• Tidak ada hasil yang ditemukan

REKAYASA SISTEM AGROESTAT

4. RANCANG BANGUN SISTEM

4.1 Analisis Situasional

4.1.2 Peta Agribisnis

Kegiatan utama dalam agribisnis terdiri dari pemuliaan benih, budidaya, dan industri pengolahan, sebagai berikut:

1) Pemuliaan benih (Pembibitan).

Usaha pemuliaan benih hortikultura telah berkembang menjadi usahatani yang menguntungkan dengan prospek yang cerah. Pemulia benih telah meningkatkan

mutu dengan memproduksi benih berkualitas dengan sertifikat dari Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB). Dari penelitian lapang, 87% responden menyatakan pertimbangan utama dalam membeli benih adalah benih berkualitas. Hal itu menunjukkan kesadaran petani yang tinggi tentang pentingnya menggunakan benih yang bermutu guna mencapai hasil budidaya yang tinggi. Meskipun demikian 39% responden yang mewakili petani tradisional masih memakai benih dari hasil budidayanya sendiri dan 49% responden membeli dari petani lain yang panennya dianggap berhasil. Sementara itu, hanya 11% dari responden yang menyatakan telah membeli benih yang dijual di pasar (toko pertanian). Sebaliknya, pemulia benih sudah berorientasi kepada kebutuhan para petani budidaya sebagai konsumennya dan atas kesadaran akan pentingnya peranan kelompok, para pemulia benih telah membentuk Kelompok Tani Penangkar Benih.

Masalah utama dari usaha pemuliaan benih hortikultura adalah:

a. Belum tersedianya pinjaman modal lunak untuk para penangkar benih maupun petani budidaya yang akan alih usaha ke pembenihan. Akibatnya, proses pemuliaan benih masih dilakukan secara sederhana tanpa peralatan canggih. b. Pemilikan/penyewaan lahan garapan sangat sempit dan berpindah-pindah

padahal penanaman harus dilakukan secara rutin setiap bulan.

c. Resiko harga jual benih yang seringkali lebih rendah dibanding harga komoditi hortikultura untuk konsumsi.

2) Budidaya.

Petani budidaya hortikultura menyadari usahanya sangat tergantung pada cuaca dan ketersediaan air, sehingga waktu tanam yang terbaik dilakukan pada awal musim hujan, atau justru di musim kemarau untuk lahan-lahan yang dialiri air irigasi atau sumur-sumur bor.

Dari hasil kuesioner, 62% dari petani budidaya menyatakan menggunakan dana sendiri untuk membiayai kebutuhan dana awal karena sulitnya perolehan dana dari perbankan. Sementara 38% petani lainnya menyatakan menggunakan dana pinjaman sebagai modal awal budidaya. Dari 38% petani yang menggunkana dana pinjaman hanya 19% yang menyatakan memperoleh pinjaman dari bank, 3% dari koperasi, sebagian besar memilih meminjam pada sumber lain (petani lain, tengkulak bahkan

rentenir) sebanyak 62% dan hutang benih, pupuk dan obat-obatan dari toko pertanian sebanyak 16%. Gambaran yang paralel dengan ini tampak dari jumlah petani responden yang memiliki lahan sendiri ternyata sebanyak 51% dibandingkan jumlah petani yang menggunakan lahan sewa sebanyak 49%.

Dalam hal penjualan hasil panen, 35% petani responden mengutamakan harga jual dan 29% menyatakan kecepatan transaksi, 8% menyatakan memilih menjual pada orang yang sudah dipercaya (langganan), dan 6% lainnya memilih berdasarkan kesepakatan sistem penjualan dan cara pembayaran. Menurut 85% responden, penjualan dengan cepat dapat terjadi dengan adanya jasa pengumpul dan tengkulak, oleh karena itu petani cenderung mempercayakan penjualan hasil panennya kepada tengkulak. Sejumlah 68% petani responden menyatakan lebih menyukai penjualan dengan sistem tebas (ijon) karena mereka membutuhkan adanya kepastian tentang terjualnya hasil panen, sebanyak 17% memilih menjual dalam kondisi kering askip, 10% menjual dengan sistem borongan dan 5% lainnya dengan cara yang berbeda- beda. Cara pembayaran dalam penjualan hasil panen, sebanyak 48% petani responden dibayar pada saat terjadi kesepakatan (sebagian besar terjadi dalam sistem ijon), 43% responden dibayar saat pengambilan barang, dan hanya 7% dari responden menyatakan pernah menerima uang muka, 2% lainnya dengan cara yang berbeda.

3) Industri pengolahan.

Dari penelitian lapang, ternyata kondisi industri pengolahan komoditi hortikultura saat ini dapat dikelompokkan dalam:

a. Industri mikro (rumah tangga) dengan lokasi tersebar pada rumah-rumah di daerah pemukiman di beberapa kecamatan di wilayah budidaya. Industri ini dijalankan dengan proses yang sederhana dan mengandalkan harga bahan baku yang murah. Industri jenis ini biasanya berproduksi secara maksimal pada saat panen raya, dan tidak berproduksi saat harga bahan baku terlalu mahal (tinggi). b. Industri pengolahan hasil pertanian (hortikultura) sedang dengan bahan baku

utama produk hortikultura berskala ekspor secara sporadis telah ada di wilayah budidaya. Industri ini harus dikembangkan di wilayah yang mempunyai produksi unggulan sesuai dengan kebutuhan bahan baku industri dimaksud.

Penelitian lapang juga menunjukkan adanya beberapa industri yang masih berpeluang untuk dikembangkan yaitu:

a. Industri mikro dalam bentuk industri rumah tangga oleh petani budidaya.

b. Industri pengolahan antara untuk melayani industri besar di luar daerah, seperti industri essence untuk perusahaan industri makanan.

c. Fasilitas pergudangan yang bermanfaat menjaga stok yang berlebih, yang saat ini tidak berkembang padahal mempunyai peran penting dalam agroniaga.

Sejumlah 70% dari petani responden menyatakan tidak berminat untuk mengembangkan usaha di bidang industri, dimana 31% responden menyatakan hal itu disebabkan karena besarnya modal yang dibutuhkan, 19% tidak mau memikul resiko yang tinggi dan 20% menyatakan tingkat laba di industri yang tidak memadai. Untuk dapat menarik investor industri, 39% dari responden menyatakan Pemerintah Daerah harus mempersiapkan tata ruang dan infrastuktur (jaringan transportasi dan angkutan), sedangkan 23% menganggap ketersediaan tenaga trampil yang diperlukan, 22% responden menyatakan jaminan kesinambungan ketersediaan bahan baku yang paling diperlukan, dan 16% lainnya menyatakan keamanan berusaha, kemudahan perijinan, dan keringanan pajak dan pungutan sebagai pertimbangan utama dalam mendirikan industri.

Sejauh ini tidak ada keterkaitan dan keterikatan antara industri dengan petani budidaya, terbukti bila harga sedang tinggi petani lebih suka menjual langsung kepada perantara/pengumpul. Pengumpul hasil budidaya hortikultura biasanya mengadakan transaksi harga dengan petani langsung di sawah dengan menggunakan harga taksiran (tanpa ditimbang) dengan menetapkan harga komoditi saat itu di tingkat petani. Pembayaran dilakukan secara tunai kepada petani. Selanjutnya komoditi hortikultura diperjualbelikan di Pasar Induk lokal kepada para pembeli dari beberapa kota besar (daerah lain) seperti Surabaya dan Jakarta, yang berkumpul untuk melakukan transaksi dengan pengumpul. Sebanyak 85% responden mengakui peran pedagang perantara sangat penting, terutama pada fungsi sebagai penyambung (katalisator) agroniaga dalam keterkaitan rantai proses antara petani budidaya dan industri pengolahan.