INS IDE N PE MBA K A R A N K IT A B S UCI : K E GA GA L A N ME MBA NGUN DIA L OG PE R DA MA IA N
R idwan al-Makassary
Kota J ayapura kembali berduka di saat umat Kristiani merayakan hari kenaikan Isa Al-Masih, dan juga disaat umat Islam bersiap menyongsong kehadiran bulan ramadhan mulya. Kamis, ”5 Mei ”0“7, tersebar melalui media sosial dengan secepat kilat isu pembakaran kitab suci di Padang Bulan, yang sontak menerbitkan ketegangan. Di duga seorang anggota T NI melakukan pembakaran tersebut saat melakukan korvei mes yang ditinggalkan pasukan sebelumnya. Sekelompok orang kemudian memblokade jalan raya Abepura-Sentani, Bahkan Kapolresta dan ajudannya yang tiba untuk menenangkan massa dikeroyok massa dan dilempari batu hingga terluka dan dirawat di rumah sakit.
Sebagaimana banyak beredar di pemberitaan, peristiwa ini terjadi setelah informasi pembakaran kitab suci disampaikan di gereja yang memicu kemarahan publik yang kemudian menuntut pelaku pembakaran segera menyerahkan diri untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Daam merespon kemarahan sekelompok massa, pihak pengayom hukum, hemat saya, patut diapresiasi oleh karena telah melakukan pengamanan dan tindakan terukur dalam upaya membubarkan massa akibat telah mengganggu ketertiban dan menghalangi hak masyarakat lainnya untuk menggunakan jalan yang dipalang.
Karenanya, tulisan ini mengajukan argumen bahwa kegagalan membangun dialog damai telah membuat masalah ini mengarah kepada ancaman timbulnya konflik kekerasan, mengulang beberapa fenomena sebelumnya seperti heboh surat edaran Persekutuan Gereja-Gereja se J ayawijaya (PGGJ ) yang juga bermula dari pesan yang tidak diklarifikasi sehingga menimbulkan ketegangan antara umat beragama. Hal ini akan diulas untuk mendapatkan gambaran tentang kegagalan membangun dialog. Namun, sebelum membahas hal tersebut di bagian akhir tulisan penulis akan menyampaikan beberapa hal terkait insiden yang menyesakkan dada ini.
Dalam sebuah perspektif yang lebih luas, peristiwa ini tidak bisa dilepaskan dari bias nasional dan lokal yang terjadi. Bahkan, mungkin bias internasional. Bias nasional yang dimaksud adalah maraknya politik identitas sejak pagelaran pilkada 6 bulan silam yang telah memecah masyarakat dalam dua kutub pro dan kontra Ahok. Meskipun epicentrum beada di ibukota J akarta namun magnitudenya mampu menjangkau Papua yang cukup jauh dari pusat. Kasus Bom Kampung Melayu juga sedikit banyak bertautan dengan politik identitas yang belum surut seluruhnya. Konteks lokal, meskipun perlu dikaji lebih jauh, terkait dengan tahun politik di Papua serta pergerakan kelompok-kelompok tertentu yang berupaya mengail di air keruh, terutama setelah ada isu pembubaran HT I, curas dan pembunuhan serta isu Papua Merdeka yang tidak surut. Dalam konteks Internasional, Bom Manchester dan ISIS yang menguasai kota Marawi di Filipina serta lobi kelompok M di manca negara sedikit banyak menyumbang kontribusi bagi gejolak sosial ketika terdapat pemicu, seperti terjadi dalam insiden ini.
didialogkan dengan pihak berkepentingan, seperti FKUB kota. T api di sini, faktanya justru ada orang yang secara sengaja menyampaikan berita yang tidak benar kepada massa di sebuah gereja sehingga menimbulkan guncangan sosial, oleh karena yang diganggu adalah bagian dari keyakinan dan kepercayaan. Kejadian ini seolah mengulang upaya percobaan untuk menimbulkan konflik di masyarakat seperti konflik komunal sebelumnya, termasuk insiden PGGJ , apalagi saat menjalani perayaan agama dan menyambut bulan ramadhan. Selain itu, pengguna media sosial juga turut memperkeruh suasana dengan menyebar berita yang mereka sendiri tidak tahu duduk perkaranya secara persis sehingga semakin membuat isu ini semakin liar dan mengundang sejumlah reaksi negatif.
Kita mungkin bisa belajar dari kasus PGGJ yang disebut di atas. Mungkin juga perlu adanya kearifan bahwa tahun ini tahun politik, sehingga tidak tertutup kemungkinan ada pihak-pihak yang ingin membenturkan Muslim dan Kristen sehingga mereka bisa mengambil keutungan dan tersenyum penuh kemenangan. T etapi mesti dicamkan bahwa tidak ada konflik yang murni agama di Indonesia. Agama dalam kasus Ambon dan Poso, bahkan insiden T olikara ”0“5 lebih karena miskomunikasi, di mana agama hanya dimanipulasi oleh kelompok elit kepentingan yang berharap meraup untung dengan terjadinya konflik tersebut.
Saya sering menulis dan menyampaikan bahwa berdasarkan laporan dari
International
Crises Group
(ICG) beberapa faktor kunci konflik di Papua: migrasi kelompok Muslim ke Papua; kemunculan kelompok-kelompok eksklusif baru dalam Islam dan Kristen; akibat sisa-sisa ekslusifitas lama dari konflik Maluku; akibat dari pembangunan yang ekstensif di luar Papua. Sementara itu, terdapat empat tantangan kerukunan di T anah Papua (FKPPA dan Dian Interfidei, ”0“4): Fanatisme Agama; Primordialisme etnik; Marjinalisasi orang Asli Papua; Perubahan Sosial Akibat Bonus Demografi. Apa yang terjadi di J ayawijaya hari itu adalah manifestasi dari fanatisme agama berlebih-lebihan. J uga, yang terjadi hari ini di Papua mencerminkan hal yang sama.Kasus PGGJ menyaksikan penyelesaian secara damai di tingkat lokal, di mana Bupati dan FKUB setempat bisa menjadi mediator, karena saya dengar surat pernyataan PGGJ tanpa sepengetahuan FKUB setempat. Dalam hal ini, di sana telah terjadi dialog untuk mencari titik temu dan semua pihak menahan diri serta mengembalikan persoalan tersebut ke jalur perundang-undangan yang berlaku dalam pembangunan rumah ibadah.
Selanjutnya, pada tingkat provinsi melalui kanwil kemenag Papua telah dilangsunkan rapat untuk membahas persoalan termasuk solusi untuk kasus tersebut tidak meluas. Di dalam rapat yang penuh dinamika tersebut terdapat Muslim Wamena yang menyatakan mereka siap untuk berperang kalau tidak ada penyelesaian. T api saya kira itu karena emosional sehingga dia menyatakan seperti itu. Ini tentu tidak kita inginkan terjadi. Untungnya, pernyataan sikap Ikatan Keluarga Wilayah Walesi J ayapura (”6-”-”0“6) yang meminta Bupati menyelesaikan masalah dengan cara-cara damai dan semua stakeholder menjaga diri untuk tidak mengeluarkan pernyataan yang bisa memicu kekisruhan sosial.
pembakaran buku tersebut akan diproses secara hukum yang transparan. Ketiga, masyarakat jangan main hukum sendiri karena akan merugikan kita semua. Keempat, para pemuka agama perlu memberi kesejukan bagi umatnya. Semoga kedamaian kembali menyelimuti kota J ayapura yang beriman.