• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rule of Law dan Bank Sentral

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Rule of Law dan Bank Sentral"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

Rule of Law dan Bank Sentral Mata Kuliah Hukum Perbankan

Pengajar:

Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M. Dr. Zulkarnain Sitompul, S.H., LL.M

Oleh:

Zefanya B. P. Samosir NIM 1506781231 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA

(2)

1 Rule of Law dan Bank Sentral

Zefanya Brian Partogi Samosir

NIM: 1506781231

Adanya bank sentral di suatu negara sudah dianggap sebagai suatu keniscayaan (seolah sudah taken for granted). Pada suatu Konferensi Brussels tahun 1920, ditarik kesimpulan bahwa, di negara-negara dimana tidak ada bank sentral, maka perlu dibentuk bank sentral.1 Ada pula anekdot yang mengatakan bahwa, begitu suatu negara baru merdeka, negara tersebut mendesain bendera, menulis lagu kebangsaan, dan lalu segera mendirikan bank sentral.2 Walaupun sebenarnya bank sentral

merupakan fenomena yang relatif masih baru, baru ada sekitar satu abad.3

Sebuah bank sentral harus mengatur “peredaran darah” dari “jantung” kegiatan

ekonomi nasional karena tindakan yang diambil oleh bank sentral secara langsung mempengaruhi suku bunga, jumlah kredit, dan persediaan uang, yang semuanya berdampak langsung bukan hanya pada pasar keuangan namun juga terhadap produksi

agregat dan inflasi.4 Peran bank sentral sangat krusial bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

Akibat perannya yang sangat krusial itu, bank sentral seringkali bersinggungan dengan kepentingan politik. Seperti akan dijelaskan pada bagian selanjutnya dari tulisan ini, tekanan kepentingan politik pada bank sentral malah cenderung menyebabkan kerugian bagi bank sentral sendiri, dan selanjutnya, bagi ekonomi suatu negara.

Oleh karena peran dan pengaruhnya yang begitu besar pada kehidupan ekonomi suatu negara, perbankan sentral dapat dilihat dalam kajian penyelenggaraan pemerintahan. Ada yang berpendapat bahwa Bank sentral terlalu krusial untuk dipercayakan pada tangan dan kehendak manusia. pembatasan kewenangan manusia serta masuknya

1 R.S. Sayers, Central Banking After Bagehot, Oxford University Press, 1957, hlm. 110. 2 Fachry Ali dkk, The Politics of Central Bank The Position of Bank Indonesia Governor in

Defending Independence, LSPEU, 2003, hlm. 1.

3 R.S. Sayers, op. cit., hlm. 1

4 Frederick Mishkin, The Economics of Money, Banking, and Financial Markets, seperti dikutip

(3)

2 hukum untuk menggantikan kuasa manusia, adalah tema utama dari pembahasan mengenai konsep rule of law.

Tulisan ini akan membahas perbankan sentral dikaitkan dengan konsep rule of law. Pertama-tama akan diuraikan secara singkat mengenai rule of law, kemudian akan disampaikan uraian seputar bank sentral, lalu terakhir, beberapa aspek dari perbankan sentral akan dianalisis dalam kaitannya dengan konsep rule of law.

I

Rule of Law

Rule of Law

“The rule of law, as I (admittedly a long retired lawyer) understand,

refers to a structural exercise of rule as opposed to the idiosyncratic will of kings and princes. Even where the latter may express itself benevolently the former is morally and politically superior. Where the rule of law does not apply, rulers assume entitlement to rule; the rule of law, on the other hand, places the emphasis upon structured

responsibility and obligation.”5

Kutipan dari Nelson Mandela tadi kurang lebih menggambarkan pengertian umum mengenai rule of law.

Kata-kata “rule of law” sekarang ini sering dijadikan sumber legitimasi suatu pemerintahan, dan sudah otomatis dianggap sebagai sesuatu hal yang positif oleh semua pihak; walaupun begitu makna “rule of law” sendiri sering dipertentangkan.

5 Terjemahan bebas: rule of law, menurut pengertian saya (seorang pensiunan pengacara), adalah

penerapan aturan secara struktural alih-alih penerapan kemauan raja dan pangeran. Kalaupun kemauan raja dan pangeran adakalanya bersifat baik, namun tetap saja rule of law superior baik secara moral maupun politik. Jika rule of law tidak ada, penguasa lalu merasa berhak untuk mengambil kekuasaan; namun rule of law menitikberatkan pada pertanggungjawaban dan pengenaan kewajiban yang terstruktur.

(4)

3 Menurut Hayek, untuk kegunaan ekonomi, rule of law harus memastikan bahwa ketidakpastian ditekan sekecil mungkin dan harus dipastikan bahwa tiap orang dapat membuat rencana kedepan dengan keyakinan yang cukup. Hal mana baru dapat dipastikan jika penggunaan kekuatan memaksa dari Pemerintah dapat diprediksikan dengan cukup akurat. Implikasi lain adalah diskresi administratif harus dibatasi lingkupnya.6

Menurut Brian Tamanaha, pada intinya, rule of law berarti bahwa baik pejabat

pemerintah maupun rakyat terikat oleh, dan mematuhi, hukum.7 Inilah unsur minimum dari rule of law; penulis-penulis lain mungkin menambahkan beberapa elemen lain untuk menggambarkan rule of law, namun pada umumnya menyetujui elemen dasar ini.

Secara spesifik, Tamanaha sengaja tidak memasukkan “demokrasi” atau “hak asasi

manusia” sebagai salah satu unsur rule of law.8 Rule of law menurut Tamanaha juga

tidak terkait dengan cara pembuatan hukum (apakah hukum tersebut dibentuk secara demokratis atau tidak), atau standar apa yang harus dipenuhi oleh hukum (apakah memenuhi standar HAM atau tidak). Oleh karena itu, untuk menerapkan rule of law

tidak wajib menganut pula faham demokrasi liberal.9

Tiga tema besar dari rule of law adalah:10

• Pengertian bahwa Pemerintah itu dibatasi oleh hukum • Pengertian adanya legalitas formal

• Adanya “rule of law, not man”.

Berikut akan dijelaskan lebih lanjut masing-masing tema besar tersebut.

Pengertian bahwa Pemerintah harus dibatasi oleh hukum.

6Ber adette A. Me ler, E o o i E erge a d the Rule of La , Cor ell La “ hool Legal

Studies Research Paper Series, hlm. 23.

7Bria Z. Ta a aha, The Histor a d Ele e ts of the Rule of La , Singapore Journal of Legal

Studies [2012], hlm. 233.

8 Ibid.

(5)

4 Pengertian ini sudah sejak lama diusahakan penerapannya. Namun muncul dilema: kalau penguasa menciptakan hukum, bagaimana mungkin ia sendiri diikat oleh hukum? Banyak penulis, dari Aquinas sampai Hobbes, menganggap hal ini tidak mungkin.

Dalam keadaan / era pre-modern, biasanya penguasa itu sendiri yang mengakui / bersumpah bahwa dirinya akan mengikatkan dirinya pada hukum.

Selain itu, masyarakat sendiri mengasumsikan bahwa hukum berlaku atas semua orang, termasuk pada penguasa itu sendiri.

Kalaupun terjadi pelanggaran terhadap hukum (hal mana memang sering terjadi pada era pre-modern), penguasa tetap coba meyakinkan orang-orang bahwa pelanggaran tersebut legal. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya, hukum memang mengikat.

Pada era modern, dilema antara penguasa dan hukum dipecahkan dengan melakukan diferensiasi kekuasaan (menciptakan institusi-institusi terpisah didalam pemerintahan, dengan fungsi yang berbeda-beda)11 : dibentuklah Kejaksaan (attorney general) yang

independen, lembaga kehakiman yang independen, yang kemudian mengikatkan lembaga pemerintahan lain pada hukum.

Pemisahan kekuasaan ini adalah jawaban atas keraguan Hobbes bahwa Pemerintah bisa terikat pada dirinya sendiri.

Adanya legalitas formal

Aspek legalitas dari rule of law secara umum dimengerti sebagai keharusan bahwa hukum :

• Ditentukan dimuka, • Berlaku umum

• Diketahui secara umum

• Diberlakukan secara sama tergantung persyaratannya dan; • Tidak mustahil untuk dipatuhi.

(6)

5 Legalitas ini menimbulkan salah satu efek positif dari rule of law, yaitu prediktabilitas. Hayek mengatakan bahwa rule of law memungkinkan kita memperkirakan dengan cukup akurat, bagaimana pihak penguasa akan menggunakan kekuasaan memaksa dalam keadaan tertentu, dan kita dapat merencanakan urusan individual kita berdasarkan perkiraan tadi.12

Terkait dengan sistem ekonomi, prediktabilitas dapat membantu jalannya transaksi di pasar, karena dengan adanya prediktabilitas, para pedagang dapat mengkalkulasi potensi untung-rugi (cost and benefits) dari transaksi di masa depan.13

Menurut Max Weber, kepentingan kaum borjuis memerlukan sistem yang fungsinya dapat diperhitungkan (“functions in a calculable way”), dan Weber bahkan

mendalilkan bahwa kemajuan kapitalisme di dunia Barat dimungkinkan oleh sistem hukum yang berfungsi “seperti mesin slot, dimana fakta masuk di satu sisi, dan

keputusan muncul di sisi lain.”14

Selanjutnya, prediktabilitas juga dapat diartikan sebagai didahulukannya aturan diatas standar yang sifatnya kabur, seperti dikatakan oleh Posner.15 Terkait hal yang sama,

Joseph Raz berkomentar:

“since the law should strive to balance certainty and reliability against

flexibility, it is on the whole wise legal policy to use rules as much as

12 Rule of law makes it possible to foresee with fair certainy how the authority will use its coercive po er i gi e ir u sta es a d to pla o e’s i di idual affairs o the asis of this k o ledge.

Friedri h Ha ek, The Road to “erfdo , dikutip dala Bria Ta a aha, op. cit., hlm. 240.

13 Brian Tamanaha, op. cit., hlm. 240

14Ma We er, E o o a d “o iet , dikutip dala Ofer Ra a , The Falla of Legal Certai t ,

Wh Vague Legal “ta dards a e Better for Capitalis a d Li eralis , Public Interest Law Journal Vol. 19, hlm. 177.

15 The rule of law implies (as the name suggests) a preference for rules over standards. Although a

legislature, by issuing a standard, announces in advance of the regulated conduct that anyone who engages in that consuct now risks a sanction, in practive this announcement does not amount to much because it does not tell people what is permitted and what is not permitted, though it gives them something of an idea

(7)

6 possible for regulating human behaviour bevause they are more certain

than [standards]”16

Adanya pengertian “rule of law, not man”

Inspirasi gagasan ini adalah bahwa rule of law memungkinkan kita untuk tidak hidup dibawah kesewenang-wenangan manusia lain – baik itu pihak kerajaan, hakim, pejabat pemerintah, ataupun sesama anggota masyarakat. Gagasan bahwa kita dapat dilindungi dari kelemahan-kelemahan manusia seperti bias, hawa nafsu, prasangka, kekhilafan, ketidaktahuan, atau perubahan kehendak (whim.)17

Bahkan sejak zaman Yunani kuno, baik Plato maupun Aristoteles mengakui bahwa manusia terjerat oleh hawa nafsu dan distorsi akal budi, dan kekuasaan dapat merubah orang yang paling baik sekalipun, menjadi rusak.18

II.

Bank Sentral

Terkait gambaran umum fungsi bank sentral, Montagu Norman menggambarkannya sebagai berikut:

“it should have the sole right of note issue; it should be the channel, and the sole channel, for the output and intake of legal tender currency. It should be the holder of all the Government balances; the holder of all the reserves of the other banks and branches aof banks in the country it should be the agent, so to speak, through which the financial operations at home and abroad of the Government would be performed. It would further be the duty of the central bank to effect, so far as it could, suitable contraction and suitable expansion, in addition to aiming generally at stability, and to maintain that stability within as well as without. When necessary it would be the ultimate source from which

16 Terjemahan bebas: karena hukum harus berusaha menyeimbangkan kepastian dan kehandalan,

terhadap fleksibilitas, maka secara umum dapat dikatakan bahwa adalah bijak untuk sebanyak mungkin menggunakan aturan untuk mengatur perilaku manusia karena aturan lebih pasti daripada standar.

Joseph Raz, Legal Principles and the Limits of Law, dikutip dala Ofer Ra a , The Falla of Legal Certainty, Why Vague Legal Standards may be Better for Capitalis a d Li eralis , Public Interest Law Journal Vol. 19, hlm. 175.

(8)

7 emergency credit might be obtained in the form of rediscounting of approved bills, or advances in approved short securities, or

government paper.”19

Keperluan Eksistensi Bank Sentral

Salah satu hal yang menarik terkait eksistensi bank sentral yang sekarang ini sudah dianggap keniscayaan, padahal menurut Sayers merupakan fenomena yang relatif baru (dalam arti, untuk jangka waktu yang cukup lama, banyak Negara dapat berjalan normal tanpa adanya bank sentral), adalah keperluan eksistensi bank sentral, utamanya di negara-negara berkembang.

Menurut Sayers, rata-rata Bankir (bahkan pengelola bank sentral) berpendapat bahwa tidak perlu ada bank sentral di negara berkembang, sedangkan politisi rata-rata berpendapat bahwa negara mereka harus punya bank sentral karena kalau tidak ada bank sentral, negara mereka sangat rentan terhadap pengaruh negara asing.20

Kembali lagi ke deskripsi tugas bank sentral menurut Norman Montagu yang terdiri dari beberapa hal:

• hak tunggal mengeluarkan mata uang,

• menjadi satu-satunya jalur keluar masuknya mata uang, • memegang seluruh neraca kekayaan pemerintah,

• pemegang simpanan emas bank-bank lain beserta cabangnya,

• menjadi sarana Pemerintah dalam melakukan operasi finansial baik di dalam maupun luar negeri,

19 Terjemahan bebas: (bank sentral) mempunyai hak tunggal mengeluarkan mata uang, menjadi

satu-satunya jalur keluar masuknya mata uang, memegang seluruh kekayaan pemerintah, pemegang simpanan emas bank-bank lain beserta cabangnya, menjadi sarana Pemerintah dalam melakukan operasi finansial baik di dalam maupun luar negeri, menerapkan kontraksi dan ekspansi pasar uang yang bertujuan menciptakan dan menjaga stabilitas, serta dalam keadaan darurat, menjadi sumber kredit darurat melalui pemotongan tingkat bunga pinjaman, pemberian uang pinjaman jangka pendek, atau surat berharga pemerintah.

Montagu Norman, dari Notulen Rapat Royal Commission on Indian Currency and Finance, seperti dikutip dalam R.S. Sayers, Central Banking After Bagehot, Oxford University Press, 1957, hlm. 108.

(9)

8 • menerapkan kontraksi dan ekspansi pasar uang yang bertujuan menciptakan

dan menjaga stabilitas baik di dalam maupun di luar negeri, serta

• dalam keadaan darurat, menjadi sumber kredit darurat melalui pemotongan tingkat bunga pinjaman, pemberian uang pinjaman jangka pendek, atau surat

berharga pemerintah.

Menurut Sayers, Pada saat sistem gold standard berlaku, Bank sentral di tiap-tiap negara diperlukan untuk menjaga stabilitas internal mereka dari ketidakseimbangan persediaan emas di luar negeri. Penjagaan stabilitas tadi dilakukan lewat pengaturan suku bunga dan persediaan uang. Efeknya secara global, sistem gold standard dapat berjalan dengan lancar.

Tugas-tugas bank sentral tadi menyiratkan adanya tujuan dari bank sentral suatu negara secara internasional untuk menjaga nilai emas (gold standard). Untuk

keperluan inilah, pada Konferensi Brussels tahun 1920, ditarik kesimpulan bahwa, di negara-negara dimana tidak ada bank sentral, maka perlu dibentuk bank sentral.21

Namun di banyak negara kecil, bank sentral tidak dapat melakukan operasi pasar karena memang tidak ada pasar uang, dan lagipula bank-bank komersil (yang

umumnya merupakan cabang dari bank besar asing) tidak perlu meminjam dari bank sentral (mereka tinggal meminta pinjaman dari cabang lain di luar negeri yang terletak di kota-kota pusat keuangan besar); akhirnya bank sentral hanya menganggur saja, dan tingkat suku bunga serta operasi pasarnya tidak berpengaruh banyak.22 Lagipula, pada saat Sayers menulis bukunya, sistem gold standard sudah ditinggalkan, jadi tujuan bank sentral yang terkait penjagaan sistem gold standard sudah tidak relevan lagi.

Namun bank sentral di negara berkembang ini tidak serta merta dianggap tidak perlu ada; bank sentral tersebut dapat pula mengambil peran sebagai penasihat teknis bagi

pemerintah, terutama di bidang perdagangan asing serta pendanaan perang23

(10)

9 Selanjutnya, Banyak Negara bekas jajahan juga mendirikan bank sentral sebagai simbol eksternal kedaulatan mereka, serta lepasnya mereka dari pengaruh asing. Hal terakhir ini terjadi misalnya di Ceylon dan Burma serta beberapa negara Afrika.24

Berikut dipaparkan beberapa aspek mengenai bank sentral:

Pembentukan Bank Sentral

Bank-bank sentral generasi awal pembentukannya sangat erat hubungannya dengan pemerintah bangsa tersebut.

Satu hal yang membuat hubungan antara bank sentral dan pemerintah sangat dekat adalah kebutuhan Pemerintah akan uang. Selanjutnya hal ini pula yang membuat bank sentral umumnya diberi hak eksklusif untuk mencetak uang.

Misalnya bank sentral Inggris (Bank of England), yang dibentuk pada abad ke-17, dan dibentuk karena pemerintah saat itu sangat sangat membutuhkan uang (in desperate

want of money) lalu dikumpulkanlah 1.2 juta Poundsterling dengan janji suku bunga 8 persen. Uang yang terkumpul di Bank ini sangat berguna untuk mempertahankan

Inggris dari serangan Perancis. 25

Pada awal pembentukannya, Bank of England diberi hak mengedarkan uang setara dengan modal dasarnya sebesar 1,2 juta poundsterling. Anggota pemodal serta direktur Bank of England sendiri terdiri dari pedagang (merchants), dan bukan pejabat atau bankir.26 Bank of England pada awalnya tidak ubahnya seperti Bank swasta biasa, yang mempunyai klien istimewa: Pemerintah Inggris.27

Pada tahun 1697, Pemerintah Inggris menambah modal Bank of England, sehingga Bank tersebut dapat meminjamkan lebih banyak uang kepada Pemerintah, dan sebagai balasannya, diberikanlah beberapa hak istimewa pada Bank of England seperti aturan

24 Ibid.

25 Walter Bagehot, Lombard Street: A Description of the Money Market, Richard D. Irwin, Inc,

1962.hlm. 24.

(11)

10 yang mewajibkan untuk membayarkan segala pembayaran yang harus dibayar kepada Pemerintah, melalui Bank of England. Melalui Undang-Undang yang sama pula, ditentukan bahwa tanggungjawab para Direktur dan Pengelola Bank of England tidak sampai pada harta pribadinya, artinya berlaku limited liability (tanggungjawab

terbatas), yang pada waktu itu tidak berlaku pada Perusahaan lain.28 hal tersebut kian memudahkan Bank of England untuk mendapat pemodal baru, hal mana ditujukan oleh Pemerintah Inggris untuk memungkinkan Bank of England meminjamkan lebih banyak dana pada Pemerintah.

Pada pembaruan-pembaruan selanjutnya dari Anggaran Dasarnya, pada tahun 1709, 1713, 1742, sampai awal abad ke-19, Bank of England memberi pinjaman baru kepada Pemerintah, dan selalu diganjar dengan pemberian hak istimewa baru. Pada

pembaruan Anggaran Dasar tahun 1709, ditetapkan pula oleh Pemerintah bahwa, tidak ada perusahaan lain yang terdiri dari lebih dari 6 anggota, boleh menerbitkan nota bank (note) yang dapat dicairkan segera (payable on demand).29 Pemberian hak-hak

istimewa ini menekan bank-bank kecil untuk bersaing dengan Bank of England.

Di pihak lain, Pemerintah Inggris terus mengandalkan Bank of England untuk

membiayai keperluannya. Pada sekitar tahun 1793, Perang dengan Perancis baru berakhir dan Pemerintah memerlukan pinjaman dana. Berdasarkan Bank Act tahun 1694, Bank tidak boleh memberi pinjaman pada Pemerintah tanpa persetujuan Parlemen, namun pada tahun 1793 diajukanlah Undang-Undang baru untuk melepaskan larangan tersebut; efeknya, Bank terikat untuk meminjamkan jumlah berapapun kepada Pemerintah.30 Pinjaman Pemerintah menjadi begitu besar sehingga menghimpit posisi reserve Bank waktu itu, dan pada tahun 1797 Pemerintah

menerapkan penundaan sementara (suspensi) pencairan nota yang diterbitkan Bank of England, yang dilakukan melalui keputusan Parlemen untuk mengatasi penarikan dana oleh masyarakat, sedangkan posisi cadangan Bank sedang sangat lemah.31

28 Vera C. Smith, The Rationale of Central Banking, Liberty Press, 1990, hlm. 13. 29 Ibid.

(12)

11 Bank of England sendiri, seperti dijelaskan tadi, awalnya merupakan bank swasta biasa, namun kedekatan Bank of England dengan Pemerintah membuat kredibilitasnya sangat kuat, dan efeknya, pengelola Bank of England tidak punya rasa tanggung jawab yang sama, untuk memastikan Bank mempunyai reserve (cadangan) yang cukup, apalagi dengan adanya berkali-kali intervensi Pemerintah untuk melindunginya. Di sisi lain, sebagai bank yang berasal dari status swasta, para Direktur Bank pada tahun 1819 memprotes Pemerintah karena curiga bahwa Bank of England seolah dibebankan tanggung jawab untuk menyokong seluruh sistem mata uang Nasional.32

Pada era akhir Perang Dunia Pertama, Pemerintah Inggris kembali membutuhkan dana untuk membiayai kegiatan perangnya, dan lagi-lagi Bank of England ditekan untuk mendukung perang, khususnya dengan mendukung upaya Pemerintah menjalankan strategi defisit anggaran.33

Pada tahun 1946, Bank of England akhirnya dinasionalisasi oleh Pemerintah. Kemudian tindakan Pemerintah Inggris dalam mematok suku bunga dan memberi pinjaman pada pihak-pihak tertentu, mengakibatkan terjadinya ekspansi dan kegiatan spekulatif, yang berujung pada krisis di Inggris tahun 1973.34

Hal yang menarik adalah, status Bank of England sebagai bank sentral tidak didapat dengan serta-merta, namun sebagai akibat dari bantuan-bantuan serta hak istimewa dari Pemerintahnya, yang menyebabkan Bank of England dapat menyingkirkan

saingan-saingannya. Karena kedekatannya dengan pemerintah, kredibilitasnya menjadi sangat tinggi sehingga pemilik bank-bank lain mengandalkan Bank of England untuk peminjaman dana, dan dengan sendirinya, cadangan (reserve) di Inggris terkumpul di Bank of England. Dengan begitu, sistem single reserve di Inggris terjadi kurang lebih tanpa disengaja, dan lebih merupakan akibat dari adanya satu bank yang terus menerus diberi bantuan dan hak istimewa.35

Bank sentral di Indonesia

(13)

12 Lain lagi proses pembentukan bank sentral di Indonesia. Sejak awal, bank sentral dibentuk lewat nasionalisasi dari De Javasche Bank pada awal 1950-an.36

Pada era itu bank sentral (Bank Indonesia) selalu ditekan pemerintah untuk menutupi defisit anggaran nasional. Di tahun 1957 dan 1958, batas jumlah pinjaman yang dapat diberikan ke Kas Negara dihapus untuk sementara, dan reserve requirement dalam mencetak uang juga dihapus.37

Pada tahun 1961, Jusuf Muda Dalam, seorang anggota Partai Nasional Indonesia, ditunjuk sebagai Menteri Urusan Bank Sentral dan sekaligus merangkap sebagai Gubernur Bank Indonesia. Hal ini menyebabkan Bank Indonesia tak ubahnya seperti alat kerja Menteri, dan bukan sebagai penjaga stabilitas keuangan.38

Bank Indonesia pun berubah menjadi penyedia dana bagi proyek-proyek Pemerintah: Bank Indonesia yang kemudian menjadi Bank Negara Indonesia Unit I setelah

mengalami restrukturisasi, tidak dapat menolak permintaan pinjaman dari Pemerintah dan tidak mempunyai mekanisme semacam batasan reserve minimum, sehingga Bank Indonesia tidak dapat menghentikan defisit anggaran, tidak dapat menghentikan

kebijakan moneter ekspansif yang terjadi karena Pemerintah ingin mendanai kegiatan yang tidak produktif. Akhirnya terjadilah inflasi.39

Untuk mendanai penghentian pemberontakan PRRI tahun 1957-1958, dilakukan kebijakan ekspansi moneter yang mengakibatkan suplai uang meningkat rata-rata 26%40 dan mengakibatkan inflasi. Ekspansi moneter terus meningkat sehingga suplai uang bertambah 50% pada 1961, sebanyak dua kali lipat pada 1962 dan 1963, bahkan empat kali lipat pada 1965, dilatarbelakangi proyek Pembangunan Nasional Semesta Berencana Delapan-Tahun dan rencana pengambilan wilayah Irian Jaya.41

Semua ini berdampak buruk pada legitimasi Pemerintahan Soekarno waktu itu; seperti dikatakan oleh Sjafruddin Prawiranegara, pada masyarakat yang kurang maju seperti

(14)

13 Indonesia, kepercayaan terhadap mata uang merupakan barometer kepercayaan publik terhadap suatu pemerintahan, sekaligus patokan otoritas penguasa terhadap rakyatnya. Semakin rakyat tidak percaya dengan mata uang nasional, maka semakin kecil pula otoritas Pemerintah terhadap rakyatnya.42

Selanjutnya pada awal era Orde Baru, telah disadari bahwa kebijakan ekspansif yang terjadi pada Orde Lama harus dihentikan, dan tugas ini harus diserahkan pada

teknokrat. Bank Indonesia diberi peran sebagai agen pembangunan (“agent of

development”)43 yang artinya, Bank Indonesia sama sekali tidak lepas dari Pemerintah.

Peran ini semakin nyata dengan pembentukan Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional pada 11 Agustus 1966, yang dipimpin langsung oleh Presiden. Dewan ini dibagi menjadi 3 sub bagian: Dewan Moneter, Dewan Distribusi, dan Dewan Produksi. Bank Indonesia sendiri diwakili oleh Gubernurnya sebagai bagian dari Dewan Moneter yang dipimpin oleh Menteri Keuangan.

Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral, semakin kokohlah dominasi Pemerintah Indonesia atas Bank Indonesia. Berbeda

dengan Undang-Undang Bank Sentral sebelumnya, (UU No. 11 tahun 1953), Pada Pasal 1 ditetapkan secara tegas bahwa Bank Indonesia adalah Bank Sentral. Pada Pasal 7 ditentukan secara tegas tanggungjawab Bank Sentral ini sebagai Bank yang tugasnya membantu Pemerintah dalam hal, selain menjagai kestabilan nilai Rupiah, juga mencakup “mendorong kelancaran produksi dan pembangunan serta memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat.”

Pendeknya, menurut Anwar Nasution, Bank Indonesia harus membiayai penerapan program Pemerintah.44

Perjalanan Bank Indonesia di era Orde Baru

Bagian ini sedikit banyak akan mengutip buku terbitan LSPEU, The Politics of Central Bank The Position of Bank Indonesia Governor in Defending Independence.

42 Sjafruddin Prawiranegara, Laporan Presiden dan Dewan Komisaris Tahun Pembukuan

1950-1951, seperti dikutip dalam Fachry Ali dkk., op. cit.., hlm. 7.

(15)

14 Pada awal era Orde Baru, ada beberapa tantangan yang dihadapi ekonomi Indonesia, yaitu hiperinflasi warisan Orde Lama, defisit devisa, dan angka pengangguran yang tinggi.

Untuk mengatasi inflasi, Bank Indonesia dibawah Pemerintah mengurangi suplai uang dengan menerapkan tight money policy: suku bunga ditingkatkan sampai mencapai 5-9%. Untuk meningkatkan simpanan masyarakat (tabungan), diberlakukan suku bunga deposito 6% untuk jangka 12 bulan dan suku bunga yang lebih rendah untuk deposito jangka waktu 3-6 bulan.

Untuk mengatasi defisit devisa, Bank Indonesia membatalkan kebijakan pembatasan valuta asing dan menerapkan nilai tukar mengambang sejak 1970, yang di fine tune agar selaras dengan Dolar AS.

Fungsi perantara (intermediary) juga mulai dikembalikan pada Bank Umum, dan Bank asing mulai diperbolehkan beroperasi di Jakarta.

Terjadi sinkronisasi antara kebijakan fiskal pemerintah yang berfokus pada perbaikan

infrastruktur, dengan kebijakan moneter Bank Indonesia yang memberikan pinjaman likuiditas pada sektor yang diprioritaskan.

Pada Pelita I, pertumbuhan ekonomi naik 8.4%, namun pertumbuhan ini juga

membawa resiko inflasi, yang juga didorong oleh booming Migas Pada periode 1973-1974. Untuk mengatasi hal ini, Bank Indonesia melakukan improvisasi dengan membatasi kredit, dan memberikan kredit terprogram yang ditargetkan pada Kredit Industri Kecil dan Kredit Modal Kerja Permanen yang ditujukan untuk mengurangi pengangguran.

Namun kontrol ketat atas kredit yang disalurkan melalui Bank BUMN, ternyata mematikan gairah kompetisi antar bank; Bank Indonesia mencampuri semakin dalam tiap-tiap bank BUMN. Berbelit-belitnya proses pemberian kredit yang selektif

(16)

15 tidak akan dibiarkan kolaps. Hal ini dimungkinkan dengan adanya booming Migas pada era itu.

Namun booming migas berakhir, harga minyak dunia jatuh, dan defisit devisa kembali terjadi. Jaminan likuiditas juga tidak dapat diteruskan.

Menanggapi hal itu, diluncurkanlah Paket Juni 1983 yang menerapkan liberalisasi perbankan; pinjaman likuiditas ditiadakan dan suku bunga dibiarkan mengikuti mekanisme pasar. Dengan dihapuskannya pinjaman likuiditas dari Bank Indonesia, bank-bank umum harus bersaing menghimpun dana dari masyarakat, dan akibat dari persaingan itu timbullah kenaikan suku bunga deposito.Persaingan ini juga membawa dampak membaiknya organisasi masing-masing bank umum sehingga iklim perbankan waktu itu efisien dan berjalan tanpa distorsi.

Masih menanggapi berakhirnya booming migas, lalu diluncurkan Paket Oktober 1988, yang didesain untuk memobilisasi dana dari rakyat. Komponen dari Paket Oktober 1998 ini diantaranya:

• Mengumumkan persyaratan membuka bank baru / membuka cabang • Mengurangi syarat reserve dari 15% ke 2%

• Meningkatkan mobilisasi dana domestik

Hasilnya ekonomi kembali berkembang, namun seperti biasa diikuti dengan inflasi. Untuk mengatasi inflasi tersebut, dilakukanlah improvisasi dalam bentuk kebijakan

tight money melalui diterapkannya kewajiban mengalihkan dana yang dipegang oleh BUMN kedalam SBI.

Namun sebagai akibat perkembangan ekonomi akibat Paket Oktober 1988 ada masalah

fundamental: perbedaan (spread) antara suku bunga pinjaman dan deposito telah melebar

begitu jauh. Terjadilah moral hazard pada sektor swasta. Banyak pemilik bank

menyalahgunakan fasilitas likuiditas untuk keperluan yang tidak ada hubungannya dengan

ekspor, seperti sektor properti, bahkan untuk keperluan konsumtif.

Lalu datanglah krisis ekonomi yang mulanya dari Thailand tahun 1997. Nilai tukar rupiah

jatuh dari Rp. 2,456 per Dolar AS pada Juli 1997, menjadi Rp. 16,538 per Dolar AS pada Juni

(17)

16 Maksimum Pemberian Kredit. Beberapa bank malah mengalami negative spread, keadaan

dimana bunga yang harus dibayarkan kepada nasabah, melebihi penerimaan dari bunga

pinjaman yang diberikan.

Untuk menahan jatuhnya Rupiah, Bank Indonesia mencoba memperlebar rentang intervensi

penjualan Dolar AS dari 8 persen menjadi 12 persen, dan melakukan operasi pasar sampai

menyedot cadangan devisa sampai 1.5 Miliar Dolar AS. Namun kekuatan pasar (dan aksi

spekulan) jauh lebih kuat. Bank Indonesia lalu mengambil keputusan drastis: melepas

intervensi terhadap Rupiah (menerapkan free float): Rupiah jatuh semakin cepat.

Menanggapi hal ini, Bank Indonesia mengajukan 4 program restrukturisasi perbankan, satu

diantaranya adalah likuidasi bank yang tidak likuid. Hal ini membawa konsekuensi yang

cukup drastis, yaitu terjadinya panik, dimana orang berama-ramai menarik dananya dari Bank.

Menanggapi hal tersebut dibentuklah BPPN dan BLBI, yang masih kontroversial sampai

sekarang.

Setelah jatuhnya Soeharto, dan naiknya B.J. Habibie sebagai Presiden, independensi Bank

Indonesia kembali diperkuat.

III

Bank Sentral dan Rule of Law

Sifat Diskresif Bank Sentral dan Rule of Law

Menurut R.S. Sayers, inti dari eksistensi bank sentral adalah melakukan kontrol diskresif terhadap sistem keuangan.45 Yang dimaksud dengan sifat diskresif itu sendiri adalah bahwa kontrol yang dilakukan tidak berdasarkan aturan (rule). Bahkan Sayers mengatakan bahwa bekerja menurut aturan adalah antitesis dari bank sentral:

“a community might hope more reasonable in some cases than in

others to attain its ends by making its monetary system work to rule. And working to rule is the antithesis of central banking. A central bank is necessary only when the community decides that a discretionary element is desirable. The central banker is the man who exercises his

discretion, not the machine that works according to rule”.46

(18)

17 Dalam uraian perjalanan Bank Indonesia di era baru yang disampaikan pada bagian sebelumnya, kata-kata “improvisasi” juga beberapa kali muncul; diantaranya dalam mengatasi inflasi pasca Pelita I, yang dilakukan dengan melakukan penyaluran kredit selektif.

“improvisasi” dalam uraian tadi kembali dapat kita temukan dalam tindakan Bank

Indonesia mengatasi inflasi pasca Paket Oktober 1988, dengan memberlakukan tight money policy dan pengalihan dana BUMN ke SBI.

Namun kalau diperhatikan, pelaksanaan kedua improvisasi tersebut tidak dilakukan dengan prosedur dan transparansi yang jelas: Apalagi pada kedua kejadian tersebut, Bank Indonesia tidak ubahnya Pemerintah sendiri – seperti telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia hanyalah anggota dari sub-Dewan Moneter dibawah Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional yang dipimpin Presiden.

Bank Indonesia juga ditegaskan sebagai pembantu Pemerintah menurut Pasal 7 Undang-Undang No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral.

Apalagi Indonesia, yang mengaku dirinya sebagai negara hukum, tak bisa mengabaikan konsep rule of law dalam penyelenggaraannya.

Tidak jelasnya prosedur dan proses formil, serta kurang transparannya “improvisasi” bank sentral, menjadikan hal-hal seperti itu dapat menimbulkan keraguan akan terpenuhinya rule of law dalam tindakan Bank Indonesia, termasuk diantaranya legalisme formal sebagai salah satu tema besar rule of law.

Memang pada kedua “improvisasi” tersebut, hasil akhirnya positif (dalam arti, tujuan yang diharapkan tercapai, memang tercapai), namun hal ini tidak dapat dipastikan berlaku untuk semua keadaan.

(19)

18 transparan.47 Khusus untuk BLBI sendiri, proses yang serba diskresif menjadikan kaburnya kriteria untuk membedakan antara bank yang sehat dan yang sakit, serta tiadanya kebijakan dan pedoman lending of last resort untuk meyakinkan

akuntabilitas.48 Akhirnya seperti kita ketahui sendiri, tindakan BI pada waktu itu malah makin memperparah keadaan.

Justru sifat tidak terduga (imprediktabilitas) semacam inilah yang coba dihindari dengan menganut konsep rule of law: bahkan kehendak manusia yang berkehendak baik pun, terkadang dapat berakibat buruk.

Terkait hal ini menarik untuk mengingat kembali pesan salah satu Proklamator kita Muhammad Hatta, dalam eseinya yang berjudul Demokrasi Kita. Didalam esei tersebut, Hatta mengibaratkan Soekarno seperti kebalikan dari tokoh Mephistopheles dalam cerita Faust; Soekarno selalu berniat baik tapi seringkali perbuatannya yang didasari niat baik menghasilkan konsekuensi yang buruk. Selain itu Hatta

memperingatkan Soekarno bahwa suatu sistem yang dibangun semata-mata atas kharisma seorang individu tidak akan lama umurnya; sistem semacam itu, ketika Soekarno tidak ada lagi, dikatakan akan “rubuh seperti rumah dari kartu.”

Salah satu hal yang ditambahkan dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999, belajar dari krisis 1998, adalah penambahan kriteria dan pembatasan untuk pemberian lending of last resort, serta amanat penerbitan Peraturan Bank Indonesia untuk

mengatur hal tersebut. ini secara implisit menyiratkan betapa pentingnya aturan (rule) yang memenuhi legalitas formil.

Walaupun bukan khusus tentang bank sentral, diundangkannya UU 9 tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, yang menuangkan prosedur penanganan krisis dalam suatu aturan tertulis, juga merupakan perkembangan yang patut disambut gembira karena meminimalisir kesan “improvisasi” serta

memberi gambaran yang cukup akan prosedur yang nantinya ditempuh dalam hal

47 S. Batunanggar, Reformulasi Manajemen Krisis Indonesia: Deposit Insurance and the Lender of

Last Resort. dari

http://www.bi.go.id/id/publikasi/lain/kertas-kerja/Documents/2f9b2b48d4fb4ad69782cb66d6a3d26dcrisismgmtind280103.pdf, diakses pada

3 Desember 2016, Hlm. 2.

(20)

19 adanya krisis. Adanya pengumuman berkala dari jumlah bank berdampak sistemik, juga memberikan salah satu efek yang diperkirakan akan datang dari rule of law, yaitu prediktabilitas, yang pada gilirannya menghasilkan adanya kesempatan untuk

merencanakan tindakan pihak swasta di masa depan, berdasarkan perkiraan akan tindakan yang akan diambil oleh otoritas (seperti dikatakan oleh Hayek49).

Justru, terlepas dari baik-buruknya akibat yang ditimbulkan dari diskresi, hal yang ditawarkan oleh rule of law adalah stabilitas.

Lebih lanjut, telah dikatakan pada bagian awal bahwa salah satu manfaat lain dari adanya rule of law adalah prediktabilitas: Hayek mengatakan bahwa rule of law memungkinkan kita memperkirakan dengan cukup akurat, bagaimana pihak penguasa akan menggunakan kekuasaan memaksa dalam keadaan tertentu, dan kita dapat merencanakan urusan individual kita berdasarkan perkiraan tadi.50 William van Lear mendalilkan bahwa ada kesepahaman antara para ekonom, bahwa pendekatan kebijakan moneter yang diskresif akan berakibat pada instabilitas ekonomi, condong pada inflasi, dan rentan terpengaruh politik.51 Selain itu, ekspektasi masyarakat terkait pendekatan ekonomi yang banyak campur tangan (activist policy) akan mengakibatkan

instabilitas ekonomi serta inflasi.52

Independensi bank sentral dan rule of law

Tidak hanya di Indonesia, diceritakan oleh Sayers, menanggapi sifat diskresif bank sentral seperti dijelaskan diatas, para penulis di beberapa Negara Eropa Barat (seperti Perancis, Jerman, Austria) pada akhir abad ke-19, mulai mendengungkan konsep perbankan bebas (free banking) yang tidak memerlukan satu bank sentral.

49 Rule of law makes it possible to foresee with fair certainy how the authority will use its coercive po er i gi e ir u sta es a d to pla o e’s i di idual affairs o the asis of this k o ledge.

Friedri h Ha ek, The Road to “erfdo , dikutip dala Bria Ta a aha, op. cit., hlm. 240.

50 Ibid.

51 William van Lear, A Re ie of the Rules Versus Dis retio De ate i Mo etar Poli , Eastern

Economic Journal, Vol. 26, No. 1, hlm. 29.

(21)

20 Menurut para penulis ini, bank sentral yang diberi hak istimewa oleh Negara, sangat rentan dipengaruhi oleh tekanan dari pihak pemerintah yang acapkali gegabah. Sedangkan sistem perbankan yang terdiri dari banyak bank yang masing-masing bersaing secara setara, hanya dipengaruhi, dan diikat oleh, pertimbangan kehati-hatian komersil.53

Selanjutnya, didalilkan pula, bahwa kesalahan yang dilakukan oleh bank sentral akan membawa dampak buruk bagi seluruh sistem, sedangkan jika ada kesalahan yang dilakukan oleh satu dari antara banyak bank lain yang setara, tidak akan sama efeknya karena bank-bank lain dapat masuk dan mengambil alih peran bank yang melakukan kesalahan tadi.54 Argumen lain adalah bahwa bank sentral cenderung mengambil resiko lebih besar terkait simpanan emas yang dipegangnya, dibandingkan kalau simpanan tersebut dipegang oleh beberapa bank yang masing-masing setara. Pada akhirnya, inti dari argumen para penulis ini adalah bahwa manusia tidak boleh diberi kepercayaan untuk memegang diskresi, dan lebih baik semuanya diserahkan pada

sistem yang berjalan secara otomatis.55

Hal ini juga berhubungan dengan salah satu tema besar dari rule of law, yaitu pada

pembatasan wewenang Pemerintah oleh hukum, yang pada era modern dilakukan dengan pemisahan (diferensiasi) kekuasaan.

Seperti kita lihat dalam contoh perjalanan Bank of England serta Bank Indonesia pada era Orde Lama, selama bank sentral menjadi sumber dana Negara, maka Bank akan terikat untuk memenuhi kepentingan politik Negara yang seringkali gegabah. Hal ini akan berakibat buruk pada Bank itu sendiri (Bank of England beberapa kali tidak mampu membayar nota yang diterbitkannya sendiri), dan mengakibatkan inflasi (karena Bank dipaksa mengeluarkan pinjaman sehingga jumlah uang beredar bertambah drastis – seperti pada Indonesia di Orde Lama).

Satu lagi hal yang tidak sesuai dengan rule of law tentang Bank of England adalah pemberian hak-hak istimewa oleh Pemerintah waktu itu; salah satu elemen penting dari rule of law adalah kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law). Dalam

53 Sayers, op. cit., hlm. 2. 54 Ibid.

(22)

21 perkembangannya, kita lihat bahwa hak-hak istimewa yang dinikmati Bank of England lah yang pada akhirnya memungkinkan Bank of England sebagai satu bank swasta biasa, untuk mengalahkan pesaing-pesaingnya, dan mendapat kredibilitas yang luar biasa kuat, dan pada akhirnya, lewat mekanisme pasar, menjadi lender of last resort dan mengambil peran sebagai bank sentral.

Satu hal lain yang diakibatkan oleh tidak adanya independensi bank sentral adalah efek “political business cycle”, dimana pihak Pemerintah cenderung tertarik untuk mengejar keuntungan jangka pendek agar dapat dipilih kembali dalam pemilihan umum, dengan mengabaikan akibat jangka panjang, misalnya lewat ekspansi untuk menyerap tenaga kerja yang mengakibatkan inflasi pada jangka panjang.56

Friedrich Hayek, dalam pidatonya tahun 1976, berkomentar sebagai berikut:

“I have come to the conclusion that the best the state can do with

respect to money is to provide a framework of legal rules within which the people can develop the monetary institutions that best suit them. It seems to me that if we could prevent governments from meddling with money, we could do more good than any government has ever done in this regard. And private enterprise would probably have done better

than the best they have ever done”57

Pengurangan pengaruh politik dan kehendak manusia (dalam hal ini Pemerintah) dari urusan keuangan, juga dapat diamati dari isi Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang dalam berbagai Pasal menegaskan independensi Bank Indonesia. Dalam Pasal 48 misalnya, sudah tidak ada lagi celah bagi Pemerintah untuk secara sepihak memecat Dewan Gubernur BI untuk alasan politik semata.

56Eri Lo k ood, The Glo al Politi s of Ce tral Ba ki g: A Vie fro Politi al “ ie e ,

http://www.lawschool.cornell.edu/Conferences/changing-politics-of-central-banking-conference/upload/Lockwood_2016.pdf, diakses pada 3 Desember 2016, hlm. 9.

57Terje aha e as: sa a telah sa pai pada kesi pula ah a hal terbaik yang dapat

dilakukan oleh Negara terkait uang adalah memberikan suatu kerangka aturan hukum yang memungkinkan rakyat mengembangkan institusi keuangan yang paling cocok bagi mereka. jika kita dapat mencegah pemerintah campur tangan dalam urusan uang, maka kita telah berbuat lebih banyak bagi kebaikan ekonomi daripada apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk itu. “ela jut a usaha s asta u gki dapat erke a g le ih aik daripada se elu a.

(23)

22 Jauh sebelum itu, saat nasionalisasi De Javasche Bank, Syafrudin Prawiranegara memperingatkan jangan sampai Negara dapat mengontrol bank sentral, sehingga dapat memaksa bank sentral mencetak uang sesuai permintaan Pemerintah. Kalau perlu Bank harus dapat menolak permintaan pinjaman dari Pemerintah berdasarkan tanggung jawab Bank untuk menjaga stabilitas mata uang.58

Kesadaran ini juga berlanjut pada era Kabinet Juanda tahun 1959, dimana waktu itu Pemerintah melakukan reformasi keuangan terhadap Rupiah secara sepihak dan tanpa sepengetahuan Lukman Hakim, sebagai Gubernur Bank Indonesia. Lukman Hakim waktu itu merasa kewenangannya telah dilanggar oleh Pemerintah, dan pelaksanaan tugasnya telah diintervensi oleh Pemerintah: Lukman Hakim lalu mengundurkan diri sebagai tanda ketidaksetujuannya atas tindakan Pemerintah tersebut.59

Hal ini sangat kental pula dengan ide rule of law: utamanya salah satu tema besarnya yaitu adanya pengertian rule of law, not man. Pengaturan keuangan, dalam kesadaran Sjafrudin Prawiranegara dan Lukman Hakim, adalah sesuatu yang tidak boleh terjerat oleh alasan politik murni dan kehendak manusia semata. Ia harus mengikuti sesuatu selain kehendak manusia yang sering gegabah dan tidak memikirkan konsekuensi

jangka panjang tersebut; Ia harus mengikuti aturan. Ini sejalan dengan konsep rule of law.

Di pihak lain, Sayers sendiri mengakui ada kelemahan-kelemahan yang bersifat inheren dari bank sentral : misalnya tentang pengambilan keputusan : pengelola bank sentral harus membuat keputusan sebelum terjadi hal buruk dan coba

mengantisipasinya, sedangkan analisis yang dilakukan stafnya hanya bisa

menggambarkan apa yang sudah terlanjur terjadi. Selanjutnya, pengelola bank sentral sebagai manusia juga tidak lepas dari masalah politis.60 Namun Sayers berpendapat bahwa kelemahan-kelemahan inheren dari bank sentral ini dapat dijaga pada tingkat yang tidak berbahaya, utamanya seiring bertambahnya pengalaman pengelola bank

(24)

23 sentral, kemajuan ilmu statistik, dan semakin insyafnya pada pengelola bank sentral akan peran dan pengaruhnya terhadap ekonomi.61

Sayers lalu balik menyerang argumen para penulis tadi dengan mendalilkan bahwa tidak mungkin dibuat aturan baku yang dapat mengatur sistem keuangan secara permanen. Ia mencontohkan perubahan posisi likuiditas yang dibawa oleh

perkembangan industri kredit konsumen, atau perkembangan uang giral yang pada akhirnya menyebabkan pembuatan Bank Charter Act (Peel’s Act) tahun 1844, akhirnya hanya menjadi undang-undang kosong (empty shell) semata.62 Oleh karena itulah, menurut Sayers, diskresi yang dipegang oleh bank sentral masih diperlukan, karena tidak mungkin membuat aturan yang berlaku untuk segala tempat dan sepanjang waktu.

Namun tidak adanya aturan yang dapat berlaku selamanya, bukan berarti bahwa kita harus menyerahkan urusan keuangan sepenuhnya pada Pemerintah dan megnambil resiko bahwa bank sentral digunakan untuk mencapai tujuan politik. Justru, seperti dapat kita lihat dalam uraian sebelumnya, tindakan yang dilakukan dalam menghadapi krisis, dapat saja memperparah keadaan. Diadakannya aturan tidak perlu untuk

dimaksudkan agar berlaku selamanya dalam setiap keadaan, tapi setidaknya aturan tersebut dapat berlaku sebagai pengganti dari kehendak manusia semata (yang seringkali gegabah dan mengejar keuntungan jangka pendek saja).

Argumen yang mungkin senada dengan Sayers, yang dapat disampaikan adalah argumen yang mirip dengan yang diajukan oleh Brian Tamanaha terkait pengertian rule of law, not men: aturan tidak dapat sepenuhnya dipisahkan dari unsur manusia, utamanya dalam hal penerapan dan interpretasinya63

Mungkin juga dapat didalilkan bahwa pelanggaran rule of law dalam tindakan bank sentral merupakan pengecualian dari rule of law, dalam arti bahwa tindakan tersebut diambil dalam keadaan darurat (emergency) dimana rule of law dapat dikesampingkan

61 Ibid.

62 Sayers, op. cit., hlm. 6.

(25)

24 untuk sementara waktu. 64 Lagipula, keadaan-keadaan yang menuntut “improvisasi” bank sentral (misalnya untuk mengatasi inflasi pasca pertumbuhan ekonomi), sah-sah saja untuk dinilai sebagai keadaan darurat – dan selanjutnya membenarkan

pengecualian untuk rule of law. Namun walaupun memang membuka kemungkinan suspensi Argumen “keadaan darurat” ini sepertinya berbahaya untuk diterapkan dengan terlalu konsekuen, karena berpotensi mengundang kesewenang-wenangan. Hayek mengingatkan bagaimana klausul keadaan darurat dalam Pasal 48 Konstitusi Weimar di Jerman, memungkinkan rezim NAZI untuk mengambil kekuasaan.65

Bahkan dalam keadaan tidak adanya kesewenang-wenangan, pengabaian samasekali terhadap rule of law juga dapat mengakibatkan konsekuensi yang buruk, karena dalam kegiatan ekonomi, stabilitas dan kredibilitas sangat penting. Penanganan krisis tanpa sikap yang koheren, seperti terjadi pada krisis tahun 1998, walaupun didasari niat baik, justru malah dapat memperburuk keadaan.

Kelemahan-kelemahan dari aspek legalitas dari konsep rule of law, seperti

kemustahilan membuat aturan yang mampu mengatur yang dikeluhkan oleh Sayers, ataupun kelemahan-kelemahan lain seperti tidak dapat dihindarkannya aspek manusia

dari penerapan aturan, sepertinya tidak usah menghalangi kita untuk mengapresiasi rule of law sebagai hal yang berharga. Seperti kata Tamanaha, justru harga yang harus kita bayar jika tidak ada legalitas, mungkin akan jauh lebih besar: bila kita tidak bisa memperkirakan sebelumnya bagaimana sebuah organisasi akan bereaksi, maka kita akan selalu berada dalam ketidakpastian. Peran legalitas adalah mengurangi unsur ketidakpastian ini.66

Memang terkadang, kontrol negara terhadap bank sentral membuahkan hasil yang baik. Kita dapat lihat keberhasilan Bank Indonesia dalam era Pelita I untuk mengatasi

hiperinflasi warisan Orde Lama, misalnya, atau pacuan Bank Indonesia bersama Pemerintah dalam Paket Oktober 1988,yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang menggembirakan. Konsekuensi diskresi yang menghasilkan efek yang

64 Untuk diskusi terkait hal ini, dapat dibaca misalnya Ber adette A. Me ler, E o o i

E erge a d the Rule of La , Cornell Law School Legal Studies Research Paper Series

(26)

25 diharapkan (good consequences), tidak dinafikan oleh pendukung konsep rule of law. Plato bahkan mengatakan bahwa, pada saat Raja yang Bijak sedang bertakhta, maka aturan justru akan menghalangi keadilan, layaknya orang tua yang bebal.67 Tapi kita

tidak mungkin selalu yakin bahwa “Raja yang Bijak” akan selalu ada – hawa nafsu

dan distorsi akal sehat selalu hinggap dalam diri manusia; bahkan manusia paling bijak pun dapat dirusak (corrupted) oleh kekuasaan.68

Oleh karena itulah, bank sentral selayaknya bebas dari pengaruh politik Pemerintah, serta kehendak sesaat pemegang kekuasaan.

Lagipula, seperti dikatakan oleh Hayek, untuk kegunaan ekonomi, rule of law harus memastikan bahwa ketidakpastian ditekan sekecil mungkin dan harus dipastikan bahwa tiap orang dapat membuat rencana kedepan dengan keyakinan yang cukup. Hal mana baru dapat dipastikan jika penggunaan kekuatan memaksa dari Pemerintah dapat diprediksikan dengan cukup akurat. Implikasi lain adalah bahwa diskresi administratif harus dibatasi lingkupnya.69

Dengan demikian, rule of law juga memiliki hubungan, bahkan manfaat yang tidak

dapat diabaikan, dalam masalah perbankan sentral.

67 Dalam Brian Tamanaha, op. cit., hlm. 244. 68 Ibid.

(27)

26 DAFTAR PUSTAKA

Bernadette A. Meyler, “Economic Emergency and the Rule of Law”, Cornell Law School Legal Studies Research Paper Series

Brian Z. Tamanaha, “The History and Elements of the Rule of Law”, Singapore Journal of Legal Studies [2012]

David Seymour, “The Emergent Regime: F.A. Hayek’s journey to Free Banking.”,

https://www.montpelerin.org/wp-content/uploads/2015/12/2012-Hayek-Essay-Honorable-Mention-David-Seymour.pdf, diakses pada 3 Desember 2016.

Erin Lockwood, “The Global Politics of Central Banking: A View from Political

Science”,

http://www.lawschool.cornell.edu/Conferences/changing-politics-of-central-banking-conference/upload/Lockwood_2016.pdf, diakses pada 3 Desember 2016

Fachry Ali dkk, The Politics of Central Bank – The Position of Bank Indonesia Governor in Defending Independence, LSPEU, 2003

Leon Louw, What is The Rule of Law?, disampaikan dalam African regional Meeting of the Mont Pelerin Society, Nairobi, Kenya, 26-28 February 2007.

Ofer Raban, “The Fallacy of Legal Certainty, Why Vague Legal Standards may be Better for Capitalism and Liberalism”, Public Interest Law Journal Vol. 19

R.S. Sayers, Central Banking After Bagehot, Oxford University Press, 1957

S. Batunanggar, Reformulasi Manajemen Krisis Indonesia: Deposit Insurance and the Lender of Last Resort.

http://www.bi.go.id/id/publikasi/lain/kertas-kerja/Documents/2f9b2b48d4fb4ad69782cb66d6a3d26dcrisismgmtind280103.pdf, diakses pada 3 Desember 2016

Vera C. Smith, The Rationale of Central Banking, Liberty Press, 1990

(28)

27

William van Lear, “A Review of the Rules Versus Discretion Debate in Monetary

Referensi

Dokumen terkait

The de facto degree of judicial independence is low if decisions of the highest court, in order to be implemented, depend on some action of one (or both) of the other branches

Namun seperti yang telah dikatakan juga dalam buku ini bagian analisa, kita harus selalu berhatihati ketika mengatakan bahwa kemampuan perempuan untuk membangun perdamaian berasal

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa aturan main (rule of the game ) dalam bahasa sebagai media komunikasi sosial sangat penting, karena berhubungan dengan

Secara bersama- sama variabel rule of law, consensus orientation, dan equality berpengaruh positif secara simultan terhadap kesejahteraan masyarakat dimasa pandemi covid-19 dalam

Jurnal Pengurusan 672023 https://doi.org/10.17576/pengurusan-2023-67-09 Governance Quality of Political Stability and Rule of Law on Tax Compliance: A Mediation Analysis of Tax

Quan điểm này trong khi đi đúng hướng khi cho rằng The Rule of Law là một nguyên tắc, thì việc xác định nội hàm của nó lại quá hẹp khi coi nội dung cốt lõi của The Rule of Law là “chính

Imam Budi S: Legal Protection of Employees With A Specific Time Working Agreement Within The Framework of The Rule of Law State in Indonesia 257 and a decent living for humanity"

Mustofa Ponco W, et.al : Sragen Regency Government Concerning the Policy of Designating Protected Paddy Land in the Perspective of the Rule of Law 372 In the process of determining