• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Diagnosis of Tuberculosis Pleural Effusion on A 8-year-old Boy

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "The Diagnosis of Tuberculosis Pleural Effusion on A 8-year-old Boy"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Penegakkan Diagnosis Efusi Pleura Tuberkulosis pada

Anak Laki-Laki Usia 8 Tahun

Radian Pandhika

1

,

Eka Cania

1

,

Diah Astika Rini

2 1

Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

2

Bagian Anak, RSUD Ahmad Yani Metro Provinsi Lampung

Abstrak

Efusi pleura tuberkulosis (TB) merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan adanya penimbunan cairan dalam rongga pleura yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. Penegakkan diagnosis efusi pleura TB pada anak cukup sulit karena Mycobacterium tuberculosis tidak mudah ditemukan pada anak, sehingga sering terjadi kesalahan diagnosis. Oleh karena itu, diperlukan pemeriksaan khusus untuk membantu menegakkan diagnosis dalam upaya memberikan terapi yang sesuai. Studi ini adalah laporan kasus. Seorang anak laki-laki berusia 8 tahun datang ke IGD Rumah Sakit Ahmad Yani Metro dengan keluhan utama sesak napas yang semakin memberat sejak 3 hari. Selain itu, pasien mengeluhkan batuk sejak 3 minggu lalu disertai adanya nyeri dada kiri terutama saat pasien menarik napas, demam tinggi pada malam hari disertai keluarnya keringat, berkurangnya nafsu makan, dan penurunan berat badan. Pasien memiliki riwayat kontak langsung dengan penderita TB dewasa. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sesak dengan frekuensi napas 32 x/menit, gerak napas menurun pada dinding thorak sinistra, fremitus taktil sinistra melemah, pekak pada perkusi seluruh interkostalis sinistra, vesikuler melemah disertai ronki pada dinding thorak sinistra saat auskultasi. Hasil rontgen torax, menggambarkan adanya efusi pleura sinistra masif. Hasil mantoux test negatif. Diagnosis efusi pleura TB tegak setelah dilakukan pemeriksaan analisis cairan pleura dengan hasil cairan eksudat dan TbAg RD1-RD3 positif. Pasien mendapat terapi torakosentesis, OAT, dan prednison sesuai dengan diagnosis yang ditegakkan.

Kata kunci: diagnosis, efusi pleura, tuberkulosis

The Diagnosis of Tuberculosis Pleural Effusion on A 8-year-old Boy

Abstract

Tuberculosis (TB) pleural effusion is a term used to describe fluid retention in the pleural cavity caused by Mycobacterium tuberculosis infection. The diagnosis of TB pleural effusion in children is quite difficult because Mycobacterium tuberculosis is not easy to be found in children, so there is often misdiagnosis. Therefore, special examinations are needed to help establishing the diagnosis in order to provide appropriate therapy. This study is a case report. An 8-year-old boy came to Emergency Department of Ahmad Yani Metro Hospital with a major complaint of shortness of breath that has been getting heavier since 3 days. In addition, the patient complained of coughing since 3 weeks ago accompanied by left chest pain especially when the patient breathed, high fever at night with sweating, decreased appetite, and weight loss. The patient has a history of direct contact with an adult TB patient. Physical examination results breathing frequency of 32 time per minute, decreased breathing on the left thoracic wall, left tactile fracture weakened, deaf to percussion of the entire left intercostal, weakened vesicular accompanied by rhonchi on left thoracic wall during auscultation. Thoracic X-ray results in the presence of a massive left pleural effusion. The result of Mantoux test is negative. Diagnosis of TB pleural effusion is confirmed after a pleural fluid analysis examination which results in exudative fluid and positive RD1-RD3 TbAg. Patients received thoracentesis, OAT, and prednisone therapy based on the diagnosis.

Keywords: diagnosis, pleural effusion, tuberculosis

Korespondensi: Radian Pandhika | Jalan Permata II Blok E1 No. 8 Perumahan Bukit Sukabumi Indah | 081367919014 | radian.pandhika@yahoo.co.id

Pendahuluan

Efusi pleura TB (tuberkulosis) merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan adanya penimbunan cairan dalam rongga pleura yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. Efusi pleura sebenarnya dapat terjadi sebagai proses penyakit primer, jarang terjadi sekunder akibat penyakit lain.1

Efusi pleura TB merupakan TB ekstraparu kedua terbanyak setelah limfadenitis TB. Angka kejadian efusi pleura TB dilaporkan bervariasi

antara 4% di USA sampai 23% di Spanyol.2

Anak-anak lebih sering mengalami TB luar paru-paru (ekstrapulmonal) dibandingkan TB paru-paru.3

(2)

yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan.4

Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan, fremitus melemah (raba dan vokal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).5

Pemeriksaan radiologi (rontgen toraks) didapatkan sudut tumpul atau menghilangnya sudut kostofrenikus bila cairan efusi melebihi 300 ml.4 Selain itu, dapat dilakukan

torakosentesis untuk mengetahui penyebab dan jenis dari efusi pleura.6 Pada orang dewasa,

torakosentesis sebaiknya dilakukan pada setiap pasien dengan efusi pleura yang sedang-berat, namun pada anak-anak tidak semuanya memerlukan torakosentesis sebagai prosedur yang sama. Efusi parapneumonik yang dihubungkan dengan sudut kostofrenikus yang tumpul minimal tidak seharusnya mendapat prosedur torakosentesis.5,6

Efusi pleura TB pada anak tidak selalu mudah untuk didiagnosis, karena tidak selalu ada gambaran khas seperti adanya eksudat yang kaya limfosit pada cairan efusi, granuloma nekrotik kaseosa pada biopsi pleura, hasil positif dari pewarnaan Ziehl Neelsen atau kultur Lowenstein dari cairan efusi atau jaringan sampel dan sensitivitas kulit terhadap Mantoux test.7 Salah satu kemajuan teknologi dalam

penegakkan diagnosis efusi pleura TB adalah dengan pemeriksaan TbAg RD1-RD3 pada analisa cairan pleura. TbAgRD1-RD3 adalah tes untuk mendeteksi secreted antigen Mycobacterium tuberculosis yang di kode gen RD-1 (Region of Difference1), RD2 dan RD3. Tes ini dapat membantu untuk mendiagnosis TB karena memiliki spesifisitas yang tinggi (92,86%).8

Kultur dan pengecetan sputum masih menjadi gold standard untuk mendiagnosis penyakit infeksi tuberkulosis. Kultur dapat dilakukan dengan menggunakan sampel aspirat lambung ataupun cairan pleura dikarenakan anak-anak yang sulit untuk mengeluarkan dahak. Hasil kultur juga dapat disertai dengan pemeriksaan tes resistensi obat.9

Kasus

Seorang anak laki-laki berusia 8 tahun datang ke IGD Rumah Sakit Ahamad Yani Metro

atas rujukan Rumah Sakit Umum Muhammadiyah Metro dengan keluhan utama sesak napas. Sesak napas dirasakan semakin memberat sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak napas dirasakan pasien dalam kondisi berbaring maupun saat berdiri atau duduk. Sesak napas dirasakan sepanjang hari, tanpa adanya mengi. Akibat sesak napas ini, pasien lebih banyak beristirahat dan mengurangi aktivitas.

Selain itu, pasien mengeluhkan batuk yang sudah dirasakan sejak 3 minggu yang lalu. Batuk awalnya tidak berdahak, tetapi sejak satu minggu ini batuk terasa sedikit berdahak, tetapi dahak sulit untuk dikeluarkan. Riwayat batuk berdarah disangkal oleh ibu pasien. Ibu pasien sudah mencoba mengobati pasien dengan obat batuk dari warung, tetapi tidak kunjung membaik.

Pasien juga mengeluhkan adanya nyeri dada terutama di bagian dada kiri yang sudah dirasakan sejak beberapa minggu ini. Nyeri dada dirasakan sepanjang hari terutama saat pasien menarik napas. Nyeri dada terasa seperti tertusuk-tusuk. Nyeri dada bertambah di saat pasien batuk-batuk dan berkurang saat dalam kondisi istirahat.

Ibu pasien mengatakan bahwa pasien demam yang dirasakan sejak beberapa minggu yang lalu. Demam biasanya tidak terlalu tinggi hanya terasa hangat. Demam dirasakan hampir setiap hari dan biasanya terasa lebih panas pada malam hari disertai keluarnya keringat. Keluhan menggigil saat demam disangkal oleh pasien. Ibu pasien sudah mencoba memberikan obat parasetamol tablet tetapi hanya menurunkan demam sementara waktu dan kembali demam beberapa saat kemudian.

Semenjak muncul keluhan-keluhan tersebut pasien menjadi berkurangnya nafsu makan dan ibu pasien merasa bahwa anaknya mengalami penurunan berat badan. Tidak ada keluhan untuk buang air besar dan buang air kecil.

(3)

kontrol kehamilan secara teratur dan tidak terdapat masalah selama kehamilan serta riwayat persalinan baik. Orang tua pasien mengatakan bahwa anaknya sudah mendapatkan imunisasi dasar secara lengkap dan mendapatkan ASI eksklusif selama 6 bulan dan dilanjutkan dengan makanan pendamping ASI sealam 2 tahun.

Hasil pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah, berat badan 25 kg dan tinggi badan 125 cm dengan kesan status gizi baik menurut kurva CDC (Center for Disease Control). Pasien tampak sesak dengan frekuensi napas 32 x/menit, gerak napas menurun pada dinding torak sinistra, fremitus taktil sinistra melemah, pekak pada perkusi seluruh interkostalis sinistra, vesikuler melemah disertai ronki pada dinding thorak sinistra saat auskultasi. Hasil rontgen torax mengambarkan adanya kesan efusi pleura sinistra masif.

Gambar 1. Hasil rontgen torax pasien (AP dan Lateral)

Selama menunggu hasil pemeriksaan penunjang lainnya, pasien mendapatkan terapi cairan D5 ½ NS 1600 ml/24 jam, injeksi Ceftriaxon 1 gram/12 jam, dan infus paracetamol 300 mg/8 jam bila suhu mencapai > 38oC. Pada

hari ke-4 perawatan, pasien menjalani Mantoux test dengan hasilnya negatif. Hasil skoring TB menurut IDAI pada pasien adalah sebagai berikut: kontak TB dengan pasien hasil BTA yang belum diketahui (2), uji tuberkulin negatif (0), keadaan gizi baik (0), demam yang tidak diketahui penyebabnya ≥ 2 minggu (1), batu kornik ≥ 3 minggu (1), pembesaran kelenjar limfe negatif (0), pembengkakan tulang neagtif (0), dan Ro torax sugestif TB (), sehingga total skor adalah 5.

Diagnosis efusi pleura TB ditegakkan setelah dilakukan pemeriksaan analisis cairan

pleura dengan hasil cairan eksudat dan TbAg RD1-RD3 positif. Setelah kondisi klinis pasien membaik, pasien boleh dipulangkan dengan mendapatkan terapi TB berupa 4 OAT (obat anti tuberkulosis) yaitu Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, dan Etambutol selama 2 bulan fase intensif dan 2 OAT yaitu Isoniazid dan Rifampisin selama 9-12 bulan fase lanjutan. Selain itu, pasien mendapatkan prednison tabet 25 mg/24 jam selama 2 minggu lalu 2 minggu kemudian di-tappering off.

Pembahasan

Pasien didiagnosis dengan efusi pleura TB. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Untuk menegakkan diagnosis adanya efusi pleura, dalam anamnesis diperlukan untuk memastikan gejala yang dirasakan oleh pasien.

Gejala efusi pleura tidak khas karena tergantung dari penyakit yang mendasari dan besarnya efusi. Efusi pleura yang disebabkan oleh adanya infeksi biasanya memiliki gejala sebagai berikut: demam persisten, batuk, dispnea, sputum produktif, dan nyeri dada. Pada efusi pleura yang disebabkan oleh adanya keganasan memiliki gejala yang tidak khas yaitu batuk, demam suhu rendah, dan apabila berada di stadium berat dapat terjadi distres pernapasan.7 Pada efusi pleura yang disebabkan

karena gagal jantung atau sindrom nefrotik biasanya memilki gejala dispnea, tanpa demam, dan disertai edema pada ekstremitas.10

Secara epidemiologi, efusi pleura pada anak kebanyakan disebabkan oleh infeksi sekunder, sedangkan pada dewasa disebabkan oleh gagal jantung kongestif dan malignansi.11

Pada pasien, terdapat gejala-gejala yang sesuai dengan gejala pada efusi pleura yang disebabkan oleh adanya infeksi yaitu adanya sesak napas yang memberat sejak 3 hari yang lalu, batuk, nyeri dada, dan demam peristen. Pasien juga tidak memiliki riwayat penyakit jantung, ginjal, hepar, maupun trauma pada torak sehingga diagnosis banding efusi pleura oleh penyebab lainnya dapat disingkirkan.

Efusi pleura yang terjadi karena adanya infeksi dapat disebabkan oleh beberapa penyakit seperti pneumonia, tuberkulosis, atau infeksi virus. Pada infeksi virus, biasanya lebih bersifat asimptomatik dan bersifat self-limiting disease.12

(4)

minggu, nyeri dada, keringat malam hari, dan penurunan berat badan.13 Pada pasien ini, gejala

yang dirasakan pasien lebih mengarah ke efusi pleura yang disebabkan oleh tuberkulosis paru. Hal ini juga didukung dengan adanya kontak pasien dengan penderita TB dewasa yang tinggal di dekat rumah pasien.

Pasien efusi pleura biasanya akan merasa lebih nyaman bila dalam posisi tubuh tegak dibandingkan berbaring. Hal ini disebabkan karena pengaruh gravitasi sehingga cairan yang terakumulasi di rongga pleura akan turun dan proses pengembangan paru dapat berjalan dengan lebih baik, dibandingkan saat posisi berbaring yang menyebabkan cairan yang terakumulasi merata pada rongga pleura sehingga lebih menganggu proses pengembangan paru atau ventilasi.14 Pada

pasien ini, sesak napas tidak bergantung oleh posisi. Pasien tetap merasa sesak saat posisi duduk ataupun berbaring. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa terjadi efusi pleura yang masif.

Dari pemeriksaan fisik pasien, didapatkan suatu kelainan di rongga torak yang bersifat unilateral, akibat akumulasi cairan pada rongga pleura sinistra yang bersifat masif. Efusi pleura yang disebabkan oleh TB paru biasanya bersifat unilateral dan dapat terjadi secara primer akibat invasi hematogen secara langsung.15

Untuk membantu menegakkan diagnosis dibutuhkan pemeriksaan penunjang. Rontgen torak adalah suatu strategi imaging yang paling sederhana untuk mengkonfirmasi adanya efusi pleura. Rontgen torak dapat dilakukan dengan posisi Anteroposterioi (AP), lateral, dan dekubitus. Biasanya hasil rontgen torak pasien efusi pleura menunjukkan adanya free-flowing pleural fluid, sudut costofrenicus, dan Meniscus Sign (+).16 Pada pasien ini, gambaran rontgen

thorax sesuai dengan gambaran rontgen torak efusi pleura dengan kesan efusi pleura masif karena perselubungan menutupi lebih dari setengah rongga pleura bahkan hampir semua rongga pleura tertutupi oleh cairan pada posisi AP maupun lateral.

Setelah dapat mengkonfirmasi adanya efusi pleura, maka langkah selanjutnya adalah mengkonfirmasi penyebab terjadinya efusi pleura dengan melakukan torakosentesis dan analisa cairan pleura.17 Pada pasien,

thorakosentesis dilakukan dengan teknik anestesi umum dan didapatkan sebanyak ± 650 ml dengan warna kuning keruh. Setelah

dilakukan torakosentesis maka langkah selanjutnya adalah menganalisis cairan pleura tersebut untuk mengetahui komponen kimia cairan pleura. Pada hasil analisis cairan pleura, didapatkan hasil bahwa sifat cairan bersifat eksudat karena telah memenuhi kriteria Light, yaitu rasio protein pleura dan plasma > 0,5 (pada pasien 0,73), rasio LDH cairan pleura dan plasma > 0,60 (pada pasien 4,26), dan LDH cairan pleura lebih besar dari 2/3 batas atas nilai normal LDH serum (pada pasien 3090 U/L).18 Selain itu,

didapatkan hasil TbAg RD1-RD3 (+) pada analisis cairan pleura yang mendukung ke arah diagnosis TB karena pemeriksaan tersebut memiliki spesifisitas yang tinggi.8

Mantoux test juga dapat membantu mendiagnosis tuberkulosis pada anak. Reaksi diukur dalam 48-72 jam pasca penyuntikan. Pada pasien didapatkan hasil Mantoux test negatif karena tidak ditemukan adanya indurasi. Akan tetapi, kemungkinan hasil Mantoux test menunjukkan hasil negatif palsu. Hasil negatif palsu pada Mantoux test dapat terjadi pada keadaan: imunosupresi akibat penggunaan obat-obatan atau penyakit infeksi virus (campak, mumps, rubella, varicella, dan influenza). Selama perawatan dan sebelum dilakukan Mantoux test, pasien telah mendapatkan terapi injeksi metilprednisolon 1 mg/8 jam. Metilprednisolon adalah suatu steroid yang memiliki efek imunosupresi, sehingga hal ini dapat mempengaruhi reaksi imunitas seluler terhadap tuberkulin yang diinjeksikan dan menghasilkan negatif palsu.19

Dalam mendiagnosis TB anak, terdapat pendekatan lain yaitu melalui sistem skoring TB. Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian oleh para ahli IDAI (Ikatan Dokter Anak Indoensia), Kemenkes (Kementrian Kesehatan), dan WHO (World Health Organization). Pasien dengan skoring TB ≥ 6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT.20 Pada pasien ini, dilakukan

perhitung skoring TB dan didapatkan hasil total skor 5. Walaupun hasil skoring 5 tidak menunjukkan diagnosis TB, akan tetapi diagnosis TB pada kasus ini tidak disingkirkan karena secara klinis dan pemeriksaan penunjang lainnya mengarah ke diagnosis TB sehingga tetap memerlukan terapi OAT. Selain itu, rendahnya nilai skor dipengaruhi hasil uji tuberkulin yang menunjukkan negatif palsu.

(5)

terapi antibiotik dan torakosentesis sebagai terapi pilihan. First line antibiotik yang dapat diberikan adalah penicillin, cephalosporin, clindamycin, dan ciprofloxacin. Antibiotik dapat diberikan secara oral ataupun intravena minimal 48 jam. Setelah dilakukan torakosentesis, antibiotik oral dapat dilanjutkan 2-4 minggu.21

Pada pasien ini diberikan antibiotik spektrum luas yaitu injeksi Ceftriaxon 1 gram/12 jam sambil menunggu hasil pemeriksaan lainnya. Pasien juga diberikan terapi cairan maintenance dengan menggunakan larutan D5 ½ NS. Rumus kebutuhan cairan pada pasien ini dihitung berdasarkan kebutuhan harian dengan menggunakan rumus Holliday Segar sehingga didapatkan sebanyak 1600 ml/24 jam. Pasien juga diberikan parasetamol 30 ml/8 jam jika diperlukan di saat suhu mencapai > 38oC untuk

membantu menurunkan demam tinggi.

Setelah dilakukan beberapa pemeriksaan yang menunjang ke arah diagnosis TB maka pasien diberikan terapi OAT. Efusi pleura TB (Pleuritis TB) adalah termasuk TB ekstrapulmonal sehingga pasien harus mendapat OAT berupa 4-5 OAT selama 2 bulan fase intensif dan 2 OAT (isoniazid dan rifampisin) hingga genap 9-12 bulan terapi. Pada kasus efusi pleura perlu juga diberikan prednisone 1-2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu lalu 2 minggu kemudia ditappering off sehingga total pemberian selama 1 bulan.

Pada pasien ini diberikan terapi OAT rifampisin 250 mg/24 jam. Didapatkan dari perhitungan dosis 10 mg x 25 kg = 250 mg. Lalu isoniazid 250 mg/24 jam. Didapatkann dari perhitungan dosis 10 mg x 25 kg = 250 mg. Jika isoniazid dan rifampisin dipadu maka dosis isonizid tidak boleh melebihi 10 ml/kgBB dan rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB untuk menurunkan insiden hepatitis. Selain itu, diberikan pirazinamid 625 mg/24 jam. Dari samping dari penggunaan OAT diberikan suplemen saraf seperti Vitamin B6 untuk mencegah neuritis perifer dan curcuma sebagai hepatoprotektor.13

Simpulan

Penegakkan diagnosis efusi pleura TB pada anak umumnya cukup sulit karena Mycobacterium tuberculosis tidak mudah ditemukan. Pada pasien ini, diagnosis efusi pleura TB tegak setelah dilakukan pemeriksaan analisis cairan pleura dengan hasil cairan eksudat dan TbAg RD1-RD3 positif. Pasien mendapatkan terapi thoracentesis, OAT, dan prednisone sesuai dengan diagnosis yang ditegakkan.

Daftar Pustaka

1. Efrati O, Barak A. Pleural effusions in the pediatric population. Pediatr Rev 2002;23:417-425.

2. Gopi A, Madhavan SM, Sharma SK, et al. Diagnosis and treatment of tuberculosis pleural effusion in 2006. J Chest [internet]. klinis proses-proses penyakit. ECG; 2005: 739

4. Obando I et al. Pediatric parapneumonic empyema, Spain. Emerging infectious Disease. 2008; 14:1390-1396.

5. Chandra K, Randall DC. Neonatal pleural effusion. Arch Pathol Lab Med. 2006; 130:e22-e23.

6. Demirhan R, Kosar A, Sancakli I, Kiral H, Orki A, Arman B. Management of postpneumonic empyemas in children. Acta Chir Belg. 2008; 108:208-211

7. Calbo E, Diaz A, Canadell E, et al. Invasive pneumococcal disease among children in a health district of Barcelona: early impact of pneumococcal conjugate vaccine. Clin Microbiol Infect. Sep 2006; 12(9):867-72 8. Liemena S. Comparison of diagnostic

examination appearance tuberculosis antigen rapid test kit between sputum tuberculosis and lung atient serum. 2014. 9. CDC. Diagnosis of tuberculosis disease. 2013

[disitasi tanggal 2 April 2017]. Tersedia dari: http://www. cdc.gov/tb 10. Cruz AT, Starke JR. Clinical manifestations of

tuberculosis in children. Paediatr Respir Rev. Jun 2007; 8(2):107-17

11. Robert LG, Mark H, Samuel W, Marjorie JA. Drainage, fibrinolytic or surgery: a comparison of treatment options in pediatric

(6)

12. Saglani S, Harris KA, Wallis C, Hartley JC. Empyema: the use of broad range 16S rDNA PCR for pathogen detection. Arch Dis Child. Jan 2005;90(1):70-3

13. IDAI. Pedoman pelayanan medis: tuberkulosis. 2009. Jakarta: IDAI

14. Neagley SR, Zwillich CW. The effect of positional changes on oxygenation in patients with pleural effusions. J Chest. 1985 Nov; 88(5):714-7

15. Brook I. Microbiology of empyema in children and adolescents. Pediatrics. May 1990; 85(5):722-6

16. Avansino JR, Goldman B, Sawin RS, Flum DR. Primary operative versus nonoperative therapy for pediatric empyema: a

meta-analysis. Pediatrics. Jun 2005; 115(6):1652-9

17. IDAI. Pedoman pelayanan medis: pneumonia. 2009. Jakarta: IDAI

18. Light R, Light G, Richard W. Textbook of pleural diseases. 2008. Australia: Hodder Arnold

19. Nayak S, Acharjya B. Mantoux test and its interpretation. Indian Dermatol Online J. 2012 Jan-Apr; 3(1): 2–6

20. Kemenkes RI. Juknis Managemen TB Anak. 2013

Gambar

Gambar 1. Hasil rontgen torax pasien (AP dan Lateral)

Referensi

Dokumen terkait

Metode numerik merupakan suatu metode untuk menyelesaikan masalah- masalah matematika dengan menggunakan sekumpulan aritmatik sederhana dan operasi logika pada

Hasil dari kegiatan-kegiatan tersebut berupa peningkatan 100% kemampuan para kelompok tani Green Fresh Pelaga dalam membuat konten-konten digital, peningkatan 100%

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman sentra industri gitar UMKM desa mancasan serta untuk mengetahui

Dengan dibukanya kemungkinan-kemungkinan untuk usaha-usaha di bidang ekonomi seperti perdagangan, maritim, industri, perhubungan dan perbankan, dengan usaha-usaha penyediaan

1.. 30 tingginya prevalensi penyebaran penyakit dan kurangnya kesadaran akan bahaya dari penyakit menular seksual tersebut. Selain itu Desa Buahan yang nantinya akan

Mangrove Bruguierabiasanya berkembang di belakang Rhizophora pada jenis subtrat atau tanah kering kearah darat dan bercampur dengan jenis Xylocarpus.Umumnya

Kedelai mempunyai kadar protein yang lebih tinggi, yaitu sekitar 35-45%. Disamping itu protein kedelai mempunyai nilai hayati yang tinggi setelah diolah,

ANALISIS ESTIMASI ERROR PADA SOLUSI NUMERIK KdV DENGAN METODE CRANK- NICOLSON.. Jamhuri, M.Si