• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transmigrasi sebagai dan Rekayasa Demografi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Transmigrasi sebagai dan Rekayasa Demografi"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Transmigrasi sebagai Rekayasa Demografi pada Era Orde Baru :

Implikasi Terhadap Konflik Sampit, Kalimantan Tengah

I. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pada era Orde Baru volume migrasi penduduk mengalami peningkatan yang cukup besar dengan arah yang semakin beragam, tidak hanya ke Jawa tetapi juga ke berbagai tempat di luar Jawa yang menjanjikan adanya lapangan kerja dan peningkatan pendapatan. Secara tidak langsung, perbaikan infrastruktur seperti pembuatan jalan penambahan sarana dan alat transportasi (bis, kapal laut, kapal udara, kereta api) sangat berpengaruh terhadap meningkatnya kemudahan untuk melakukan perpindahan (Tirtosudarmo, 2007 : 5).

Pada masa pemerintahan Orde Baru terjadi sebuah proses rekayasa sosial (social engineering) yang berskala raksasa yang dimaksud untuk mengubah masyarakat dari semula bersifat “tradisional” menjadi “modern”, yang semula di dominasi oleh ekonomi pertanian menjadi ekonomi industri yang semula berpendapatan rendah menjadi berpendapatan tinggi, dan seterusnya. Agen utama dari upaya rekayasa sosial yang bernama “Pembangunan Nasional” ini adalah negara (state) – yang pelaksananya adalah pemerintah (government) beserta aparatur birokrasinya mulai dari pusat hingga daerah. Berkaitan dengan pembangunan daerah, Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang “Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah” dan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang “Pemerintahan Desa” adalah dua buah undang-undang yang mencerminkan secara jelas bagaimana pembangunan ekonomi dan pengembangan masyarakat dikendalikan dan diarahkan semasa Orde Baru (Tirtosudarmo, 2007 : 6-7). Demografi masyarakat Indonesia diatur oleh Kebijakan Transmigrasi. Dalam hal ini pemerintah pusat melaksanakan pembangunan secara sentralistik, Masyarakat di dorong untuk beralih dari sektor agrikultur ke sektor industri, sebab sektor agrikultur di anggap tradisional dan kurang produktif.

(2)

penduduk sehingga angkatan kerja sulit mendapatkan pekerjaan, sedangkan di luar Jawa disebabkan oleh kekurangan penduduk untuk mengelola sumber daya alam. (Mantra, 2007 : 200). Oleh karena itu Kementrian Sosial melaksanakan Kebijakan Transmigrasi yaitu memindahkan penduduk dari Jawa ke luar Jawa, dengan tujuan mengatasi kemiskinan di Jawa (Mantra, 2007 : 202).

2. Rumusan Masalah

Transmigrasi berimplikasi pada kehidupan masyarakat baik bagi pendatang dan penduduk lokal. Salah satu implikasinya adalah dalam aspek sosiokultural, contohnya konflik. Pada bulan Februari tahun 2001, Kalimantan diguncang konflik kekerasan antara penduduk “lokal” dan “pendatang” dari Madura. Konflik yang menelan ratusan korban jiwa dan ribuan penduduk yang terpaksa mengungsi – terutama dari Kota Sampit dan Palangka Raya – diwacanakan sebagai konflik etnik (Tirtosudarmo, 2007 : 169-170). Dalam sejarah masyarakat dan masalah etnisitas di Kalimantan Tengah, sebenarnya hubungan antaretnis berlangsung dengan baik. Etnik yang satu dengan etnik lain terjadi pembauran yang wajar dan saling menghargai. Bahkan perkawinan antaretnik pun sudah biasa dijumpai dalam kehidupan masyarakat di Kalimantan Tengah. Akan tetapi, khusus hubungan antara etnik Dayak dengan Madura ada kecenderungan memperlihatkan sesuatu yang lain yang berbeda dibandingkan dengan hubungan antara etnik Dayak dengan etnik-etnik lainnya. Dengan kata lain, antara kedua etnik-etnik (Dayak-Madura) menyimpan stereotip etnik/ budaya yang justru cenderung saling merenggangkan hubungan sosial antara keduanya (Ruslikan, 2001 : 2-3).

(3)

II. PEMBAHASAN

1.

Migrasi

Migrasi adalah perpindahan penduduk dari daerah satu ke daerah yang lain. merupakan pmasalahan dari perbedaan pertumbuhan ekonomi. Sebagai akibat dari konsentrasi kegiatan-kegiatan ekonomi (industri dan jasa) di daerah perkotaan maka terjadi peningkatan migrasi desa-kota. Sektor informal perkotaan telah menjadi pilihan pekerjaan yang jelas bagi para imigran yang tidak memiliki keahlian dan kemampuan. Sektor informal ini telah memainkan peran penting dalam penyediaan lapangan kerja (Tjiptoherijanto, 1997 : 65).

2.

Transmigrasi

Transmigrasi adalah sarana pengembangan (means of development) yang berupa perpindahan tenaga kerja (manpower) dari satu daerah ke daerah lain untuk menetap. (Hasil Perumusan Seminar Transmigrasi 1970). Berdasarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 1997 tujuan transmigrasi disebut sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitarnya, meningkatkan dan meratakan pembangunan daerah, serta memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa.

3.

Sejarah Transmigrasi : Mulai dari Kolonisasi hingga Migrasi era Orde Baru

(4)

pertanian. Program kolonisasi dimulai tahun 1905 dengan mengirimkan sejumlah 155 KK (815 jiwa) dari daerah Kabupaten Karanganyar, Kebumen dan Purworejo (waktu itu termasuk daerah Karesidenan Kedu, Jawa Tengah) ke Gedong Tataan, sekitar 25 km barat Tanjung Karang. Daerah inilah merupakan kolonisasi yang pertama. Pada tahun 1922 sebuah pemukiman yang lebih besar yang diberi nama Wonosobo didirikan di dekat Kota Agung Lampung Selatan. Di samping itu didirikan pula beberapa pemukiman besar dekat Sikadana di Lampung Tengah, sedangkan pemukiman-pemukiman yang lebih kecil didirikan di Sumatera Selatan, Bengkulu, Kalimantan dan Sulawesi. Pada akhir 1941 telah ada 173.959 orang yang tinggal dalam proyek-proyek kolonisasi di Lampung (termasuk orang yang dilahirkan di desa-desa baru ini), dan telah ada lebih dari 56.000 orang di proyek kolonisasi di daerah lain (Pelzer dalam Mantra, 2007 : 201-202).

Pada tahun 1950 setelah terbentuk Negara Kesatuan Kementrian Sosial mulai melakukan pemindahan penduduk dari Jawa ke luar Jawa dengan program transmigrasi. Berdasarkan World Bank 1998 pada periode tahun 1971-1980, sekitar 65% transmigran umum menuju Sumatra Selatan dan Lampung. Pada periode tersebut memang Sumatra merupakan daerah utama bagi pengiriman transmigrasi. Kemudian pada periode tersebut sebesar 32,2% dikirim ke Sulawesi (terutama Sulawesi Tengah) dan Kalimantan (terutama Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur). Sedangkan untuk Provinsi Maluku dan Irian Jatya (Papua) persentasenya hanya 0,005% dan 1,4%. Sesudah tahun 1980 transmigran umum terutama diarahkan Indonesia bagian Timur. Provinsi yang dijadikan daerah pemukiman transmigrasi dewasa ini dalah : Daerah Istimewa Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Irian Jaya. Persentase transmigran yang menuju Sumatra menurun, sedangkan yang menuju ke Kalimantan, Maluku dan Irian Jaya meningkat (Mantra, 2007 : 202-206).

Menurut Emile Durkheim pada suatu wilayah dimana angka kepadatan penduduknya tinggi akibat dari tingginya laju penduduk, akan timbul persaingan di antara penduduk untuk dapat bertahan hidup. Agar dapat memenangkan persaingan setiap orang berusaha meningkatkan pendidikan dan keterampilan, dan mengambil spesialisasi tertentu (Mantra, 2007 : 59), sehingga transmigrasi merupakan langkah untuk pemerataan penduduk dan agar persaingan yang sehat yang terwujud bagi tiap individu.

(5)

Kalimantan Tengah adalah contoh sebuah provinsi yang proses kelahirannya merupakan hasil tuntutan dan perjuangan politik para pemimpin Dayak (Ngaju) untuk memiliki sebuah wilayah administrasi sendiri dalam sebuah negara-bangsa (nation-state) yang berdasarkan civic nationalism. Semula Kalimantan Tengah merupakan bagian dari Kalimantan Selatan. Oleh karena itu secara politik Kalimantan Tengah memiliki arti tersendiri bagi orang Dayak. Keputusan Presiden Soekarno untuk menjadikan Kalimantan Tengah sebagai provinsi tersendiri yang lepas dari Kalimantan Selatan pada tahun 1957 dan penunjukan Tjilik Riwut sebagai gubernur yang pertama memperlihatkan dengan jelas konsepsi politik yang diberikan oleh Soekarno (dan pemerintah pusat) terhadap orang Dayak untuk memiliki dan mengatur teritori politiknya sendiri. (Tirtosudarmo, 2007 : 172, 174)

Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 1930, di Central of Borneo termasuk di dalamnya sebagian dari yang sekarang dikenal dengan Kalimantan Timur, Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan tercatat ada 619.402 penduduk. Dari sudut komposisi suku bangsanya mayoritas (393.402 orang atau 69,49%) adalah orang Dayak. Kemudian Kalimantan Tengah terbentuk dan memisahkan diri dari Kalimantan Selatan. Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2000 proporsi penduduk Kalimantan Tengah adalah sebagai berikut : Banjar (24,20%), Jawa (18,06%), Dayak (18,02%), Dayak Sampit (9,57%), Bakumpai (7,51%), Madura (3,46%) , Katingan (3,34%), Manyan (2,80%) (Ananta dkk, 2003 : 24 dalam Tirtosudarmo, 2007 : 173). Besarnya proporsi orang Banjar dan Jawa diduga karena migrasi dan transmigrasi kedua kelompok etnis ini yang cukup besar ke Kalimantan Tengah. Dominasi penduduk yang berasal dari luar Kalimantan Tengah terutama orang Jawa dan Banjar membuktikan bahwa secara sosiodemografis orang Dayak bukanlah kelompok mayoritas di Kalimantan Tengah. “Transisi sosiodemografis” berlangsung secara perlahan-lahan. Kelompok bukan Dayak “diam-diam” telah menjadi penduduk mayoritas di Kalimantan Tengah. Hal itu bisa diperkirakan berdampak sosial, ekonomi, politik maupun kultural yang tidak kecil, khususnya bagi orang Dayak. (Tirtosudarmo, 2007 : 175-176).

5. Suku Dayak yang Mulai Tergeser Lain dan Kaitannya dengan Konflik Sampit

(6)

Banjar, Melayu, Jawa dan Bugis. Tanah merupakan basis material masyarakat Dayak dan terintegrasi dalam hukum adat mereka. Konsep tanah bagi Masyarakat Dayak disebut dengan binua, manoa, benua termasuk di dalamnya seluruh isi yang terkandung dan terkait dengan tanah yang dalam istilah modern dikenal dengan Sumber Daya Alam (Tirtosudarmo, 2007 : 180-181).

Suku Dayak memiliki ciri-ciri budaya primordial. Dalam tata hidupnya suku itu berorientasi pada dirinya sendiri (inward oriented). Mereka percaya bahwa di dalam lingkungannya yang banyak hutan dan rawa yang menyulitkan hubungan dengan dunia di luarnya ada dua macam masyarakat, yaitu masyarakat manusia hidup dan masyarakat roh-roh manusia yang sudah meninggal. Kedua masyarakat itu saling berhubungan dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan itu dilakukan menurut adat yang kuat dan hidup, lagi pula menggalang kesetiaan pada masyarakat hidup dan masyarakat roh yang tidak boleh diganggu. Dalam rangka kebudayaan, kepercayaan, dan adat itu suku Dayak mempunyai sikap ramah-tamah, penuh toleransi, dan tenggang rasa dalam hubungannya sesama manusia. Tetapi kalau pihak lain yang melanggar adat, dan dengan sendirinya merusak hubungan dengan masyarakat roh-roh leluhur mereka, maka mereka tidak segan-segan untuk mengeluarkan mandaunya dan memotong kepala lawannya sebagai bukti kepada roh-roh bahwa mereka membela kehormatan roh-roh itu. Hal serupa juga diungkapkan dalam penelitian Ruslikan (1999), di mana masyarakat Dayak sangat menghargai tradisi nenek moyang serta roh-roh leluhur. Sebaliknya, ciri-ciri suku Madura memiliki orientasi kebudayaan keluar (out-ward oriented). Karena daerah asalnya, pulau Madura, kering dan gersang maka kebudayaannya mengajarkan ketekunan dan keberanian untuk bertahan hidup. Masyarakat Madura menganggap bahwa lahan hidup mereka itu tidak terbatas pada pulau Madura saja, akan tetapi daerah-daerah di seberang lautan pun mereka anggap pantas dijadikan sumber penghidupan. Mereka yang merantau sebagian karena terpaksa sebab sumber penghidupannya yang benar- benar sempit, sedang sebagian lainnya adalah yang berwatak dinamis, mandiri, serta berani meluaskan lingkungan hidupnya sampai di seberang lautan. Orang-orang Madura yang berwatak demikian itulah yang berlayar sampai ke Kalimantan Barat serta Kalimantan Tengah dan membentuk masyarakat pendatang (Soemardjan dalam Ruslikan, 2001 : 6). Dari hal tersebut terlihat bahwa baik Suku Dayak maupun Suku Madura memiliki perbedaan kebudayan dan paradigma.

(7)

Tengah tampaknya prasangka negatif dari suku Dayak terhadap suku Madura lebih mendalam daripada prasangka yang positif, kalau pun ada. Lagi pula unsur budaya suku Madura di bidang ekonomi yang lebih kuat ketimbang dalam kebudayaan suku Dayak membawa suku Madura pada tingkat dominan di atas suku Dayak. Suku Dayak merasa tidak senang di daerah asalnya sendiri didominasi oleh suku lain yang datang dari daerah lain. Sementara pada pihak suku Madura berpendapat bahwa masyarakatnya memberi sumbangan besar pada perkembangan ekonomi umum, baik di Kalimantan Barat maupun di Kalimantan Tengah. Tanpa kegiatan ekonomi suku Madura, ekonomi di kedua daerah itu tidak akan menjadi setinggi seperti sekarang. Warga etnik Madura yang minoritas di tengah-tengah suku Dayak yang mayoritas dikenal sebagai pekerja keras sekaligus memiliki tingkat kesetiaan ke dalam (kelompok) yang kuat dan terus berusaha menggalang kekuatan sosial dalam identitas etnisnya yang kuat pula. Akan tetapi hal itu kurang diimbangi dengan upaya melakukan akulturasi dengan suku Dayak, sehingga di mata orang-orang Dayak orang-orang Madura lebih dilihat sebagai orang asing. Dalam konteks demikian, jika kita bertanya mengapa suku Dayak bermusuhan dengan suku pendatang yang Madura saja dan tidak suku pendatang lainnya? Menurut Soemardjan (2001), karena suku-suku lain seperti Jawa, Bugis, Minangkabau, Batak, dan lain sebagainya pandai berakulturasi dengan suku Dayak, sehingga mereka dapat bekerjasama atau setidak-tidaknya berkoeksistensi dengan suku mayoritas itu. Suku Madura bersikap berbeda dengan akibat konflik. Di antara kedua suku itu (Dayak-Madura) timbul suasana konflik budaya. Semula bersifat laten (tertutup), tetapi lama-lama cukup kuat untuk meledak menjadi konflik manifest (terbuka) yang diwujudkan dengan interaksi yang berisikan permusuhan disertai kekerasan yang tak terkendalikan (Ruslikan, 2001 : 8).

(8)

Madura. Pusat sebuah komuniti Orang Madura adalah tempat ibadah mereka. Pada waktu jumlah mereka itu sedikit maka pusat komunitinya adalah langgar atau mushalla. Bila jumlah anggota komunitinya bertambah maka pusat komuniti tersebut adalah masjid, dan biasanya dibarengi dengan pesantren. Langgar atau masjid dan pesantren adalah eksklusif Madura. Di samping itu, ada kecenderungan orang Dayak merasa bahwa orang-orang Madura tidak menghargai harkat martabat mereka sebagai manusia dan sebagai penduduk setempat, dan juga memandang sebelah mata adat-istiadat yang mereka junjung tinggi sebagai pedoman etika dan moral dalam kehidupan mereka. Orang-orang Madura telah memperoleh keuntungan secara berlebihan (tanah-tanah pertanian dan kebun, rumah, monopoli kegiatan-kegiatan ekonomi, jasa, dan bisnis, monopoli eksploitasi atas sumber-sumber daya alam yang ada) dengan cara-cara curang, ancaman, pemerasan, dan kekerasan berupa teror mental dan penyiksaan serta pembunuhan. Orang-orang Madura tidak pernah merasa bersalah terhadap warga masyarakat setempat maupun secara umum adalah salah dan secara hukum juga melanggar ketentuan hukum (Ruslikan, 2001 : 9).

(9)

III. KESIMPULAN

Jumlah penduduk Jawa yang mampu ditransmigrasikan sangat kecil bila dibandingkan dengan pertumbuhan penduduk. Sebagai misal jumlah penduduk di Pulau Jawa tahun 1905 sebesar 29.024.000 jiwa (Bremen 1971 dalam Mantra 2007), dan pada tahun 1940 jumlahnya meningkat menjadi 49.024.000 jiwa (Widodo, 1970 dalam Mantra 2007). Jadi selama 35 tahun terjadi pertambahan penduduk sebesar 19.100.000 jiwa orang, sedang jumlah penduduk yang mampu dipindahkan hanya sebesar 257.313. orang (1,3% dari jumlah pertumbuhan penduduk). Untuk periode tahun 1961-1985, persentase penduduk yang dapat dipindahkan dari Pulau Jawa dan Bali meningkat menjadi 8,2% dari jumlah pertumbuhan penduduk di kedua pulau tersebut. Jadi walaupun terjadi peningkatan, tetapi persentase tetap kecil. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dari segi sosiodemografis jumlah transmigran yang berhasil dipindahkan tidak banyak berarti bagi daerah pengirim (Mantra, 2007 : 203-204). Selain itu meski sudah berlangsung lama, transmigrasi masih menuai permasalahan yaitu konflik antara pendatang dan penduduk lokal yang bermukim di daerah yang dijadikan sebagai tujuan transmigrasi.

(10)

DAFTAR PUSTAKA

XTjiptoherijanto, P., 1997. Migrasi Urbanisasi dan Pasar Kerja di Indonesia. UI-Press, Jakarta.

Tirtosudarmo, Riwanto. 2007. Mencari Indonesia Demografi-Politik Pasca-Soeharto. LIPI Press Bekerja Sama Indonesia, Jakarta.

Mantra, Ida Bagoes. 2007. Demografi Umum. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Hasil Seminar Transmigrasi 1970. Arti dan Peranan Transmigrasi di Indonesia dalam Pembangunan dan Hankamnas. Diterbitkan oleh PT Makarti Djaya.

Ruslikan. 2001. “Konflik Dayak-Madura di Kalimantan Tengah : Melacak Akar Masalah dan Tawaran Solusi,” Masyarakat, Kebudayaan dan Politik, Tahun XIV, Nomor 4, halaman 1 -12. Universitas Airlangga, Surabaya.

Ruslikan., 1999. Sekolah di Masyarakat Pedalaman: Kajian Fenomenologi Pengadopsian Sekolah di Kalangan Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah . Disertasitidak dipublikasikan. Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Airlangga.

Soemardjan, Selo., 2001. Konflik Antarsuku di Indonesia.Yayasan Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait