalah sayuran, khususnya cabai, bawang merah, kentang, kubis dan tomat (Sudaryanto et al., 2002a). Peningkatan luas lahan per tahun rata-rata (secara nasional) dari tanaman sayuran (olericulture), sebagai salah satu jenis tanaman hortikultura, kira- kira 3.3%. Sedangkan angka ekspor tahunan sayuran segar dari Indonesia hanya 0.7%, dengan demikian 99,30% dari total produksi sayuran segar digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri.

Keunggulan suatu komoditi tidak hanya ditentukan oleh sifat komoditi itu, tetapi juga interaksi antara komoditi tersebut dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial. Suatu komoditi yang memberikan pengaruh yang positif (peningkatan nilai tambah, kesejahteraan, kesempatan kerja) terhadap lingkungan yang spesifik pada setiap wilayah pengembangan dapat dikatakan unggul. Pengembangan komoditi unggulan harus berbasis agroindustri karena sebagian besar dari perolehan nilai tambah dibentuk pada mata rantai pengolahan (Anonim, 2002).

2.3.4 Agroindustri

Sub-sektor agroindustri meliputi kegiatan industri pengolahan dengan bahan baku hasil pertanian, meliputi proses pengawetan (preserving) dan pengolahan (processing) melalui proses alam atau kimia, penyimpanan, pengepakan, dan distribusi, dan industri pengolahan hasil pertanian, peralatan dan mesin pertanian, input pertanian (pupuk, pestisida dan lainnya) dan jasa-jasa sektor pertanian. Usaha industri pertanian yang dikategorikan dalam agroindustri dapat dibedakan dari usaha non-pertanian karena produk pertanian yang digunakan sebagai bahan baku memiliki karakteristik dan proses produksi yang berbeda-beda dan produk serta budidayanya sangat tergantung pada iklim (musiman), adanya gestation period (tidak tahan lama dan mudah rusak), sangat beragam (bervariasi) dan memakan tempat. Tingkat dan cakupan dari proses pengolahan sangat luas, dari proses pembersihan, penyaringan, dan pengempukan hingga proses penggilingan bahan baku hasil pertanian sampai ke proses pemasakan, pencampuran dan penggorengan yang rumit menjadi makanan kaleng siap saji (Austin, 1992; Gumbira dan Sandaya, 1998, Sudaryanto et al., 2002a, 2002b).

Kekhasan agroindustri telah menciptakan kondisi saling ketergantungan dalam agribisnis, sehingga harus didalami empat jalur keterkaitan yang ada berikut ini, yaitu :

1) Rantai Alur Produksi. Perancangan alur kegiatan yang panjang dalam rantai

produksi harus dilakukan secara vertikal dan horizontal. Ketersediaan pasokan bahan baku yang berkesinambungan harus dipersiapkan sejak dari pengadaan benih dan perencanaan tanam di subsistem budidaya. Hal ini penting karena kekurangan bahan baku akan berakibat fatal, dan sebaliknya kelebihan juga akan menjadikan industri pengolahan tidak menguntungkan. Pertimbangan horizontal mencakup industri yang memakai bahan baku yang sama dan substitusi hasil olahan merupakan pesaing yang harus turut diperhitungkan.

2) Kebijakan Makro-Mikro Pemerintah. Kegiatan usaha agro sangat sensitif terhadap kebijakan Pemerintah dalam bidang pertanian, padahal di semua negara berkembang yang berbasis pertanian, kebijakan Pemerintah di sektor ini seringkali lebih bersifat politik karena menyangkut hajat sebagian besar rakyat.

3) Keterkaitan Kelembagaan. Struktur dan pengaturan kelembagaan sangat penting untuk menentukan efektivitas sistem. Petani budidaya adalah lembaga di sektor

pertanian yang berperan paling awal, mengelola sumberdaya lahan yang sangat luas dan mampu menciptakan lapangan kerja.

4) Keterkaitan Internasional. Usaha agro terkait erat dengan perdagangan

internasional. Teknologi informasi telah menjadikan pasar agro makin berkaitan dan bahkan telah menyatu.

Pemahaman tentang keterkaitan di atas merupakan hal yang harus dianalisa dalam merancang pola kerjasama agribisnis dalam format kawasan pertanian terpadu, sesuai sifat bahan bakunya yang berupa hasil budidaya pertanian. Lokasi industri, budidaya dan supporting industries (antara lain packaging) harus ditata dalam suatu keterpaduan wilayah guna meningkatkan efisiensi dan nilai tambah dari keseluruhan proses. Kekuatan sinergis dari agribisnis ini hanya akan tercipta kalau keterkaitannya dapat ditata dalam suatu kesatuan (Brown, 1994).

Sektor pertanian secara keseluruhan, mencakup rangkaian dari berbagai subsistem mulai dari subsistem penyediaan prasarana dan sarana produksi, antara lain industri pembibitan unggul, subsistem budidaya yang menghasilkan produk pertanian, subsistem industri pengolahan (agroindustri), subsistem pemasaran dan distribusi, serta subsistem jasa-jasa pendukungnya. Sektor pertanian adalah sektor yang paling luas dalam ekonomi masyarakat, karena itu harus dikembangkan bersama-sama dengan masyarakat pengguna secara partisipatif, menjadi sistem yang berkerakyatan dan terdesentralisasi. Pendekatan ini menjamin pola pengembangan yang direncanakan akan mempunyai peluang yang lebih besar untuk berkelanjutan dan mampu memberikan manfaat yang optimal bagi penggunanya. Masyarakat harus berperan aktif dalam proses pemahaman partisipatif ini antara lain dalam bentuk (Sudaryanto et al., 2002b):

1) Komoditi unggulan yang dikembangkan merupakan pilihan masyarakat, ditetapkan secara bersama sesuai dengan kondisi wilayah.

2) Partisipasi aktif masyarakat dalam proses pembentukan sistem pertanian yang realistis, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara nyata. 3) Sistem pertanian yang dikembangkan sesuai dengan kelembagaan yang ada.

Agroindustri pada sentra-sentra budidaya di perdesaan, masih menghadapi kendala strategis yaitu ketidak-tersediaan bahan baku, regulasi dan deregulasi sektor perdagangan yang tidak mendukung (Sudaryanto et al., 2002a). Secara lebih khusus,

peran agroindustri sangat penting dalam pengembangan kawasan pertanian terpadu. Industri produk olahan, dalam kenyataannya, mampu menjadi peredam fluktuasi harga hasil usahatani (mentah). Produk-produk hasil industri pengolahan pangan mempunyai kecenderungan stabil dibanding harga hasil budidaya di pasaran bebas yang sangat fluktuatif tergantung jumlah pasokan/panen (supply) dan permintaan (demand). Produk olahan hasil industri tersebut akan mampu memberikan nilai tambah yang besar kepada hasil usahatani karena mempunyai nilai jual yang stabil. Hal ini akan memberikan jaminan tingkat volume dan harga pembelian hasil budidaya pertanian (Hamenda, 2003). Dalam kerangka pasar bebas, investor asing di bidang pertanian akan beralih dari minat untuk mengekspor produknya ke Indonesia beralih kepada penanaman modal pada industri pengolahan pangan di Indonesia untuk ekspor dan pasar dalam negeri yang masih sangat potensial (Spencer dan Quane, 1999)

Oleh karena itu, kawasan pertanian terpadu yang berbasis komoditi unggulan harus diarahkan untuk dapat menghasilkan produk olahan (akhir) yang siap dipasarkan dan menjadi ciri khas daerahnya, jadi tidak hanya menjadi pemasok dari hasil budidaya pertanian. Dalam kawasan pertanian harus diupayakan pembangunan industri produk jadi yang berbasis pada komoditi unggulan supaya hasil budidaya pertanian tidak bisa dipermainkan oleh pasar. Terciptanya suatu kawasan agroindustri yang berbasis kepada komoditi unggulan terjadi jika prasarana dan sarana sebagai persyaratan suatu industri dapat dipenuhi oleh Pemerintah.

Komoditi unggulan hasil pertanian yang diolah oleh industri dan dipasarkan sebagai produk jadi (siap pakai) unggulan di pasar nasional maupun internasional, dapat menjadi penggerak pertumbuhan ekonomi lokal karena memanfaatkan keunggulan berbanding (comparative advantage), potensi kreatif masyarakat, dan teknologi lokal yang dapat membentuk keunggulan kompetitif (competitive advantage). Produk unggulan harus berakar pada komoditi unggulan sehingga mempunyai faktor penguat yang kokoh dan berkesinambungan. Dengan demikian masyarakat petani akan terpacu untuk mengembangkan pola pertanian yang berbasis industri. Hal ini akan dicapai bila setiap Kabupaten/Kota mempunyai industri untuk komoditi unggulan dari daerah masing-masing. Tugas Pemerintah untuk memberikan kesempatan kerja bagi setiap warga dan cara yang paling produktif untuk mengurangi pengangguran adalah dengan

menciptakan wirausaha yang sesuai dengan kompetensi yang dimiliki seseorang. Petani budidaya yang menghasilkan komoditi pertanian akan mendapatkan manfaat bila mampu memproduksi dan menjual produk hasil olahan (Anonim, 2002; Raj, 2006).

Stabilitas harga akan memberikan kepastian dan tingkat keuntungan yang baik (adil) bagi petani sehingga akan terjadi kerjasama secara alami antara petani dan industri, di mana petani akan menyediakan hasil budidaya yang dibutuhkan oleh industri dan industri mendapatkan jaminan pasokan dari petani sesuai jumlah yang dibutuhkan. Dengan demikian akan timbul satu sinergi yang baik antara petani dan industri yang ada di daerah tersebut. Masyarakat petani dengan sendirinya akan giat menanam dan menghasilkan komoditi unggulan yang dipilih bersama yang menjadi salah satu komoditi unggulan nasional.