• Tidak ada hasil yang ditemukan

52 BAB IV EPISTEMOLOGI JALALUDDIN RAKHMAT DALAM BUKUNYA TAFSIR BIL MA’TSUR : PESAN MORAL AL-QUR`AN DAN AL- THABARI DALAM KITABNYA JAMI’ AL-BAYAN FI TAFSIR AL- QUR`AN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "52 BAB IV EPISTEMOLOGI JALALUDDIN RAKHMAT DALAM BUKUNYA TAFSIR BIL MA’TSUR : PESAN MORAL AL-QUR`AN DAN AL- THABARI DALAM KITABNYA JAMI’ AL-BAYAN FI TAFSIR AL- QUR`AN"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

52 QUR`AN

A. Epistemologi Tafsir bi al-Ma’tsur Jalaluddin Rakhmat dan al -Thabari

1. Konsep Tafsir bi al-Ma’tsur Jalaluddin Rakhmat dan al Thabari

Tafsir bi al-ma’tsur menurut Jalaluddin Rakhmat adalah

sebagaimana ia kutip pendapat al-Dzahabi dalam bukunya al-Tafsir wa

al-Mufassirun yaitu menafsirkan al-Qur`an dengan al-Qur`an, atau

mengutip sabda Rasulullah SAW, ucapan para sahabat dan tabi’in.1

Menurutnya tafsir yang paling baik adalah menafsirkan al-Qur`an

dengan al-Qur`an, tetapi melakukannya lebih sukar dari

mengucapkannya. Penafsiran al-Qur`an dengan al-Qur`an tanpa

metode yang ketat akan menjerumuskan orang pada ilusi. Ia sudah

merasa menafsirkan al-Qur`an dengan al-Qur`an, padahal

kenyataannya ia menghubung-hubungkan ayat-ayat menurut

konstruksi teoritis yang dimilikinya atau menurut seleranya sendiri.2

Hal ini dapat terjadi jika seseorang yang menafsirkan al-Qur`an

tidak mengetahui kaidah- kaidah dalam menafsirkan al-Qur`an, seperti

mengetahui bahasa Arab dengan benar karena al-Qur`an diturunkan

dengan berbahasa Arab, Ilmu Munasabah ayat yang penting untuk

1 Jalaluddin Rakhmat, Tafsir bi al Ma’tsur : Pesan Moral al Qur`an, (Bandung : Remaja

Rosdakarya, 1993), cet. 1, h. vi

2

(2)

mengetahui keterkaitan antara ayat dengan ayat, atau antara suatu surat

dengan surat lainnya yang mampu mengantarkan seorang mufassir

memahami al-Qur`an sehingga penafsiran al-Qur`an dengan al-Qur`an

itu dapat dilakukan.

Jalaluddin mengungkapkan pula agar terhindar dari kekeliruan

maka penafsiran al-Qur`an itu dapat dilakukan dengan melihat

peristiwa- peristiwa yang terjadi pada zaman Nabi, inilah yang ia sebut

dengan asbab al-nuzul. Dan ini termasuk salah satu cara dalam tafsir

bi al-ma’tsur. Cara lain adalah dengan mengutip peristiwa-peristiwa di luar zaman Nabi yang digunakan para mufasir untuk menerangkan

kandungan makna al Qur`an.3 Metode inilah yang diterapkan oleh

Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Tafsir bil Ma’tsur : Pesan Moral

al-Qur`an.

Islah gusmian mengatakan bahwa karya Jalaluddin Rakhmat ini

merupakan suatu karya di bidang tafsir riwayat yang merupakan

gambaran mengenai sebab turunnya ayat yang dikutip dan menjadi

objek tafsir. Oleh karena itu, kesan yang muncul dari buku tafsir

Jalaluddin ini adalah pengemasan bentuk baru dari asbab al-nuzul.4

Proses pengemasan itu bisa dilihat misalnya ketika karya ini

menguraikan Q.S. al-Layl : 5-7. Dalam kasus ini, diuraikan satu

peristiwa, dimana ada seorang kaya Madinah memiliki sebatang kurma

yang kebetulan pohonnya condong ke rumah orang miskin yang

3Ibid. 4

(3)

banyak anaknya. Sebagian buahnya berjatuhan di halaman si miskin.

Anak-anaknya yang lapar memungut dan memakannya. Ketika

menyaksikan hal itu, yang punya bergegas memungut butir kurma

yang jatuh dan merebut butir kurma yang dipegang anak itu. Dan

memasukkan jari-jarinya ke dalam mulut anak tersebut kalau ia telah

memakannya. Ia berusaha menyelamatkan setiap butir kurma yang

ada.

Si miskin mengadukan peristiwa itu pada Nabi. Nabi pun segera

menemui si pemilik pohon kurma tersebut dan membujuknya untuk

memberikan pohon yang condong ke rumah si miskin itu ia berikan

dengan balasan ia akan mendapatkan balasan pohon kurma di surga.

Namun, sang pemilik tidak mau dan pergi meninggalkan Nabi.

Abu Dahdah, seorang sahabat Nabi yang mendengar hal itu

bertanya kepada Nabi. Jika ia membeli pohon kurma itu apakah ia

akan mendapatkan pohon kurma di surga. Nabipun mengangguk.

Kemudian, Abu Dahdah membeli pohon kurma tersebut dan

menyerahannya kepada Nabi untuk diberikan pada si miskin. Maka,

turunlah surah al-Layl : 5-7. Allah memuji Abu Dahdah dan dan

mengecam pemilik kurma yang rakus. 5

Sedangkan menurut penulis tafsir bi al-ma’tsur menurut al-Thabari

dia tidak memberikan pengertian tafsir bi al-ma’tsur secara definitif.

Hal ini didasari bahwa tidak ditemukannya pengertian tersebut secara

5

(4)

tertulis. Namun, dilihat dari karyanya dapat diambil kesimpulan bahwa

tafsir bi al-ma’tsur menurut al-Thabari itu adalah sebagaimana ulama-ulama yang lain yaitu menafsirkan Qur`an dengan Qur`an,

al-Qur`an dengan Hadis Nabi, atau riwayat-riwayat dari sahabat dan

tabi’in.

Contohnya ketika menjelaskan kata alladzinayukminuna dalam Q.S. al

Baqarah : 3.

Diriwayatkan dari Muhammad bin Hamid al-Razi menceritakan kepada kami, dia berkata : Salamah al-Fadhl menceritakan kepada kami dari Muhammad bin Abi Muhammad pembantu Zaid bin Tsabit

dari Ikrimah, atau dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, dia berkata :

نَ يْ نُيُ نِ يْ نُيُ نَ يْ نِ لَّا

artinya : orang-orang yang mempercayai. Menurut orang

Arab kata “iman” berarti membenarkan, maka orang yang

membenarkan sesuatu secara lisan disebut mukmin, dan orang yang membenarkan perkataannya dengan perbuatan disebut mukmin. Allah SWT berfirman :

نَيْ نِ نِ نَ لَّ نُ يْ نَانَ نَ لَّا نٍ نِ يْ نُنِ نَ يْ نَ نَ نَ

“Dan kamu sekali -kali tidak akan percaya kepada kami, se-kalipun kami adalah

orang-orang yang benar.”

Jadi, menurut al Thabari orang-orang yang beriman yang dimaksud

dalam Q.S. al Baqarah : 3 tersebut adalah orang-orang yang

mempercayai baik itu secara lisan maupun perbuatan.

2. Sumber-sumber Rujukan dalam Tafsir

Rujukan utama Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Tafsir bil

Ma’tsur : Pesan Moral al-Qur`an adalah Tafsir al-Durr al-Mantsur fi

Tafsir bi al-Ma’tsur karya Jalaluddin al-Suyuthi.6 Sebuah karya yang

dinilai sebagai salah satu karya tafsir bi al-ma’tsur yang murni. Dalam

(5)

tafsirnya ini, ia hanya memuat hadis-hadis saja tanpa mengikutsertakan

pendapatnya.7

Jalaluddin Rakhmat memilih sumber utama dalam penafsirannya

kitab tafsir karya Jalaluddin al-Suyuthi dikarenakan kitab ini terkenal

dengan kitab tafsir bi al-ma’tsur yang banyak mengutip asbab al

-nuzul.

Hal ini bisa dilihat ketika menjelaskan Q.S. al Hujurat ayat 1-2

Jalaluddin mengatakan bahwa ayat ini turun karena ada rombongan

Bani Tamim menghadap Rasulullah saw. Mereka ingin memohon

kepada Nabi untuk menunjuk pemimpin mereka. Sebelum Nabi

memutuskan siapa, Abu Bakar berkata, “Angkat al-Qa’qa’ bin Ma’had

sebagai amir.” Kata Umar, “Tidak, angkatlah al-Aqra’ bin Habis. Kata

Abu Bakar, “Kamu hanya ingin membantah aku saja.” “Aku tidak bermaksud membantahmu,” kata Umar. Keduanya berbantahan

sehingga suara mereka terdengar makin keras.8 Maka turunlah ayat

tersebut. Ini dikutip oleh Jalaluddin dari Tafsir al-Durr al-Mantsur.

Selain itu, dia juga merujuk kepada Tafsir Majma’ al-Bayan, Tafsir

al-Fakh al Razi, Tafsir al-Qurthubi, Hayat al-Shahabah, al-Targhib wa Tarhib, Tafsir Mizan, Tahdzib Tahdzib, Syarh Nahj al-Balaghah, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir al-Thabari, Kanz al-‘Ummal, al -Isti’ab Homisy al-Ishabah, Usud al-Ghabah, Shahih Bukhari, Shahih

7

Sri Mahrani, Metode Jalaluddin al Suyuthi dalam Menafsirkan al Qur`an (Tinjauan

terhadap Tafsir al Durr al Mantsur fi al Tafsir al Ma’tsur), (Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 2011)

8

(6)

Muslim, Tafsir al-Baihaqi, Tafsir al-Zamakhsyari, al-Wahidi, Asbab al-Nuzul, dan al-Syawkani.

Berbeda halnya dengan Jalaluddin Rakhmat, yang menjadi sumber

rujukan bagi al Thabari dalam menafsirkan ayat-ayat al Qur`an adalah

Hadis Nabi SAW, perkataan sahabat dan tabi’in.9

Al Thabari terkenal sebagai seorang ulama yang sangat pakar di

bidang riwayat. Banyak riwayat-riwayat dari sahabat dan tabi’in yang

diketahui. Sehingga dengan pengetahuan yang dimilikinya itulah ia

menghasilkan karyanya Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur`an.

B. Perbedaan Epistemologi Tafsir bi al-Ma’tsur Jalaluddin Rakhmat dengan al-Thabari

Metode merupakan salah satu sarana untuk mencapai suatu tujuan

yang telah direncanakan. “Dalam kaitan ini, studi tafsir al-Qur’an tidak

lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik

untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan

Allah di dalam ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad SAW.10

Metode antara satu mufassir dengan mufassir yang lainnya berbeda

tergantung latar belakang keilmuan atau kecenderungan masing-masing

mufassir. Salahsatunya adalah al Thabari dan Jalaluddin Rakhmat. Kedua mufassir ini sama-sama menggunakan metode tafsir bi al-ma’tsur. Namun,

9Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al Thabari, Jami’ al Bayan al Ta’wil Ayi al Qur`an,

(Beirut : Dar al Fikr, 1984), h. 5

10

(7)

dalam menyajikan tafsir bi al-ma’tsur tersebut terdapat perbedaan di antara keduanya.

Perbedaan metode tafsir bi al-ma’tsur al-Thabari dengan Jalaluddin

Rakhmat dapat di lihat dari berbagai segi :

Pertama, dari segi sumber riwayatnya. Pada umumnya riwayat-riwayat yang dikutip oleh al-Thabari dalam kitabnya adalah riwayat-riwayat yang

berasal dari sahabat dan tabi’in. Sedangkan Jalaluddin mengutip

riwayat-riwayat yang berasal dari sahabat. Hal ini karena Jalaluddin memfokuskan

riwayat yang menjelaskan peristiwa apa yang terjadi pada masa Nabi yang

menjelaskan ayat tersebut. Pengutipan riwayat yang dilakukan oleh

Jalaluddin pun banyak merujuk kepada kitab Tafsir al-Dur al-Mantsur

karya Jalaluddin al Suyuthi. Kitab tafsir yang banyak memunculkan asbab

al-nuzul dalam menjelaskan al-Qur`an.

Kedua, dari segi pendekatannya. Pendekatan yang digunakan oleh al-Thabari adalah pendekatan kebahasaan. Pada masa awal-awal

perkembangan tafsir pendekatan inilah yang sangat menonjol. Para

mufasir pada saat itu ingin menampakkan sisi kemukjizatan al-Qur`an

yang sangat unggul dari segi kebahasaannya.

Sedangkan Jalaluddin Rakhmat menggunakan pendekatan historis

atau sejarah. Jalaluddin Rakhmat menggunakan asbab al-nuzul sebagai

(8)

Ketiga, al-Thabari mengutip riwayat dengan sanad-sanad yang lengkap sedangkan Jalaluddin tidak memunculkan satupun sanad dalam

riwayat yang dikutipnya.

Keempat, terhadap riwayat yang dikutip al-Thabari melakukan tarjih.

Sedangkan Jalaluddin cukup dengan menjelaskan asbab al-nuzul.

Menurut hemat penulis, Jalaluddin tidak melakukan tarjih disebabkan

riwayat yang ia kutip cukup hanya satu riwayat saja. sedangkan al-Thabari

memunculkan banyak riwayat. Dari riwayat yang banyak itulah ia

melakukan tarjih. Di mana riwayat yang menurutnya lebih kuat sehingga

pemahaman terhadap ayat tersebut dapat tercapai.

C. Pola-pola Penafsiran Tafsir bi al-Ma’tsur Jalaluddin Rakhmat dan al -Thabari

Berdasarkanpaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

pola-pola penafsiran tafsir bi al-ma’tsur Jalaluddin Rakhmat dan al-Thabari

sebagai berikut :

No. Kategori Jalaluddin Rakhmat Al Thabari

1. Sumber riwayat Tafsir sahabat Tafsir sahabat dan

tabi’in

2. Bentuk riwayat Asbab al-nuzul Lughawi

(9)

4. Bentuk Penyajian

Tematik klasik Lengkap 30 juz.

8. Bentuk Pemahaman Konteks historis Makna lughawi

9. Nuansa Tafsir Sosial

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa berbedanya zaman

yang dihadapi oleh seorang maka berbeda pula pendekatan yang

digunakan dalam memahami al-Qur’an. Hal ini sebagaimana yang melatar

belakangi kedua tokoh ini melahirkan karyanya.

Menurut penulis, dari tabel ini juga dapat dipahami bahwa

epistemologi tafsir bi al-ma’tsur yang digunakan oleh Jalaluddin Rakhmat

(10)

Kelebihan dari epistemologi tafsir bi al-ma’tsur Jalaluddin Rakhmat adalah mengetahui hikmah yang melatarbelakangi turunnya ayat al-Quran.

Namun, dengan ia tidak mengungkapkan sanadnya secara lengkap tidak

dapat diketahui apakah riwayat tersebut shahih atau tidak.

Sedangkan kelebihan epistemologi tafsir bi al-ma’tsur al-Thabari

dari pendekatan kebahasaan yang digunakan dapat diketahui apa yang

dimaksudkan oleh ayat tersebut, dapat diketahui makna kata yang sukar

dipahami. Meskipun demikian, dengan mengungkapkan semua riwayat

terhadap suatu ayat membutuhkan waktu yang lama pembaca dalam

memahami apa yang dijelaskan oleh ayat tersebut.

D. Aplikasi Metode Tafsir bi al-Ma’tsur al Thabari dalam kitabnya

Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur`an dan Jalaluddin Rakhmat dalam

bukunya Tafsir bil Ma’tsur : Pesan Moral al-Qur`an

Metode tafsir bi al-ma’tsur yang digunakan oleh al Thabari dalam

kitabnya Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur`an dan Jalaluddin Rakhmat

dalam bukunya Tafsir bil Ma’tsur : Pesan Moral al-Qur`an dapat di lihat

dari aplikasi penafsiran berikut ini :

1. Aplikasi Metode Tafsir bi al-Ma’tsur oleh al Thabari

Kitab tafsir karya al Thabari ini adalah kitab tafsir yang terkenal

memakai metode tafsir bi al-ma’tsur karena dalam mengemukakan

penafsiran suatu ayat, ia mengemukakan pendapat-pendapat sahabat,

(11)

mana di antara riwayat itu yang lebih kuat, serta membahas segi-segi i’rab yang dapat memperjelas makna ayat yang ditafsirkan, dan juga

mengemukakan istinbath hukum.11

Metode al-Thabari ini dapat dilihat ketika menjelaskan ayat Q.S.

al-Baqarah : 3. Dalam ayat ini al-Thabari menjelaskan kata per kata.

Pertama, dalam menjelaskan kata

نَ يْ نُيُ نِ يْ نُيُ نَ يْ نِ لَّا

diriwayatkan al-Thabari

dari jalur Muhammad bin Hammad al-Razi yang bersumber dari Ibnu

Abbas yang dimaksud dengan kata

نَ يْ نُيُ نِ يْ نُيُ نَ يْ نِ لَّا

adalah orang-orang

Hasan mengatakan bahwa Iman artinya membenarkan. Menurut orang

Arab kata “iman” berarti membenarkan, baik dengan lisan maupun

perbuatan. Allah SWT juga berfirman dalam Q.S. Yusuf : 17.

نَيْ نِ نِ نَ لَّ نُ يْ نَانَ نَ لَّا نٍ نِ يْ نُنِ نَ يْ نَ نَ نَ

12Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al Bayan al Ta’wil Ayi al-Qur’an,

(12)

Dalam hal ini al-Thabari menekankan bahwa iman yang dimaksud

dalam ayat di atas adalah percaya. Percaya dalam bentuk pengakuan

dengan lisan dan direalisasikan dengan perbuatan.

Riwayat dari Bisyr bin Mu’adz al-Uqadi dari Yazid bin Zura’i dari

Sa’id bin Abi Arubah dari Qatadah yang dimaksud dengan

نَ يْ لَّا

نِ يْ نَ يْانِ نَ يْ نُيُ نِ يْ نُيُ

dalam firman Allah tersebut yaitu mereka yang beriman

dengan surga, neraka, kebangkitan sesudah kematian, hari kiamat.

Semua itu adalah gaib.13

Ammar bin al Hasan meriwayatkan dari Abdullah bin Abu Ja’far,

dari bapaknya, dari Rabi’ bin Anas bahwa yang dimaksud dengan

firman Allah

نِ يْ نَ يْانِ نَ يْ نُيُ نِ يْ نُيُ نَ يْ لَّا

adalah mereka yang beriman kepada

Allah, malaikat, para Rasul, hari Kiamat, surga, neraka, pertemuan

dengan Allah, dan kehidupan setelah kematian.

Menurut al-Thabari kata gaib asalnya adalah segala sesuatu yang

tidak diketahui. Dengan demikian,

نِ يْ نَ يْانِ نَ يْ نُيُ نِ يْ نُيُ نَ يْ لَّا

adalah

orang-orang yang beriman kepada segala sesuatu yang tidak diketahuinya,

baik itu kepada Allah, malaikat-Nya, surga, neraka, hari kebangkitan

dan lainnya.14

13Ibid.,

h. 312

14Ibid.,

(13)

Kata

نَو نَ لَّلا

dalam firman Allah diartikan al-Thabari dengan shalat

fardhu. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkannya dari Yahya bin Abu

Thalib dari Yazid dari Juwaibir dari al-Dhahak bahwa

نَو نَ لَّلا نَ يْ نُ يْ نِ نُ نَ

adalah shalat fardhu. Dinamai demikian menurutnya karena orang

yang shalat memperlihatkan pekerjaannya agar memperoleh pahala

dan mendapatkan apa yang dipintanya dari Allah SWT seperti orang

yang berdo’a yang memperlihatkan do’anya kepada Tuhannya agar

memperoleh apa yang dipintanya.15

Namun, dalam riwayat lain yang dikutip oleh al-Thabari

mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mendirikan shalat adalah

menyempurnakan ruku’, sujud, bacaan khusyu’, dan konsentrasi

padanya.16 Dengan kata lain bahwa yang dimaksud dengan mendirikan

shalat adalah melaksanakan shalat dengan sempurna baik itu shalat

fardhu atau shalat yang lainnya.

Dalam hal ini al-Thabari melakukan tarjih terhadap riwayat yang

menurutnya lebih kuat. Dengan inilah al-Thabari dipandang

menggunakan ra’yinya untuk menjelaskan ayat tidak semata dengan

riwayat saja.

15

Ibid., h. 3 16

(14)

Selanjutnya, kata

نَ يْ نُ نِفيْ نُيُ يْمنُهنَيُ يْيُ نَزنَر

لَّنِمِنَ

yang berbeda mufassir dalam

menjelaskannya. Ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan

menafkahkan sebagian rezeki yang kami anugerahkan kepada mereka

adalah mengeluarkan zakat dengan penuh kepasrahan atasnya. Hal ini

berdasarkan riwayat dari Ibnu Hamid dari Muhammad bin Ishak dari

Muhammad bin Abi Muhammad (pembantu Zaid bin Tsabit) dari

Ikrimah atau Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas.17

Sebagian mereka berpendapat adalah nafkah laki-laki atas

keluarganya berdasarkan riwayat dari Musa bin Harun dari Amru bin

Hamad dari Asbath bin Nashr dari Ismail al-Suddi dari Abu Malik,

dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa yang

dimaksud dari ayat tersebut adalah nafkah laki-laki atas keluarganya,

dan hal ini sebelum turun perintah zakat.18

Dengan berbagai pendapat demikian, al-Thabari memahami ayat

tersebut secara umum mencakup pemberian zakat atau nafkah laki-laki

atas keluarganya, karena Allah menyebutkan sifat mereka secara

umum yaitu menyedekahkan sebagian harta yang mereka miliki. Allah

lalu memuji perilaku baik mereka, karena Allah tidak mengkhususkan

(15)

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa al-Thabari

menafsirkan suatu ayat kata per kata berdasarkan riwayat yang ada.

Sesekali menjelaskan sisi kebahasaannya. Hal ini bisa dilihat ketika

menjelaskan kata al-ghaib dan al-shalah di atas. Kemudian melakukan

tarjih terhadap riwayat yang menurut al-Thabari itu dipandang lebih kuat kebenarannya.

2. Aplikasi Metode Tafsir bi al-Ma’tsur oleh Jalaluddin Rakhmat

Tafsir bil Ma’tsur : Pesan Moral al-Qur`an termasuk salah satu

karya di bidang tafsir yang memakai metode tafsir bi al-ma’tsur. Hal

ini bisa di lihat dari judul buku itu sendiri yaitu Tafsir bil Ma’tsur :

Pesan Moral al-Qur`an. Tidak hanya itu saja, dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur`an yang ditafsirkan dalam buku ini Kang Jalal, yang

merupakan panggilan akrabnya mengemukakakan riwayat-riwayat

yang terkait.20

Riwayat-riwayat yang dikutip oleh Kang Jalal adalah riwayat-

riwayat yang mengenai peristiwa-peristiwa pada zaman Rasulullah dan

juga mengutip peristiwa-peristiwa di luar zaman Nabi. Tetapi yang

paling sering dikutip adalah peristiwa-peristiwa pada zaman

Rasulullah.

Pemilihan hadis atau peristiwa-peristiwa itu dilakukan secara

selektif. Hadis-hadis dipilih berdasarkan tiga hal yaitu :

20

Jurnal Ilmu al Qur`an & Hadis vol. 3 No. 2/ Desember 2013, (Muslim, Pesan Moral al

(16)

a. Otentisitas, keshahihan hadis.

b. Relevansi, kaitannya dengan pesan moral yang di kandung ayat al Qur`an.

c. Aktualitas, kaitan pesan moral itu dengan keadaan umat Islam sekarang.21

Dengan ini Kang Jalal menekankan bahwa pentingnya

mengetahui penyebab historis munculnya suatu ayat yang dapat

memudahkan dalam memahaminya.

Menurut Kang Jalal memahami al Qur`an dengan menggunakan

asbab al-nuzul karena peristiwa-peristiwa yang menjadi sebab turunnya al-Qur`an dapat menjelaskan yang samar, menegaskan yang

kabur, atau memecahkan yang musykil.22

Asbab al-nuzul juga dapat membantu menjelaskan hikmah yang dikandung dalam penetapan suatu hukum. Proses penetapan hukum

banyak mengandung hikmah yang bisa dijadikan pelajaran.

Metode yang dilakukan oleh Kang Jalal ini dapat dilihat ketika

menjelaskan Surat al Baqarah : 3. Dalam menjelaskan ayat tersebut

didahului dengan mengungkapkan riwayat terkait peristiwa yang

terjadi pada zaman Nabi.

Ketika hendak melaksanakan shalat shubuh, Rasulullah SAW dan

para sahabat kesulitan mendapatkan air untuk berwudhu’. Kemudian,

Rasulullah SAW menyuruh Bilal untuk membawa kantong kulit yang

21

Jalaluddin Rakhmat, op.cit., h. ix

(17)

biasa untuk menyimpan air. Beliau meletakkan tangannya di atasnya

dan membuka jari-jari tangannya. Kemudian, memancarlah air dari

sela-sela jari Rasulullah SAW sehingga mereka bisa berwudhu’.

Setelah itu, mereka melaksanakan shalat yang dipimpin oleh Rasullah

SAW.23

Seusai shalat, Rasulullah SAW bertanya kepada para sahabat,

“Siapa makhluk Allah yang paling menakjubkan imannya?” para

sahabat menjawab, “malaikat!”. “Bagaimana malaikat tidak beriman

padahal mereka pelaksana perintah Allah.”jawab Nabi. “Kalau begitu,

para Nabi,” jawab sahabat lagi. “Bagaimana para Nabi tidak beriman,

padahal wahyu dari langit turun kepada mereka.” “Kalau begitu,

sahabat-sahabatmu ya Rasulullah.” Bagaimana sahabat-sahabatku

tidak beriman, padahal mereka menyaksikan apa yang mereka

saksikan.”24

Kemudian, Nabi menjelaskan bahwa orang yang paling

menakjubkan imannya ialah “kaum yang datang sesudah kamu

sekalian. Mereka membenarkan aku tanpa pernah melihatku. Mereka

menemukan tulisan dan beriman kepadaku. Mereka mengamalkan apa

yang ada dalam tulisan itu. mereka membela aku seperti kalian

membelaku. Alangkah inginnya Aku berjumpa dengan ikhwanku itu!”

kemudian Rasulullah SAW membaca surat al-Baqarah : 3.25

23Ibid.,

h. 21

(18)

Jalaluddin berpendapat bahwa secara tidak langsung Nabi SAW

mengajar para sahabatnya tentang evolusi manusia yang progresif.

Umat manusia secara keseluruhan berkembang menuju

kesempurnaan, intelegensinya makin tinggi, pengetahuannya makin

luas, dan keimanannya juga semakin dalam.26

Riwayat di atas beliau kutip dari Tafsir al-Dur al-Mantsur karya

Jalaluddin al-Suyuthi. Beliau tidak langsung merujuk ke kitab-kitab

hadis yang mencantupkan langsung tentang riwayat tersebut. Sehingga

terkesan karya beliau ini saduran sederhana dari kitab Tafsir al-Dur

al-Mantsur. Menurut penulis, di sinilah letak salahsatu kelemahan

karya Jalaluddin Rakhmat.

Dengan peristiwa ini Jalaluddin menjelaskan bahwa orang yang

dimaksud dalam QS. al Baqarah : 3 adalah orang-orang yang beriman

kepada Nabi dan apa yang diturunkan kepada nabi melalui hati dan

akalnya.

Dari riwayat di atas Jalaluddin menjelaskan bahwa yang

melatarbelakangi Q.S. al-Baqarah : 3 ini adalah ketika sahabat

kekurangan air untuk berwudhu kemudian keluarlah air dari sela-sela

jari Nabi sehingga mereka bisa melaksanakan shalat. Setelah selesai

shalat Nabi menjelaskan apa yang dimaksud oleh ayat Q. S. Al

Baqarah : 3.

26Ibid.,

(19)

Menurut penulis inilah salahsatu bentuk penafsiran al-Quran

dengan Hadis Nabi. Namun, ada kekurangan dalam penafsiran ini

dimana Jalaluddin tidak mengemukakan jalur sanad riwayat, sehingga

tidak dapat diketahui dari siapa riwayat tersebut dan keotentisitasan

riwayat tersebut juga tidak dapat diketahui.

Namun, di bagian lampiran buku Jalaluddin ini, ia mencantupkan

riwayat yang lengkap dengan sanadnya. Hal ini dilakukan oleh

Jalaluddin dikarenakan sasaran utama karyanya ini adalah untuk orang

awam yang tidak bisa berbahasa Arab dengan menampilkan bentuk

asbab al-nuzul yang sederhana sehingga mudah dipahami. Jalaluddin menyebutkan jika ingin mengetahui lebih tentang riwayat tersebut,

maka bisa dilihat pada bagian lampirannya.

Begitu juga ketika menjelaskan Q.S. Alu Imran : 92. Jalaluddin

mengemukakan riwayat-riwayat yang terkait dengan peristiwa–

peristiwa yang terjadi setelah ayat tersebut diturunkan. Peristiwa

bagaimana para sahabat memahami dan melaksanakan ayat tersebut.

Diriwayatkan bahwa ketika ayat tersebut turun, Abu Thalhah

seorang yang paling banyak memiliki kebun kurma di Madinah. Dari

sekian banyak kebun yang dimilikinya, yang paling ia sukai adalah

Birha, kebun kurma yang menghadap ke arah mesjid Nabi. Nabi SAW

sering masuk ke kebun itu dan meminum airnya yang segar. Ketika

(20)

menyerahkan kebun Birha sebagai sedekah karena Allah. Ia ingin

menyimpannya di sisi Allah.

Rasulullah SAW menyuruh Abu Thalhah membagikan kebunnya

tersebut kepada keluarganya yang miskin. Kemudian, ia membagikan

kebun itu kepada kerabatnya dan saudara misannya.27

Bukan hanya Abu Thalhah yang tersentuh dengan ayat ini. Zaid

bin Haritsah, budak yang pernah menjadi anak angkat Rasulullah yang

membawa kuda kesayangannya kepada Rasulullah fi sabilillah dan

juga Abdullah bin Umar yang membebaskan budak yang sangat ia

sukai karena Allah.

Dari riwayat tersebut dapat diketahui bahwa pemahaman para

sahabat terhadap ayat tersebut secara tekstual. Para sahabat

menjalankan sebagaimana yang tersurat dalam ayat tanpa memerlukan

pemahaman yang lebih mendalam apa yang dimaksud ayat tersebut.

E. Analisa Penulis terhadap Metode Tafsir bi al-Ma’tsur Jalaluddin Rakhmat dan al-Thabari

Dari penjelasan yang telah diuraikan di atas bahwa metode tafsir bi

al-ma’tsur Jalaluddin Rakhmat dan al-Thabari adalah tafsir bi al-ma’tsur dengan bentuk penafsiran al-Qur`an dengan Hadis Nabi dan Perkataan

Sahabat. Tetapi bentuk penafsiran keduanya berbeda. Di mana Jalaluddin

Rakhmat mengambil riwayat yang terkait dengan peristiwa-peristiwa yang

27

(21)

melatarbelakangi turunnya ayat tersebut atau dapat dikatakan penafsiran

ayat al-Qur`an dengan melihat asbab al-nuzul ayat tersebut.

Metode yang dilakukan oleh Jalaluddin Rakhmat ini bukanlah

sesuatu yang baru. Hal ini sudah dilakukan oleh ulama sebelumnya,

Jalaluddin al Suyuthi dalam kitab tafsirnya Tafsir al-Dur al-Mantsur yang

merupakan rujukan utama Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Tafsir bil

Ma’tsur : Pesan Moral al-Qur`an ini. Hal inilah yang menurut penulis

yang melatarbelakangi Jalaluddin Rakhmat mengemas karyanya seperti

yang ada sekarang.

Jalal lebih mengedepankan penafsiran al-Qur`an dengan Hadis

Nabi dan tidak banyak menggunakan penafsiran Qur`an dengan

al-Qur`an. Jalal berpendapat bahwa hal itu sangat sulit dilakukan dan dapat

menjatuhkan seseorang pada penafsiran yang salah.

Jalal berpendapat demikian disebabkan dia bukanlah seorang yang

pakar di bidang tafsir dan keilmuan Islam lainnya melainkan seorang

yang pakar dalam bidang komunikasi. Meraih gelah doktor bidang

komunikasi di Iowa State University, Amerika Serikat. Inilah salah satu

bentuk kehati-hatian Jalal dalam menafsirkan al-Qur`an.

Dengan metode yang dilakukan oleh Jalal ini menunjukkan bahwa

sangat pentingnya mengetahui asbab al-nuzul dalam memahami suatu ayat

dalam al-Qur`an. Al-Qur`an turun kepada Nabi dengan berbagai peristiwa

(22)

Sedangkan al-Thabari mengambil riwayat yang menjelaskan ayat

tersebut dengan menggunakan pendekataan kebahasaan. Sehingga dengan

riwayat tersebut dapat langsung dipahami apa yang dimaksud oleh ayat

tersebut.

Perbedaan kedua metode ini menunjukkan bahwa al-Qur`an

terbuka terhadap berbagai keilmuan serta ruang dan waktu.

Dengan penafsiran yang dilakukan oleh Jalaluddin Rakhmat ini

menunjukkan bahwa al-Qur`an itu dapat dipahami oleh siapapun dengan

melakukan berbagai metode dan pendekatan. Walaupun bukan

berlatarbelakang keilmuan tafsir. Namun, dengan melihat berbagai cara

yang dilakukan oleh ulama sebelumnya seseorang dapat memahami

al-Qur`an serta menghasilkan suatu karya.

Perbedaan kedua metode yang dilakukan oleh kedua tokoh ini

menunjukkan bahwa keilmuan al-Qur`an terus berkembang sesuai dengan

perkembangan ilmu pengetahuan. Berbedanya zaman dan tempat yang

dialami oleh seorang mufasir, berbeda pula metode yang digunakan dalam

memahami al-Qur`an.

Al-Thabari seorang yang hidup di wilayah sekitar abad ke 3 H

dengan keadaan keilmuan Islam yang sedang berkembang pesat.

Eksistensi al-Thabari di bidang tafsir tak bisa diragukan lagi. Sebuah

karyanya Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur`an sampai sekarang masih

menjadi rujukan bagi umat Islam dalam memahami al-Qur`an dan masih

(23)

Sedangkan Jalaluddin Rakhmat seorang tokoh Indonesia yang

hidup zaman kontemporer dengan berbagai permasalahan yang ada.

Melalui karyanya Tafsir bil Ma’tsur : Pesan Moral al-Qur`an ia

melakukan kembali metode tafsir bi al-ma’tsur dengan melakukan

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah produksi jagung respnden di Desa Bange Kecamatan Sangau Ledo dijelaskan sebesar 97,00% oleh faktor-faktor penggunaan benih, jumlah penggunaan pupuk urea, jumlah

Setelah selesai melakukan penyidikan, PPNS Keimigrasian menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum dan tahapan pelaksanaan dalam rangka memperoleh keterangan

Penerapan teori humanistik dalam pembelajaran dapat dimodifikasi secara lentur oleh guru, hal ini lebih memberikan ruang kreatifitas yang tidak terbatas pada

Tujuan dari sistem ini adalah dapat memberikan sebuah sistem informasi perencanaan dan pengadaan kebutuhan bahan baku kepada perusahaan, serta sistem informasi

Materi Dakwah yang disampaikan para Ulama di Kecamatan Anjir Pasar tentang zakat pertanian tidak terlepas dari hukum-hukumnya serta bagian- bagiannya, seperti

Diantara materi yang diajarkan pada sekolah dasar kelas IV adalah materi menentukan Kelipatan Persekutuan Terkedil (KPK) dan Faktor Persekutuan Terbersar (FPB). Namun bagi

Hasil dari penelitian ini kepuasan pada pimpinan tidak berpengaruh pada kinerja tenaga penjual, sehingga dapat disimpulkan meskipun kinerja tenaga penjual meningkat

Aplikasi ini merupakan aplikasi dari analisa yang terjadi di lapangan bagaimana prosedur penyewaan fasilitas yang ada digambarkan ke dalam rancangan sistem