• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Hadis Dalam Pandangan Sunni dan S (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kajian Hadis Dalam Pandangan Sunni dan S (1)"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

HADIS DALAM PANDANGAN SUNNI DAN SYIAH

A. Pendahuluan 1. Latar Belakang

Salah satu perdebatan besar antara Sunni dan Syi’ah terjadi dalam bidang hadis. Konsep periwayatan hadis yang cenderung berbeda acap kali memicu perdebatan dan diskusi panjang antara para ulama.

Sunnah atau lebih dikenal dengan hadis, mempunyai sejarah yang unik dan panjang. Ia pernah mengalami masa transisi dari tradisi oral ke tradisi tulisan. Pengkompilasiannya pun membutuhkan waktu yang cukup panjang. Persaingan politik antar kelompok Muslim dalam rangka perebutan kekuasaan juga ikut mewarnainya. Sampai pada akhir abad ke-9 M, usaha pengkodifikasian tersebut dapat menghasilkan beberapa koleksi besar (kitab hadis) yang dianggap autentik, di samping sejumlah besar koleksi hadis lainnya.

Seleksi dan pengeditan koleksi kitab hadis tersebut, menurut pandangan Mohammed Arkoun1, menimbulkan kontroversi berkepanjangan di antara tiga

golongan Muslim besar, yakni; Sunni, Syi’i (Syi’ah), dan Khariji (Khawarij). Kelompok Sunni menganggap, kompilasi sahihayn dari Bukhari (w. 870 M) dan Muslim (w. 875 M) sebagai yang paling autentik. Syi’ah 12 (Isna ‘Asyariyah) mengklaim, hasil kompilasi Kulayni (w. 939 M) sebagai “suitable for the science of religion” dan dilengkapi juga dengan koleksi Ibn Babuyah (w. 991 M) dan al-Tusi (w. 1067 M). Sementara, Khawarij memakai koleksi Ibn Habib (tercatat akhir abad ke-8) yang disebut sebagai sahih al-rabi’ (The true one of spring).

Terdapat satu anggapan, bahwa perbedaan aqidah dalam aliran-aliran Islam berdampak atau bahkan merupakan sumber pada perbedaan hadis yang diakui oleh masing-masing kelompok. Kelompok Sunni2 misalnya, hanya

1 Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers terj. Dan

(2)

berpegang pada riwayat Sunni saja, sementara kelompok Syi’ah3 hanya

mengakui hadis-hadis riwayat kelompok Syi’ah saja. Demikian seterusnya. Masing-masing kelompok cenderung egois dan hanya mementingkan kelompoknya. Lebih parah lagi, hadis-hadis yang ada banyak dibuat oleh kelompok tertentu demi kepentingan kelompoknya, bahkan tidak sedikit yang mendiskreditkan mazhab yang berseberangan. Dampak terbesar dari anggapan ini adalah, hadis-hadis yang ada tidak bias dipertanggungjawabkan otentisitasnya karena dibuat/dipalsukan oleh mazhab-mazhab tertentu demi kepentingan mereka

Perbedaan konsepsi secara metodologis tentang hadis antara Sunni dan Syi’ah bergulir pada wilayah kajian epistimologi; asal, struktur, metode-metode, kesahihan, dan juga tujuan pengetahuan.

Berdasarkan uraian di atas, banyak hal yang terkait dan juga menarik untuk dikaji dan diteliti. Mulai dari penulisan dan pengumpulan hadis di kalangan Sunni dan Syi’ah, literatur-literatur hadis di kalangan Sunni dan Syi’ah, klasifikasi dan persyaratan kesahihan hadis di kalangan Sunni dan Syi’ah, sampai pada bagaimana penggunaan hadis sebagai hujjah di kalangan Sunni dan Syi’ah. Berangkat dari uraian di atas, penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian tentang hadi dalam pandangan Sunni dan Syi’ah.

2. Tujuan penelitian

Dengan melihat beberapa aspek di atas, maka studi ini berusaha untuk menfokuskan perhatian pada kajian yang berupa sebuah perbandingan hadis

2 Sunni adalah (kelompok moderat) antara dua golongan pecahan pendukung ‘Ali bin Abi

Thalib, yaitu Syi’ah dan Khawarij yang sama-sama ekstrem (Syi’ah ekstrem kanan dan Khawarij ekstrem kiri), maka di antara kedua sekte tersebut adalah Sunni. Sa’dullah Al-Sa’di, Hadis-Hadis Sekte (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 63.

3 Syi’ah, secara etimologi kata ini berasal dari Sya’a, yasyi’u, syi’ah yang artinya sahabat,

(3)

dalam pandangan Sunni dan Syi’ah untuk mengetahui beberapa hal yang sangat penting untuk diketahui, yaitu bagaimana:

a. Penulisan dan pengumpulan hadis di kalangan Sunni dan Syi’ah. b. Literatur hadis di kalangan Sunni dan Syi’ah.

c. Klasifikasi dan persyaratan kesahihan hadis di kalangan Sunni dan Syi’ah.

d. Dan bagaimana penggunaan hadis sebagai hujjah di kalangan Sunni dan Syi’ah.

B. Hadis Dalam Pandangan Sunni dan Syi’ah

Di kalangan Sunni, hadis meliputi perkataan, perbuatan, taqrir, sifat, baik fisik dan akhlak, dan perilaku Nabi.4 Dari definisi hadis yang ditetapkan Sunni

ini, memberikan batasan tentang segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad saw., sekaligus adanya anggapan bahwa wahyu telah terhenti setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Dengan demikian apapun yang bersumber dari Nabi dapat dijadikan dasar hukum dan sekaligus sumber ajaran Islam. Sebaliknya apapun yang tidak bersumber langsung dari Nabi bukan termasuk hadis, dan karenanya tidak wajib diikuti dan tidak dapat dijadikan dasar hukum apalagi dijadikan sebagai sumber ajaran Islam. Dengan demikian sumber utama yang dapat mengeluarkan hadis menurut Sunni hanya Nabi Muhammad saw.

Sedangkan di kalangan Syi’ah Hadis mempunyai pengertian segala sesuatu yang disandarkan kepada yang ma’shum, Nabi Muhammad saw. dan Imam dua belas, baik itu berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan adalah sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an.5 Syi’ah menjadikan

imam seperti kedudukan Nabi Muhammad dalam menjelaskan al-Qur’an. Mereka juga berpandangan bahwa para periwayat mereka melarang mengamalkan zahir al-Qur’an karena mereka tidak berpedoman dalam

4 Yusuf Al-Qardhawi, Al-Madkhal Li Dirasah As-Sunnah An-Nabawiyah, Terj. Agus Suyadi Raharusun dan Dede Rodin (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007), hlm. 21.

5 Hasan Amin, Dairat al-Ma’arif al-Islamiyyah al-Syi’iyyah, juz 11, jilid 3 (Beirut: Dar

(4)

syari’at kecuali dari para imam mereka. Mereka mengatakan bahwa imam mempunyai ilham yang sebanding dengan wahyu bagi Rasulullah saw.

Dari definisi hadis di atas, memberi kesimpulan bahwa bagi Syi’ah, sumber hadis bukan hanya Nabi Muhammad, melainkan setiap imam yang ma’shum juga dapat mengeluarkan hadis yang dapat dijadikan hujjah. Dengan demikian, Syi’ah juga mempunyai keyakinan tentang berlangsungnya wahyu pasca wafatnya Nabi Muhammad saw.

1. Penulisan dan pengumpulan hadis di kalangan Sunni dan Syi’ah Di kalangan Sunni, seperti kita ketahui, bahwa hadis ketika ditinggal wafat nara sumbernya, secara resmi dalam keadaan tidak tertulis. Namun, itu bukan berarti bahwa tidak ada seorang sahabat pun yang menulisnya. Ditemukan riwayat yang menyatakan, sewaktu Nabi masih hidup di antara sahabat ada juga yang menulis hadis. Bertitik tolak dari kenyataan sebagaimana terurai, maka maksud ungkapan hadis tidak ditulis pada masa Nabi ialah, tidak ditulis secara resmi atas perintah Nabi, sebagaimana Nabi pernah memerintahkan untuk menulis ayat-ayat al-Qur’an.

Terdapat beberapa sahabat terhormat –berdasarkan suatu riwayat- telah menulis hadis semenjak Nabi masih hidup. Di antara mereka itu adalah Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, ‘Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar Shiddiq, al-Dlahak bin Sufyan, Anas bin Malik, Rafi’ bin al-Khadij, ‘Amr bin Hazm, Abu Hurairah, Barra’ bin ‘Azib, ‘Umar bin Khattab, ‘Abdullah bin ‘Umar, al-Nu’man bin Basyir, Sulaiman bin Samurah, dan lain-lain.6

Dalam banyak literatur dijumpai bahwa pengkodifikasian hadis secara resmi dilakukan pada masa pemerintahan ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz (99-101 H).7 Untuk mewujudkan niatnya, ia mengirimkan instruksi kepada seluruh

gubernur untuk mengumpulkan hadis di wilayahnya masing-masing. Secara khusus ia juga mengirim instruksi tersebut kepada gubernur Madinah, Abu

6 Abu ‘Abdillah Muhammad al-Hakim bin ‘Abdillah al-Naisabury, Mustadrak ‘Ala

al-Shahihain wa Ma’ahu Talkhish al-Dzahaby wa Kitab al-Dark Bi Takhrij al-Mustadrak juz V (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1998), cet. 1, hlm. 483-484.

(5)

Bakar Muhamman ibn Hazm (w. 117 H) untuk mengumpulkan hadis-hadis yang ada padanya dari ‘Amrah binti Abd al-Rahman al-Anshari, murid ‘Aisyah.

Instruksi serupa juga dikirimkan khalifah kepada Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri. Ibn Syihablah orang pertama yang memenuhi intruksi tersebut, sehingga ia dikenal sebagai orang yang pertama melakukan kodifikasi hadis. Gagasan tentang pembukuan hadis sebelumnya pernah terpikirkan oleh ‘Umar bin Khatthab dan sudah mendapat persetujuan dari sebagian besar sahabat. Namun kemudian beliau membatalkan rencana tersebut8. Secara tidak langsung, apa yang dilakukan oleh ‘Umar bin ‘Abd

al-‘Aziz adalah sesuatu yang pernah direncanakan oleh Khalifah sebelumnya. Karya-karya al-Zuhri memang tidak sampai ke tangan kita era sekarang. Namun secara luas, para ulama menukilkan dalam berbagai kitabnya, bahwa karya al-Zuhri adalah karya yang merintis pengkodifikasian hadis, yang merupakan kategori kodifikasi murni. Periode pasca Ibnu Hazm dan al-Zuhri, muncul pula para ulama di beberapa kota yang juga melakukan upaya-upaya serupa, seperti para ulama di Makkah, Madinah, Bashrah, Kufah, Syam, Yaman, Wasith, Khurasan, dan Mesir hingga lahirnya kutub al-Sittah: Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Majah, dan An-Nasai.9

Sedangkan di kalangan Syi’ah, sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, bahwa Syi’ah meyakini sumber hadis tidak hanya terletak pada hal ihwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Secara doktrinal, sumber hadis di kalangan Syi’ah berbeda dengan ortodoks muslim. Sumber hadis tidak hanya sebatas dari ucapan dan perbuatan Nabi, tetapi mencakup semua ucapan dan perilaku para imam ma’shum, termasuk ucapan Fatimah

8 Subhi Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalatuh, (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1977), hlm. 39-40.

(6)

binti Muhammad saw., karena termasuk dalam khitab ahl al-Bait yang dijamin kesuciannya oleh wahyu.

Syi’ah meyakini bahwa tradisi penulisan hadis telah berkembang sejak zaman Nabi saw. Sebagaimana juga diyakini oleh Sunni. Namun Syi’ah hanya meyakini apa yang pernah ditulis oleh ‘Ali bin Abi Thalib. Beliau mendiktekan hadis-hadis kepada ‘Ali ra. Yang kemudian ditulis dalam lembaran-lembaran dan disimpan dalam sarung pedangnya. Tatkala Rasulullah wafat, Ali ra. memeliharanya dengan baik. Sahifah itu kemudian dikenal dengan “sahifah ‘Ali”. Selain sahifah, yang umumnya memuat hukum diyat dan beberapa persoalan lainnya, Rasulullah saw. juga mendiktekan kepada ‘Ali ra. hadis-hadis lain yang disalinnya ke dalam lembaran-lembaran yang jauh lebih besar yang kemudian dikenal dengan nama al-Jami’ah.10

Pada masa kegaiban Imam Mahdi, para pengikut Ahl al-Bait berusaha membukukan kembali hadis-hadis yang saat itu sempat tercecer. Mereka memulai dari kitab-kitab yang masih tersisa, melalui periwayatan langsung dari orang ke orang hingga sampai pada Rasulullah saw., atau sampai ke salah satu imam dua belas. Hadis-hadis itu diantaranya telah dibukukan oleh Abu Rafi’ al-Qibti al-Shi’i dalam kitab al-Sunan, al-Ahkam, dan al-Qadaya.11

Pada tahap berikutnya, para ulama Syi’ah berusaha untuk membukukannya ke berbagai macam kitab yang hasilnya antara lain adalah empat kitab hadis utama yang dikenal dengan Kutub Arba’ah, yakni: al-Kafi, Man la Yahduruh al-Faqih, Tahdhib al-Ahkam dan al-Istibsar fi ma Ukhtulifa min Akhbar.12

10 I.K.A. Howard, Kafi by Kulaini, Man la Yahduru Faqih by Saduq, Tahdhib

al-Ahkam and al-Istibsar by al-Tusi, terj. Arif Budiarso dalam al-Serat, Vol. 2. No. 2. 1967, Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. 2. No. 4, 2001.

11 Abu Ja’far Muhammad ibn Ya’qub al-Kulaini, Ushul al-Kafi, naskah diteliti dan diberi notasi oleh Muhammad Ja’far Syamsudin (Beirut: Dar al-Ta’aruf li-al-Matbu’at, 1990), juz1,3.

(7)

2. Beberapa literatur hadis di kalangan Sunni dan Syi’ah

Dalam hal hadis, Sunni berpegang teguh dengan erat pada kitab hadis kutub al-Sittah. Berikut akan dijelaskan masing-masing secara singkat.

a. Sahih Bukhari

Penyusunnya bernama Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju’fy al-Bukhari. Lahir pada 13 Syawal 194 H, dan wafat pada 30 Ramadhan 256 H, dalam usia 62 tahun kurng 13 hari.

Menurut pengakuannya sendiri, al-Bukhari pernah berguru kepada 1080 guru atau syeikh, yang terdiri dari berbagai generasi/thabaqah.13

Mereka itu antara lain Ahmad bin Hanbal, Usman bin Abi Syaibah, Qutaibah bin Sa’id, Makki bin Ibrahim, Abdullah bin Musa, Sa’id bin Abi Maryam, Yahya bin Ma’in, dan lain-lain. Predikat Amir al-Mu’minin dalam bidang hadis yang disandangnya, mencerminkan betapa tinggi kedudukan al-Bukhari di mata ulama.

Kitab Sahih Bukhari, yang nama aslinya ialah, “al-Jami’ al-Musnad al-Shahih al-Mukhtashar Min Umur Rasul Allah Saw wa Sunanihi wa Ayamih,” menurut pengakuan penulisnya dikerjakan selama 16 tahun. Sistematikanya dibuat di kota Makkah, sedangkan hadis-hadis pendukungnya ditulis di Raudlah (Masjid Nabawi Madinah). Setiap hendak menulis hadis, diawali dengan shalat sunat 2 raka’at. Kitab ini merupakan salah satu karya monumental al-Bukhari.

Menurut hitungan Ibnu al-Shalah, kitab Sahih al-Bukhari memuat hadis sebanyak 7265 buah, termasuk yang diulang-ulang penulisannya. Jika tidak termasuk yang diulang-ulang penulisannya, maka jumlah hadisnya ada 4000 buah. Berbeda dengan hitungan Ibnu al-Shalah ialah

13 Ibnu Hajar al-‘Asqalany telah membagi guru-guru al-Bukhari dalam 5 thabaqah, yaitu

thabaqah pertama, terdiri dari kelompok tabi’in. Thabaqah kedua, terdiri dari orang-orang yang hidup bersama tabi’in, tetapi tidak pernah mendengar hadis dari tabi’in terpercaya. Thabaqah ketiga, terdiri dari atba’ al-tabi’in generasi pertama. Thabaqah keempat terdiri dari teman-teman senioar al-Bukhari sendiri. Dan thabaqah kelima, terdiri dari teman-teman yuniornya. Lihat Ibnu Hajar al-‘Asqalani,

(8)

hitungan Ibnu Hajar al-‘Asqalani. Menurut hitungan Ibnu Hajar, jumlah hadis yang ada pada kitab al-Bukhari (termasuk yang diulang-ulang penulisannya) ada sebanyak 9082 buah hadis.14 Betapapun diakui oleh

Ulama hadis bahwa didapati sejumlah hadis yang mu’allaq, namun berdasar pengakuan penulisnya, semua hadis yang tertulis pada kitab sahih-nya, adalah sahih adanya. Menurut Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, kitab Sahih al-Bukhari terbagi dalam 97 kitab, dan terbagi dalam 3450 bab, diawali dengan kitab Bada’ Wahyi dan diakhiri dengan kitab al-Tauhid.15

b. Sahih Muslim

Nama penyusunnya adalah Abu al-Husain Muslim bin al-Hajaj bin Muslim al-Qusyairi al-Naisaburi, lahir pada tahun 206 H, dan wafat pada 25 rajab tahun 261 H dalam usia 55 tahun.

Seusai belajar agama kepada ulama di negerinya, pada tahun 218 H, Muslim bin al-Hajaj mulai belajar hadis, kemudian melanjutkan kegemaran belajarnya ke berbagai wilayah negeri. Untuk itu, Muslim mengadakan perlawatan ke berbagai wilayah negeri, seperti Baghdad, berulang kali. Kunjungan terakhirnya ke Baghdad pada 259 H. Negeri-negeri lain yang dikunjunginya ialah Hijaz, Iraq, Syam, Mesir, dan Khurasan.

Al-Jami’ al-Shahih merupakan karya puncak Muslim bin al-Hajaj, nama atau judul aslinya ialah, “Hadits Shahih Mujarrad al-Musnad Ila Rasulillah saw,” merupakan salah satu dari 12 karya Muslim. Kitab ini ditulis dalam waktu 15 tahun, memuat hadis sebanyak 12.000 buah, termasuk yang diulang-ulang penulisannya. Jika tidak termasuk

14 Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, (Purwokerto: Penerbit STAIN Purwokerto Press, 2010), hlm. 314.

(9)

yang diulang-ulang penulisannya, maka hadisnya hanya 4.000 buah hadis saja. Hadis sebanyak itu merupakan hasil seleksi dari 300.000 hadis yang berhasil dihafalnya.

Seperti halnya kitab Sahih al-Bukhari yang berdasar pengakuan penulisnya, tidak dimasukkan ke dalamnya kecuali yang sahih. Kitab Sahih Muslim pun demikian adanya. Muslim pernah berkata, “Tidak kumasukkan ke dalam kitabku ini kecuali yang sahih dan telah disepakati.” Disusun dengan menggunakan sistem mushannaf, dalam 54 kitab. Pada awalnya kitab Sahih Muslim tidak terbagi dalam bab demi bab, sebab penyusunnya hanya mengumpul berbagai hadis yang membahas satu tema, pada judul yang satu pada tempat yang satu. Para pen-syarah-nya yang telah membaginya dalam bab demi bab. Diawali dengan kitab al-Iman dan diakhiri dengan kitab al-Tafsir.16

c. Sunan Abi Dawud

Nama lengkap penyusunnya adalah Sulaiman bin al-Asyi’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syadad bin ‘Amer bin ‘Umran Abu Dawud Azdiy al-Sijistani, lahir di Sijistan, salah satu desa di negeri Bashrah pada 202 H. karena itu ia disebut al-Sijistani. Wafat di Bashrah pada hari Jumat tahun 275 H.

Sampai berumur 21 tahun Abu Dawud bermukim di Baghdad, untuk mempelajari bahasa Arab dan ilmu-ilmu dasar lainnya yang berhubungan dengan agama Islam. Sesudah merasa cukup, Abu Dawud meneruskan ke berbagai madrasah (hadis) yang berada di berbagai wilayah negeri, seperti Hijaz, Syam, Mesir, Iraq, Kufah, Khurasan, dan Tarsus.

Kitab Sunan Abu Dawud merupakan salah satu dari 9 karya Abu Dawud. Menurut pengakuan penulisnya, Sunan Abu Dawud memuat hadis sebanyak 4800 buah hadis, merupakan hasil seleksi dari 500.000 hadis yang dihafalnya. Menurut sebagian ulama, termasuk di dalamnya Muhammad Muhy al-Din ‘Abd al-Hamid, jumlah hadis kitab Sunan Abu

(10)

Dawud ada 5274 buah hadis. Selisih perhitungan sangat boleh jadi terjadi lantaran adanya hadis yang ditulis berulang, oleh seorang ulama dihitungnya sebagai satu hadis, dan oleh ulama lainnya dihitung lebih dari satu.

Hadis sebanyak 5274 telah disusun sedemikian rupa dalam 35 kitab, yang masing-masing kitab terbagi lagi dalam banyak bab, kecuali tiga kitab yang tidak terbagi dalam bab, yaitu kitab Luqathah, kitab al-Huruf wa al-Qira’at, dan kitab al-Mahdi. Jumlah babnya ada 1871 bab.17

d. Sunan al-Turmudzi

Nama lengkap penyusunnya adalah Abu ‘Isa Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin al-Dlahak al-Sulaimi al-Dlarir al-Bughi al-Turmudzi, lahir 209 H dan wafat pada hari Itsnain tanggal 13 Rajab 279 H.

Dikenal sebagai hafizh, sekaligus pengarang kitab. Ketika dalam proses pembelajaran hadis, banyak mengunjungi berbagai wilayah negeri seperti Khurasan, Irak, Hijaz, dan sebagainya.

Sunan al-Turmudzi ada juga yang menyebutnya al-Jami’ al-Turmudzi, dan malah ada juga yang menyebut al-Jami’ al-Shahih, sebagaimana dilakukan oleh al-Jalabi (pengarang kitab Kasyf al-Zhanun) dan juga Muhammad Syakir, merupakan salah satu karya terbaik al-Turmudzi.

Mengenai jumlah hadisnya, para pengulas seperti Muhammad Abu Syahbah, Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, tidak menyebutnya. Sementara itu al-Turmudzi pun tidak menginformasikan kepada kita berapa jumlah hadis yang berhasil dihimpun dalam kitabnya, sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawudnya.

Barangkali tidak bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan, tetapi itulah kenyatannya, berdasarkan praktis operasional ditemukan nomor akhir hadis Turmudzi dalam kitab Sunan Turmudzi wa Jami’ al-Shahih yang telah ditashih oleh ‘Abd al-Rahman Muhammad Usman, menunjuk angka 4107.

(11)

Betapapun ketika kitab Sunan al-Turmudzi disampaikan kepada ulama Hijaz, Irak, dan Khurasan, menurut pengakuan penyusunnya mereka sama ridla dan menganggap bagus (membaguskannya). Akan tetapi, berdasarkan berbagai komentar ulama, dalam Sunan al-Turmudzi ditemukan berbagai macam hadis, baik yang sahih, hasan, dhaif, dan bahkan ada yang mungkar. Menurut Fuad Muhammad ‘Abd al-Baqi, hadis-hadis Sunan al-Turmudzi sebagaimana tersebut di atas, terbagi dalam 46 kitab dan 2114 bab.18

e. Sunan al-Nasa’i

Kitab kelima dari kutub al-Sittah ini disusun oleh Abu ‘Abd al-Rahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Bahr bin Sinan al-Nasai. Lahir di desa Nasa’, sebuah desa di Khurasan pada Tahun 215 H, dan wafat di Makkah tahun 303 H.19

Judul asli kita yang sedang kita bicarakan adalah Mujtaba’ atau al-Mujtama’ Min al-Sunan, merupakan hadis hasil seleksi dari hadis-hadis yang ada pada kitab Sunan al-Kubra, karya al-Nasa’i sendiri. Hadis pilihan yang dianggapnya sahih tersebut kemudian dibukukan dalam kitab yang kemudian disebut Sunan al-Sughra.

Walaupun kitab ini merupakan kumpulan (5761 buah) hadis-hadis pilihan dari Sunan al-Kubra, ternyata masih tersimpan di dalamnnya beberapa hadis (walau hanya sedikit) yang dikritik oleh kritiks hadis. Dengan alasan kitab ini sedikit sekali memuat hadis dhaif, ada ulama yang

18 Uraian mengenai al-Turmudzi dan kitab sunannya, merujuk kepada Muhammad Abu Syahbah, Fi Rihab al-Sunnah al-Kutub al-Shihhah al-Sittah (Mesir: Majma’ Buhuts Islamiyah al-Azhar, 1969 M), hlm. 116-126.

(12)

menempatkan Sunan Nasa’i ini menjadi kitab ketiga setelah Sahih al-Bukhari dan Sahih Muslim (ketiga dalam jajaran kutub al-sittah).20

f. Sunan Ibnu Majah

Nama penulis kitab keenam dari kutub al-Sittah ini adalah Muhammad bin Yazid Abu Abdillah bin Majah al-Qazwini al-Hafiz, lahir di Qazwin (suatu kota di Irak) pada 209 H, dan wafat pada hari Senin dan baru dikubur pada hari Selasa tanggal 22 Ramadhan 273 H. Sejak kecil sudah belajar hadis, dan untuk keperluan belajar hadis, Ibnu Majah sering mengunjungi berbagai negeri, seperti Mesir, Hijaz, Syam, Bashrah, Ray dan Baghdad.

Sunan Ibnu Majah merupakan karya terbesar dari banyak karya Ibnu Majah. Sunan Ibnu Majah memuat 4000 hadis, tersebar dalam 1500 bab. Kitab Sunan Ibnu Majah sebagaimana dikatakan Ibnu Katsir merupakan kitab yang banyak memberi faedah, khususnya dalam bidang Fiqih- hanya saja di dalamnya ditemukan banyak hadis dhaif, dikatakan jumlahnya sampai 1000 buah hadis, bahkan ada juga yang mungkar dan juga beberapa maudhu’. Karena saking banyaknya yang dhaif, sampai-sampai al-Mizziy berkata, “Jika Ibnu Majah bersendiri dalam meriwayatkan hadis dari yang al-Khamsah, maka hadisnya adalah dhaif.”

Sunan Ibnu Majah terbagi dalam 32 kitab dan 1500 bab- demikian menurut penulisnya- dengan menggunakan metode penyusunan kitab Fiqih. Atau terbagi dalam 37 kitab, dalam 1511 bab, demikian menurut pengamatan Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi.21

Jika Sunni berpegang teguh pada kutub al-Sittah sebagaimana telah dijelaskan di atas, maka berbeda dengan Syi’ah. Syi’ah berpegang teguh pada empat kitab hadis yang berbeda dengan Sunni, yang dikenal dengan kutub al-Arba’ah. Berikut akan dijelaskan masing-masing kitab secara singkat:

a. Usul al-Kafi

Kitab Kafi ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad ibn Ya’qub ibn Ishaq al-Kulaini al-Razi. Wafat pada tahun 328/329 H (939/940 M). Riwayat

20 Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, hlm. 337-341.

(13)

hidupnya sangat sedikit sekali diketahui. Ada perbedaan pendapat mengenai dirinya, seperti apakah nama yang dinisbatkan kepadanya adalah al-Kulini atau al-Kulaini. Namun disepakati bahwa Kulain atau Kulin merujuk pada sebuah dusun di Iran asal beliau dilahirkan.22

Al-Kafi merupakan kumpulan hadis yang diajarkan Nabi saw. serta para Imam dan diteruskan kepada kaum muslimin oleh murid-murid para imam. Kata “al-Kafi” berarti “yang mencukupi”, sebuah buku yang dimaksudkan untuk menjadi koleksi lengkap hadis Syi’ah dan faktor ini pula yang mendorongnya untuk menyusun buku yang sejatinya dapat dijadikan rujukan penganut Syi’ah. Hal itu dijelaskan oleh al-Kulaini dalam kata pengantar karyanya tersebut:

“…..inilah sebuah buku yang akan mencukupi (kafin) kebutuhan keagamaan Anda yang mencakup semua aspek pengetahuan (‘ilm) agama, yang sesuai bagi para pelajar, dan guru untuk merujuknya. Dengan demikian buku ini dapat digunakan oleh siapapun yang menginginkan ilmu agama dan hukum praktis (‘amal) sesuai dengan hadis yang kuat dari sumber yang sebenarnya…”23

Kedudukan al-Kafi bagi kalangan Syi’ah sama seperti kedudukan kitab Bukhari bagi kalangan Sunni, yaitu dianggap sebagai kitab hadis paling sahih. Untuk menyelesaikannya, al-Kulaini memerlukan waktu yang cukup panjang, yaitu dua puluh tahun.24 Al-Kafi memang sebuah

karya yang amat lengkap dan luas, yang isinya dibagi menjadi tiga bagian: al-Usul, al-Furu’ dan al-Raudah.

22 Hasan Ma’ruf al-Hasani, Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi, Jurnal al-Hikmah, No. 6, edisi Juli-Oktober 1991.

23 Abu Ja’far Muhammad ibn Ya’qub al-Kulaini, Ushul al-Kafi, naskah diteliti dan diberi notasi oleh Muhammad Ja’far Syamsudin (Beirut: Dar al-Ta’aruf li-al-Matbu’at, 1411/1990), juz 1, hlm. 41.

(14)

Selain hadis-hadis Nabi saw., terdapat pula dalam al-Kafi ucapan para imam, dan hal itu diakui sebagai hadis. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa, ada anggapan teologis, di mana para imam yang ma’shum memiliki otoritas dalam menyampaikan syariat yang bersumber langsung dari Nabi saw. Oleh sebab itu, tidak heran jika surat-surat khutbah dan lain-lain yang memiliki keterkaitan dengan syari’at didudukkan setara dengan hadis. Hal ini nampak dari apa yang dilakukan oleh al-Kulaini yang ditampilkan dalam juz terakhir yang disebut al-Raudah.

b. Man La Yahduruhu al-Faqih

Kitab ini ditulis oleh Abu Ja’far Muhammad ibn Ali ibn Babawaih al-Qummil yang digelari dengan al-Saduq. Dia mendapat gelar ini karena keluasan pengetahuan dan ketelitiannya dalam proses periwayatan hadis serta kekuatan hafalannya yang menjadikan setiap orang yang mendengar riwayat darinya merasa yakin akan kebenaran hadis yang diriwayatkannya. Ia juga dikenal sebagai salah satu tokoh besar hadis dalam kamus ulama Syi’ah.

Tidak banyak informasi yang merekam sejarah kelahiran al-Saduq. Namun, ulama-ulama Syi’ah memperkirakan kelahirannya pada tahun 305 H berdasarkan pertemuan ayahnya dengan Abu al-Qasim al-Husain ibn Rawh yang hidup hingga awal abad ketiga.

Kitab Man la Yahduruh al-Faqih berisi ringkasan semua hadis yang dikumpulkan sendiri oleh al-Saduq. Kitab ini disusun dengan tujuan sebagai rujukan hukum agama yang berkisar pada masalah hukum halal dan haram dan al-Ahwal al-Shakhsiyah. Berdasarkan penghitungan yang dilakukan oleh al-Shaykh Ali Akbar al-Ghifari, didapatkan bahwa hadis-hadis yang terdapat dalam kitab ini berjumlah 5920 hadis-hadis dengan kualitas yang berbeda-beda.

(15)

metode dengan tidak membiarkan hadis-hadisnya berbicara sendiri, tetapi menarik ketentuan-ketentuan dan penjelasan maksud dari hadis. Sesekali nampak dalam penjelasan, hadis yang relatif singkat namun mendapat porsi penjelasan yang panjang.25

c. Tahdhib al-Ahkam

Kitab ini ditulis oleh ulama besar Syi’ah Abu Ja’far Muhammad ibn al-Hasan ibn Ali al-Tusi yang lahir di Iran pada tahun 385 H. Karirnya menandai puncak dan kejayaan pendidikan dan pengajaran Syi’ah.

Masa kejayaan Syi’ah diawali oleh al-Kulaini dengan karya besarnya al-Kafi. Kemudian dilanjutkan oleh al-Shaykh al-Saduq ibn Babawaih, lalu dinapaktilasi oleh al-Tusi dengan dua karyanya, Tahdhib al-Ahkam dan al-Istibsar fi ma Ukhtulifa min al-Akhbar.

Kitab al-Tahdib pada awalnya dimaksudkan sebagai syarah utuh dari kitab al-Muqni’ah karya gurunya, al-Mufid. Namun banyaknya perselisihan masyarakat dalam memahami teks-teks yang terkait dengan masalah al-Furu’ dalam al-Muqni’ah, ia memutuskan untuk fokus men-syarah-kan hadis-hadis yang terkait dengan masalah-masalah furu’ saja dan meninggalkan al-Usul.26

Metode yang digunakan oleh al-Tusi adalah dengan mengutip hadis-hadis dalam al-Muqni’ah dengan komentar al-Mufid lalu diuraikan oleh beliau beserta komentar dan analisanya, bahkan tidak jarang terjadi diskusi dalam penjelasan tersebut. Karya al-Tusi ini, berisi kajian yang amat luas tentang hadis-hadis Syi’ah yang mencakup banyak aspek permasalahan hukum.

d. Al-Istbsar fi ma Ukhtulifa min al-Akhbar

Kitab al-Istibsar adalah karya keempat dan terakhir karya kitab utama madzhab Syi’ah. Isinya mencakup bidang yang sama dengan al-Tahdhib, namun dengan porsi yang lebih singkat, atau lebih tepat jika dikatakan 25 Zeid B. Smeer, Kredibilitas Kritik Nashir al-Qifari Terhadap Hadis-hadis Syi’ah

Imamiyah, (Batu: Arifa Publishing, 2011), hlm. 59-60.

26 Zeid B. Smeer, Kredibilitas Kritik Nashir al-Qifari Terhadap Hadis-hadis Syi’ah

(16)

bahwa kitab terakhir ini merupakan ringkasan dari kitab al-Tahdhib, dan dilakukan dengan tujuan untuk menjelaskan riwayat-riwayat yang dinilai bertentangan.

Proses peringkasan ini dilakukan oleh penyusunnya sebagai jawaban dari permintaan beberapa rekannya yang mengharap adanya buku ringkas yang berisi hukum-hukum agama yang sejatinya dapat dijadikan rujukan dan pegangan bagi para pemula yang hendak mengkaji hukum-hukum agama.27

Metode yang digunakan dalam kitab ini serupa dengan kitab sebelumnya, hanya saja dalam penjelasan dan kutipan hadis-hadisnya nampak lebih singkat dan padat. Bahkan dalam beberapa hal, nampak mirip dengan yang terdapat dalam al-Tahdhib.

Demikian gambaran global kitab-kitab hadis mu’tamad di kalangan Sunni dan Syi’ah yang selalu dijadikan sebagai rujukan dan kajian keagamaan. Masing-masing kitab mereka telah memberikan gambaran umum pemikiran hukum pengikutnya.

Perlu digaris bawahi, bahwa sekalipun masing-masing kitab dari kalangan Sunni dan Syi’ah menjadi kitab sandaran hadis bagi penganutnya, namun hadis-hadis yang ada di dalamnya terdapat sekian banyak hadis yang masih diperselisihkan kualitas kesahihannya yang dikritisi oleh ulama hadis masing-masing.

3. Klasifikasi dan persyaratan kesahihan hadis di kalangan Sunni dan Syi’ah

Yang dimaksud dengan klasifikasi adalah derajat atau tingkatan yang digunakan ulama dalam mengkategorikan hadis dilihat dari aspek kuantitas dan kualitas rawi. Telaah ini dilakukan dalam upaya menelusuri secara akurat sanad pada setiap hadis yang dikumpulkannya. Dengan penelitian kedua

27 I.K.A. Howard, Kafi by Kulaini, Man la Yahduru Faqih by Saduq, Tahdhib

(17)

aspek inilah, upaya pembuktian sahih tidaknya suatu hadis lebih dapat dipertanggungjawabkan.

Perbedaan konsep-konsep dasar yang sangat substansial mengenai hadis antara Sunni dan Syi’ah membawa implikasi pada kualitas hadis yang dapat dijadikan pegangan sekaligus sebagai dasar hukum. Perbedaan kriteria yang ditetapkan oleh Sunni dan Syi’ah berimplikasi klasifikasi terhadap kualitas hadis masing-masing mazhab. Dalam hal ini, metode yang dipakai oleh ulama Sunni adalah:

a. Hadis Dilihat dari Aspek Kuantitas Rawi

Dalam menyampaikan sebuah hadis terkadang Nabi berhadapan dengan sahabat yang banyak jumlahnya, terkadang hanya beberapa sahabat, bahkan terkadang hanya satu atau dua orang saja. Begitu seterusnya sampai dengan generasi yang menghimpun hadis dalam berbagai kitab. Sudah barang tentu, informasi yang dibawa oleh banyak orang lebih meyakinkan dibanding informasi yang dibawa oleh hanya satu atau dua orang saja. Dengan demikian, maka menurut pembagian hadis dari aspek kuantitas periwayat adalah sebagai berikut:

1. Hadis Mutawatir

Konsep mutawatir ini baru dikemukakan secara definitif oleh al-Baghdadi, meskipun ulama sebelumnya, seperti al-Syafi’i telah mengisyaratkan dengan istilah “khabar ‘ammah“. Menurut al-Baghdadi, hadis mutawatir adalah “suatu hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dengan jumlah tertentu yang menurut kebiasaan mustahil mendustakan kesaksiannya.28 Sedangkan ulama

yang paling jelas dan rinci menerangkan hadis mutawatir adalah al-‘Asqalani, menurutnya, hadis mutawatir adalah “hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang mustahil, menurut kebiasaan,

28 Abu Bakar ibn Ahmad ibn Sabit al-Khatib al-Baghdadi, Kifayah fi ‘ilm

(18)

mereka melakukan kesepakatan untuk berdusta dan merekalah yang meriwayatkan hadis itu dari awal sampai akhir sanad.” Jadi berdasarkan definisi ini, terlihat secara jelas bahwa proses mutawatir ada dan berjalan secara gradual dari generasi ulama ke generasi ulama lainnya.

2. Hadis Ahad

Menurut al-Thahhan, hadis ahad adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir.29 Senada dengan definisi al-Thahhan

tersebut, menurut al-Qaththan, hadis ahad adalah hadis yang tidak memenuhi syarat mutawatir.30 Dengan demikian bahwa semua hadis

yang jumlah perawinya tidak sampai pada tingkat mutawatir dinamakan hadis ahad. Hadis ahad ini dibagi menjadi tiga bagian, masyhur, ‘aziz, dan gharib.

Hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih dari setiap generasi, akan tetapi tidak mencapai jumlah mutawatir.31 Jika diteliti lebih lanjut, sebenarnya hadis masyhur ini

tidak semuanya berkualitas sahih, karena jumlah perawi yang demikian belum tentu menjamin kesahihannya kecuali disertai sifat-sifat yang menjadikan sanad ataupun matannya sahih. Dengan demikian hadis masyhur dapat dikelompokkan kepada yang berkualitas sahih, hasan, dan dha’if.

Hadis ‘aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh tidak kurang dari dua perawi pada seluruh tingkatan/generasi.32 Hadis ‘aziz ini bisa

29 Mahmud al-Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1987), hlm. 21.

30 Muhammad Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits (Kairo: Maktabah Wahbah, tt.) hlm. 98

31 Muhammad Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, hlm. 99

(19)

dinilai sahih, hasan maupun dha’if, sesuai dengan keadaan sanad dan matannya, setelah dilakukan penelitian terhadapnya.

Hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan seorang perawi dimanapun hal itu terjadi.33 Artinya bahwa hadis gharib ini tidak

disyaratkan harus satu orang perawi pada setiap tingkatan atau generasi, akan tetapi cukup pada satu tingkatan sanad dengan satu orang perawi.

b. Hadis Dilihat dari Aspek Kualitasnya

Klasifikasi ini lebih mengacu kepada jajaran hadis ahad yang mencakup hadis masyhur, ‘aziz, dan gharib, karena ulama tampak telah sepakat bahwa hadis mutawatir seluruhnya bernilai sahih. Dalam hal ini, ulama hadis membagi kualitas hadis pada tiga bagian, yakni sahih, hasan, dan dha’if.

1. Hadis Sahih

Subhi Shalih mendefinisikan hadis sahih sebagai hadis musnad, yakni hadis yang bersambung sanadnya, yang dinukil dari perawi yang adil dan dhabit mulai awal hingga akhir sanad sampai kepada Rasulullah saw. dari sahabat atau lainnya, tanpa adanya syadz dan ‘illat.34 Dari

definisi tersebut dapat dipahami bahwa hadis sahih adalah hadis yang memenuhi syarat yang berupa kebersambungan sanad dalam periwayatan hadis, para perawinya adil, para perawinya harus dhabit, kemudian terhindar dari syadz (kerancuan) dan kecacatan (‘illat).

2. Hadis Hasan

Hadis hasan adalah hadis yang sanadnya bersambung, dinukil oleh periwayat yang adil namun tidak terlalu dhabit (kuat ingatannya) serta

33 Muhammad Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, hlm. 101

(20)

terhindar dari syadz dan ‘illat.35 Perbedaan prinsip antara hadis sahih

dan hasan terletak pada keadaan perawinya. Pada hadis sahih perawinya sempurna dhabitnya, sedangkan pada hadis hasan, kedhabitan perawinya kurang sempurna. Oleh karena itulah kualitas hadis hasan diposisikan di bawah hadis sahih.

3. Hadis Dha’if

Hadis dha’if adalah hadis yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis sahih dan syarat-syarat-syarat-syarat hadis hasan. Misalnya, sanadnya ada yang terputus, di antara periwayat ada yang pendusta atau tidak dikenal, dan lain-lain.

Namun secara umum pembagian hadis yang lebih banyak dikenal dalam Sunni adalah pembagian hadis berdasarkan kualitasnya, yang dibagi menjadi tiga tingkatan; sahih, hasan, dan dha’if.

Sedangkan metode yang dipakai oleh Syi’ah, sebagaimana kriteria-kriteria kesahihan hadis yang diuraikan di atas, hadis terbagi menjadi mutawatir dan ahad. Pengaruh akidah mereka tampak dalam maksud hadis mutawatir. Karena hadis mutawatir menurut mereka adalah harus dengan syarat hati orang yang mendengar tidak dicemari syubhat atau taklid yang mewajibkan menafikan hadis dan maksudnya.36 Pengaruh imamah di sini dapat diketahui ketika mereka

menolak hujjah orang-orang yang berbeda dengan mereka yaitu mazhab yang menafikan ketetapan amir al-Mukminin Ali ra. sebagai imam.

Sedangkan hadis Ahad menurut mereka terbagi dalam empat tingkatan atau empat kategori, yang bertumpu pada telaah atas sanad (eksternal) dan matan (internal), dan keempat tingkatan

35 Subhi Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalahuh, hlm. 156.

36 Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis dan Fiqih,

(21)

tersebut merupakan pokok bagian yang menjadi rujukan setiap bagian yang lain. Empat klasifikasi hadis dalam tradisi Syi’ah, yaitu:

1. Hadis Sahih

Hadis sahih menurut mereka adalah, hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum serta adil dalam semua tingkatan dan jumlahnya berbilang. Dengan kata lain, hadis sahih menurut mereka adalah hadis yang memiliki standar periwayatan yang baik dari imam-imam di kalangan mereka yang ma’shum.37

Pengaruh Imamiyah di sini tampak pada pembatasan imam yang ma’shum dengan persyaratan periwayat harus dari kalangan Syi’ah Imamiyah. Jadi hadis tidak sampai pada tingkatan sahih jika para periwayatnya bukan dari Ja’fariyah Isna ‘Asyariyah dalam semua tingkatan.38

Berdasarkan pada pengertian hadis sahih, ulama Syi’ah membatasi tentang hadis sahih pada setiap hadis yang disandarkan kepada Nabi Muhammad, Ali bin Abi Talib dan Imam dua belas.39 Suatu keterangan

yang dapat dipetik dari pemahaman di atas adalah bahwa derajat para Imam sama dengan derajat Nabi saw. dan itu juga berarti dalam periwayatan, segala yang disandarkan kepada Imam juga sama terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi saw. dalam hal kehujjahannya.

37 Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis dan Fiqih,

hlm. 126

38 Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis dan Fiqih,

hlm. 127.

39 Jelas definisi ini berbeda dengan definisi hadis dari kalanggan sunni yang hanya

(22)

2. Hadis Hasan

Hadis hasan menurut Syi’ah adalah hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum dari periwayat adil, sifat keadilannya sesuai dalam semua atau sebagian tingkatan para rawi dalam sanadnya.40

3. Hadis Muwassaq

Hadis muwassaq41 adalah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang

bukan Syi’ah, namun ia adalah orang yang tsiqah dan terpercaya dalam periwayatan. Jadi hadis muwassaq adalah hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum dengan orang yang dinyatakan tsiqah oleh para pengikut Syi’ah, namun dia rusak akidahnya, seperti dia termasuk salah satu firqah yang berbeda dengan imamiyah meskipun dia masih seorang Syi’ah dalam semua atau sebagian periwayat, sedangkan lainnya termasuk periwayat yang sahih.

4. Hadis Dha’if

Menurut pandangan Syi’ah, hadis dha’if adalah hadis yang tidak memenuhi salah satu dari tiga kriteria di atas. Misalnya di dalam sanadnya terdapat orang yang cacat sebab fasik, atau orang yang tidak diketahui kondisinya, atau orang yang lebih rendah dari itu, seperti orang yang memalsukan hadis.42

Dalam hadis sahih, mereka menilai periwayat selain Ja’fariyah sebagai orang kafir atau fasik, sehingga riwayatnya dinyatakan dha’if yang tidak boleh diterima, begitu juga tidak diterima

40 Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis dan Fiqih,

hlm. 129.

41 Muwassaq (yang melahirkan kepercaraan), kadang disebut juga dengan qawiy (kuat)

karena kuatnya zhan (dugaan akan kebenarannya), di samping karena kepercayaan kepadanya.

42 Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis dan Fiqih,

(23)

riwayat dari selain Ja’fariyah kecuali orang yang dinyatakan tsiqah oleh mereka.

Atas dasar itu mereka menolak hadis-hadis sahih dari tiga khulafa al-Rasyidin (Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Usman) dan sahabat yang lain, tabi’in, serta para imam ahli hadis dan fuqaha. Sebab riwayat-riwayat sahih yang di dalam sanadnya terdapat para sahabat senior dan para imam yang amanah, tetapi tidak percaya dengan akidah dua belas imam, maka riwayat-riwayat tersebut dinyatakan dha’if oleh Syi’ah.

Adapun hadis-hadis yang dha’if bukan berarti tidak dapat diamalkan. Keberadaan hadis tersebut dapat disejajarkan dengan hadis sahih manakala hadis tersebut populer dan sesuai dengan ajaran mereka. Dengan demikian nampak bahwa terdapat pengaruh yang kuat atas tradisi-tradisi yang berkembang di kalangan pengarang kitab. Oleh karena itu, tidak heran banyak tradisi Syi’ah yang muncul dalam kitab hadis tersebut. Sebagai contoh adalah masalah Haji, di dalamnya tidak hanya dibahas masalah manasik haji ke Baitullah saja, melainkan memasukkan hal-hal lain seperti ziarah ke makam Nabi Muhammad dan para imam mereka.

4. Penggunaan hadis sebagai hujjah di kalangan Sunni dan Syi’ah. Sunni menempatkan hadis pada posisi kedua setelah al-Qur’an sebagai sumber referensi atau pandangan hidup. Al-Qur’an adalah peraturan atau undang-undang yang komprehensif dan meliputi aspek ushul dan kaidah asasi Islam: ideologi, ibadah, etika, muamalat, dan sopan-santun. Adapun hadis berfungsi sebagai penjelas dan manifestasi langsung seluruh kandungan al-Qur’an. Dengan demikian, hukum serta arahan yang ditunjukkan hadis mesti diikuti dan ditaati.43 Logikanya, apabila taat kepada Allah dan Rasul-Nya

merupakan kewajiban, demikian pula kepada apa saja yang disampaikan Nabi

43 Yusuf al-Qardhawi, Al-Madkhal Li Dirasah As-Sunnah An-Nabawiyah, hlm.

(24)

tentang al-Qur’an. Penjelasan seperti ini dapat ditemukan dan dipahami melalui al-Qur’an, hadis itu sendiri, konsensus ulama, serta akal dan penalaran umat manusia.

Meski menjadikan hadis sebagai salah satu hujjah, Syi’ah tentu saja berbeda dengan Sunni. Perbedaan itu bisa dilihat dari pengertian hadis dari kalangan Syi’ah, jika Sunni memberi definisi hadis berupa hal ihwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw., maka di kalangan Syi’ah Hadis mempunyai pengertian segala sesuatu yang disandarkan kepada yang ma’shum, Nabi Muhammad saw. dan Imam dua belas, baik itu berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan adalah sumber hukum yang kedua setelah al-Qur’an.

Sunni dan Syi’ah sama-sama menempatkan Hadis pada posisi kedua setelah al-Qur’an sebagai sumber hukum, namun bagi Syi’ah, tidak hanya terbatas pada hal ihwal yang disandarkan kepada Nabi saja, namun meliputi perkataan, perbuatan, maupun ketetapan Imam dua belas, dan itu setara dengan hadis Nabi.

C. Penutup

1. Kesimpulan

a. Di kalangan Sunni, seperti kita ketahui, bahwa hadis ketika ditinggal wafat nara sumbernya, secara resmi dalam keadaan tidak tertulis. Namun, itu bukan berarti bahwa tidak ada seorang sahabat pun yang menulisnya. Ditemukan riwayat yang menyatakan, sewaktu Nabi masih hidup di antara sahabat ada juga yang menulis hadis. Bertitik tolak dari kenyataan sebagaimana terurai, maka maksud ungkapan hadis tidak ditulis pada masa Nabi ialah, tidak ditulis secara resmi atas perintah Nabi, sebagaimana Nabi pernah memerintahkan untuk menulis ayat-ayat al-Qur’an.

(25)

Sedangkan di kalangan Syi’ah, Syi’ah meyakini bahwa tradisi penulisan hadis telah berkembang sejak zaman Nabi saw. Sebagaimana juga diyakini oleh Sunni. Namun Syi’ah hanya meyakini apa yang pernah ditulis oleh ‘Ali bin Abi Thalib.

Pada tahap berikutnya, para ulama Syi’ah berusaha untuk membukukannya ke berbagai macam kitab yang hasilnya antara lain adalah empat kitab hadis utama yang dikenal dengan Kutub Arba’ah, yakni: Kafi, Man la Yahduruh Faqih, Tahdhib al-Ahkam dan al-Istibsar fi ma Ukhtulifa min Akhbar.

b. Dalam hal hadis, Sunni berpegang teguh dengan erat pada kitab hadis kutub al-Sittah, yaitu Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Abu Dawud, Turmudzi, Ibnu Majah, dan an-Nasa’i. sedangkan Syi’ah mempunyai dan berpegang teguh pada empat kitab hadis, yaitu: al-Kafi, Man Laa Yahduruh al-Faqih, al-Tahdhib, dan al-Istibshar.

c. Secara umum pembagian hadis yang lebih banyak dikenal dalam Sunni adalah pembagian hadis berdasarkan kualitasnya, yang dibagi menjadi tiga tingkatan; sahih, hasan, dan dha’if. Sedangkan Syi’ah membagi hadis kepada mutawatir dan ahad.

Hadis sahih menurut sunni adalah hadis yang bersambung sanadnya, yang dinukil dari perawi yang adil dan dhabit mulai awal hingga akhir sanad sampai kepada Rasulullah saw. dari sahabat atau lainnya, tanpa adanya syadz dan ‘illat. Sedangkan hadis sahih menurut Syi’ah adalah, hadis yang bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum serta adil dalam semua tingkatan dan jumlahnya berbilang. Dengan kata lain, hadis sahih menurut mereka adalah hadis yang memiliki standar periwayatan yang baik dari imam-imam di kalangan mereka yang ma’shum.

(26)

tidak hanya terbatas pada hal ihwal yang disandarkan kepada Nabi saja, namun meliputi perkataan, perbuatan, maupun ketetapan Imam dua belas, dan itu setara dengan hadis Nabi.

2. Kritik dan Saran

Penulis menyadari ada banyak kekurangan dalam penulisan makalah ini, oleh karena itu diperlukan kritik dan saran yang membangun demi menjadikan diri lebih baik lagi, karena manusia tidak ada yang sempurna, kesempurnaan hanyalah milik Allah, Tuhan semesta alam.

Daftar Pustaka

Abu ‘Abdillah Muhammad al-Hakim bin ‘Abdillah al-Naisabury, al-Mustadrak ‘Ala al-Shahihain wa Ma’ahu Talkhish al-Dzahaby wa Kitab al-Dark Bi Takhrij al-Mustadrak juz V, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1998.

(27)

Abu Ja’far Muhammad ibn Ya’qub al-Kulaini, Ushul al-Kafi, naskah diteliti dan diberi notasi oleh Muhammad Ja’far Syamsudin, Beirut: Dar al-Ta’aruf li-al-Matbu’at, 1990.

Abu Abbas Ahmad ibn Ali ibn Ahmad Asadi Kufi Najashi, Rijal al-Najashi, Qum: Muassasah al-Nashr al-Islami, 1418.

Abu Bakar ibn Ahmad ibn Sabit Khatib Baghdadi, Kifayah fi ‘ilm al-Riwayah, Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah, t.th.

Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis dan Fiqih, Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997.

Dailamy, Hadis Semenjak Disabdakan Sampai Dibukukan, Purwokerto: Penerbit STAIN Purwokerto Press, 2010.

Hasan Ma’ruf Hasani, Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah Kafi, Jurnal al-Hikmah, No. 6, edisi Juli-Oktober 1991.

Hasan Amin, Dairat al-Ma’arif al-Islamiyyah al-Syi’iyyah, juz 11, jilid 3, Beirut: Dar al-Ta’aruf, 1971.

Ibn Hajar al-‘Asqalany, Fath al-Bari, Kairo: Musthafa al-Bab al-Halabi, 1959.

Ibrahim Anis, al-Mu’jam al-Wasit, Kairo: t.tp., 1972.

I.K.A. Howard, al-Kafi by al-Kulaini, Man la Yahduru al-Faqih by al-Saduq, Tahdhib Ahkam and Istibsar by Tusi, terj. Arif Budiarso dalam al-Serat, Vol. 2. No. 2. 1967, Jurnal Ulumul Qur’an, Vol. 2. No. 4, 2001.

Mohammed Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers terj. Dan ed. Robert D. Lee, Colorado: Westview Press, Inc., 1994.

Muhammad Tijani al-Samawi, Syi’ah: Pembela Sunnah Nabi, terj. Wahyul Mimbar, Iran: Muassah ‘an Sariyan, 2000.

Mircea Eliade, (Ed), The Encyclopedia of religion, Vol. 6 , New York: Macmilian Publishing Company, 1997.

Muhy al-Din Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi, Ma Tamassu Ilaihi Hajah al-Qari Li al-Shahih al-Imam al-Bukhari, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tth.

(28)

Mahmud al-Thahhan, Taysir Musthalah al-Hadits, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1987.

Muhammad Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Hadits, Kairo: Maktabah Wahbah, tt.

Subhi Shalih, ‘Ulum al-Hadits wa Musthalatuh, Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin, 1977.

Sa’dullah Al-Sa’di, Hadis-Hadis Sekte, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Thabathaba’i, Islam Syi’ah Asal Usul dan Perkembangannya, Jakarta: Grafiti Press, 1989.

Yusuf Al-Qardhawi, Al-Madkhal Li Dirasah As-Sunnah An-Nabawiyah, Terj. Agus Suyadi Raharusun dan Dede Rodin, Bandung: CV Pustaka Setia, 2007.

Referensi

Dokumen terkait

Alvarezii di sekitar Pulau Panjang sudah mendekati daya dukungnya (50 Ha) karena penanaman yang ada sudah mencapai luasan lebih dari 40 hektar dengan sistem penanaman

 Belum adanya usaha lain dari olahan jagung dalam rangka diversifikasi pangan untuk memberikan nilai tambah produk sehingga mempunyai nilai ekonomi yang lebih

PERANCANGAN SISTEM PENGIRIMAN DATA SENSOR ALTITUDE YANG TERPASANG PADA MIKROKONTROLER ARDUINO.. MENGGUNAKAN

Definisi lain dikemukakan oleh Kolb yang mengatakan bahwa gaya belajar merupakan metode yang dimiliki individu untuk mendapatkan informasi, yang pada prinsipnya gaya

Bank Riau Kepri Syariah Cabang Pekanbaru telah menetapkan bahwa Cara pembayaran pada transaksi murabahah dalam jual beli Pemilikan Rumah (PPR), dapat dilakukan dengan cara

Suatu hasil penelitian penggunaan serat kasar dalam ramsum menunjukkan bahwa: itik Pitalah mampu memanfaatkan serat kasar yang berasal dari bagase dalam ransum

Komedi sekarang tidak hanya diaplikasikan dalam bentuk berupa situasi komedi (sitkom) atau dalam film saja. Acara pertelevisian yang memakai unsur komedi dapat ditemui juga

Metode yang lebih sederhana yang dapat digunakan dalam menyusun laporan keuangan pada UKM adalah dengan menggabungkan penggunaan jurnal khusus dengan buku besar dengan menambahkan