• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Tampilan Kekerasan Dalam Film (Studi Analisis Isi Tentang Kekerasan Fisik dan Psikologis Dalam Film“The Raid: Redemption” Karya Gareth Evans)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Tampilan Kekerasan Dalam Film (Studi Analisis Isi Tentang Kekerasan Fisik dan Psikologis Dalam Film“The Raid: Redemption” Karya Gareth Evans)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam UU nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman disebutkan bahwa yang dimaksud dengan film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan salah satu media komunikasi massa audiovisual yang dibuat berdasarkan asas sinematografi yang direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video dan bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan sistem lainnya (http://kpi.go.id/index.php/2012-05-03-16-16-23/undang-undang). Sementara itu menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk terdapat gambar negatif (yang akan dibuat potret) untuk tempat gambar positif (yang akan dimainkan di bioskop) (Balai Pustaka,1990: 242).

Film hadir sebagai bagian dari kebudayaan massa, yang muncul seiring dengan perkembangan masyarakat perkotaan dan industri. Sebagai bagian dari budaya massa yang populer, film adalah suatu seni yang dikemas untuk dijajakan sebagai komoditi dagang. Film dikemas untuk dikonsumsi massa yang beribu, bahkan berjuta jumlahnya. Film yang merupakan produk komersial akan lebih menekankan kemampuan komunikasi produk-produk dan aktivitasnya daripada penghargaan kritis khalayak ramai.

Menurut sejarah perfilman di Indonesia, film pertama di negeri ini berjudul Lely van Java yang diproduksi di Bandung pada tahun 1926 oleh seorang yang bernama David. Kemudian disusul oleh Eulis Atjih produksi Krueger Corporation pada tahun 1927-1928. Sampai tahun 1930 masyarakat pada waktu

itu telah disuguhkan film-film berikutnya yaitu Lutung Kasarung, Si Conat dan Pareh. Sampai tahun itu, film yang disajikan merupakan film bisu dan yang

(2)

yang merupakan karya orisinil berdasarkan naskah seorang penulis Indonesia yang dibintangi Roekiah dan R. Mochtar berjudul Terang Bulan. Setelah itu, film Indonesia berkembang pesat hingga sekarang (Effendi, 2002: 217).

Pada zaman pendudukan Jepang sampai era awal kemerdekaan tahun 1950 banyak bermunculan sineas-sineas film nasional yang berjasa menghidupkan idealism industri film nasional. Nama-nama seperti Asrul Sani, Chairil Anwar, dan Usmar Ismail paling berpengaruh pada masa itu. Dari semua pembuat film idealis, Usmar Ismail menonjol sebagai pelopor film Indonesia dengan film pertamanya Darah dan Doa (1950). Ketika Jepang menduduki Indonesia, ia bekerja di bagian propaganda, menulis naskah dan materi lainnya. Setelah pindah ke Yogyakarta dengan Pemerintahan Republik dan selama empat tahun berjuang melawan kembalinya Belanda, ia pindah ke Jakarta pada tahun 1948, di mana ia menyutradarai dua film untuk perusahaan film Belanda SPCC. Darah dan Doa yang diakuinya sebagai film pertama, diproduksi oleh Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini), sebuah perusahaan yang didirikannya bersama Rosihan Anwar. Ia terus membuat film di sepanjang tahun 1950-an, dan menjadi sosok penting dalam industri perfilman, baik dalam asosiasi produser (PPFI) maupun di Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), sebuah organisasi budaya yang didirikan untuk menandingi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang erat berhubungan dengan Partai Komunis

Indonesia (PKI)

Pada masa orde lama, film-film karya anak bangsa lebih bertemakan perjuangan. Para pembuat film masih terbawa nuansa kemerdekaan Indonesia. Efek dari kampanye anti-neolib dari Bung Karno juga banyak menginspirasi para pembuat film. Setelah itu, melalui Surat Keputusan Menteri Penerangan No.59/KEP/MENPEN/1969 pemerintah orde baru membentuk Dewan Film Nasional yang mengatur perfilman Indonesia. Sejak saat itu, perfilman Indonesia dikendalikan oleh negara.

(3)

magang apa pun seperti yang ditetapkan Negara saat itu. (2) Kendali Negara atas isi film, terutama melalui mekanisme sensor dan tekanan lainnya. Bukan hanya sensor terhadap muatan seksual dan kekerasan, tapi terutama justru terhadap muatan yang bisa dianggap mengancam “kestabilan sosial” (dan kestabilan kekuasaan, tentunya). Kritik keras pada Negara, isu “keras” macam korupsi para pejabat, isu-isu SARA (Suku-Agama-Ras-Antargolongan –dengan perhatian pada “(Suku-Agama-Ras-Antargolongan”, yang sebetulnya terjemahan Orde Baru untuk masalah-masalah pertentangan kelas) praktis dibungkam. Negara juga menetapkan bahwa, misalnya, tak boleh ada penggambaran negatif atas polisi/militer dan film horor wajib menyertakan tokoh agama sebagai penyelesai masalah. (http://new.rumahfilm.org/artikel- feature/membaca-dekade-menyusun-peta-pengantar-untuk-daftar-33-film-indonesia-terpenting-2000-2009-pilihan-rumah-film/).

Masuk ke dalam era reformasi, perkembangan film Indonesia mulai menunjukkan ke arah yang lebih baik. Kebebasan dalam penentuan tema dan sudut pandang memberi ruang yang lebih besar kepada para pekerja film dalam membuat karya yang baik. Era reformasi juga membuka kesempatan bagi industri film kembali bergairah. Potensi penikmat film yang besar menarik banyak pengusaha untuk terlibat dalam pembuatan film.

Industri film Indonesia bergairah dengan adanya kebebasan, pemilik modal dan potensi pasar yang besar. Kebebasan dalam karya film membuat tema film lebih bervariasi. Tema film tidak lagi disesuaikan dengan kehendak pemerintah, namun disesuaikan dengan keinginan pasar. Pemilik modal memandang film tidak lagi sebagai produk sejarah. Film berubah menjadi media yang bisa menghasilkan laba. Iming-iming laba yang cukup besar, menguatkan tekad pemilik modal untuk berinvestasi dalam film. Investasi tidak hanya berkaitan dengan pekerja seni, teknologi untuk membuat film yang baik juga didatangkan dari luar negeri. Dan pasar penonton film Indonesia bukan menjadi perdebatan yang hangat. Di kampung-kampung, film layar tancap menjadi hiburan yang paling digemari masyarakat Indonesia.

(4)

dan genre yang bervariasi dengan teknik pembuatan film yang baik, sehingga film-film Indonesia mulai mendapat apresiasi oleh kritikus film internasional dan berjaya festival-festival film internasional. Salah satu film Indonesia yang mengundang perhatian dunia adalah film The Raid: Redemption. Film bergenre

action dengan adegan-adegan kekerasan yang mengkombinasikan pencak silat

dari berbagai aliran dengan senjata api dan pisau.

Kesuksesan The Raid: Redemption di kancah perfilman internasional mengundang kritikus film dunia untuk ikut memberikan komentar. Beberapa kritikus pun membuat sedikit review untuk film garapan Gareth Evans tersebut. Pada sebuah situs berita, Matt Patches mengulas film dan memberikan pujian terhadap The Raid: Redemption, khususnya pada aksi bela diri yang ditonjolkan pada film tersebut.

“Adrenalin akan terus naik dan tidak akan berhenti sampai menit terakhir The Raid: Redemption,” katanya (Hollywood.com).

Kritikus lainnya, Gary Goldstein, ikut mengulas The Raid: Redemption dalam Los Angeles Times dengan tajuk The Raid: Redemption is an action bonanza. Goldstain mengungkapkan bahwa Gareth Evans berhasil menyuguhkan

visualisasi pertarungan yang memukau dan mampu membuat penonton tak mengalihkan perhatian selama film berlangsung. Sementara itu Lou Lumenick kritikus film lainnya mengungkapkan melalui New York Post bahwa film The Raid: Redemption yang memacu adrenalin dan penuh dengan brutal ini, tidak

disarankan bagi mereka yang memiliki jantung lemah atau perut yang bermasalah, karena banyak adegan yang mungkin membuat sebagian orang akan muntah melihatnya.

“The Raid: Redemption memiliki beberapa plot twist yang rapi dan sedikit banyak karakterisasi dari yang Anda harapkan dari jenis film semacam ini. Film ini tidak diperuntukkan bagi mereka yang lemah jantung dan lemah perut, khususnya ketika sebuah lampu neon digunakan untuk senjata, katanya.” (http://sidomi.com/80132/the-raid-redemption-menuai-komentar-kritikus-film-dunia).

(5)

September 2012 pukul 22.00 WIB. Film ini meraih banyak penghargaan di luar negeri. Salah satunya di “Toronto International Film Festival ke-36” beberapa waktu lalu saat film ini baru dirilis. The Raid: Redemption berhasil meraih The Cadillac People’s Choice Award untuk kategori Midnight Madness.

Selain itu, di “Jameson Dublin International Film Festival 2012”, The Raid: Redemption berhasil meraih gelar The Best Film sekaligus Audience Award.

Kemudian “The Internet Movie Database (IMDb)” memasukkan The Raid: Redemption dalam 50 film laga sepanjang masa. The Raid: Redemption berada di

urutan 45 dengan rating 8.0, sejajar dengan Star Trek, The Adventure of Robinhood, Avatar dan Pirates of the Caribbean: The Curse of the Black Pearl

(http://www.cekricek.co/post/film/the-raid-tayang-di-rcti-9-september-1).

Berbagai pujian terhadap The Raid: Redemption tidak menutup kemungkinan film ini memiliki beberapa kekurangan. Pada majalah Total Film edisi April 2012 menjelaskan bahwa kesederhanaan dalam film ini menghilangkan sosok pemeran utama. Rama yang diperankan oleh Iko Uwais datang begitu saja dalam film ini. Penonton tidak pernah tahu siapa dan darimana asal-usul Rama dalam film ini. Adegan awal ketika Rama sedang sholat dan berdoa ketika istrinya sedang tidur, hanya scene ini yang menceritakan asal usul Rama.

Selain itu, film ini juga secara vulgar menampilkan kekerasan. Kekerasan pada film The Raid: Redemption mengkhawatirkan beberapa pengamat film, termasuk Iko Uwais sebagai pemeran Rama. Dalam sebuah wawancara dengan situs berita beritasatu.com Iko Uwais membenarkan bahwa adegan kekerasan dalam film ini tidak baik, khususnya untuk anak-anak.

“Nah itu, setidaknya kami bikin film tahu diri juga bahwa film ini adalah film dewasa. Kita enggak salahin anak-anak, ya tapi orang tuanya kenapa dikasih nonton” Ujar iko (Beritasatu.com).

Iko bahkan melarang keponakannya untuk menonton aksinya dalam film The Raid: Redemption. Penolakan Iko disebabkan karena banyaknya adegan

kekerasan dalam film ini.

(6)

Menurut Iko, intensitas kekerasan dalam film The Raid: Redemption jauh lebih tinggi dari film sebelumnya berjudul Merantau; dan bahkan sekuel selanjutnya akan didominasi oleh adegan kekerasan lebih banyak.

“Dari Merantau ke The Raid perbandingan adegan kekerasan nya sampai 15 kali, begitu pula dari The Raid sekuelnya bisa sampai 10 sampai 15 kali” ujar Iko.

Pada awal tahun 90-an, dunia perfilman dipenuhi kecemasan mengenai adegan-adegan kekerasan yang ditampilkan oleh film-film dan dengan mudahnya dapat disaksikan melalui televisi maupun bioskop-bioskop. Film dengan banyak adegan kekerasan memiliki dampak negatif bagi penontonnya. Seorang pengamat film menuliskan tentang efek negatif dari film The Raid: Redemption dalam forum kompasiana.

Film ini juga memiliki beberapa efek negatif bagi bangsa Indonesia. Hal ini dituliskan oleh Syaripuddin Zufri pada forum Kompasiana.com berjudul “Plus Minus Film The Raid di Rusia”. Ada beberapa perhatian Zufri pada film ini antara lain: (1) Film ini penuh dengan kekerasan, sadis dan tak kenal perikemanusiaan. Nyawa manusia sepertinya tak ada harganya; (2) Dengan film ini menunjukkan bahwa orang Indonesia sadis dan sangar, kejam tanpa ampun; (3) Citra Indonesia semakin terpuruk, dengan film yang dibanggakan oleh pihak barat. Film dengan tema kekerasan yang ditunjukkan dalam film bisa terbawa ke benak orang Rusia, bahwa Indonesia penuh dengan kekejaman, kekerasan dan tidak berperikemanusiaan; (4) Darah dan Darah, hanya action dan kekerasan. Pemakaian senjata tajam pedang, palu, kapak, senjata laras panjang dan pistol ditonjolkan dalam film ini; dan (5) Jangan lupa, kalau nonton bioskop di Rusia, kita langsung ke Film dana hanya judul saja, setelah itu film langsung main, sedangkan nama pemain, sutradara dan produsernya diletakkan di akhir film” (www.kompasiana.com)

(7)

“Komnas PA menyebutkan bahwa berdasarkan penelitian dari tahun 2006 hingga akhir 2009, terungkap sebanyak 68 persen tayangan di 13 stasiun Televisi mayoritas mengandung kekerasan” Ujar Arist Merdeka Sirait (www.beritasatu.com)

Anak dalam sebuah keluarga merupakan pembawa bahagia, karena anak memberi arti kehidupan bagi kedua orang tuanya. Arti kehidupan dalam keluarga mengandung maksud memberikan isi, kepuasan, kebanggan dan rasa penyempurnaan diri yang disebabkan keberhasilan orang tuanya yang telah memiliki keturunan, yang akan melanjutkan cita-cita, harapan dan eksistensi hidupnya. Augustinus yang dipandang sebagai peletak dasar permulaan psikologi anak, mengatakan bahwa anak tidaklah sama dengan orang dewasa, anak mempunyai kecenderungan untuk menyimpang dari hukum dan ketertiban yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan dan pengertian terhadap realita kehidupan, anak-anak lebih mudah belajar dengan contoh-contoh yang diterimanya dari aturan-aturan yang bersifat memaksa (Suryabrata, 2000: 23). Dari pengertian di atas, dapat kita lihat bahwa anak-anak sangat rentan mencontoh apa-apa saja yang dilihat dari lingkungan. Film di televisi maupun bioskop merupakan salah satu lingkungan yang paling menarik bagi anak-anak. Hampir setiap rumah memiliki televisi, hampir di setiap bioskop dengan berbagai macam film selalu ada anak-anak sebagai penonton, dan orang tua tidak pernah membatasi anak-anak untuk menonton apa yang boleh atau apa yang tidak boleh ditonton.

(8)

Beberapa penelitian juga menunjukkan efek dari tayangan kekerasan. Pada Tahun 1956 sebuah penelitian dilakukan untuk melihat tingkat kebiasaan di antara 24 anak-anak yang menonton televisi. Mereka dibagi dalam dua kelompok, satu kelompok menyaksikan film kartu Woody Woodpecker yang mengandung kekerasan dan yang lainnya menonton film The Little Red Hen. Setelah menyaksikan tayangan masing-masing, ternyata anak-anak yang tadinya menonton film Woody Wodpecker lebih cenderung melakukan kekerasan kepada teman bermain mereka yang lain dan lebih sering merusak mainan. Enam tahun kemudian, 1963, Profesor A. Badura, D. Ross dan S.A Ross melakukan studi terhadap efek dari hubungan antara kekerasan real di dunia nyata, kekerasan di televisi dan kekerasan di film-film kartun. Mereka membuat empat kelompok dari 100 anak-anak prasekolah. Grup pertama menyaksikan adegan memaki dan memukul boneka dengan kayu, grup kedua menyaksikan peristiwa yang sama namun ditayangkan di televisi, grup ketiga menyaksikan adegan yang sama dalam film kartun, sementara grup terakhir tidak menyaksikan apa-apa. Hasilnya, dalam keadaan tertekan ketiga kelompok yang menyaksikan peristiwa kekerasan tersebut lebih agresif dibandingkan kelompok keempat, bahwa yang menyaksikan adegan kekerasan dalam film juga akan memiliki tingkat keagresifitas yang hampir sama dengan mereka yang menyaksikan langsung, dan kelompok pertama dan kedua jauh lebih agresif dibandingkan dengan kelompok yang hanya menyaksikan adegan kekerasan melalui film kartun (www.kompasiana.com).

Novi Ariyani, seorang Komisionaris Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jambi mengatakan bahwa terdapat sebuah survei yang dilakukan oleh lembaga Kristen, Christian Science Monitor pada tahun 2006 terhadap 1209 orang tua tentang kekuatan kekerasan yang ada dalam tayangan kekerasan mempengaruhi anak-anak, 56 % responden menjawab amat mempengaruhi. Sisanya 26% menjawab mempengaruhi, 5% menjawab cukup mempengaruhi dan 11% menjawab tidak mempengaruhi. Penelitian ini didasarkan pada peningkatan kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak. Prof. dr. Fawzia Aswin Hadits dari fakultas Psikologi UI menyebutkan anak adalah imitator ulung. Anak-anak akan meniru adegan yang ditontonnya.

(9)

4 golongan, yaitu: (1) SU = Semua Umur; (2) 17+ = Untuk umur di atas 17 tahun; (3) R = Remaja; (4) BO = Bimbingan Orangtua. Lemahnya pengawasan dari pihak bioskop-bioskop yang menayangkan film The Raid: Redemption, serta kurangnya kesadaran dari masyarakat bahwa film ini termasuk kategori 17+ dalam penggolongan usia penonton film, menyebabkan banyaknya anak di bawah umur yang dengan mudahnya menonton film The Raid: Redemption di dalam bioskop (www.lsf.go.id).

Gambar 1.1

Peringatan Peraturan Menonton

Peringatan di atas sebenarnya bisa kita lihat di hampir seluruh gedung bioskop di Indonesia. Peringatan penting ini adalah peringatan yang melindungi hak penonton dari sebuah film. Secara rasional pemilik gedung bioskop hanya menyediakan tayangan hiburan untuk memperoleh keuntungan. Kewajiban penonton adalah melindungi hiburannya dari pengaruh negatif dari sebuah tayangan.

Maka berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk meneliti persoalan bagaimana Tampilan Kekerasan dalam Film (Studi Analisis Isi tentang kekerasan fisik dan psikologis dalam Film “The Raid: Redemption” Karya Gareth Evans).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan konteks masalah di atas, maka peneliti mengajukan fokus masalah sebagai berikut:

(10)

2. Mengetahui frekuensi kekerasan fisik dan psikologis yang terdapat dalam film The Raid: Redemption.

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah

1. Untuk mengetahui bentuk kekerasan fisik dan psikologis seperti apa yang ditampilkan dalam film The Raid: Redemption.

2. Untuk mengetahui berapa frekuensi kekerasan fisik dan psikologis yang ditampilkan dalam film The Raid: Redemption.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis: Menambah pengetahuan dan wawasan tentang bentuk dan frekuensi dari adegan kekerasan serta hasil dari penelitian dapat memberikan wacana mengenai adegan-adegan kekerasan fisik dan psikologis yang terdapat dalam film The Raid: Redemption dengan menggunakan metode analisis isi.

Gambar

Gambar 1.1       Peringatan Peraturan Menonton

Referensi

Dokumen terkait

relokasi PKL adalah apakah kebijakan relokasi PKl telah mampu mencegah kemiskinan yang dapat dinilai dari sejauh mana komitmen pihak Pemkot Solo untuk terus

The result of the product design can improve the variety of the product, which were: vas made of bamboo root, vegetable dishes made of bamboo root, candle holder made of bamboo

Berdasarkan perhitungan, didapat debit aliran saluran drainase eksisting (Q) daerah sekitar Jalan Swadarma Raya sebesar 0.47 m³/detik, sedangkan besaran aliran

Ekstrak etil asetat buah kapulaga setengah kering menunjukkan aktivitas antibakteri paling tinggi pada Escherichia coli yang ditunjukkan dengan luas zona hambat sebesar

In order to achieve this ambitious goal, the description of work lists four main technological research and development areas, namely, adaptive data acquisition, automated

Penelitian verifikatif pada dasarnya ingin menguji kebenaran dari suatu hipotesis dalam penelitian yang dilakukan melalui pengumpulan data di lapangan, sehingga

Rangkuman hasil observasi kegiatan diskusi kelompok siswa dalam PBM siklus I pertemuan pertama, kedua, dan ketiga. Penilaian hasil praktikum dari pertemuan ke pertemuan

[r]