• Tidak ada hasil yang ditemukan

P a g e 1 PERLUKAH KEBIJAKAN UJIAN NASIO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "P a g e 1 PERLUKAH KEBIJAKAN UJIAN NASIO"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PERLUKAH KEBIJAKAN UJIAN NASIONAL ?

STUDI PRO DAN KONTRA PELAKSANAAN UJIAN NASIONALDENGAN

PEDEKATAN ADVOCACY COALITION FRAMEWORK

Oleh: Irawanto1

PENDAHULUAN

Undang-U da g No. 0, Tahu 00 . Pasal e ye utka , Pe didika nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta

peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan

bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi

manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak

mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang

de okratis serta erta ggu g ja a .

1

Irawanto, Dosen STIA Bina Banua Banjarmasin,

Ringkasan

Semenjak diberlakukannya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor: 20 Tahun 2003 yang terkait dengan kegiatan ujian atau evaluasi pendidikan, Kementrian Pendidikan Nasional melaksanakan Ujian Nasional sebagai sebuah sistem evaluasi standar pendidikan dalam rangka quality control pendidikan secara nasional. Hasil ujian nasional berguna untuk : Sarana pemetaan mutu program dan satuan pendidikan, dasar penentuan kelulusan peserta didik, dan acuan untuk masuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Pelaksanaan UN telah menimbulkan berbagai kontroversi, terkait berbagai kecurangan dalam pelaksanaannya. Selain itu juga UN menyebabkan siswa sering dilanda ketakutan tidak mampu menempuh ujian nasional dengan baik, sehingga UN menjadi momok tersendiri bagi mereka. Bahkan, sebagian siswa juga berupaya memperoleh bocoran soal ujian nasional dengan berbagai cara. Parahnya, kondisi tersebut dimanfaatkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk melakukan jual beli soal ujian nasional.

(2)

Rumusan tersebut dapat diartikan bahwa pendidikan di Indonesia

diharapkan dapat menghasilkan lulusan bermutu yang diakui di tingkat nasional,

regional dan internasional serta lulusannya memiliki pengetahuan, keterampilan,

dan karakter pribadi dan watak yang dapat diandalkan. Tanpa menghasilkan

lulusan yang bermutu, program pendidikan bukan merupakan sebuah investasi

sumberdaya manusia, melainkan hanya sebuah pemborosan baik dari segi biaya,

tenaga, waktu, dan akan menimbulkan berbagai masalah sosial.

Untuk mencapai tujuan Pembangunan dalam bidang pendidikan

pemerintah sudah menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20

persen dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan

pendidikan nasional. Namun alokasi dana tersebut masih belum terserap secara

baik bagi peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.

Untuk mendapatkan hasil yang terbaik pemerintah terus melakukan

perbaikan dan pembenahan mulai dari diberikan tunjangan sertifikasi guru,

penentuan batas tingkatan pendidikan guru bagi tiap tingkat satuan pendidikan,

memperbaiki sistem ujian nasional mulai prosedur penyiapan naskah, proses

penyelenggaran dan pengawasan ujian, kreteria penentuan kelulusan,

perubahan kurikulum tahun 2006 (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/KTSP)

menjadi kurikulum 2013 dan yang terakhir untuk ujian nasional tahun 2013

jumlah variasi soalnya ditambah dari 5 menjadi 20. Berbagai perubahan dan

perbaikan itu bermuara pada tekad untuk memperbaiki dan menyempurnakan

sistem ujian yang akurat, berkeadilan, akuntabel dan menghasilkan lulusan yang

berkualitas.

Dari pelaksanaan UN selama ini masih banyak ditemui berbagai

fenomena-fenomena permasalahan yang terjadi sehingga hasil Ujian Nasional

diragukan hasilnya, karena nilai yang diperoleh tersebut merupakan hasil

intervensi pihak-pihak lain yang tidak bertanggung jawab sehingga pencapaian

hasil pendidikan yang ada saat ini oleh sebagian masyarakat disebut sebagai

(3)

Kualitas pendidikan yang ada saat ini merupakan gambaran dari proses

interaksi dari berbagai sub sistem dari sistem pendidikan secara nasional, salah

satu dari sub sistem tersebut adalah kualitas pendidik. Menurut Fasli Jalal di

acara World Innovation Summit for Education (WISE) 2012, di Qatar National

Convention Center, Doha, Qatar, Kamis 15 Nopember 2012, mengungkapkan

sesuai hasil video survei Bank Dunia, kualitas guru-guru Indonesia saat ini masih

rendah. Akibatnya, kegiatan belajar mengajar (KBM) di dalam kelas masih jauh

dari konsep ideal 2

Selain itu juga kalau kita melihat output dari sistem pendidikan kita yang

didasarkan kepada hasil penelitian lembaga internasional yang diterbitkan pada

tahun 2012, terlihat bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masuk dalam

kategori rendah, ini berarti bahwa upaya yang telah dilakukan pemerintah

selama ini belum mencapai hasil yang diharapkan. Kondisi kualitas pendidikan

negara ini yang telah dipublikasikan oleh lembaga Pearson mencatat bahwa

Indonesia menjadi negara dengan kualitas pendidikannya terendah bersama

Mexico dan Brasil (Lihat Tabel 1).

Berdasarkan tabel tersebut yang diterbitkan oleh firma pendidikan

Pearson, sistem pendidikan Indonesia berada di posisi terbawah. Tempat

pertama dan kedua ditempati Finlandia dan Korea Selatan, sementara Inggris

menempati posisi keenam. Peringkat itu memadukan hasil tes internasional dan

data, seperti tingkat kelulusan antara tahun 2006 dan 2010. Sir Michael Barber,

penasihat pendidikan utama Pearson, mengatakan, peringkat disusun

berdasarkan keberhasilan negara-negara memberikan status tinggi pada guru

dan memiliki "budaya" pendidikan. selain itu juga penelitian ini

mengkombinasikan ukuran sistem pendidikan, seperti jumlah orang yang dapat

mengenyam pendidikan tingkat universitas.

2

(4)

Tabel 1 : Global Index of Cognitive Skills and Educational Attainment November 2012

No Country Notes

Overall Cognitive Educational

Index Skills Attainment

1 Finland 8,10,11,12 1,26 1,50 0,79

2 South Korea 5,8,11,12 1,23 1,24 1,21

3 Hong Kong-China 1,4,8 0,90 1,26 0,20

4 Japan 8,12 0,89 1,04 0,59

5 Singapore 1,4 0,84 1,39 -0,26

6 United Kingdom 8,13,14,15 0,60 0,50 0,81

7 Netherlands 1,8,10 0,59 0,72 0,32

8 New Zealand 1,8,10 0,56 0,61 0,47

9 Switzerland 3,8,10,11,12 0,55 0,71 0,22

10 Canada 3,6,8,13,14,15 0,54 0,72 0,18

11 Ireland 8,10,11,12 0,53 0,42 0,74

12 Denmark 8,10 0,50 0,41 0,68

13 Australia 2,6,8,12 0,46 0,54 0,31

14 Poland 10,11 0,43 0,26 0,77

15 Germany 8,10 0,41 0,56 0,12

16 Belgium 1,4,8,10,11,15 0,35 0,43 0,20

17 United States 8 0,35 0,44 0,16

18 Hungary 0,33 0,46 0,07

19 Slovakia 8,10 0,32 0,16 0,65

20 Russia 1,4 0,26 0,29 0,20

21 Sweden 8 0,24 0,31 0,08

22 Czech Republic 8,12 0,20 0,20 0,21

23 Austria 1,8,10 0,15 0,24 -0,03

24 Italy 0,14 0,20 0,02

25 France 2,4,8,10,11 0,13 0,23 -0,06

26 Norway 8 0,11 -0,07 0,47

27 Portugal 10,11,12 0,01 -0,09 0,21

28 Spain 10,11 -0,08 -0,01 -0,24

29 Israel 7,11 -0,15 -0,34 0,22

30 Bulgaria 1,4,9,11 -0,23 -0,37 0,05

31 Greece 3,6,10,11,12 -0,31 -0,25 -0,43

32 Romania 1,4,11 -0,60 0,88 -0,04

33 Chile 4,9,10,11,12 -0,66 -1,07 0,15

34 Turkey 11,12 -1,24 -0,97 -1,79

35 Argentina 2,4,10,11,12 -1,41 -2,02 -0,17

36 Colombia 1,4,12 -1,46 -1,91 -0,56

37 Thailand 2,5,9,11,12 -1,46 -1,28 -1,81

38 Mexico 10,11,12 -1,60 -1,53 -1,74

39 Brazil 1,4,9,10,11,12 -1,65 -2,01 -0,94

40 Indonesia 2,5,9,11 -2,03 -2,04 -2,01

Sumber:http://www.pearson.com/news/2012/november/pearson-launches -the-learning-curve.html

TINJAUAN PUSTAKA

ACF theory atau advocacy coalition framework atau dengan istilah

(5)

akhir tahun 1980 oleh Paul Sabatier dan Hank Jenkins-Smith untuk membantu

menjelaskan struktur koalisi dan perilaku, peran informasi ilmiah dan teknis

dalam pembelajaran kebijakan, kebijakan yang berorientasi, dan keyakinan dan

perubahan kebijakan dalam subsistem kebijakan perdebatan. Jejaring koalisi

advokasi terbentuk dari aktor kepentingan dan penekan, bersama-sama dengan

provokator atau perangkat pemicu membentuk kelompok penengah. Peran

penengah memberi tekanan terhadap penguasa untuk mengeluarkan kebijakan,

membentuk perubahan subsistem kebijakan.

Sabatier (1993) meneliti suatu jejaring kebijakan dan menamakan

Advocacy Coalition yaitu sekelompok pengambil kebijakan dalam subsistem

kebijakan. Aktor dari advocacy coalition terdiri dari pelaku-pelaku dari sejumlah

institusi swasta dan pemerintah dalam semua level organisasi pemerintah yang

berhubungan atas dasar kepercayaan pada pencapaian tujuan dengan menyusun

peraturan, anggaran dan personil institusi pemerintah. (Howlett dan

Ramesh,1995 :125).

Koalisi advokasi adalah jenis jejaring kebijakan, merupakan hybrid model

subsistem kebijakan dalam kerangka policy network. Koalisi advokasi dapat

muncul pada semua level kebijakan, baik tingkat nasional, subnasional dan lokal.

Jejaring kebijakan dalam suatu subsistem kebijakan dapat dipelajari melalui

koalisi dari aktor-aktor jejaring kebijakan. Hal ini disebabkan subsistem kebijakan

merupakan jejaring kebijakan yang terdiri dari sejumlah koalisi-koalisi advokasi

yang dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan keyakinan dan sumberdaya

yang mereka miliki. (Parsons, 2005: 198). Penetapan agenda dan tahap lainnya

dalam proses kebijakan didominasi oleh opini elit. Dampak dari opini publik

paling-paling hanya bersifat modest. (Sabatier, 1991:148;!993: 30 dalam Parsons,

2000 : 199) Semakin banyak kepentingan aktor yang terlibat dalam jejaring

kebijakan akan semakin memperbesar koalisi baik secara kualitas maupun

kuantitas. Semakin banyak tumbuh koalisi tidak menjamin kemudahan

perumusan kebijakan bahkan dapat mengancam proses perumusan kebijakan.

(6)

Koalisi ini terbentuk dalam rangka mewujudkan opini elit. Kondisi ini hanya dapat

teratasi dengan kemunculan sang penengah (policy brokers). Penelitian tentang

aktor kebijakan dalam jejaring kebijakan publik antara lain dilakukan Cobb dan

Elder (1972:85 dalam Parsons, 1997:127) yang menemukan bahwa aktor

kebijakan adalah komunitas kebijakan yang terdiri dari pemerintah, sekelompok

publik yang berpartisipasi di bawah inisiator atau pemimpin opini dengan

tekanan media massa. Jejaring kebijakan adalah suatu hubungan yang terbentuk

akibat koalisi diantara aktor pemerintah, masyarakat termasuk privat. (Waarden,

1992 : 29-52 dalam Howlett dan Ramesh,1995 :130). Aktor kebijakan sering juga

disebut sebagai stakeholders.

Dalam membangun keinginan koalisi dalam melakukan suatu kerangka

kerja, muncul nilai kepercayaan antara aktor, baik itu antara aktor privat dan

public maupun aktor swasta dalam semua level organisasi pemerintah, tampil

pada saaat pemerintah menyusun peraturan, anggaran dan personil institusi

pemerintah. Sistem kepercayaan yang melandasi hubungan diantara aktor terdiri

atas tiga (3) tingkat kepercayaan, yaitu :

1)Common belief atau deep/normative core, suatu kepercayaan dan kesamaan

persepsi pada tujuan kebijakan berdasarkan kesamaan pengetahuan tentang

masalah publik yang menarik perhatian aktor-aktor tersebut. Kepercayaan

ini seringkali berkaitan dengan sifat dasar manusia baik sebagai individu

maupun sebagai kolektif. Kepercayaan yang bersumber dari sifat dasar

manusia, dalam kenyataan sangat sulit diubah;

2) Core of belief system yaitu sistem kepercayaan berdasarkan atas pandangan

yang sama terhadap sifat alami kemanusiaan dan beberapa kondisi yang

diinginkan manusia. Koalisi berlandaskan sistem kepercayaan ini sangat

stabil persatuannya sulit dirubah;

3) External factors meliputi uang, keahlian, jumlah pendukung, legal otoritas,

pendapat umum, teknologi, tingkat inflasi, nilai-nilai budaya . Sistem

kepercayaan yang terbentuk dari faktor-faktor eksternal relatif mudah

(7)

Ketiga sistem kepercayaan di atas di bentuk oleh 5 sumber nilai (Wart.1998 :

8-23) yakni :

1. Nilai-nilai individu. Nilai individu saling bersaing dan memiliki banyak

perbedaan, namun apabila suatu negara memiliki kepentingan dan nilai

individu yang dapat dipersatukan, maka tercapai integritas yang

memperkuat Negara melalui perumusan kebijakan Negara yang berlabel

public.

2. Nilai-nilai professional. Birokrasi publik sering dianggap indispliner dan

tidak professional organisasi-organisasi profesi dapat menyelenggarakan

pelatihan dan menjadi contoh profesionalisme bagi organisasi publik.

Kelemahan organisasi profesi seringkali mereka menekan organisasi

publik, mirip yang di lakukan kelompok kepentingan.

3. Nilai-nilai organisasi. Kepentingan organisasi dalam kebijakan

mencerminkan dua kekuatan yaitu struktur organisasi dan budaya

organisasi merubah atau mempertahankankan kedua kekuatan tersebut,

dapat menimbulkan konflik dengan hukum, integritas individu dan

kelompok kepentingan. Nilai-nilai organisasi dapat memperkuat kebijakan

agar berstandar pada kepentingan public sangat dipengaruhi oleh gaya

kepemimpinan, tekad kuat pemimpin untuk melaksanakan total Quality

management (TQM) dan revolusi manajemen

4. Nilai-nilai legal. Nilai-nilai ini tercermin dalam konstitusi suatu Negara.

Perubahan konstitusi akan mengubah berbagai peraturan dan kebijakan

Negara. Secara procedural, konstitusi mengatur berbagai kebijakan agar

tidak bertentangan dengan konstitusi, karena itu konstitusi harus

mencerminkan kepentingan public.

5. Nilai-nilai kepentingan public. Nilai-nilai kepentingan public adalah

nilai-nilai yang harus mendasari jejaring kebijakan publik.

Berikut ini skema menganai analisis dari ACF terkait konflik yang terjadi

(8)

Gambar 1: Advocation Coalition Framework flow Program.

ACF lebih merupakan teori kontinuitas dari teori perubahan (Mintrom &

Vergari. 1996). Hasil-hasil kebijakan tersebut dibatasi oleh "parameter sistem

yang stabil" yang dapat mencakup struktur sosial dan aturan konstitusional.

Perubahan kebijakan dari waktu ke waktu adalah fungsi dari peristiwa luar

subsistem yang bisa termasuk internasional, sosial ekonomi, ilmiah, atau

pemilihan shift. Policy oriented belajar di koalisi, di mana salah satu atau kedua

koalisi mengubah keyakinan inti mereka difasilitasi oleh:

a. Tingkat moderat konflik.

b. Masalah yang penurut analitis. dan

c. adanya sebuah forum di mana para ahli diprofesionalkan dari koalisi

bersaing harus membenarkan klaim mereka sebelum rekan-rekan mereka

(Sabatier & Jenkins-Smith. 1993 hal 48-55.).

Perumusan kebijakan atau penyusunan alternatif kebijakan merupakan

bagian dari pembuatan suatu kebijakan, dalam proses tersebut keterlibatan

(9)

dalam organisasi, organisasi ini sering disebut subsistem kebijakan. Howlett

dan Ramesh (1995 : 125). Subsistem kebijakan dalam perumusan kebijakan

terbentuk tatkala semua yaitu pihak pemimpin dan yang dipimpin, antara

berbagai kelompok politik, masyarakat dan swasta berpartisipasi dan terjadi

interaksi diantara partisipan atau aktor. Kegiatan saling mempengaruhi diantara

para aktor akan membentuk suatu parameter-parameter yang relatif stabil.

Parameter-parameter yang relatif stabil dibatasi oleh sistim nilai atau faktor

internal dan eksternal aktor. Perubahan interaksi antar aktor yang disebabkan

perubahan sistim nilai akan berakibat pada perubahan subsistem kebijakan.

(Parsons, 2005:198 diadaptasi dari Sabatier, 1988, 1991).

Jejaring kebijakan menjadi tumbuh dengan bermacam jenis tergantung

pada intensitas hubungan ketiga aktor dan dominasi salah satu aktor.

Jenis-jenis jejaring kebijakan yang muncul adalah 1) Bureaucratic Network; 2)

Clientelistic Network; 3)Triadic Network 4) Pluralistic Network. Apabila

masyarakat mendominasi hubungan antara pemerintah dan masyarakat akan

terbentuk empat jenis jejaring: 1) Participatory Statist Network;

2) Captured Network; 3) Corporatist Network; 4) Issue Network.

Keterkaitan aktor dan sistim nilai dalam pembentukan jejaring kebijakan

ditinjau dari kerangka koalisi advokasi adalah bagaimana agar perumusan

kebijakan publik hingga implementasinya tetap mempertahankan nilai-nilai

kepentingan publik. Perubahan tujuan kebijakan tidak terjadi, dan tujuan

kebijakan mendasarkan pada nilai-nilai pelayanan publik, meninggalkan tirani

dan beralih ke publik. Nilai kepentingan publik sangat dipengaruhi faktor politik,

namun perubahan apapun dalam suatu perumusan kebijakan tidak bijaksana

apabila menyimpang dari kepentingan publik.

Dalam sebuah koalisi, para anggota koalisi tidak hanya berasal dari satu

organisasi publik saja ataupun privat saja. Sabatier (Schalager dan

Blomquist,1996; Trisnawati,2005) pernah mengungkapkan bahwa metode

operasi yang dilakukan koalisi advokasi untuk mencapai tujuan antara lain 1)

(10)

untuk membujuk pembuat keputusan agar mengangkat alternatif-alternatif

kebijakan yang didukung oleh koalisi; 2) memanipulasi forum pembuat

keputusan; 3) berusaha mendapatkan dukungan birokrasi yang memiliki

wewenang publik dengan berbagai pandangan untuk dijadikannya sebagai

anggota koalisi. Ada sistem kepercayaan yang dibangun dari setiap anggota

koalisi untuk bekerja sama (interaksi) untuk mencapai serta merealisasikan

tujuan yang diinginkan. Itu artinya, tidak menutup kemungkinan anggotanya

terdiri dari berbagai aliansi baik publik maupun privat, termasuk peneliti sendiri

karena peneliti bisa menjadi the most important member of a dominant

advocacy coalition (DAC).

Selain karateristik diatas, karakteristik kedua adalah pengaruh

berubahnya kondisi eksternal suatu policy subsystem. Ini terjadi karena

perubahan kondisi sosial-ekonomi, perubahan terhadap prioritas kebijakan atau

hal eksternal lainnya. Karena pada dasarnya, suatu kondisi tidak akan berubah

jika tidak ada dorongan eksternal yang menghasilkan pergeseran suatu

kebijakan. Dalam ACF, untuk sampai pada proses perubahan kebijakan (policy

change) kondisi tersebut sangat diperlukan. Faktor eksternal bisa berpotensi

dalam menentukan suatu perubahan kebijakan yang nantinya akan dimonitor

dari waktu ke waktu; dijadikan ukuran yang berasal dari kemungkinan dan

kekuatan dorongan potensial dari eksternal. Dan sebagai gantinya adalah

terjadinya "perubahan kebijakan yang katalitis."

DISKUSI DAN APLIKASI TEORI ADVOCATION COALITION FRAMEWORK DALAM PELAKSANAAN UJIAN NASIONAL

Sabatier dan Jenkins-Smith (1993) menyatakan bahwa subsistem

kebijakan dapat dijelaskan dengan melihat aksi dalam koalisi advokasi (Advocacy

Coalition). Di dalamnya terdapat sejumlah dan diwarnai oleh banyak actor

kebijakan yang tidak hanya dari unsur pemerintah dalam hal ini Kemendiknas

(11)

yang kemudian di dalam policy arena terdapat dua atau lebih koalisi yang

memiliki belief yang berbeda atas pelaksanaan Ujian Nasional.

Berdasarkan uraian sebelumnya bahwa karakteristik ketiga dari ACF

adalah terjadinya policy-oriented learning (POL). Berdasarkan literatur, POL

menyiratkan perubahan kebijakan. Hal ini ditandai dengan adanya konflik antara

berbagai pihak. Disatu sisi menyetujui pelaksanaan UN, disisi lain banyak pula

pihak yang menolak kebijakan tersebut. Pro dan kontra ini terjadi pula terhadap

kebijakan pemerintah untuk tetap melangsungkan UN walaupun telah digugat

masyarakat; untuk melihat sikap pro dan kontra terhadap pelaksanaan UN dapat

dilihat uraian berikut:

Pro Ujian Nasional (Coalition A)

Terjadinya pro dan kontra dari suatu kebijakan tidak terlepas dari factor

lingkungan yang terdiri pada parameter yang relative stabil dan system eksternal

yang akhirnya mempengaruhi policy belief dari masing-masing actor yang

mendukung atau menolak suatu kebijakan dalam hal ini pelaksanaan Ujian

Nasional.

Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) menjadi sangat penting karena

merupakan salah satu sarana untuk melakukan penilaian serta untuk mengetahui

apakah rumusan tujuan pendidikan yang diterjemahkan ke dalam kurikulum

dapat dicapai atau tidak. Ibarat sebuah produk, UN dapat dikategorikan sebagai

tools untuk mengukur mutu produk (standard of quality assurance). Ukuran

tersebut harus bisa berlaku umum. Jadi, ujian merupakan penerapan quality

control management dalam dunia pendidikan. Dalam konteks ini UN tidak hanya

berfungsi untuk menentukan standar kelulusan, tetapi juga untuk mengukur

mutu pendidikan secara merata di tingkat nasional. Selain itu, UN juga dapat

menjadi instrumen evaluasi dalam penyelenggaraan pendidikan secara

menyeluruh terhadap sekolah, guru, siswa, serta sarana/prasarana, termasuk

(12)

Dibawah ini penjelasan mengapa UN perlu tetap dipertahankan, antara

lain:

a. Beberapa pasal pada Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 yang

terkait langsung dengan kegiatan ujian atau evaluasi pendidikan adalah

pasal 35, pasal 57, pasal 58, dan pasal 59. Berdasarkan pasal-pasal dan

ayat-ayatnya serta kaitannya satu sama lain, maka dapat ditarik suatu

pemahaman seperti berikut ini.

1) Terhadap hasil belajar peserta didik perlu dilakukan evaluasi oleh

pendidik dengan tujuan utama untuk memantau proses, kemajuan,

dan perbaikan hasil belajar peserta ddik secara berkesinambungan

(pasal 58, ayat 1).

2) Evaluasi dilakukan terhadap peserta didik, satuan/lembaga

pendidikan, dan program pendidikan untuk memantau (pasal 35,

ayat 3) dan/atau menilai (pasal 58, ayat 2) pencapaian standar

nasional pendidikan (isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga

kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan

evaluasi pendidikan) (pasal 35, ayat 1).

3) Evaluasi terhadap peserta didik, satuan/lembaga pendidkan, dan

program pendidikan untuk memantau atau menilai pencapaian

standar nasional dilakukan oleh suatu lembaga mandiri (pasal 58,

ayat 2), dapat berupa badan standarisasi, penjaminan, dan

pengendalian mutu pendidikan (pasal 35, ayat 3) dan/atau

lembaga yang diselenggarakan oleh masyarakat dan/atau yang

diselenggarakan oleh organisasi profesi.

4) Pasal 35, 57, dan 58 mengamanatkan bahwa evaluasi perlu dilakukan

untuk (a) pengendalian mutu pendidikan secara nasional (pasal 57,

ayat 1), dan (b) memantau (pasal 35, ayat 3) dan/atau menilai (pasal

58, ayat 2) pencapaian standar nasional pendidikan.

5) Pasal 59 berisi tentang lembaga yang harus melakukan evaluasi dan

(13)

spesifikai tentang apa dan siapa yang dievaluasi, yaitu pemerintah

dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola,

satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan (pasal 59, ayat 1).

Masyarakat dan/atau organisasi profesi dapat membentuk lembaga

yang mandiri untuk melakukan evaluasi sebagaimana ynag dimaksud

dalam pasal 58 (pasal 59, ayat 2).

b. Tidak sedikit pula pendapat yang mendukung dilaksanakan UN terutama

didasarkan pada argumentasi tentang pentingnya UN sebagai pengendali

mutu pendidikan secara nasional dan pendorong atau motivator bagi

peserta didik dan penyelenggara pendidikan untuk meningkatkan mutu

pendidikan.

c. UN perlu dilaksanakan dalam rangka menegakkan akuntabilitas pengelola

dan penyelenggara pendidikan terhadap pihak-pihak yang

berkepentingan dan masyarakat pada umumnya. Secara konseptual UN

mampu menyediakan informasi yang akurat kepada masyarakat

tentang prestasi yang dicapai oleh setiap peserta didik, sekolah, lembaga

pendidikan kabupaten/kota, provinsi, dan prestasi nasional secara

keseluruhan. Informasi ini dapat digunakan untuk membandingkan

prestasi belajar antar sekolah, kabupaten/kota, dan antar provinsi. Dalam

konteks ini UN merupakan instrumen yang potensial untuk menyediakan

informasi penting dalam menegakkan akuntabilitas.

Kontra Ujian Nasional (Coalition B)

Pada kenyataannya pelaksanaan UN ternyata menjadi kontradiksi,

muncul berbagai tanggapan dan pendapat yang beragam dari berbagai kalangan

tentang UN yang dilansir oleh sejumlah media masa. Di antara mereka ada yang

secara tegas menolak keberadaan UN dalam bentuk apapun dan mengantinya

(14)

UN antara lain seperti yang diungkapkan oleh Karso (2007)3, Sri Endang Susetiawati4, 2012 dan beberapa pakar lainnya.

Ujian Nasional yang dilakukan selama ini memberikan gambaran tentang

proses belajar mengajar, kualitas pendidikan, mutu pendidik, sarana dan

prasarana pendidikan dan iklim pendidikan, dari beberapa gambaran tersebut

berikut ini adalah gambaran pelaksanaan Ujian Nasional dan alasan kenapa

Ujian Nasional ditolak untuk dilaksanakan.

Pertama, berdasarkan hasil survey yang peneliti lakukan pelaksanaan

kegiatan UN terlihat beberapa permasalahan yang terjadi, diantaranya adalah :

a. Selama ujian berlangsung cukup banyak anak didik yang melakukan

kecurangan dalam menjawab soal ujian, baik itu dengan mencoba

menyontek pekerjaaan teman-temanya juga mereka menggunakan Hand

Phone, untuk melakukan short massage service dengan teman yang lain.

b. Selama pelaksanaan ujian guru sebagai pengawas ruangan tidak melakukan

tugasnya dengan baik.

c. Kepala Sekolah melarang kepada Guru-guru pengawas ruangan menutup

hasil ujian dengan lem hasil ujian dengan alasan kalau ada kesalahan

pengisian data-data siswa dapat diperbaiki.

d. Hasil ujian yang yang telah dikumpulkan di ruang pengumpulan soal tidak

di tutup dengan lem/lak langsung di bawa ke Dinas tanpa didamping oleh

pengawas dari perguruan tinggi, dan polisi.

e. Terlihat bahwa hasil UN tertinggi di masing-masing mata pelajaran

didominasi oleh mereka yang tidak mempunyai tradisi juara selama ini.

f. Hasil try out yang dilaksanakan disekolah menunjukkan anak didik

memperoleh nilai rata-rata rendah namun pada hasil akhir UN nilai

mereka dapat didongkrak kelevel yang lebih tinggi. .

g. Tingkat lulusan UN lebih baik daerah yang jauh dari pusat kota .

3

Karso, 2007 Pro kontra Ujian Nasional, posting 2012-Mar-08 download 31 Desember 2012. http://file.upi.edu/browse.php?dir=Direktori/FPMIPA /JUR._PEND._MATEMATIKA/195509091980021-KARSO/

4

(15)

h. Ada ya Ti sukses ya g di uat oleh sekolah u tuk e sukseska Ujia

Nasional.

i. Pemerintah Daerah (Walikota/Bupati) melewati Dinas Pendidikan

menargetkan tingkat kelulusan yang tinggi diwalayah kerjanya.

Kedua, berdasarakan hasil identifikasi dari lokakarya yang dilakukan oleh

Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendiknas tahun 2012 mengidentifikasi

masalah pendidikan secara nasional yaitu :

a. Rendahnya akseptabilitas Ujian Nasional.

b. Pemanfaatan hasil Ujian Nasional tidak maksimal.

c. Tidak sesuainya mekanisme penyelenggaraan Ujian Nasional pendidikan

dasar (SD, SMP), berkaitan dengan sebelum pelaksanaan UN, pelaksanaan

UN, dan pasca pelaksanaan UN.

d. Kurangnya Peran berbagai institusi dalam Ujian Nasional pendidikan dasar

dan pendidikan menengah, terkait dengan tugas dan tanggungjawab

penyelenggara UN tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.

Ketiga, alasan ditolaknya pelaksanaan UN seperti yang diungkapkan oleh

Endang Susetiawati (2011) , beliau adalah salah satu dari orang yang menolak

adanya pelaksanaan UN :

a. Bahwa Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) selama ini telah jelas banyak

berdampak negatif terhadap dunia pendidikan nasional, antara lain berupa

dugaan praktek kecurangan massal pada pemberian nilai rapor siswa,

pelaksanaan UN yang diduga sarat penyimpangan atau tidak sebagaimana

mestinya, dan terjadinya ekses sosial yang meluas, seperti pengusiran

orang tua siswa yang melaporkan kecurangan UN oleh para orang tua

lainnya yang berbeda pendepat.

b. Bahwa dengan demikian pelaksanaan UN memiliki banyak mudharat dari

pada manfaatnya, terutama hancurnya sendi-sendi moral kejujuran di

lembaga sekolah yang telah memutarbalikkan moralitas siswa, orang tua,

guru, Kepala Sekolah dan para pejabat setempat, seolah kejujuran adalah

(16)

c. Bahwa dengan demikian pelaksanaan UN menjadi hampir mubadzir, atau

tidak ada gunanya sama sekali, sehingga biaya yang dikeluarkan sekitar Rp

560 Milyar per tahun untuk UN menjadi hampir sia-sia karena tujuan

pelaksanaan UN tidak tercapai, yakni meningkatkan mutu lulusan sekolah

dan memetakan mutu penddikan sekolah, karena yang diperoleh adalah

sebuah data hasil UN yang diduga terdistorsi luar biasa akibat praktek

curang yang diduga dilakukan secara massal, sistemik, struktural dan dalam

skala nasional.

Berbagai kebijakan ini telah dibuat sedemikian rupa namun dalam

pelaksanaan masih saja terdapat tantangan dan ganjalan mulai dari pelaksana,

pejabat publik bahkan masyarakat. Kondisi ini menunjukkan adanya tuntutan

masyarakat agar hasil ujian benar-benar merupakan representasi dari proses

pendidikan yang bermutu dengan sarana dan prasarana yang baik. Puncak dari

tuntutan tersebut adalah gugatan masyarakat terhadap UN yang dimenangkan

masyarakat.

Keputusan tersebut berisikan beberapa ketentuan sebagai berikut :

1. Menyatakan bahwa para tergugat, Presiden RI, Wakil Presiden RI, Menteri

Pendidikan Nasional dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan telah

lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan Hak Asasi Manusia

terhadap warga negaranya yang menjadi korban Ujian Nasional (UN),

khususnya pada hak atas pendidikan dan hak-hak anak;

2. Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk meningkatkan kualitas guru,

kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap

di seluruh daerah di Indonesia, sebelum mengeluarkan kebijakan

Pelaksanaan Ujian Nasional lebih lanjut;

3. Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk mengambil langkah-langkah

konkrit untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik

dalam usia anak akibat penyelenggaraan Ujian Nasional;

4. Memerintahkan kepada Para Tergugat untuk meninjau kembali Sistem

(17)

Kebijakan Ujian Nasional menjadi prioritas untuk dibahas, karena hasil UN

bisa dijadikan tolak ukur daya saing bangsa dan mencerminkan kemampuan

bangsa berkompetisi dengan bangsa lain. Selain itu juga kegiatan ini

memerlukan biaya yang cukup besar dan melibatkan masyarakat di seluruh

wilayah Indonesia dan menjadi perhatian publik.

POLICY BROKER DAN REKOMENDASI

Keberatan tokoh pendidikan, masyarakat, orang tua murid dan

Keberhasilan gugatan masyarakat terhadap pelaksanaan UN ternyata tidak

membuat UN dihentikan, walaupun sikap kontra terhadap pelaksanaan UN tetap

berlangsung, apa yang telah dilakukan oleh Governmental Authorities selaku

Policy broker adalah dengan merubah beberapa kebijakan seperti penentuan

kelulusan bukan lagi ditentukan oleh hasil yang diperoleh oleh siswa dalam UN,

tetapi adalah hasil bagi dari Nilai UN dengan bobot 40% dan hasil ujian sekolah

sebesar 60%, selain itu juga Governmental Authorities juga membuat kebijakan

variasi soal UN mulai diperbanyak dari 3 menjadi 5 dan terakhir menjadi 20

variasi.

Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dan direkomendasi dari diskusi

munculnya pro dan kontra tentang UN, diantaranya:

a) Ujian merupakan strategi yang umum digunakan untuk meningkatkan

mutu pendidikan manakala sumber daya yang dimiliki oleh suatu negara

relatif terbatas.

b) Secara konseptual, ujian merupakan strategi evaluasi yang potensial

untuk mendorong peningkatan mutu pendidikan

c) Undang-undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 mengamanatkan sejumlah

kegiatan evaluasi dan ujian yang polanya masih terbuka untuk

didiskusikan. Ini berarti pihak-pihak yang kontra dapat

merekomendasikan beberapa hal yang terkait pra kondisi sebelum UN itu

(18)

Sejalan dengan kesimpulan di atas ada beberapa rekomendasi yang

berkaitan dengan munculnya pro dan kontra tentang UN, diantaranya:

a) Selain penerapan ujian sebagai strategi untuk meningkatkan mutu

pendidikan nasional, pemerintah juga secara bertahap perlu

meningkatkan mutu sekolah melalui perbaikan sarana dan prasarana

sekolah, peningkatan mutu dan distribusi guru, serta peningkatan kinerja

guru dalam proses pembelajaran. (Bukan melalui sertifikasi dalam

bentuk portofolio).

b) Ujian merupakan strategi yang umum digunakan untuk menilai mutu

pendidikan yang terjadi. parameter relative yang stabil (Relatively stable

parameters) seperti distribusi sumberdaya yang ada perlu dilakukan

terutama guru, sarana dan sarana pendidikan harus terstandarisasi secara

baik, Fundamental nilai-nilai social budaya perlu ditingkatan, orientasi

pada hasil harus dikaji ulang karena banyak nilai ujian selama ini diragukan

hasilnya. Ujian memegang peranan strategis di dalam sistem

pendidikan di negara berkembang seperti Indonesia.

c) Peristiwa eksternal (External–system- Even) yang melandasi policy beliefs harus dicermati dalam hal ini bagaimana perkembangan pendidikan di

Negara lain seperti di Finland atau Korea yang mungkin bisa memperbaiki

sistem pendidikan di Indonesia

d) Policy subsistem dari koalisi pro dan kontra harus melakukan penyusunan

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Carlsson, Lars. 2000. Policy Network as Collective Action, Policy Studies Journal, Vol. 28, No. 3 : 502-520.

Henry, Nicholas. 2004. Public Administration and Public Affairs. Georgia Southern University, Pearson Prentice Hall.

---. 1995. Administrasi Negara dan Masalah-masalah Publik. Luciana D.Lontoh (penerjemah). PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Howlett, Michael and M. Ramesh. 1995. Studying Public Policy : Policy Cycles

and Policy Subsystems. Oxford University Press, Oxford.

John Kingdon, 2003: Agendas, Alternatives, and Public policies, New York Longman

Karso, 2007 Pro kontra Ujian Nasional, posting 2012-Mar-08 download 31 Desember 2012. http://file.upi.edu/browse.php?dir=Direktori/FPMIPA /JUR._PEND._MATEMATIKA/195509091980021-KARSO/

Kiellberg, Francesco. 1995. The Changing Values of Local Government, The ANNALS of American Academy, AAPSS, 540, July : 40-50.

Parsons, Wayne. 1997. Public Policy: An introduction to the theory and practice of policy analysis, Edward Edgar Publishing, LTD and Lansdown Place, Cheltenham, UK, Lyme, Us.

Pennen,Ton Van Der. 2005. Actor Strategies in Decentralized Policy Networks Journal of Housing and the Built Environment. Vol.20 :301-315.

Quade, E.S. 1982. Analysis for Public decision. Elsevier Science Publishing, New York.

Riana Afifah, 2012, Pro-Kontra UN Sebagai Alat Pemetaan dan Evaluasi Pendidikan, upload Jumat, 12 Oktober 2012 | 21:27 WIB download 22 Januari 2013, 24.00. http://edukasi.kompas.com/read/2012/ 10/12/21273044/ProKontra.UN.Sebagai.Alat.Pemetaan.dan.Evaluasi.Pe ndidikan

Rudolf, Daniel Wesly, 2012, posting Kamis, 15 November 2012 13:08 WIB download 11 Januari 2013 http://www.mediaindonesia.com /read/2012/11/11/363113/293/14/Kualitas-Guru-Indonesia-Masih-Rendah

Ringkasan Eksekutif Lokakarya Manajemen Penyelenggaraan Ujian Nasional 2012 Pe i gkata Kualitas, Aksepta ilitas, Da Kredi ilitas Ujia Nasio al Rhodes, R.A.W. 1984. Power-Dependence, Policy Communities and

Intergovernmental Networks, Public Administration Bulletin, 49.

Sabatier, Paul A. and Hank C. Jenkins- Smith. 1993. Policy Change and Learning : An Advocacy Coalition Approach. Westview Press, Boulder, Co.

---. 1988. An Advocacy Coalition Framework of Policy Change and the role of policy- oriented learning therein. Policy Sciences, 21 : 129-68.

(20)

Advocacy Coalition Framework. Administration and Society, 19 : 236-63.

Siti Asiah dan Ainur Rofieq, Analisis Kebijakan Ujian Nasional Tingkat Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Jurnal edukasi, Vol. 3, No. 1, Maret 2011: 75– 92

Sri Endang Susetiawati, 2012, Petisi online buat presiden Ri Untuk penyelamatan Pendidikan Nasional, posting; 15 Juni 2011 download 30 Des. 12 http://edukasi.kompasiana.com/2011/06 /15/petisi-online-buat-presiden-ri-untuk-penyelamatan-pendidikan-nasional/

Undang-Undang No. 20, Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional

Viney, David. 2006. Stakeholder Analysis and Stakeholder Management.

Ezine Articles Newsletter-and- Business-Online/Ecommerce: Web@ Ezinearticles.com, http:/EzineArticles.com/?expert=Da vid Viney, Oct,

11, 2006 :1-3.

Wart, Montgomery Van. 1998. Changing Public Sector Values. Garland Publishing, Inc.London.

Gambar

Tabel 1 : Global Index of Cognitive Skills and Educational Attainment     November 2012

Referensi

Dokumen terkait

Pada ruas jalan Kawi, arahan pengelolaan lalu lintas dengan penerapan skenario penataan parkir on-street di sisi utara dan sisi selatan, penertiban angkutan kota

Bahasa I ndonesia dit et apkan sebagai Bahasa Negara dalam Undang- Undang Dasar kit a.. Jika t idak segera diberant as, peredaran narkoba akan sem ak in m

Pagbaybay nang wasto sa mga salitang naglalarawan tungkol sa tao, lugar, at bagay na ginamit sa pangungusap.. Paggamit ng konteksto sa pangungusap upang matukoy ang kahulugan ng

Pada hakikatnya manusia adalah makhluk beragama (homoreligius) dan fithrahnya manusia adalah makhluk spiritual yang selalu berupaya untuk senantiasa ada dalam

Faktor Gender memiliki pengaruh terhadap gaya hidup seseorang. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak hanya dapat dilihat dari segi penampilan.. saja, melainkan juga dari

penugasan (assignment) berbasis portofolio dengan kelas kontrol yang tidak. menggunakan metode penugasan (assignment) berbasis portofolio

Dari uraian di atas penelitian ini bertujuan untuk membuat dan menerapkan data clustering yang efektif pada weblog untuk mendapatkan pola penjelajahan dari pengguna sehingga

Berdasarkan Hasil Evaluasi Administrasi, Teknis dan Harga pada Pemilihan Penyedia Jasa Konstruksi kegiatan Rehabilitasi Ruang Belajar MTsN Salido Tahun Anggaran