BAB II
GAMBARAN UMUM TAPANULI SELATAN
2.1Letak Geografis
Secara geografis, daerah Tapanuli Selatan berada di belahan Barat Indonesia
dan sebelah Selatan Pulau Sumatera yang terletak pada 0,02’ s/d 2,3’ derajat Lintang
Utara dan 98,49’ s/d 100,22’ derajat Bujur Timur.10
Selain memiliki gunung-gunung yang indah, Tapanuli Selatan juga memiliki
panorama yang indah akan danaunya seperti Danau Tao di Kecamatan Sosopan,
Danau Siais di Kecamatan Siais dan danau Marsabut di Kecamatan Sipirok. Wilayah
Tapanuli Selatan juga dialiri banyak sungai, baik sungai besar maupun sungai kecil.
Bahkan aliran sungai tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembangkit listrik
tenaga air, Industri maupun irigasi, di antaranya sungai Batang Pane, sungai Barumun
dan lain-lain.
Dan secara topografi daerah
Tapanuli Selatan terdiri dari dataran rendah, bergelombang, berbukit dan dataran
tinggi bergunung dengan ketinggian antara 0 s/d 1500 meter di atas permukaan laut.
Daerah ini dikelilingi oleh gunung Gongonan di Kecamatan Batang Angkola, gunung
Sorik Marapi di Kecamatan Panyabungan, gunung Lubuk Raya di Kecamatan
Padangsidimpuan dan gunung Sibual-buali di Kecamatan Sipirok.
Luas wilayah Tapanuli Selatan adalah 18.006 Km2 atau 1.800.600 H.A. dari
luas Propinsi Sumatera Utara dan merupakan daerah bagian terluas di Sumatera Utara
10
dari daerah bagian lainnya. Secara administratif daerah Tapanuli sebelum
kemerdekaan dikenal sebagai bagaikan dari wilayah kekuasaan Hindia-Belanda yang
masuk dalam wilayah Keresidenan Tapanuli. Setelah masa kemerdekaan daerah
Tapanuli masuk dalam wilayah propinsi Sumatera Utara dan menjadi daerah tingkat
II Kabupaten Tapanuli Selatan yang berbatasan di sebelah Utara dengan Daerah
Tingkat II Kabupaten Tapanuli Tengah dan Dati II Kab. Tapanuli Utara, sebelah
Timur dengan Propinsi Riau, sebelah Selatan dengan Propinsi Sumatera Barat, dan di
sebelah Barat dengan Samudra Indonesia.
Kondisi geografi Tapanuli Selatan dengan iklim yang selalu bergantian dan
curah hujan yang merata setiap bulan membuat daerah ini sesuai sebagai daerah
pertanian. Dengan adanya dukungan irigasi, pemakaian bibit unggul, pupuk, dan
pengolahan tanah yang tepat dapat meningkatkan hasil pertanian. Selain itu, dengan
komposisi penduduk yang sebagian besar tinggal di daerah pedesaan, menunjukkan
bahwa sebagian masyarakatnya sangat mengandalkan hidupnya pada pengelolaan
tanah, antara lain sebagai petani sawah, berkebun di ladang dan beternak.
Awalnya Tapanuli Selatan meliputi daerah Sipirok/Angkola dan Mandailing.
Kedua daerah ini meskipun berada sama-sama di daerah Tapanuli Selatan, tetapi ada
perbedaan yang khas di antara keduanya. Daerah Sipirok merupakan sebuah
kecamatan berjarak ± 385 km dari kota Medan, sedangkan dari Padang Sidimpuan ke
Kecamatan Sipirok ± 38 km. Antara Kecamatan Sipirok dengan Kecamatan Pahae
Jae dengan ibukotanya Pahae, daerah yang bersebelahan dan merupakan daerah yang
berada di Kabupaten Tapanuli Utara jaraknya ± 42 km. Mandailing adalah suatu
40 km dari Padang sidimpuan ke selatan dan ± 150 km dari Bukit Tinggi ke utara.
Dan Tapanuli Selatan untuk sekarang adalah sebuah kabupaten di Sumatera Utara
dengan luas wilayah 12.275,80 km², dengan Ibu kota de jure-nya ialah Sipirok,
menyusul dibentuknya Padang Sidimpuan menjadi kota otonom dan pembentukan
Kabupaten Mandailing Natal.11
2.2Kondisi Demografi
Penduduk asli wilayah Tapanuli Selatan memiliki dua jenis suku sesuai
dengan daerahnya yaitu Batak Mandailing yang mendiami daerah Mandailing yang
berbatasan dengan Sumatera Barat dan suku Batak Angkola yang mendiami daerah
Sipirok. Kedua suku ini yaitu Batak Mandailing-Angkola mendiami sebagian besar
dari keseluruhan daerah Tapanuli Selatan sejak masa tradisional, masuknya
pemerintah kolonial Belanda sampai pada saat sekarang ini. Terjadi interaksi yang
saling berkesinambungan antara kedua suku ini yang membuat pernyataan bahwa
daerah Tapanuli Selatan itu identik dengan suku Batak Angkola-Mandailing pada
masa itu, tetapi dalam kenyataannya keduanya memang berbeda.
Mandailing sendiri dibagi dua walaupun sebenarnya adatnya sama.
Pembagian itu adalah Mandailing Godang dan Mandailing Julu. Daerah Mandailing
Godang didominasi oleh marga Nasution yang wilayahnya mulai dari Sihepeng di
sebelah utara Penyabungan sampai Maga di sebelah selatan serta daerah Batang Natal
sampai Muara Soma dan Amara Parlampungan di sebelah barat. Daerah Mandailing
11
Julu, didominasi oleh marga Lubis. Wilayahnya, mulai dari Laru dan Tambangan di
sebelah utara. Di sebelah selatan mulai dari Kotanopan sampai Pakantan dan
Hutanagodang. Secara turun-temurun di manapun dia bertempat tinggal, etnis
Mandailing menganut sistem garis keturunan ayah (patrilineal) yang terdiri dari
marga-marga:
- Nasution - Daulay
- Lubis - Matondang
- Pulungan - Parinduri
- Rangkuti - Hasibuan
- Batubara - dan lain-lain12
Marga-marga ini tidak serentak mendiami wilayah Mandailing, ada beberapa
marga yang datang dan kemudian mendiami wilayah tersebut dan dianggap sebagai
warga Mandailing dan tidak mau disebut sebagai warga pendatang. Sebagai contoh,
Marga Hasibuan yang bertempat tinggal di Mandailing, yang berasal dari Barumun
sudah mempunyai Bona Bulu di Mandailing. Sebahagian dari marga Hasibuan telah
turut membuka huta bersama-sama dengan raja, sehingga ia disebut anak boru bona
bulu. Demikian juga marga lainnya. Etnis Mandailing hampir 100 % penganut agama
Islam yang taat. Oleh karena itulah agama Islam sangat besar pengaruhnya dalam
adat seperti dalam pelaksanaan upacara-upacara adat.
Kecamatan Sipirok umumnya didiami oleh etnis Sipirok/Batak Angkola.
Pakar Antropologi menyatakan, kedua etnis ini sama. Terpisah dengan etnis
12
Mandailing dan etnis Batak Toba. Diperkirakan, etnis Sipirok/Angkola bermigrasi
dari daerah Batak, yaitu berasal dari Toba tepatnya daerah Muara dan bermarga
Siregar. Mereka datang dengan jumlah yang besar untuk mencari penghidupan yang
lebih baik dari dua puluh generasi. Hal ini disebabkan lahan di Tanah Batak sudah tak
sanggup lagi menampung masyarakat bermarga Siregar yang berkembang dengan
pesat. Salah satu daerah yang mereka tuju adalah Sipirok dan yang lainnya menyebar
ke daerah-daerah yang dapat menampung mereka.
Di Sipirok banyak ditemukan pohon pirdot. Tanaman ini banyak tumbuh di
pinggiran sungai dan berbatang sangat keras. Pohon ini ditemukan marga Siregar, dan
tempat itu lalu mereka namakan Sipirdot yang lama kelamaan menjadi Sipirok.
Marga Siregar yang datang ke Sipirok ini merupakan Bangsa Proto Melayu yang
datang ke Pulau Sumatera karena desakan dari bangsa Palae Mongoloid.13
1. Gelombang pertama mendarat di Pulau Nias, Mentawai, dan Siberut.
Mereka
menyebar di tiga daerah, yaitu:
2. Gelombang kedua mendarat di Muara Sungai Simpang atau Singkil, yaitu sub
etnis Batak Gayo atau Batak Alas.
3. Gelombang ketiga sampai di muara sungai Sorkam yaitu antara Barus dan
Sibolga. Mereka masuk ke daerah pedalaman dan sampai di kaki gunung
Pusuk Buhit dekat Danau Toba.14
13
Mangaraja Onggang Parlindungan, Tuanku Rao, Jakarta: Tanjung Pengharapan, 1964, hal. 47-48.
14
Keturunan marga Siregar semakin berkembang, akhirnya Ompu Palti Siregar,
penguasa ketika daerah Sipirok baru dibuka membagi kerajaan yang dipimpinnya
menjadi tiga kerajaan, yaitu:
1. Kerajaan Parau Sorat yang dipimpin oleh Ompu Sayur Matua.
2. Kerajaan Baringin dipimpin oleh Sutan Parlindungan, dan
3. Kerajaan Sipirok dipimpin oleh Ompu Sutan Hatunggal.
Untuk mempersatukan ketiga kerajaan ini, maka di suatu tempat yang
bernama Dolok Pamelean dibuatlah tempat pertemuan (bukit
persembahan/pengorbanan). Pada tempat itu, sebagai tempat pertemuan ditanamlah
pohon Beringin. Tempat ini menjadi lokasi atau Camat Kecamatan Sipirok yang
sekarang. Secara turun-temurun di manapun dia bertempat tinggal, Etnis
Sipirok/Angkols juga menganut sistem garis keturunan ayah (patrilineal) yang terdiri
dari marga-marga:
- Harahap - Ritonga
- Siregar - Pohan
- Hutasoit - dan lain-lain.
- Rambe
Sama halnya dengan di Mandailing, marga-marga tersebut pun sebagian
bukan merupakan masyarakat asli yang mendiami daerah tersebut, ada juga beberapa
marga yang merupakan pendatang dan mendiami daerah tersebut.
Mata pencaharian penduduk di Tapanuli Selatan pada umumnya bertani dan
berkebun, Pegawai negeri, pedagang, karyawan swasta, nelayan dan pensiunan.
samping itu pertanian pangan meliputi padi, kentang, jahe, sayur-mayur dan lain-lain.
Dari hasil perikanan di Tapanuli Selatan dihasilkan ikan dari hasil usaha nelayan dan
penambak berupa ikan tuna, ikan air tawar dari lubuk larangan, perairan umum, dan
budaya kolam ikan. Masyarakat juga mengusahakan peternakan, meliputi peternakan
sapi, kerbau, kambing dan unggas. Hasil hutan meliputi hutan tanaman industri,
rotan, dan kayu.
Di samping hasil-hasil tanaman dan peternakan di atas yang ada di Tapanuli
Selatan, daerah ini juga kaya dan memiliki potensi yang besar akan barang tambang
seperti emas. Selain itu ada yang lebih menarik lagi di daerah Tapanuli Selatan yaitu
daerah ini kaya akan budaya, alam dan, adat istiadat yang melengkapi kehidupan
masyarakatnya yang hidup dalam kerukunan dan ketenteraman dalam hidup
berdampingan walaupun berbeda adat maupun kepercayaan.
Seiring dengan perkembangan zaman, jumlah penduduk Tapanuli Selatan
terus mengalami peningkatan terutama sejak zaman datangnya Belanda. Seperti kita
ketahui pada zaman Belanda kawasan Tapanuli Selatan masuk dalam Keresidenan
Tapanuli. Jumlah Penduduk Tapanuli sendiri telah meningkat sekitar 70 %, yakni dari
564.000 tahun 1914 menjadi 843.000 tahun 1930. Dari jumlah tersebut diketahui
bahwa jumlah penduduk Tapanuli Selatan adalah 161.000 tahun 1914 dan 279.000
tahun 1930. Jumlah tersebut merupakan jumlah kedua terbanyak setelah jumlah
penduduk Tapanuli Utara sebanyak 385.000 tahun 1914 dan 523.000 tahun 1930 dan
di atas jumlah penduduk Sibolga yang berjumlah 18.000 tahun 1914 dan 41.000 pada
tahun 1930. Dari hal tersebut dapat dilihat bahwa setiap tahunnya baik di daerah
jumlah penduduk terus mengalami peningkatan.15 Peningkatan tersebut berjalan
seiring dengan peningkatan pembangunan infrastruktur-infrastruktur yang ada di
Tapanuli Selatan.
2.3 Kondisi Sosial
Dalam kehidupan bermasyarakat di Tapanuli Selatan mulai dari zaman
tradisional sampai pada zaman sekarang ini tidak lepas dari masyarakat desa yang
merupakan masyarakat asli yang tetap hidup dan bertahan selama beratus-ratus tahun
walaupun telah banyak mengalami bermacam-macam gejolak perubahan sosial,
peperangan, masuknya kekuasaan politik dari Kerajaan tertentu dari luar maupun dari
dalam daerah Tapanuli selatan dan juga kekuasaan asing. Masyarakat tersebut banyak
dijumpai dalam suatu huta, luhat maupun kampung.
Masyarakat tersebut telah mendiami daerah Tapanuli sejak berabad-abad yang
lalu. Mereka tinggal berkelompok dalam suatu kampung di dalam rumah tradisional
sesuai dengan corak mereka, mempunyai rumah adat, mempunyai pemimpin
kampung sesuai dengan adat istiadat setempat atau alat-alat perlengkapan
pemerintahan kampung secara tradisional. Seseorang mempunyai tiga kategori
keluarga: agnat atau dongan sabutuha-nya sendiri, hula-hula-nya, dan anak
boru-nya.16
15
Lance Castles, op. cit., hal. 31.
Begitulah pembagian kekerabatan dalam masyarakat Tapanuli pada umumnya
dan juga pada masyarakat Tapanuli Selatan pada khususnya yang dikenal dengan
dalihan na tolu (tungku nan tiga). Dongan sabutuha (kahanggi dalam masyarakat
16
Tapanuli Selatan) merupakan kelompok masyarakat yang memiliki persamaan marga
menurut garis keturunan yang patrilineal, hula-hula (mora dalam masyarakat
Tapanuli Selatan) yaitu kelompok marga pemberi mempelai perempuan dan anak
boru yaitu kelompok marga penerima mempelai perempuan. Secara fungsional
hula-hula memiliki kedudukan yang lebih tinggi terhadap boru, hal ini sangat tampak jelas
dalam suatu pelaksanaan adat.
Pada masyarakat Tapanuli Selatan, huta (dusun) merupakan kesatuan paling
kecil yang terdapat dalam suatu kumpulan dari beberapa keluarga yang menempati
huta ataupun. Keberadaan suatu huta tidak lepas dari adanya faktor garis keturunan
atau marga, karena ikatan adat, religi, teritorial, dan keturunan mengatur hubungan
antar huta. Setiap huta bersifat otonom, baik di dalam maupun ke luar daerah. Dalam
hal ini, huta dapat diibaratkan sebagai suatu kesatuan republik kecil, di mana setiap
huta mempunyai raja huta sebagai pemimpin yang disebut Raja Pamusuk. Sejumlah
huta yang berdekatan secara teritorial dan terkait hubungan darah (genealogis)
membentuk sebuah kawasan adat yang disebut luhat yang dipimpin oleh Raja
Panusunan Bulung. Raja ini dipilih dari antara Raja Pamusuk yang terdapat dalam
luhat, khususnya dari pihak turunan ‘sipungka huta’ (yang membuka huta) di dalam
luhat yang bersangkutan. Raja Panusunan Bulung ini selain sebagai kepala
pemerintahan, juga sekaligus menjadi pengetua adat atau Raja Adat yang memimpin
berbagai kegiatan seperti keagamaan, sosial hingga kegiatan ekonomi di seputar
kawasan luhat yang menjadi wilayah kekuasaannya. Dalam menjalankan
sistem adat Batak yang mengatur sedemikian rupa dengan berlandaskan prinsip
kekerabatan ‘dalihan na tolu’.
Di samping huta, sebagai wadah tempat tinggal kelompok masyarakat adat di
Tapanuli Selatan, juga dikenal kelompok-kelompok masyarakat lainnya, yaitu:
a. Banjar, suatu pemukiman yang biasanya terdiri dari 4 sampai 6 kepala
keluarga, terletak di tengah-tengah perladangan atau persawahan dan
mempunyai ikatan adat dengan ibu kampungnya (induk).
b. Lumban, kelompok masyarakat yang terdiri dari 6 sampai 10 kepala keluarga.
c. Pagaran, suatu perkampungan yang terdiri dari 10 sampai 20 kepala keluarga
yang diurus oleh kerapatan adat dari ibu kampungnya (induk).
Pada masa dahulu, dalam masyarakat Tapanuli Selatan terdapat suatu sistem
pelapisan sosial yang terdiri dari tiga strata. Strata yang pertama (tertinggi) terdiri dari
golongan bangsawan, atau golongan kerabat raja yang dinamakan “Namora”. Di
bawah golongan bangsawan terdapat golongan penduduk biasa (bukan bangsawan)
yang disebut sebagai “halak na bahat” (orang kebanyakan), dan status yang terendah
terdiri dari golongan budak yang dinamakan “hatoban”. Orang-orang yang masuk
pada golongan hatoban adalah:
a. Orang-orang yang ditawan atau dikalahkan dalam peperangan.
b. Orang-orang yang melakukan kesalahan berat dan menjalani hukuman sebagai
c. Orang-orang yang karena tidak sanggup membayar hutang dijadikan budak,
dan kalau hutangnya sudah lunas kembali menjadi orang bebas.17
Budak yang sudah memiliki rumah sendiri dan mengerjakan ladang atau
sawah sendiri, tetapi masih terikat dengan majikannya, sehingga sewaktu-waktu dapat
disuruh bekerja untuk kepentingan majikannya dinamakan “pankandangi”. Budak
yang bertempat tinggal di rumah majikannya dan bertugas melayani segala keperluan
majikannya dinamakan “hatoban”, atau “pangolo” (budak pelayan). Budak yang
tinggal di rumah sendiri tetapi berkewajiban mengerjakan semua lahan pertanian
milik majikannya dinamakan “hatoban marsaro”, budak yang sudah dibebaskan dan
tidak tinggal di rumah majikannya dinamakan “ompung dalam” dan berstatus seperti
kebanyakan penduduk biasa.
Sejak tahun 1876, pemerintah kolonial Belanda menghapuskan perbudakan di
kawasan Tapanuli Selatan. Meskipun perbudakan telah dihapuskan oleh pemerintah
Kolonial, tetapi dalam pandangan masyarakat asli Tapanuli Selatan kedudukan
mereka masih tetap sama sebagaimana mereka sebelumnya, sedapat mungkin
menghindari berhubungan dengan orang yang dianggap “hatoban”, seperti
menghindari perkawinan dengan bekas “hatoban” dan keturunannya.
Baru pada zaman kemerdekaanlah pandangan masyarakat Tapanuli Selatan
terhadap bekas “hatoban” mulai berubah. Seiring dengan perubahan zaman dan
dengan datangnya kemerdekaan masyarakat tidak memandang rendah lagi terhadap
17
mereka, orang-orang bekas hatoban sudah dianggap sebagai masyarakat yang sama
dengan masyarakat lainnya.
Munculnya kelompok “hatoban” di daerah Tapanuli Selatan membawa
pengaruh yang sangat besar bagi keharmonisan kehidupan antar masyarakat. Hal ini
disebabkan, golongan “hatoban” merupakan orang-orang yang kalah dalam satu
pertempuran/perkelahian/perselisihan. Bagi masyarakat di Tapanuli Selatan
kekalahan dalam pertempuran/perkelahian/perselisihan lebih buruk dari hal-hal yang
lain, seperti tidak mempunyai harta, tidak ada pendidikan bahkan tidak punya agama.
Yang kalah, harus menjadi budak dan selalu patuh pada pihak atau kelompok yang
menang sampai dia dapat memenangkan pertempuran/perkelahian/perselisihan pada
si pemenang. Tetapi dalam perkembangannya, hatoban tidak hanya diakui oleh
kelompok yang menang dalam suatu pertempuran, tetapi juga diakui oleh seluruh
masyarakat yang mendiami wilayah di Kabupaten Tapanuli Selatan.
Mengenai sistem kepercayaan yang ada dalam masyarakat Tapanuli pada
mulanya dijumpai adanya kepercayaan tradisional yang pada hakikatnya kepercayaan
ini muncul sesuai dengan kodrat manusia sebagai makhluk yang lemah dan memiliki
kekuatan dan kemampuan yang terbatas, maka manusia atau masyarakat tersebut
percaya bahwa ada kekuatan yang lebih besar di luar kekuasaan dirinya. Setelah
masuknya agama Islam maupun Kristen ke Tapanuli memberi suatu kepercayaan
baru yang menjadikan masyarakat Tapanuli lebih modern, dengan cara berpikir yang
lebih terbuka dan menjadikan masyarakat semakin sadar dan berpikir secara terbuka
Pembaharuan yang terjadi semakin kuat dengan didukung oleh pembangunan
rumah-rumah ibadah yang pada dasarnya merupakan prakarsa dari masyarakat
setempat, melalui gotong royong masyarakat bekerja sama mengumpulkan dana guna
terlaksananya pembangunan. Selain itu, pemerintah juga turut serta mengambil
bagian dalam pembangunan tersebut. Dalam perkembangannya, pembangunan dan
pembaharuan rumah ibadat di Tapanuli Selatan berjalan normal sesuai dengan
bertambahnya jumlah penduduk yang menganut suatu kepercayaan itu. Agama Islam
merupakan paling banyak dianut atau agama mayoritas yang ada dalam masyarakat
Tapanuli Selatan, walaupun begitu, kerukunan umat beragama sangat kental terjaga
antara agama Islam yang mayoritas dengan agama Kristen yang minoritas. Selain itu,
pemerintah juga turut memberikan pedoman bagi masyarakat untuk terus menjaga
toleransi antar umat beragama dalam hidup berdampingan dengan saling menjaga
sikap dan perilaku masyarakat sehingga ketenteraman dan kerukunan akan tetap
terjaga dengan baik.
2.4 Pemerintahan di Tapanuli Selatan sebelum tahun 1950
2.4.1 Pemerintahan Tradisional di Tapanuli Selatan
Secara etimologi, istilah “Tapanuli” berasal dari gabungan dua kata bahasa
daerah, yaitu “tapian” dan “na-uli”. Istilah “tapian” mengandung arti suatu tempat
yang airnya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan kehidupan manusia, seperti pinggir
sungai, telaga, pancuran atau pantai. Istilah “na” yang berada di depan istilah “uli”
berarti “indah”. Maka kata tapian-na-uli yang kemudian menjadi “Tapanuli”
mengandung arti “Teluk Nan Indah”. 18
Di Tanah Batak khususnya Tapanuli Bagian Selatan jauh sebelum masuknya
pengaruh asing, sudah terdapat banyak komunitas kecil yang disebut sebagai huta.
Kampung-kampung (huta) itu, yang dikelilingi tembok tanah dan pagar bambu
sebagai perlindungan, umumnya kecil.19
Sekalipun sistem pemerintahan luhat yang terbentuk mirip sistem oligarki
(dari turunan si pungka huta), namun sesungguhnya sistem demokrasi yang lebih
berperan yang direpresentasikan dengan adanya lembaga hatobangon (lembaga ketua
adat) yang fungsinya mendampingi RPB dalam memimpin luhat. Ini berarti setiap Setiap huta tersebut dipimpin oleh seorang
raja dengan gelar Raja Pamusuk (RP). Sejumlah huta yang berdekatan secara
teritorial dan terkait hubungan darah (genealogis) membentuk sebuah kawasan adat
yang disebut luhat yang dipimpin oleh Raja Panusunan Bulung (RPB). Dalam
menjalankan pemerintahan huta dan luhat para RP dan RPB mengacu pada sistem
adat Batak yang mengatur sedemikian rupa dengan berlandaskan prinsip kekerabatan
‘dalihan na tolu’. RPB dipilih dari antara Raja Pamusuk yang terdapat dalam luhat,
khususnya dari pihak turunan ‘sipungka huta’ (yang membuka huta) di dalam luhat
yang bersangkutan. RPB ini selain sebagai kepala pemerintahan, juga sekaligus
menjadi pengetua adat atau raja adat yang memimpin berbagai kegiatan seperti
keagamaan, sosial hingga kegiatan ekonomi di seputar kawasan luhat yang menjadi
wilayah kekuasaannya.
18
Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, Sumatera Utara dalam Lintasan Sejarah, Medan: Pemda Tk. I Sumatera Utara, 1948, hal 127.
19
warga dari komunitas atau huta terwakili di dalam musyawarah luhat. Mendahulukan
sipungka huta yang juga menjadi RPB sudah sepantasnya untuk didudukkan sebagai
pemimpin luhat, namun keputusannya terkendali oleh peran ‘lembaga hatobangon’.
Suatu komunitas kecil dikatakan sebagai huta jika komunitas tersebut telah
mampu memenuhi kebutuhan sendiri hingga dapat berdiri sendiri, dan huta ini
diresmikan menjadi bona bulu. Komunitas kecil ini berawal dari tradisi membuka
huta di dalam kawasan luhat yang dalam perjalanannya komunitas kecil tersebut lalu
berkembang menjadi Bona Bulu. Sebuah huta yang dapat diresmikan menjadi Bona
Bulu, manakala telah memenuhi beberapa persyaratan, yaitu: (1) terdapat penduduk
sekurang-kurangnya tiga keluarga ‘dalihan na tolu’ yang terdiri dari kahanggi
(bersaudara), anakboru (besan dari pihak perempuan), dan mora (besan dari pihak
laki-laki); (2) tersedia lahan yang cukup untuk pertanian (tanaman pangan,
peternakan atau perikanan); (3) ada pemerintahan yang mampu menyelenggarakan
tertib umum dan dapat meningkatkan kemajuan serta kesejahteraan hidup terhadap
semua keluarga di dalam komunitasnya; (4) mendapat pengakuan atas keberadaan
calon huta oleh seluruh huta yang sudah ada di sekitarnya di dalam luhat.20
Untuk meresmikan sebuah huta menjadi bona bulu, perlu dilangsungkan
sebuah horja godang (pesta besar) yang dipimpin secara adat oleh RPB. Puncak acara
peresmian ketika RPB luhat manabalkon (mengukuhkan) nama keluarga Si pungka
Huta (Si pendiri Huta) menjadi Raja Pamusuk di huta yang baru berdiri dan
menyebutkan gelarnya. Acara lalu dilanjutkan dengan pidato Si pungka Huta yang
20
mengumumkan bahwa huta yang baru berdiri menjadi huta asal dari “Marga H” yang
mendirikannya. Raja Pamusuk lalu menanam bambu duri yang diiringi istrinya
menanam pandan, pihak anakboru menanam biji jagung ber- banjar-banjar, dan
disusul oleh pihak mora menanam butiran padi.
Huta-huta yang belum diposisikan sebagai huta Bona Bulu, dan kebutuhan
warganya masih tergantung dari bantuan huta lain, huta serupa ini dinamakan
pagaran (anak huta). Di dalam satu luhat, umumnya terdapat banyak huta yang
berstatus pagaran dan bernaung ke dalam Huta Bona Bulu terdekat. Dengan
demikian, huta selain berfungsi sebagai tempat bermukim para warganya, juga
wilayah tempat usaha (pertanian) dan sumber ekonomi yang berasal dari hutan,
waduk, sungai (laut). Hutan, lembah, sungai, danau dan gunung menjadi sumber
penghidupan huta dan menjadi wilayah territorial huta (semacam hak ulayat pada
masa sekarang). Kehidupan sosial, budaya dan ekonomi huta penggunaannya diatur
oleh warga luhat bersama Raja Panusunan Bulung (RPB).
Huta yang banyak penduduknya karena subur tanahnya dan kaya lingkungan
alamnya juga dipimpin Raja Pamusuk yang dibantu kepala ripe dalam menjalankan
pemerintahan huta untuk menegakkan tertib umum dalam bermasyarakat demi
meraih kesejahteraan hidup bersama. Sesungguhnya, seorang raja di Tanah Batak
(RPB atau RP) bukanlah individu yang memiliki nama, tetapi seorang bijak yang
dituakan di antara para tetua terbaik di luhat atau huta. Dengan kata lain RPB atau RP
di dalam luhat yang berlandaskan ‘dalihan na tolu’ tidak identik dengan sistem
Luhat tradisional yang pernah ada di Tapanuli Bagian Selatan adalah sebagai
berikut:21
1. Luhat Sipirok 5. Luhat Barumun
2. Luhat Angkola 6. Luhat Sipiongot
3. Luhat Marancar 7. Luhat Mandailing
4. Luhat Padang Bolak 9. Luhat Natal
5. Luhat Barumun 10. Luhat Pakantan
Pada tahun 1816-1838 terjadi Perang Padri di Kerajaan Pagaruyung Sumatera
Utara, yang mana pada awalnya merupakan perang antara kaum adat dengan ulama
atau yang dijuluki sebagai kaum Padri. Perang ini meluas sampai ke daerah Tapanuli
Selatan tepatnya daerah Mandailing yang berbatasan dengan Sumatera Barat. Sejak
berkuasanya kaum Paderi di wilayah mandailing yang kemudian menyebar ke daerah
Tapanuli Selatan lainnya, pemerintahan tradisional yang ada setelah kaum Paderi
menguasai daerah ini, dan agama Islam yang telah dianut oleh masyarakat, telah
merubah struktur dan sistem pemerintahan yang ada.
Bila sebelumnya Raja Panusunan Bulung yang membawahi beberapa huta,
hanya mempunyai peranan tertentu saja, yaitu dalam masalah adat istiadat.
Sedangkan Raja Pamusuk mempunyai peranan yang lebih dominan dalam setiap huta
yang dikuasainya. Akan tetapi setelah wilayah ini dikuasai oleh kaun Paderi, atau
agama Islam lebih eksis dari pada adat istiadat, maka sistem dan struktur
pemerintahan itu mengalami perubahan.
21
Raja Panusunan Bulung yang secara formalitas menguasai wilayah yang
terdiri dari beberapa huta, atau wilayah kenegerian, dirubah sebutannya menjadi
kepala kuria. Istilah kuria ini berasal dari Bahasa Arab ‘qoriah’, yang artinya adalah
wilayah. Sedangkan penguasanya di sebut sebagai khadi, yang dapat juga berarti
“hakim”. Dengan demikian seorang Raja Panusunan Bulung yang mengepalai sebuah
kuria, nama itu sudah berubah menjadi khadi, dan kekuasaannya juga bertambah luas.
Para khadi setiap kuria, bukan saja berkuasa dibidang keagamaan, melainkan juga
dibidang politik, ekonomi, dan sosial. Jelasnya kalau sebelumnya tokoh-tokoh
tradisional memerintah berdasar adat, pada masa Paderi tokoh-tokoh tersebut
memerintah berdasar pada syariat (norma-norma menurut ajaran agama Islam).22 Hal
ini terus berlanjut sampai kolonial Belanda menguasai Tanah Mandailing dan
Tapanuli Selatan secara keseluruhan.
2.4.2 Tapanuli Selatan Masa Kolonial Belanda.
Belanda pertama kali masuk ke Tapanuli Selatan yaitu pada tahun 1833 dari
arah Natal (Pantai Barat) yang ketika itu di Tapanuli sendiri masih dalam suasana
Perang Padri (1816-1838). Pada masa itu kaum adat yang tidak dapat mengalahkan
kaum ulama meminta bantuan kepada pihak Belanda sehingga yang awalnya perang
hanya antara kaum adat dengan kaum Padri berubah menjadi perlawanan terhadap
Belanda. Pihak Belanda lalu mendirikan benteng Fort Elout di Panyabungan yang
merupakan daerah paling dekat dengan Sumatera Barat untuk menyatakan
22
Departemen Dalam Negeri Prop. Dati I Sumatera Utara, Sejarah Perkembangan
keberadaannya di Tanah Batak sekaligus basis untuk mengepung perlawanan Imam
Bonjol di Daerah Pasaman.
Setahun kemudian, pada tahun 1834 Belanda memulai pemerintahan sipil di
Tanah Batak, diawali dari selatan dengan didirikannya Onder Afdeeling Mandailing
yang dipimpin Controleur Eduard Douwes Dekker yang kemudian lebih dikenal
dengan Multatuli, berkedudukan di Natal. Waktu itu wilayah Tapanuli masih bagian
dari keresidenan yang berkedudukan di Air Bangis (Pasaman, Sumatera Barat).
Sebelum Belanda masuk ke Tapanuli Selatan kawasan selatan Tanah Batak ini terdiri
dari berbagai luhat di mana setiap luhat mempunyai pemerintah sendiri dan berdiri
secara otonom dan belum pernah berada di bawah pengaruh siapa pun. Pemerintahan
sipil ini kemudian dipindahkan ke Panyabungan, lalu ditingkatkan menjadi Afdeeling
Mandailing/Angkola yang dipimpin Asistent Resident T.J. Willer yang berkoordinasi
dengan Gouverneur van Sumatra Westkust (Gubernur Pantai Barat Sumatera) yang
berkedudukan di Sibolga.
Selanjutnya pemerintah kolonial Hindia Belanda memberi nama Afdeeling
Padang Sidimpuan untuk daerah Tapanuli Selatan. Sementara yang lainnya
dinamakan Afdeeling Batak Landen terhadap kawasan seputar danau Toba dan
Tarutung sebagai ibukotanya, dan Afdeeling Sibolga untuk daerah Tapanuli Tangah.
Kemudian pada tahun 1884 ketiga afdeeling ini digabung menjadi satu keresidenan
yang dikenal sebagai Keresidenan Tapanuli di dalam lingkungan pemerintahan
kolonial Hindia Belanda di Sumatera yang berkedudukan di Padang Sidimpuan yang
masih menjadi bagian dari pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang berpusat di
Sejak tahun 1906, pemerintahan Belanda di Tanah Batak lantas dipisahkan
dari Sumatera Barat dan sepenuhnya dibentuk keresidenan yang berdiri sendiri
dengan Residen yang berkedudukan di Sibolga. Dengan keputusan ini, pemerintah
kolonial Hindia Belanda di Batavia langsung mengendalikan pemerintahannya dari
pusat ke seluruh Tanah Batak yang belum pernah dilakukan sebelumnya, tidak lagi
berpusat di Padang, Sumatera Barat. Selanjutnya, pemerintah kolonial Hindia
Belanda yang berkuasa mulai membuat struktur pemerintahan baru versi Belanda di
wilayah Tanah Batak yang kemudian berganti nama menjadi Tapanuli ke dalam tujuh
tingkat pemerintahan:
1. Tingkat pertama, resident adalah pejabat tertinggi pemerintah kolonial Hindia
Belanda yang memimpin Keresidenan Tapanuli.
2. Tingkat kedua, asisten resident. Keresidenan Tapanuli dibagi menjadi dua
afdeeling, yaitu: Afdeeling Tapanuli Utara berkedudukan di Tarutung dan
Afdeeling Tapanuli Selatan berkedudukan di Padang Sidimpuan. Setiap
afdeeling dipimpin seorang asistent resident. Afdeeling adalah wilayah
setingkat kabupaten di Jawa yang dipimpin seorang bupati.
3. Tingkat ketiga, controleur. Afdeeling dibagi menjadi beberapa
onder-afdeeling yang dipimpin seorang controleur. Onder-afdeeling adalah wilayah
setingkat kecamatan. Di seluruh Afdeeling Tapanuli Selatan terdapat tiga
onder-afdeeling, yaitu: Angkola-Sipirok, Padang Lawas dan
4. Tingkat keempat, demang. Pada tahun 1916 pemerintah kolonial Hindia
Belanda memperkenalkan wilayah district (setingkat kewedanaan) di bawah
onder-afdeeling yang dipimpin oleh seorang demang.
5. Tingkat kelima, asisten demang. Di bawah district pemerintah kolonial Hindia
Belanda memperkenalkan onder-district yang dipimpin seorang asistent
demang.
6. Tingkat keenam, kepala kuria. Di bawah onder-district pemerintah kolonial
Hindia Belanda memperkenalkan istilah hakuriaan yang dipimpin seorang
Kepala kuria. Hakuriaan menggantikan sebutan luhat untuk membawahi
sejumlah huta yang berdekatan, mengacu pada masa kekuasaan kaum Paderi.
7. Tingkat ketujuh, kepala kampung, tingkat terendah di bawah hakuriaan.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda memperkenalkan istilah ‘kampung’
untuk menggantikan sebutan huta. Kampung dipimpin seorang kepala
kampong. Ini berarti sebutan Raja Pamusuk (RP) dan Raja Panusunan Bulung
(RPB) yang memimpin sebuah huta atau bona bulu dihilangkan dengan
menggantikannya dengan kepala kampung.23
Onder Afdeeling
Pada masa pendudukan Belanda, wilayah Tapanuli Bagian Selatan disebut
Afdeeling Padang Sidimpuan dikepalai oleh seorang residen yang berkedudukan di
Padang Sidimpuan. Afdeeling Padang Sidimpuan dibagi atas tiga onder-afdeeling.
23
Setiap onder-afdeeling dikepalai oleh seorang contreleur yang dibantu oleh seorang
demang. Tiga onder-afdeeling tersebut, yaitu:
• Onder-Afdeeling Angkola-Sipirok ibukota di Padang Sidimpuan.
• Onder-Afdeeling Padang Lawas ibukota di Sibuhuan.
• Onder-Afdeeling Mandailing-Natal ibukota di Kotanopan.24
Sebelumnya onder-afdeeling Mandailing terdiri dari onder-afdeeling yang
meliputi Mandailing Godang, Mandailing Julu, Ulu dan Pakantan dan Natal terdiri
dari onder-afdeeling yang meliputi Natal dan Batang Natal.
District (Distrik)
Setiap onder-afdeeling terdiri dari distrik. Distrik dikepalai oleh seorang
asisten demang. Nama-nama distrik menurut onder-afdeeling adalah sebagai berikut:
Tabel I
Nama-nama Distrik menurut Onder Afdeeling di Tapanuli Selatan
Onder Afdeeling
Angkola-• Distrik Angkola ibukota
di Padang Sidimpuan
• Distrik Batangtoru ibukota di Batangtoru
• Distrik Sipirok ibukota
di Sipirok
• Distrik Padang
Bolak ibukota di
Gunung Tua
• Distrik Barumun dan
Sosa ibukota di
• Distrik Dolok
ibukota di Sipiongot
Sipongi ibukota di
Muara Sipongi • Distrik Natal ibukota
di Natal
• Distrik Batang Natal ibukota di Muara
Soma
Sumber: Kantor BPS Tapanuli Selatan
Hakurian
Setiap distrik dibagi atas beberapa hakuriaan yang dikepalai oleh seorang
Kepala Kuria. Sebelum munculnya istilah ‘hakuriaan’ versi pemerintah kolonial
Hindia Belanda, penduduk di Tanah Batak telah lama menggunakan sebutan ‘luhat’
atau ‘banua’ untuk menyatakan sebuah wilayah yang dipimpin oleh Raja Panusunan
Bulung (RPB) dalam adat Batak. Luhat versi Belanda yang dikenal sebagai hakuriaan
menurut distrik adalah sebagai berikut:
Tabel II
Luhat di Tapanuli Selatan menurut Distrik
Distrik Sipirok
1. Sipirok Godang
2. Baringin
3. Parau Sorat
Distrik Padang Bolak
Distrik Barumun dan Sosa
1. Ujung Batu
Sumber: Kantor BPS Tapanuli Selatan
Kampung
Setiap luhat dibagi atas beberapa kampung yang dikepalai oleh seorang
kepala kampung (kampong hoofd). Jika sebuah kampung mempunyai penduduk yang
jumlahnya banyak maka kepala kampung dibantu oleh seorang kepala ripe.
Demikianlah beberapa tingkatan pemerintahan yang pernah ditetapkan oleh
pemerintah Kolonial Belanda di Tapanuli Selatan, namun dalam perkembangannya
masyarakat setempat pun tidak hanya menerima kebijakan ini dengan begitu saja. Hal
tersebut terbukti dengan mulai bermunculannya perlawanan-perlawanan masyarakat
terhadap Pemerintahan Kolonial Belanda baik secara sembunyi-sembunyi maupun
Pada September 1933 seorang anggota kelompok pemuda Muslim di
Hutapungkut Djulu, Mandailing, dipanggil oleh demang untuk menjelaskan mengapa
dia menulis “Lebih baik mati dan dikubur dari pada hidup di negeri yang diperbudak”
di pintu kantor mereka. Penjelasan bahwa dia menuliskan kalimat tersebut di pintu
hanyalah sebagai pengingat pribadi karena tidak mempunyai kertas, tidak bisa
diterima. Di dinding dalam tertulis “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” dan
“Sekarang! Indonesia Merdeka Sekarang!”.25
Pergerakan ini sulit dirumuskan. Ada gerakan politik yang ingin bebas dari
Belanda, ada gerakan keagamaan yang ingin membersihkan pelaksanaan Islam dari
unsur-unsur tambahan dan berbagai penyimpangan, ada juga gerakan sosial kaum
muda dan lain-lain lagi yang tidak senang pada status mereka yang rendah di bawah
adat, dan menentang para pemimpin dan tetua berikut berbagai pengekangan yang
mereka berlakukan.
Inilah suara pergerakan yang pada
tahun 1930-an mulai bermunculan di Tapanuli Selatan sebagai bentuk perlawanan
yang dilakukan terhadap kolonial Belanda.
Lance Castles mengelompokkan pergerakan politik di Tapanuli selatan
menjadi tiga bagian berdasarkan tujuan yang ingin dicapai. 1). Gerakan politik yang
bebas dari penjajahan Belanda. 2). Gerakan keagamaan yang ingin membersihkan
pelaksanaan Islam dari unsur-unsur tambahan sebagai penyimpangan dan 3). Gerakan
sosial kaum muda yang tidak senang dengan status mereka yang rendah di bawah
adat.
25
Pergerakan politik di Tapanuli Selatan selama Pemerintahan Kolonial Belanda
menjadikan masyarakat terpragmentasi dalam sekat-sekat organisasi karena
persaingan untuk mendapatkan pengaruh dan anggota. Pemimpin adat dan ahli
agama yang konservatif dihinggapi nafsu harajoan Batak tidak jauh berbeda dengan
Batak di Tapanuli utara. Kalau masyarakat adat mengisolasi penduduk secara lokal
berdasarkan status, organisasi sosial menyatukan mereka berdasarkan suka rela dan
tempat berpijak yang sama. Pemimpin adat menganggap pergerakan politik
mengancam statusnya dalam adat yang tinggi sekalipun sesungguhnya mereka sendiri
terkadang merupakan penyimpangan.
2.4.3 Tapanuli Selatan masa Pendudukan Jepang
Setelah berakhirnya kekuasaan Belanda yang kemudian digantikan oleh
Jepang pada tanggal 24 Maret 1942 sampai 1945 tidak mengalami perubahan yang
sangat nyata pada struktur pemerintahan Tapanuli Selatan yang ditinggalkan oleh
pemerintah kolonial, kecuali pemberian nama-nama dan personalia baru yang
diberikan oleh pemerintah Militer Jepang, yaitu:
a. Setiap residensi disebut shu di bawah pengawasan seorang militer gunseibu. Di
sampingnya ada seorang residen merangkap kepala polisi yang mengatur
pemerintahan sipil sehari-hari yang disebut dengan shu chokan, yang berwenang
mengeluarkan peraturan di bidang peradilan. Peraturan ini disebut dengan shu rei,
yang juga merupakan seorang militer Jepang. Hubungan antara satu Residensi
masing-masing gubseibu untuk membuat kebijakan sendiri asal mengikuti aturan
dasar yang ditentukan oleh atasannya.
b. Kabupaten dalam setiap keresidenan disebut bun, kewedanan disebut gun.
c. Asisten residen disebut bun shu cho juga dipegang oleh militer Jepang.
d. Daerah kecamatan disebut son dan kepala wilayahnya disebut dengan son cho
yang umumnya dipegang oleh masyarakat pribumi yang pro Jepang.26
Untuk membantu pemerintah Jepang maka dibentuklah suatu Badan
Pertimbangan Pusat yang diberi nama cuo sang in yang anggota-anggotanya diambil
dari wakil-wakil daerah tiap keresidenan dan berkedudukan di Bukit Tinggi. Maka di
Keresidenan Tapanuli terdapat Dewan Pertimbangan Daerah (Tapanuli suo sang kai).
Sebagai pimpinan sipil yang tertinggi untuk bangsa Indonesia di Tapanuli maka
diangkatlah Dr. Ferdinan Lumbantobing sebagai Ketua Badan Pertahanan Negeri
(BAPEN) oleh pemerintah Jepang sebagai fuku chokan yaitu wakil residen, karena
beliau adalah seorang tokoh pemuka masyarakat yang sangat disegani di wilayah
Tapanuli.
Di setiap kota besar di Tapanuli selalu ada cabang BAPEN dan diinstruksikan
untuk mengkoordinir setiap desa agar para pemudanya mengikuti pelatihan militer,
latihan pemadam kebakaran dan menjaga keamanan desa, berjaga malam, dan mereka
dilatih oleh tentara Jepang.27
26
Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara, op. cit., hal. 171.
Selain itu, di setiap desa tentara Jepang juga membentuk
barisan seikedan (Sekedan) guna menjaga keamanan desa serta membuat pos-pos
penjagaan.
27
Pendudukan Jepang selama kurang lebih 3 setengah tahun di Indonesia
memang tidak banyak memberi perubahan terhadap tatanan pemerintahan di
Indonesia baik itu dari pemerintahan pusat sendiri maupun sampai ke pemerintahan di
daerah-daerah. Selain hanya dengan beberapa penggantian istilah kepemimpinan dan
penyesuaian dengan pemerintah Jepang sendiri tidak ada hal lain perubahan yang
terlihat jelas, selain tentu saja beberapa pergantian pemimpin di beberapa kursi
kepemimpinan yang ditunjuk sesuai dengan kebijakan dari pemerintah Jepang pada