18
Tafsir Al-Qur’an pada Masa Nabi Muhammad SawHingga Masa Kodifikasi
Amri
Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Sultan Qaimuddin Kendari
Abstrak :
Tulisan ini menguraikan pengertian tafsir dan ta’wil serta perkembangan tafsir
sejak masa Nabi Muhammad saw hingga masa kodifikasi. Adapun pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah pendekatan historis dengan content anlysis.Pada masa Nabi Muhammad saw, penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an menjadi otoritas beliau. Namun, beliau hanya menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang dianggapnya penting dan yang ditanyakan oleh
sahabtnya. Oleh karena itu, tafsir dari beliau hanya sedikit. Dan sumber penafsiran beliau adalah ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah.Pada masa sahabat, penafsiran sahabat memiliki empat sumber yaitu: ayat-ayat Al-Qur’an, sunnah
nabi, pendapat sahabat sendiri danisrāilyyah.Sahabat menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan pendapatnya atau dengan isrāilyyah ketika mereka tidak menemukan penjelasannya dari Al-Qur’an atau dari sunnah. Adapun pada
masa tabi`īn, penafsiran tabi`īn memiliki lima sumber yaitu: ayat-ayat
Al-Qur’an, sunnah nabi, pendapat sahabat, pendapat tabi`īn sendiri dan
isrāilyyah.Tabi`īn menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan pendapatnya atau
dengan isrāilyyah ketika mereka tidal menemukan penjelasannya dari Al-Qur;an atau dari sunnah atau dari pendapat sahabat. Akan tetapi, penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an pada masa nabi dan sahabat diketahui dari mulut ke mulut, karena kodifikasi tafsir dilaksanakan pada akhir masa kerajaan umaiyyah, meskipun kodifikasi itu masih dalam bab khusus dalam kitab-kitab Hadis. Sesudah itu barulah perkembangan kodifikasi tafsir dilaksanakan secara terpisah dari kitab-kitab Hadis ke kitab khusus untuk tafsir.
Kata kunci: Tafsir, Qur’an, masa kodifikasi dan masa Nabi Abstract :
This paper outlines the definition of interpretation and exegesis ta'wil and developments since the time of Prophet Muhammad until the codification. The approach used in this paper is a historical approach to content analysis. At the time of the Prophet Muhammad, the interpretation of the verses of the Qur'an into his authority. However, he only interpret the verses of the Qur'an which he considered important and were asked by his friend. Therefore, interpretation of him just a little. And his interpretation is the source of the verses of the Qur'an and Sunnah. At the time companions, companions interpretation has four sources, namely: the verses of the Qur'an, the Sunnah Prophet, his own friends and isrāilyyah opinion. Friends of interpreting the
verses of the Qur'an with his opinion or by isrāilyyah when they did not find
the explanation of the Qur'an or from the sunnah. As during the tabi’in, the
interpretation tabi`in has five sources, namely : the verses of the Qur'an, the Sunnah Prophet, companions opinion, opinions tabi`inand isrāilyyah. Tabi`in
they find an explanation of the Qur'an or from the sunnah or friend 's opinion. However, the interpretation of the verses of the Qur'an during the Prophet and the companions are known by word of mouth, as codified interpretation carried out at the end of the Umayyad empire, though it is still in the codification of a special chapter in the books of Hadith. After that then the development of codifying the interpretation carried out separately from the books of Hadith into a special book for interpretation .
Keywords : the Qur'an, past and future codification Prophet.
ﺚﺤﺒﻟا ﺪﯾﺮﺠﺗ ﻠﺣ ﺔﺑﺎﺘﻜﻟا هﺬھ رﻮﻄﺗو ﻞﯾوﺄﺘﻟا و ﺮﯿﺴﻔﺘﻟا ﻰﻨﻌﻣ ﺖﻠ ﺪﻤﺤﻣ ﻰﺒﻨﻟا ﻦﻣز ﺬﻨﻣ ﺮﯿﺴﻔﺘﻟا ﷲ ﻰﻠﺻ ﻦﯾوﺪﺘﻟا ﻦﻣز ﻰﻟإ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ . نﻮﻤﻀﻤﻟا ﻞﯿﻠﺤﺘﺑ ﻲﺧرﺎﺗ ﻞﺧﺪﻣ ﻮﮭﻓ ﺔﺑﺎﺘﻜﻟا هﺬھ ﻰﻓ ﻞﻤﻌﺘﺴﻤﻟا ﻞﺧﺪﻤﻟا ﺎﻣأ . ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﺪﻤﺤﻣ ﻰﺒﻨﻟا ﻦﻣز ﻰﻓ , ﺖﻧﺎﻛ ﻄﻠﺳ ﮫﻟ ناءﺮﻘﻟا تﺎﯾأ ﺮﯿﺴﻔﺗ ﺔ , ﻦﻜﻟو ﻮھﺎﻤﻧإ ﺮّﺴﻓ تﺎﯾأ و ﺔﻤﮭﻣ ﺎھﺮﺒﺘﻋا ﻰﺘﻟا ناءﺮﻘﻟا ﮫﺑﺎﺤﺻأ ﺎﮭﻟﺄﺳ . ﮫﻨﻣ ﺮﯿﺴﻔﺘﻟا نﺎﻛ ﻚﻟذ ﻞﺟﻷ ﻼﯿﻠﻗ , نﺎﻛو هﺮﯿﺴﻔﺗ رﺪﺼﻣ تﺎﯾأ ﮫﻨﻨﺳو ناءﺮﻘﻟا . ﺔﺑﺎﺤﺼﻟا ﻦﻣز ﻰﻓ , نﺎﻛ ﻔﺗ ﺮﯿﺴ ردﺎﺼﻣ ﺔﻌﺑرأ ﮫﻟ ﺔﺑﺎﺤﺼﻟا : ناءﺮﻘﻟا تﺎﯾأ ﻦﻨﺳو لاﻮﻗأو ﻰﺒﻨﻟا ﻹاو ﺔﺑﺎﺤﺼﻟا تﺎﯿﻠﺋاﺮﺳ . ﻢﮭﻟاﻮﻗﺄﺑ ناءﺮﻘﻟا تﺎﯾأ ﺔﺑﺎﺤﺼﻟا ﺮّﺴﻓ ﺪﻗ ﻦﻣ ﺎﮭﻧﺎﯿﺑ نوﺪﺠﯾ ﻻ ﺎﻤﻨﯿﺣ تﺎﯿﻠﺋاﺮﺳﻹاو ﺔﻨﺴﻟا ﻦﻣ وأ نﺎﺋﺮﻘﻟا ﺘﻟا ﻦﻣز ﻰﻓ ﺎﻣأ ﺎ ﺘﻟا ﺮﯿﺴﻔﺗ نﺎﻜﻓ ﻦﯿﻌﺑ ﺎ ﻦﯿﻌﺑ ردﺎﺼﻣ ﺔﺴﻤﺧ ﮫﻟ : ﺔﺑﺎﺤﺼﻟا لاﻮﻗأو ﻰﺒﻨﻟا ﻦﻨﺳو ناءﺮﻘﻟا تﺎﯾأ تﺎﯿﻠﺋاﺮﺳﻹاو ﻦﯿﻌﺒﺘﻟا لاﻮﻗأو . نﻮﻌﺑﺎﺘﻟا ﺮّﺴﻓ ﺪﻗ تﺎﯾأ ﻢﮭﻟاﻮﻗﺄﺑ ناءﺮﻘﻟا نوﺪﺠﯾ ﻻ ﺎﻤﻨﯿﺣ تﺎﯿﻠﺋاﺮﺳﻹاو ﺔﺑﺎﺤﺼﻟا لاﻮﻗأ ﻦﻣ وأ ﺔﻨﺴﻟا ﻦﻣ وأ ناءﺮﻘﻟا ﻦﻣ ﺎﮭﻧﺎﯿﺑ . ﻦﻜﻟو , نﺎﺴﻟ ﻰﻟإ نﺎﺴﻟ ﻦﻣ كرﺪﯾ ﺔﺑﺎﺤﺼﻟاو ﻰﺒﻨﻟا ﻦﻣز ﻰﻓ ناءﺮﻘﻟا تﺎﯾأ ﺮﯿﺴﻔﺗ نﺎﻛ . ﺮﯿﺴﻔﺘﻟا ﻦﯾوﺪﺗ ّنﻷ لاﺰﯾ ّﻻأ ﻦﻣ ﺎﻤﻏر ﺔﯾﻮﻣﻷا ﺔﻟوﺪﻟا ﺮﺧاوأ ﻰﻓ ىﺮﺠﯾ صﺎﺧ بﺎﺑ ﻰﻓ ﻦﯾوﺪﺘﻟا ﺚﯾﺪﺤﻟا ﺐﺘﻛ ﻰﻓ . نﺎﻛ ﻚﻟذ ﺪﻌﺑو رﻮﻄﺗ ﺮﯿﺴﻔﺘﻠﻟ صﺎﺧ بﺎﺘﻛ ﻰﻟإ ﺚﯾﺪﺤﻟا ﺐﺘﻛ ﻦﻣ ﻼﺼﻔﻨﻣ ىﺮﺠﯾ ﺮﯿﺴﻔﺘﻟا ﻦﯾوﺪﺗ . ﺔﯿﺴﯿﺋر ﺔﻤﻠﻛ : ءﺮﻘﻟا ﺮﯿﺴﻔﺗ نا , ﺮﯿﺴﻔﺘﻟا ﻦﯾوﺪﺗ A. Pendahuluan
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad saw untuk dibaca oleh orang-orang yang beriman, karena dengan membacanya dada mereka menjadi lapang, hati mereka mendapatkan cahaya, dengan membacanya mereka mendapatkan pahala dari Allah swt pada hari kiamat, tidak ada yang menjadikan seseorang dekat kepada Allah swt seperti kalimat-kalimat Al-Qur’an.1
Bukanlah tujuan Al-Qur’an untuk dibaca semata atau diharapkan berkahnya. Akan tetapi, berkahnya yang paling besar adalah terdapat pada memikirkan dan memahami makna dan maksudnya kemudian mengamalkannya dalam urusan-urusan agama dan dunia secara sama.2
Orang yang mengamalkan Al-Qur’an dalam urusan-urusan agamanya dan dunianya, maka Allah swt memberikan kepadanya 1Hasan al-Bannā,Muqaddimāt fī ‘Ilm al-Tafsīr (Kuwait: Maktabat al-Manār, t.th.), h. 4.
2
kehidupan yang ţayyibah dan pahala yang lebih baik, sebagaimana firman Allah swt dalam Q.S. al- Nahl/16:97
Terjemahnya: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.
Orang yang tidak mengamalkan Al-Qur’an dalam urusan-urusan agamanya dan dunianya, maka Allah mengancamnya, sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. Ţāhā/20:124
Terjemahnya: Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.
Al-Qur’an merupakan petunjuk dan berita gembira bagi orang-orang yang beriman, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/2: 97.
Terjemahnya: Katakanlah: "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan yang (kitab-kitab) sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman. Untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk, maka terlebih dahulu harus memahami maksud daripada ayat-ayat Al-Qur’an itu . Oleh karena itu, diperlukan penafsiran terhadap ayat-ayatnya untuk memberikan penjelasan mengenai maksudnya supaya dapat difahami dan diamalkan.
Nabi Muhammad saw sebagai mubayyin (pemberi penjelasan) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, ternyata beliau belum memberi penjelasan semua ayat-ayat Al-Qur’an hingga wafatnya. Tugas pemberi penjelasan selanjutnya terhadap ayat-ayat Al-Qur’an,
dilakukan oleh sahabat-sahabat beliau, lalu diteruskan oleh tabiin, kemudian oleh ulama dari setiap generasi sampai akhir zaman.
B.Pengertian tafsir dan ta’wil
1. Pengertian tafsir dan ta’wil menurut bahasa
Kata tafsir berasal dari bahasa Arab yaitu: ﺮﯿﺴﻔﺗ . Kata ini merupakan isim maşdar yang berasal dari kata ﺮﯿﺴﻔﺗ - ﺮﺴﻔﯾ - ﺮﺴﻓ . Kata ﺮﺴﻓ berakar dari huruf ر - س - ف (fā’, sīn, rā’ ), diartikan dengan ﮫﺣﺎﻀﯾاو ﺊﯿﺸﻟا نﺎﯿﺑ 3 (keterangan sesuatu dan penjelasannya). Jadi, kata ﺮﯿﺴﻔﺗ diartikan dengan penjelasan, keterangan atau
menjelaskan, menerangkan. Dalam Kamus Arab-Indonesia dijelaskan
pula bahwa kataﺮﯿﺴﻔﺗ diartikan dengan penjelasan, keterangan.4 Arti ini sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. al-Furqān/25:32.
Terjemahnya: Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.
Katata’wiljuga berasal dari bahasa Arab yaitu: ﻞﯾوْﺎﺗ . Kata ini merupakan isim maşdar yang berasal dari kata ﻞﯾوْﺎﺗ - لوْﻮﯾ - لوْا . Kata لوْا berakar dari huruf ل - و - ْا (hamzah, dobel wāw, lam) diartikan dengan ءﺎﻨﺑ ﺲﯿﺳْﺎﺗ 5 (pendirian bangunan). Jadi, kata ﻞﯾوْﺎﺗ diartikan dengan pendirian atau mendirikan. Dalam Kamus Arab-Indonesia dijelaskan bahwa kata ﻞﯾوْﺎﺗ diartikan sama dengan kata ﺮﯿﺴﻔﺗ yaitu: penjelasan, keterangan.6 Memang sebagian ulama berpendapat bahwa ta’wil sama maknanya dengan tafsir.7Sebagimana firman Allah dalam Q.S. Yūnus/10:39.
3
Abī al-Husain Ahmad bin Fāris bin Zakariyyā, Mu’jam al-Maqāyīs fī al-Lugah
(Cet.I; Bairut: Dār al-Fikri, 1415 H / 1994 M), h. 837.
4Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab– Indonesia (Yogyakarta:: t.p., 1984), h. 1134.
5
Abī al-Husain Ahmad bin Fāris bin Zakariyyā,op.cit., h. 98. 6Ahmad Warson Munawwir, op.cit., h. 53.
7Muhammad Ali Ash Shabuni, al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis), terj. Muhammad Qadirun Nur (Cet. I; Jakarta: Pustaka Amani, 2001), h. 98.
Terjemahnya: Bahkan yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna padahal belum datang kepada mereka penjelasannya. Demikianlah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul). Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim itu.
2. Pengertian tafsir dan ta’wil menurut istilah
Pengertian tafsir menurut al-Jujānī, sebagaimana dikutif oleh M. Hasbi Ash Shiddieqy, bahwa:
ﺔﻟﻻد ﮫﯿﻠﻋ لﺪﯾ ﻆﻔﻠﺑ ﮫﯿﻓ ﺖﻟﺰﻧ ىﺬﻟا ﺐﺒﺴﻟاو ﺎﮭﺘﺼﻗو ﺎﮭﻧْﺎﺷ ﺔﯾﻻا ﻰﻨﻌﻣ ﺢﯿﺿﻮﺗ ﺮﯿﺴﻔﺘﻟا ةﺮھﺎظ 8 Tafsir adalah menjelaskan makna ayat, urusannya, kisahnya dan sebab yang karenanya ayat itu diturunkan dengan lafaz yang menunjuk kepadanya secara terang.
Al-Zarkāsyī, sebagaimana dikutif oleh M. Hasbi Ash Shiddieqy, mengatakan bahwa:
ﮫﻤﻜﺣو ﮫﻣﺎﻜﺣْا جاﺮﺨﺘﺳاو ناﺮﻘﻟا ﻰﻧﺎﻌﻣ نﺎﯿﺑ ﺮﯿﺴﻔﺘﻟا .
9
Tafsir adalah menerangkan makna-makna Al-Qur’an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.
Sedangkan ta’wil menurut Al-Jujānī, sebagaimana dikutif oleh M. Hasbi Ash Shiddieqy, bahwa:
ﺎﻘﻓاﻮﻣ هاﺮﯾ ىﺬﻟا ﻞﻤﺘﺤﻤﻠﻟ نﺎﻛ اذا ﮫﻠﻤﺘﺤﯾ ﻰﻨﻌﻣ ﻰﻟا ﺮھﺎﻈﻟا هﺎﻨﻌﻣ ﻦﻋ ﻆﻔﻠﻟا فﺮﺻ ﻞﯾوْﺎﺘﻟا ﺎﺘﻜﻠﻟ ﺔﻨﺴﻟاو . 10
Ta’wil adalah memalingkan makna lafaz dari maknanya yang zahir kepada makna lain yang dimungkinkan, apabila makna yang dimungkinkan itu sejalan dengan Al-Kitab dan Sunnah.
Contoh tafsir dan ta’wil dari firman Allah dalam Q.S. al-An`ām/6:95. Terjemahnya: Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati.
Memahami firman Allah tersebut dalam arti Dia mengeluarkan burung dari telur adalah tafsir, sedangkan memahaminya dalam arti Dia mengeluarkan / melahirkan mukmin dari yang kafir, atau Dia 8M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an / Tafsie(Cet. XV; Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 179.
9Ibid. 10
mengeluarkan / melahirkan yang pandai dari yang bodoh adalah ta’wil.11
D. Perbedaan tafsirdan ta’wil
Di samping adanya ulama yang memberikan definisi yang sama antara tafsir dan ta’wil, tetapi juga ada ulama yang memberikan definisi yang berbeda antaratafsir dan ta’wil.
Al-Rāgib al-Isfahānī, sebagaimana dikutif oleh Ahmad bin Taimiyyah, mengatakan bahwa:
ﻰﻓ ﻞﯾوْﺎﺘﻟا لﺎﻤﻌﺘﺳا ﺮﺜﻛْاو ﺎﮭﺗادﺮﻔﻣو ظﺎﻔﻟْﻻا ﻰﻓ ﮫﻟﺎﻤﻌﺘﺳا ﺮﺜﻛْاو ﻞﯾوْﺎﺘﻟا ﻦﻣ ﻢﻋْا ﺮﯿﺴﻔﺘﻟا ﺔﯿﮭﻟﻻا ﺐﺘﻜﻟا ﻰﻓ ﻞﻤﻌﺘﺴﯾ ﺎﻣ ﺮﺜﻛْاو ﻞﻤﺠﻟاو ﻰﻧﺎﻌﻤﻟا , ﺎھﺮﯿﻏ ﻰﻓ و ﺎﮭﯿﻓ ﻞﻤﻌﺘﺴﯾ ﺮﯿﺴﻔﺘﻟاو . 12
Tafsir lebih umum daripada ta’wil dan lebih banyak penggunaannya dalam lafaz dan mufradat, sedang ta’wil lebih banyak penggunaannya dalam makna-makna dan susunan kalimat serta lebih banyak digunakan dalam kitab suci, sedang tafsir digunakan dalam kitab suci dan juga digunakan dalam kitab-kitab lainnya. Tetapi, yang jelas bahwa tafsir dan ta’wil, dalam konteks Al-Qur’an, digunakan sebagai alat untuk memahami kata dan pesan-pesan Allah swt. Karena itu, tidak heran jika ada ulama langsung mempersamakannya.
E. Tafsir Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad saw.
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw dengan berbahasa Arab. Bahasa Arab menjadi bahasa Al-Qur’an, karena kaum yang menjadi tujuan pertama untuk disampaikannya syariat/ajaran Al-Qur’an itu adalah kaum yang berbahasa Arab. Sebagaimana firma Allah dalam Q.S. Ibrāhīm/14:4
Terjemahnya: Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang dia kehendaki dan Dia-lah Tuhan Yang Mahakuasa lagi Mahabijaksana.
11
M. Quraish Shihab, “Tafsir, Ta’wil dan Hermeneutika Suatu Paradigma Baru Dalam Pemahaman Al-Qur’an”(Makalah yang disajikan pada Mukernas Ulama
Al-Qur’an di Cisarua Bogor, 23-24 Maret 2009), h. 1.
12Ahmad bin Taimiyyah, Muqaddimah fī Usūl al-Tafsīr(Kairo: Maktabat al-Turāś al-Islāmī, t.th.), h. 8.
Jadi, pada hakikatnya tidak ada satu ajaran kecuali dengan bahasa tempat ajaran itu muncul.13 Demikian juga tidak ada satu ajaran kecuali dengan bahasa orang yang diutus untuk menyampaikan ajaran itu kepada kaumnya. Karena kalau tidak demikian, bagaimana mungkin ajaran tersebut dapat disampaikan dan dapat dimengerti dan dianut.
Nabi Muhammad saw setiap menerima ayat Al-Qur’an, beliau langsung menyampaikannya kepada para sahabatnya dan menafsirkan yang perlu ditafsrkan. Penafsiran Nabi Muhammad saw terhadap ayat Al-Qur’an adakalanya dengan ayat Al-Qur’an pula dan adakalanya dengan Hadis/Sunnah,14 baik dengan sunnah qauliyyah, dengan sunnah fi`liyyah maupun dengan sunnah taqririyyah.15Dan penafsiran ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an merupakan jalan penafsiran yang paling baik.16
Tetapi, tafsir yang diterima dari Nabi Muhammad saw sedikit sekali. `Aisyah bintu Abī Bakar, isteri Nabi sendiri mengatakan bahwa: Nabi Muhammad saw menafsirkan hanya beberapa ayat Al-Qur’an sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Malaikat Jibril.17
1. Contoh penafsiran Nabi Muhammad saw terhadap ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an sesudahnya yaitu:
Firman Allah dalam Q.S. Maryam/19:71
Terjemahnya: Dan tidak ada seorangpun dari padamu, melainkan mendatangi neraka itu, hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu kemestian yang sudah ditetapkan.
Hafşah binti Umar memahami ayat di atas bahwa semua orang akan masuk ke dalam neraka. Faham ini diperbaiki oleh Nabi Muhammad saw dengan mengingatkan Hafşah akan lanjutan ayat tersebut yaitu:18
13M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Qur’an(Cet. III; Bandung: Mizan, 1998), h. 108. 14Abd. Muin Salim, Metodologi Tafsir Sebuah Rekonstruksi Epistimologis Memantapkan Keberadaan Ilmu Tafsir Sebagai Disiplin Ilmu (Orasi Pengukuhan Guru Besar, Ujung Pandang; IAIN Alauddin, 28 April 1999), h. 24.
15M. Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit., h. 205. 16Ahmad bin Taimiyyah, op.cit., h. 93. 17M. Hasbi Ash Shiddieqy, loc.cit. 18
Terjemahnya: Kemudian kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut.
Adapun contoh penafsiran Nabi Muhammad saw terhadap ayat Al-Qur’an dengan ayat Al-Qur’an yang bukan sesudahnya yaitu: Firman Allah dalam Q.S. al-An’ām/6:82
Terjemahnya: Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman
Ayat tersebut di atas ditafsirkan oleh Nabi Muhammad saw dengan Q.S. Lukman/31:13
Terjemahnya: Sesungguhnya syirik (mempersekutukan Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.
Penafsiran Nabi Muhammad saw terhadap Q.S. al-An’ām/6:82 dengan Q.S. Lukman/31:13 disebutkan dalam sebuah Hadis yang ditakhrijkan oleh Imam al-Bukhārī dalam kitab şahīhnya yaitu:
ﻢﻠﻈﯾ ﻢﻟ ﺎﻨﯾأو ﮫﺑﺎﺤﺻأ لﺎﻗ ﻢﻠﻈﺑ ﻢﮭﻧﺎﻤﯾإ اﻮﺴﺒﻠﯾ ﻢﻟو ﺖﻟﺰﻧ ﺎﻤﻟ لﺎﻗ ﮫﻨﻋ ﷲ ﻰﺿر ﷲ ﺪﺒﻋ ﻦﻋ ﻢﯿﻈﻋ ﻢﻠﻈﻟ كﺮﺸﻟا نإ ﺖﻟﺰﻨﻓ 19
Terjemahnya: Dari Abdullah r.a., dia berkata: Ketika turun ayat ﻢﻟو ﻢﻠﻈﺑ ﻢﮭﻧﺎﻤﯾإ اﻮﺴﺒﻠﯾ sahabat-sahabat berkata: Siapakah di antara kita yang tidak menganiaya dirinya ? Maka turunlah ayat ﻢﯿﻈﻋ ﻢﻠﻈﻟ كﺮﺸﻟا نإ (Sesungguhnya syirik adalah benar-benar aniaya yang besar).
2. Contoh penafsiran Nabi Muhammad saw terhadap ayat Al-Qur’an dengan sunnah qauliyyah yaitu:
Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah/2:187
Terjemahnya: Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.
Ayat tersebut di atas ditafsirkan oleh Nabi Muhammad saw dengan sunnah qauliyyah, sebagaimana Hadis berikut ini.
19 Imām Abī `Abdillh bin Ismāīl bin Ibrāhīm ibn al-Mugīrah bin Bardazabah al
-Bukhārī al-Ja`fī, Şahīh al-Bukhārī, Juz v (Bairūt: Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah, t.th.), h. 193.
ﺎﻨﺛّﺪﺣ ﺪﯿﻌﺳ ﻦﺑ ﺔﺒﯿﺘﻗ ﺎﻨﺛّﺪﺣ ﻋ ﻦﻋ ّﻲﺒﻌﺸﻟا ﻦﻋ فّﺮﻄﻣ ﻦﻋ ﺮﯾﺮﺟ ﻰﻟﺎﻌﺗ ﷲ ﻲﺿر ﻢﺗﺎﺣ ﻦﺑ ّيﺪ ﻚّﻧإ لﺎﻗ نﺎﻄﯿﺨﻟا ﺎﻤھ أ دﻮﺳﻷا ﻂﯿﺨﻟا ﻦﻣ ﺾﯿﺑﻷا ﻂﯿﺨﻟا ﺎﻣ ﷲ لﻮﺳر ﺎﯾ ﺖﻠﻗ لﺎﻗ ﮫﻨﻋ َتﺮﺼﺑأ نإ ﺎﻔﻘﻟا ﺾﯾﺮﻌﻟ رﺎﮭﻨﻟا ضﺎﯿﺑو ﻞﯿﻠﻟا داﻮﺳ ﻮھ ﻞﺑ ﻻ لﺎﻗ ّﻢﺛ ﻦﯿﻄﯿﺨﻟا 20
Terjemahnya: Telah bercerita kepada kami Qutaibah bin Sa`īd, telah bercerita kepada kami Jarīr dari Mutţarrif dari al-Sya`bī dari `Adī bin Hātim r.a. dia berkata: Aku bertanya, wahai Rasulullah: Apa benang putih dari benang hitam itu? Apakah keduanya benang? Beliau menjawab: Tidak, tetapi itu adalah hitamnya malam dan putihnya siang.
Firman Allah dalam Q.S. al-Nisā’/4:163.
Terjemahnya: Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma'il, Ishak, Ya'qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. dan kami berikan Zabur kepada Daud.
Ayat tersebut di atas ditafsirkan oleh Nabi Muhammad saw dengan sunnah qauliyyah, sebagaimana Hadis berikut ini.
ّﻲﺒﻨﻟا ﻦﻋ ﷲ ﺪﺒﻋ ﻦﻋ ﻞﺋاو ﻰﺑأ ﻦﻋ ﺶﻤﻋﻷا ﻰﻨﺛّﺪﺣ لﺎﻗ نﺎﯿﻔﺳ ﻦﻋ ﻰﯿﺤﯾ ﺎﻨﺛّﺪﺣ دّﺪﺴﻣ ﺎﻨﺛّﺪﺣ . ﻦﺑ ﺲﻧﻮﯾ ﻦﻣ ﺮﯿﺧ ﺎﻧأ لﻮﻘﯾ نأ ﺪﺣﻷ ﻰﻐﺒﻨﯾ ﺎﻣ لﺎﻗ ﻢّﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲ ﻰّﻠﺻ ﻰﱠﺘﻣ 21 Terjemahnya: Telah bercerita kepada kami Musaddad, telah bercerita kepada kami Yahya dari sufyān dia berkata: Telah bercerita kepada saya al-A`masy dari Abī Wāil dari `Abdillah dari Nabi saw beliau bersabda: Tidak pantas bagi seseorang mengatakan: Saya lebih baik daripada Yūnus bin Mattā.
3. Contoh penafsiran Nabi Muhammad saw terhadap ayat Al-Qur’an dengan sunnah fi`liyyah yaitu:
Firman Allah dalam Q.S. Āli `Imrān/3:190.
20Ibid., h. 156 21
Terjemahnya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.
Ayat tersebut di atas ditafsirkan oleh Nabi Muhammad saw dengan sunnah fi’liyyah, sebagaimana Hadis berikut ini.
رﻣﻧ ﻰﺑأ نﺑ ﷲ دﺑﻋ نﺑ كﯾرﺷ ﻰﻧرﺑﺧأ لﺎﻗ رﻔﻌﺟ نﺑ دﻣﺣﻣ ﺎﻧرﺑﺧأ مﯾرﻣ ﻰﺑأ نﺑ دﯾﻌﺳ ﺎﻧﺛّدﺣ ﷲ لوﺳر ثّدﺣﺗﻓ ﺔﻧوﻣﯾﻣ ﻰﺗﻟﺎﺧ دﻧﻋ ﱡتﺑ لﺎﻗ ﺎﻣﮭﻧﻋ ﷲ ﻲﺿر سﺎﺑﻋ نﺑا نﻋ بﯾرﻛ نﻋ ءﺎﻣﺳﻟا ﻰﻟإ رظﻧﻓ دﻌﻗ رﺧﻷا لﯾﻠﻟا ثﻠﺛ نﺎﻛ ﺎّﻣﻠﻓ دﻗر ّمﺛ ﺔﻋﺎﺳ ﮫﻠھأ ﻊﻣ مّﻠﺳ و ﮫﯾﻠﻋ ﷲ ﻰّﻠﺻ ِإ لﺎﻘﻓ ّمﺛ ِبﺎَﺑْﻟَﻷْا ﻰِﻟو ُ◌ِﻵ ٍتﺎَﯾَﻵ ِرﺎَﮭﱠﻧﻟا َو ِلْﯾﱠﻠﻟا ِفَﻼِﺗ ْﺧا َو ِض ْرَﻷْا َو ِتا َوﺎَﻣﱠﺳﻟا ِقْﻠَﺧ ﻰِﻓ ﱠن مﺎﻗ ﺄّﺿوﺗﻓ دﺣإ ﻰّﻠﺻﻓ ّنﺗﺳاو ﯨ ﺢﺑّﺻﻟا ﻰّﻠﺻﻓ جرﺧ ّمﺛ نﯾﺗﻌﻛر ﻰّﻠﺻﻓ لﻼﺑ نّذأ ّمﺛ ﺔﻌﻛر ةرﺷﻌ 22
Terjemahnya: Telah bercerita kepada kami Sa`īd bin Abī Maryam, talah diberitahukan kepada kami oleh Muhammad bin Ja`far dia berkata: Telah diberitahukan kepada saya oleh Syarīk bin `Abdillah bin Abī Namir dari Kuraib dari Ibni `Abbās r.a. dia berkata: Saya tidur di sisi tanteku Maimūnah, lalu bercerita Rasulullah saw bersama keluarganya sesaat kemudian beliau tidur, maka setelah sepertiga malam yang akhir beliau duduk lalu memandang ke langit lalu bersabda:
ْﻟَﻷْا ﻰِﻟو ُ◌ِﻵ ٍتﺎَﯾَﻵ ِرﺎَﮭﱠﻨﻟا َو ِﻞْﯿﱠﻠﻟا ِفَﻼِﺘْﺧاَو ِضْرَﻷْاَو ِتاَوﺎَﻤﱠﺴﻟا ِﻖْﻠَﺧ ﻰِﻓ ﱠنِإ ِبﺎَﺒ
kemudian beliau berdiri lalu berwudu dan membersihkan giginya lalu salat 11 rakaat kemudian setelah Bilal azan maka beliau salat dua rakaat kemudian keluar lalu salat subuh.
4. Contoh penafsiran terhadap ayat Al-Qur’andengan taqrir dari Nabi Muhammad saw yaitu:
Firman Allah dalm Q.S. al-Nisā’/4:29.
Terjemahnya: Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Dalam perang żāt al-Salāsil, `Amru bin `Āş telah menafsirkan ayat tersebut di atas yaitu: ْﻢُﻜَﺴُﻔْﻧَأ ا ْﻮُﻠُﺘْﻘَﺗ ﻻ (janganlah kamu membunuh dirimu) dengan mandi junub dalam keadaan cuaca sangat dingin. Tafsir `Amru bin `Āş ini mendapat pengakuan dari Rasulullah saw.23
22Ibid., h. 174-175.
23Abd. Muin Salim, Beberapa Aspek Metodologi Tafsir Al-Qur’an(Ujung Pandang: Lembaga Studi Kebudayaan Islam, 1990), h. 70.
F. Tafsir Al-Qur’an pada masa sahabat
Sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw yang paling terkemuka dalam bidang tafsir sebanyak 10 (sepuluh) orang yaitu: 1) Abu Bakar al-Siddīq (573– 634 M), 2) ‘Umar bin al-Khaţţāb 9584 –644 M), 3) ‘Uśmān bin ‘Affān (577 – 656 M), 4) ‘Ali bin Abī Ţālib (600 – 661 M), 5)‘Abdullah bin ‘Abbās (w. 687 M), 6)‘Abdullah bin Mas’ūd(w. 625 M), 7)Ubay bin Ka’ab (w. 642 M), 8)Zaid bin Śābit (611 –655), 9)Abu Mūsā al-Asy‘arīdan 10)‘Abdullah bin Zubair.24
Empat orang pertama dari sahabat-sahabat tersebut pernah menjadi khalifah. Akan tetapi, di antara keempat khalifah ini yang paling banyak menafsirkan Al-Qur’an adalah ‘Ali bin Abī Ţālib. Mengapa demikian? Karena dia sangat erat hubungannya dengan Nabi Muhammad saw, dia menantu Nabi, dia juga belakangan meninggal daripada khalifah lainnya.
Sedangkan sahabat yang paling banyak menafsirkan Al-Qur’an adalah ‘Abdullah bin ‘Abbās, ‘Abdullah bin Mas‘ūd dan Ubay bin Ka‘ab. Kemudian setelah ketiga sahabat ini adalah Zaid bin Śābit, Abu Mūsā al-Asy‘arī dan ‘Abdullah bin Zubair.
Sahabat yang terkenal pula dalam bidang tafsir walaupun tafsirnya tidak sebanyak dengan tafsir sahabat yang telah disebutkan di atas yaitu: Abu Hurairah, Anas bin Mālik, ‘Abdullah bin Dīnār, Jābir bin ‘Abdullahdan ‘Aisyah.25
Bagi sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw tidaklah sulit untuk mengetahui tafsir ayat Al-Qur’an, karena: Pertama, mereka menerima Al-Qur’an dan mengetahui tafsirnya secara langsung dari Nabi Muhammad saw. Kedua, mereka menyaksikan secara langsung turunnya dan sebab turunnya ayat Al-Qur’an. Ketiga, Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa mereka yaitu bahasa Arab.
Walaupun demikian tidaklah semua ayat Al-Qur’an difahami oleh para sahabat, karena tidak semua ayat Al-Qur’an telah ditafsirkan oleh Nabi Muhammad saw hingga beliau wafat. Di samping itu juga, tidaklah semua bahasa Arab yang digunakan oleh Al-Qur’andiketahui oleh para sahabat. Memang tidak semua kata dari bahasa suatu negara dapat diketahui oleh setiap warganya. Al-Qur’an sebagai sumber utama syariat Islam harus difahami dan diamalkan dan harus pula memberi solusi terhadap persoalan kehidupan yang semakin kompleks seiring dengan perkembangan umat Islam, maka para sahabat 24Departemen Agama RI, Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya (Cet. I; Jakarta: Departemen Agama RI, 2008), h. 47.
25
berupaya menafsirkan Al-Qur’an baik menafsirkan Al-Qur’andengan Al-Qur’an pula atau menafsirkan Al-Qur’an dengan Hadis atau menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat sahabat sendiri ataupun menafsirkan Al-Qur’an dengan keterangandari ahlu kitab.
Jadi, pada masa sahabat terdapat empat sumber penafsiran, yaitu: 1) Penafsiran dengan Al-Qur’an.2) Penafsiran dengan Hadis. 3) Penafsiran dengan ra’yu (pendapat) sahabat. 4) Penafsiran dengan keterangan dari ahlu kitab yang biasa disebut denganisrāiliyyah.
Semua sahabat sepakat mengenai penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dan penafsiran Al-Qur’an dengan Hadis. Bahkan penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an merupakan jalan penafsiran yang paling baik. Sedangkan mengenai penafsiran Al-Qur’an dengan ra’yu dan penafsiran Al-Qur’an dengan keterangan dari ahlu kitab, tidaklah semua sahabat menyepakatinya. Jadi, sebahagian sahabat hanya menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau dengan Hadis dan sebahagian lainnya, di samping menafsirkan Al-Qur’andenga Al-Qur’an atau dengan Hadis, mereka juga menafsirkan Al-Al-Qur’an denganra’yu atau dengan keterangan dari ahlu kitab.
Di antara sahabat yang hanya membenarkan penafsiran Al-Qur’andengan Al-Qur’an atau denganHadis dan tidak membenarkan penafsiran Al-Qur’an dengan ra’yu atau dengan keterangan dari ahlu kitab adalah Abu Bakar dan Umar bin Khaţţāb. Karena itu, ketika seseorang bertanya kepada Abu Bakar tentang makna kata abban, maka beliau tidak menjawab pertanyaan orang itu lantaran beliau tidak mendapatkan penjelasan tentang makna kata abban itu dari Nabi Muhammad saw, bahkan beliau berkata:
ﻢﻠﻋأ ﻻ ﺎﻣ ﷲ تﺎﺘﻛ ﻰﻓ ﺖﻠﻗ اذإ ﻰﻨﻠﻈﺗ ءﺎﻤﺳ يأو ﻰﻨﻠﻘﺗ ضرأ يأ 26 Terjemahnya: Bumi manakah yang akan menampung aku dan langit manakan yang akan menaungi aku, apabila aku mengatakan tentang kitab Allah sesuatu yang tidak aku ketahui.
Diriwayatkan oleh Anas bahwa pernah Umar bin Khaţţāb menanyakan tentang makna kata abban, tetapi sebelum orang menjawab, beliau terlebih dahulu mencabut pertanyaannya lalu berkata: ”Inilah suatu takalluf, tiada keberatan kita tiada mengetahuinya”.27
26M. Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit., h. 209. 27
Penggunaan ra’yu dalam penafsiran Al-Qur’an dapat dilihat dasarnya dari salah satu Hadis Nabi Muhammad saw ketika beliau mengutus Mu’āż ke Yaman.
ﻦﻤﯿﻟا ﻰﻟإ ﮫﺜﻌﺑ ﻦﯿﺣ ذﺎﻌﻤﻟ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﷲ لﻮﺳر لﺎﻗ : لﺎﻗ ؟ ﻢﻜﺤﺗ ﻢﺑ : ﻜﺑ ﷲ بﺎﺘ , لﺎﻗ : لﺎﻗ ؟ ﺪﺠﺗ ﻢﻟ نﺈﻓ : ﷲ لﻮﺳر ﺔﻨﺴﺑ , لﺎﻗ : لﺎﻗ ؟ ﺪﺠﺗ ﻢﻟ نﺈﻓ : ﻰﯾأر ﺪﮭﺘﺟأ , بﺮﻀﻓ : 28 Terjemahnya: Rasulullah saw bertanya kepada Mu’āż ketika beliau mengutusnya ke Yaman: Dengan apa kamu menetapkan hukum? Dia menjawab: Dengan kitab Allah. Beliau bertanya lagi: Jika kamu tidak menemukan? Dia menjawab: Dengan sunnah Rasulillah. Beliau bertanya lagi: Jika kamu tidak menemukan? Dia menjawab: Aku berupaya dengan pendapatku. Maka Rasulullah saw menepuk dadanya dan berkata: (Segala puji bagi Allah) yang telah memberikan taufiq kepada utusan Rasulillah kepada yang diridai oleh Allah.
Sedangkan penggunaan isrāiliyyah dalam penafsiran Al-Qur’an, misalnya: apabila sahabat ingin menafsirkan ayat Al-Qur’an yang ada hubungannya dengan berita ummat terdahulu yang tidak sahabat temukan riwayat yang sahih dari Nabi muhammad saw, maka sahabat bertanya kepada orang Yahudi dan Nasrani yang telah masuk Islam.
Ibnu Khaldun berkata: Apabila orang Arab ingin mengetahui tentang permulaan kejadian alam dan rahasia-rahasianya, maka mereka bertanya kepada ahlu kitab seperti Ka’bul Ahbar, Wahab ibn Munabbih dan Abdullah ibn Salam. Kebanyakan mereka ini berdiam di padang-padang pasir.29
Jadi, dimungkinkannya penggunaan isrāiliyyah, karena
Al-Qur’an mengandung pula riwayat-riwayat dari ummat terdahulu dan soal-soal yang berkenaan dengan kejadian alam serta manusia seperti halnya dengan kitab-kitab suci sebelumnya. Oleh karena itu, untuk mengetahui hal tersebut sebahagian sahabat menanyakannya kepada ahlu kitab yang telah masuk Islam. Di samping itu, karena tidak adanya larangan yang tegas dari Nabi muhammad saw mengenai penggunaan israiliyyah sebagai dasar penafsiran ayat Al-Qur’an. Sebagaimana Sabda Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh al-Bukhārī dan al-Turmizi yaitu:
. . . جﺮﺧ ﻻو ﻞﯿﺋاﺮﺳإ ﻰﻨﺑ ﻦﻋ اﻮﺛﺪﺣو ...
30
28Ahmad bin Taimiyyah, op.cit., h. 95. 29M. Hasbi Ash Shiddieqy, op. cit., h. 211. 30
Terjemahnya: … dan berceritalah tentang Bani Israil dan tidak ada dosa atas kamu . . .
Tetapi, penafsiran Al-Qur’an dengan ra’yu harus didasarkan atas:
1. Pengetahuan tentang tata bahasa Arab.
2. Pengetahuan tentang kebiasaan masyarakat Arab.
3. Pengetahuan tentang kondisi Yahudi dan Nasrani di Jazirah Arab pada waktu turunnya Al-Qur’an, Khususnya untuk memahami ayat yang mengandung isyarat tentang perbuatan mereka dan bantahan terhadap mereka.
4. Kemampuan intelegensia atau kemampuan pemahaman dan penalaran
5. Pengetahuan tentang asbāb al-nuzūl(sebab-sebab turunnya ayat).31 Penafsiran Al-Qur’an dengan ra’yu semata tanpa disandarkan kepada pengetahuan seperti yang tersebut di atas, maka penafsiran seperti itu adalah haram. Sebagaimana Hadis Rasulullah saw:
لﺎﻗ سﺎﺒﻋ ﻦﺑا ﻦﻋ : ﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﷲ لﻮﺳر لﺎﻗ ﻢﻠ : أﻮﺒﺘﯿﻠﻓ ﻢﻠﻋ ﺮﯿﻐﺑ نأﺮﻘﻟا ﻰﻓ لﺎﻗ ﻦﻣ رﺎﻨﻟا ﻦﻣ هﺪﻌﻘﻣ . 32
Terjemahnya: Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: Bersabda Rasulullah saw: Siapa berkata tentang Al-Qur’an tanpa ilmu, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.
Sejak masa Nabi Muhammad saw, agama Islam itu tersebar dan wilayahnya tambah meluas. Dan pada masa para khalifah, agama Islam semakin tersebar, wilayahnya pun semakin bertambah luas, sehingga para sahabat menyebar. ke berbagai penjuru seiring dengan semakin bertambah meluasnya wilayah Islam. Maka pada masa itulah berdiri madrasah-madrasah tafsir yang gurunya dari para sahabat dan muridnya daripara tabi‘in, contohnya:
1. Madrasah tafsir di Mekah yang dipelopori oleh Ibnu ‘Abbās. Dia menajarkan tafsir kepada tabi‘in dengan menjelaskan makna-makna Al-Qur’an yang sulit. Ibnu ‘Abbas adalah putra paman Nabi Muhammad saw, dia paling alim tentang tafsir Al-Qur’an, dia memiliki kelebihan yang luar biasa sehingga ‘Umar bin Khaţţāb memasukkannya ke dalam majelis syūrā bersama dengan para tokoh Badar.Karena itu, para sahabat dan tabi‘in menetapkan Ibnu ‘Abbas sebagai turjumān al-Qur’an (penafsir Al-Qur’an) berkat doa Nabi Muhammad saw. untuknya, yaitu: ﻦﯾﺪﻟا ﻰﻓ ﮫﮭﻘﻓ ﻢﮭﻠﻟا
31Departemen Agama RI, op.cit., h. 50. 32
ﻞﯾوﺄﺘﻟا ﮫﻤﻠﻋو 33
(Ya Allah, berikanlah faham kepadanya tentang agama dan ajarkanlah kepadanya ta’wil). Amat banyak tafsir diambil dari Ibnu ‘Abbas, karena dia meninggal belakangan daripada sahabat-sahabat lainnya. Di samping itu, dia memang mengabdikan hidupnya pada pengembangan ilmu dengan memberikan pelajaran dan tidak memperhatikan soal-soal politik. 2. Madrasah tafsir di Irak yang dipelopori oleh Ibnu Mas‘ūd. Selain
dia terdapat pula sahabat yang mengajarkan tafsir di Irak, namun dialah yang dianggap sebagai guru pertama karena popularitasnya dan banyaknya riwayat darinya.IbnuMas‘ūd adalah salah seorang sahabat yang sangat dekat hubungannya dengan Nabi muhammad saw, dia pelayan yang mengurusi bepergian Nabi dan menjadi pengawalnya. Karena itu, dia mendapatkan ilmu yang banyak dari Nabi, sehingga para sahabat memandangnya sebagai salah seorang sahabat yang paling mengetahui tentang Al-Qur’an, mengetahui muhkamnya, mutasyabihnya, halalnya dan haramnya. Bahkan Ibnu Mas‘ud pernah berkata:
ﺖﻟﺰﻧ ﻦﯾأو ﺖﻟﺰﻧ ﻢﯿﻓ ﻢﻠﻋأ ﺎﻧأو ﻻإ ﷲ بﺎﺘﻛ ﻦﻣ ﺔﯾأ ﺖﻟﺰﻧ ﺎﻣ هﺮﯿﻏ ﮫﻟإ ﻻ ىﺬﻟاو , ﻢﻠﻋأ ﻮﻟو ﻰﻨﻣ ﷲ بﺎﺘﻜﺑ ﻢﻠﻋأ ﺪﺣأ نﺎﻜﻣ ﮫﺘﯿﺗﻷ ﺎﯾﺎﻄﻤﻟا ﮫﻟﺎﻨﺗ 34
Terjemahnya: Demi yang tiada tuhan selain-Nya, tidak turun suatu ayat dari Kitab Allah melainkan aku lebih mengetahui tentang apa ia turun dan di mana ia turun, dan seandainya aku mangetahui tempat seseorang yang lebih mengetahui kitab Allah daripada aku dan bisa dijangkau hewan tunggangan niscaya aku mendatanginya.
3Madrasah tafsir di Madinah yang dipelopori oleh Ubay bin Ka‘ab. Ubay bin Ka‘ab adalah salah seorang penulis wahyu dan salah seorang ahli qiraat yang terkenal. Sebagimana Nabi Muhammad saw mengatakan bahwa: Ubay bin Ka‘ab adalah salah seorang sahabat yang paling pandai membaca kitab Allah. Abū Ja‘far al-Rāzi mengatakan bahwa: Ubay bin Ka‘ab memiliki satu naskah yang besar dalam bidang tafsir. Ibnu Jarīr, Ibnu Abī Hātim, al-Hakim da Ahmad telah meriwayatkan banyak tafsirnya.35
G. Tafsir Al-Qur’an pada masa tabi‘in
Setelah periode pertama berakhir yang ditandai dengan berakhirnya generasi sahabat, maka mulailah periode kedua atau periode tabi‘in yang belajar dan menerima langsung riwayat dari 33Ahmad bin Taimiyyah, op.cit., h. 97.
34Ibid., h. 96. 35
sahabat.Para tabi‘in yang termasyhur dalam ilmu tafsir adalah murid-murid Ibnu ‘Abbas, murid-murid-murid-murid Ibnu Mas‘ud dan murid-murid-murid-murid Ubay bin Ka‘ab.
Murid-murid Ibnu ‘Abbas yang termasyhur, Yaitu: Mujāhid bin Jabar,‘Aţā’ bin Abī Rayāh, ‘Ikrimah, Sa‘īd bin Jubair,Ţāwūs.
Sedangkan murid-murid Ibnu Mas‘ud yang termasyhur, yaitu: ‘Alqamah bin Qais, Masrūq bin al-Ajda‘, al-Aswad bin Yazid, Murrah bin al-Hamdanī, ‘Amir al-Sya‘bī, al-Hasan al-Başrī dan Qatādah.
Adapun murid-murid Ubay bin Ka‘ab yang termasyhur, yaitu: Zaid bin Aslam, Abu al-’Āliyah dan Muhammad bin Ka’ab al-Qarazī.
Kalau sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw yang ahli di bidang tafsir menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihadnya atau dengan pendapatnya, maka tabi`in yang ahli di bidang tafsir juga menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihadnya. Dengan demikian sumber penafsiran pada masa tabi`in yaitu: 1) Penafsiran dengan Al-Qur’an. 2) Penafsiran dengan Hadis. 3) Penafsiran dengan pendapat sahabat. 4) Penafsiran dengan pendapat tabi`in sendiri. 5) Penafsiran dengan keterangan dari ahli kitab yang biasa disebut denganisrāiliyyah.36
Kedudukan Penapsiran Tabiin. Ulama berbeda pendapat dalam menyikapi penafsiran tabiin ketika tidak ada riwayat dari Rasulullah saw atau dari sahabt. Ada dua sikap ulama terhadap penafsiran tabiin yaitu: menerima atau menolak. Ulama menolak penafsiran tabiin dengan alasan: 1) Tidak adanya kemungkinan seorang tabiin mendengar langsung dari Rasulullah saw. 2) Tabiin tidak menyaksikan berbagai kondisi mengenai turunnya ayat Al-Qur’an, sehingga kemungkinan mereka salah dalam memahami maksud ayat. 3) Status tabiin tidak dinaskan seperti status adil para sahabat. Abu Hanifah berkata: Apa yang datang dari Rasulullah saw, maka aku terima bulat-bulat. Apa yang datang dari sahabat, maka aku pilah-pilah. Dan apa yang datang dari tabiin, maka mereka manusia dan akupun manusia.37
Akan tetapi, umumnya mufassir berpendapat bahwa ucapan tabiin dalam bidang tafsir dapat diterima sebagai acuan, karena tabiin mengutif sebagian besar penafsiran sahabat. Sebagaimana kata Mujahid bahwa: Aku membaca mushaf di hadapan Ibnu `Abbās
36Departemen Agama RI, loc.cit. 37
sebanyak tiga kali, dari surah al-Fātihah sampai surah al-Nās. Aku berhenti pada setiap ayat dan menanyakan kepadanya.38
KarakteristikTafsir Priode Tabiin
1. Banyak mengambil kisah isrā`iliyyah. Hal ini terjadi karena
banyaknya ahli kitab masuk Islam, dan dipikiran mereka masih melekat ajaran kitab suci mereka, khususnya yang ada hubungannya dengan hukum syariat seperti awal penciptaan. 2. Tafsir masih menggunakan sistem periwayatan, namun bukan
periwayatan dalam arti komprehensif seperti pada masa Rasulullah saw, melainkan periwayatan yang terbatas pada figur. Misalnya, Ulama Mekah hanya menaruh perhatian kepada riwayat Ibnu `Abbās, ulama Madinah hanya menaruh perhatian kepada riwayat Ubay bin Ka‘ab, dan ulama `Irak hanya menaruh perhatian kepada riwayat Ibnu Mas‘ūd.
3. Banyaknya perbedaan pendapat di antara tabiin dalam penafsiran, walaupun perbedaan pendapat mereka lebih sedikit bila dibandingkan dengan perbedaan pendapat yang terjadi sesudahnya.
4. Pada masa tabiin telah muncul benih-benih perbedaan mazhab. Karena itu, sebagian tafsir tampak mangusung mazhab-mazhab itu di dalamnya.
H. Kodifikasi Tafsir
Kodifikasi tafsir dimulai sejak masa munculnya pembukuan, yaitu pada akhir masa pemerintahan Bani Umaiyyah. Karena itu, kodifikasi tafsir ada beberapa tahap, yaitu:39.
1. Tahap pembukuan tafsir dengan bentuk bab khusus tafsir dalam buku-buku Hadis. Jadi, pada masa pembukuan Hadis, buku-buku Hadis memuat salah satu bab tantang tafsir. Para penulis tafsir pada tahap ini belum menulis buku secara khusus tentang tafsir ayat demi ayat dari awal hingga akhir. Di antara penulis tafsir pada tahap ini adalah: Yazīd bin Hārūn al-Sulamī, Syu`bah bin Hajjāj, Wakī` bin Jarah.
2. Tahap pembukuan tafsir terpisah dari buku-buku Hadis, sehingga buku tafsir berdiri sendiri memuat penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang disusun sesuai susunan muşhaf, seperti yang dilakukan oleh beberapa ulama, di antaranya: Ibnu Mājah, Ibnu Jarīr al-Tabarī, Abū Bakar bin Munżir al-Nīsaburi.
38Ibid. 39
3. Tahap penulisan tafsir secara bil-ma’śūr, namun terdapat perubahan dari segi sanad, para penulis tidak menyebutkan sanad dan tidak menisbatkan pendapat yang mereka tulis dari mufassir terdahulu yang telah mengemukakan pendapat tersebut. Maka, inilah awal terjadilah pemalsuan dalam tafsir, riwayat yang sahih bercampur baur dengan riwayat yang tidak sahih dan pencantuman isrāiliyyah dengan asumsi bahwa itu merupakan kebenaran yang pasti. Di antara tafsir semacam ini adalah tafsir
al-Bustan yang ditulis oleh Abū al-Laiś al-Samarkandī dan tafsir
Ma`ālim al-Tanzīl yang ditulis oleh Abū Muhammad al-Husain Ibn Mas`ūd al-Bagawī al-Syafi`ī.
4. Tahap penulisan tafsir secara bercampur antara bil-ma’śūrdan
bil-ma`qūl atau antara bin-naqli dan bil-aqli atau antara bir-riwāyah
dan bir-ra’yi. Pada tahap ini pula terjadinya spesifikasi tafsir, misalnya: Abū `Abdillah Muhammad Ibn Abī Bakar Ibn Faraj al-Qurţubī (lahir di Cordova 468 H./1093 M. dan wafat di Mauşul 567 H./1172 M.) dalam kitab tafsirnya al-Jāmi` li Ahkām al
-Qur’ān, beliau menitik beratkan penafsirannya pada ayat-ayat hukum fiqhi, Muhammad Ibn Yūsuf Ibn `Alī Haiyyahal-Andalusī al-Nahwī (lahir di Garnaţah 654 H./1256 M. dan wafat di Mesir 745 H./1344 M.) dalam kitab tafsirnya al-Bahru al-Muhīţ, beliau banyak menguraikan dalam kitab tafsirnya tersebut mengenai ilmu nahwu (sintaksis bahasa Arab), `Abdullah Muhammad Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn `Abdullah Muhyiddīn Ibn `Arabī (lahir di Matsiyah 560 H. dan wafat di Damaskus 638 H.) dalam kitab tafsirnya Tafsir Ibnu `Arabī, beliau lebih menekankan penafsirannya kepada isyarat-isyarat Al-Qur’an yang berkaitang dengan tasawwuf.
5. Tahap penulisan tafsir secara maudū`ī. Metode maudū`ī dalam penafsiran Al-Qur’an mulai diperkenalkan pada tahun 1960 oleh Syekh Mahmūd Salţūţ ketika menyusun tafsirnya, Tafsīr al
-Qur’ān al-Karīm. Akan tetapi, ide penafsiran Al-Qur’an dengan metode maudū`ī telah dikemukakan oleh Al-Syāţibī (wafat 1388 M.). Menurut Al-Syāţibī bahwa setiap surah memiliki satu tema sentral walaupun masalah yang dikemukakannya berbeda-beda dan tema sentral itu mengikat masalah yang berbeda-beda tersebut. Kemudian ide ini dikembangkan oleh Prof. Dr. Ahamd Sayyid al-Kūmī, ketua jurusan Tafsir pada Fakultas Uşūluddīn Universitas al-Azhar sampai tahun 1981. Selanjutnya Prof. Dr.
Al-Farmawī menyusun buku tentang langkah-langkah tafsir maudū`ī
yang berjudul Al-Bidāyah wa al-Nihāyah Fī Tafsīr al-Maudū`ī.40
I. Penutup
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa:
1. Ayat-ayat Al-Qur’an merupakan petunjuk yang harus difahami kemudian diamalkan oleh umat Islam, karena itu perlu ditafsirkan agar dapat difahami dan dapat diamalkan oleh mereka. Rasulullah saw setiap menerima ayat Al-Qur’an dari Allah swt, langsung disampaikannya kepada sahabat-sahabatnya dan ditafsirkannya yang dianggap perlu saja dan yang ditanyakan oleh sahabat-sahabatnya, sehingga tafsir ayat-ayat Al-Qur’an dari Rasulullah saw sedikit jumlahnya.
2. Sumber penafsiran Rasulullah saw adalah penafsiran dengan ayat Al-Qur’an sendiri dan penafsiran dengan Hadis / Sunnah. Sedangkan sumber penafsiran sahabat adalah penafsiran dengan ayat Al-Qur’an, penafsiran dengan Hadis, penafsiran dengan pendapat sahabat sendiri dan penafsiran dengan keterangan dari ahli kitab yang biasa disebut dengan isrāiliyyah. Adapun sumber penafsiran tabiin adalah penafsiran dengan ayat Al-Qur’an, penafsiran dengan Hadis, penafsiran dengan pendapat sahabat, penafsiran dengan pendapat tabiin sendiri dan penafsiran dengan keterangan dari ahli kitab yang biasa disebut denganisrāiliyyah.
3. Pada mulanya, tafsir disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut. Pada akhir masa pemerintahan Bani Umaiyyah, barulah tafsir mulai dikodifikasikan dengan bentuk bab khusus tafsir dalam buku-buku Hadis. Kemudian perkembangan berikutnya, kodifikasi tafsir terpisah dari buku-buku Hadis, sehingga buku tafsir berdiri sendiri memuat penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang disusun sesuai susunan muşhaf.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an danTerjemahnya.
Kitab HadisŞahīh al-Bukhārī.Juz VI.
Al-Bannā, Hasan.Muqaddimāt fī ‘Ilm al-Tafsīr. Kuwait: Maktabat al-Manār, t.th.
Bucaille, Maurice. La Bible Le Coran Et. La Scienc., Terj. H.M. Rasjidi. Qur’an dan Sains Modern. Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
40
Departemen Agama RI. Mukadimah Al-Qur’an dan Tafsirnya.Cet. I; Jakarta: Departemen Agama RI, 2008.
Al-Jalailain, Imam.Tafsīr al-Qur’an al-Karīm.Juz I; Semarang: Toha Putera, t.th.
Jene, Umar Anggara. Pendekatan Saintifik dalam Penafsiran
Al-Qur’an. Makalah yang disajikan pada Musyawarah Kerja Nasional Ulama Al-Qur’an di Bogor, 23 –25 Maret 2009. Munawwir, Ahmad Warson. Al Munawwir Kamus Arab – Indonesia.
Yogyakarta:: t.p., 1984.
Al-Şālih, Şubhī. Mabāhiś fī `Ulūm al-Qur’an.Cet. XVII; Bairūt: Dār al-`Ilmi lLi al-Malāyīn, 1988.
Salim, Abd. Muin. Beberapa Aspek Metodologi Tafsir Al-Qur’an.
Ujung Pandang: Lembaga Studi Kebudayaan Islam, 1990. Ash Shabuni, Muhammad Ali. al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Ikhtisar
Ulumul Qur’an Praktis.Cet. I; Jakarta: Pustaka Amani, 2001. Terj. Muhammad Qadirun Nur.
Ash Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an /
Tafsie. Cet. XV; Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
_________ Ilmu-Ilmu Al-Qur’an(Cet. III; Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Shihab, M. Quraish. Tafsir, Ta’wil dan Hermeneutika Suatu
Paradigma Baru Dalam Pemahaman Al-Qur’an. Makalah yang
disajikan pada Mukernas Ulama Al-Qur’an di Cisarua Bogor, 23-24 Maret 2009.
Taimiyyah, Ahmad bin. Muqaddimah fī Usūl al-Tafsīr. Kairo: Maktabat al-Turāś al-Islāmī, t.th.
Zakariyyā, Abī al-Husain Ahmad bin Fāris bin. Mu’jam al-Maqāyīs fī