• Tidak ada hasil yang ditemukan

Magister Pendidikan Bahasa Indonesia NOSI Volume 5, Nomor 4, Agustus 2017

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Magister Pendidikan Bahasa Indonesia NOSI Volume 5, Nomor 4, Agustus 2017"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN FEMINISME TOKOH

DALAM NOVELKARTINIKARYA ABIDAH EL KHAILEQY

Indrawati

Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana Unisma indrawati@gmail.com

Abstrak:Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji feminisme tokoh dalam novel Kartini karya Abidah El Khaileqy.Metode penelitian ini adalah penelitian kualitatif kritis. Pendekatan penelitian ini adalah pendekatan analisis wacana. Sumber data dalam penelitian ini adalah teks novel Kartini karya Abidah El Khaileqy, penerbit Noura Books, Jakarta, cetakan ke I, April 2017, setebal 376 halaman. Dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai instrumen utama yakni peneliti bertindak sebagai perencana, pelaksana, pengumpul data, penafsir data, dan menjadi pelapor hasil penelitian. Dalam penelitian ini digunakan kajian tekstual yaitu menganalisis teks novel Kartini.Hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, feminisme tokoh dalam novel Kartini karya Abidah El Khaileqy dari sisi perbuatannya terdapat beberapa ideologi yang diperjuangkan yaitu (1) keterikatan pada struktur, (2) penolakan terhadap hakikat kodrat, (3) pembelaan terhadap kelompoknya yang tertindas, dan (4) pengambilan distansi untuk menunjukkan kemampuan. Kedua, feminisme tokoh dalam novel Kartini karya Abidah El Khaileqy melalui ucapan-ucapannya menggambarkan ada beberapa ideologi yang diperjuangkan yaitu (1) pengurangan distansi dalam kerangka solidaritas, (2) pemberontakan terhadap kemapanan laki-laki, (3) perasaan senasib dengan sesamanya, dan (4) teguh dalam berjuang.

Kata-kataKunci:feminisme, tokoh, novel

PENDAHULUAN

Wanita Indonesia dalam mem-perjuangkan hak dan kesempatan yang sama dengan pria telah dimulai sejak zaman R.A. Kartini. Zaman sekarang boleh dikatakan wanita Indonesia telah memperoleh hak dan kesempatan yang sama dengan kaum pria, meskipun hal itu belum sepenuhnya dimiliki oleh sebagian kaum wanita Indonesia.

Seiring dengan berjalannya waktu perjuangan hak-hak perempuan ini relatif populer dengan istilah

emansipasi wanita atau persamaan gender. Gender dipahami sebagai karakteristik yang melekat pada laki-laki dan perempuan, dibuat,disosialisasikan, dan dikonstruksikan oleh masyarakat secara sosial melalui pendidikan, agama, keluarga, dan sebagainya (Heroepoetri dan Valentino, 2004:3).

(2)

ia berakar pada posisi perempuan dalam dunia patriarki dan berorientasi pada perubahan pola hubungan kekuasaan. Untuk itu, tatanan masyarakat yang heirarkis dan menindas perempuan baik dalam aspek kelas, budaya, feodalistik, dan konstruk sosial haruslah diubah menuju penataan hubungan-hubungan sosial baru di mana perempuan menjadi subjek utuh dalam membuat keputusan berdasarkan alokasi kekuasaan dan sumber-sumbernya.

Jadi, hakikat feminisme adalah perlawanan, anti, dan bebas dari penin-dasan, dominasi, hegemoni, ketidakadil-an, dan kekerasan. Kekhasan feminisme adalah perlawanan penindasan (Heroepoetri & Valentina, 2004:5). Anggapan di masyarakat selama ini, bahwa perempuan adalah sosok yang lemah, irrasional atau emosional, sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, akibatnya muncul sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Laki-lakilah yang dianggap dominan berada di pusat. Perempuan hanya sebagai konco wingking atau dalam istilah bahasa Jawa “swargo nunut neroko katut” (Fakih, 2013:12).

Anggapan atau pembebanan perempuan sebagai pihak yang ‘kodrat’nya “dapur, kasur, sumur” telah mengakibatkan jutaan perempuan tidak punya pilihan lain di luar kodratnya (Heroepoetri & Valentina, 2004:5).

Kaitannya dengan sastra, permasalahan yang ada tidak terbatas pada keterlibatan perempuan di dalam dunia penciptaan, kritik, dan sebagai penikmat saja, tetapi juga tidak kalah pentingnya adalah bagaimana sosok perempuan direpresentasikan di dalam sebuah teks sastra. Sosok perempuan baik sebagai pengarang maupun tokoh

cerita dalam teks sastra selama ini dipandang masih berada di bawah bayang-bayang kaum pria. Secara nyata maupun terselubung, perempuan masih diperlakukan sebagai ‘yang lain’ karena mereka ‘bukan’ pria.

Karya sastra terutama prosa sering dihubungkan dengan kata fiksi. Sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni (Wellek & Warren, 2016: 3). Kita sering mendengar kata prosafiksi. Kata fiksi berarti khayalan atau tidak berdasarkan kenyataan. Padahal dalam kenyataannya, karya sastra yang berwujud prosa diciptakan dengan bahan gabungan antara kenyataan dan khayalan. Prosa yang dibuat tidak hanya berdasarkan khayalan tetapi juga berdasarkan kenyataan (Siswanto, 2013: 115). Begitupula novel yang merupakan salah satu bentuk dari manifestasi kehidupan.

Novel sebagai salah satu bentuk karya sastra juga menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesamanya. Selain itu, novel juga merupakan hasil dialog, kontemplasi dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan, walau hanya berupa khayalan, novel bukan perenungan secara intens terhadap hidup dan kehidupan itu pun dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab.

(3)

sensasional. Cerita demikian akan menarik perhatian orang.

Keberadaa karya sastra secara keseluruhan, selain dikenal adanya sistem makro juga dikenal adanya sistem mikro. Sistem makro berhubungan dengan keberadaan kosa kata, berkaitan dengan penutur, akar sosial budaya, dunia acuan, maupun masyarakat pembacanya. Sedangkan secara mikro hanya berhubungan dengan unsur-unsur intrinsik karya sastra itu sendiri.

Novel “Kartini” karyaAbidah El Khalieqy merupakan wujud nyata sebuah novel yang tidak melepaskan kedua sistem di atas, sebagai penutur Khalieqy banyak terlibat dalam jalannnya cerita, demikian juga unsur sosial budaya yang sangat beragam memberikan warna baru bagi pernovelan Indonesia.Novel “Kartini” karyaAbidah El Khalieqy juga dibangun dari sistem mikro atau sistem yang berhubungan dengan unsur-unsur intrinsik. Menurut Nurgiantoro (2015:14) unsur-unsur intrinsik dalam karya fiksi (novel) meliputi tema, setting, alur, sudut pandang, penokohan dan perwatakan, kelima unsur di atas saling berhubungan antara satu dengan yang lain.

Berdasarkan berbagai hal di atas, maka peneliti tertarik untuk mengkaji novel “Kartini” karya Abidah El Khalieqy terutama tentangtokohyang memiliki beragam watak yang dikaitkan dengan feminisme seperti yang dihadirkan dalam novel tersebut, dengan tujuan ingin mendapatkan gambaran objektif tentang teknik penyajian watak tokoh dikaitkan dengan feminisme. Dengan memahami bahasa perempuan, maka kita akan mengetahui realitas sosial yang ada padanya. Dalam setiap bahasa perempuan menyimpan ide-ide atau gagasan yang perlu diungkap secara

komprehensif sehingga kita mengetahui konstruk ideologi yang diperjuangkan yang tersirat dalam bahasanya. Bahasa-bahasa yang digunakan tidaklah terlalu bebas dipilih, akan tetapi keadaan politis, sosial, budaya, dan ideologi yang kemudian menuntut adanya pilihan bahasa.

Novel “Kartini” karya Abidah El Khalieqy merupakan salah satu bentuk novel Indonesia yang bercerita tentang kasihsayang, kehidupan sosial, toleransi, dan kemanusiaan yang dikaitkan dengan feminisme.Tidak seperti “isme” lainnya, feminisme tidak mengambil dasar konseptual dan teori dari suatu rumusan tunggal. Dan oleh karenanya tidak ada definisi abstrak yang khusus tentang feminisme yang dapat diterapkan bagi semua perempuan pada segenap waktu dan tempat. Feminisme mendasarkan diri pada realitas kultural dan kenyataan sejarah yang konkret, maupun atas tingkatan kesadaran, persepsi, serta tindakan (Heroepoetri dan R. Valentin, 2004:11).

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin mengetahui bagaimanakah Abidah El Khaileqy menggambarkan feminisme tokoh dalam novel Kartini.Gambaran feminisme tokoh ini akan diuraikan dalam dua bagian. Pertama yaitu melalui apa yang diperbuatnya. Kedua adalah melalui ucapan-ucapannya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji feminisme tokoh novelKartinikarya Abidah El Khaileqy. Lebih khusus lagi, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut (1) mengkaji feminisme tokoh novel melalui apa yang diperbuatnya,(2) mengkaji feminisme tokoh novel melalui ucapan-ucapannya.

(4)

memberikan landasan teori bagi peneliti berikutnya, sekaligus dapat menambah perbendaharaan pustaka yang dapat dimanfaatkan oleh para pembaca, khususnya peminat sastra.

Secara praktis penelitian ini bermanfaat sebagai berikut (1) bisa dijadikan sebagai bahan materi untuk mengajar sastra, terutama yang membahas tentang novel dan unsur tokohnya yang dikaitkan dengan kajian feminisme, (2) bisa mengembangkan pembaharuan seputar masalah sastra, khususnya pembahasan karya sastra berbentuk novel, (3) bisa menambah wawasan masyarakat terhadap berbagai fenomena kehidupan yang dikemas dalam bentuk novel, (4) memberikan informasi pandangan/wawasan tentang nilai-nilai kehidupan, dan (5) memberikan informasi bagaimana feminisme tokoh dibangun oleh pengarang dalam sebuah cerita.

METODE

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian yang berjudul “Kajian Feminisme Tokoh Novel Kartini Karya Abidah El Khalieqy” adalah pendekatan analisis wacana. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif.

Dalam penelitian kualitatif, kehadiran peneliti mutlak diperlukan karena peneliti itu bertindak sebagai instrument pengumpul data. Dalam penelitian yang berjudul“ Kajian Feminisme Tokoh Novel KartiniKarya Abidah El Khalieqy” peneliti bertindak sebagai partisipan penuh atau pengamat penuh.

Data dalam penelitian ini berupa data verbal, yang secara spesifik narasi dan dialog tersebut memuat kajian feminisme tokoh dalam novel Kartini karya Abidah El Khalieqy.

Sumber data penelitian ini yaitu teks novel Kartini KaryaAbidahEl Khalieqy, penerbit Noura Books (PT. Mizan Publika), cetakan ke-1, April 2017, tebal 376 halaman; 21 cm.

Instrumen penelitian adalah alat fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data, agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap dan sitematis sehingga lebih mudah diolah (Arikunto, 2013:203).

Untuk memperoleh data peneli-tian, peneliti sebagai instrumen menggu-nakan korpus data. Korpus data akan membantu peneliti dalam mengambil dan menganalisis data.

Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan teknik studi dokumenter, karena sumber data penelitian merupakan dokumen yang berupa novel. Teknik dokumenter adalah teknik pengumpulan data dengan cara mengkaji dokumen-dokumen yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas.

Dalam analisis data menggu-nakan rambu-rambu data yang dibuat berdasarkan masalah dan tujuan penelitian. Hal ini dilakukan untuk membantu dalam interpretasi atau penafsiran terhadap data penelitian.

Keabsahan data penelitian diuji dengan beberapa cara berikut (1) kecermatan pengamatan, (2) kecukupan referensi,(3) mengecek data penelitian secara mendalam, cermat, akurat, tepat sasaran, dan relevan dengan kebutuhan hasil penelitia secara berulang-ulang.

(5)

persiapan, pelaksanaan, dan penyelesai-an.

Pada tahap persiapan, peneliti melakukan kegiatan sebagaiberikut (1) pengajuan judul, (2) mengadakan studi kepustakaaan, dalam hal ini penulis mencari pustaka yang relevandengan masalah yang diteliti, (3) menyusun rancangan penelitian, dalam kegiatana ini yang penulis laksanakan antara lain: menyusun tujuan dan hasil yang diharapkan, menyusun penegasan istilah, menyusun kerangka teori, menentuka metode penelitian dan menyusun prosedur penelitiab, dan (4) menyusun instrumen penelitian.

Padatahap pelaksanaan, peneliti melakukanhal-halsebagaiberikut(1) penyusunan konsep laporan, (2) revisi konsep laporan, dan (3) pemantapan konsep laporan.

Kegiatan yang dilakukan oleh peneliti pada tahap penyelesaian ini adalah: (1) pembuatan kesimpulan dari hasil analisis kajian, (2) penyusunan laporan, dan (3) penggandaan laporan dalam bentuk tesis yang terdiri dari lima bab, yaitu bab pendahuluan, kajian kepustakaan, metode penelitian, paparan data dan temuan penelitian, pembahasan, dan penutup.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil analisis data penelitian tentang feminisme tokoh dalam novel Kartini karya Abidah El Khalieqy. Hasil Analisis data tersebut meliputi (1) feminisme tokoh melalui apa yang diperbuatnya, dan (2) femi-nisme tokoh melalui ucapan-ucapannya.

Gambaran hasil analisis data tersebut, terdapat beberapa ideologi yang selalu dipegang dan diperjuangkan perempuan sebagai indikatornya, yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu

keterikatan pada struktur, penolakan terhadap kodrat, pembelaan terhadap kelompoknya yang tertindas, pengambilan distansi untuk menunjuk-kan kemampuan, pengurangan distansi dalam kerangka solidaritas, pemberon-takan terhadap kemapanan laki-laki, dan peresaan senasib dengan sesamanya.

Feminisme Tokoh melalui Apa Yang Diperbuatnya

Feminisme Tokoh Kartini

Ideologi “Keterikatan pada Struktur”Istilah struktur meminjam istilah dari bidang sosiologi merujuk pada “kode tersembunyi yang berfungsi sebagai pedoman bagi individu dalam menjalankan peran sosialnya” (Santoso, 2009:172) beberapa elit perempuan berpandangan akan keterikatannya kepa-da keluarga, lingkungan, masyarakat, kaum dan negaranya.

Ideologi keterikatan pada struk-tur yang ada dalam novel ini mem-berikan gambaran bahwa perempuan Indonesia merupakan makhluk yang menyandarkan dirinya pada kekuatan struktur yakni keluarga yang mengikat perempuan yang memiliki tugas dan peran itu. Tugasnya sebagai ibu telah membawanya pada sebuah keadaan yang tidak mungkin diabaikannya, ia sadar bahwa peran sebagai seorang ibu telah membawa konsekuensi tertentu, hingga apa yang dilakukannya jelas bahwa perempuan tampaknya memang tidak dapat melepaskan diri dari keterperang-kapan atau cengkraman struktur itu.

(6)

mereka menampilkan tindakan yang ‘seimbang’ antara komitmen ‘profe-sional’ dan ‘tanggung jawab terhadap keluarga’. Artinya, selain ia harus sukses dalam peran profesionalnya, ia dituntut juga sebagai makhluk yang terikat serta tidak boleh mengabaikan atau meninggalkan keluarganya, masyarakat-nya, dan bangsanya.

Tokoh Kartini sebagai perem-puan Indonesia berusaha membebaskan diri terhadap keterikatan pada “struktur” secara imperatif telah mengatur anggota-nya untuk menjalankan tugas dan peran tertentu. Tampaknya sebuah tuntutan, bahkan imperasi terhadap “sukses ke-dua-duanya” haruslah selalu diper-juangkan. Sukses professional yang tidak diikuti atau tidak dibarengi oleh sukses keluarga akan menjadi aib masyarakat. Sebaliknya, sukses dalam keluarga tanpa diikuti olehsukses pro-fesssional juga bukan menjadi pilihan bagi elite perempuan dalam memperjuangkan emansipasinya.

Ideologi “Penolakan Terhadap Kodrat” Beberapa perempuan memba-ngun sebuah ideologi yang mencoba “menolak keberadaan kodrat bagi perempuan”. Sementara itu, ideologi dominan di Indonesia pada umumnya adalah “wanita sudah lahir dengan kodratnya”, yakni sebagai ibu rumah tangga yang menjalankan peran-peran domestik makhluk yang secara kodrat sebagai manusia kelas dua, makhluk yang secara kodrat menjalankan fungsi objek, dan sebagainya. Dalam budaya Jawa misalnya, ada sebuah ungkapan bahwa wanita menjalankan “3M”, yakni macak ‘berhias’, masak ‘memasak di dapur’, dan manak ‘melahirkan anak’, Santoso (2011:77).

Ideologi penolakan terhadap kodrat yang ada dalam novel ini menggambarkan betapa kodrat perempuan dikonsep hanya bisa macak, masak, dan manak, di luar ituadalah pekerjaan laki-laki. Berakibat bahwa semua pekerjaan gender rumah tangga menjadi tanggungjawab kaum perempuan.

Dikalangan masyarakat luas, berdar pandangan atau keyakinan bahwa pekerjaan yang dianggap masyarakat sebagai jenis pekerjaan perempuan, seperti semua pekerjaan gender, diang-gap dan dinilai lebih rendah disbanding-kan dengan jenis pekerjaan yang diang-gap sebagai pekerjaan laki-laki. Semen-tara itu kaum perempuan sejak dini telah disosialisasikan dan diajari untuk mene-kuni peran gender mereka. Dilain pihak, kaum laki-laki tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni berbagai jenis pekerjaan gender itu.

Selain itu memberikan penegasan menjadi wanita pada hakekatnya sama dengan pria. Ia mesti dipandang sebagai manusia, bukan karena memiliki jenis kelamin tertentu yang sudah terkontruksi oleh faktor-faktor sosial budaya. Perempuan menyadari bahwa sterotip dan stigma terhadap perempuan lebih berkaitan dengan label-labelkonstruksi sosial dan karenanya perlu dihilangkan dengan berbagai cara salah satunya adalah melalui usaha wanita untuk menunjukkan kepada pria bahwa ia mampu mengerjakan berbagai tugas seperti laki-laki, atau berkarakter kuat dan tidak cengeng seperti laki-laki.

(7)

eks-trem, ia mengatakan bahwa seseorang tidak ditakdirkan sebagai perempuan, tetapi seseorang berproses menjadi “seseorang”. Untuk itulah, tidak perlu ada pembedaan terhadap laki-laki dan perempuan karena keduanya selalu dalam keadaan “berproses” untuk menjadi “seseorang”, Santoso (2011:79). Senada dengan Beauvoir, Caplan (dalam Fakih, 2013:72) mengatakan dalam bukunya The Cultural Construction of Sexuality menguraikan bahwa perbedaan perilaku antara laki-laki danperempuan tidaklah sekadar biologi, namun melalui proses sosial dan kultural. Oleh karena itu, gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas, sedangkan jenis kelamin biologis (sex) akan tetap tidak berubah.

Hanya saja masalahnya adalah bahwa sebuah peran gender tidak bersifat alami dan opsional. Pada kenyataannya peran gender terkonstruksi oleh berbagai wacana kultural, dan khususnya bahasa. Seks dan gender diyakini sebagai konstruksi sosial yang secara intrinsik terkandung dalam soal-soal representasi. Dengan kata lain, seks dan gender lebih merupakan persoalan budaya daripada soal alam. Sering dijumpai dalam berbagai ungkapan yang amat bias gender, yakni adanya sebuah representasi bahwa pria adalah “penakluk alam” dan wanita adalah “representasi alam” yang kalau tidak sensitif akan dianggap sebagai sebuah kebenaran.

Ideologi“Pembelaan kepada Kelompok-nya yang Tertindas”

Elite perempuan Indonesia—paling tidak sebagian—begitu sadar akan keberadaan kaumnya yang sampai saat ini tertindas, baik dari segi ekonomi, sosial, bahkan linguistik. Dari segi

ekonomi mereka tidak memiliki akses ke pusat-pusat sumber ekonomi. Dari segi sosial, mereka menjalankan peran yang sering hanya sebagai pelengkap penderita bagi kaum laki-laki. Dari segi linguistik, mereka sering tidak memperoleh hak yang proporsional dalam pembentukan teks. Teks yang ada adalah buatan laki-laki (man’s made). Dengan demikian, cara pandang yang dilahirkan pun cenderung cara pandang laki-laki.

Pandangan Kartini sebagai go-longan elite perempuan, nasib perempu-an masih dalam posisi didiskriminasi, dikalahkan, dan disubordinasi oleh sistem yang dibuat menurut kaca mata laki-laki. Oleh karena itu, kelompok yang terdiskriminasi atau terkalahkan dan tersubordinasi perlu dibela.

Kedudukan seorang perempuan dipandang rendah, padahal Al-Quran sebagai rujukanprinsip masyarakat islam, pada dasarnya mengakui bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama. Dimana yang satu tidak memiliki keunggulan terhadap yang lain. Hak istri diakui sederajat dengan hak suami. Dengan kata lain, laki-laki memi-liki hak dan kewajiban terhadap perem-puan dan sebaliknya peremperem-puan juga memiliki hak dan kewajiban terhadap laki-laki. Dalam hal ini, Al-Quran dianggap memiliki pandangan yang revolusioner terhadap hubungan kema-nusiaan, yakni memberikan keadilan hak antara laki-laki dan perempuan, Fakih (2007:50). Pada hakekatnya ajaran islam memberikan perhatian yang sangat besar serta kedudukan terhormat kepada perem-puan. Perempuan adalah partner kaum laki-laki.

(8)

Perempuan Indonesia juga menyadari bahwa salah satu yang harus diperjuangkan adalah menuntaskan pekerjaan. Ia harus mampu menunjuk-kan kepada kekuatan higemonik bahwaperempuan pun bisa melakukan sesuatu tanpa perjuangan untuk menunjukkan kemampuan, perempuan akan selalu diremehkan oleh kekuatan higemonik.

Abidah El Khalieqy sebagai salah seorang penulis perempuan menggambarkan tokoh perempuan, dalam hal ini Kartini, yang bertindak dan menunjukkan kemampuannya kepada kekuatan hegemonic, bahwa perempuan pun bisa melakukan sesuatu yang bisa mengangkat citranya sebagai perempu-an.

Penggunaan bahasa Al-Quran dapat menunjukkan bahwa penghasil teks mampu menguasai sesuatu sejajar dengan apa yang dapat dikuasai oleh kekuatan hegemonik, yakni kekuasaan laki-laki. Artinya, sebagai sesorang pengarang perempuan ia dapat berbuat sesuatu terhadap persoalan keterting-galan perempuan Indonesia melalui karyanya.

Tokoh Ngasirah

Ideologi “Keterikatan pada Struktur” Seperti telah dijelaskan pada keterangan di atas mengenai istilah struktur, merujuk kepada kode tersembunyi yang berfungsi menjadi pedoman bagi individu dalam menjalankan peran sosialnya.

Dalam cerita novel ini Ngasirah menjalankan perannya sebagai perem-puan, makhluk yang menyandarkan pada kekuatan struktur yakni keluarga yang mengikat perempuan yang memiliki tugas yang dilakukannya tanpa ada pertanyaan yang menggugat tugas dan

peran itu. Disini Ngasirah tergambar sebagai sosok perempuan yang tidak memiliki keberanian atau kemampuan untuk memberontak terhadap keterikatan pada struktur sosialnya.

Ideologi “Penolakan Terhadap Kodrat” Di Indonesia pada umumnya adalah wanita sudah lahir dengan kodratnya yakni sebagai ibu rumah tangga yang menjalankan peran-peran domestik, makhluk yang secara kodrat sebagai manusia kelas dua, makhluk yang secara kodratmenjalankan fungsi sebagai objek, dan sebagainya.

Gambaran tokoh Ngasirah dalam novel ini adalah sebagai perempuan yang terikat oleh budaya jawa yaitu wanita yang identik dengan peran-peran domestik, peran-peran kerumahtanggaan tanpa berani memperjuangkan sebuah konsep bahwa harkat dan martabat perempuan adalah hasil konstruk sosial.

Ideologi “Pembelaan kepada Kelompok-nya yang Tertindas”

Paling tidak sebagian perempuan Indonesia menyadari keberadaan kaum-nya yang sampai saat ini tertindas, baik dari segi ekonomi, sosial bahkan linguistic.

(9)

Ideologi “Pengambilan Distansi untuk Menunjukkan Kemampuan”

Seperti telah dijelaskan di atas, perempuan Indonesia menyadari bahwa salah satu yang harus diperjuangkan adalah menuntaskan pekerjaan. Ia harus mampu menunjukkan kepada kekuatan hegemonik bahwa perempuan pun bisa melakukan sesuatu.

Tokoh Ngasirah sebenarnya memiliki kemampuan untuk menjadi “seseorang”, tapi kurang ada keberanian untuk mengekspresikan kemampuannya. Pengungkapan kemampuan itu paling hanya berani dilakukannya sebatas dilingkup keluarga, itupun hanya sebatas kamampuan sebagai “kodratnya”. Tokoh Ngasirah terlahir dalam lingkup budaya Jawa, yang antara lain ada ungkapan bahwa wanita menjalankan “3M”, yakni macak ‘berhias’, masak ‘memasak di dapur’,dan manak ‘melahirkan anak’. Wanita identik dengan peran-peran domestik itu.

Feminisme Tokoh melalui Ucapan-ucapannya

Dari analisis kritis terhadap “ucapan-ucapan” tokoh dalam novel Kartini karya Abidah El Khalieqy, terdapat beberapa ideologi yang diperjuangkan perempuan sebagai bentuk feminisme tokoh.

Feminisme Tokoh Kartini

Ideologi “Pengurangan Distansi dalam Kerangka Solidaritas”

Perempuan Indonesia juga memanfaatkan penggunaan bentuk-bentuk informal, seperti penggunaan kosakata sehari-hari, kolokial, gaul, dan/atau “nonbaku”. Dalam novel Kartini ini, Abidah juga menggunakan bahasa informal atau bahasa sehari-hari

untuk menunjukkan keakraban terhadap pembacanya.

(10)

dari bentuk namun yang lebih utama lagi adalah dari bahasa yang digunakan didalamnya. Bahasa sastra adalah bahasa yang istimewa, Simson (2004:98).

Keistimewaan bahasa dalam sastra tersebut tampak pada pengolahan kata atau kalimat yang kesemuanya mampu mencipatkan nuansa keindahan didalamnya. Karakteristik bahasa sastra yang pertamaadalah penggunaan bahasa yang estetis atau indah, kedua, bahasa sastra merupakan plastik untuk membungkus amanat dalam sebuah cipta sastra yang dijadikan sebagai media untuk menyampaikan amanatberupa ujaran dan berbagai pesan moral kepada pembacanya, ketiga, bahasa sastra dinamis. Sastra mampu memanfaatkan bahasa secara leluasa, karena penyusunan bahasa dalam karya sastra lebih dinamis, dan keempat, bahasa sastra bersifat simbolik dan konotatif.

Ideologi“Pemberontakan terhadap Ke-mapanan Laki-laki”

Beberapa perempuan Indonesia, memiliki pandangan hidup yang cukup menonjol yakni pemberontakan terhadap kemapanan laki-laki. Ada beberapa hal yang menandai evaluasi penghasil teks terhadap realitas disekitarnya, terutama masalah dominasi pria yang sudah berlangsung turun temurun.

Dengan perjuangan itu, bagaimanapun kaum perempuan akan dapat menentukan cara-cara untuk “menggambarkan pandangan kaum perempuan ke dalam kehidupan kultural kita”. Atau paling tidak dapat tercipta apa yang disebut pandangan perempuan (female gaze). Dengan cara ini, laki-laki lebih menghargai bahwa ada cara pandang lain atau cara pandangthe other di luar cara pandang yang secara bawah sadar selama ini berlaku, yakni cara

pandang dari self. Cara pandang yang baru itu paling tidak dapat menempatkan perempuan pada posisi yang lebih baik, posisi yang lebih setara, posisi yang memiliki akses yang banyak bagi perempuan, tanpa harus merugikan pemilik cara pandang sebelumnya yang sudah dianggap baku dan universal yakni laki-laki.

Ideologi “Perasaan Senasib dengan Se-samanya”

(11)

antagonis yang bersifat patriarkis. Penggambaran posisi dan sikap tokoh perempuan tersebut juga mencerminkan adanya upaya untuk menanggapi dan mencari solusi terhadap masalah gender yang ditimbulkan oleh ketidak adilan sosial dan budaya di sekitar keberadaan tokoh itu.

Ideologi “Teguh dalam Berjuang” Perempuan Indonesia juga mem-perjuangkan salah satu pandangan hidup “teguh dalam berjuang”.

Tokoh Kartini adalah tokoh perempuan yang dibentuk pengarang untuk menjadi agen atau pioneer perbaikan derajat kaum perempuan khususnya dalam lingkungan keraton.

Kartini berusaha membebaskan diri dan perempuan lain dari kebiasaan dan cara pandang yang memandang sesuatu dari gender. Dalam novel ini Kartini digambarkan sebagai sosok yang mempunyai tekat kuat dan pantang menyerah, tekat itu ia manifestasikan ketika menghadapi berbagai masalah yang menyudutkannya. Hal inilah yang menggambarkan ideologi teguh dalam berjuang.

Patriarki adalah penyebab penin-dasan terhadap perempuan. Perbedaan biologi antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai awal pembentukan budaya patriarki. Menurut Millet, intitusi dasar dalam pembentukan budaya patriarki adalah keluarga, dimana ideologi patriarki terpelihara dengan baik dalam masyarakat tradisional maupun modern. Keluarga mendorong setiap anggotanya untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan aturan masyarakat yang menganut patriarki. Ideologi patriarki dikenalkan kepada setiap anggota keluarga, terutama kepada anak.

Feminisme Tokoh Ngasirah

Ideologi “Pengurangan Distansi dalam Kerangka Solidaritas”

Seperti telah dijelaskan di atas, perempuan Indonesia juga meman-faatkan penggunaan bentuk-bentuk informal seperti penggunaan kosakata sehari-hari, kolokial, gaul, dan atau ‘non-baku’. Penghasil teks sebenarnya ingin memberikan komentar terhadap keadaan yang tidak baik. Ia memilih bentuk-bentuk informal sebagai gambaran latar sosial budayanya yang dapat mengurangi ketegangan, jarak sosial, atau distansi sosial. Tokoh Ngasirah sebagai gambaran tokoh yang tunduk kepada kodratnya dengan lingkungan kehidupan budaya Jawa, digambarkan oleh penghasil teks sebagai sosok wanita Jawa yang kental dengan kepatuhan terhadap budaya Jawa.

Ideologi “Pemberontakan terhadap Ke-mapanan Laki-laki”

Pemberontakan terhadap kema-panan laki-laki merupakan salah satu pandangan hidup yang cukup menonjol dari beberapa perempuan Indonesia.

Tokoh Ngasirah sebagai perem-puan yang mencoba melakukan pembe-rontakan terhadap kemapanan laki-laki melalui doa-doanya karena dia kurang mampu melakukannya dalam bentuk tindakan nyata. Hal ini disebabkan karena dominasi laki-laki yang sudah berlangsung turun-temurun dan sikap fatalistik perempuan terhadap keadaan yang ada.

(12)

tidak dapat tercipta apa yang disebut pandangan perempuan.

Ideologi “Perasaan Senasib dengan Se-samanya”

Perempuan Indonesia juga memi-liki perasaan senasib dengan sesama perempuan, begitu pula dengan tokoh Ngasirah dalam tokoh ini.

Ucapan Ngasirah”biar nanti saya bicarakan pada Romo mu,” itu meng-gambarkan perasaan senasib dengan sesamanya, dalam hal ini Kartini. Dia mendorong Kartini untuk mengekspre-sikan pemberontakan perempuan terhadap kungkungan budaya patriarki.

Ideologi “Teguh dalam Berjuang” Salah satu pandangan hidup yang diperjuangkan oleh perempuan Indone-sia adalah ‘teguh dalam berjuang’. Perempuan memiliki tanggungjawab ganda yakni sebagai ibu yang harus merawat anak-anaknya dan istri yang melayani suaminya di rumah, inilah yang mengakibatkan ketimpangan atau ketidak setaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai hal. Ketimpangan atau bias gender terepre-sentasi melalui tokoh-tokoh dalam karya sastra dan menggambarkan baik diskri-minasi, subordinasi, marginalisasi, pem-bagian kerja, stereotip maupun kekeras-an terhadap perempukekeras-an ykekeras-ang tertukekeras-ang di dalamnya.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data, penelitian ini dapat disimpulkan bahwa dalam novel Kartini karya Abidah El Khaileqy ditemukan adanya feminisme tokoh melalui apanya yang diperbuatnya dan ucapan-ucapannya. Selanjutnya melalui apa yang diperbuatnya dan

melalui ucapan-ucapannya seperti yang ada dalam rumusan masalah diuraikan sebagai berikut.

Feminisme tokoh melalui apa yang di-perbuatnya

Melalui apa yang diperbuatnya ada beberapa ideologi yang menonjol, yang diperjuangkan yaitu (1) ideologi keterikatan pada struktur, (2) ideologi penolakan terhadap hakikat kodrat, (3) ideologi pembelaan terhadap kelom-poknya yang tertindas, dan (4) ideologi pengambilan distansi untuk menun-jukkan kemampuan.

Feminisme tokoh melalui ucapan-uca-pannya

Melaluiucapan-ucapannya

menggambarkan ada beberapa ideologi yang diperjuangkan yaitu (1) ideologi pengurangan distansi dalam kerangka solidaritas, (2) ideologi pemberontakan terhadap kemapanan laki-laki, (3) ideologi perasaan senasib dengan sesamanya, dan (4) ideologi teguh dalam berjuang.

(13)

senasib dengannya, juga perempuan Indonesia pada umumnya. Apa yang diperjuangkan Kartini menjadi tonggak emansipasi wanita di Indonesia sehingga sekarang wanita Indonesia bisa lebih bebas dan leluasa mengekspresikan diri tampil sederajat dari berbagai segi kehidupan dengan kaum laki-laki.

Sedangkan kehadiran tokoh Ngasirah dalam novel Kartini karya Abidah El Khaileqy memberikan gambaran sebagai tokoh perempuan yang berusaha melakukan perjuangan terhadap ideologi perempuan dengan segala keterbatasan kungkungan adat sosial budaya Jawa yang melatarinya. Tokoh Ngasirah merupakan gambaran sosok wanita pribumi yang dalam budaya Jawa tergolong sebagai ‘nomor dua’ yang hak-haknya terbelenggu oleh sistem patriarki, laki-laki memiliki kuasa penuh terhadap perempuan sehingga mereka dapat melakukan apapun yang diinginkan terhadap istrinya. Dengan keadaan demikian ini Ngasirah mencoba berusaha memperjuangkan sisi feminismenya baik melalui perbuatan maupun ucapan-ucapannya dengan segala keterbatasan yang terikat oleh aturan turun-temurun yang harus dianutnya.

Saran

Bagi Perempuan

Sebagai seorang perempuan harus memiliki karakter pribadi yang tegar, optimis, dan penuh percaya diri dalam mengekspresikan ide-ide maupun gagasannya tanpa meninggalkan sisi feminismenya. Perempuan harus dapat menempatkan diri secara tepat dalam berbagai segi kehidupannya baik didalam keluarga, masyarakat, maupun pekerjaannya. Ia harus berupaya memperoleh penghargaan dan pengakuan dari masyarakat secara layak.

Selain itu, perempuan sebagai sosok pribadi yang dinamis, harus kritis atas segala peristiwa dan perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupannya, dan dengan perubahan tersebut perempuan harus mengekspresikan dirinya dengan penuh motivasi, tujuan, kemampuan, dan kewajibannya untuk membangun citra dirinya. Terakhir, sebagai perempuan harus mampu menumbuhkan keberanian untuk mengakhiri semua tindak marginalisasi, subordinasi, stereotype, tindak kekerasan, serta beban kerja yang tidak proporsional. Perempuan harus senantiasa bersungguh-sungguh mem-perjuangkan hak-haknya disetiap segi kehidupannya tanpa meninggalkan kewajibannya sebagai “seorang perem-puan”.

Bagi Pengajar Sastra

Kajian feminisme tokoh novel ini dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pemilihan bahan pengajaran karena banyak berisi pesan moral yang mendidik, yang berguna bagi perkembangan pribadi anak, terutama anak didik perempuan yang sedang berupaya untuk mencari jati dirinya.

DAFTAR RUJUKAN

Arikunto, Suharsimi. 2013. ProsedurPenelitian. Jakarta: RinekaCipta

Darma, Yoce Aliah. 2009. AnalisisWacana Kritis. Bandung:Yrama Widya

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana:Pengantar Analisis TeksMedia. Yogyakarta:PTLkiS Pelangi Aksara

Fakih, Mansour. 2013. AnalisisGender danTransformasiSosial. Yogya-karta:Pustaka Pelajar

(14)

Fe-minisme dan Neoliberalisme.Jakarta:

Debtwatch dan

InstitutPerempuan

Departemen Pendidikan Nasional.2015. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Muslikhati, Siti. 2004. Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan

dalamTimbangan Islam. Jakarta:Gema Insani.

Moleong, Lexy. 2000.

MetodologiPenelitian Kualitatif.

Bandung: PT

RemajaRosdakarya.

Nurgiyantoro, Burhan. 2015. TeoriPengkajianFiksi.Yogyakarta: UGM Press

Santoso, Anang. 2011.

BahasaPerempuan. Jakarta: BumiAksara

Sumiarni, Endang. 2004. Gender danFeminisme.

Yogyakarta:Wonderful PublishingCompany.

Tong, Rosemari Putnam. 2006.Feminist Thought.Yogyakarta dan Bandung:Jalasutra

Wellek, Rene dan Agustin Warren. 2016. Teori Kesusastraan(Terje-mahan Milani Budianto).

(15)

Referensi

Dokumen terkait

Lapisan air laut di bagian atas yang hangat, tipis dan sangat dipengaruhi oleh angin, gelombang dan sinar matahari disebut lapisan... Lereng di bawah laut yang sudut menunjamnya

Pada hari ini , RabuTanggal Sembilan Belas Bulan Juli Tahun dua ribu enam belas , sesuai dengan Jadwal yang termuat pada portal LPSE

Pada tanggal berapakah bumi akan berada pada posisi seperti gambar di bawah ini dimana sinar matahari akan jatuh tepat tegak lurus ke permukaan bumi pada lintang 23,5 o N..

Sehubungan dengan telah selesainya evaluasi kualifikasi terhadap penawaran yang telah disampaikan kepada Pokja VI [enam] KLP Kabupaten Tapin, maka bersama ini kami mengundang

Hasil studi ini dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai interaksi yang terjadi dalam proses karbonisasi gambut sehingga nilai atau relasi antara hasil

Adalah badan usaha perusahaan yang lebih banyak menggunakan mesin atau barang modal dari pada tenaga kerja manusia.. Penggolongan Badan Usaha menurut Bentuk

dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir Kecuali untuk Perusahaan yang berdiri kurang.. dari 3 (tiga) tahun, untuk Jasa Pelaksana Untuk Konstruksi Saluran Air, Pelabuhan,

Daerah (3) adalah tempat bintang-bintang berukuran kecil (dibandingkan bintang di daerah (1)) dengan luminositas tinggi dan temperatur rendah, disebut daerah Bintang Katai