• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Perkembangan Tasyri pada Masa U

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dinamika Perkembangan Tasyri pada Masa U"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Berdasarkan kronologi dalam konteks sejarah perkembangannya, syari’at Islam telah banyak mengalami evolusi dan berbagai dinamika. Selama periode kenabian, fondasi-fondasi hukum Islam barada dibawah ijtihad-ijtihad Rasulullah SAW dan para sahabat-sahabatnya. Selama periode tersebut, wahyu Allah dan Sunnah Rasulullah ditetapkan sebagai satu-satunya sumber hukum Islam.

Dalam tahap berikutnya, pada masa Khulafaur Rasyidin, prinsip-prinsip ijma’

dalam fiqih mulai dikembangkan, dan ijtihad menjadi prinsip independen dari fiqih yang bernama qiyas. Madzhab pada periode tersebut pada dasarnya merupakan madzhab masing-masing khalifah, sebab keputusan akhir dalam permasalahan hukum berada ditangan mereka.

Selanjutnya pada periode awal dari Dinasti Umayyah memperlihatkan adanya pembagian ulama fiqih kedalam dua madzhab utama dalam hal kaitannya dengan ijtihad yaitu; ahlul –ra’yu dan ahlul-hadits. Dua madzhab tersebut berkembang menjadi sejumlah madzhab baru selama peralihan dari sistem ke-khalifahan menuju sistem monarkhi, ketika khalifah tidak lagi menjadi sesepuh madzhab.1

Setelah kekuasaan Umayyah berakhir, kendati pemerintahan Islam selanjutnya dipegang oleh Dinasti Abbasyiah. Berbeda dengan periode sebelumnya yang ditandai dengan perluasan wilayah, periode ini ditandai dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang pengaruhnya masih dapat dibuktikan sampai saat ini.

Periode ini, dalam sejarah hukum Islam dikenal sebagai fase atau zaman keemasan. Adapun beberapa faktor yang mendorong perkembangan hukum Islam pada periode ini beberapa diantaranya; pendirian dan perkembangan madzhab fiqih, pengaruh pembukuan hadits terhadap perkembangan hukum Islam, serta pengaruh pembukuan fiqih dan pembukuan ushul fiqih terhadap perkembangan hukum Islam.2 Berikut kami akan menjelaskannya dalam pembahasan makalah kami yang berjudul “Dinamika tasyri’ pada masa Ulama’ pembangun mazhab serta berbagai factor social yang melatarbelakangi terjadinya kemajuan tasyri’ yang sangat pesat”.

1 Abu Ameenah Bilal Philips, Ph.d, Asal-Usul dan Perkembangan Fiqh, terj. M. Fauzi Arifn,

cet. 1, (Bandung: Nusamedia dan Nuansa, 2005), hal. 85-86

2 Dr. Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, cet. 1, (Bandung: PT.

(2)

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana dinamika tasyri’ pada masa ulama pembangunan Madzhab?

2. Faktor apa saja yang menyebabkab kemajuan fiqh Islam awal abad kedua sampai pertengahan abad keempat?

3. Bagaimana riwayat hidup madzhab-madzhab fiqih?

4. Faktor apa saja yang mendorong perkembangan hukum Islam pada masa Imam-imam Mujtahid?

C. TUJUAN

1. Mengetahui dinamika tasyri’ pada masa ulama pembangunan Madzhab

2. Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkab kemajuan fiqh Islam awal abad kedua sampai pertengahan abad keempat

3. Mengetahui riwayat hidup madzhab-madzhab fiqih

(3)

BAB II

PEMBAHASAN

A. Dinamika Tasyri’ pada Masa Ulama’ Pembangun Mazhab 1. Kondisi Hukum

Periode ini dimulai sejak berdirinya Dinasti Abbasiyyah (750-1258 M) pada awal abad ke-2 Hijriyyah dan berakhir pada pertengahan abad ke-4 Hijriyyah, sehingga kurang lebih berkisar 250 tahun. Periode ini disebut sebagai periode pembukuan dan imam imam mujtahidin, karena pada periode ini usaha penulisan dan pembukuan terhadap hukum Islam mengalami perkembangan kemajuan yang pesat. Periode ini adalah periode keemasan bagi perundang-undangan Islam. Hukum Islam berkembang dan menjadi matang serta membuahkan perbendaharaan hukum.3

Zaman ini dianggap sebagai zaman yang paling gemilang dalam sejarah fiqh Islam, dimana ia sudah mencapai tahap sempurna dalam keluasan kajian, sempurna dan terinci sehingga menjadi ilmu yang berdiri sendiri sebelumnya hanya sebatas fatwa dan qadha’, selain muncul para ulama yang membahas setiap bab, memiliki mazhab ijtihad sendiri yang kemudian yang diberi nama sesui dengan para imamnya. Kemajuan ilmu pengetahuan pada zaman ini tidak hanya terjadi pada bidang fiqh, namun juga terjadi pada bidang ilmu lain seperti tafsir, hadis, tauhid, bahasa dan adab. Sehingga periode ini pantas disebut masa yang cerdas, yaitu kuat dan matang dalam pemikiran, kehidupan ilmiah yang meluas pembahasan, ijtihad mutlak, kebebasan yang berani dalam nalar dan istinbath.

Pada periode ini tradisi ilmiah tidak terbatas pada masalah Fiqh saja tapi meliputi berbagai disiplin ilmu dan pemikiran yang tidak terbatas pada soal tertentu tapi telah ditemukan berbagai cara dan sistem. Keadaan ini membuat kaum muslimin mencapai puncak kejayaan hingga mereka terbagi ke berbagai kelompok ilmiah sehingga lahirlah para pakar ilmu pengetahuan di berbagai ilmu pengetahuan.4

2. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Fiqih

Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti Islam yang sempat membawa kejayaan umat Islam pada masanya. Zaman keemasan Islam dicapai pada masa dinasti-dinasti

3 Prof. Abdul Wahab Khollaf, Khulashoh Tarikh Tasyri’ Islam, terj. H.A ‘Aziz Masyhuri, cet.

5, (Solo: CV. Ramadhani, 1991), hal. 58

4 Dr. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, terj. Dr. Nadirsyah Hawari, M.A, cet.2, (Jakarta:

Amzah, 2011), hal. 102; Sapiuddin, Tarikh Tasyri’ (Sejarah Pembentukan Hukum Islam),

(4)

ini berkuasa. Pada masa ini pula umat Islam banyak melakukan kajian kritis terhadap ilmu pengetahuan. Akibatnya pada masa ini banyak para ilmuan dan cendikiawan bermunculan sehingga membuat ilmu pengetahuan menjadi maju pesat.

Dinasti Abbasyiyah adalah pelanjut kekuasaan dinasti Bani Umayyah, namun ada perbedaan orientasi diantara kedua dinasti ini, dinasti Bani Umayyah lebih banyak menekankan pada kekuatan militer,5 sedangkan Dinasti Abbasyiyah lebih

menekanakan pada pelayanan sosial, rumah sakit, lembaga pendidikan, dokter, farmasi, pada masa ini sudah terdapat 800 orang dokter, ilmu pengetahuan, kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada masa kekhalifahan Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Makmun (813-833 M).

Ketika masa khalifah Al-Mamun, di kenal sebagai seorang khalifah yang cinta ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing di galakkan. Untuk menerjemah buku-buku Yunani, Ia menggaji penerjemah golongan kristen dan penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirian sekolah. salah satu karya besarnya adalah pembangunan Bait al-Hikmah yaitu pusat penerjemahan yang berguna sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa Ma’mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Pada masa ini lahirlah para ilmuan dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, diantara ilmu yang sampai puncak keemasannya adalah Fiqh. Apresiasi khalifah, Kebebasan berfikir dan berpendapat, maraknya diskusi-diskusi dan debat ilmiyah antara fuqaha’ telah mendorong lahirnya fuqaha mazhab yang kompeten dalam bidangnya yang hasil karya mereka masih digunakan sampai sekarang.6

B. Faktor Penyebab Kemajuan Fiqh Islam Awal Abad Kedua sampai Pertengahan Abad Keempat

1. Perhatian Khalifah Dinasti Abbasiyyah Terhadap Fiqh Dan Fuqaha’

Pemerintahan Islam pada periode ini sudah meluas daerah kekuasaannya dan berjauhan batas ujungnya, dan kekuasaannya sudah meliputi bermacam-macam bangsa yang beraneka warna jenisnya, adat-istiadatnya, arena hubungan kerjanya, dan kemaslahatannya. Oleh karena itu para ulama mencurahkan tenaganya untuk

5Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, cet. XVI, (Jakarta: PT. Raja Grafndo, 2004), hal.43.

(5)

mengembalikan persoalannya pada sumber-sumber hukum Islam, dan memegang teguh nash-nash syari’ah.7

Kebanyakan khalifah bani Abbasiyah menaruh perhartian yang besar terhadap perkembangan Ilmu Fikih, antara lain pendekatan kepada ulama, memberi dorongan dan bantuan materil kepada kebebasan mereka untuk memajukan Ilmu Fikih. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa aspek di bawah ini:

a. Semua undang-undang bersumber dari Al-Quran dan As-Sunnah, terutama yang terkait dengan urusan pemerintahan.

b. Memberikan perhatian terhadap As-Sunnah dan mengumpulkan hadist, ditulis dan dibukukan seperti Musnad Imam Ahmad, Shahih Al-Bukahri dan yang lainnya.

c. Para Khalifah sangat dekat dan memuliakan ulama, memberi mereka kafalah

(bantuan) dan menyeru para pemimpin negeri untuk menjadikan mereka rujukan dalam menentukan hukum. Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur meminta izin kepada Imam Malik untuk menjadikan kitab Al-Muwaththa’ sebagai undang-undang negara dan demi memutus tali perbedaan pendapat. Akan tetapi sang Imam menolak dan mengatakan, “ Jangan kamu berbuat demikian wahai Amirul mukminin karena para sahabat Nabi telah tersebar ke seluruh negeri dan mereka telah meriwayatkan hadis dari negara Hijaz yang aku jadikan sebagai rujukan, lalu orang mempelajari hadis itu dan aku akan membiarkan mereka dengan apa yang mereka yakini.” Sang khalifah setuju dengan alasannya seraya mengatakan, “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan wahai Abi Abdillah.” Inilah yang mendorong Harun Ar-Rasyid datang mengunjungi Imam Malik ketika ia melaksanakan haji, dan menjadikan Imam Abu Yusuf murid Abu hanifah sebagai kawan setia dan diangkat menjadi ketua hakim agung.

d. Perhatian para khalifah juga dapat dilihat ketika mereka meminta para fuqaha’

untuk meletakkan aturan perundang-undangan Islam dalam mengatur urusan negara. Harun Ar-Rasyid meminta Abu Yusuf untuk menggali hukum tentang peraturan keuangan negara dan sistem distribusinya. Kemudian Abu Yusuf menulis kitab Al-Kharaj yang menjelaskan tentang sumber keuangan negara, alokasi dana dan kewajiban negara serta mengingatkan sang khalifah dengan ucapannya, “Dirikan kebenaran dalam apa yang telah diberikan Allah kepadamu,

(6)

jangan menyeleweng karena rakyat akan berpaling, jauhi hawa nafsu dan memutuskan sesuatu sambil marah, jadilah orang yang selalu takut dengan Allah dan jadikan semua orang sama dalam berurusan kepadamu baik orang dekat atau jauh, sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawabanmu dan apa yang sudah kamu kerjakan.”8

2. Banyaknya Peristiwa

Banyak persoalan yang timbul, hal ini makin meluasnya daerah Islam dan perkembangan serta kemajuan zaman. Karena para fuqaha’ yang sudah menyebar ke berbagai negeri kemudian menemukan banyak adat istiadat, aturan sosial, hukum dan ekonomi yang sebelumnya tidak mereka temukan sehingga mereka harus memberikan jawaban dan pendapat sesuai dengan syariat Islam. Jika ada adat istiadat yang sesuai dengan nilai-nilai Islam maka mereka mngakui legalitas dan mengamalkannya. Jika adat istiadat tersebut ada yang bertentangan dengan prinsip dasar Islam dan ruh syariat, mereka akan menolak dan mencoba untuk menwarnainya dengan nilai-nilai Islam. Karena adat istiadat ini berbeda dari satu negeri ke negeri lain sehingga menglahirkan satu hukum yang baru pada satu tempat kejadian yang belum tentu ada di tempat lain. Hikmah dari banyak permasalahan baru yang muncul pada zaman ini adalah lahirnya hukum fiqh baru dari para fuqaha’ di tempat masing-masing.9

Ketika wilayah Islam meluas pada masa Abbasiyah dan banyak umat yang berbeda dalam kebiasaan peradaban dan agama. Kekuasaan Islam masuk dan berdiam ditempat itu mengakibatkan berpencarnya para ulama kedaerah-daerah tersebut yang sudah pasti memiliki tradisi dan adat yang berbeda.

Akibat perbedaan tradisi setiap daerah maka ulama perlu mengetahui keadaan yang sebenarnya apa yang dihadapi ulama di masing-masing daerah. Untuk itu dilakukan perjalanan ilmiah (study tour) oleh para ulama mujtahid.10

3. Perhatian dan Semangat Tinggi Untuk Mendidik Para Penguasa dan Keturunannya Dengan Pendidikan Islam

Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator dan contoh berikut:

a. Al-Mahdi mengirimkan anaknya Al-Hadi dan Ar-Rasyid kepada seorang alim dan memintanya untuk mengajari mereka Al-Quran, sunnah dan menjelaskan keagungan para ahli hikmah serta nasihat-nasihat mereka.

8Rasyad Hasan Khalil, Op.cit.hal. 102-103.

(7)

b. Khalifah Harun mengirimkan kedua anaknya Al-Amin dan Al-ma’mun untuk ikut majelis ilmu Imam Malik di Madinah, ketika ia tidak mau datang ke istana mengajarkan anaknya. Imam Malik menulis surat kepada sang khalifah, “Semoga Allah memuliakan Amirul Mukminin, ilmu ini keluar dari kalian, jika kalian memuliakannya maka ia akan mulia dan jika kalian menghinakannya maja ia akan hina, ilmu itu didatangi dan tidak mendatangi.” Ketika surat ini sampai kepada khalifah ia berkata kepada anaknya, “Pergilah kalian ke masjid (Madinah dan bergabunglah dengan orang lain.”

c. Ketika Imam Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani menulis kitab As-siyar

(sejarah), Khalifah Ar-Rasyid menyuruh anak-anaknya menemui sang imam mendengarkan pelajarannya. Tidak diragukan lagi bahwa perhatian para khalifah terhadap fiqh dan fuqaha’ berpengaruh besar terhadap kemajuan ilmu pada zaman ini. Oleh karena itu, fiqh Abbasiyyah, fiqh Islam menjadi rujukan dalam setiap masalah yang muncul.11

4. Iklim Kebebasan Pendapat

Pada periode ini para ulama diberi kebebasan mengeluarkan fatwa dalam Ilmu Fikih sepanjang tidak menyinggung politik pemerintah. Walaupun kenyataan seperti ini, akan tetapi kebebasan berpendapat dalam Islam tidak bisa dipecah-pecah dan juga selain dari permasalahan pemerintah telah memberikan manfaat yang besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan kebangkitan fiqh Islam pada zaman itu.12

Ulama’ yang memangku tugas perundang-undangan dan memberi fatwa dalam periode ini jalan perundang-undangan sudah terbentang dan kesulitan-kesulitan hukum sudah bisa diatasi dengan mudah, sebab mereka sudah memperoleh sumber-sumber perundang-undangan, dan merekapun sudah mengetahui peristiwa-peristiwa dan kemuskilan yang sudah diatasi oleh ulama-ulama sebelum mereka. Al-Qur’an sudah dibukukan dan sudah berkembang luas dikalangan umat Islam.13

5. Tambahnya penghafal Al-Qur’an dan perhatian untuk menunaikannya. Pada periode ini para penghafal Al-Qur’an bertambah banyak dan tersebar di seluruh daerah-daerah Islam , dan pada setiap daerah, kaum Muslimin mengenal para

qari’ yang terkenal namanya. Pada periode inilah mulai muncul qira’ah sab’ah yang

11Rasyad Hasan Khalil, Op.cit. hal. 103-104.

12Asmuni, H. M. Yusran, Dirasah Islamiyah: Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam

dan Pemikiran, Ed. 1., Cet.3, (Jakarta: PT RajaGranfndo Persada, 1998), hal.29.; Rasyad Hasan Khalil, Ibid. hal. 105.

(8)

diperkenalkan oleh para qari’ yang terkenal, serta tiga qira’ah lainnya yang tingkatannya berada dibawahnya.14 Pada periode ini juga mulai muncul adanya usaha perbaikan sistim/ bentuk penulisan Al-Qur’an dan pemberian harokat-harokat pada hurufnya. Hal ini terjadi, sebab mushaf yang sudah dibukukan pada zaman Usman bin ‘Affan yang tanpa bertitik dan berharakat. Sedangkan standar dalam membacanya adalah berdasarkan penerimaan dari para penghafal Al-Qur’an. Oleh karenanya usaha perbaikan tersebut diperlukan.15

6. Maraknya Diskusi dan Debat Ilmiah di Antara Para Fuqaha’

Pada zaman ini muncul mazhab dan perseteruan fiqh yang sangat tajam sehingga perselisihan di antara mereka tidak hanya dalam hal-hal furu’iyah (cabang) seperti yang terjadi pada zaman sahabat, namun terkadang menyentuh masalah sumber dalil. Hal ini disebabkan beberapa faktor sebagai berikut.

a. Banyaknya para fuqaha’ sehingga masing-masing berijtihad secara bebas.

b. Upaya sebagai fuqaha’ untuk menyebarkan pendapat mereka kepada masyarakat dengan cara memberi fatwa, menghapal fatwa dan menulisnya.

c. Imbauan kepada masyarakat agar menjadikan hukum ini sebagai aturan hidup mereka.

1) Dinamika debat ilmiah pada masa Dinasti Abbasiyyah

Debat atau polemik pada masa ini berkisar pada masalah lafal dari segi bahasa, yang mencakup beberapa hal, di antaranya:

a. Alquran dan sunnah serta hubungan di antara keduanya.

b. Pendapat para sahabat dan amalan penduduk Madinah serta tingkat ke hujjah -annya.

c. Qiyas, istihsan, maslahat mursalah, dan yang lainnya yang dijadikan sebagai rujukan fuqaha’ dalam meng-istinbat hukum.

Pendapat ini tidak hanya sebatas debat secara lisan di antara fuqaha’ di masjid-masjid dan di depan orang banyak pada saat musim haji dengan cara menyampaikan pendapat pribadi secara langsung. Namun perdebatab juga terjadi dalam bentuk tulisan, seperti dalam risalah yang ditulis oleh Al-Laits bin Sa’d yang dituliskannya dari Mesir kepada Imam Malik tentang bolehnya ber-hujjah dengan amalan penduduk Madinah dan beberapa masalah lain.

14 Hudhari Bik, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, terj. Drs. Mohammad Zuhri, (Semarang: Darul

Ikhya Indonesia, 1980), hal. 335

(9)

2) Pengaruh debat ilmiah bagi dinamika kemajuan fiqh

Perdebatan fiqh secara meluas di antara fuqaha’ pada zaman ini telah melahirkan dua fenomena yaitu:

Pertama, kecenderungan pada fuqaha’ untuk menggunakan metode ketika mereka menulis buku. Hal ini dapat dilihat secara jelas dalam kitab Al Umm yang ditulis oleh Imam Asy-Syafa’i yang memuat banyak perdebatan antara beliau dengan

fuqaha’ dan juga dalam kitab-kitab lain yang ditulis pada zaman itu.

Kedua. luas ruang lingkup kajian fiqh dan munculnya pendapat-pendapat fiqh sehingga semakin menambah kemajuan fiqh itu sendiri. Semangat mempelajari fiqh sangat tinggi, detail, mendalam dan mencakup banyak masalah dan bisa membantu para pendahuluannya, dalil dan sudut pandangan mereka. Inilah jalan menuju kebangkitan fiqh Islam pada zaman ini dan zaman-zaman ini akan datang.

3) Tujuan debat ilmiah

Debat ilmiah yang terjadi pada masa ini sebenarnya bertujuan agar bisa sampai kepada kebenaran dan memahami hukum syara’ yang akan menjadi jawaban terhadap masalah yang muncul.

Kondisi ini mulai menyimpang pada zaman ulama muta’akhirin sebagai pengikut ulama mazhab, dimana mereka menjadikan debat ini sebagai wasilah (cara) untuk menguatkan pendapat dan memenangkan imam yang diikuti dan tidak siap menerima pandapat orang lain dan menjauhkan masyarakat dari pendapat lawan walaupun ada kemungkinkan mazhab lawan adalah yang benar. Keadaan ini sudah tentu sangat bertentangan dengan aturan debat ilmiah seperti yang dijelaskan dalam buku panduan penelitian ilmiah.16

7. Akulturasi Budaya Dengan Bangsa-Bangsa Lain

Umat Islam terdiri dari beberapa ras, seperti Arab, Persia, Romawi dan pengikut agama-agama lain seperti Yahudi, Nasrani, Majusi dan yang lain. Setiap ras memiliki ilmu dan peradaban yang berbeda dari yang lain.

Ketika Islam mengikat dan melunakan hati mereka dalam saru barisan politik serta menghilangkan segala perbedaan yang ada mereka pun saling menukar adat istiadat, ilmu dan pengalaman hidup. Oleh karena itu fiqh Islam terus berkembang, menyelesaikan berbagai persoalan kaum muslimin di setiap daerah pada zaman ini, bahkan ke semua ngeri-negeri Islam yang sangat luas.17

(10)

8. Penulisan Ilmu Dan Pernerjemah Kitab

Penulisan Ilmu pada masa Dinasti Abbasiyyah merupakan zaman dibentuknya mazhab-mazhab fiqh, penulisan ilmu pengetahuan lebih banyak lagi, selain atas karunia Allah juga karena keadaan yang kondusif bagi lahirnya kebangkitan ilmu. Semua ini tentu tidak lepas dari jasa orang-orang Islam dari luar Arab, karena peradaban mereka lalu telah mengajarkan kepada mereka bagaimana cara menulis dan membuat hasil karya. Menulis dan membukukan sebuah ilmu merupakan salah satu cara untuk menjaganya agar tidak hilang dan dapat dimanfaatkan orang lain, terutama para fuqaha’ yang tidak dapat lepas dari kitab tafsir, hadis, dan ushul fiqh, semua ilmu saling menompang satu sama lain.18

a. Penulisan Fiqh Islam

1) Dinamika Penulisan Fiqh Islam

Pesatnya perkembangan fiqh Islam pada zaman ini telah memasuki fase baru dan metodologi yang unik dalam penulisan tentang metodologi ilmiah yang dijalankan oleh para fuqaha’ dan dapat disimpulkan sebagai berikut:

a) Seorang faqih (ahli fiqh) menulis sendiri pendapat dan fatwanya.

b) Kemudian ia membacakannya kepada para muridnya atau menyuruh salah seorang muridnya untuk membacakan kepada yang lain, kemudian yang lain menulis di depan gurunya seperti yang dilakukan Imam negeri hijrah Malik bin Anas.

c) Kemudian datanglah fase di mana para murid mulai menuliskan beberapa cacatan terhadap apa yang mereka catat dari guru dengan maksud memperjelas sebagian hukum, menganalisis dan memberikan contohnya (Rasyad Hasan Khalil ;111).

2) Metodologi Penulisan Fiqh Islam

Ada tiga manhaj (cara) yang digunakan oleh para fuqaha’ dalam menulisan fiqh diantaranya yaitu:

a) Menulis bercampur dengan hadis dan atsar (ucapan sahabat). Sebagaimana metose penulisan kitab Al-Muwaththa’ yang ditulis Imam Malik, di mana terdapat pencampuran hadis, atsar dan fatwa para sahabat maupun tabi’in. Metode ini banyak diikuti oleh ahli fuqaha’ Madinah. Seperti halnya kitab Al-jami’Al-kabir

karya Sufyan Ats-Tsaur dan kitab Iktilaf Al-Hadits karya Imam Asy-Syafi’i. b) Metode penulisan fiqh yang lepas dari hadis dan atsar (ucapan sahabat) yaitu

kitab Al-Mudawwanah, sebuah komplikasi fiqh bermazhab Maliki yang memuat

(11)

berbagai permasalahan yang dimunculkan oleh Asad bin Al-Furt, kemudian dijawab oleh Ibnu Al Qasim dari apa yang ia hafal dari fiqhnya Imam Malik ditambah dengan ijtihadnya sendiri jika dalam masalah itu tidak ada pendapat Imam Malik.

c) Dengan cara menulis hukum-hukum fiqh bersamaan dengan semua dalil yang ada kemudian dikomparasikan dengan berbagai pendapat yang ada dalam fiqh mazhab yang lain. Kitab-kitab seperti ini kemudian dinamakan fiqh muqaranah

(komparasi) karena sebuah pebanding semestinya menghimpun semua pendapat yang berbeda, kemudian dilakukan pengujian terhadap kekuatannya bersasarkan daliil Alquran, sunnah, ijma’, qiyas dan yang lainnya untuk kemudian menghasilkan pendapat yang dianggap lebih kuat. Diantara kitab yang ditulis mengikuti gaya ini adalah kitab Al-Mughni karya Imam Ibnu Qudamah Al-Hanbali, Al-Mabsuth karya Imam As-Sarakhsi, Al-Umm karya Imam Asy-Syafi’i yang didiktekan kepada para muridnya setelah beliau menetap di Mesir. Kitab-kitab fiqih yang ditulis pada zaman ini memiliki karakteristik keindahan bahasa, mudah dipahami, makna yang sangat jelas dan tidak menyulitkan pembaca mengistinbat hukum. Kondisi ini tidak bertahan lama karena gerak laju penulisan mengalami penyempitan uslub (gaya), sulit di pahami dan hanya terbatas kepada orang-orang tertentu yang dapat memahami maksudnya.19

b. Penulisan Ilmu Ushul Fiqh

Untuk pembahasan tentang penulisan ilmu ushul fiqh pada zaman ini ini yang ditulis oleh Imam Asy-Syafi’i. Seperti yang kita pahami kaidah-kaidah ilmu ushul fiqh berputar sekitar penjelasan dalil-dalil yang jadikan rujukan oleh para

fuqaha’ dalam meng-istinbat hukum syar’i dan turuq istidlal (cara menggunakan dalil). Ilmu ushul fiqh memberi panduan bagi para fuqaha’ tentang cara berdalil dan berijtihad serta merumuskan jalan bagi siapa yang ingin pendapatnya bermutu, bernilai fiqih dan aplikatif agar ia konsisten dalam menggunakan aturan yang telah ditetapkan oleh ulama ushul fiqh dan termasuk dalam ijtihadnya.

Faktor pendorong atau motivasi Imam Asy-Syafi’i untuk menulis kitab Ar-Risalah sebagai kitab ushul fiqh pertama adalah keprihatinan beliau ketika melihat para ulama berselisih pendapat dalam berijtihad, cara berijtihad dan metode

istinbat.20 Oleh karenanya para ulama’ menyusun ilmu yang mereka namakan

(12)

“Ushul Fiqh”, yaitu kaidah-kaidah yang wajib diikuti oleh setiap mujtahid dalam melakukan istinbath hukum.21

9. Pembukuan As-Sunah.

Periode ini adalah masa yang mulia bagi As-Sunah. Para perawi As-Sunah memperhatikan atas wajibnya penyusunan dan pembukuan As-Sunah dengan mengumpulkan As-Sunnah yang sejenis dalam satu judul, sebagiannya dikumpulkan dengan sebagian yang lain. pemikiran ini timbul pada seluruh negara-negara Islam dalam waktu yang berdekatan sehingga tidak diketahui orang yang memperoleh keutamaan dikarenakan lebih dahulu dalam penyusunan itu. Pada tahun 140 H pada kitab-kitab hadits yang dibukukan masih bercampur dengan kata-kata sahabat dan tabi’in. Pada tahap ke-dua yaitu pada permulaan tahun 200 H Hadits Rasulullah mulai dipisahkan dari kata-kata orang lain. Mereka mengarang kitab yang dikenal dengan Musnad. Persoalan As-Sunnah berakhir pada pertengahan periode ini dan As-Sunnah telah menjadi ilmu yang berdiri sendiri dengan tokoh-tokoh khusus yang membahasnya, meskipun mereka tidak meneruskannya kedalam fiqih dan tidak memiliki kekuatan untuk ber-istinbath.22

10. Umat Islam dan Para Penguasa memiliki kesadaran hukum yang kuat

Umat Islam pada periode ini sangat kuat dalam menjaga diri agar semua amaliyah mereka dalam bidang ibadah mu’amalah , perikatan, dan transaksi-transaksi sesuai dengan hukum Islam. Oleh karenanya, mereka senantiasa mengembalikan persoalan-persoalan yang bersifat umum dan detail kepada orang yang ahli dalam hukum Islam. Begitu pula para penguasa negara dan hakim-hakim pengadilan dalam menghadapi persengketaan-persengketaan selalu kembali kepada mufti dan tokoh-tokoh perundang-undangan. Oleh karena itu, mujtahid pada masa itu menjadi tempat bertanya yang tiada hentinya, baik dari kalangan perseorangan, para penguasa, maupun para hakin. Oleh karena itu kesungguhan mereka terus berkembang.23

C. Dinamika Tasyri’ Dalam Empat Madzhab Fiqih 1. Madzhab Hanafi

a. Pendiri: Imam Abu Hanifah (80-150 H/ 703-767 M)

Madzhab ini dinamai sesuai dengan nama ulama’ pendirinya yaitu Abu Hanifah, yang mana nama asli beliau adalah Nu’man bin Tsabit ibn Zuthi. An-21Ibid, hal.395

22 Hudhari Bik , Op.cit, hal. 339-341

(13)

Nu’man adalah gelar yang diberikan kepada beliau yang berarti darah atau spirit,

sedangkan Hanifah adalah gelar yang berarti ahli ibadah. Secara politik Imam Abu Hanifah hidup dalam dua generasi, beliau lahir pada tahun 80 H/ 702 M di Kufah, Iraq; artinya beliau lahir pada zaman Dinasti Umayyah, tepatnya pada masa kekuasaan ‘Abd Al-Malik bin Marwan, dan beliau meninggal di Baghdad pada tahun 150 H/ 767 M pada masa Dinasti Abbasiyyah.

Ayahnya adalah pedagang sutera asli Persia, yang masuk Islam pada masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin. selain terbiasa menjual pakaian, keluarganya juga memiliki pemahaman yang baik terhadap agama sejak ayahnya, Tsabit bertemu dengan Ali bin Abi Thalib dan mendoakan keberkahan kepada keluarganya. Imam Abu Hanifah juga menghafalkan Al-Qur’an seperti halnya kebanyakan orang-orang yang taat beragama pada zaman tersebut, dan setelah hafal Al-Qur’an beliau menghafal As-Sunnah untuk memperbaiki agamanya.24

Beliau hidup selama 52 tahun pada zaman Umayyah dan 18 tahun pada zaman Abbasiyyah. Akan tetapi, sikap politik beliau berpihak pada alul bait keluarga Ali yang selalu dianiaya dan selalu ditindas oleh Bani Umayyah. Ketika Yazid bin ‘Umar bin Hubairah (Zaman Dinasti Umayyah) menjadi gubernur Iraq, Abu Hanifah diminta menjadi hakim di pengadilan, tetapi ia menolaknya. Akibatnya beliau ditangkap dan dipenjarakan, bahkan dicambuk. Namun atas pertolongan ahli cambuk, ia berhasil meloloskan diri dari penjara dan pindah ke Makkah. Ia tinggal disana selama 6 tahun (130-136 H). Setelah pemerintahan Umayyah berakhir, ia kembali ke Kuffah dan menyambut kekuasaan Abbasiyyah dengan rasa gembira.

Tidak berbeda dengan pemerintahan Bani Umayyah, Bani Abbas juga melakukan kekerasan kepada Alul bait. Abu Hanifah tampil mengkritik Bani Abbasiyyah, serta para hakim dan mufti pemerintah. Ketika diminta oleh Al-Manshur untuk menjadi hakim dipengadilan, Abu Hanifah menolaknya. Akhirnya beliau dipenjara dan dicambuk. Ia meninggal pada tahun 150 H akibat penderitaannya dalam tahanan.25

b. Pendidikan Imam Abu Hanifah

Ketika beliau sudah mulai mengenal cara mengatur hidup dengan mulai berdagang dan mencari nafkah untuk keluarga, beliau tidak punya banyak kesempatan untuk menemui para ulama, kecuali ketika libur. Beliau biasa berdiskusi 24 Dr. Rasyad Hasan Khalil, Op.cit. hal. 172-173; Abu Ameenah Bilal Philips, Ph.d,

Op.cit.hal. 87-88

(14)

dengan orang lain serta berkawan dengan para petani lebah, dengan pergaulan tersebut, mereka berhasil memberi kemampuan orasi yang baik dan fitrah yang suci kepada Imam Abu Hanifah. Pekerjaan sebagai pedagang berhasil menenamkan dua sifat baik bagi beliau, yaitu jauh dari para penguasa dan tidak berminat dengan jabatan.

Keadaan ini terus berlangsung hingga Imam Abu Hanifah mampu menarik simpati dan rasa kagum para ulama atas motivasi dalam belajar dan menambah wawasan, sehingga para ulama’ tersebut menasihati beliau untuk fokus menuntut ilmu dan meninggalkan pekerjaan dagangnya.

Imam Abu Hanifah sangat bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu, beliau mengawali studinya di bidang filsafat dan dialektika atau yang dikenal dengan ilmu kalam. Namun setelah menguasai beragam kedisiplinan ilmu tersebut, beliau beralih dan mulai mendalami fiqih dan hadits.26

c. Guru-guru Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah hidup dalam lingkungan yang berbeda-beda, mengenal seluk beluk dan wawasan mereka, kemudian beliau berguru dengan beberapa ulama yang terkemuka pada zamannya, diantaranya yaitu; Hammad bin Sulaiman yang merupakan guru paling senior bagi Imam Abu Hanifah dan banyak memberikan pengaruh dalam membangun madzhab fiqihnya. Hammad bin Sulaiman belajar fiqih dari Ibrahim Nakha’i sedangkan Imam Nakha’i belajar dari Alqamah An-Nakha’i yang pernah belajar dengan Abdullah bin Mas’ud, yang merupakan seorang sahabat terkemuka yang dikenal memeliki ilmu fiqih dan logika yang mumpuni.

Imam Abu Hanifah juga belajar hadits dari beberapa tabi’in seperti ‘Atha’ bin Abi Rabah, dan Nafi’ pembantunya Ibnu Umar. Beliau juga meriwayatkan dari beberapa orang seperti Zaid bin Ali bin Zainal Abidin, Ja’far Ash-Shadiq, dan Abdullah bin Hasan. Disamping itu, beliau juga belajar fiqih selama dalam perjalanan haji dengan beberapa ulama, terutama fuqaha’ Makkah, termasuk ketika beliau mukim disana selama enam tahun setelah beliau hijrah ke Makkah pada tahun 130 H.27

d. Metodologi Pengajaran Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah mendasarkan metode pengajarannya pada prinsip syuro

(Musyawarah). Beliau menyodorkan beberapa persoalan hukum pada murid-muridnya 26 Dr. Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, terj. Dr. Nadirsyah Hawari, M.A, cet.2, (Jakarta:

Amzah, 2011), hal. 172-173; Abu Ameenah Bilal Philips, Op.cit. hal. 87

(15)

untuk dibahas dan didiskusikan. Masing-masing orang menyampaikan pendapatnya, terkadang mereka setuju dan terkadang mereka tidak dan sesekali mereka bersuara keras. Apabila mereka telah mencapai kesepakatan pemahaman dalam suatu masalah, barulah Imam Abu Hanifah mendiktekannya kepada para murid, atau ada murid yang menuliskan untuk beliau. Melalui pendekatan yang interatif dalam membuat ketetapan hukum ini, bisa dikatakan bahwa Madzhab Hanafi sebagian besar adalah hasil usaha murid-muridnya dan hasil usahanya sendiri.

Terkadang pula terdapat perbedaan diantara mereka dan tidak menemukan kata sepakat, lalu ditulislah semua pendapat yang ada, dengan cara inilah berdiri Madzhab Imam Abu Hanifah atas dasar musyawarah, tukar pendapat, dan diskusi. Dari sinilah kemudian lahirlah murid-murid Imam Abu Hanifah yang memiliki kemampuan untuk melakukan penelitian dan Ijtihad, meskipun mereka masih dalam tahap belajar dan menuntut ilmu.28

Mereka juga sering mendiskusikan problem hipotesis dan mencarikan solusi-solusinya, dengan mengandaikan sebuah persoalan sebelum persoalan-persoalan itu benar-benar terjadi. Karena mengarah pada fiqih hipotesis, yang sering mengedepankan sebuah persoalan lewat pertanyaan “Bagaimana seandainya hal demikian terjadi?”, mereka akhirnya dikenal sebagai kaum “Bagaimana jika” atau

Ahlul Ra’yu.29

Di masanya, dalam menetapkan hukum islam, beliau dipengaruhi kondisi sosial di Kufah yang kurang tentang perbendaharaan ilmu hadist, disamping itu, kufah sebagai kota yang berada ditengah kebudayaan persia yang masyarakatnya sudah mencapai peradaban yang cukup tinggi. Oleh sebab itu banyak muncul problema

kemasyarakatan yang memerlukan penetapan hukum, serta banyaknya pemalsuan hadist, sehingga menyulitkan Imam Abu Hanifah dalam penetapan hukum, karena hakl tersebut, beliau dalam menetapkan hukum Islam banyak menggunakan ra’yi.30

e. Murid-Murid Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah memiliki banyak murid, ada yang tinggal beberapa waktu untuk belajar dan jika sudah selesai merekapun pulang dengan membawa bekal dari gurunya berupa ilmu dan fiqih. Diantara murid-murid beliau yang ber-mulazamah

(nyantri) dengan sang guru, yang termasyhur adalah:

28Ibid. Hal. 174; Abu Ameenah Bilal Philips, Op.cit. hal. 88 29 Abu Ameenah Bilal Philips, Op.cit. hal. 88

30 Huzaimah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab (Jakarta : Logos Wacana

(16)

1) Abu Yusuf Ya’kub bin Ibrahim Al-Anshori

Beliau adalah sebesar-besarnya murid Abu Hanifah dan penolongnya yang paling utama. Ia juga adalah orang pertama yang menyusun buku-buku menurut madzhab Imam Abu Hanifah dan mendiktekan masalah-masalah serta menyiarkan. Maka akhirnya tersiarlah ilmu Abu Hanifah ke penjuru bumi.

2) Zufar bin Hudzai bin Qais Al-Kufi

Beliau termasuk ahli hadits, kemudian dikalahkan oleh ra’yu. Ia juga merupakan orang yang paling banyak menggunakan qiyas diantara murid-murid Abu Hanifah. Ia tidak mengindahkan kemewahan dunia dan hidupnya selalu disibukkan dengan ilmu dan mengajar sampai meninggalnya pada tahun 157 H. 3) Muhammad bin Hasan bin Farqad Asy-Syaibani.

Diwaktu anak-anak, beliau menuntut ilmu, meriwayatkan hadits, dan belajar dari Abu Hanifah. Setelah Abu Hanifah meninggal, selanjutnya beliau menyempurnakan pembelajaran pada Yusuf. Beliau mempunyai akal yang cerdas, sehingga berkembang sangat pesat dan menjadi tempat kembali ahli ra’yu.

4) Hasan bin Ziyadi Al-Lu’lui Al-Kufi maula Anshar

Beliau termasuk murid Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad. Beliau menulis buku-buku tentang Madzhab Hanafi, tetapi buku-buku dan pendapat-pendapatnya tidak dapat dianggap seperti buku-buku dan pendapat Muhammad. Menurut Ahli Hadits, derajatnya rendah.

Dari ke-empat murid Imam Hanafi, yang paling banyak jasanya dalam meriwayatkan hadits adalah Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani. Mereka berdualah yang pertama kali menulis fiqih Madzhab Imam Hanifah.31

Karena fiqih imam ini mempunyai kedudukan tersendiri dalam madzhab, maka para ulama Hanafiyah ketika menukilkan pendapat Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya. Mereka memberi gelar ‘Syaikhani’ kepada Imam Abu Hanifah dan Abu Yusuf jika keduanya sepakat, sementara Imam Muhammad Asy-Syaibani menentang. Sedangkan jika yang sepakat adalah Abu Yusuf dan Muhammad, tanpa Abu Hanifah, mereka menamakannya sebagai ‘pendapat dua sahabat’. Adapun jika hanya dari salah satunya, maka pendapat tersebut dinisbahkan langsung pada namanya. Sedangkan Zufar selalu disebut dengan namanya.

31 Hudhari Bik, Tarikh Al-Tasyri’ Al-Islami, terj. Drs. Mohammad Zuhri, (Semarang: Darul

(17)

Para murid Imam Abu Hanifah ini juga mempunyai murid yang menukil pendapat Hanafi dengan membuat penjelasan, komentar, dan meringkas kitab-kitab generasi awal madzhab ini. bahkan diantara mereka yang berhasil menggali hukum-hukum baru yang belum pernah dikemukakan oleh guru-guru mereka.32

f. Dasar Madzhab Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah memiliki cara tersendiri dalam men-istinbath hukum yang tidak ada sebelumnya. Beliau pernah berkata, “Saya mengambil dari kitab Allah, jika tidak ada maka dari sunnah Rasulullah, dan jika tidak ada pada keduanya, saya akan mengambil pendapat sahabat. Saya memilih salah satu dan meninggalkan yang lain, dan saya tidak akan keluar dari pendapat mereka dan mengambil pendapat orang lain, dan jika sudah sampai kepada pendapat Ibrahim, Asy-Syatibi, Al-Hasan, Ibnu Sirin dan Sa’ad bin Al-Musayyab, maka saya akan berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.

Dari penjelasan tersebut, dapat kita simpulkan bahwa dasar Imam Abu Hanifah dalam meng-istinbath hukum adalah:

1) Al-Qur’an

Merupakan sumber utama syari’at Islam, dan kepadanya dikembalikan semua hukum, dan tidak ada satu sumber hukum pun, kecuali dikembalikan kepadanya. 2) Sunnah

Sebagai penjelas kandungan Al-Qur’an, menjelaskan yang global dan alat dakwah bagi Rasulullah dalam menyampaikan risalah Tuhannya. Maka barangsiapa tidak mengamalkan sunnah, sama artinya tidak mengakui risalah Tuhannya.

3) Ijma’ Sahabat

Alasan penggunaannya; karena mereka hidup satu zaman dengan Rasulullah, lebih memahami sebab turunnya ayat, kesesuaian setiap ayat dan hadits, dan merekalah yang membawa ilmu Rasulullah kepada umatnya.

4) Qiyas

Beliau menggunakan qiyas ketika tidak ada nash Al-Qur’an, sunnah, atau ucapan sahabat, beliau menggali illat permasalahan yang tidak terdapat dasar hukumnya, untuk di sama kan dengan dengan permasalahan yang sudah ada dasar hukumnya. Jika menemukannya, ia mengujinya terlebih dahulu, lalu menetapkan

(18)

dan menjawab masalah yang terjadi dengan menerapkan illat yang ditemukannya.33

5) Al-Istihsan

Secara sederhana yaitu, suatu bukti yang lebih disukai daripada bukti lainnya, karena ia tampak lebih sesuai dengan situasimya, walaupun bukti yang digunakan ini bisa jadi secara teknis lebih lemah daripada bukti lain yang digunakan tersebut. Ini bisa menyangkut preferensi atau pemilihan sebuah hadits yang lebih spesifik diatas hadits yang bersifat umum. Atau bisa juga menyangkut preferensi hukum yang lebih tepat diatas hukum yang dirumuskan dengan qiyas.

6) Ijma’

Beliau mengakui ijma’ para ulama disemua periode sebagai hal yang valid dan mengikat umat Islam.34

7) Al-‘Urf

yaitu perbuatan yang sudah menjadi kebiasaan kaum Muslim yang tidak ada

nash-nya baik didalam Al-Qur’an, Sunnah, maupun lainnya. Akan tetapi kebiasaan tersebut berupa adat yang baik, serta tidak bertentangan dengan nash

sehingga dapat dijadikan hujjah.35

g. Peta Penyebaran Madzhab Hanafi

Madzhab Hanafi dapat tersebar luas di Negeri Islam bagian Timur pada abad-abad pertengahan berkat kekuasaan Imam Abu Yusuf sebagai hakim agung di Baghdad dan sebagai akibat pengutamaan khalifah-khalifah Abbasiyyah terhadap madzhab Hanafiah dalam lapangan pengadilan. Untuk negeri-negeri Maghribi, madzhab tersebut dipakai sampai hampir tahun 400 H, sehingga dapat menguasai kepulauan Sisilia.36

Selanjutnya, Madzhab Hanafi tersebar dibanyak negeri, bahkan menjadi Madzhab resmi di Negara Iraq, terutama disekitar Sungai Eufrat, walaupun tidak begitu dominan dalam hal ibadah. Madzhab Hanafi mulai tersebar di Kufah, kemudian ke Baghdad, Mesir, Syam, Persia, Romawi, Yaman, India, Cina, Bukhara, Kaukasus, Afghanistan, dan Turkistan.

33Ibid, hal. 176

34 Abu Ameenah Bilal Philips, Op.cit. hal. 90-91 35 Dr. Rasyad Hasan Khalil,Op.cit. hal. 177

36 Ahmad Hanaf, MA, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang,

(19)

Hingga saat ini sebagian besar Madzhab Hanafi tersebar didaerah India, Afganistan, Pakistan, Iraq, Syiria, Turki, Guyana, Trinidad, Suriname, dan juga sebagian diantaranya berada didaerah Mesir. Madzhab ini juga masih terus menjadi referensi dalam mengeluarkan fatwa oleh negara-negara yang pernah tunduk dibawah pemerintahan Turki Usmani hingga sekarang.37

2. Madzhab Maliki

a. Pendiri: Imam Malik (93-179 H / 717-801 M)

Madzhab ini didirikan oleh Imam Malik bin Anas bin ‘Amir Al-Ashbahi, lahir di Madinah pada tahun 93 H/ 717 M dari kedua orang tua keturunan Arab. Ayahnya berasal dari Kabilah Dzi Ashbah yang ada di Yaman, dan Ibunya bernama Aliyah binti Syuraik dari Kabilah Azdi.

Kakek Imam Malik adalah seorang pembesar tabi’in, banyak meriwayatkan hadits dari sahabat, seperti Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Thalhah bin ‘Ubaidllah, dan ‘Aisyah. Imam Malik tidak pernah meninggalkan kota Madinah, kecuali untuk menunaikan ibadah haji. Ia membatasi dirinyadengan hanya mendalami pengetahuan yang terdapat di Madinah.38

Tidak berbeda dengan Imam Abu Hanifah, beliau juga termasuk ulama dua zaman. Ia lahir pada zaman Umayyah, tepatnya pada zaman pemerintahan Al-Walid bin ‘Abd Al-Malik, dan meninggal pada zaman Bani Abbasiyyah, tepatnya pada zaman Harun Ar-Rasyid. Beliau sempat merasakan masa pemerintahan Bani Umayyah selama 40 tahun dan Bani Abbasiyyah selama 46 tahun.

Imam Malik menyaksikan berbagai pemberontakan rakyat dan kezaliman pemerintah pada waktu itu. Beliau tidak memihak kepada pemberontak maupun pemerintah. Tidak memihak kepada pemberontak karena menurut beliau, keadaan tidak dapat diperbaiki dengan pemberontakan, dan beliau tidak berpihak kepada pemerintah karena beliau telah menyaksikan pemerintah sering melakukan penindasan terhadap lawan politiknya, seperti terhadap keturunan ‘Ali bin Abi Thalib pada zaman Dinasti Umayyah.39

Pada tahun 764 M Imam Malik ditangkap dan dianiaya atas perintah Amir

Madinah, karena mengeluarkan ketetapan hukum bahwa perceraian yang dipaksa adalah tidak sah. Ketetapan ini dianggap bertentangan dengan praktik para penguasa

37 Dr. Rasyad Hasan Khalil, Loc.cit. hal. 177

(20)

Abbasiyyah. Imam Malik diikat dan dipukul sampai bahunya rusak, hingga beliau tidak mampu berpegangan pada dadanya (bersedekap) ketika sholat.

Imam Malik melanjutkan mengajar haits di Madinah selama lebih dari 40 tahunsambil menyusun buku yang memuat hadits-hadits Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi’in yang beliau namai dengan Al-Muwatha’. Beliau mulai mengumpulkan hadits-hadits tersebut atas perintah dari Khalifah Abbasiyyah, Abu Ja’far Al-Mansur yang menginginkan sebuah kitab undang-undang hukum yang komprehensif yang didasarkan pada Sunnah Nabi, yang bisa diterapkan secara seragam diseluruh wilayah pemerintahannya. Akan tetapi dalam pelaksanaanya, Imam Malik menolak memaksakannya kepada umat, dengan alasan bahwasannya para sahabat telah menyebar diberbagai wilayah pemerintahan dan memiliki sebagian Sunnah Nabi lainnya yang juga dianggap sebagai hukum yang bisa berlaku diseluruh wilayah kerajaan. Khalifah Harun Ar-Rasyid juga melakukan permintaan yang sama, akan tetapi beliau juga menolaknya. Imam Malik meninggal dikota tempat dimana beliau dilahirkan pada tahun 801 M/179 H dalam usia 83 tahun.40

b. Pendidikan Imam Malik

Imam Malik sudah menghafal Al-Qur’an dalam usia yang sangat dini, berguru pada Rabi’ah Ar-Ra’yi ketika beliau masih sangat muda. Beliau berpindah dari satu ulama ke ulama yang lain untuk mencari ilmu, sampai beliau bertemu dan

ber-mizalamah dengan Abdurrahman bin Hurmuz.

Imam Malik sangat rajin dan tekun dalam mencari ilmu apapun, meskipun beliau bukan termasuk orang yang kaya. Akan tetapi semua yang dimilikinya digunakan untuk mencari ilmu, sampai beliau menjual atap rumahnya sebagai bekal untuk mencari ilmu. Beliau sangat penyabar terhadap sikap keras dari para urunya, mendatangi mereka disaat teriknya matahari dan sejuknya udara.

Beliau mengawali pembelajarannya dengan menekuni ilmu riwayat hadits, mempelajari fatwa para sahabat, dan dengan inilah beliau membangun madzhabnya.tidak sebatas itu, beliau juga mengkaji setiap ilmu yang ada hubungannya dengan ilmu syari’at.41

c. Guru-Guru Imam Maliki

Imam Malik mendapatkan ilm fiqih dan hadits dari para gurunya, diantara guru-guru beliau yang masyhur adalah;

(21)

Abdurrahman bin Hurmuz, beliau adalah seorang tabi’in yang ahli dalam hal

qira’at dan ahli hadits, beliau meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, Abu Sa’id Al-Khudhri, dan Mu’awiyyah bin Abi Sufyan. Imam Malik tinggal bersama Abdurrahman bin Hurmuz dalam waktu yang lama dan tidak bergaul dengan orang-orang lain.

Selain itu, beliau juga belajar hadits pada Nafi’ maula Ibnu ‘Umar, Ibnu Syihab Az-Zuhri, dan Abu Zanad bin Dzakwan. Adapun guru beliau dalam bidang fiqih adalah Yahya bin Sa’id, darinya beliau belajar ilmu fiqih dan periwayatan, serta beliau juga belajar kepada Abdullah bin Abdurrahman dalam bidang fiqih logika yang sangat ternama, sehingga beliau dijuluki ‘Rabi’ah logika’.

Perlu kita ketahui, bahwa semua guru Imam Malik telah merepresentasikan semua disiplin ilmu; fiqih logika, hadits, dan ucapan sahabat. Imam Malik berguru dari mereka semua, sehingga ia menjadi ahli fiqih dan hadits, bisa berfatwa, dan melayani semua permasalahan.42

d. Metode Pengajaran Imam Maliki

Imam Maliki memiliki dua majelis taklim yaitu; majelis hadits dan majelis fatwa. Beliau membuat jadwal khusus untuk fatwa dan hadits. Adapun metode pengajaran yang dilakukan Imam Malik didasarkan pada ungkapan hadits dan pembahasan atas makna-maknanya, kemudian dikaitkan dengan konteks permasalahan yang ada pada saat itu.

Beliau juga meriwayatkan kepada murid-muridnya berbagai hadits dan atsar

atas dasar berbagai topik hukum Islam dan kemudian mendiskusikan implikasi-implikasinya. Kadangkala beliau meneliti masalah-masalah yang sedang terjadi ditempat para murid-muridnya berasal, kemudian mencarikan hadits-hadits atau atsar

-atsar yang bisa digunakan untuk memecahkan masalah tersebut.

Imam Malik sangat berhati-hati dalam memberi fatwa, beliau tidak mau menjawab pertanyaan yang beliau tidak tahu jawabannya. Jika beliau tidak dapat memastikan hukum suatu masalah, beliau akan mengatakan tidak tahu, agar terlepas dari salah fatwa, tidak tergesa-gesa dalam menjawab, dan berkata kepada si penanya “Pergilah nanti saya lihat dahuli !”. Dalam memberikan fatwa, beliau hanya akan menjawab masalah yang sudah terjadi, dan tidak melayani masalah yang belum terjadi, meskipun ada kemungkinan untuk terjadi. Imam Malik tidak pernah menganggap remeh atau susah masalah yang ditanyakan kepada beliau, akan tetapi

(22)

semua dianggap berat, terlebih jika permaslahan tersebut menyangkut halal dan haram.

Setelah penyusunan Al-Muwattha’ selesai, Imam Malik menjelaskan kitab tersebut kepada murid-muridnya sebagai madzhabnya, namun ia akan selalu menambahkan didalamnya ketika ada informasi beru yang sampai kepadanya. Imam Malik sangat menghindari spekulasi dan fiqih hipotesis, sehingga madzhabnya dan para pengikutnya dikenal sebagai Ahlul Hadits.43

Tiga hal yang menyebabkan Madzhab Maliki berbeda dengan Madzhab Hanafi; Pertama, banyak pendapat-pendapatnya oleh Imam Malik sendiri di Kota kelahirannya dengan disertai alasan-alasannya dan dengan demikian maka kita bisa melihat dengan jelas dasar-dasar madzhab beliau, sebagaimana dapat kita lihat dari kitabnya muwattha’.

Kedua, madzhab Maliki merupakan hasil karya penelitiannya, sumbangan dari para muridnya hanya mengenai pendapat-pendapat yang tidak keluar dari dasar-dasar yang ditetapkan Imam Malik, dan oleh karena itu, murid-murid Imam Malik termasuk dalam tingkatan mujtahid madzhab. Lain halnya dengan Madzhab Hanafi yang merupakan hasil penelitian bersama dan pendapat-pendapat berbagai fuqaha’ telah telah ikut serta membina madzhab tersebut, oleh karenanya mereka termasuk dalam tingkatan mujtahid mutlak.

Ketiga, Madzhab Maliki banyak sekali menerima ijma’ sahabat dan tabi’in

sebagai salah satu dasar dalam penetapan hukum, sedangkan Madzhab Hanafi tidak terdapat hal demikian.44

e. Murid-Murid Imam Malik

Lamanya beliau tinggal di Madinah dan ketokohannya dalam bidang fiqih telah memberi andil besar bagi tersebarnya madzhab beliau dan banyaknya murid yang datang untuk belajar dari segala penjuru negeri Islam, diantaranya dari; Syam, Iraq, Mesir, Afrika Utara, dan Andalusia. Dari merekalah madzhab beliau kemudian menyebar keseluruh negeri Islam.

Diantara muridnya yang masyhur adalah; Abdullah bin Wahab yang berguru kepada Imam Malik selama 20 tahun dan menyebarkan Madzhab Maliki di Mesir dan Maroko. Imam Malik sangat menghormati dan mengagumi beliau dan sering menulis

(23)

surat kepadanya ke Mesir dan menjulikinya sebagai faqih Mesir, wafat pada tahun 197 Hijriyah.

Diantara muridnya yang lain adalah Abdurrahman bin Al-Qasim Al-Mishry, memiliki peranan penting dalam menulis Madzhab Imam Malik, berguru kepada Imam Malik selama kurang lebih juga 20 tahun. Meriwayatkan kitab Al-Muwattaha’

dan periwayatannya termasuk yang paling shohih. Wafat pada tahun 192 H.

Selain keduanya yang masyhur adalah; Asyhab bin ‘Abdul ‘AzizmAl-Qaisi, rujukan kaum Muslimin di Mesir dan Tunisia dalam bidang fiqih. Wafat pada tahun 224 H. Selain itu ada juga Abu Hasan Al-Qurthubiy, belajar kitab Al-Muwattha’

secara langsung kapada Imam Malik dan menyebarkannya di Andalusia. Selain murid-murid yang disebutkan tersebut, masih banyak lagi murid-murid beliau yang berasal dari berbagai penjuru negara.45

f. Dasar Madzhab Imam Malik

Imam Malik tidak pernah menuliskan dasar dan kaidah madzhabnya dalam ber-istinbath serta manhaj-nya dalam ber-ijtihad walaupun beliau pernah mengatakan atau meng-isyaratkannya. Berdasarkan penjelasan dan isyarat Imam Malik serta hasil

istinbath para fuqaha’ madzhab dari berbagai masalah furu’iyyah yang dinukilkan dan juga pendapat yang ada dalam kitab Al-Muwattha’ dapat kami simpulkan bahwa dasar madzhab Imam Malik adalah sebagai berikut:

1) Al-Qur’an

Sebagaimana imam-imam yang lainnya, Imam Malik menempatkan Al-Qur’an sebagai sumber hukum paling utama dan memanfaatkannya tanpa memberikan persyaratan apapun dalam penerapannya.

2) Sunnah

Imam Malik dalam meng-istinbatkan hukum dari sunnah adalah mengambil hadits mutawattir, hadits masyhur di zaman tabi’in atau tabi’ tabi’in, sedangkan mengenai hadits ahad, beliau lebih mengutamakan perbuatan penduduk Madinah atas hadits adah jika terjadi perlawanan diantara keduanya.

3) Amalan Penduduk Madinah

Imam Malik berpandangan bahwa, karena sebagian besar Masyarakat Madinah merupakan keturunan langsung para sahabat dan Madinah sendiri menjafi tempat Rasulullah SAW menghabiskan 10 tahun terakhir hidupnnya, maka praktik yang dilakukan semua Masyarakat Madinah pasti diperbolehkan, atau justru malah di

(24)

anjurkan oleh Rasulullah SAW. Oleh karenanya Imam Malik menganggap praktik umum Masyarakat Madinah sebagai bentuk sunnah yang otentik, yang diriwayatkan dalam bentuk tindakan, bukan kata-kata, dengan demikian maka perbuatan penduduk Madinah lebih kuat dari pada hadits ahad.

4) Ijma’ Sahabat

Seperti halnya Imam Abu Hanifah, Imam Malik memandang ijma’ sahabat, dan juga ijma’ para ulama sebagai sumber hukum Islam yang ketiga jika memang tidak ada nash dalam suatu permasalahan.

5) Qiyas

Imam Malik sebagaimana Imam Hanafi, juga menggunakan qiyas dengan makna istilah dalam menggali hukum, yaitu menggabungkan hukum satu masalahyang tidak ada nash-nya dengan masalah yang sudah ada nash-nyakarena ada persamaan dalam aspek illat-nya. Namun demikian, beliau sangat berhati-hati dalam melakukannya karena adanya subyektifitas dalam bentuk penalaran seperti itu.

6) Istihsan dan Al-Mashalih Al-Mursalah (Istislah)

Prinsip istihsan yang dikembangkan oleh Imam Abu Hanifah juga diterapkan oleh Imam Malik dan murid-muridnya. Hanya saja mereka menyebutnya istislah, istislah, yang secara sederhana berarti mencari sesuatu yang lebih sesuai (maslahat). Istihsanberkaitan dengan hal-hal yang bertujuan untuk kemaslahatan manusia, tetapi tidak disebutkan oleh syari’ah secara khusus.

Imam Malik juga menerapkan prinsip istislah untuk merumuskan hukum-hukum, guna menyesuaikan dengan kebutuhan yang muncul dalam situasi aktual daripada yang dirumuskan dengan qiyas.

7) Syadd Adz-Dzara’i

Dasar ini dapat dilihat dalam banyak masalah furu’iyyah yang dinukil dari Imam Malik. Maksud dari saddu dzara’i adalah sesuatu yang mengakibatkan perbuatan haram adalah haram, dan yang dapat membawa kepada yang halal maka hukumnya halal sesuai dengan ukurannya. Dan setiap yang dapat membawa kerusakan maka haram hukumnya.

8) Al-‘Urf

(25)

wilayah Islam sebagai sumber hukum skunder, sepanjang hal itu tidak berlawanan dengan syari’ah.46

g. Peta Penyebaran Madzhab Maliki

Perkembangan Madzhab Maliki tidak dapat lepas dari jasa para murid yang telah meriwayatkan dan menyebarkan madzhabnya setelah beliau wafat. Mereka berhasil memperluas pembahasan, manhaj, dan perinciannya.

Madzhab Imam Maliki tersebar di negeri Hijaz, karena disitulah ia lahir dan berkembang. Selain itu juga tersebar di Mesir ketika sang imam masih hidup, di Tunisia, Al-Jazair dan Maroko, Torablus dan Sudan, dan dominan di Bashrah dan Baghdad dari waktu ke waktu.

Saat ini pengikut-pengikut Madzhab Maliki banyak tersebar di daerah Mesir, Sudan, Afrika Utara (Tunisia, Aljazair, dan Maroko), Afrika Barat (Mali, Nigeria, Chad, dll), dan negara-negara Arab (Kuwait, Qatar, dan Bahrain).

Salah satu faktor utama bagi tersebarnya Madzhab Maliki di negara-negara Islam adalah Kitab Al-Muwattha’. Hasil karya sang imam tersebut telah membuat madzhabnya terkenal sejauh negeri Islam membentang, terlebih ia ditulis pada zaman yang tidak mudah untu melakukan itu, mengingat sulitnya sarana pendukung ketika itu.47

3. Mazhab Syafi’i

a. Pendiri : Imam Syafi’i (150 H/ 769 M – 204 H/ 820M)

Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Usman bin Syafi’i Al-Hasimi Al-Muthalabi dari keturunan Bani Muthalib bin Abdul Manaf. Beliau dan Rasulullah SAW bertemu pada kakeknya Abdul Manaf. Beliau dilahirkan di kota Ghaza wilayah Negara Syiria pada tahun 150 Hijriah / 769 Masehi.48 Beliau wafat di Mesir pada tahun 204 Hijriah pada masa pemerintahan Khalfah Al-Ma’mun (berkuasa, 813-832 M).

b. Pendidikan Imam Syafi’i

Menginjak masa remaja ia kemudia berangkat ke Madinah untuk belajar Ilmu Fiqh dan Hadis kepada Imam Malik. Imam Syafi’i sanggup menghapal keselurahan isi karya Imam Malik, Al-Muwattha’, dan melisankannya lagi dengan sempurna.

46 Dr. Rasyad Hasan Khalil, Ibid, hal. 182-183; Abu Ameenah Bilal Philips, Ibid. hal. 96-99 47Ibid, Dr. Rasyad Hasan Khalil, hal 184; Abu Ameenah Bilal Philips, hal. 100-101

48Muhammad Ali As-Sayis, Sejarah Fiqh Islam, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur: 2003,

(26)

Imam Syafi’i terus belajar dibawah bimbingan Imam Malik hingga gurunya tersebut wafat pada tahun 801 Masehi. Kemudian ia berangkat ke Yaman dan mengajar disana. Imam Syafi’i terus berdiam di Yaman sampai kemudian, pada tahun 805 Masehi, ia dituduh condong kepada sekte Syiah dan dibawa kepada khalifah Abbasiyah, Harun Al-Rasyid, (berkuasa pada tahun 786-809 M) di Iraq, sebagai seorang terpidana. Untungnya ia mampu membuktikan kebenaran pendapat-pendapatnya sehingga ia terbebas dari hukuman. Imam Syafi’i tetap tinggal di Iraq dan belajar sebentar kepada Imam Muhammad bin Hasan, salah seorang murid terkemuka Imam Abu Hanifah. Berikutnya Ima Syafi’i berangkat Mesir dengan tujuan hendak belajar kepada Imam al-Laits, tetapi sebelum ia sampai di mesir, Imam al-Laits wafat. Meski demikian ia tetap bisa mendalami Mazhab Laitsi lewat para muridnya.49

c. Metodologi Pengajaran Imam Syafi’i

Imam Syafi’i mengkombinasikan Fiqh Hijaz (Mazhab Maliki) dengan Fiqh Iraq (Mazhab Hanafi) dan menciptakan Mazhab baru yang ia diktekan kepada murid-muridnya dalam bentuk buku yang dinamakan Al-Hujjah (bukti). Pendiktean ini berlangsung di Iraq pada tahun 810 Masehi dan sejumlah murid-muridnya menghafalkannya dan menyampaikannya pada orang lain. Buku dan keulamaan ini disebut sebagai Mazhab Qadim untuk membedakannya dengan periode keulamaannya yang kedua yang berlangsung setelah Imam Syafi’i tinggal di Mesir. Di Mesir ia menyerap Fiqh dari Imam Al-Laits bin Sa’d dan mendiktekan Mazhab Jadid kepada murid-muridnya dalam bukunya yang lain, Al-Umm. Karena penjelajahannya yang benar-benar atas serangkaian hadits dan dalil-dalil hukum, dalam Mazhab Jadid, Imam Syafi’i banyak merivisi pendapat-pendapat hukumnya yang ia tetapkan saat berada di Iraq. Imam Syafi’i memiliki perbedaan dengan periode keulamaannya yang pertama dalam mensistematisasikan prinsip-prinsip dasar Fiqh yang ia tulis dalam bukunya yang berjudul Ar-Risalah. 50

d. Murid-murid Imam Syafi’i

Murid-murid utama Imam Syafi’i yang meneruskan pemikiran-pemikirannya adalah: Imam Muzani, Imam Rabi’ dan Imam Yusuf bin Yahya.

1) Imam Muzani (791-876 M)

49Abu Ameenah Bilal Philips, Op.cit. hal. 109.

(27)

Nama lengkap Imam Muzani adalah Ismail bin Yahya Al-Muzani. Ia merupakan pengikut setia Imam Syafi’i selama beliau tinggal di Mesir. Imam Muzani tercatat sebagai penulis buku yang mengumpulkan secara komprehensif mengenai fiqh Imam Syafi’i. Berikutnya, ulasan tersebut terkumpul dan dibukukan dengan judul fiqh Mazhab Syafi’i yang paling banyak dikaji.

2) Imam Rabi’ Al-Maradi (790-873 M)

Imam Rabi’ tercata sebagai narator utama buku Imam Syafi’i, yaitu Al-Umm. Imam Rabi’ menulisnya di sepanjang masa hidup Imam Syafi’i bersama-sama dengan buku Ar-Risalah dan buku-buku lainnya.

3) Yusuf bin Yahya al-Buwaiti

Yusuf bin Yahya menggantikan posisi Imam Syafi’i sebagai guru utama Mazhab Syafi’i. Ia dipenjara dan disiksa hingga wafat di Baghdad karena menolak pandangan resmi Filsafat Mu’tazilah perihal kemakhlukan Al-Qur’an.51 e. Dasar Mazhab Imam Syafi’i

1) Al-Qur’an

Imam Syafi’i bersandar pada Al-Qur’an seketat para Imam sebelumnya yang hanya menambah pandangan-pandangan baru di dalamnya setelah melalui pengkajian yang mendalam terhadap makna ayat-ayatnya.

2) Sunnah

Imam Syafi’i hanya bersandar pada satu syarat dalam menerima sebuah hadis, yaitu hadis tersebut harus shahih. Ia menolak semua persyaratan lainnya sebagaimana diterapkan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Imam Syafi’i tercatat memiliki sumbangan yang besar sekali dalam bidang ilmu kritik hadis.

3) Ijma’

Meskipun Imam Syafi’i memiliki keragu-raguan yang serius mengenai kemungkinan Ijma’ dalam sejumlah kasus, ia mengakui bahwa dalam beberapa kasus dimana Ijma’ tidak terelakkan, ia harus dianggap sebagai sumber pokok hukum Islam urutan ketiga.

4) Pendapat individual sahabat

Imam Syafi’i menaruh kepercayaan atas pendapat individual sahabat dengan catatan pendapat tersebut antara satu dengan yang lainnya tidak bervariasi. Jika ada pertentangan pendapat di dalamnya, sebagaimana Imam Abu Hanifah, ia

(28)

akan memilih pendapat yang paling dengan sumbernya dan mengabaikan yang lainnya.

5) Qiyas

Dalam pandngan Imam Syafi’i, Qiyas merupakan metode yang sah dalam merumuskan hukum lebih lanjut dari sumber-sumber hukum sebelumnya. Meski demikian, ia menempatkan pada posisi terakhir, dengan memandang pendapat pribadinya berada di bawah dalil-dalil yang didasarkan atas pendapat para sahabat.

6) Istishab

Istishab secara literal berarti mencari suatu keterkaitan, tetapi secara hukum, istishab merujuk pada proses permusuhan hukum-hukum Fiqh dengan mengaitkan serangkaian keadaan-keadaan berikutnya dengan keadaan sebelumnya. Istishab didasarkan atas asumsi bahwa hukum Fiqh bisa diaplikasikan pada kondisi-kondisi tertentu yang tetap sah sepanjang persyaratannya tidak berubah.52

f. Peta Penyebaran Mazhab Imam Syafi’i

Mayoritas pengikut Mazhab Syafi’i saat ini terdapat di Mesir, Arab bagian selatan (Yaman, Hadramaut), Srilangka, Indonesia, Malaysia, Afrika bagian timur (Kenya, Tanzania), dan Suriname di Amerika Serikat.

4. Madzhab Hambali

a. Pendiri : Imam Ahmad bin Hambal (164 H / 778 M–241 H / 855 M)

Nama lengkap dari pendiri Madzhab Imam Hambali adalah Ahmad bin Muhammad bin Hambal al-Syabani al-Marzawi. Beliau dihirkan di Marwa pada tahun 164 H/ 778 M dan wafat pada tahun 241 H/ 855 M di Baghdad, Iraq.53Imam Hambali termasuk salah satu diantara Ulama-ulama yang terkenal kuat daya hapalannya dan seorang perawi hadis terkemuka pada masanya. Dengan memusatkan pada studi hadis, Imam Hambali menggeluti ilmu hadits dan fiqh dibawah bimbingan Imam Abu Yusuf, murid termashur Imam Abu Hanifah, juga kepada Imam Syafi’i.

Imam Hambali mengalami serangkaian hukuman dan penganiayaan di bawah para khalifah pada masanya karena pengadopsian mereka terhadap Filsafat Mu’tazilah. Ia dipenjara dan dianiaya selama dua tahun atas perintah Khalifah Al-Ma’mun (berkuasa

52Abu Ameenah Bilal Philips, Op.cit. hal.110

(29)

813-842 M), karena penolakannya terhadap konsep Filosofis Mu’tazilah bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Sesudah dibebaskan, Imam Hambali mengajar di Baghdad sampai Al-Watiq menjadi Khalifah (berkuasa 842-846 M) dan memperbaharui hukumnya.54

b. Pendidikan Imam Hambali

Imam Ahmad mengadakan perjalanan/mengembara ke Kufah, Basrah, Makkah, Madinah, Syiria dan Yaman. Beliau meriwayatkan hadits dari Hasyim. Ibrahin bin Sa’ad, Sufyan bin Uyanah dan dari yang lainnya. Belajar Fiqh pada Imam Syafi’i ketika datang/ada di Baghdad, Ahmad termasuk murid Syaf’i yang tertua yang berkebangsaan Baghdad dimana di kemudian hari ia menjadi mujtahid mustaqil (yang independen). Beliau melebihi dari kawan-kawannya dalam menghafal Sunnah Nabi SAW, memeliharanya dan mengumpulkannya percerai-berainya.

c. Metodologi pengajaran Imam Hambali

Perhatian utama Imam Ahmad bin Hambal adalah pengumpulan, periwayatan, dan interpretasi hadis. Metodi pengajarannya melalui pendiktean hadits-hadits dari koleksi lengkapnya yang dikenal sebagai Al-Musnad, yang memuat lebih dari 30.000 Hadits, dan juga berdasarkan berbagai pendapat dari sahabat berkaitan dengan interpretasi mereka. Berikutnya, Imam Hambali menerapkan hadits-hadits atau fatwa-fatwa para sahabat tersebut terhadap problem yang ada. Jika tidak menemukan hadits-hadits atau pendapat-pendapat dari sahabat yang sesuai untuk memecahkan suatu persoalan, Ima Hambali menawarkan pendapatnya sendiri dengan tetap melarang murid-muridnya untuk mencatat solusi yang ia tawarkan. Sebagai akibatnya, Mazhabnya dicatat, bukan oleh muridnya, tetapi oleh para murid dari murid-muridnya tersebut.55

d. Murid-murid utama Imam Ahmad bin Hambal

Murid-murid utama Imam Hambali adalah dua orang putranya, yaitu Salih (wafat tahun 873 M) dan Abdullah (wafat tahun 903 M). Imam Bukhari dan Muslim, pengimpul hadits yang termasyhur, adalah termasuk diantara para ulama besar hadis yan pernah belajar di bawah bimbingan Imam Hambali.

e. Dasar-dasar Madzhab Imam Hambali 1) Al-Qur’an

(30)

Tidak ada perbedaan cara Imam Hambali memandang Al-Qur’an dengan yang dilakukan oleh para Imam sebelumnya. Dengan kata lain, Al-Qur’an diberi kedudukannya paling tinggi mengatasi semua sumber hukum lainnya untuk semua keadaan.

2) Sunnah

Demikian juga Sunnah Nabi SAW menempati posisi kedua di antara prinsip-prinsip dasar yang digunakan oleh pendiri Mazhab Hambali ini dalam proses pengambilan hukum. Satu-satunya persyaratan adalah bahwa Sunnah atau Hadits yang digunakan harus Marfu’, yakni diatributkan langsung kepada Nabi SAW.

3) Ijma’ Sahabat

Imam Hambali mengakui Ijma’ para sahabat, dan menempatkannya sebagai sumber hukum pada posisi ketiga diantara prinsip-prinsip dasar lainnya. Namun demikian, ia mengesampingkan Ijma’ diluar era para sahabat dan memandangnya sebagai Ijma’ yang tidak akurat, dengan alasan terlalu banyaknya jumlah para ulama dan terpencar-pencarnya mereka di sepanjang imperium Islam. Dalam pandangan Imam Hambali, Ijma’ sesudah berlalunya era sahabat adalah sesuatu yang mustahil.

4) Pendapat Individual Sahabat

Jika sebuah persoalan muncul dalam wilayah di mana para sahabat telah mengungkapkan pendapatnya yang saling bertentangan, sebagaimana Imam Malik, Imam Hambali mempercayai semua pendapat individu para sahabat yang beraneka ragam itu. Oleh karenanya, sebagai konsekuensinya, dalam mazhabnya berkembang banyak hal mengenai ketetapan hukum yang beragam mengenai kasus-kasus individual.

5) Hadits Da’if

Untuk ketetapan hukum atas suatu kasus dimana tidak ada satu pun dari empat prinsip di atas yang bisa menawarkan solusi, Imam Hambali cenderung menggunakan Hadits da’if daripada menggunakan Qiyas. Namun demikian, ini harus dengan syarat Da’if-nya hadits bukan karena adanya fakta bahwa salah satu dari para perawinya adalah orang Fasik atau Kazab.

6) Qiyas

Sebagai jalan terakhir, yaitu ketika sejumlah prinsip-prinsip di atas tidak bisa diterapkan secara langsung, Imam Hambali secara enggan menerapkan prinsip Qiyas dan mengambil solusidengan bersandar pada satu atau lebih prinsip-prinsip sebelumnya.56 f. Peta Penyebaran Mazhab Hambali

(31)

Sebagian besar pengikut Mazhab Hambali tersebar di Palestina dan Saudi Arabia. Tetap eksisnya Mazhab Hambali di Saudi Arabia, sesudah hampir tidak ditemukan lagi di negeri muslim manapun, adalah karena adanya fakta bahwa pendiri yang di namakan Gerakan Revivalis, yaitu Muhammad bin Abdul Wahab, pernah belajar kepada para Ulama yang menganut Mazhab Hambali, dan dengan demikian secara tidak resmi menjadi Mazhab Fiqh dan Gerakan Revivalis tersebut. Ketika Abdul Aziz bin Sa’ud merebut sebagian besar semenanjung Arabia dan mendirikan Dinasti Sa’ud, ia menjadikan Mazhab Hambali sebagai dasar dari sistem hukum kerajaan.57

Referensi

Dokumen terkait