• Tidak ada hasil yang ditemukan

BATAS WILAYAH AGROESTAT

4) Model Perubahan Irigasi Terbatas

6.2 Validasi Model

Model Agroestat dilengkapi dengan rekayasa Sistem Penunjang Keputusan (SPK) yang memungkinkan untuk aplikasi pada suatu daerah otonom dengan beberapa penyesuaian sesuai karakter khusus di daerah setempat. Rekayasa dilengkapi dengan struktur data dan variable dengan mempertimbangkan aspek potensi sumberdaya lokal pada suatu kawasan yang telah ada (given factor) menuju kepada tatanan ideal yang dikehendaki (Gambar 26).

Pada bab ini model yang telah diuraikan pada Bab 5 serta dilengkapi dengan diagram alir deskriptif untuk masing-masing akan diuji (validasi) dengan data nyata yang diperoleh dari hasil penelitian lapang. Validasi model penelitian ini dilaksanakan untuk daerah otonom Kabupaten Brebes, dengan komoditi unggulan hortikultura. Data yang digunakan terutama berbentuk data sekunder, dilengkapi beberapa data primer.

Analisis Model Konseptual Pola Agroestat dan rancang bangun SPK

untuk pemilihan dan perencanaan bentuk subsidi pemerintah

Struktur faktor-faktor keberhasilan dalam pengembangan Agroestat Validasi Model SPK Agroestat di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah Mulai Selesai 1. Pola Rekayasa dan

2. Faktor Penentu Keberhasilan Pengembangan Agroestat

1. Teori Sistem 2. Analisis Financial

Rekayasa Model SPK untuk subsidi pemerintah (jaringan infrastruktur) dalam Pola Agroestat

1. Data kabupaten 2. Analisis Financial 3. Metoda Regresi

1. Dasar keterpaduan wilayah dalam tata ruang Kabupaten 2. Formulasi peran pemerintah 3. Struktur dan bentuk subsidi 4. Keterkaitan infrastuktur dan

penghasilan petani 5. Kemandirian petani dan Lembaga

Keuangan Mikro

6. Kelembagaan Badan Pengelolaan

SPK Agroestat

Rekayasa Pola Agroestat

Dalam lingkup nasional, perimbangan supply-demand komoditi hortikultura masih menunjukkan ketimpangan (Tabel 23), sehingga upaya peningkatan produksi/pengadaan hortikultura merupakan upaya substitusi impor (import substitution) yang perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk mencapai hal-hal berikut ini:

1) Kontinyuitas produksi dalam jumlah dan kualitas yang memadai.

2) Mutu yang sesuai standar konsumsi masyarakat yang hanya dapat dicapai dengan mengurangi penggunaan pestisida, herbisida, fungisida, maupun insektisida, sehingga sehat secara lingkungan.

3) Harga bersaing pada tingkat internasional, sehingga mampu bersaing dengan negara-negara tropis penghasil komoditi hortikultura yang lainnya.

Tabel 23

Volume Ekspor/Impor Niaga Bawang Merah.

Tahun 2002 2003 2004

Konsumsi per kapita kilogram 2.20 2.20 2.19 Jumlah penduduk juta orang 231.40 234.90 238.45 Total konsumsi ribu ton 509.08 516.78 522.21 Jumlah produksi ribu ton 482.96 479.57 477.92

Ekspor ton 6,816 5,402 4,637

Impor ton 32,929 42,608 48,927

Net Ekspor (Impor) ton (26,113) (37,206) (44,290)

% -5.13% -7.20% -8.48% Sumber : BPS (2005) – (diolah)

Peta produksi bawang merah di Indonesia (Gambar 27) menunjukkan bahwa pangsa produksi (1999) terbesar terletak di wilayah Brebes dan daerah sekitarnya (48%), dimana Kabupaten Brebes sendiri menghasilkan 27.38% (atau 57.04% dari wilayah Brebes). Hal ini menunjukkan bahwa Kabupaten Brebes mempunyai peran utama dalam perdagangan bawang merah di Indonesia, artinya kegagalan panen di Brebes berakibat fatal pada volume impor yang melimpah dan sebaliknya, keberhasilan peningkatan hasil budidaya (kualitas dan kuantitas) di Brebes mampu menangkal impor bahkan meningkatkan ekspor bawang merah. Secara umum di Indonesia, petani-petani

dengan lahan sehamparan mendominasi produksi (budidaya), namun pemasaran, proses, dan kegiatan ekspor/impor komoditi dikuasai oleh pengusaha dan perusahaan besar di kota besar Jakarta dan Surabaya (Spencer dan Quane, 1999). Rantai usaha agroindustri dalam alur niaga bawang merah dapat dilihat pada Tabel 18 di atas. Dapat disimpulkan bahwa pemilihan bawang merah sebagai komoditi unggulan Kabupaten Brebes sudah tepat karena perannya tidak terbatas pada kepentingan lokal tetapi juga regional maupun nasional.

6.2.1 Industri Pasca Panen Bawang Merah

Industri pasca panen bawang merah merupakan peluang untuk mengalihkan sebagian dari nilai tambah yang ada di subsektor agroindustri (industri) ke subsektor usahatani (pertanian). Pengolahan bawang merah yang dilakukan oleh petani dengan proses yang sederhana dan biaya investasi yang rendah memberi nilai tambah serta peningkatan pendapatan petani secara nyata. Dalam kenyataan di lapangan, hal ini telah diserukan oleh petugas penyuluhan namun masih sangat sedikit petani yang melakukan diversifikasi kepada usaha industri rumah tangga. Umumnya hal ini diakibatkan oleh tidak tersedianya modal investasi yang dibutuhkan.

Kandungan air bawang merah mencapai 80-85% menyebabkan bawang merah bersifat bulky dan mudah rusak. Kadar air ini dapat mengalami penyusutan sekitar 10- 15% bergantung pada lamanya waktu penyimpanan. Penurunan kadar air dalam jumlah yang lebih besar dapat terjadi bilamana bawang merah masih belum cukup matang saat dipanen atau banyak mengalami kerusakan selama penjemuran dan pengangkutan. Oleh karena itu bawang merah memerlukan penanganan pasca panen terutama dalam hal pengolahannya sehingga produk bawang merah bisa didapat setiap saat dengan harga yang stabil. Penanganan dan pengolahan pasca panen tersebut bertujuan untuk mempertahankan mutu bawang merah sebelum dikonsumsi, dilakukan melalui diversifikasi produk olahan (Rismunandar, 1989).

Propinsi %

Jawa Tengah 30.09%

Jawa Timur 28.50%

Jawa Barat 15.66%

Nusa Tenggara Barat 10.79% Sumatera Utara 3.31% DI Yogyakarta 3.23% Sulawesi Selatan 2.38%

B a l i 1.64%

Sumatera Barat 1.06% Nanggroe Aceh Darussalam 0.82%

NAD 0.82% Sumatera Barat 1.06% Sumatera Utara 3.31% Jawa Barat 15.66% Jawa Tengah 30.09% Jawa Timur 28.50% Bali 1.67% NTB 10.79% DIY 3.28% Sulsel 2.38% Sulteng

0.58% Peta per Propinsi (2003)

48% 1.19% 1 2 3 9 4 7 6 5 8 12 13 11 10 17 15 20 14 16 19 2.35% 4.95% 22 19.65% 16.64% 2.53% 1.49% 18 21

Brebes,Tegal, Slawi dan Sekitarnya

Kendal

Bandung & Garut

Pati

Nganjuk & sekitarnya

Bantul & Kulon Progo

Probolinggo & Situbondo Pemekasan & Sampang

Peta per Kabupaten (1999)

Beberapa penanganan pasca panen bawang merah yang sudah dikenal masyarakat diantaranya pengeringan umbi bawang merah dengan sinar matahari atau alat pengering dan pengeringan irisan bawang merah dengan roasting. Pada dasarnya dalam proses pengeringan terjadi penguapan air dengan tujuan untuk mengurangi kadar air sampai batas terhambat atau terhentinya perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzimatis yang dapat menyebabkan kebusukan.

Bawang merah dapat diproses menjadi bermacam-macam produk olahan yang dapat memperpanjang umur simpannya. Industri pengolahan bawang merah yang ada di Kabupaten Brebes adalah:

a. Industri bawang goreng merupakan industri mikro dengan lokasi tersebar di Kecamatan Brebes, Wanasari, Jatibarang, Bulakamba dan Kersana. Industri ini berproduksi secara besar-besaran pada saat panen raya atau saat harga bahan baku murah, sementara bila harga bahan baku mahal hanya untuk memenuhi pesanan bahkan tidak berproduksi.

b. Industri acar bawang merah merupakan industri sedang berskala ekspor milik PT. Zeta Agro yang berlokasi di Kecamatan Paguyangan, daerah Brebes Selatan.

Tidak ada keterkaitan (kerjasama) antara industri bawang goreng dengan petani budidaya. Tampak dari kenyataan bahwa bila harga bawang merah tinggi petani lebih suka menjual langsung kepada pengumpul/bakul. Petani biasanya meminta harga yang tinggi pada pengusaha agroindustri bawang merah sehingga bahan baku selama ini diperoleh dari pengumpul atau pasar.