• Tidak ada hasil yang ditemukan

REKAYASA SISTEM AGROESTAT

5. REKAYASA POLA AGROESTAT

5.1

Konsep Dasar Pola Agroestat

Agroindustri yang berporos pada budidaya pertanian melalui suatu keterpaduan wilayah dalam bentuk kawasan pertanian terpadu menjadi kekuatan sinergis untuk meningkatkan efisiensi dan nilai tambah dari keseluruhan sektor pertanian. Kawasan pertanian terpadu dirancang untuk merangkaikan berbagai kegiatan secara vertikal dan horizontal, sejak pemuliaan benih (pembibitan), budidaya, pengolahan, pengepakan, dan pengangkutan, hingga sampai pada konsumen. Pengembangan kawasan juga meningkatkan interaksi yang efektif antara sektor hulu dan hilir dalam mata rantai proses dari produsen awal hingga akhir.

Pengembangan kawasan pertanian terpadu pada sentra-sentra budidaya pertanian yang mempunyai komoditi unggulan merupakan alternatif pembangunan sektor pertanian dengan pendekatan keterpaduan wilayah. Keberhasilan konsep ini tergantung dari kemampuan implementasi dari konsep itu sendiri (aspek pengelolaan), khususnya dalam upaya untuk mendekatkan nilai tambah atau menghadirkan agroindustri masuk ke wilayah sentra budidaya bahan baku. Disamping itu, nilai tunda penanganan komoditi akibat keterisolasian desa harus diatasi dengan peningkatan sarana penyimpanan (gudang) dengan kapasitas dan pengelolaan yang memadai.

Selain itu, adanya kenyataan bahwa 60 persen penduduk Indonesia memiliki mata pencaharian dari usaha pertanian. Oleh karena itu, lahan pertanian merupakan harta yang tidak ternilai harganya baik dalam kehidupan ekonomi maupun sosial. Komposisi penggunaan tanah atau lahan di Indonesia adalah pekarangan 7.19%, ladang 18.57%, sawah 11.73%, perkebunan 14.64%, hutan 28.94%, dan lain-lain 18.93%. Dalam kenyataannya saat ini secara nasional kira-kira 60% petani tidak memiliki lahan (buruh tani), sedangkan petani yang mempunyai lahan rata-rata seluas 0.5 ha tanah kering (Simarmata, 1977; Johara, 1999).

Rekayasa Sistem Agroestat sebagai pengembangan kawasan pertanian terpadu, dimaksud untuk menjadikan struktur agribisnis terintegrasi secara utuh dalam satu manajemen. Bratakusumah dan Solihin (2001), menyatakan bahwa adanya otonomi daerah, dimana Pemerintah Daerah Otonom Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan

membentuk Badan Pengelolaan sesuai kebutuhan koordinasi dan fasilitasi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam upaya pengembangan kawasan pertanian terpadu yang berkeunggulan komparatif.

Tujuan utama dari rekayasa sistem Agroestat adalah peningkatan penghasilan petani sesuai dengan kompetensi dan kepemilikan sumberdaya lahan (tanah). Penambahan penghasilan petani diupayakan melalui peningkatan produksi sumberdaya lahan pertanian dan perolehan nilai tambah secara nyata dari keikutsertaan dalam proses industri pengolahan hasil pertanian.

Berlandaskan pada hasil analisis potensi dan permasalahan strategis, serta penyusunan strategi dasar pengembangan Agroestat, maka konsep Agroestat dapat dideskripsikan, sebagai berikut:

Agroestat merupakan pengembangan kawasan pertanian terpadu yang bertujuan untuk meningkatkan penghasilan petani (budidaya) secara berkesinambungan berbasis komoditi unggulan yang berdayasaing melalui pendekatan keterpaduan wilayah. Pola Agroestat dilandaskan pada proses perekonomian dengan mekanisme pasar bebas yang berkeadilan (fair free trade), serta penerapan desentralisasi pemerintahan pada daerah otonom tingkat Kabupaten/Kota.

Dengan konsep tersebut, Agroestat merupakan suatu pola pengembangan wilayah perdesaan melalui pembangunan sektor pertanian secara berkesinambungan

(sustainable). Pada hakekatnya rekayasa sistem Agroestat mengacu pada pola

pengembangan dan pengelolaan Kawasan Industri (komersial) yang telah dikembangkan sejak akhir abad ke-19 secara internasional dengan mekanisme pasar bebas. Pengembangan kawasan industri dilandasi pemikiran untuk mendapatkan keuntungan dari pengurangan biaya infrastruktur dari economic of scale dan pendekatan keterpaduan industri dalam wilayah. Dengan berkembangnya sektor industri, maka pada saat ini diperkirakan ada 12.000 kawasan industri yang beroperasi di dunia. Dalam perkembangan kawasan industri berwawasan lingkungan (EIP) yang memfokuskan pada kelestarian lingkungan masyarakat sekitar dalam kerangka regional dan dirancang sebagai suatu keterpaduan bisnis dan waste exchange network untuk memaksimalkan pengelolaan lingkungan dan efisiensi usaha (pasar). Pelaksanaan pola pengembangan

komersial menghasilkan pengelolaan yang terorganisasi, sistematis serta memenuhi harapan semua penghuni yang ada serta hubungan sosial yang harmonis dengan masyarakat sekitar (Anonim, 1996; Lown, 2003; Cunningham dan Lamberton, 2005).

Pola Kawasan Industri (komersial) dijadikan rujukan (benchmark) dalam pengembangan Agroestat karena memiliki kesamaan pola, sehingga diperoleh konsep yang realistis dan gambaran yang lebih jelas mengenai penerapan pola Agroestat. Menurut Porter (1990), manfaat dari perkembangan suatu kawasan industri (sebagai pembanding) antara lain adalah: (1) Economic of scale; (2) Akses kepada fasilitas infrastruktur dan support service yang khusus disediakan; (3) Akses ke pabrik dan

supplier (pemasok); (4) Peningkatan ketrampilan dan pengetahuan staf; (5) Peningkatan produk dari kerjasama dan persaingan lokal; (6) Kepatuhan lingkungan

yang bersih dan teratur; (7) Kualitas lingkungan hidup; (8) Akses ke perguruan tinggi dan lembaga pendidikan.

Secara khusus, keberhasilan kawasan pertanian dengan pola Agroestat ditentukan oleh berbagai faktor-faktor yang mendasar (esensial) dan penting yaitu (Poernomosidi, 1981; UN, 1989; Porter, 1990; Austin, 1992; Eriyatno et al., 1995; Gumbira dan Sandaya, 1998; Johara, 1999; Thoha, 2001; Sudaryanto et al., 2002a, 2002b; Dirdjojuwono, 2004):

1) Pewilayahan yang berbasis kawasan terpadu (functional integration). 2) Ketersediaan jaringan (infrastruktur) yang memadai (network). 3) Kegiatan agroniaga (economic activity).

4) Pembiayaan usahatani (financing).

5) Kelembagaan manajemen pengelola yang utuh dan mampu mengkoordinasi (management).

6) Penataan ruang yang tepat guna dan berwawasan lingkungan (estate ecology).

7) Keikutsertaan (partisipasi) stakeholders (termasuk masyarakat lokal) dalam perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan (social).

Dengan pengolahan pendapat pakar (expert survey), melalui diskusi (brainstorming) dalam focus group, maka faktor-faktor yang mendasar dalam pola pengelolaan dan pengembangan kawasan pertanian terpadu dengan pendekatan Agroestat dapat dikelompokkan dalam lima aspek, yaitu:

1) Aspek Pewilayahan, yaitu cakupan wilayah perencanaan (planning region) dari kawasan pertanian terpadu sistem Agroestat yang dirancang dengan jelas dan terukur.

2) Aspek Infrastruktur, yaitu penyediaan dan pengelolaan jaringan infrastruktur (sesuai kebutuhan) dalam kawasan pertanian. Penetapan infrastruktur yang menjadi faktor dan kepentingan bersama yang utama sehingga mampu untuk menjadi daya tarik untuk menggabungkan diri dalam dan mendukung keberadaan kawasan pertanian. 3) Aspek Bisnis, yaitu tatanan hubungan bisnis antar pelaku (agribisnis). Pengelolaan

tatanan hubungan bisnis antar pelaku (agribisnis) direkayasa secara adil dan menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat, sehingga masing-masing pihak mempunyai keyakinan akan tingginya nilai tambah yang akan diperoleh dengan bergabung pada kawasan.

4) Aspek Pembiayaan, yaitu penyediaan permodalan dan pinjaman untuk mendukung usaha pertanian, khususnya bagi petani yang merupakan pelaku yang paling besar perannya tetapi posisi tawarnya sangat rendah.

5) Aspek Manajemen, yaitu pengelolaan kawasan pertanian oleh institusi khusus dengan konsep yang jelas serta didukung tingkat kompetensi dan independensi yang memadai.

5.2

Jaringan infrastruktur Agroestat

Semua kegiatan ekonomi terkait erat dengan ruang dan lokasi tertentu, oleh karena itu perumusan kebijakan pengembangan wilayah dan penyusunan program pembangunan daerah harus diawali dengan penataan ruang dan penyediaan infrastruktur. Perencanaan pengembangan wilayah sebagai upaya perancangan fasilitas investasi harus dapat menciptakan insentif positif untuk wilayah.

Infrastruktur merupakan komponen utama dalam kegiatan ekonomi dan sosial serta menjadi faktor potensial dalam perkembangan suatu wilayah. Dalam konsep pengembangan wilayah, infrastruktur menjadi bagian dalam kegiatan ekonomi yang membutuhkan biaya sangat mahal sekaligus dengan jangka waktu yang lama. Setiap sektor dari kehidupan ekonomi mempunyai kebutuhan prasarana tersendiri, yang terdiri

dari ruang dan jaringan. Prasarana jaringan (network) terdiri dari empat jenis, yaitu transportasi, komunikasi, utilitas umum, dan jaringan irigasi atau drainase.

Sektor pertanian membutuhkan dua infrastruktur utama, yaitu jaringan irigasi dan sarana perhubungan (jalan). Keduanya dibutuhkan dalam mendukung usaha pertanian disamping faktor-faktor produksi usahatani lainnya. Secara empiris terbukti bahwa determinan dasar untuk peningkatan produksi pangan adalah ketersediaan lahan beririgasi yang saat ini mengalami penyusutan dan degradasi. Pengembangan jaringan irigasi dilaksanakan Pemerintah dengan cara perbaikan (revitalisasi) sistem irigasi, terutama di pulau Jawa, sehingga akan meningkatkan intensitas produksi sumberdaya lahan (Pasandaran, 1991).

Kegiatan kawasan pertanian terpadu yang berupa proses produksi (budidaya) membutuhkan dukungan sumberdaya air (SDA), karena air mutlak diperlukan oleh semua jenis komoditi pangan. Peningkatan produksi sumberdaya lahan (pertanian), infrastruktur jaringan irigasi sangat diperlukan terutama pada musim kemarau. Sebagian besar jaringan irigasi yang ada masih tergantung pada run-off river flow dari aliran air di sungai dan tingkat curah hujan. Peningkatan intensitas tanam hortikultura diupayakan untuk dapat mencapai tiga kali panen (atau lebih) dalam setahun.

Pengalaman di India menunjukkan bahwa subsidi tidak langsung dari Pemerintah dalam bentuk pemenuhan kebutuhan infrastruktur jaringan irigasi sangat efektif untuk meningkatkan produksi dan penghasilan petani. Kebijakan desentralisasi mendorong Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menyusun Perencanaan Pengembangan Terpadu (Integrated Development Planning) dengan mengalokasikan dana pembangunan yang terbatas secara tepat guna. Pemerintah Daerah harus menemukan prasarana yang paling efektif dalam pelayanan masyarakat dan mengutamakan pemecahan penyebab dari permasalahan yang ada, misalnya pembangunan jaringan irigasi untuk menaikkan budidaya pertanian, atau pembangunan kanal untuk mencegah banjir yang secara rutin melanda daerah pertanian.

Pengembangan Daerah Irigasi (DI) di lingkup Kabupaten melalui program Penyiapan Lahan Berpengairan (PLB), dimaksud untuk meningkatkan jaringan irigasi semi teknis menjadi irigasi teknis untuk dapat memberikan jaminan kepada petani akan ketersediaan air irigasi sepanjang tahun. Kebutuhan sumber air irigasi dapat dilakukan

dari sumber air permukaan (air hujan) dan air tanah. Ketersediaan air irigasi akan memampukan petani untuk bertanam dengan intensitas yang lebih tinggi, sekaligus pengembangan wilayah perdesaan (AIT, 1994; FAO, 2000; Mardianto et al., 2005).

Tabel 15

Pengembangan dan Tata Guna Lahan di Indonesia, 1990-2010 (juta hektar)

1990 2000 2010

A. Lahan basah / sawah