• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengkonstruksi Nilai Nilai Karakter Rema

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Mengkonstruksi Nilai Nilai Karakter Rema"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

MENGKONSTRUKSI NILAI-NILAI KARAKTER REMAJA

MELALUI PENDEKATAN

PEER GROUP CULTURE

1

Ali Imron

Universitas Negeri Surabaya E-mail: aimron8883@gmail.com

Abstrak

Masa remaja adalah masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, dimana individu mengalami perubahan baik fisik, psikis maupun sosial. Perubahan fisik dan psikis pada remaja terkadang menimbulkan permasalahan, terutama apabila remaja kurang memahami perubahan tersebut dan kematangan emosional yang masih lemah. Kondisi ini mengakibatkan remaja sulit mengontrol emosi dan senantiasa mengutamakan egoisitas karena remaja masih mencari jati diri. Masalah yang sering dialami remaja adalah masalah tawuran, terutama yang terjadi di kalangan pelajar. Tawuran seolah sudah menjadi tradisi di kalangan pelajar dan terdapat tren kenaikan jumlah kasus tawuran, terutama di kota-kota besar. Oleh karena itu diperlukan upaya konkrit untuk mengkonstruksi nilai-nilai karakter pada remaja. Alternatif yang bisa dilakukan adalah melalui pendekatan peer group culture. Dalam peer group

dikembangkan budaya kesetaraan (egalitarian), kekritisan, kesetiakawanan dan solidaritas sosial. Selain itu, remaja ternyata lebih senang, nyaman dan terbuka apabila mendiskusikan berbagai permasalahan dengan sesama teman sebayanya. Berbagai budaya yang dipelajari remaja melalui peer group akan membentuk karakter remaja yang adaptif dengan lingkungan sosialnya.

Kata Kunci : nilai-nilai karakter, remaja, peer group, budaya, perubahan sosial

A. Pendahuluan

Masa remaja adalah masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa,

yaitu antara usia 11 atau 12 tahun sampai 20 tahun. Pada masa remaja, individu

mengalami perubahan baik fisik, psikis maupun sosial (Hurlock, 1995: 10). Sedangkan

angka statistik menunjukkan jumlah remaja di Indonesia menurut data Biro Pusat

Statistik (BPS) tahun 2005, mencapai 42 juta jiwa atau 19,34% dari jumlah seluruh

penduduk di Indonesia. Remaja memiliki karakteristik berupa rasa ingin tahu yang

besar, gemar terhadap tantangan dan selalu ingin mencoba hal-hal yang baru, cenderung

1

(5)

berkelompok, masih mencari jati diri, mudah terpengaruh dengan lingkungan di

sekitarnya serta cenderung melakukan tindakan tanpa pemikiran yang matang sehingga

permasalahan-permasalahan yang dialami remaja juga khas.

Perubahan fisik dan psikis pada remaja terkadang menimbulkan permasalahan,

terutama apabila remaja kurang memahami perubahan tersebut dan belum lagi

kematangan emosional yang masih lemah. Kondisi ini yang mengakibatkan remaja

masih sulit mengontrol emosinya dan senantiasa mengutamakan egoisitasnya karena

dalam proses kematangan emosional pada fase remaja, individu akan cenderung

mencari jati diri. Kondisi demikian yang sedang dialami oleh pelajar yang notabene

berada pada usia remaja. Masalah yang sering dialami remaja adalah masalah tawuran,

terutama yang terjadi di kalangan pelajar. Tawuran seolah sudah menjadi tradisi di

kalangan pelajar. Tawuran di kalangan pelajar tidak hanya terjadi satu atau dua kali di

Indonesia, melainkan sudah terjadi puluhan bahkan ratusan kali. Apalagi di kota-kota

besar seperti Jakarta, Surabaya dan Medan yang teramat sering terdengar beritanya

tentang tawuran pelajar.Data Polda Metro Jaya, misalnya, mencatat adanya peningkatan

angka tawuran pada 2011 dibandingkan tahun 2010. Pada tahun 2010, tawuran di

kalangan pelajar tercatat terjadi sebanyak 28 kali di Jakarta, seperti di Jakarta Pusat

terjadi sebanyak 19 kasus, Jakarta Selatan 3 kasus, Kabupaten Tangerang dan Jakarta

Barat masing-masing dua kasus, serta Kota Tangerang dan Depok masing-masing satu

kasus. Sedangkan sejak Januari hingga September 2011 ini saja, sudah 39 kasus. Dari

39 kasus itu, kawasan Jakarta Pusat mendominasi dengan angka kasus mencapai 25

kasus. Di wilayah Jakarta Selatan ada 6 kasus, Jakarta Utara ada 2 kasus, Jakarta Barat

ada 3 kasus dan Jakarta Timur, Bekasi dan Depok masing-masing satu kasus

(http://www.detiknews.com/read/2011/09/21/172721/1727625/10/polda-metro-tawuran

meningkat-di-tahun-2011, diunduh tanggal 10 November 2011).

Kondisi inilah yang menimbulkan keprihatinan penulis dan menggugah penulis

untuk melakukan kajian lebih lanjut. Menurut hemat penulis, bahwa realitas tawuran di

kalangan pelajar merupakan bukti lemahnya nilai-nilai karakter yang dimiliki remaja,

dalam hal ini pelajar. Pendidikan yang seharusnya mampu menjadi sarana untuk

menginternalisasikan nilai-nilai karakter pada peserta didik (pelajar). Nilai-nilai

karakter seperti, nilai toleransi, tanggung jawab, persahabatan, dan cinta damai belum

(6)

nilai-nilai karakter tersebut yang secara potensial tersimpan pada diri remaja. Oleh

karena itu diperlukan upaya-upaya konkrit untuk mengkonstruksi nilai-nilai karakter

pada remaja.

Remaja ternyata lebih senang, nyaman dan terbuka apabila mendiskusikan

berbagai permasalahan dengan sesama teman sebayanya daripada dengan orangtua.

Kelompok sebaya dianggap memiliki kesetaraan pengetahuan dan lebih egaliter. Di

dalam kelompok sebaya juga kental dengan budaya kesetiakawanan sosial, dimana

permasalahan seorang teman juga merupakan permasalahan teman yang lain. Apabila

salah seorang dari mereka memiliki informasi tertentu, maka ada keinginan agar teman

sebayanya yang lain juga mengetahuinya. Segala informasi yang mereka peroleh baik

dari media cetak maupun media elektronik, pengalaman pribadi ataupun dari bisik-bisik

teman akan cenderung dikomunikasikan kepada teman sebayanya. Remaja ternyata

merasa aman, lebih terbuka, dan bebas untuk membicarakan berbagai permasalahan.

Teman sebaya lebih bisa menerima perbedaan pendapat dan lebih memenuhi kebutuhan

remaja daripada orang dewasa karena diantara mereka sudah saling mengenal, sering

bertemu, saling merasa bebas dan terbuka. Melihat kondisi empiris tersebut, alternatif

cara yang efektif untuk mengkonstruksi nilai-nilai karakter pada diri remaja adalah

melalui kelompok sebaya (peer group). Pendekatan ini sangat tepat mengingat faktor

teman sebaya mempunyai peranan yang sangat besar dalam mempengaruhi

kecenderungan perilaku remaja.

B. Nilai-nilai Karakter dan Pendidikan Karakter

Menurut Suyanto, “karakter” dimaknai sebagai cara berfikir dan berperilaku

yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam

lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah

individu yang mampu membuat keputusan dan siap bertanggung jawab atas akibat dari

keputusan yang dibuat (www.mandikasmen.go.id). Definisi ini senada dengan definisi

dari sumber lain yang menyatakan bahwa “character is the sum of all the qualities that

make you who you are. It’s your values, your thoughts, your words, your actions

(www.educationplanner.org). Karakter adalah keseluruhan nilai-nilai, pemikiran,

perkataan, dan perilaku atau perbuatan yang telah membentuk diri seseorang. Dengan

(7)

proses kehidupan oleh sejumlah nilai-nilai etika yang dimiliki, berupa pola pikir, sikap,

dan perilaku.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

pada Pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana

untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara

aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”. Hal ini selaras dengan pengertian pendidikan karakter yakni usaha sadar untuk membantu manusia dalam memahami,

peduli, dan melaksanakan nilai-nilai etika. Nilai-nilai karakter yang harus ditanamkan

kepada peserta didik menurut Thomas Lickona (seperti dikutip Lubis, 2001), ada 7

(tujuh) unsur, yaitu:

1. Ketulusan hati atau kejujuran

2. Belas kasih

3. Gagah berani

4. Kasih sayang

5. Kontrol diri

6. Kerjasama

7. Kerja keras

Sementara itu dalam naskah akademik Pengembangan Pendidikan Budaya dan

Karakter Bangsa, Kementrian Pendidikan Nasional telah merumuskan nilai-nilai

karakter yang akan dikembangkan kepada generasi muda Indonesia.

Tabel 1. Deskripsi Nilai-nilai Karakter

No. Nilai Karakter Deskripsi

1. Religius Sikap dan perilaku kepatuhan melaksanakan ajaran agama, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain

(8)

3. Toleransi Sikap dan tindakan menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya

4. Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan

5. Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya

6. Kreatif Berfikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara baru dari sesuatu yang dimiliki

7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas

8. Demokratis Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama akan hak dan kewajiban dirinya dan orang lain

9. Rasa Ingin Tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mengetahui lebih mendalam tentang sesuatu yang dipelajarinya, didengar, dan dilihat

10. Semangat Kebangsaan Cara berfikir, bertindak, dan berwawasan dengan menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya

11. Cinta Tanah Air Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa

12. Menghargai Prestasi Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, mengakui, dan menghormati keberhasilan orang lain

13. Bersahabat/Komunikatif Tindakan yang memperhatikan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain

(9)

aman atas kehadiran dirinya

15. Gemar Membaca Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya

16. Peduli Lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan lingkungan alam di sekitarnya serta mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang terjadi

17. Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan

18. Tanggung Jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan, negara dan Tuhan Yang Maha Esa

Sumber : Kementrian Pendidikan Nasional, “Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa”, hal. 10-11.

Menurut Thomas Lickona (seperti dikutip Lubis, 2001), terdapat 10 (sepuluh)

aspek degradasi moral yang melanda suatu negara yang merukan sinyalemen

kehancuran suatu bangsa. Kesepuluh tanda tersebut, antara lain meningkatnya

kekerasan pada remaja; penggunaan kata-kata jorok; meningkatnya penggunaan

narkoba, alkohol, dan seks bebas; kaburnya batasan moral baik dan buruk; menurunnya

etos kerja; rendahnya rasa hormat kepada orangtua dan guru; rendahnya rasa tanggung

jawab individu; membudayanya ketidakjujuran; serta saling curiga dan kebenciaan

diantara sesama. Dalam rangka mencegah terjadinya degradasi moral tersebut, maka

terapi yang tepat dan mutlak harus dilakukan adalah melalui pendidikan karakter.

C. Remaja dan Peer Group

Remaja merupakan masa transisi dari kanak-kanak menuju masa dewasa yang

ditandai dengan perubahan fisik, psikis maupun sosial. Banyak konsep yang membatasi

kategori remaja dalam ukuran usia. WHO misalnya, membatasi usia remaja antara

10-19 tahun. Lain halnya dengan UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 10-1974 yang

(10)

tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Perubahan yang terjadi pada fase

remaja ini menurut Piaget (dalam Hurlock, 1995), bahwa secara psikologis

menggambarkan terintegrasinya remaja dalam lingkungan sosial orang dewasa. Adapun

perubahan-perubahan yang terjadi pada masa remaja salah satunya adalah perubahan

fisik (biologis) yang cepat.

Selain perubahan fisik, remaja juga mengalami perubahan psikis (emosi) dan

perubahan sosial. Perubahan psikis (emosi) merupakan konsekuensi dari perubahan fisik

yang cepat. Pada fase ini, remaja mengalami gejolak emosi yang luar biasa. Mereka

cenderung menunjukkan sikap-sikap emosional, seperti sering menyendiri, mudah sedih

atau gelisah, mudah menangis, serta cenderung melakukan konfrontasi (berkelahi atau

berkonflik dengan orang lain). Sedangkan perubahan sosial merupakan proses adaptasi

dengan lingkungan sosial baru di luar lingkungan keluarga, seperti lingkungan sekolah,

lingkungan pergaulan kelompok sebaya (peer group). Dalam tahap ini seorang remaja

mengalami sosialisasi sekunder, yaitu sosialisasi yang berlangsung melalui interaksi

dengan berbagai kelompok dalam masyarakat.

W.F. Connell (1972), mendefinisikan kelompok sebaya (peer group) sebagai

kelompok anak-anak atau pemuda yang berumur sama dan mempunyai kepentingan

umum tertutup, seperti persoalan-persoalan anak-anak umur sekolah sampai dengan

masa remaja (adolesence). Sedangkan Vembriarto (1992: 275), menganggap peer group

sebagai institusi sosial kedua setelah keluarga yang memiliki peranan yang sangat

penting bagi kehidupan remaja. Di dalam peer group terjadi proses belajar sosial,

dimana individu mengadopasi kebiasaan, sikap, ide, keyakinan, nilai-nilai, dan

pola-pola tingkah laku dalam masyarakat, serta mengembangkannya menjadi kesatuan sistem

dalam dirinya. Selain itu, mereka juga bebas mengekspresikan sikap, penilaian, serta

sikap kritisnya dan belajar mendalami hubungan yang sifatnya personal (Levine, 1992).

Peer group merupakan kelompok sosial dimana masing-masing anggota terjalin

hubungan yang erat dan bersifat pribadi. Dalam peer group remaja mendiskusikan

tentang masalah dan menemukan sesuatu yang tidak mereka temukan di rumah.

Hubungan yang bersifat pribadi menyebabkan seseorang dapat mencurahkan isi hatinya

kepada teman-temannya baik sesuatu yang menyenangkan atau menyedihkan. Dalam

kelompok ini terjadi kerja sama, tolong menolong, namun sering juga terjadi persaingan

(11)

adanya kepentingan yang bersifat umum dan dibagi secara langsung, terjadi kerja sama

dalam suatu kepentingan yang diharapkan, dan adanya pengertian pribadi serta saling

hubungan yang tinggi antar anggota dalam kelompok.

Pengetahuan akan nilai-nilai karakter pada remaja sangat efektif dalam

mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pengetahuan teman-teman sebayanya (peer).

Apabila peer memiliki pengetahuan akan nilai-nilai karakter yang memadai, maka

mereka akan memberikan pengetahuan ini kepada temannya. Dengan harapan mereka

dapat mempengaruhi temannya untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai

karakter positif. Sebaliknya, apabila pengetahuan remaja tentang nilai-nilai karakter

masih rendah, maka yang beredar di kalangan remaja adalah informasi yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan serta mengakibatkan degradasi moral. Peer group harus

berupaya mengembangkan potensi diri dan teman sebayanya, sebagai upaya promotif,

peer group dapat mengajak teman sebayanya untuk belajar tentang nilai-nilai karakter

dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

D. Mengkonstruksi Nilai-nilai Karakter Pada Diri Remaja Melalui Pendekatan

Peer Group Culture

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa masa remaja adalah masa

transisi ditandai dengan rasa keingintahuan yang besar terhadap sesuatu dan pencarian

jati diri atau identitas diri. Meskipun demikian, justru pengelolaan emosi dan

karakternya masih sangat lemah. Oleh karena itu dibutuhkan sarana penguatan karakter

sehingga remaja mampu memaksimalkan potensi dan mengkonstruksi nilai-nilai

karakter yang ada pada dirinya. Remaja ternyata lebih senang, nyaman, dan terbuka

apabila mendiskusikan berbagai permasalahan dengan teman sebayanya. Teman sebaya

dinilai memiliki kedekatan emosional, memiliki kadar pengetahuan yang setara, dan

sangat kental dengan budaya kesetiakawanan sosial, dimana permasalahan seorang

teman juga merupakan permasalahan teman yang lain. Melalui teman sebaya, remaja

menemukan solusi atas permasalahan-permasalahan pribadinya, termasuk bagaimana

mengkonstruksi nilai-nilai karakter yang sebenarnya sudah ada pada diri remaja.

Oleh karena itulah, cara yang paling efektif untuk mengkonstruksi nilai-nilai

karakter pada diri remaja adalah melalui pendekatan kelompok sebaya (peer group).

(12)

karakter pada dirinya untuk kemudian menjadikan nilai-nilai karakter tersebut sebagai

alat control untuk mengendalikan bahan mencegah remaja untuk melakukan berbagai

penyimpangan sosial, seperti tawuran, narkoba, dan sebagainya. Peer group memiliki

kewajiban untuk membangun kepercayaan diantara individu dalam membangkitkan

motivasi untuk berperilaku positif. Selain itu, peer group harus berperan sebagai

fasilitator bagi remaja atau teman sebayanya, menampung berbagai keluhan atau

permasalahan seputar optmalisasi karakter, serta berusaha memberikan alternatif solusi

penyelesaian masalah.

Kedekatan secara emosional yang dibangun di dalam peer group diawali oleh

proses interaksi sosial melalui kontak sosial dan komunikasi yang berlangsung secara

terus-menerus. Berbagai kondisi yang telah dijelaskan di atas, ternyata remaja lebih

senang, nyaman dan terbuka apabila mendiskusikan berbagai permasalahan. Kelompok

sebaya dianggap memiliki kesetaraan pengetahuan dan lebih egaliter. Di dalam

kelompok sebaya juga kental dengan budaya kesetiakawanan sosial, dimana

permasalahan seorang teman juga merupakan permasalahan teman yang lain. Oleh

karena itu, peran peer group menjadi penting dalam mengkonstruksi nilai-nilai karakter

pada remaja, seperti tergambar dalam skema berikut.

Problematika di kalangan remaja (penyimpangan

sosial, tawuran, dll)

Rendahnya pengelolaan emosi

remaja

Remaja dalam fase transisi menemukan

identitas diri

(13)

Gambar 1. Skema urgensi peer group cukture dalam mengkonstruksi nilai-nilai karakter remaja

E. Simpulan

Dalam peer group culture, remaja menemukan identitas sosialnya. Melalui peer

group pula, remaja bergaul, beradaptasi dan menggali potensi-potensi positif pada

dirinya. Potensi positif inilah yang akan bisa dikembangkan dalam rangka

mengukuhkan identitasnya sehingga memunculkan pribadi yang berkarakter. Peer

group culture sebagai salah satu pendekatan yang bisa dilakukan dalam rangka

mengkonstruksi nilai-nilai karakter pada diri remaja.

Daftar Pustaka

Hurlock, Elizabeth. 1995. Psikologi Perkembangan Anak. Edisi VI. Jakarta: Erlangga.

Kementrian Pendidikan Nasional. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa.

Lubis, Mochtar. 2001. Manusia Indonesi: Sebuah Pertanggungan Jawab. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Polda Metro. 2011. “Tawuran Meningkat di Tahun 2011”,

(www.detiknews.com/read/2011/09/21/172721/1727625/10/polda-metro- tawuranmeningkat-di-tahun-2011), diunduh tanggal 10 November 2011.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Vembriato, St. 1993. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

www.mandikasmen.go.id

Pentingnya peer group dalam mengkonstruksi nilai-nilai

Gambar

Gambar 1. Skema urgensi peer group cukture dalam mengkonstruksi nilai-nilai karakter remaja

Referensi

Dokumen terkait

Dengan kontrak, guru dapat memberi konsekuensi pada individu, tapi juga bisa memberi penghargaan kepada kelas saat perilaku membaik atau siswa membuat pilihan yang

Dalam perhitungan pendapatan bunga, perusahaan dihadapkan pada pengakuan pendapatan bunga Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menilai pengakuan pendapatan angsuran PT. Bussan

Dari berbagai kriteria telah ditemui meskipun tidak secara utuh sesuai dengan tingkat kemampuan berfikir kritis yaitu termasuk dalam tingkat sangat rendah, rendah dan

Pengertian Suklapaksa dalam kala caka Sunda yang didefinisikan sebagai “parocaang” atau bulan separuh terang, dari bulan setengah lingkaran sekitar tanggal 7 atau 8

Using data from the 2003 National Survey of Children’s Health (NSCH), we exam- ined the associations of breastfeeding initiation and breastfeeding duration with expressive and

Sedangkan untuk memberikan acuan dalam pelaksanaan peraturan juga diterbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE- 42/PJ/2013 tentang Pelaksanaan Peraturan

Untuk dimensi e2 dimana responden yang menjawab setuju sebanyak 105 orang atau 60,7%, hal ini menunjukan bahwa pemanfaatan aplikasi kamus istilah akuntansi pada

Keunggulan Kompetitif di Kecamatan Licin hasil analisis pangsa di Kecamatan Licin menunjukkan bahwa pangsa tertinggi adalah sektor Pertambangan dan Penggalian sebesar