• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN - Tinjauan Yuridis Mengenai Pemberian Grasi Terhadap Terpidana Di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN - Tinjauan Yuridis Mengenai Pemberian Grasi Terhadap Terpidana Di Indonesia"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum adalah keseluruhan norma-norma yang hidup, berkembang, dan berlaku dalam kehidupan bermasyarakat yang berisi mengenai perintah-perintah dan larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat. Tidak hanya memuat aturan tetapi hukum juga harus memiliki unsur paksaan. Unsur paksaan mendorong semua orang agar dapat menaati hukum yang berlaku. Ketika seseorang melakukan pelanggaran terhadap hukum maka ia harus dikenai sanksi. Hukum dibuat dengan tujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan tertentu orang-orang dan untuk menciptakan ketertiban, rasa aman dan nyaman dalam kehidupan bermasyarakat. Demi tercapainya tujuan tersebut, hukum diberlakukan secara adil dan memiliki kepastian hukum dalam penerapannya. Artinya setiap orang berhak mendapat perlakuan yang sama dalam hal perlindungan hukum dan seseorang wajib dikenai hukum apabila ia terbukti melakukan kesalahan. Hukum harus diperundangkan oleh negara dan pengaturannya harus jelas dan tegas sehingga dalam pelaksanaannya dapat tercapai kepastian hukum.

(2)

dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana atas kesalahannya itu1

Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan dalam Pasal 28 D bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Perwujudan dari Pasal 28 D UUD 1945 ini memungkinkan setiap orang tidak terkecuali para pelaku pidana untuk bisa mendapatkan perlakuan yang baik, adil, dan kepastian hukum dalam proses hukum yang mereka jalani. Mulai dari para tersangka memiliki hak-hak asasinya tersendiri hingga sampai berubah status menjadi terdakwa dan terpidana tetap memiliki hak-hak sesuai peraturan yang berlaku.

. Penegakan hukum pada dasarnya bertujuan untuk mengamankan hasil-hasil pembangunan serta meningkatkan ketertiban dan kepastian hukum dalam masyarakat yang berkeadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 sehingga rakyat merasa diayomi dan dilindungi hak-haknya. Negara membentuk lembaga-lembaga hukum yang dapat membantu proses penegakan hukum di dalam masyarakat seperti Mahkamah Agung, Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian. Lembaga-lembaga hukum tersebut memiliki tugas dan perannya masing-masing dengan tujuan yang sama yaitu untuk menegakkan hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dan harus menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Setiap orang yang terlibat dalam suatu kasus hukum memiliki hak-haknya dalam menjalani proses pencarian kebenaran materil. Kitab Undang-Undang

1

(3)

Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah mengatur hak-hak seseorang baik kedudukan statusnya sebagai tersangka maupun sebagai terdakwa/terpidana. Hak untuk segera diperiksa, hak untuk melakukan pembelaan, hak untuk mendapatkan bantuan hukum adalah beberapa hak yang disebutkan dalam KUHAP. Setiap terdakwa juga diberi hak untuk mengajukan upaya hukum, baik yang berupa upaya hukum biasa, upaya hukum luar biasa yang diatur dalam KUHAP maupun upaya hukum diluar KUHAP. Upaya hukum adalah hak yang diberikan hakim kepada para pihak dalam suatu perkara untuk dapat tidak setuju dengan suatu putusan pengadilan2

Tidak hanya itu, upaya yang dapat dilakukan terdakwa ada juga yang diatur di luar KUHAP antara lain grasi, amnesti, dan abolisi. Dasar hukum grasi,

. Upaya hukum biasa yaitu berupa pengajuan banding ke Pengadilan Tinggi dan pengajuan kasasi ke Mahkamah Agung, adalah upaya yang ditempuh terdakwa ketika putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila putusan sudah berkekuatan hukum tetap, terpidana masih mempunyai kesempatan mengajukan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum luar biasa merupakan pengecualian dari upaya hukum biasa. Upaya ini diajukan terhadap putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, dimana upaya hukum biasa tidak dimungkinkan lagi. Upaya hukum luar biasa terdiri dari kasasi demi kepentingan hukum dan Peninjauan Kembali (PK). Upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa diatur tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata.

2

(4)

amnesti, dan abolisi termuat dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pasal 14 UUD 1945 yang berbunyi:

(1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung

(2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat

Grasi, amnesti, dan abolisi merupakan hak prerogatif Presiden sebagai kepala negara dalam bidang yudikatif. Grasi, amnesti dan abolisi juga dapat dimasukkan sebagai dasar penghapus penuntutan maupun dasar penghapus pemidanaan.

Amnesti dapat diartikan dengan hak prerogatif presiden sebagai kepala negara untuk menghentikan proses peradilan pidana di semua tahapan sehingga akibat hukum terhadap orang yang telah melakukan suatu tindak pidana menjadi dihapuskan. Sedangkan abolisi dapat diartikan sebagai hak prerogatif presiden sebagai kepala negara untuk memerintahkan kepada penuntut umum agar menghentikan tindakan penuntutan kepada seseorang3

3

Eva Achjani Zulfa, Gugurnya Hak Menuntut, Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010, hal 119

(5)

A. Hamzah dan Irdan Dahlan menyebutkan grasi sebagai upaya non hukum sebab grasi adalah wewenang Kepala Negara untuk memberikan ampunan kepada warganya yang dijatuhi pidana4

Grasi mungkin tampak seperti upaya hukum, tetapi pada hakekatnya grasi bukan merupakan upaya hukum. Sebenarnya upaya hukum sudah berakhir ketika Mahkamah Agung menjatuhkan putusan kasasi atau putusan peninjauan kembali. Grasi dapat dikatakan sebagai hak yang diberikan kepada terpidana untuk dapat meminta pengampunan kepada Presiden, namun hak ini sendiri tidak diberikan kepada seluruh narapidana ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi untuk dapat mengajukan grasi dan dapat ditolak. Grasi bersifat pengampunan berupa mengurangi pidana atau memperingan pidana atau penghapusan pelaksanaan pidana. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang memuat aturan grasi secara tersendiri pertama kali yaitu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi. Saat ini Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 sudah tidak berlaku lagi karena dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan ketatanegaraan dan kebutuhan hukum masyarakat, sehingga dibentuklah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi. Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002 masih berlaku namun ada beberapa pasal yang diubah ketentuannya dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.

.

4

(6)

Walaupun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi telah mengalami perubahan dalam beberapa ketentuan, tetap terdapat pro dan kontra atas pemberian grasi misalnya grasi yang diberikan kepada Syaukani dan Schapelle Leigh Corby. Banyak orang yang mempersoalkan mengenai alasan dari pemberian grasi Syaukani dan Schapelle Leigh Corby.

Pada tahun 2010 istilah grasi sering muncul diperdebatkan ketika timbul kasus yang sangat kontroversial dan menyita perhatian publik yaitu kasus Syaukani Hasan Rais. Kasus ini menjadi kontroversial karena pemberian grasi kepada Syaukani dianggap tidak tepat dan kurang memenuhi rasa keadilan.

Syaukani Hasan Rais adalah Mantan Bupati Kutai Kartanegara,

Kalimantan Timur. 5Pada

kasus negara sebesar Rp 15,36 miliar, namun segera setelah itu Syaukani langsung menjalani perawatan rumah sakit selama sekitar 3 bulan dan tidak kembali ditahan setelah selesai menjalani perawatan. Pada dijemput paksa dari Wisma Bupati Kutai Kertanegara di Jakarta untuk menjalani pemeriksaan di KPK. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada bulan karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi selama 2001 hingga 2005 dan merugikan negara Rp113 miliar. Tindak pidana korupsi yang dilakukan

(7)

Syaukani adalah menyalahgunakan dana perangsang pungutan sumber daya alam (migas), dana studi kelayakan Bandara Kutai, dana pembangunan Bandara Kutai, dan penyalahgunaan dana pos anggaran kesejahteraan masyarakat. Yang membuat masyarakat Kutai kecewa adalah beliau merupakan orang Kutai yang menyalahgunakan uang rakyatnya sendiri untuk membangun daerah sendiri dan hukuman yang beliau jalankan tidak sebanding dengan hak masyarakat yang telah dia rampas6

Pada Juli 2008, Mahkamah Agung memperberat hukuman Syaukani menjadi enam tahun penjara dan mewajibkannya mengembalikan kerugian negara sebesar Rp 49,367 miliar

.

7

Syaukani pernah mengajukan grasi dan ditolak, setelah menjalani hukuman 3 tahun ia mengajukan grasi dengan alasan mengalami sakit dan permohonan grasi ini dikabulkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan pemotongan hukuman tiga tahun.

.

(8)

Manusia, Patrialis Akbar menyatakan bahwa Syaukani pantas menerima grasi atas dasar alasan kemanusiaan8

Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana extra ordinary jadi perlakuan yang diberikan pun harus berbeda dari pelaku tindak pidana biasa. Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 jo. UU No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi tidak menyebutkan adanya pengecualian terhadap jenis pidana yang dilakukan. Undang-undang hanya memberikan batasan dari segi hukum yang dijatuhkan, hanya dapat diajukan oleh terpidana yang dijatuhi pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau penjara minimal 2 (dua) tahun.

. Syaukani dianggap tidak layak menjalani hukuman karena kondisi kesehatan yang memburuk akibat penyakit parah yang dideritanya.

Oleh karena itu, banyak pihak yang kontra atas pemberian grasi Syaukani, banyak usulan yang mengharapkan pemberian grasi (pengampunan) kepada para pelaku korupsi dan tindak pidana extra ordinary lainnya harus dibuat peraturan khusus mengenai hal ini agar tidak menyakiti perasaan masyarakat, yang dirasakan selama ini penjatuhan hukuman kepada para pelaku korupsi tidak dijatuhi hukuman berat dan malah dengan mudah dapat menerima grasi dan pengurangan hukuman9

Kasus yang menjadi sorotan berikutnya adalah kasus Corby. Schapelle Leigh Corby adalah seorang mantan pelajar sekolah kecantikan dari Brisbane, Australia yang ditangkap membawa obat terlarang di dalam tasnya di Bandara

.

(9)

Ngurah Rai, Denpasar, Indonesia pada tanggal 8 Oktober 2004. Dalam tasnya ditemukan 4,2 kg ganja. Corby dinyatakan bersalah dan divonis hukuman penjara selama 20 tahun dan denda Rp 100 juta10

Corby mendapatkan pengurangan hukuman 5 (lima) tahun setelah grasinya dikabulkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Alasan pemberian grasi terhadap Corby adalah alasan kemanusiaan

.

11

Sama halnya seperti kasus Syaukani, pemberian grasi kepada Corby dianggap melukai rasa keadilan masyarakat ketika dihubungkan dengan jenis pidana yang ia lakukan. Corby sangat dianggap tidak layak menerima grasi karena ia adalah terpidana narkotika. Narkotika dan korupsi merupakan tindak pidana extra ordinary crime dan pemberian grasi terhadap Syaukani serta Corby dianggap melemahkan perjuangan pemberantasan terhadap korupsi dan narkotika di Indonesia.

.

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, maka perlulah kiranya penulis membahas lebih jauh mengenai pemberian grasi terhadap terpidana di Indonesia, maka dari itu penulis mengambil judul skripsi “Tinjauan Yuridis Mengenai Pemberian Grasi Terhadap Terpidana di Indonesia”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan diatas maka perlu dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

(10)

1. Apakah yang menjadi landasan pemberian grasi terhadap terpidana?

2. Bagaimanakah pengaturan hukum pemberian grasi terhadap terpidana dalam hukum positif di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Berdasarkan identifikasi permasalahan yang sudah saya utarakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:

1) Untuk mengetahui hal yang menjadi landasan dari pemberian grasi kepada terpidana di Indonesia.

2) Untuk mengetahui pengaturan hukum mengenai grasi dalam hukum positif di Indonesia.

2. Manfaat Penulisan

Selain tujuan-tujuan tersebut diatas, penulisan skripsi ini juga diharapkan bermanfaat untuk berbagai hal diantaranya:

a. Manfaat teoritis

(11)

b. Manfaat praktis

Dengan penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi pedoman dan bahan rujukan bagi rekan mahasiswa, masyarakat, praktisi hukum, dan juga aparat penegak hukum/pemerintah agar dapat secara optimal menjalankan prosedur pemberian grasi sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku sehingga penyelesaian hukumnya dapat berjalan secara efektif dan menjunjung kepastian hukum.

D. Keaslian Penulisan

Sepanjang yang telah ditelusuri dan diketahui di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan skripsi tentang “Tinjauan Yuridis Mengenai Pemberian Grasi Terhadap Terpidana di Indonesia”

belum pernah disajikan sebelumnya baik dalam bentuk tulisan maupun sub pembahasan permasalahan dalam suatu skripsi. Permasalahan maupun penyajiannya merupakan hasil pemikiran dan ide saya sendiri. Skripsi juga didasarkan pada referensi dari buku-buku, informasi dari media cetak dan elektronik. Berdasarkan alasan tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa skripsi ini adalah asli.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Grasi

(12)

Belanda) atau granted (dalam bahasa Inggris) dan di Belgia disebut genade dari Kepala Negara dalam rangka memperingan atau membebaskan pidana si terhukum. Grasi juga disebutkan sebagai salah satu hak prerogatif Presiden.

Grasi tidak meniadakan kesalahan, tetapi mengampuni kesalahan sehingga orang yang bersangkutan tidak perlu menjalani seluruh masa hukuman atau diubah jenis pidananya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata grasi berarti adalah ampunan yang diberikan Kepala Negara kepada orang yang telah dijatuhi hukuman12

Menurut Kamus Hukum, grasi adalah wewenang dari kepala negara untuk memberi pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim untuk menghapuskan seluruhnya, sebagian, atau merobah sifat atau bentuk hukuman itu

.

13

Menurut VAN HAMMEL, grasi adalah suatu pernyataan dari kekuasaan yang tertinggi yang menyatakan bahwa akibat-akibat menurut hukum pidana dari suatu delik itu menjadi ditiadakan, baik seluruhnya maupun sebahagian.

.

Menurut HATEWINKEL SURINGA, grasi adalah pemidanaan dari seluruh pidana atau pengurangan dari suatu pidana (mengenai waktu, jumlah) atau perubahan mengenai pidana tersebut.

12

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990, hlm 284

(13)

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002, Grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.

Dapat disimpulkan bahwa grasi adalah hak kepala negara untuk memberikan pengampunan kepada orang yang dipidana. Berdasarkan pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 disebutkan Presiden dapat memberikan keputusan atas permohonan grasi dengan memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung.

Permohonan grasi dapat diajukan oleh terpidana yang dijatuhi hukuman pidana mati, pidana penjara seumur hidup dan penjara paling rendah 2 (dua) tahun. Pemberian grasi yang diberikan oleh Presiden dapat berupa:

a. peringanan atau perubahan jenis pidana; b. pengurangan jumlah pidana; atau c. penghapusan pelaksanaan pidana.

2. Pengertian Terpidana

Orang yang disebut terpidana, ialah orang (subjek hukum) yang telah dijatuhi pidana oleh pengadilan dengan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

(14)

disebutkan bahwa Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana, dipidana dengan pidana berdasarkan Pasal 10 KUHP. Bentuk-bentuk pidana yang ada di Indonesia secara umum diatur dalam Pasal 10 KUHP yang terbagi dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Urutan pidana dalam Pasal 10 KUHP ini diurutkan berdasarkan beratnya pidana, dimana yang terberat disebutkan terlebih dahulu. Hakim menjatuhkan suatu pidana, terikat untuk menjatuhkan jenis pidana pokok atau pidana tambahan seperti yang telah ditentukan oleh Pasal 10 KUHP, dengan perincian yaitu:

a) Pidana Pokok meliputi 1. Pidana mati;

2. Pidana penjara; 3. Pidana kurungan; 4. Pidana denda.

b) Pidana Tambahan meliputi

1. Pencabutan beberapa hak tertentu; 2. Perampasan barang-barang tertentu; 3. Pengumuman putusan Hakim

(15)

tindakan14

F. Metode Penulisan

. Contoh tindakan yaitu seperti tindakan perawatan dirumah sakit jiwa, tindakan rehabilitasi, tindakan perawatan dilembaga tertentu.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan dalam skripsi adalah menggunakan metode penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif adalah penelitian yang dilakukan dan ditujukan kepada peraturan-peraturan tertulis dan penerapan dari peraturan perundang-undangan atau norma-norma hukum positif yang erat kaitannya dengan permasalahan yang dibahas

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder ini berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum primer, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas (autoritatif). Bahan hukum tersebut terdiri atas:15

1) Peraturan perundang-undangan;

14

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Latihan Ujian Hukum Pidana, Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2001, hlm 293

15

(16)

2) Catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan;

3) Putusan Hakim

Peraturan perundang-undangan di bidang grasi antara lain Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi, Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yakni hasil karya para ahli hukum yang terdapat dalam buku-buku teks yang membicarakan suatu dan/atau beberapa permasalahan hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan hakim.

c. Bahan Hukum Tersier

(17)

1. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan, mengkaji dan mengolah secara sistematis melalui literatur

atau dari bahan-bahan kepustakaan serta dokumen-dokumen yang berkaitan seperti

buku bacaan, peraturan perundang-undangan, majalah, internet, pendapat sarjana, dan bahan-bahan kuliah lainnya yang berkaitan erat dengan permasalahan dalam skripsi ini.

2. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode analisis data kualitatif normatif yaitu analisis data yang didasarkan kepada peraturan-peraturan yang berlaku sebagai norma hukum positif dan data-data lainnya yang kemudian diolah dan diuraikan secara sistematis sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

(18)

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II : PEMBERIAN GRASI KEPADA TERPIDANA

Bab ini merupakan bab yang membahas mengenai tinjauan umum tentang grasi, pengertian grasi, alasan dasar pemberian grasi, bentuk-bentuk grasi, syarat-syarat pemohon grasi, prosedur dan tata cara permohonan grasi

BAB III : PENGATURAN HUKUM MENGENAI PEMBERIAN GRASI TERHADAP TERPIDANA DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA

Bab ini memuat mengenai perkembangan peraturan mengenai grasi, perbandingan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN

Referensi

Dokumen terkait

Jika tidak ada perubahan dalam struktur dan proses sistem pemberian asuhan keperawatan, sulit untuk meningkatkan kualitas asuhan.. keperawatan, khususnya dalam menghadapi

Peserta didik dinyatakan lulus dari Satuan Pendidikan setelah memenuhi kriteria : a. menyelesaikan seluruh program

Berdasarkan hasil wawancara dan observasi bahwa faktor pendukung yang mendukung dalam pelaksanaan strategi guru Pendidikan Kewarganegaraan dalam membentuk sikap

Judu\ Tesis : Keefektifan Siaran Radio sebagai Media Komunikasi Inovasi.. Pertanian bagi Petani Sayuran di Kecamatan Ambarawa

Pihak kedua akan memberikan pembinaan yang diperlukan serta akan melakukan evaluasi kinerja terhadap capaian kinerja dari kesepakatan ini dan mengambil tindakan

Penulisan Ilmiah ini membahas pembuatan aplikasi Electronic Drawing Book yaitu sebuah aplikasi pembelajaran yang dapat digunakan untuk mempermudah menggambar sebuah objek yang

Pihak kedua akan memberikan pembinaan yang diperlukan serta akan melakukan evaluasi kinerja terhadap capaian kinerja dari kesepakatan ini dan mengambil tindakan yang

Pihak kedua akan memberikan pembinaan yang diperlukan serta akan melakukan evaluasi kinerja terhadap capaian kinerja dari kesepakatan ini dan mengambil tindakan