• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran Politik Haji Agus Salim Tentang Nasionalisme Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemikiran Politik Haji Agus Salim Tentang Nasionalisme Islam"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Belanda mengakhiri penjajahannya di Indonesia pada tahun 1942, tepatnya tanggal 9 Maret 1942 Pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Sejak saat itu Indonesia diduduki oleh tentara Jepang. Awalnya kedatangan tentara Jepang disambut dengan kelegaan, tetapi harapan tersebut musnah dengan segala tindakan militer Jepang yang bertangan besi dan sewenang-wenang. Namun Jepang tidak terlalu lama menduduki Indonesia, sebab tahun 1944 tentara Jepang mulai kalah melawan tentara Sekutu. Untuk menarik simpati bangsa Indonesia agar bersedia membantu Jepang dalam melawan tentara Sekutu, Jepang memberikan janji kemerdekaan di kelak kemudian hari.

Janji ini diucapkan oleh Perdana Menteri Kaiso pada tanggal 7 September 1944. Oleh karena terus menerus terdesak, maka pada tanggal 29 April 1945 Jepang memberikan janji kemerdekaan yang kedua kepada bangsa Indonesia, yaitu janji kemerdekaan tanpa syarat yang dituangkan dalam Maklumat Gunseikan (Pembesar Tertinggi Sipil dari Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan Madura) dalam maklumat tersebut sekaligus dimuat dasar pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tugas badan ini adalah menyelidiki dan mengumpulkan usul-usul untuk selanjutnya dikemukakan kepada pemerintah Jepang untuk dapat dipertimbangkan bagi kemerdekaan Indonesia1.

Dalam proses awal pembentukan negara Indonesia, persoalan paling krusial adalah menyepakati dasar negara. Dalam sidang BPUPKI permasalahan pokok yang dibicarakan adalah persoalan bentuk negara, batas negara, dasar filsafat negara dan hal-hal lain yang bertalian dengan pembuatan suatu konstitusi. Perdebatan tentang masalah-masalah di atas, kecuali tentang dasar filsafat negara, berjalan dengan lancar. Satu dari faktor terpenting yang mendukung pertumbuhan suatu nasionalisme terpadu adalah tingginya derajat homogenitas

1

(2)

agama di Indonesia (lebih dari 90 persen penduduknya beragama Islam). Dengan menyebarnya gerakan nasionalisme dari tempat asal mulanya dan pangkalan utamanya, Jawa, ke pulau-pulau lain di Indonesia yang berada di bawah pengawasan Belanda, kecenderungan fisik yang sebaliknya mungkin telah menjadi kuat di kalangan komunitas mereka, justru menjadi netral karena solidaritas mereka terdesak oleh suatu agama yang sifatnya umum2.

Hal ini akhirnya menimbulkan pergulatan politik antara agama dan negara, dasar negara dan agama, maupun antara agama dan dasar negara yang terjadi di Indonesia telah berlangsung sejak lama dari mulai negara ini dipersiapkan dalam suatu badan yang disebut dengan BPUPKI hingga pasca reformasi ketika terjadi amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali. Polemik ini berlangsung lama sebab di antaranya diakibatkan oleh pertentangan yang tajam dan tiada henti antara golongan Islam dan nasionalis yang ada baik di DPR-MPR, maupun partai-partai politik peserta Pemilu di Indonesia.

Perbedaan inilah yang kemudian menjadikan adanya tarik ulur saat mendefinisikan tentang nasionalisme. Termasuk perbedaan kelompok agamawan dalam memahami konsep dari belenggu penjajahan dan kolonialisme yang tidak sesuai dengan semangat dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Semangat ini menjadi modal dasar dan landasan kuat untuk menyatukan dan meleburkan diri dengan penuh kerelaan dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keinginan untuk bernegara ini tercermin secara nyata dalam Sumpah Pemuda tahun 1928 yang melahirkan nasionalisme Indonesia yang sekaligus mampu mendorong dalam proses pencapaian kemerdekaan Republik Indonesia3.

Isu antara agama, khususnya Islam dengan negara itu sendiri merupakan isu yang sensitif. Mengingat meski mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, namun konsentrasi penduduk di belahan timur justru berkebalikan. Satu hal yang biasanya dikhawatirkan ketika terjadi dominasi mayoritas dalam pembentukan dasar negara adalah terjadinya disintegrasi daerah sebagai bentuk penolakannya terhadap dasar negara yang diambil dari ajaran agama tertentu saja. Seperti yang diketahui, elit modern Indonesia sebelum kemerdekaan

2

George Mc Turnan Kahin, “Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia”, Jakarta: UNS Press, 1995, hal. 50 3

(3)

pemikirannya dipengaruhi oleh tiga ideologi besar yang hidup pada waktu itu, yaitu Nasionalisme Islam atau kebangsaan dan ideologi barat modern-sekuler (seperti liberalisme, kapitalisme, dan komunisme). Tapi apa yang terjadi di Indonesia pada awal-awal menjelang kemerdekannya setidaknya hanya menunjukan dua kutub pemikiran saja, Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler.

Diawali sejak tahun 1930an ketika PNI dengan tokoh terkenalnya Soekarno mewakili kelompok nasionalis sekuler, dan kalangan Islam dengan tokohnya Haji Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, Ahmad Hasan dan M. Natsir. Maka kemudian jelas apa saja yang menjadi cita-cita dan tujuan masing-masing kelompok. Kelompok Nasionalis Sekuler menghendaki agar Indonesia yang akan dibangun kelak berdasarkan kebangsaan tanpa kaitan khusus pada ideologi keagamaan. Sedangkan kelompok lain Nasionalis Islam menginginkan agar negara Indonesia berdasarkan Islam.

Memang disini terlihat dua paham yang menonjol ialah paham dari anggota-anggota ahli agama yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam. Negara Islam dalam artian negara tidak bisa dipisahkan dari agama. Negara dan agama ialah satu, bersatu padu. Islam ialah suatu sistem agama, sosial, dan politik, yang bersandar atas Quran sebagai pusat dan sumber dari segala susunan hidup manusia Islam. Sedangkan menurut orang-orang dari golongan paham nasionalis sekuler dengan mendirikan negara Islam di Indonesia berarti tidak akan mendirikan negara persatuan.

Mendirikan negara Islam di Indonesia berarti mendirikan negara yang akan mempersatukan diri dengan golongan yang besar, yaitu golongan Islam. Jikalau di Indonesia didirikan negara Islam, maka tentu akan timbul persoalan-persoalan golongan agama kristen maupun golongan-golongan agama kecil lainnya. Meskipun negara Islam akan menjamin dengan sebaik-baiknya kepentingan golongan-golongan lain itu, akan tetapi golongan-golongan agama lain tersebut tidak bisa mempersatukan dirinya dengan negara. Oleh karena itu, cita-cita negara Islam itu tidak sesuai dengan cita-cita negara persatuan4.

(4)

Sementara itu dalam masalah Nasionalisme, Soekarno menyatakan bahwa Nasionalisme harus tetap dinomor satukan sebagai pegangan untuk persatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Paham-paham lainnya harus tunduk pada tuntutan ini, jika perlu nasionalisme Islam dan Marxis harus bekerja sama demi terwujudnya persatuan bangsa. Pernyataan Soekarno ini mendorong Haji Agus Salim untuk lebih meluruskan arah perjuangan bangsa Indonesia yang semestinya yaitu menuju kepada masyarakat bangsa tanpa terkecuali. Haji Agus Salim beranggapan paham Soekarno yang terlalu memuliakan tanah air di atas segalanya akan melunturkan keyakinan Tauhid seseorang dan akan mengurangi bakti seseorang kepada Tuhan. Bagi Agus Salim urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam.

Haji Agus Salim merupakan menteri luar negeri Indonesia yang dinilai memiliki kapasitas dan kapabilitas baik level nasional maupun internasional. Pengakuan itu terutama terkait pemikirannya tentang berbagai isu dan problema yang dinilai berbakat dan istimewa. Prestasinya yang sangat penting adalah kemampuannya sebagai ketua tim delegasi misi diplomatik untuk mendapatkan pengakuan dunia internasional bagi Indonesia di tengah perjuangan revolusi fisik saat itu. Pemikiran tersebut kemudian dalam penelitian ini dikaji untuk melihat pandangannya terkait relasi Islam dan politik. Adapun beberapa pemikiran-pemikiran yang diangkat oleh Agus Salim, yaitu:

(5)

 Kedua, tentang makna jihad atau perang suci (holy war) yaitu menekankan makna ijtihad (bersungguh-sungguh segala daya dalam berusaha)5. Dalam mengartikan jihad yang berspirit keadilan, dengan syarat yang tinggi yakni niat karena menjalankan perintah agama bukan faktor pribadi, adanya dendam atau pengkhianatan dan dilarang menyerang wanita, anak-anak, orang tua dan tempat ibadah beserta orang yang berada di dalamnya6.

 Ketiga, mengenai persatuan dunia Islam yang menekankan pada kerjasama non-politis daripada yang bersifat politis. Baginya ide Pan Islamisme tak harus berbentuk khilafah Islamiyah tetapi lebih pada kedekatan emosional religius sebagai faktor pemersatu. Terakhir, tentang tabir (batas pemisah antara pria dan wanita) hal ini bermula dari rapat-rapat yang diadakan Jong Islamieten Bond (J.I.B) Himpunan Pemuda Islam. Beliau menyingkirkan tabir yang diadakan dalam ruang rapat untuk memisahkan para hadirin wanita dari para hadirin pria. Kaum wanita disembunyikan di belakang sebuah tabir. Betapa janggalnya perilaku yang meniru-niru adat Arab ini terlebih lagi, bila diingat bahwa wanita-wanita tersebut berpakaian bebas, bahkan tanpa berkerudung kepala seperti yang diwajibkan. Disini Haji Agus Salim menegaskan bahwa pemisahan atau pengucilan kaum wanita bukanlah suatu perintah agama Islam, melainkan hanyalah suatu adat di kalangan bangsa Arab7.

Mengemukakan pentingnya emansipasi wanita merupakan hal yang baru dalam di kalangan pemikir Islam pada saat itu. Namun sebenarnya emansipasi wanita di kalangan umat muslim sangatlah penting. Apabila di Barat kesetaraan Pria dan Wanita berlaku secara total, maka dalam masyarakat Islam harus didudukan secara proporsional. Para wanita harus melepaskan tradisi lama yang dan diberikan kesempatan untuk berkreasi dan memilih pendidikan yang akan ditekuni. Butiran tersebut di atas, tersirat adanya petunjuk bahwa Agus Salim

5Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H, “

Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia”. Jakarta: PT. Rajagrafindo. 2012, hal. 116.

6Jeffrie Geovanie, “

Civil Religion Dimensi Sosial Politik Islam”, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2013, hal. 48.

7Panitia Buku Peringatan, “

(6)

menghendaki adanya perubahan kerangka berpikir di kalangan umat Islam di Indonesia. Oleh karena itu dari hal-hal diatas penulis tertarik untuk meneliti apa yang melatarbelakangi pemikiran Haji Agus Salim terkait Nasionalisme yang berdasarkan Islam.

1.2. Perumusan Masalah

Dalam sejarah Indonesia, perdebatan antara kelompok nasionalis sekuler dengan nasionalis Islam tidak pernah selesai. Keduanya terus bertarung memperebutkan hegemoni dalam kekuasaan. Para sejarawan Indonesia cenderung menelusuri pertarungan tersebut sejak perdebatan piagam Jakarta, tetapi ada juga yang mengambil klaim lebih jauh lagi hingga pertarungan dalam tubuh Sarekat Islam di tahun 1910-an. Beberapa studi sejarah mengenai hal diatas, memunculkan anggapan bahwa dalam pertarungan itu, kelompok nasionalis sekuler senantiasa selalu menjadi kelompok pemenang. Klaim ini mungkin benar, tetapi pada beberapa kasus, kemenangan kelompok sekuler bukannya tanpa syarat.

Terdapat banyak contoh dimana pergumulan politik di Indonesia telah menghasilkan kultur politik hibrida, yang mencampurbaurkan ide-ide yang mungkin secara prinsip memiliki perbedaan. Dengan bahasa lain, kepentingan “kelompok Islam” juga sudah membaur di dalamnya. Adanya kultur hibrida ini, menyiratkan bahwa kontruksi religiusitas/keberagamaan di Indonesia mengalami proses modifikasi. Dalam arti agama yang datang tidak pernah taken for granted

(diambil untuk diberikan), melainkan mengalami adaptasi dalam bentuk akulturasi (percampuran dengan budaya setempat). Dalam konteks politik, hal ini sangat tampak terjadi ketika munculnya pergerakan nasional. Ide-ide nasionalisme, demokrasi dan keadilan sosial yang menjadi wabah di seantero dunia, mulai dipikirkan oleh para pemikir Islam di Indonesia. Hasilnya, lahirlah pemikiran yang menyebutkan bahwa nasionalisme dan Islam adalah suatu hal yang memiliki kepentingan yang sama, tidak bertentangan.

(7)

menghancurkan kemanusiaan itu sendiri. Nasionalisme memang merupakan modal spirit yang sangat penting, namun jangan sampai menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan. Agus Salim ingin meletakkan nasionalisme pada porsinya. Artinya, nasionalisme memang perlu digunakan untuk mengembangkan rasa cinta tanah air, namun juga perlu diorientasikan untuk tujuan-tujuan perjuangan kemerdekaan dan pembentukan negara yang besar dan maju.

Perjuangan semacam ini tentunya juga merupakan bentuk pengabdian dan ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, Agus Salim bermaksud mengabungkan antara nasionalisme sejati dengan nilai-nilai ketuhanan yang sifatnya lebih substanstif. Atas dasar ini, ketika menjadi anggota Panitia 19, Agus Salim pernah menyarankan bahwa "Republik Indonesia berdiri atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa" perlu dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945 sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan setelah meraih kemerdekaan Indonesia.

Dari uraian permasalahan yang telah disampaikan di sebelumnya, maka fokus penelitian pada studi ini adalah terkait latar belakang yang mempengaruhi pemikiran politik Haji Agus Salim tentang Nasionalisme yang berdasarkan Islam.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

 Mengetahui latar belakang yang mempengaruhi Pemikiran Haji Agus Salim tentang Nasionalisme Islam.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Menambah khasanah dan dapat menjadi rujukan dasar dan pertimbangan bagi studi politik Islam khususnya tentang konsep nasionalisme Islam menurut pemikiran Haji Agus Salim.

(8)

1.5. Kerangka Teori

Kerangka teori merupakan sebuah landasan atas cara pandang atau berpikir dalam menjelaskan hubungan-hubungan antara gejala-gejala sosial dengan observasi yang dilakukan.8 Teori merupakan analisis hubungan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain pada sekumpulan fakta-fakta. Adapun kerangka teori yang menjadi landasan berpikir penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

5.1 Nasionalisme

Nasionalisme berasal dari kata Nation (bangsa) and Isme (aliran) yang berarti paham kebangsaan. Paham nasionalisme dipandang sebagai wacana penting, karena ia menjadi representasi kemampuan untuk menghargai perbedaan di dalam berbangsa dan ber-negara9. Nasionalisme berpotensi untuk menjadi alat untuk menyatukan keragaman dalam sebuah negara. Dewasa ini, nasionalisme menjadi signifikan untuk diperbincangkan karena pada kenyataannya, dalam sebuah negara banyak terdapat berbagai kelompok yang berbeda. Dan yang paling utama sekaligus sensitif adalah suku dan agama. Nasionalisme dipandang sebagai kekuatan perekat agar negara tidak bercerai berai.

Nasionalisme adalah paham yang pada mulanya unsur-unsur pokok nasionalisme terdiri atas persaudaraan, keturunan, suku bangsa, tempat tinggal, agama, bahasa dan budaya. Aspek mendasar timbulnya nasionalisme adalah aspek sejarah. Melalui aspek sejarah biasanya suatu bangsa memiliki rasa senasib sepenanggungan serta harapan untuk menggapai masa depan yang lebih baik. Dengan demikian nasionalisme adalah sikap politik dan sikap sosial suatu kelompok masyarakat yang memiliki kesamaan budaya, wilayah, tujuan dan cita-cita.

8

Inu Kencana, “Ilmu Negara Kajian Ilmiah dan Keagamaan”, Bandung: Pustaka Reka Cipta, 2013, hal 114 9Mangadar Situmorang, “

(9)

Menurut Ernest Renan, Nasionalisme merupakan unsur yang dominan dalam kehidupan sosial-politik sekelompok manusia dan telah mendorong terbentuknya suatu bangsa guna menyatukan kehendak untuk bersatu. Persepsi ini paralel dengan pandangan Islam sebagaimana termaktub dalam ayat Al-Quran surat al-Hujurat ayat 13 berikut ini:

“Wahai manusia, kami menciptakanmu dari laki-laki dan perempuan, dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan

bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling

mulia diantara kalian adalah yang paling bertakwah.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal”. (QS. Al-Hujurat ayat 13)10.

Ernest Renan menyebut nasionalisme sebagai le desire d’entre ensemble (kehendak untuk bersatu). Nasionalisme ini membentuk persepsi dan konsepsi identitas sosial kaum pergerakan di seluruh negara-negara jajahan sebagai suatu kekuatan politik untuk melawan penguasa kolonial. Tujuan nasionalisme ini adalah pembebasan dari penjajahan dan menciptakan masyarakat/negara yang adil, dimana tidak ada lagi penindasan manusia oleh manusia11.

Hubungan negara dengan nasionalisme bukanlah suatu istilah atau fenomena yang lahir secara sendiri, akan tetapi sangat terkait dengan konsep negara atau bangsa, dan merupakan produk dari kolonialisme. Ini terkait dengan penyataan Safroedin Bahar, bahwa negara tidaklah berdiri sendiri, tapi terkait dengan nasionalisme. Sedangkan sasaran nasionalisme itu sendiri adalah lebih sekedar perluasan dan penyebaran kesadaran berbangsa atau terbentuknya suatu negara. Menurut Mohtar Mas’oed, nasionalisme berada dalam dua sisi, yaitu sisi gagasan/ideasional dan sisi kebijakan/struktural. Pada sisi gagasan/ideasional, nasionalisme dianalisis sebagai state of mind atau sebagai perwujudan kesadaran nasional dari para individu sebagai suatu anggota bangsa. Sedangkan dalam sisi kebijakan/struktural, nasionalisme dipahami sebagai suatu strategi politik, atau fenomena politik. Pada sisi ini, dikaitkan dengan kekuasaan, dimana

10

QS. Al-Hujurat: 13 11Adhyaksa Dault, “

(10)

nasionalisme didefenisikan sebagai gerakan politik yang berusaha memperoleh atau menerapkan kekuasaan negara dan memberi pembenaran terhadap tindakan tersebut dengan argumen-argumen nasionalis12.

Singkatnya, nasionalisme merupakan produk dan sejarah bangsa itu sendiri. Nasionalisme merupakan fenomena historis, timbul sebagai jawaban terhadap kondisi-kondisi historis, politik ekonomi dan sosial tertentu. Kondisi-kondisi yang dimaksudkan adalah munculnya kolonialisme dari suatu negara terhadap negara lainnya. Hal ini terjadi sebab nasionalisme itu sendiri muncul sebagai suatu reaksi terhadap kolonialisme, reaksi yang berasal dari sistem eklploitasi yang selalu menimbulkan pertentangan kepentingan secara terus menerus. Dan hal ini tidak hanya terjadi dalam bidang politik, tapi juga dalam bidang ekonomi, sosial dan kultural13. Oleh sebab itu, suatu gerakan-gerakan yang bersifat nasional yang muncul menentang kolonialisme dan berusaha untuk melepaskan diri dari belenggu tersebut didorong oleh semangat nasionalisme.

1.5.2 Hubungan antara Negara dengan Agama

Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya14. Negara merupakan organisasi yang dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu. Negara menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai dimana kekuasaan dapat digunakan dalam kehidupan bersama, baik individu, golongan atau asosiasi, maupun oleh negara sendiri. Negara berkewajiban untuk melindungi setiap warga negaranya baik itu dalam hal untuk mendapatkan haknya.

Dengan demikian negara dapat mengintegrasikan dan membimbing kegiatan-kegiatan sosial dari penduduknya ke arah tujuan bersama. Dalam rangka ini boleh dikatakan bahwa negara mempunyai dua tugas:

12 Mas’oed Mohtar dan Safroedin Bahar, ”

Nasionalisme dan Tantangan Global Masa Kini dalam Regionalisme, Nasionalisme, dan Ketahanan Nasional” Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1998, hal. 161.

13 Sartono Kartodirjo, “

Kolonialisme dan Nasionalisme di Indonesia pada Abad 19 dan Abad 20”, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1972, hal. 56-57.

14Miriam Budiardjo, “

(11)

1. Mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang asosial, yakni yang bertentangan satu sama lain, supaya tidak menjadi antagonis yang membahayakan.

2. Mengorganisir dan mengintegrasikan kegiatan manusia dan golongan-golongan ke arah tercapainya tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. Negara menentukan bagaimana kegiatan-kegiatan asosiasi-asosiasi kemasyarakatan disesuaikan satu sama lain dan diarahkan kepada tujuan nasional.

Menurut Harold J. Laski, Negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena memiliki wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat (The state is a society which is integrated by possessing a coercive authority legally supreme over any individual or group which is part of

the society. A society is a group of human beings living together and working

together for the satisfaction of their mutual wants. Such a society is a state when

the way of life to which both individuals and associations must conform is

defined by a coercive authority binding upon them all)15.

Menurut Max Weber, Negara adalah suatu masyarakat yang mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah dalam sesuatu wilayah

(The state is a human society that (succesfully) claims the monopoli of the

legitimate use of physical force within a given territory)16.

Hubungan antara negara dan agama erat kaitannya dengan keyakinan atau kepercayaan mayoritas masyarakat didalam suatu negara itu sendiri. Negara merupakan suatu bentuk wilayah atau kawasan dimana mayoritas masyarakat itu bertempat tinggal dan memiliki identitas sosial yang berkaitan dengan aliran kepercayaan ataupun agama. Agama merupakan bentuk kepercayaan dari umat yang meyakininya bahwa didalam aliran yang mereka percayai terdapat wujud kebaikan untuk pribadi, golongan, maupun orang lain.

15

Harold J. Laski, “The State in Theory and Practice” New York: The Viking Press, 1947, hal. 8-9. 16

(12)

Holyoake memandang sekularisme sebagai sebuah tatanan sosial yang memisahkan hubungan agama dengan pemerintahan tanpa merendahkan kepercayaan dari seseorang. Agama dinilai sebagai sebuah hal yang pribadi di dalam setiap insan manusia. Pemerintah selayaknya tidak mencampuri urusan keyakinan seseorang apalagi sampai mempolitisasi agama. Sekularisme dianggap sebagai sebuah solusi dalam menjamin kebebasan beragama.

Berkembangnya pemahaman mengenai sekularisme diikuti dengan kemunculan negara sekular. Negara sekular merupakan negara yang memisahkan urusan agama dengan urusan negara. Ada tiga model negara sekular yaitu pertama, negara sekular yang sama sekali anti dengan agama dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Kedua, negara sekular yang melakukan upaya tegas dalam pemisahan agama dengan negara dan terakhir adalah negara sekular yang memiliki kepentingan terhadap agama dengan menjadikan negara religious.

Tak hanya cukup mengurai sekularisme dan negara sekular, hubungan negara dan agama menjadi poin penting dalam penelitian ini. Negara dan agama diyakini dua hal yang berkaitan erat dan sulit untuk dipisahkan, disebutkan juga sebagai negara Teokrasi. Modelnya ada dua yakni yang langsung dimana percaya bahwa pemerintahan suatu negara merupakan otoritas dari Tuhan, sedangkan tidak langsung mempercayai bahwa pemimpin di satu negara memerintah atas kehendak dari Tuhan.

(13)

1.6. Metode Penelitian

Salah satu jenis penelitian pemikiran politik (penelitian biografi atau studi tokoh) yaitu penelitian terhadap kehidupan seseorang tokoh dalam hubungannya dengan masyarakat, watak, pemikiran dan ide serta pengaruh pemikirannya dan idenya dalam perkembangan sejarah. Sementara dalam bidang pemikiran Islam, studi tokoh ialah pengkajian secara sistematis terhadap pemikiran atau gagasan seorang pemikir muslim, keseluruhannya atau sebahagiannya. Pengkajian meliputi latar belakang internal, eksternal, perkembangan pemikiran, hal-hal yang diperhatikan dan kurang diperhatikan, serta kontribusi bagi zamannya, dan masa sesudahnya17.

1.6.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif, yang menekankan pada deskriptif dan analitis. Metode kualitatif dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu dibalik fenomena atau fakta yang sedikitpun belum diketahui18. Fakta atau data yang ada dikumpulkan, diklasifikasikan dan kemudian akan dianalisa19. Penelitian kualitatif tidak berusaha untuk menguji hipotesis, dan penelitian ini bersifat alamiah, artinya peneliti tidak berusaha untuk memanipulasi penelitian ataupun melakukan intervensi terhadap aktivitas subjek penelitian dengan memberikan perlakuan tertentu namun peneliti berusaha untuk memahami fenomena yang dirasakan subjek sebagaimana adanya20.

17Prof. Dr. Syahrin Harahap, MA, “

Metodologi Studi Tokoh Pemikiran Islam”, Medan: Istiqamah Mulya Press, 2006, hal. 7.

18Ansem Strauss dan Juliet Corbin, “

Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif, Tata Langkah dan Teknik-Teknik Teorisasi Data”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal 5.

19

Hadari Nawawi dan H. Matini, “Penelitian Terapan”, Yogyakarta : Gadjha Mada University Press, 2000, hal 73.

20Muhammad Idrus, “

(14)

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain yaitu data sekunder. Penelitian ini diperoleh melalui studi pustaka, makalah, majalah, koran, media online yang berhubungan dengan kehidupan, perjuangannya dalam pergerakan nasional hingga pemikiran politik Haji Agus Salim tentang Nasionalisme Islam.

1.6.3 Teknik Analisa Data

(15)

1.7. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang terperinci dalam pembahasan skripsi ini, maka penulis membagi sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Pembatasan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Metodologi Penelitian dan Sistematika Penelitian.

BAB II : BIOGRAFI HAJI AGUS SALIM

Pada bab ini akan diuraikan tentang gambaran perjalanan hidup Haji Agus Salim. Diawali dari masa kanak-kanak, masa dewasa, hingga perjuangan Haji Agus Salim dalam pergerakan nasional, perjuangannya dalam bidang agama serta perjuangannya pada zaman revolusi.

BAB III : PEMIKIRAN POLITIK HAJI AGUS SALIM TENTANG NASIONALISME YANG BERDASARKAN ISLAM

Pada bab III dalam penulisan penelitian ini nantinya akan berisikan data-data dan juga fakta yang diperoleh dari buku-buku, majalah, koran, media online dan juga akan menyajikan pembahasan dan analisis data pemikiran Haji Agus Salim, apa yang melatarbelakangi pemikiran Haji Agus Salim, serta apa yang menjadi ide atau gagasan penting pemikiran Agus Salim.

BAB IV : PENUTUP

Referensi

Dokumen terkait

Nastankom suvremenih medija koje stvaraju sami korisnici (blogovi, dru š tvene mre ž e) „mainstream“ mediji zamijenjeni su personaliziranima – internet je postao

Mata kuliah ini membahas tentang sistem transportasi; SISTRANAS; dasar, tujuan dan konsep jaringan transportasi; transportasi perkotaan dan regional; angkutan umum;

Hasil penelitian menunjukkan bahwa politik luar negeri Rusia dalam merespon perubahan iklim di Kutub Utara adalah politik luar negeri yang lebih bersahabat

berdasarkan data perekaman VMS dan hasil wawancara kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan purse seine dengan GT kapal >30 GT di PPS Belawan lebih berpusat ke

Gambar 3: a) Schooling ikan pelagis kecil di perairan Selat Bangka pada musim timur. Stasiun 4-9 sounding akustik pada siang hari. Stasiun 1-3 dan 10-12 sounding akustik pada

[r]

Pada hari ini,Kamis tanggal Enam bulan September tahun Dua Ribu Dua Belas Pukul 10.00-12.00 WI B bertempat di aula Kantor Kementerian Agama Kabupaten Bondowoso, yang bertanda tangan

Namun, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sendra, E (2016) yang dilakukan pada ibu hamil dengan judul Pengaruh Konsumsi