• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KASUS KDRT YANG DIALAMI IBU KAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ANALISIS KASUS KDRT YANG DIALAMI IBU KAR"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS KASUS KDRT YANG DIALAMI IBU KARSIWEN

DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN HAM

SERTA PEMENUHAN DAN PERLINDUNGAN ATAS HAK-HAKNYA

Vina Ainin Salfi Yanti

Vinaainin@students.unnes.ac.id

Abstrak

Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang biasa disingkat KDRT yang marak terjadi tidak hanya dalam kalangan ekonomi menengah ke bawah, namun juga dari kalangan ekonomi atas.Nampaknya tidak memandang dari segi situasi ekonomi. Seorang perempuan sebagai korban kekerasan yang mendapat perlakuan kasar dari suaminya harus menanggung sakit yang diakibatkan perbuatan suaminya sendiri. Seorang perempuan dalam berumah tangga juga memiliki hak-hak yang harus dilindungi. Dalam konteks perlindungan HAM, sebagai manusia, perempuan juga memiliki hak yang sama dengan manusia lainnya dimuka bumi ini, yakni hak-hak yang melekat(inherent) secara alamiah sejak ia dilahirkan, dan tanpa itu perempuan tidak dapat hidup sebagai manusia secara wajar. Dalam konteks yang lebih sempit, kecenderungan tindak kekerasan dalam rumah tangga karena faktor dukungan sosial dan kultur(budaya) dimana istri dipersepsikan orang nomor dua sehingga bisa diperlakukan dengan cara apa saja. Melihat kekerasan terhadap perempuaan yang banyak terjadi mematahkan asumsi yang berlaku selama ini bahwa rumah adalah tempat yang aman bagi perempuan. Melalui Komnas Perempuan, diharapkan adanya pencegahan, penanggulangan, dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan terutama kekerasan dalam rumah tangga. Seorang perempuan korban kekerasan juga memiliki pemenuhan dan perlindungan atas hak-haknya, karena dalam hal ini korban kekerasan menjadi korban ganda yang jika tidak adanya penanggulangan secara baik akan semakin membuat buruknya keadaan si korban atas apa yang dialaminya.

Kata kunci : KDRT,rumah tangga, keluarga, Komnas Perempuan

PENDAHULUAN

Latar belakang

(2)

dibicarakan masyarakat ialah tindakan kekerasan terhadap perempuan. Sebenarnya tindakan kekerasan tidak hanya terjadi pada kaum wanita, tetapi pada laki-laki juga. Namun, tindakan kekerasan pada perempuan sangat rentan terjadi. Hal ini dikarenakan posisinya yang lemah, atau sengaja dilemahkan, baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Kata kekerasan sepadan dengan kata “violence” dalam bahasa Inggris diartikan sebagai suatu serangan atau invasi terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang1.

Maksudnya ialah kekerasan tidak hanya bersifat fisik seperti pemukulan, pengeroyokan, pembunuhan, dan tindakan kekerasan fisik lainnya, tetapi juga pada sikap yang melecehkan dan melontarkan kata-kata yang tidak senonoh atau menyakitkan hati, itu juga termasuk pada tindakan kekerasan juga. Menurut para ahli kriminologi, “kekerasan” yang mengakibatkan terjadinya kerusakan fisik adalah kekerasan yang bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu, kekerasan merupakan kejahatan2. Kekerasan dalam rumah tangga,

sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 ayat 1 UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PDKRT), adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. UU PDKRT memberikan pemahaman yang lebih variatif tentang jenis-jenis kekerasan. Tidak hanya kekerasan fisik tetapi juga kekerasan psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga3. Pemaknaan jenis

kekerasan ini mengakomodasi pengalaman perempuan yang mengalami kekerasan dan sejalan dengan definisi kekerasan dalam pasal 1 Deklarasi Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan yakni, setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun kehidupan pribadi. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan yang melanggar, menghambat, meniadakan kenikmatan dan pengabaian hak asasi wanita atas dasar gender, sehingga dapat menghambat tercapainya kesetaraan, kemajuan dan perdamaian. Setiap bentuk kekerasan didefinisikan secara luas sehingga dapat mengakomodasi berbagai penderitaan. Berbagai bentuk kekerasan terhadap wanita dalam rumah tangga terdiri atas empat jenis, yaitu : kekerasan fisik, kekerasan psikis/psikologis, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi. Kekerasan di dalam rumah tangga timbul dan terjadi karena berbagai faktor, baik dalam rumah maupun di luar rumah. Satu kekerasan akan berbuntut pada kekerasan lainnya. Kekerasan terhadap istri biasanya akan berlanjut pada kekerasan lain, terhadap anak dan anggota keluarga lainnya. Kekerasan yang terjadi, yang dilakukan anak-anak, remaja, maupun orang dewasa, jika ditelusuri dengan saksama, banyak sekali yang justru berakar dari proses pembelajaran dalam

1 Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia cetakan XII, Jakarta : Gramedia, 1983, hlm. 630 2 Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi cetakan I, Bandung : PT. Eresco, 1992, hlm. 55

(3)

rumah tangga. Kebanyakan anak yang tumbuh dalam rumah tangga yang penuh kekerasan akan menjadi orang yang kejam. Kekerasan dalam rumah tangga juga merupakan hal yang kompleks, tidak seperti halnya kejahatan lainnya, dimana korban dan pelaku berada dalam hubungan personal, legal, institusional serta berimplikasi sosial4. Secara keseluruhan, hadirnya budaya

patriarki yang berkembang di masyarakat dan kemudian mempengaruhi pemahaman masyarakat baik laki-laki maupun perempuan dalam menyikapi dan memandang relasi keluarga yang terjadi sehingga menimbulkan ketimpangan relasi bahwa suami mempunyai kuasa terhadap perempuan dan anak, dan juga dalam memutuskan kebijakan keluarga. Budaya patriarki, budaya yang dipengaruhi agama yang meletakkan perempuan sebagai warga kelas dua, adat, dan tata nilai, hukum yang mendiskriminasikan perempuan dengan laki-laki dan tak menghukum lelaki yang melakukan kekerasan terhadap istrinya, dan sebagai kebiasaan dimana seperti melihat KDRT lebih sebagai urusan rumah tangga yang tak boleh dicampuri.

Kronologi kasus

Pasangan suami istri yang bernama Karsiwen, seorang ibu rumah tangga berumur 42 tahun yang beralamat di Ngablak Indah Rt 01/04, Bengetayu Kulon, Kecamatan Genuk, Semarang dan suaminya, Kasmijan yang berumur 43 tahun. Pada awalnya, kehidupan rumah tangga mereka berjalan baik. Namun sejak 14 tahun akhir, hubungan keduanya sudah tidak harmonis lagi. Setiap kali pulang ke rumah, mereka selalu bertengkar dan dampaknya mereka tidak lagi tinggal serumah. Puncaknya, pada Sabtu, 12 November 2011 sekitar pukul 08:15 WIB. Kasmijan mendatangi Karsiwen dengan marah-marah dan langsung melakukan penganiayaan. Setelah puas menghajar menggunakan balok kayu, menendang dengan sepatu, menginjak, dan membenturkan kepala korban hingga tak berdaya, Kasmijan pergi begitu saja meninggalkan Karsiwen. Akibat penganiayaan tersebut, Karsiwen mengalami luka-luka di bagian paha dekat pinggul, wajah, dan kaki memar, perut sakit, serta kepalanya sering pusing karena dibenturkan ke lantai. Atas kejadian ini, Karsiwen melaporkan Kasmijan ke Polrestabes Semarang lantaran kekerasan rumah tangga yang dialaminya. Kepada Mapolrestabes Karsiwen mengatakan bahwa dirinya sering dianiaya dan mendapatkan berbagai siksaan serta pukulan dari suaminya jika sedang marah. Karena itu, Karsiwen tak jarang mengalami luka-luka akibat dianiaya suaminya itu.

Rumusan masalah

1. Bagaimana Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menyikapi kasus kekerasan dalam rumah tangga seperti yang dialami Ibu Karsiwen?

2. Bagaimana pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak Ibu Karsiwen yang telah dirampas oleh suaminya?

3. Bagaimana perspektif hukum dan HAM terhadap kasus yang menimpa Ibu Karsiwen?

(4)

PEMBAHASAN

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dalam menyikapi kasus kekerasan seperti yang dialami Ibu Karsiwen

Sejumlah pengaduan tindak pidana kekerasan terhadap perempuan yang diterima oleh Komnas Perempuan menunjukkan bahwa tak jarang perempuan menjadi korban KDRT, seperti halnya yang terjadi dan dialami Ibu Karsiwen, melihat maraknya kekerasan tersebut Komnas Perempuan melakukan berbagai hal, diantaranya: mengajak semua pihak meningkatkan perlindungan dan layanan kepada korban KDRT yang berpusat pada korban dengan berbasis pada hak korban atas kebenaran, keadilan, pemulihan, dan jaminan atas tidakberulangnya kekerasan. Mengajak pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat untuk terus mensosialisasikan KDRT sebagai tindakan yang harus dihentikan, dan memperbaiki tradisi ataupun praktik-praktik budaya yang masih menjadi penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan, selain itu mendorong pemerintah dan aparat penegak hukum agar dapat mengimplementasikan UU PDKRT mendasarkan pada mandat UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) untuk menghapuskan diskriminasi dan mengakui ketimpangan relasi kuasa laki-laki dan perempuan (suami dan istri) sebagai akar masalah KDRT. Mendorong pemerintah untuk segera melakukan review terhadap PP No. 4 tahun 2006 tentang Kerjasama Pemulihan dan mengeluarkan sejumlah peraturan pelaksana lainnya, agar UU No. 23 tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT dapat diimplementasikan secara optimal. Perlu juga dipahami bahwa UU dan peraturan-peraturan itu seharusnnya bisa mendorong masyarakat untuk memahami tentang hak-hak perempuan dan hak-hak korban KDRT.

Komnas Perempuan, dengan independensinya dan posisinya diantara LSM, pemerintah dan masyarakat bisa menjadi penghubung dan jembatan bagi masyarakat dan pemerintah untuk mengupayakan pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan kalau bisa tidak hanya di tataran kebijakan nasional, tapi ikut terlibat mendengar dan memfasilitasi teman-teman daerah untuk berhubungan dengan nasional, misalnya terkait advokasi perda-perda yang diskriminatif, bisa dinasionalkan oleh Komnas Perempuan untuk menjadi isu dan kepentingan nasional di mana Komnas Perempuan bisa berhubungan dengan Depdagri, Depag, dan KPP5

Pemenuhan dan perlindungan terhadap hak-hak Ibu Karsiwen yang dirampas suaminya

Pada dasarnya, perlindungan terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga atau yang biasa disingkat KDRT seperti yang dialami Ibu Karsiwen ini bertujuan memberikan rasa aman kepada korban terutama pada saat memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana6. Selain itu

seorang korban seperti Ibu Karsiwen ini juga akan mendapatkan hak-hak

5 Estoe Rakhmi Fanani, dalam wawancara “Penting Membangun Perspektif Gender di kalangan penegak Hukum”, 1 Juli 2009

(5)

tertentu seperti yang dijelaskan dalam pasal 5 ayat (1) UU No. 31 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Seperti diketahui kekerasan dalam rumah tangga telah diatur dalam UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Ketentuan UU tersebut telah mengatur sejumlah delik pidana yang dapat terjadi dalam tindakan KDRT. Dengan demikian dalam hal ini terkait korban dalam tindak pidana KDRT berhak memperoleh hak sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 5,6, dan pasal 7 dalam UU No. 31 tahun 2014, dan tentunya berhak mendapat perlindungan dari LPSK( Lembaga perlindungan Saksi dan Korban). Selain itu juga dalam UU No. 23 tahun 2004 pasal 10 dijelaskan hak-hak korban KDRT yang terdiri atas lima macam hak-hak, diantaranya : perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan; pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis; penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan per-uu-an, dan pelayanan bimbingan rohani.

Pada dasarnya, kita dapat berkaca dengan melihat beberapa putusan dibeberapa pengadilan negeri mengenai kasus kekerasan dalam rumah tangga yang serupa dialami oleh Ibu Karsiwen, salah satunya dalam suatu putusan hakim7, tidak ditemukan adanya pemberian hak-hak korban baik berupa ganti

rugi atau kompensasi dalam bentuk materi kepada korban atas harm yang mereka alami. Berkaitan dengan masalah kompensasi ini victimologi melihat salah satu tujuan pengaturan ganti kerugian adalah mengembangkan keadilan kesejahteraan mereka yang menjadi korban, menderita mental, fisik, sosial. Pada seharusnya pelaksanaan peraturan ganti kerugian yang baik itu memberikan kemungkinan kepada pihak korban untuk secara leluasa ikut serta menyatakan pendapatnya. Menurut Angkasa, restitusi perlu diintegrasikan ke dalam sistem peradilan pidana. Hal ini dengan pertimbangan bahwa restitusi merupakan lembaga pidana yang dapat memberikan manfaat bagi korban, pelaku, negara, dan masyarakat8 sebagai penggantian kerugian finansial,

perbaikan, dan/atau pengobatan atas luka-luka fisik maupun penderitaan psikologis sebagai korban tindak pidana yang telah menimpanya. Restitusi ini akan sangat berarti utamanya seperti yang dialami Ibu Karsiwen karena korban tindak pidana ini cenderung menjadi korban ganda, pertama, menjadi korban atas kekerasan yang dilakukan suaminya, dan kedua, menjadi korban ketika memasuki sistem peradilan pidana yang paradigmanya masih berorientasi terhadap pelaku. Menurut Schreider,9 prosedur restitusi ada 5 (lima) cara :

Pertama, model basic restitution dengan prosedur pelaku membayar kepada pengadilan, dan pengadilan kemudian memberikan uang tersebut kepada korban, Kedua, model expanded basic restitution dengan prosedur pelaku dicarikan pekerjaan (bagi pelaku yang berpenghasilan rendah dan berusia muda), Ketiga, model victim assistance dengan prosedur pelaku diberi

7 Putusan Hakim Pengadilan Negeri Tapaktuan Nomor: 19/Pid.B/2005/PN.TTN

8 Angkasa, “Kedudukan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana”, Disertasi Program Ilmu Hukum UNDIP Semarang, 2003, hlm.244

(6)

kesempatan membantu korban sehingga korban dapat menerima ganti rugi secara penuh, Keempat, model victim assistance-offender accountability demi penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak, dilakukan dengan negosiasi dan kadang-kadang dengan mempertemukan kedua belah pihak, Kelima,

model community accountability-deterrence dengan prosedur permintaan ganti rugi dimintakan oleh sekelompok orang sebagai wakil dari masyarakat. Permintaan ganti rugi meliputi jenis pekerjaan yang harus dilakukan, maupun jadwal pembayaran ganti rugi.

Namun, model basic restitution tampaknya yang paling selaras dan tepat untuk dipakai putusan hakim perkara KDRT, dengan membayar melalui pengadilan akan lebih terkontrol dalam arti menghindarkan dari pengingkaran kewajiban pelaku untuk membayar restitusi, serta lebih memudahkan dalam penegakan hukumnya apabila terdapat pihak-pihak yang menyalahi.

Perspektif hukum dan HAM terhadap kasus yang menimpa Ibu Karsiwen

Sebuah negara yang menjadikan hukum sebagai yang tertinggi, negara wajib melindungi setiap warga negaranya dari segala bentuk kekerasan dan pelanggaran hak-haknya. Pasal 28G (1) UUD 1945 menyatakan “bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari rasa ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pasal 28H (2) UUD 1945 menyatakan “setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Selain menjadi tanggung jawab negara, hal tersebut juga menjadi kewajiban masyarakat untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga seperti yang dialami Ibu Karsiwen ini, sehingga nantinya tidak akan muncul korban-korban kekerasan selanjutnya.

Ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan konstitusi terhadap hak asasi manusia itu sangat penting dan merupakan salah satu ciri pokok prinsip negara hukum, dimana sudah seharusnya negara bertanggung jawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia, utamanya kekerasan terhadap perempuan. Namun, selain hak-hak asasi manusia, harus dipahami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggung jawab yang juga bersifat asasi. Setiap orang dimanapun ia berada harus dijamin hak-hak dasarnya. Pada saat bersama, setiap orang dimanapun ia berada, ia wajib menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagaimana mestinya. Kasus kekerasan terhadap Ibu Karsiwen merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan.

Menurut Harkristuti Harkrisnowo10, setidaknya ada perspektif untuk

memandang tindak kekerasan dari segi pemahamannya. Pertama adalah perspektif yang sempit, yang merumuskan tindak kekerasan sebagai suatu kekerasan yang bersifat fisik, jasmaniah belaka, sehingga pembuktiannya juga

(7)

mempunyai karakteristik yang bersifat materi belaka. Perspektif kedua memandang tindak kekerasan dalam arti yang lebih luas mencakup tidak hanya kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan psikologis dan ekonomis. Hal ini didasari pada pemikiran bahwa perilaku- perilaku kekerasan non fisik mempunyai dampak yang tidak lebih kecil dibanding kekerasan fisik. Melihat kasus yang dialami Ibu Karsiwen, dimana Ibu Karsiwen mengalami luka-luka di bagian paha dekat pinggul, wajah, dan kaki memar, perut sakit, serta kepalanya sering pusing, maka kasus yang dialaminya merupakan kasus kekerasan fisik, adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat11,hal ini dari segi pemahaman perspektif sempit.

Untuk menentukan adanya tindak kekerasan, dalam norma hukum pidana diatur tentang kejahatan terhadap tubuh dan jiwa yang terdapat dalam Buku 1 KUHP pasal 90 tentang pengertian luka berat, yaitu penyakit atau luka yang tidak dapat diharapkan akan dapat sembuh secara sempurna, atau yang karenanya menimbulkan bahaya bagi jiwa, ketidakcakapan untuk melaksanakan kegiatan jabatan atau pekerjaan secara terus menerus, kehilangan kegunaan dari suatu panca indra, cacat, lumpuh, terganggunya akal sehat selama waktu lebih dari empat minggu, keguguran atau matinya janin seorang wanita.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, dan mengesahkan UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Forms of Discrimination Against Women/CEDAW. Konvensi tersebut pada dasarnya mewajibkan setiap pihak negara untuk melakukan langkah-langkah yang tepat termasuk pembuatan undang-undang dalam segala bidang, menjamin perkembangan dan kemajuan perempuan. Seperti kasus yang terjadi pada Ibu Karsiwen ini, terjadi diskriminasi terhadap perempuan, padahal sudah seharusnya seorang perempuan mendapatkan perlakuan yang adil dan sama. Bahwa berkaitan dengan hak-hak perempuan dalam memperoleh perlindungan dari tindak kekerasan rumah tangga ini dapat dilihat dipasal 45, 50, 51 (1) UU HAM12.

KESIMPULAN

Pada hakikatnya hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak pokok yang melekat pada diri manusia sejak manusia diciptakan sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak yang dimiliki setiap orang merupakan fundamental sejak ia dilahirkan kedunia. Pengakuan terhadap hak asasi manusia pada hakikatnya merupakan penghargaan terhadap segala potensi dan harga diri manusia menurut kodratnya. Walaupun demikian, kita tidak boleh lupa bahwa hakikat tersebut tidak hanya mengundang hak untuk menikmati kehidupan secara kodrati. Sebab dalam hakikat kodrati itupun terkandung kewajiban pada diri manusia tersebut, Tuhan memberikan sejumlah hak dasar tadi dengan kewajiban membina dan menyempurnakannya. Dengan demikian, hakikat penghormatan dan perlindungan terhadap HAM ialah menjaga keselamatan eksistensi manusia secara utuh melalui aksi keseimbangan. Dimana laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dan tidak bisa diperlakukan dengan perbedaan berdasarkan gender. Pada umumnya, kodrat perempuan sebagai

(8)

makhluk yang lemah seharusnya mendapat perlindungan atas hak-haknya. Maraknya kekerasan terhadap perempuan dalam berumah tangga dapat disimpulkan bahwa keluarga belum menjadi jaminan bahwa hak-hak perempuan dapat terlindungi didalamnya. Mengenai maraknya kekerasan terhadap perempuan ini, banyak hal yang dilakukan oleh Komnas Perempuan dalam rangka melakukan pencegahan, penanggulangan, dan penghapusan terhadap kekerasan. Hal ini dilakukan dalam rangka melindungi para perempuan di Indonesia. Para korban kekerasan biasanya mengalami goncangan jiwa yang dapat memperburuk kondisinya jika tidak segera ditanggulangi dengan baik, oleh karena hak-hak atas korban KDRT juga diatur dalam peraturan perundang-undangan dan instrumen HAM lainnya, sehingga dapat memberi pengaruh positif terhadap dirinya atas apa yang telah dialaminya.

DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita, Romli.1992.Teori dan Kapita Selekta Kriminologi cetakan I.

Bandung : PT. Eresco

Ferraro, Kathleen J..2001.Woman Battering : More than Family Problem dalam Women, Crime and Criminal Justice, Ed.California: Claire Renzetti, Roxburry Publishing Company.

Helmi, Muhammad Ishar. 2012. Gagasan pengadilan Khsuus KDRT. Yogyakarta : CV Budi Utama

Kurniawan, Lely Setyawati.2015.Refleksi Diri Terhadap Korban dan Pelaku KDRT. Yogyakarta: CV. Andi Offset

Prayudi, Guse. 2008. Berbagai Aspek Tindak Pidana KDRT. Yogyakarta: Merkid Press

Shadily, Hasan.1983. Kamus Inggris-Indonesia cetakan XII. Jakarta : Gramedia Subhan, Zaitunnah. 2004. Kekerasan Terhadap Perempuan.Yogyakarta: Pustaka Pesantren

Sujatmoko, Andrey.2015. Hukum HAM dan Hukum Humaniter.Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Hamidah Abdurrachman.2010.Perlindungan Hukum Terhadap Korban kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri Sebagai Implementasi Hak-Hak Korban.Unnes Law Jurnal.Vol.17, Nomor 3, Juli 2010

Hasyim Hasanah. 2013.Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak dalam Rumah Tangga Perspektif Pemberitaan Media.Jurnal Ilmu Hukum. Vol. 9, Nomor 1, Oktober 2013

John Dirk Pasalbessy. 2010. Dampak Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak Serta Solusinya. Jurnal Hukum. Vol. 16, Nomor 3, Juli-September 2010

Republik Indonesia. 1998. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 181 tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap

(9)

Republik Indonesia.1999. Undang

-

Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lembaran Negara RI Tahun 1999, No. 165. Sekretariat Negara. Jakarta

Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU

PDKRT). Lembaran Negara RI Tahun 2004, No. 95. Sekretariat Negara. Jakarta

Republik Indonesia. 2006. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Lembaran Negara RI Tahun 2006, No. 64. Sekretariat Negara. Jakarta

(10)

Referensi

Dokumen terkait

Perlindungan terhadap korban membutuhkan suatu pengakajian yang lebih mendalam mengenal faktor penyebab terjadinya tindak pidana kekerasan terhadap korban perempuan,

Persepsi Ibu Rumah Tangga tentang Perempuan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) pada Acara Talkshow Curahan Hati Perempuan Di.. Trans TV (Studi Di kelurahan Rajabasa

Dampak Kekerasan Anak Dalam Rumah Tangga (Studi Deskriptif pada Korban KDRT di Lembaga Pusat Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

Dampak Kekerasan Anak Dalam Rumah Tangga (Studi Deskriptif pada Korban KDRT di Lembaga Pusat Pelayanan Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak

Hambatan-hambatan dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana KDRT adalah minimnya sarana dan prasarana untuk memproses

Maksud dan tujuan Rumah Putro memberikan pelayanan bagi perempuan dan anak korban tindak kekerasan, berupaya memberikan kontribusi terhadap pemberdayaan perempuan

Mengkaji penjelasan Komnas Perempuan tersebut terlihat bahwa keberadaan Pasal 9 UU PKdRT ini untuk melindungi korban KdRT yang mengalami kekerasan ekonomi dimana bentuk

Sebagai respons terhadap pengaduan para perempuan korban yang rata-rata telah lanjut usia tersebut, Komnas Perempuan memutuskan untuk melakukan sejumlah tindakan,