• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN YURIDIS YANG MENYEBABKAN NEGARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TINJAUAN YURIDIS YANG MENYEBABKAN NEGARA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS YANG MENYEBABKAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA BELUM MEMILIKI HUKUM NASIONAL YANG

TERKODIFIKASI

MAKALAH

Untuk memenuhi tugas Politik Hukum

Program Studi Magister Hukum Konsentrasi Hukum Kenegaraan

Disusun oleh: Aryani Widhiastuti 14/371187/PHK/8175

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS GADJAH MADA

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembentukan tatanan hukum dipengaruhi oleh aliran pemikiran yang berkembang pada suatu tempat dan masa tertentu. Begitu pula di Indonesia, pembangunan Hukum Nasional tidak dapat dipisahkan dari perjalanan sejarah perkembangan tatanan yang berlaku pada masyarakat Indonesia. Membahas mengenai pembentukan hukum nasional maka membahas pula mengenai politik hukum nasional. Melalui politik hukum nasional, kita dapat mengetahui bagaimanakah dan kemanakah arah kebijakan yang dibuat dan dikehendaki oleh penyelenggara Negara dalam menjalankan pemerintahannya untuk mencapai tujuan Negara. Arah politik hukum nasional dapat dilihat dari sistem hukum nasional Indonesia yang tertuang dalam suatu peraturan perundang-undangan yang dibentuk.

Wajah hukum Indonesia yang dapat dilihat saat ini memang tidak terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhi. Disamping keberadaan tatanan hukum asli masyarakat Indonesia yang hidup dan berkembang sejak dahulu, yang kini akan diangkat dalam pembangunan hukum nasional (misalnya menempatkan hukum adat sebagai basis hukum nasional), pengaruh tatanan hukum modern (hukum eropa) yang dibawa oleh bangsa penjajah (Belanda) pada masa colonial dan terlanjur tertanam dan mengakar kuat dalam sistem hukum Indonesia (misalnya politik unifikasi dan kodifikasi), serta tidak dapat dihindari lagi pengaruh dari tatanan hukum Negara-negara maju didunia dalam rangka memenuhi tuntutan era globalisasi1. Sejak awal pembentukan

hukum di Indonesia telah dipengaruhi oleh tatanan hukum Eropa khususnya dari Belanda, mengingat bahwa Indonesia bekas wilayah jajahan Belanda. Sebagai contoh yaitu dasar hukum perdata Indonesia yaitu Kitab undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) tidak lain adalah terjemahan dari Burgerlijk Wetbook (BW) yang diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi. Seiring berjalannya waktu, hukum kolonial yang telah dianut

(3)

dan diubah statusnya menjadi hukum nasional tersebut ternyata berbenturan dengan hukum adat masyarakat Indonesia. Di lain sisi muncul pula pihak yang memperjuangkan hukum Islam yang aturannya juga tidak dapat sejalan dengan aturan yang tercantum dalam hukum kolonial. Polemik tersebut hingga kini bahkan telah menjadi semacam “aliran” atau pandangan yang berbeda mengenai bagaimana hendaknya hukum di Indonesia dikembangkan. Ada yang menginginkan tetap terpeliharanya huku adat yang pluralistis, ada pula yang menginginkan berlakunya hukum islam, namun banyak sarjana hukum terutama yang duduk di pemerintahan dan MPR/DPR menginginkan berlakunya unifikasi dan kodifikasi huku bagi seluruh wilayah Republik Indonesia dan semua warga negaranya2.

Mengkodifikasi undang-undang merupakan salah satu kegiatan pembangunan hukum yang merujuk pada suatu produk hukum. Kodifikasi sendiri menurut Mulyana W. Kusumah diartikan sebagai pembukuan hukum dalam artian menghimpun aturan-aturan hukum yang sejenis ke dalam satu buku hukum baik secara tuntas maupun secara parsial, termasuk juga di dalamnya pembuatan peraturan tentang bidang-bidang tertentu3. Sebagai hasil

dari politik hukum, arahan untuk melakukan kodifikasi hukum pun telah dicantumkan secara jelas sejak berlakunya TAP MPR Nomor IV/MPR/1978 butir (c), begitu juga tercantum dalam TAP MPR Nomor II/MPR/1983 butir (c) dan TAP MPR No II/MPR/1988 butir (c). Namun mengapa dalam perkembangannya hingga saat ini, Indonesia belum mempunyai Hukum Nasional yang terkodifikasi. Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, penulis akan melakukan suatu analisis yuridis terkait dengan penyebab Negara Republik Indonesia belum memiliki hukum nasional yang terkodifikasi.

B. Permasalahan

Apakah yang menyebabkan Negara Republik Indonesia belum memiliki hukum nasional yang terkodifikasi ditinjau dari segi yuridis?

BAB II

2 C.F.G. Sunaryati Hartono, Bhineka Tungga Ika Sebagai Asas Hukum Bagi Pembangunan

Hukum Nasional , Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, Hal 23

(4)

PEMBAHASAN

Tinjauan Yuridis terhadap Belum Dimilikinya Hukum Nasional yang terkodifikasi di Negara Repubik Indonesia

Pembangunan hukum nasional tidak terlepas dari peran penyelenggara Negara dalam menentukan arah politik hukum nasional. Lalu bagaimana pengaruh politik hukum Indonesia dalam pembentukan kodifikasi hukum di Indonesia? Pengertian kodifikasi sendiri adalah pembukuan jenis-jenis hukum tertentu dalam kitab undang-undnag secara sistematis dan lengkap. Adapun tujuan kodifikasi daripada hukum tertulis ialah untuk memperoleh: (a)Kepastian hukum, (b)Penyederhanaan hukum, (c)Kesatuan hukum.4 Di dalam mengadakan

kodifikasi hukum, maka ketiga dari tujuan minimal kodifikasi seperti dikemukakan di atas tidak berdiri sendiri, karena tujuan kodifikasi tidak akan mungkin tercapai, bila hanya satu atau dua tujuan yang dalam kenyataan benar-benar terwujud. Sedangkan definisi politik hukum nasional menurut Sunaryati Hartono merupakan sebuah alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh Pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia5.

Dalam menguraikan mengenai alasan mengapa Indonesia belum memiliki hukum nasional terkodifikasi, Penulis akan terlebih dahulu menguraikan mengenai bagaimana pengaturan yuridis tatanan hukum di Indonesia yang berkaitan mengenai amanat dalam melakukan kodifikasi hukum nasional.

Rumusan politik hukum nasional tercantum di dalam peraturan perundang-undangan sebagai produk hukum yang dibentuk oleh pihak yang berwenang yaitu lembaga legislatif. Banyak factor yang dapat mempengaruhi karakteristik politik hukum nasional sebuah Negara, tidak terkecuali Indonesia. Faktor-faktor itu bisa meliputi sejarah, geografi, tradisi local, kenstelasi social-politik, ekonomi, agama dan lain sebagainya. Belum lagi kelompok-kelompok

4 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, Hlm.72

(5)

yang digolongkan dalam suprastruktur politik (penyelenggara Negara) dan infrastruktur poitik (kelompok-kelompok kepentingan)6.

Berdasarkan UUD 1945, lembaga yang mempumyai wewenang dalam perumusan politik hukum nasional, diantaranya Majelis Permusyawaratan rakyat (MPR) dan dewan perwakilan rakyat (DPR). Pasal 3 ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945 menyebutkan, “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar”. Merujuk dari bunyi pasal tersebut menunjukkan bahwa MPR berwenang merumuskan politik hukum dalam bentuk Undang-Undang Dasar. Segala bentuk perubahan dan penetapan yang dilakukan oleh MPR terhadap UUD 1945 disebut sebagai politik hukum karena merupakan kebijaksanaan dasar dari penyelenggara Negara dan dimaksudkan sebagai instrument untuk mencapai tujuan Negara yang dicita-citakan. Sedangkan DPR berwenang merumuskan politik hukum dalam bentuk Undang-undang sesuai dengan amanat yang termaktub dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”. Diperkuat pula oleh Pasal 20 A yang mengatakan, “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”. Dengan melekatnya fungsi legislasi tersebut DPR mempunyai peran yang sangat signifikan dalam membuat hukum nasional untuk mencapai cita-cita Negara. Setelah membahas mengenai penyelenggara Negara perumus politik hukum nasional, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimanakah sebenarnya karakteristik politik hukum nasional dalam upaya membangun hukum nasional?

Menengok kebelakang, bahwa karakteristik politik hukum nasional sudah mulai dicantumkan pada rumusan GBHN pada butir (c) TAP MPR Nomor IV/MPR 1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang berbunyi:

“Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional, dengan antara lain mengadakan pembaharuan kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat”

Berangkat dari ketentuan tersebut dapat ditafsirkan bahwa arahan dalam pembentukan hukum nasional pada masa itu dilakukan dengan cara kodifikasi dan

(6)

unifikasi hukum. Tafsiran yang sama juga dicantumkan pula dalam TAP MPR selanjutnya yaitu TAP MPR Nomor II/MPR/1983 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara butir (c):

“Meningkatkan dan menyempurnakan pembinaan hukum nasional dalam rangka pembaharuan hukum, dengan antara lain mengadakan kodifikasi serta unifikasi hukum di bidang-bidang hukum tertentu dengan memperhatikan kesadaran hukum yang berkembang dalam masyarakat” Tidak jauh berbeda pula dengan ketentuan dalam TAP MPR Nomor II/MPR/1988 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara butir (c):

“Dalam rangka pembangunan hukum perlu lebih ditingkatkan upaya pembaruan hukum secara terarah dan terpadu, antara lain kodifikasi dan unifikasi bidang-bidang hukum tertentu serta penyusunan perundang-undangan baru yang sangat dibutuhkan untuk dapat mendukung pembangunan di berbagai bidang sesuai dengan tuntutan pembangunan, serta tingkat kesadaran masyarakat”.

Terlihat bahwa rumusan karakteristik politik hukum dalam rangka pembangunan hukum nasional pada TAP MPR Nomor IV/MPR 1978, TAP MPR Nomor II/MPR/1983, dan TAP MPR Nomor II/MPR/1988 mempunyai arah yang sama yaitu dengan melakukan suatu kodifikasi dan unifikasi hukum. Arah yang berbeda baru dicantumkan dalam rumusan TAP MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar haluan Negara butir (c) yang berbunyi:

(7)

dan hukum adat; (3) melakukan pembaruan terhadap warisan hukum colonial dan hukum nasional yang diskriminatif dan tidak sesuai dengan tujuan reformasi. Kemudian pada masa reformasi banyak terjadi perubahan di seluruh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk tidak diamanatkannya lagi MPR untuk membentuk GBHN. Tidak adanya GBHN maka akan mengakibatkan tidak adanya lagi rencana pembagian jangka panjang pada masa mendatang. Untuk itu para penyelenggara Negara sepakat untuk menetapkan sistem perencanaan pembangunan Nasional melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang didalamnya mengatur mengenai perencanaan pembangunan jangka panjang (20 tahun), jangka menengah (5 tahun), dan pembangunan tahunan. Berdasarkan amanat UU SPPN, pengaturan mengenai rencana pembangunan jangka panjang secara lex spesialis diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025.

Tujuan pembangunan jangka panjang tahun 2005–2025 adalah mewujudkan bangsa yang maju, mandiri, dan adil sebagai landasan bagi tahap pembangunan berikutnya menuju masyarakat adil dan makmur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai ukuran tercapainya Indonesia yang maju, mandiri, dan adil, pembangunan nasional dalam 20 tahun mendatang diarahkan pada pencapaian sasaran-sasaran pokok salah satunya adalah mewujudkan Indonesia yang demokratis, berlandaskan hukum dan berkeadilan yang ditunjukkan salah satuya dengan terciptanya supremasi hukum dan penegakkan hak-hak asasi manusia yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta tertatanya sistem hukum nasional yang mencerminkan kebenaran, keadilan, akomodatif, dan aspiratif. Terciptanya penegakan hukum tanpa memandang kedudukan, pangkat, dan jabatan seseorang demi supremasi hukum dan terciptanya penghormatan pada hak-hak asasi manusia7. Dalam lampiran Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007

tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 juga menjelaskan mengenai arah pembangunan jangka panjang tahun 2005–2025,

(8)

salah satunya adalah reformasi hukum dan birokrasi. Disebutkan bahwa, “….pembangunan hukum dilaksanakan melalui pembaruan materi hukum dengan tetap memerhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan perlindungan hukum, penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia (HAM), kesadaran hukum, serta pelayanan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, ketertiban dan kesejahteraan dalam rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib, teratur, lancar, serta berdaya saing global.” Disebutkan pula, “Pembangunan hukum diarahkan pada makin terwujudnya sistem hukum nasional yang mantap bersumber pada Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yang mencakup pembangunan materi hukum, struktur hukum termasuk aparat hukum, sarana dan prasarana hukum; perwujudan masyarakat yang mempunyai kesadaran dan budaya hukum yang tinggi dalam rangka mewujudkan negara hukum; serta penciptaan kehidupan masyarakat yang adil dan demokratis.”

Melihat berbagai aturan mengenai pembangunan hukum nasional dimulai sejak berlakunya TAP MPR hingga diberlakukannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 sebagai tindaklamjut dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, diketahui bahwa politik hukum nasional yang tercantum dalam Undang-Undang sudah tidak lagi menyebutkan secara tegas mengenai perintah untuk melakukan kodifikasi hukum dalam pembangunan hukum nasional, melainkan dilaksanakan melalui pembaruan materi hukum dengan memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku dan pengaruh globalisasi guna meningkatkan kepastian, perlindungan dan penegakan hukum dan hak asasi manusia, dengan tujuan untuk mewujudkan sistem hukum nasional yang bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

(9)

hidup bersama diantara elemen-elemen yang membentuk Negara yang berupa suku, ras, kelompok, golongan, maupun kelompok agama. Keanekaragaman tersebut mengikat diri dalam suatu persatuan yang dilukskan dalam suatu seloka Bhineka Tunggal Ika. Perbedaan bukannya untuk diruncingkan menjadi konflik dan permusuhan melainkan diarahkan pada suatu sintesa yang saling menguntungkan yaitu persatuan dalam kehidupan bersama untuk mewujudkan tujuan bersama.8 Penjabaran sila tersebut menggambarkan bahwa

keanekaragaman di Indonesia sangat dijunjung dan dihargai, termasuk dalam pembentukan hukum nasional yang seharusnya juga menghargai dan mengakomodir semua hukum adat yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Indonesia sepanjang sesuai dngan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia.

Meskipun telah tidak diamanatkan secara yuridis untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi hukum, namun pemerintah tetap berupaya untuk melakukan kebijakan tersebut. Hanya saja dalam prosesnya semakin mengalami banyak tantangan. Disamping tidak adanya aturan yang mampu melegitimasi kebijakan pembentukan hukum secara kodifikasi dan unifikasi, perkembangan social-politik dan kesadaran hukum masyarakat menjadi tantangan besar tersendiri.

Perkembangan hukum di Indonesia saat ini (lebih dari 60 tahun pencanangan tekad pembangunan nasional), wajah hukum nasional kita tidak jauh berbeda dengan hukum jaman kolonial, sehingga secara paradigmatik bisa dikatakan bahwa belum ada proses “pembebasan” status quo dalam proses pembangunan hukum. Tekad untuk membangun tatanan hukum nasional yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia sebenarnya sudah dituangkan dalam Pembukaan undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) pada kalimat yang menyatakan: “….untuk membentuk suatu pemerintahan yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, .. maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu Undang-Undang dasar Negara Indonesia…”. Politik pembangunan hukum nasional tersebut selalu ditegaskan dalam berbagai landasan kebijakan penyelenggaraan Negara, misalnya pada era

(10)

dahulu selalu tercantum dalam Tap-Tap MPR yang memuat tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara dan hingga kini tercantum secara eksplisit dalam Konstitusi Negara yaitu Pasal 8B ayat (2) UUD 1945 berbunyi: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang”.

Upaya dalam melakukan kodifikasi, unifikasi dan universalisasi hukum sebenarnya sudah diawali sejak jaman kolonial dan diteruskan hingga jaman pembangunan nasional sekarang ini. Namun upaya pengkodifikasian tersebut akan sangat susah dilakukan bahkan dapat berisiko mengalami kegagalan mengingat bahwa kuatnya budaya asli Indonesia dengan corak masyarakat Indonesia yang bersifat pluralistik. Sebagai contoh pada hukum privat Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dan juga pada hukum publik yaitu Kitab undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berasal dari hukum warisan Belanda Wet Boek van Strafrecht voor Netherlands Indie, yang saat ini masih berlaku menjadi hukum positif Indonesia namun juga tidak dapat memenuhi rasa keadilan apabila ditinjau dari hukum adat. Namun atas dasar pertimbangan tidak boleh ada kekosongan hukum, Pasal 1 Aturan peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang dasar ini”. Ketentuan ini memberikan legitimasi konstitusional bagi peraturan perundnag-undangan warisan kolonial untuk tetap berlaku. Meskipun demikian upaya pembangunan hukum nasional harus tetap dilakukan mengingat bahwa peraturan perundang-undangan warisan kolonial banyak yang bertentangan dengan tradisi dan agama masyarakat. Atas dasar itu, upaya pembentukan hukum nasional mutlak dilakukan. Pada setiap Negara merdeka, secara teoritis maupun secara praktik penyelenggaraan Negara, selalu diusahakan agar sistem hukum yang berlaku adalah sesuai untuk kehidupan bernegara9. Dengan demikian, apabila penyelenggara Negara masih bersikuat

untuk melakukan kodifikasi hukum, maka menurut Imam Syaukani dalam

(11)

bukunya Dasar-Dasar Politik Hukum, kodifikasi lebih dilihat sebagai upaya untuk menghimpun materi hukum tertentu yaitu hukum perdata, hukum pidana, hukum dagang, hukum acara perdata, hukum acara pidana dan hukum perdata internasional, yang masing-masing harus tersusun dan terhimpun secara sistematis dalam kitab undang-undang. Hanya saja, agar tidak terjadi kemandekan hukum dan tidak menimbulkan konflik antarpenduduk, politik hukum kodifikasi hendaknya menganut prinsip terbuka dan prinsip kodifikasi parsial.10 Prinsip

kodifikasi terbuka adalah dimungkinkan diluar kitab-kitab undang-undang terdapat aturan yang berdiri sendiri. Sedangkan makna dari prinsip parsial ialah, dalam melaksanakan kodifikasi sesuatu cabang huikum pokok, kodifikasi tersebut dilakukan mengenai bagian-bagian tertentu saja. Menurut Radhie, seperti yang dikemukakan Mochtar Kusuma Atmaja, kodifikasi dilakukan hanya pada bagian-bagian yang tergolong hukum “netral” dan tidak termasuk hukum yang berkenaan dengan kesadaran budaya atau kepercayaan agama.11

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN

10 Teuku Mohammad Radhie, pembangunan Hukum Nasional dalam Perspektif Kebijakan” dalam Artidjo Alkostar . (ed.), identitas Hukum Nasional. Yogyakarta, fakultas Hukum UII, 1997, hlm. 216

(12)

Pembangunan hukum nasional tidak terlepas dari peran penyelenggara Negara dalam menentukan arah politik hukum nasional, termasuk dalam melakukan suatu kodifikasi terhadap hukum nasional. Mengenai aturan dalam mengkodifikasi hukum nasional sudah ada sejak berlakunya TAP MPR Nomor IV/MPR 1978, TAP MPR Nomor II/MPR/1983, dan TAP MPR Nomor II/MPR/1988 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, namun seiring berkembangnya dan bergantinya peraturan perundang-undangan sebagai wujud dari politik hukum para penyelenggara Negara, aturan mengenai kodifikasi sudah tidak dicantumkan kembali hingga pengaturan pembangunan hukum nasional saat ini yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Begitu pula ditegaskan dalam sila ketiga Pancasila yang menegaskan mengenai adanya persatuan bukan kesatuan dalam menentukan kebijakan di segala bidang termasuk dalam pembangunan hukum nasional. Meskipun demikian, rupanya pemerintah tetap berupaya untuk melakukan kebijakan tersebut. Hanya saja dalam prosesnya semakin mengalami banyak tantangan mengingat bahwa kuatnya budaya asli Indonesia dengan corak masyarakat Indonesia yang bersifat pluralistik. Konstitusi sendiri mengakui mengenai adanya berbagai masyarakat hukum adat yang berkembang di Indonesia (dicantumkan dalam Pasal 8 B ayat (2) UUD 1945.

B. SARAN

(13)

DAFTAR PUSTAKA

(14)

Artidjo Alkostar . (ed.). 1997. Identitas Hukum Nasional. Yogyakarta: Fakultas Hukum UII

C.S.T. Kansil. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta Balai Pustaka

C.F.G. Sunaryati Hartono. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Bandung: Alumni

---. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Bandung: Alumni

---. 2006. Bhineka Tungga Ika Sebagai Asas Hukum Bagi Pembangunan Hukum Nasional. Bandung: Citra Aditya Bakti

Darmodiharjo Darji. 1996. Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Rajawali

Imam Syaukani, A. Ahsin Thohari. Dasar-Dasar Politik Hukum. 2004. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Mulyana W. Kusumah. 1986. Perspektif, Teori, Dan Kebijaksanaan Hukum, Jakarta: Rajawali Pers

Padmo Wahjono. 1986. Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan nyata (p<O.01) yang negatif antara strategi penyeimbangan dengan kesejahteraan keluarga yang berarti bahwa semakin

Antara yang berikut, yang manakah usaha Pertubuhan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) bagi mewujudkan kestabilan politik dan keselamatan di rantau ini?. I Mesyuarat ASEAN

Tujuan: Mengetahui perbedaan pemberian cervical stabilization exercise dengan Manual Longitudinal Muscle Stretching dan cervical stabilization exercise terhadap

Sebagai contoh, jika sebuah lokasi pabrik baru berada dalam satu daerah dengan biaya energi yang tinggi, bahkan manajemen yang baik dengan strategi penekanan biaya energi yang

Dengan adanya perubahan status hukum dan kedudukan Ketetapan MPR/S yang awalnya tidak menjadi bagian dari jenis dan tata urutan peraturan perundang- undangan menjadi

Kondisi aliran sungar cinambo yang merupakan salah satu sumber pengairan untuk areal persawahan yang ada di daerah Cimencrang sudah termasuk ke dalam kondisi tercemar,

Untuk membedakan penelitian yang berjudul “Frasa Endosentrik pada Berita kriminal dalam Harian Suara Merdeka Edisi Desember 2016” dengan penelitian yang sudah ada

Sekiranya tidak dikawal, kecenderungan ini akan meranapkan peradaban dan visinya yang sempit, literal dan biadab (dalam erti kata “vulgar”) akan membawa kepada