• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejak tahun 1977 Pemerintah telah mengembangkan Program Anak-Bapak Angkat dan pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) dengan bentuk-bentuk derivatif-nya yaitu PIR Lokal, PIR Khusus, PIR Berbantuan, dan sejak 1986 dikembangkan PIR Transmigrasi. Pola PIR merupakan model kawasan terpadu yang mengintegrasikan

beberapa komponen, yaitu kelembagaan, hubungan kerja, sumber dana dan sistem pembayaran, alokasi lahan dan keagrariaan, perbankan dan pengorganisasian. PIR merupakan perwujudan dari tiga pendekatan, yaitu: (1) keterpaduan dalam usahatani (farming approach), (2) komoditi (commodity approach), dan (3) wilayah (regional approach).

Pada pola-pola PIR, dianut sistem inti dan plasma yang terdiri dari pelaku- pelaku ekonomi (independent individuals and firms) yang diatur dalam suatu kerjasama dengan tujuan untuk menciptakan pembagian keuntungan yang adil. Secara kelembagaan, Pola PIR memadukan dua lembaga primer yaitu perusahaan inti dan petani plasma. Perkebunan besar sebagai perusahaan inti yang memberikan dukungan di bidang produksi, pengolahan dan pemasaran, dengan petani perkebunan sebagai petani plasma yang menghasilkan bahan baku primer hasil pertanian untuk diolah oleh perusahaan inti. Di samping itu terdapat beberapa lembaga sekunder (pembantu) pada pola PIR yaitu Pemerintah Daerah, perbankan, keagrariaan, pekerjaan umum, pertanian, koperasi, transmigrasi, perindustrian dan perdagangan, kehutanan dan perkebunan, dan lembaga lainnya.

Hubungan mitra kerja antara dua lembaga primer berlangsung dalam proses produksi yang utuh. Hubungan kerja antar lembaga sekunder yakni kerjasama antar instansi terkait (Pusat, Provinsi, dan Kabupaten) dijalankan menurut fungsinya masing- masing di dalam wadah tim koordinasi PIR (TK PIR). Segala bentuk hubungan kerja dituangkan ke dalam perjanjian formal/resmi, yaitu:

a. Perjanjian antara perusahaan inti, petani plasma dan bank yang disebut clearing system, berupa kerjasama produksi antara perusahaan inti dengan petani plasma. b. Perjanjian kredit modal kerja dan penjaminan atas kredit petani plasma.

c. Akad kredit (konversi) antara petani plasma dengan pihak bank.

Pembiayaan proyek PIR berasal dari dana Pemerintah dan kredit bank. Berdasarkan sumber dananya, maka PIR dapat dibedakan menjadi PIR Berbantuan dan PIR Swadana. Dana dari Pemerintah dapat berasal dari bantuan luar negeri dan dalam negeri (APBN) yang digunakan untuk komponen kredit maupun komponen non kredit. Di dalam pelaksanaannya ketentuan kegiatan-kegiatan yang dibiayai dengan kredit dan komponen non kredit (sosial) yang diatur Pemerintah sangat bervariasi sesuai dengan

situasi, kondisi, dan komitmen-komitmen yang disepakati sebelum proyek PIR dibangun.

Untuk mencapai tujuan dari pendanaan oleh Pemerintah, maka telah dikeluarkan beberapa acuan teknis, yaitu (Soeripto et al.,1994):

a. Pola Koperasi Usaha Perkebunan - 100% saham dimiliki Koperasi Usaha Perkebunan,

b. Pola Patungan Koperasi dan Investor - 65% saham dimiliki Koperasi Petani dan 35% dimiliki oleh investor/perusahaan industri pengolahan,

c. Pola Patungan Investor dan Koperasi - 80% saham dimiliki perusahaan dan 20% oleh koperasi yang ditingkatkan secara bertahap,

d. Pola Build, Operate, and Transfer (BOT), dimana pembangunan dan operasi oleh perusahaan dan pada waktu yang ditentukan akan dialihkan kepada koperasi, dan e. Pola Bank Tabungan Negara (BTN), dimana perusahaan membangun kebun dan

atau pabrik dan pada waktu tertentu dialihkan kepada koperasi melalui Kredit Pemilikan dari BTN.

PIR membutuhkan lahan yang cukup luas tetapi harus dapat diperoleh dengan harga penggantian yang murah. Lahan tersebut umumnya berupa tanah terpencil milik negara maupun milik perorangan yang belum dimanfaatkan. Pencadangan lahan untuk PIR ditetapkan oleh Gubernur, setelah dibebaskan dari semua rencana penggunaan. Areal tersebut kemudian diatur tata guna tanahnya yaitu untuk plasma, sarana jalan, sarana sosial, lahan untuk perusahaan inti dan lahan cadangan. Dalam pelaksanaannya, beberapa kendala dijumpai dalam pelaksanaan Pola PIR, antara lain:

a. Pengalihan kebun kepada petani plasma umumnya mengalami keterlambatan. b. Petani plasma umumnya tidak mengetahui masa pengalihan kebun dari perusahaan

inti kepada petani plasma

c. Rata-rata produksi kebun inti (TBS – tandan buah segar/ha) lebih besar dari produksi kebun plasma untuk periode yang sama

d. Penerimaan TBS hasil panen kebun inti di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) berlangsung cepat, berbeda dengan hasil petani plasma yang harus menginap.

e. Petani plasma merasa dirugikan dalam penentuan harga TBS, rendemen CPO/ PK, dan cara pembayaran.

Permasalahan di atas juga merupakan akibat dari kebijakan Pola PIR yang memisahkan kepemilikan aset petani plasma dengan perusahaan inti.

2) Agropolitan

Konsep Agropolitan merupakan antisipasi dari ketimpangan antara wilayah perkotaan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dengan perdesaan sebagai pusat kegiatan sektor primer (pertanian) yang tertinggal. Interaksi ke dua wilayah ini secara fungsional saling memperlemah. Wilayah perdesaan mengalami penurunan produktivitas, sedangkan wilayah perkotaan sebagai pusat pasar dan pertumbuhan menerima beban berlebih sehingga menimbulkan masalah sosial dan lingkungan.

Perkembangan wilayah perkotaan sebagai pusat pertumbuhan tidak memberikan efek penetesan (trickle down effect), justru menimbulkan efek pengurasan sumberdaya dari wilayah sekitarnya (backward effect). Konsep growth pole menganjurkan investasi padat modal di pusat urban dengan harapan akan terjadi penyebaran pertumbuhan (spread effect) sehingga berdampak pada pembangunan ekonomi wilayah yang lebih luas. Namun pengalaman di negara sedang berkembang, kebijakan growth pole telah gagal untuk menjadi pendorong utama (prime mover) ekonomi di wilayahnya. Proses penetesan dan penyebaran yang ditimbulkan tidak cukup menggerakkan perekonomian wilayah itu (Rondinelli, 1985).

Friedman dan Douglass (1975), menyarankan bentuk Agropolitan sebagai aktivitas pembangunan yang terkonsentrasi di wilayah perdesaan (rural development) dengan batasan jumlah penduduk antara 50.000-150.000 orang. Strategi pengembangan Agropolitan ini dimaksud untuk menggerakkan ekonomi perdesaan dan penciptaan nilai tambah oleh pelaku lokal di tingkat perdesaan. Kawasan perdesaan didorong untuk tidak hanya menghasilkan bahan primer, tetapi juga bahan pangan olahan.

Konsep Agropolitan merupakan pengembangan wilayah perdesaan yang dilakukan dengan mengaitkan pada pembangunan perkotaan (urban development) secara berjenjang. Agropolitan dikembangkan di wilayah perdesaan karena sektor pertanian merupakan mata pencaharian utama dari masyarakat, selain itu ketersediaan lahan pertanian dan air yang masih banyak tersedia dan dibutuhkan dalam pengembangan Agropolitan.

Agropolitan mengandalkan desentralisasi, pembangunan infrastruktur setara kota di wilayah perdesaan. Pendekatan ini dimaksud untuk mendorong penduduk agar tetap tinggal dan berinvestasi di perdesaan.

Persyaratan pemberdayaan (enpowerment) masyarakat perdesaan menjadi kelemahan dari konsep Agropolitan. Dengan posisi tawar (bargaining position) yang lemah, masyarakat perdesaan tidak dapat menikmati nilai tambah dari proses interaksi wilayah. Kelemahan lain dari konsep ini adalah antisipasi terhadap kemungkinan terjadinya konversi lahan pertanian sebagai akibat dari adanya pembangunan infrastruktur dari proses pengkotaan. Hal ini akan menjadikan peran sektor pertanian berkurang secara bertahap.

Batas pengembangan Agropolitan ditetapkan dengan memperhatikan tingkat kemajuan dan luas wilayah; ciri agroklimat dan lahan, serta sumberdaya manusia/petani. Wilayah pengembangan di pulau Jawa cukup mencakup satu kecamatan, tetapi di luar Jawa pengembangan Agroplitan perlu lebih luas, mencapai skala kabupaten (district scale). Saat ini penetapan batas Agropolitan cenderung mengarah pada kemudahan operasional oleh karena itu mengikuti batas wilayah administratif.

Pengembangan Kawasan Agropolitan diawali dengan penetapan lokasi. Tahap berikutnya adalah penyusunan tata ruang dan bentuk organisasi pengelolaan sesuai dengan kebutuhan. Setelah itu adalah tahap penguatan sumberdaya manusia dan kelembagaan, sehingga bisa dihindari mengalirnya nilai tambah keluar kawasan yang tidak terkendali. pemukiman yang tidak memusat; aksesibilitas dengan kelas jalan yang sesuai; serta adanya tataruang yang memenuhi kebutuhan pengelolaan kawasan.

Penguatan kelembagaan lokal dan sistem kemitraan ditempuh dengan membentuk kemitraan antara petani perdesaan, Investor dan Pemerintah, dalam bentuk public private patnership. Prasyarat utama yang harus dipenuhi adalah terjaminnya keuntungan dari masing-masing pihak secara berkelanjutan. Pengembangan Agropolitan yang berhasil akan dapat membuktikan bahwa suatu wilayah dapat maju tanpa harus bertransformasi menjadi perkotaan atau berpindah dari dominasi sektor pertanian ke sektor industri/jasa. Agropolitan yang berkembang dicirikan oleh peran sektor pertanian (termasuk agroindustri) yang tetap dominan.

Peranan Pemerintah dalam pengembangan kawasan Agropolitan di tahap awal adalah memfasilitasi terbentuknya unit pengembangan kawasan. Perkembangan berikutnya Pemerintah mulai berkurang perannya dan pada tahap akhir, Pemerintah hanya berperan pada sektor publik.