BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kecenderungan meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga atau
KDRT baik fisik, psikis, seksual maupun ekonomi seringkali lebih berkisar hanya
sebagai isu baik dalam pembicaraan maupun berita dalam media massa. Penanganan
sampai tuntas apa lagi sampai pada tahap proses penuntutan dan kemudian mengadili
pelakunya, terbentur pada adanya berbagai kendala, baik yang berasal dari aparat
yang berwenang menangani maupun situasi dan kondisi masyarakat dimana kasus
tersebut terjadi. Biasanya keadaan akan menjadi kompleks dan rumit jika kasusnya
terjadi sekitar ruang lingkup keluarganya sendiri (Rodiyah, 2012).
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau Domestic Violence juga dikenal sebagai tindakan pemukulan terhadap istri, penyiksaan terhadap istri,
penyiksaan terhadap pasangan, kekerasan dalam perkawinan atau kekerasan dalam
keluarga. Bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terbanyak kejadiannya adalah
penyiksaan terhadap istri atau tepatnya penyiksaan terhadap perempuan dalam relasi
hubungan intim yang mengarah pada sistematika kekuasaan dan kontrol, dimana
penyiksa berupaya untuk menerapkannya terhadap istrinya atau pasangan intimnya
melalui penyiksaan secara fisik, emosi, sosial, seksual dan ekonomi (Kolibonso,
Sekitar 30%-40% wanita dibunuh dan mati oleh pasangan intimnya atau oleh
mantan pasangannya di Amerika Serikat. Sekitar 25%-45% wanita korban kekerasan
ini berada dalam kondisi hamil. Kekerasan selama kehamilan cenderung meningkat
dengan alasan: stres biopsikososial selama kehamilan mengganggu hubungan dan
kemampuan koping, frustasi dan akhirnya melakukan kekerasan; suami cemburu
dengan janin yang dikandung pasangannya dan menjadikan pasangan sebagai sasaran
kemarahan; marah pada janin yang belum lahir atau pada pasangannya; kekerasan
dilakukan suami karena bingung dan ingin mengakhiri kehamilan pasangannya
(Handayani, 2006).
Laporan WHO pada tahun 2002 menunjukkan bahwa kualitas kesehatan
perempuan menurun drastis akibat kekerasan yang dialaminya. Kematian wanita
mencapai antara 40-70% akibat pembunuhan yang dilakukan pasangan atau mantan
pasangannya. Di Amerika Serikat, KDRT merupakan bahaya terbesar bagi
perempuan dibandingkan perampokan dan pencurian. Data statistik menunjukkan
bahwa setiap 9 menit perempuan menjadi korban kekerasan fisik dan 25% perempuan
terbunuh oleh pasangannya. Sebuah riset di Canada menunjukkan bahwa setidaknya
terdapat 1 dari 10 perempuan yang berumah tangga mendapatkan kekerasan dari
pasangannya (Elli N, 2002, dalam Sonda, 2010).
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau disebut Komnas
Perempuan dijumpai adanya 22.512 kasus kekerasan terhadap perempuan yang
dilayani oleh 258 lembaga di 32 propinsi di Indonesia (74%) pada tahun 2006.
Jawa tengah (4.878 kasus). Data tahun 2007, Mitra Perempuan Women’s Crisis Centre (WCC) menjumpai 87% dari perempuan korban kekerasan yang mengakses layanan WCC mengalami KDRT, yang terbanyak (82,75%) dilakukan oleh suami dan
mantan suaminya (82,75%). Fakta tersebut juga menunjukkan 9 dari 10 perempuan
korban kekerasan yang didampingi WCC mengalami gangguan jiwa, 12 orang pernah
mencoba bunuh diri; dan 13,12% dari mereka menderita gangguan kesehatan
reproduksinya (Kolibonso, 2010).
Berdasarkan studi pendahuluan yang diperoleh data dari Polres Asahan (kota
Kisaran, Air Joman, Bandar Pulau, Lima Puluh, Medang Deras, dan Pulau Raja)
KDRT pada ibu-ibu terus mengalami peningkatan. Sejak tahun 2008 sampai dengan
Nopember 2013 (197 kasus). Dimana pada tahun 2008 jumlah kasus KDRT yang
dilaporkan sebanyak 12 kasus, tahun 2009 menjadi 17 kasus, tahun 2010 sebanyak 22
kasus, tahun 2011 sebanyak 43 kasus, tahun 2012 meningkat menjadi 51 kasus dan
tahun 2013 (Januari-Nopember 2013) menjadi 52 kasus. Data selengkapnya dapat
dilihat pada lampiran 1. (Polres Asahan, 2013).
Data dari Polres Asahan juga menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan
dalam rumah tangga pada ibu selama 5 tahun terakhir sebanyak 197 kasus dan kasus
KDRT pada ibu saat hamil sebanyak 93 kasus (47,2%). Angka tertinggi kasus
kekerasan tersebut terjadi di Kota Kisaran sebanyak 90 kasus dan kasus KDRT pada
ibu hamil sebanyak 35 kasus (38,8%). Jenis kekerasan fisik yang sering dilakukan
wajah, menendang perut sehingga korban sering mengalami memar pada perut dan
pendarahan. Sedangkan kekerasan psikologis yang diterima oleh ibu hamil dari
suaminya yaitu cacian, makian, hinaan, celaan, tuduhan selingkuh, dan lain-lain.
Ibu korban kekerasan selama hamil biasanya juga melakukan tindakan yang
merusak dirinya dan kandungannya misalnya merokok dan minum alkohol, sebagai
salah satu cara (koping) yang dipilihnya untuk mengurangi tekanan psikologis yang
dialaminya. Distres emosi ini juga terus menerus terjadi akan menyebabkan risiko
bunuh diri, tidak menginginkan kehamilan dan melakukan kekerasan pada anak
(Hakimi et.al, 2001, dalam Handayani, 2006).
Kekerasan pada ibu hamil dapat berdampak langsung maupun tidak langsung
pada ibu dan janinnya. Akibat langsung yang berdampak pada ibu adalah luka,
kecacatan fisik ibu, perdarahan, syok, meninggal dunia. Sedangkan akibat tidak
langsung pada ibu adalah: infeksi, infertilitas/kemandulan, meningkatnya kecemasan,
depresi, kondisi ibu menjadi lebih buruk (anemia ringan menjadi anemia berat, tidak
ada peningkatan berat badan bahkan berat badannya menurun, dan lain-lain) mungkin
ibu menjadi perokok, peminum alkohol, pengguna obat-obat terlarang, tidak ada
akses terhadap pelayanan kebidanan, adanya keinginan untuk mengakhiri kehidupan
janin/aborsi dan mengakhiri kehidupan dirinya/bunuh diri. Dampak pada janin adalah
dapat terjadi abortus/keguguran, abratio placenta/ari-ari terlepas dari rahim sebelum persalinan, persalinan prematur, janin mengalami kecacatan, kematian janin dalam
Penelitian Sonda (2010) yang meneliti dampak kekerasan dalam rumah tangga
terhadap gangguan kesehatan reproduksi wanita di Rumah Sakit Bhayangkara
Makassar mendapatkan hasil bahwa terganggunya kesehatan reproduksi berupa
gangguan haid bukan akibat langsung KDRT, kekerasan fisik menyebabkan stres,
haid terlambat, gangguan perilaku berupa pasrah, tidak berdaya, ragu-ragu dalam
mengambil keputusan, gangguan psikis berupa rasa tertekan, stres berkepanjangan,
rasa malu, rendah diri, dan perceraian.
Dampak KDRT pada ibu hamil menyebabkan perilaku maladaptif ibu setelah
melahirkan yang memengaruhi interaksi ibu dan bayi seperti kurangnya pemenuhan
ASI bagi bayi akibat ibu tidak mau menyusui bayinya, bayi tidak terawat, bayi
ditelantarkan, dibuang bahkan ada yang secara sengaja dibunuh oleh ibunya sendiri.
Melalaikan bayi dan keengganan ibu dalam memberikan asuhan kepada bayi
berkaitan erat dengan kegelisahan, kecemasan dan penolakan ibu untuk dekat dengan
bayinya (Handayani, 2006).
Contoh kasus KDRT yang sempat menghebohkan terjadi di kawasan
Cilandak, Jakarta Selatan pada tanggal 24 Februari 2013. Seorang ibu rumah tangga
NI (24), yang sedang hamil mendapat perlakuan kasar dari suaminya. Peristiwa
tersebut terjadi pada pagi hari, saat keduanya terlibat pertengkaran hebat di rumah
mereka. Suaminya, PS, memutuskan untuk meninggalkan NI saat itu juga. Namun,
NI yang sedang hamil tua tidak ingin kehilangan suaminya. NI sempat meminta uang
agar bayi yang di kandungannya dilahirkan di rumah sakit. Bukan perhatian yang
pukulan di sekujur tubuhnya yaitu di kepala, di wajah, di tubuh, di kaki dan akibatnya
NI mengalami luka dan memar pada lutut kiri dan bengkak di bagian kepala kanan
(Santosa, 2013).
Kota Kisaran merupakan salah satu kota di wilayah Sumatera Utara yang
sedang berbenah dan tak luput dari globalisasi. Meningkatnya pembangunan di
wilayah tersebut tidak saja berefek positif pada peningkatan kesejahteraan masyarakat
tetapi juga berefek negatif terhadap kehidupan warga masyarakat yang tidak mampu
mengikuti perkembangan, sehingga menimbulkan stres terutama banyak terjadi pada
suami sebagai kepala rumah tangga yang harus memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Sebagai dampak stres tersebut, suami melampiaskan kekesalan kepada istri dan
mereka sering tidak memperhatikan kondisi istri yang sedang menjalankan tugas
reproduksi (istri sedang hamil). Kekerasan oleh suami pada istri tidak saja kekerasan
fisik tetapi sering kali juga dibarengi dengan kekerasan psikologis. Hal tersebut
menjadi tekanan tersendiri bagi istri yang berakibat istri tidak siap menerima
kehadiran bayi yang dikandungnya sehingga tidak mampu melakukan interaksi
dengan baik.
Studi pendahuluan yang telah dilakukan di Kota Kisaran pada akhir bulan
Nopember 2013, dengan mewawancarai 2 orang ibu yang baru melahirkan (Ibu A dan
Ibu B) dan pernah mendapatkan perlakuan kekerasan dalam rumah tangga selama
masa kehamilan. Peneliti menanyakan bagaimana perlakuan yang diterima dari
suaminya saat kehamilan dan bagaimana perasaannya tentang anak yang dilahirkan
tidak manusiawi karena pada masa kehamilan dirinya mendapatkan perlakuan kasar
dari suaminya yaitu ditampar, dipukul, ditendang, dihina, dicaci maki, direndahkan,
dan tidak diberi nafkah. Keduanya sangat membenci suaminya tersebut, tetapi
terhadap bayi atau anak yang dilahirkan mereka memiliki pandangan yang berbeda.
Ibu A cenderung bertambah sayang kepada anaknya karena merasa anaknya tidak
bersalah atas semua yang terjadi pada ibunya, sedangkan Ibu B. cenderung membenci
anak yang dilahirkan karena merasa anak tersebut adalah darah daging suaminya
yang akan menurunkan sifat buruknya sebagai seorang penganiaya. Kebencian Ibu B.
pada bayinya dilampiaskan dengan membiarkan anaknya menangis keras tanpa
segera ditolong, sering timbul perasaan gemas (geram) pada bayinya dengan
memukul bayi jika menangis terus menerus. Kadang Ibu B merasa menyesal telah
melakukan hal tersebut pada bayinya, tetapi jika mengingat perilaku suaminya saat
sedang hamil dirinya tidak kuasa membendung perasaannya tersebut, apalagi
suaminya kini jarang pulang di rumah, dan ketika pulang sering marah-marah.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan uraian dan data-data di atas penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul: “Pola Interaksi Ibu Dan Bayi yang mengalami Kekerasan
Meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada ibu hamil
menyebabkan ibu hamil dapat mengalami komplikasi yang membahayakan ibu dan
janin. Bahaya yang terjadi pada ibu tidak saja bahaya fisik tetapi juga goncangan jiwa
ibu hamil yang dapat mengganggu ikatan hubungan antara ibu dan bayi setelah
melahirkan. Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana pola interaksi ibu dan bayi
yang mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada masa kehamilan di
Kota Kisaran tahun 2014.
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis pola interaksi ibu dan bayi yang mengalami Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada masa kehamilan di Kota Kisaran tahun 2014.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Secara teoritis
Secara teoritis hasil penelitian diharapkan dapat menjadi sumbangan teoritik
bagi ilmu kesehatan masyarakat dan memperkaya khasanah kesehatan
reproduksi tentang kekerasan rumah tangga pada ibu hamil dan dampaknya
pada bayi yang dilahirkan.
1.5.2. Secara praktis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk penelitian
berikutnya terutama yang berhubungan dengan KDRT dan interaksi ibu-bayi