• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Psikologis pada Ibu yang Mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada Masa Kehamilan di Kota Kisaran Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Dampak Psikologis pada Ibu yang Mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada Masa Kehamilan di Kota Kisaran Tahun 2014"

Copied!
139
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK PSIKOLOGIS PADA IBU YANG MENGALAMI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) PADA MASA KEHAMILAN

DI KOTA KISARAN TAHUN 2014

TESIS

Oleh

FIFI RIA NINGSIH SAFARI 127032053/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

DAMPAK PSIKOLOGIS PADA IBU YANG MENGALAMI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) PADA MASA KEHAMILAN

DI KOTA KISARAN TAHUN 2014

THESIS

By

FIFI RIA NINGSIH SAFARI 127032053/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

DAMPAK PSIKOLOGIS PADA IBU YANG MENGALAMI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) PADA MASA KEHAMILAN

DI KOTA KISARAN TAHUN 2014

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Kesehatan Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

FIFI RIA NINGSIH SAFARI 127032053/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(4)

Judul Tesis : DAMPAK PSIKOLOGIS PADA IBU YANG MENGALAMI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) PADA MASA KEHAMILAN DI KOTA KISARAN TAHUN 2014

Nama Mahasiswa : Fifi Ria Ningsih Safari Nomor Induk Mahasiswa : 127032053

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Kesehatan Reproduksi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D) (dr. Yusniwarti Yusad, M.Si

Ketua Anggota

)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)

(5)

Telah diuji

Pada Tanggal : 06 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D Anggota : 1. Dr. Yusniwarti Yusad, M.Si

(6)

PERNYATAAN

DAMPAK PSIKOLOGIS PADA IBU YANG MENGALAMI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) PADA MASA KEHAMILAN

DI KOTA KISARAN TAHUN 2014

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2014

(7)

ABSTRAK

Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau Domestic Violence setiap tahun terus mengalami peningkatan. Data dari Polres Asahan juga menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga pada ibu selama 5 tahun terakhir sebanyak 197 kasus dan kasus KDRT pada ibu saat hamil sebanyak 93 kasus (47,2%). Terjadinya kekerasan pada masa kehamilan diduga akan berpengaruh terhadap pola interaksi ibu dan bayi.

Jenis penelitian ini adalah kualitatif menggunakan pendekatan studi kasus yang bertujuan untuk menggali realita pola interaksi ibu dan bayi yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga pada masa kehamilan. Penelitian dilaksanakan di kota Kisaran. Subjek penelitian sebanyak 3 orang diperoleh dengan teknik snowballing sampling. Analisis data dilakukan dengan pengumpulan data lapangan, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang dialami istri yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual, kekerasan ekonomi. Penyebab terjadinya KDRT karena pengaruh mabuk-mabukan, kalah bermain judi, selingkuh, ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Dampak KDRT pada kesehatan reproduksi yang dialami istri yaitu terjadinya perdarahan pada saat hamil, keputihan setelah melahirkan, dan menstruasi yang tidak teratur. Dampak psikologis yang dialami istri akibat KDRT yaitu menangis di kamar, merasa menjadi orang yang tidak berguna, malas makan, malas mandi, malas berhias, pasrah, menyesali keadaan, kabur dari rumah, depresi dan mencoba bunuh diri. Interaksi yang terjalin antara ibu dan bayi yaitu menyayangi bayinya tetapi jika kesal dengan bayinya maka bayinya dicubit, dan ada juga ibu yang tidak ingin mengaitkan perilaku suaminya dengan bayinya..

Saran kepada tenaga kesehatan untuk emberikan edukasi kepada masyarakat terutama kepada ibu rumah tangga tentang jenis-jenis kekerasan dalam rumah tangga yang dapat dilaporkan pada pihak yang berwenang, juga memberikan informasi yang tepat cara melakukan menanggulangi kasus KDRT.

(8)

ABSTRACT

The case of Domestic Violence keeps increasing from year to year. The data obtained from Asahan Resort Police also showed that the number of domestic violence cases on the mothers for the past five years was 197 and on the pregnant mothers was 93 cases (47.2%). The domestic violence occured during pregnancy is suspected to have influence on pattern of mother-fetus interaction.

The purpose of this qualitative study with case study approach conducted in the City of Kisaran was to explore the reality of the impact of domestic violence on the pregnant mothers. The subject of study was 3 pregnant mothers selected through snowballing sampling technique. The analysis of study was carried out through the processes of data collection in the field, data reduction, data presentation and drawing conclusion.

The result of study showed that domestic violence experienced by the wives were physical violence, psychological violence, sexual violence and economic violence. The incident of this domestic violence was due to the effect of drunkenness, gambling loss, having an affair, inability to meet the needs of daily life. The impact of domestic violence on the reproductive health experienced by the wife was bleeding during pregnancy, postpartum vaginal discharge, and irregular periods. The psychological impact domestic violence experienced by the wives was crying in the room, feeling to be useless, lazy to eat, lazy to take a shower, lazy to beautify herself, feeling resigned, regretting the current condition, running away from home, feeling depressed and attempting to commit suicide.

The health workers are suggested to provide education to the community members particularly the housewives about the kinds of domestic violence that can be reported to the authorities, also to provide the right information on how to prevent the case of domestic violence.

(9)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kecenderungan meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga atau

KDRT baik fisik, psikis, seksual maupun ekonomi seringkali lebih berkisar hanya

sebagai isu baik dalam pembicaraan maupun berita dalam media massa. Penanganan

sampai tuntas apa lagi sampai pada tahap proses penuntutan dan kemudian mengadili

pelakunya, terbentur pada adanya berbagai kendala, baik yang berasal dari aparat

yang berwenang menangani maupun situasi dan kondisi masyarakat dimana kasus

tersebut terjadi. Biasanya keadaan akan menjadi kompleks dan rumit jika kasusnya

terjadi sekitar ruang lingkup keluarganya sendiri (Rodiyah, 2012).

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau Domestic Violence juga

dikenal sebagai tindakan pemukulan terhadap istri, penyiksaan terhadap istri,

penyiksaan terhadap pasangan, kekerasan dalam perkawinan atau kekerasan dalam

keluarga. Bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terbanyak kejadiannya adalah

penyiksaan terhadap istri atau tepatnya penyiksaan terhadap perempuan dalam relasi

hubungan intim yang mengarah pada sistematika kekuasaan dan kontrol, dimana

penyiksa berupaya untuk menerapkannya terhadap istrinya atau pasangan intimnya

melalui penyiksaan secara fisik, emosi, sosial, seksual dan ekonomi (Kolibonso,

(10)

Sekitar 30%-40% wanita dibunuh dan mati oleh pasangan intimnya atau oleh

mantan pasangannya di Amerika Serikat. Sekitar 25%-45% wanita korban kekerasan

ini berada dalam kondisi hamil. Kekerasan selama kehamilan cenderung meningkat

dengan alasan: stres biopsikososial selama kehamilan mengganggu hubungan dan

kemampuan koping, frustasi dan akhirnya melakukan kekerasan; suami cemburu

dengan janin yang dikandung pasangannya dan menjadikan pasangan sebagai sasaran

kemarahan; marah pada janin yang belum lahir atau pada pasangannya; kekerasan

dilakukan suami karena bingung dan ingin mengakhiri kehamilan pasangannya

(Handayani, 2006).

Laporan WHO pada tahun 2002 menunjukkan bahwa kualitas kesehatan

perempuan menurun drastis akibat kekerasan yang dialaminya. Kematian wanita

mencapai antara 40-70% akibat pembunuhan yang dilakukan pasangan atau mantan

pasangannya. Di Amerika Serikat, KDRT merupakan bahaya terbesar bagi

perempuan dibandingkan perampokan dan pencurian. Data statistik menunjukkan

bahwa setiap 9 menit perempuan menjadi korban kekerasan fisik dan 25% perempuan

terbunuh oleh pasangannya. Sebuah riset di Canada menunjukkan bahwa setidaknya

terdapat 1 dari 10 perempuan yang berumah tangga mendapatkan kekerasan dari

pasangannya (Elli N, 2002, dalam Sonda, 2010).

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau disebut Komnas

Perempuan dijumpai adanya 22.512 kasus kekerasan terhadap perempuan yang

dilayani oleh 258 lembaga di 32 propinsi di Indonesia (74%) pada tahun 2006.

(11)

Jawa tengah (4.878 kasus). Data tahun 2007, Mitra Perempuan Women’s Crisis

Centre (WCC) menjumpai 87% dari perempuan korban kekerasan yang mengakses

layanan WCC mengalami KDRT, yang terbanyak (82,75%) dilakukan oleh suami dan

mantan suaminya (82,75%). Fakta tersebut juga menunjukkan 9 dari 10 perempuan

korban kekerasan yang didampingi WCC mengalami gangguan jiwa, 12 orang pernah

mencoba bunuh diri; dan 13,12% dari mereka menderita gangguan kesehatan

reproduksinya (Kolibonso, 2010).

Berdasarkan studi pendahuluan yang diperoleh data dari Polres Asahan (kota

Kisaran, Air Joman, Bandar Pulau, Lima Puluh, Medang Deras, dan Pulau Raja)

KDRT pada ibu-ibu terus mengalami peningkatan. Sejak tahun 2008 sampai dengan

Nopember 2013 (197 kasus). Dimana pada tahun 2008 jumlah kasus KDRT yang

dilaporkan sebanyak 12 kasus, tahun 2009 menjadi 17 kasus, tahun 2010 sebanyak 22

kasus, tahun 2011 sebanyak 43 kasus, tahun 2012 meningkat menjadi 51 kasus dan

tahun 2013 (Januari-Nopember 2013) menjadi 52 kasus. Data selengkapnya dapat

dilihat pada lampiran 1. (Polres Asahan, 2013).

Data dari Polres Asahan juga menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan

dalam rumah tangga pada ibu selama 5 tahun terakhir sebanyak 197 kasus dan kasus

KDRT pada ibu saat hamil sebanyak 93 kasus (47,2%). Angka tertinggi kasus

kekerasan tersebut terjadi di Kota Kisaran sebanyak 90 kasus dan kasus KDRT pada

ibu hamil sebanyak 35 kasus (38,8%). Jenis kekerasan fisik yang sering dilakukan

(12)

wajah, menendang perut sehingga korban sering mengalami memar pada perut dan

pendarahan. Sedangkan kekerasan psikologis yang diterima oleh ibu hamil dari

suaminya yaitu cacian, makian, hinaan, celaan, tuduhan selingkuh, dan lain-lain.

Ibu korban kekerasan selama hamil biasanya juga melakukan tindakan yang

merusak dirinya dan kandungannya misalnya merokok dan minum alkohol, sebagai

salah satu cara (koping) yang dipilihnya untuk mengurangi tekanan psikologis yang

dialaminya. Distres emosi ini juga terus menerus terjadi akan menyebabkan risiko

bunuh diri, tidak menginginkan kehamilan dan melakukan kekerasan pada anak

(Hakimi et.al, 2001, dalam Handayani, 2006).

Kekerasan pada ibu hamil dapat berdampak langsung maupun tidak langsung

pada ibu dan janinnya. Akibat langsung yang berdampak pada ibu adalah luka,

kecacatan fisik ibu, perdarahan, syok, meninggal dunia. Sedangkan akibat tidak

langsung pada ibu adalah: infeksi, infertilitas/kemandulan, meningkatnya kecemasan,

depresi, kondisi ibu menjadi lebih buruk (anemia ringan menjadi anemia berat, tidak

ada peningkatan berat badan bahkan berat badannya menurun, dan lain-lain) mungkin

ibu menjadi perokok, peminum alkohol, pengguna obat-obat terlarang, tidak ada

akses terhadap pelayanan kebidanan, adanya keinginan untuk mengakhiri kehidupan

janin/aborsi dan mengakhiri kehidupan dirinya/bunuh diri. Dampak pada janin adalah

dapat terjadi abortus/keguguran, abratio placenta/ari-ari terlepas dari rahim sebelum

persalinan, persalinan prematur, janin mengalami kecacatan, kematian janin dalam

(13)

Penelitian Sonda (2010) yang meneliti dampak kekerasan dalam rumah tangga

terhadap gangguan kesehatan reproduksi wanita di Rumah Sakit Bhayangkara

Makassar mendapatkan hasil bahwa terganggunya kesehatan reproduksi berupa

gangguan haid bukan akibat langsung KDRT, kekerasan fisik menyebabkan stres,

haid terlambat, gangguan perilaku berupa pasrah, tidak berdaya, ragu-ragu dalam

mengambil keputusan, gangguan psikis berupa rasa tertekan, stres berkepanjangan,

rasa malu, rendah diri, dan perceraian.

Dampak KDRT pada ibu hamil menyebabkan perilaku maladaptif ibu setelah

melahirkan yang memengaruhi interaksi ibu dan bayi seperti kurangnya pemenuhan

ASI bagi bayi akibat ibu tidak mau menyusui bayinya, bayi tidak terawat, bayi

ditelantarkan, dibuang bahkan ada yang secara sengaja dibunuh oleh ibunya sendiri.

Melalaikan bayi dan keengganan ibu dalam memberikan asuhan kepada bayi

berkaitan erat dengan kegelisahan, kecemasan dan penolakan ibu untuk dekat dengan

bayinya (Handayani, 2006).

Contoh kasus KDRT yang sempat menghebohkan terjadi di kawasan

Cilandak, Jakarta Selatan pada tanggal 24 Februari 2013. Seorang ibu rumah tangga

NI (24), yang sedang hamil mendapat perlakuan kasar dari suaminya. Peristiwa

tersebut terjadi pada pagi hari, saat keduanya terlibat pertengkaran hebat di rumah

mereka. Suaminya, PS, memutuskan untuk meninggalkan NI saat itu juga. Namun,

NI yang sedang hamil tua tidak ingin kehilangan suaminya. NI sempat meminta uang

agar bayi yang di kandungannya dilahirkan di rumah sakit. Bukan perhatian yang

(14)

pukulan di sekujur tubuhnya yaitu di kepala, di wajah, di tubuh, di kaki dan akibatnya

NI mengalami luka dan memar pada lutut kiri dan bengkak di bagian kepala kanan

(Santosa, 2013).

Kota Kisaran merupakan salah satu kota di wilayah Sumatera Utara yang

sedang berbenah dan tak luput dari globalisasi. Meningkatnya pembangunan di

wilayah tersebut tidak saja berefek positif pada peningkatan kesejahteraan masyarakat

tetapi juga berefek negatif terhadap kehidupan warga masyarakat yang tidak mampu

mengikuti perkembangan, sehingga menimbulkan stres terutama banyak terjadi pada

suami sebagai kepala rumah tangga yang harus memenuhi kebutuhan hidup

sehari-hari. Sebagai dampak stres tersebut, suami melampiaskan kekesalan kepada istri dan

mereka sering tidak memperhatikan kondisi istri yang sedang menjalankan tugas

reproduksi (istri sedang hamil). Kekerasan oleh suami pada istri tidak saja kekerasan

fisik tetapi sering kali juga dibarengi dengan kekerasan psikologis. Hal tersebut

menjadi tekanan tersendiri bagi istri yang berakibat istri tidak siap menerima

kehadiran bayi yang dikandungnya sehingga tidak mampu melakukan interaksi

dengan baik.

Studi pendahuluan yang telah dilakukan di Kota Kisaran pada akhir bulan

Nopember 2013, dengan mewawancarai 2 orang ibu yang baru melahirkan (Ibu A dan

Ibu B) dan pernah mendapatkan perlakuan kekerasan dalam rumah tangga selama

masa kehamilan. Peneliti menanyakan bagaimana perlakuan yang diterima dari

suaminya saat kehamilan dan bagaimana perasaannya tentang anak yang dilahirkan

(15)

tidak manusiawi karena pada masa kehamilan dirinya mendapatkan perlakuan kasar

dari suaminya yaitu ditampar, dipukul, ditendang, dihina, dicaci maki, direndahkan,

dan tidak diberi nafkah. Keduanya sangat membenci suaminya tersebut, tetapi

terhadap bayi atau anak yang dilahirkan mereka memiliki pandangan yang berbeda.

Ibu A cenderung bertambah sayang kepada anaknya karena merasa anaknya tidak

bersalah atas semua yang terjadi pada ibunya, sedangkan Ibu B. cenderung membenci

anak yang dilahirkan karena merasa anak tersebut adalah darah daging suaminya

yang akan menurunkan sifat buruknya sebagai seorang penganiaya. Kebencian Ibu B.

pada bayinya dilampiaskan dengan membiarkan anaknya menangis keras tanpa

segera ditolong, sering timbul perasaan gemas (geram) pada bayinya dengan

memukul bayi jika menangis terus menerus. Kadang Ibu B merasa menyesal telah

melakukan hal tersebut pada bayinya, tetapi jika mengingat perilaku suaminya saat

sedang hamil dirinya tidak kuasa membendung perasaannya tersebut, apalagi

suaminya kini jarang pulang di rumah, dan ketika pulang sering marah-marah.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan uraian dan data-data di atas penulis tertarik untuk melakukan

penelitian dengan judul: “Pola Interaksi Ibu Dan Bayi yang mengalami Kekerasan

(16)

Meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada ibu hamil

menyebabkan ibu hamil dapat mengalami komplikasi yang membahayakan ibu dan

janin. Bahaya yang terjadi pada ibu tidak saja bahaya fisik tetapi juga goncangan jiwa

ibu hamil yang dapat mengganggu ikatan hubungan antara ibu dan bayi setelah

melahirkan. Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana pola interaksi ibu dan bayi

yang mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada masa kehamilan di

Kota Kisaran tahun 2014.

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis pola interaksi ibu dan bayi yang mengalami Kekerasan

Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada masa kehamilan di Kota Kisaran tahun 2014.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Secara teoritis

Secara teoritis hasil penelitian diharapkan dapat menjadi sumbangan teoritik

bagi ilmu kesehatan masyarakat dan memperkaya khasanah kesehatan

reproduksi tentang kekerasan rumah tangga pada ibu hamil dan dampaknya

pada bayi yang dilahirkan.

1.5.2. Secara praktis

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk penelitian

berikutnya terutama yang berhubungan dengan KDRT dan interaksi ibu-bayi

(17)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) 2.1.1. Pengertian

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23/2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), yang dimaksud dengan

kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama

perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk

melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan

hukum dalam lingkup rumah tangga. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan

dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan

melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan pada

seorang perempuan dan pihak-pihak yang tersubordinasi lainnya, yang berakibat

timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, ekonomi dan

psikologis, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau

perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang dalam lingkup rumah tangga

(18)

KDRT terhadap istri adalah segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan

oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan

ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah

tangga atau keluarga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri diwarnai dengan

penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan

menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri (Susilowati, 2008).

Secara empiris Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sudah lama

berlangsung dalam masyarakat, hanya secara kuantitas belum diketahui jumlahnya,

seperti kekerasan suami terhadap istri atau suami terhadap anak. Bentuk

kekerasannyapun beragam mulai dari penganiayaan, pemerkosaan dan sebagainya.

Disamping itu pemenuhan hak kaum perempuan yang rentan tidak hanya terbatas

kepada perlindungan dalam rumah tangga, tetapi juga berhubungan dengan

reproduksi perempuan. Secara sosiologis sebagian besar kaum perempuan masih

sangat dibatasi oleh budaya masyarakat, dimana peran tradisional masih melekat

kuat, yang mengindikasikan bahwa perempuan tidak lebih sebagai isteri atau ibu

rumah tangga semata (Rodiyah, 2012).

KDRT dapat terjadi dalam rumah tangga dari keluarga sederhana, miskin dan

terbelakang maupun rumah tangga dari keluarga kaya, terdidik, terkenal, dan terpandang.

Tindak kekerasan ini dapat dilakukan oleh suami atau istri terhadap pasangan

masing-masing, atau terhadap anak-anak, anggota keluarga yang lain, dan terhadap pembantu

(19)

2.1.2. Bentuk Kekerasan dalam Rumah tangga

Deklarasi tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan tahun 1993

menyatakan bahwa segala bentuk tindak kekerasan berbasis gender yang berakibat

atau mungkin berakibat menyakiti secara fisik, seksual, mental, atau penderitaan

terhadap perempuan termasuk mengancam atau tindakan, pemaksaan atau

perampasan semena-mena kebebasan, baik yang terjadi di lingkungan masyarakat

maupun dalam kehidupan pribadi (Widyastuti, 2009).

Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri

dalam rumah tangga dibedakan ke dalam 4 (empat) macam :

1. Kekerasan fisik

Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau

luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain

adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak),

menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan

sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam,

gigi patah atau bekas luka lainnya.

2. Kekerasan psikologis / emosional

Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan

ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak,

rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang.

Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah

penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri,

mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana

(20)

3. Kekerasan seksual

Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan

batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual

sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.

4. Kekerasan ekonomi

Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,

padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau

perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada

orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri,

bahkan menghabiskan uang istri.

Banyak kasus terjadi kekerasan psikis berupa makian, hinaan (ungkapan

verbal) sering berkembang menjadi kekerasan fisik. Pada awalnya mungkin belum

terjadi, tetapi ketidaksengajaan pria kemudian berlanjut pada tindakan kekerasan fisik

secara nyata (Widyastuti, 2009).

2.1.3. Siklus Kekerasan dalam KDRT

Relasi Personal sering disertai dengan siklus kekerasan, dengan pola berulang.

Siklus kekerasan ini menyebabkan korban terus mengembangkan harapan dan

mempertahankan rasa cinta atau kasihan, membuatnya sulit keluar dari perangkap

(21)
[image:21.612.206.433.115.340.2]

Gambar 2.1. Siklus Kekerasan Siklus kekerasan umumnya bergulir sebagai berikut:

1. Dimulai dengan individu tertarik dan mengembangkan hubungan.

2. Individu dan pasangan mulai lebih mengenal satu sama lain, “tampil asli” dengan

karakteristik dan tuntutan masing-masing, muncul konflik dan ketegangan.

3. Terjadi ledakan dalam bentuk kekerasan

4. Ketegangan mereda. Korban terkejut dan memaknai apa yang terjadi. Pelaku

bersikap ”baik” dan mungkin meminta maaf.

5. Korban merasa ”berdosa” (bila tidak memaafkan), korban menyalahkan diri

sendiri karena merasa atau dianggap menjadi pemicu kejadian, korban

mengembangkan harapan akan hubungan yang lebih baik.

6. Periode tenang tidak dapat bertahan. Kembali muncul konflik dan ketegangan,

(22)

7. Korban “terperangkap”, merasa bingung, takut, bersalah, tak berdaya, berharap

pelaku menepati janji untuk tidak melakukan kekerasan lagi, dan demikian

seterusnya.

8. Bila tidak ada intervensi khusus (internal, eksternal) siklus kekerasan dapat terus

berputar dengan perguliran makin cepat, dan kekerasan makin intens.

9. Sangat destruktif dan berdampak merugikan secara psikologis (dan mungkin juga

fisik) (Indrarani, 2012).

2.1.4. Penyebab Terjadinya KDRT

Zastrow & Browker (1984) dalam Wahab (2010), menyatakan bahwa ada tiga

teori utama yang mampu menjelaskan terjadinya kekerasan, yaitu teori biologis, teori

frustasi-agresi, dan teori kontrol.

1. Teori biologis menjelaskan bahwa manusia, seperti juga hewan, memiliki suatu

instink agresif yang sudah dibawa sejak lahir. Sigmund Freud menteorikan bahwa

manusia mempunyai suatu keinginan akan kematian yang mengarahkan

manusia-manusia itu untuk menikmati tindakan melukai dan membunuh orang lain dan

dirinya sendiri. Robert Ardery yang menyarankan bahwa manusia memiliki

instink untuk menaklukkan dan mengontrol wilayah, yang sering mengarahkan

pada perilaku konflik antar pribadi yang penuh kekerasan. Konrad Lorenz

menegaskan bahwa agresi dan kekerasan adalah sangat berguna untuk survive.

Manusia dan hewan yang agresif lebih cocok untuk membuat keturunan dan

survive, sementara itu manusia atau hewan yang kurang agresif memungkinkan

(23)

suatu sistem dominan, dengan demikian memberikan struktur dan stabilitas untuk

kelompok. Beberapa ahli teori biologis berhipotesis bahwa hormon seks pria

menyebabkan perilaku yang lebih agresif. Di sisi lain, ahli teori belajar berteori

bahwa perbedaan perilaku agresif terutama disebabkan oleh perbedaan sosialisasi

terhadap pria dan wanita.

2. Teori frustasi-agresi menyatakan bahwa kekerasan sebagai suatu cara untuk

mengurangi ketegangan yang dihasilkan situasi frustasi. Teori ini berasal dari

suatu pendapat yang masuk akal bahwa seseorang yang frustasi sering menjadi

terlibat dalam tindakan agresif. Orang frustasi sering menyerang sumber

frustasinya atau memindahkan frustasinya ke orang lain. Misalnya. Seorang

remaja (teenager) yang diejek oleh orang lain mungkin membalas dendam, sama

halnya seekor binatang kesayangan yang digoda. Seorang pengangguran yang

tidak dapat mendapatkan pekerjaan mungkin memukul istri dan anak-anaknya.

Suatu persoalan penting dengan teori ini, bahwa teori ini tidak menjelaskan

mengapa frustasi mengarahkan terjadinya tindakan kekerasan pada sejumlah

orang, tidak pada orang lain. Diakui bahwa sebagian besar tindakan agresif dan

kekerasan nampak tidak berkaitan dengan frustasi. Misalnya, seorang pembunuh

yang profesional tidak harus menjadi frustasi untuk melakukan penyerangan.

3. Teori frustasi-kontrol sebagian besar dikembangkan oleh para psikolog, beberapa

sosiolog telah menerapkan teori untuk suatu kelompok besar. Mereka

memperhatikan perkampungan miskin dan kotor di pusat kota dan dihuni oleh

(24)

berpendapat bahwa kemiskinan, kekurangan kesempatan, dan ketidakadilan

lainnya di wilayah ini sangat membuat frustasi penduduknya. Penduduk semua

menginginkan semua benda yang mereka lihat dan dimiliki oleh orang lain, serta

tak ada hak yang sah sedikitpun untuk menggunakannya. Akibatnya, mereka

frustasi dan berusaha untuk menyerangnya. Teori ini memberikan penjelasan

yang masuk akal terhadap angka kekerasan yang tinggi bagi penduduk minoritas.

4. Ketiga, teori ini menjelaskan bahwa orang-orang yang hubungannya dengan

orang lain tidak memuaskan dan tidak tepat adalah mudah untuk terpaksa berbuat

kekerasan ketika usaha-usahanya untuk berhubungan dengan orang lain

menghadapi situasi frustasi. Teori ini berpegang bahwa orang-orang yang

memiliki hubungan erat dengan orang lain yang sangat berarti cenderung lebih

mampu dengan baik mengontrol dan mengendalikan perilakunya yang impulsif.

Menurut Susilowati (2008), KDRT pada istri tidak akan terjadi jika tidak ada

penyebabnya. Di Indonesia, kekerasan pada perempuan merupakan salah satu budaya

negatif yang tanpa disadari sebenarnya telah diturunkan secara turun temurun. Apa

saja penyebab kekerasan pada istri? Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya

kekerasan suami terhadap istri, antara lain:

1. Masyarakat membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan keyakinan bahwa

anak laki-laki harus kuat, berani dan tidak toleran.

2. Laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat.

3. Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus ditutup

(25)

4. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri,

kepatuhan istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi

bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.

5. Budaya bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi.

6. Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.

7. Pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak.

8. Budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.

9. Melakukan imitasi, terutama anak laki-laki yang hidup dengan orang tua yang

sering melakukan kekerasan pada ibunya atau dirinya (Susilowati, 2008).

Pria kadang kehilangan kontrol terhadap arah hidup, maka pria mungkin

menggunakan sikap kekerasan untuk mengendalikan hidup orang lain, walaupun

sikap itu salah. Adapun beberapa alasan yang menjadi penyebab pria menganiaya

wanita / istri / pasangannya meskipun alasan itu salah antara lain: (Widyastuti, 2009).

1. Tindakan kekerasan dapat mencapai suatu tujuan.

a. Bila terjadi konflik, tanpa harus musyawarah kekerasan merupakan cara cepat

penyelesaian masalah.

b. Dengan melakukan perbuatan kekerasan, pria merasa hidup lebih ‘berarti’

karena dengan berkelahi maka pria merasa menjadi lebih digdaya.

c. Pada saat melakukan kekerasan pria merasa memperoleh ‘kemenangan’ dan

mendapatkan apa yang dia harapkan, maka korban akan menghindari pada

(26)

2. Pria merasa berkuasa atas wanita. Bila pria merasa mempunyai istri ‘kuat’ maka

dia berusaha untuk melemahkan wanita agar merasa tergantung padanya atau

membutuhkannya.

3. Ketidaktahuan pria. Bila latar belakang pria dari keluarga yang selalu

mengandalkan kekerasan sebagai satu-satunya jalan menyelesaikan masalah dan

tidak mengerti cara lain maka kekerasan merupakan jalan pertama dan utama

baginya sebagai cara yang jitu setiap ada kesulitan atau tertekan karena memang

dia tidak pernah belajar cara lain untuk bersikap (Widyastuti, 2009).

2.1.5. Faktor yang Memengaruhi terjadinya KDRT

Menurut Sofyan (2006), faktor yang memengaruhi terjadinya kekerasan dalam

rumah tangga adalah sebagai berikut :

1. Faktor Risiko KDRT

Faktor yang berperan di tiap tingkatan dalam penyalahgunaan pasangan oleh pria

dijabarkan sebagai berikut :

a. Tingkat individu

Termasuk ke dalamnya adalah pernah mengalami kekerasan semasa

kanak-kanak, menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga antar ibu dan bapak, tidak

adanya atau penolakan terhadap figur ayah, atau kebiasaan minum alkohol.

b. Tingkat hubungan / interaksi dengan pasangan

Faktor penentunya antara lain konflik perkawinan dan kendali pria terhadap

(27)

c. Tingkat lingkungan kecil

Pengisolasian perempuan dan kurangnya dukungan sosial, disamping

kelompok pria sebaya yang menerima budaya kekerasan sangat berpengaruh

terhadap terjadinya kekerasan.

d. Tingkat masyarakat luas

Faktor yang berpengaruh antar lain kakunya dan dipaksanya peran jender,

diterapkannya konsep maskulinitas yang berkaitan dengan kekerasan,

kehormatan pria dan dominasi atas perempuan, toleransi terhadap hukuman

fisik bagi perempuan dan anak, menerima kekerasan sebagai sarana untuk

mengacaukan hubungan dengan pasangan dan persepsi bahwa pria

mempunyai kepemilikan terhadap wanita.

2. Faktor protektif KDRT

a. Tingkat individu

Termasuk rasa percaya diri dan persepsi yang positif terhadap kemampuan

dan kendali diri.

b. Tingkat hubungan interaksi dengan pasangan

Faktor protektif antara lain kesatuan keluarga yang kuat, hubungan antara

anak-orang tua baik, pengelolaan keuangan keluarga dilakukan suami istri.

c. Tingkat lingkungan kecil

Kesatuan warga, kehadiran di sekolah, kewirausahaan yang ditujukan untuk

wanita, fasilitas di lingkungan pemukiman (sarana, pelayanan kesehatan,

(28)

d. Tingkat masyarakat luas

Faktor protektif antara lain stabilitas politik, pengendalian pemakaian senjata,

dan promosi kesetaraan jender dan anti kekerasan (Sofyan, 2006).

2.1.6. Korban Kekerasan

Menurut Ciciek (2005), berdasarkan kenyataan di seluruh dunia, yang menjadi

korban KDRT berasal dari semua golongan masyarakat. Data dan fakta tentang para

korban ini menunjukkan dengan gamblang bahwa semua perempuan dari berbagai

lapisan sosial, golongan pekerjaan, suku, bangsa, budaya, agama maupun rentang usia

telah tertimpa musibah kekerasan.

Korban kekerasan tetap mencoba bertahan walaupun telah berulang kali

menerima perlakuan kekerasan dari pasangan disebabkan oleh beberapa hal antara

lain :

1. Takut pembalasan suami.

Banyak istri diancam dengan penganiayaan yang lebih kejam, bahkan

pembunuhan, jika mereka berupaya meninggalkan rumah tangga. Menurut

laporan kepolisian, setengah dari istri yang berupaya meninggalkan perkawinan

dibunuh oleh suaminya.

2. Tidak ada tempat berlindung

Banyak istri bergantung secara ekonomi kepada suami, sehingga tidak ada

(29)

3. Takut dicerca masyarakat

Banyak perempuan takut dicap sebagai perempuan tidak baik karena diketahui

sebagai korban kekerasan akibat didera suami. Sebagian tidak siap dengan status

sosial sebagai janda, karena masyarakat menganggap rendah.

4. Rasa percaya diri yang rendah

Akibat penganiayaan baik secara jasmani, rohani maupun seksual, istri seringkali

merasa tidak berarti dan tidak percaya mempunyai kemampuan untuk mengatasi

masalah.

5. Untuk kepentingan anak

Istri khawatir anak-anaknya akan mengalami penderitaan yang lebih buruk jika

berpisah dari ayah mereka.

6. Sebagian istri tetap mencintai suami mereka

Mereka mendambakan berhentinya kekerasan, bukan putusnya perkawinan.

Mereka berharap terus menerus agar suaminya berubah, menjadi baik kembali.

7. Mempertahankan perkawinan

Banyak istri yang percaya perkawinan itu sesuatu yang luhur dan perceraian

adalah sesuatu yang buruk sehingga harus dihindari. Mereka beranggapan bahwa

lebih baik tetap menderita dalam perkawinan daripada bercerai karena tabu atau

dilarang agama (Ciciek, 2005).

Secara psikologis seorang perempuan yang mengalami kekerasan dalam

rumah tangga akan menampilkan karakteristik seperti: berusaha meminimalkan

(30)

penyebab terjadinya kekerasan yang dialami, dan ambivalensi dimana korban merasa

bingung dengan suami dan beranggapan suami tidak ingin benar-benar melakukan

kekerasan terhadap dirinya(Poerwandari, 2000).

2.1.7. Akibat Kekerasan

Menurut Hasanah, dkk (2003) dalam Saraswati (2009) menjelaskan dampak

atau akibat yang ditimbulkan dari kekerasan dalam rumah tangga, seperti: terdapat

memar, atau lebam setelah terjadi kekerasan fisik. Adanya rasa malu, takut hilangnya

konsep diri, dan tidak percaya diri adalah dampak yang ditimbulkan dari kekerasan

psikis, Terjadinya haid yang tidak teratur, dan sulit menikmati hubungan seksual

adalah dampak yang ditimbulkan dari adanya kekerasan seksual. Menurut pasal 5

Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, kekerasan dalam

rumah tangga, yaitu: penelantaran rumah tangga adalah tidak memberikan nafkah

kepada istri, membiarkan istri bekerja untuk kemudian penghasilannya dikuasai

suami, bahkan mempekerjakan istri dan memanfaatkan ketergantungan istri secara

ekonomi untuk mengontrol kehidupannya.

Menurut Sofyan (2006), kekerasan terhadap perempuan sangat merugikan

kesehatan reproduksi wanita di samping merugikan aspek-aspek kesejahteraan fisik

dan mental emosional juga menambah resiko jangka panjang yaitu terjadinya

gangguan kesehatan lainnya.

1. Akibat fisik

a. Kematian akibat kekerasan fisik, pembunuhan atau bunuh diri.

(31)

c. Trauma fisik dalam kehamilan, yang beresiko terhadap ibu dan janin.

d. Perlukaan / trauma terhadap anak sebagai korban dalam kejadian kekerasan.

e. Kehamilan yang tidak diinginkan dan kehamilan dini akibat perkosaan atau

pergaulan bebas.

f. Tertular PMS / AIDS.

g. Meningkatnya gangguan ginekologis, PMS/IMS, infeksi saluran kencing dan

gangguan pencernaan.

2. Akibat non fisik

a. Bunuh diri

b. Gangguan mental misalnya depresi, ketakutan dan cemas, rasa rendah diri,

kelelahan kronis, sulit tidur, mimpi buruk, disfungsi seksual, gangguan

makan, dan lain-lain.

c. Pengaruh psikologis terhadap anak karena menyaksikan kekerasan.

3. Akibat dampak terhadap masyarakat

a. Bertambahnya biaya pemeliharaan kesehatan akibat dampak fisik / nonfisik.

b. Efek terhadap produktivitas, misalnya mengakibatkan berkurangnya

kontribusi kepada masyarakat, kemampuan realisasi diri dan kinerja dan cuti

sakit bertambah sering

4. Akibat dampak lain

a. Kehilangan nafsu makan.

(32)

c. Terus menerus mengalami kecemasan dan ketakutan, hilangnya rasa percaya

diri.

d. Gangguan psikis berat

e. Kehilangan akal sehat

f. Tidak bisa percaya kepada apa yang terjadi

g. Curiga terus menerus (paranoid).

2.1.8. Dampak KDRT pada Kesehatan Reproduksi

Kesehatan reproduksi menurut ICPD (1994) adalah suatu keadaan sejahtera fisik,

mental dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan

dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya

(Widyastuti, 2009).

Sehubungan dengan dampak tindak kekerasan terhadap kehidupan seksual dan

reproduksi perempuan, penelitian yang dilakukan oleh Rance (1994) yang dikutip oleh

Heise, Moore dan Toubia (1995) kekerasan dan dominasi laki-laki dapat membatasi dan

membentuk kehidupan seksual dan reproduksi perempuan. Selain itu, laki-laki juga

sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan tentang alat kontrasepsi yang dipakai

oleh pasangannya. Selanjutnya penelitian yang dilakukan di Norwegia oleh Schei dan

Bakketeig (1989) yang dikutip oleh Heise, Moore dan Toubia (1995) juga menyatakan

bahwa perempuan yang tinggal dengan pasangan yang suka melakukan tindak kekerasan

menunjukkan masalah-masalah ginekologis yang lebih berat ketimbang dengan yang

tinggal dengan pasangan/suami normal; bahkan problem ginekologis ini bisa berlanjut

(33)

Tindak kekerasan terhadap istri perlu diungkap untuk mencari alternatif

pemberdayaan bagi istri agar terhindar dari tindak kekerasan yang tidak semestinya

terjadi demi terwujudnya hak perempuan untuk memperoleh kesehatan reproduksi yang

sehat. Perempuan terganggu kesehatan reproduksinya bila pada saat tidak hamil

mengalami gangguan menstruasi seperti menorrhagia, hipomenorrhagia atau

metrorhagia bahkan wanita dapat mengalami menopause lebih awal, dapat mengalami

penurunan libido, ketidakmampuan mendapatkan orgasme, akibat tindak kekerasan yang

dialaminya.

Dampak lain yang juga memengaruhi kesehatan organ reproduksi istri dalam

rumah tangga diantaranya adalah perubahan pola fikir, emosi dan ekonomi keluarga.

Dampak terhadap pola fikir istri. Tindak kekerasan juga berakibat memengaruhi cara

berfikir korban, misalnya tidak mampu berfikir secara jernih karena selalu merasa takut,

cenderung curiga (paranoid), sulit mengambil keputusan, tidak bisa percaya kepada apa

yang terjadi. Istri yang menjadi korban kekerasan memiliki masalah kesehatan fisik dan

mental dua kali lebih besar dibandingkan yang tidak menjadi korban termasuk tekanan

mental, gangguan fisik, pusing, nyeri haid, terinfeksi penyakit menular.

Dampak terhadap ekonomi keluarga. Dampak lain dari tindakan kekerasan

meskipun tidak selalu adalah persoalan ekonomi, menimpa tidak saja perempuan yang

tidak bekerja tetapi juga perempuan yang mencari nafkah. Seperti terputusnya akses

ekonomi secara mendadak, kehilangan kendali ekonomi rumah tangga, biaya tak terduga

untuk hunian, kepindahan, pengobatan dan terapi serta ongkos perkara. Dampak terhadap

(34)

tertentu (obat-obatan dan alkohol), kecemasan, percobaan bunuh diri, keadaan pasca

trauma dan rendahnya kepercayaan diri (Sutrisminah, 2012).

2.1.9. KDRT pada Ibu Hamil

Di seluruh dunia satu diantara empat perempuan hamil mengalami kekerasan

fisik dan seksual oleh pasangannya. Pada saat hamil, dapat terjadi keguguran / abortus,

persalinan imatur dan bayi meninggal dalam rahim. Pada saat bersalin, perempuan akan

mengalami penyulit persalinan seperti hilangnya kontraksi uterus, persalinan lama,

persalinan dengan alat bahkan pembedahan. Hasil dari kehamilan dapat melahirkan bayi

dengan BBLR, terbelakang mental, bayi lahir cacat fisik atau bayi lahir mati

(Sutrisminah, 2012).

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan penyebab penting yang

menyebabkan kesakitan atau kematian pada wanita selama kehamilan. Banyak orang

berpikir bahwa kekerasan akan berakhir jika seorang wanita dalam keadaan hamil.

Penelitian menunjukkan bahwa kehamilan dapat memperburuk tingkat kekerasan. Suatu

hal yang perlu dipertimbangkan adalah bagaimana pasangan (suami) akan

memperlakukan calon anak jika mereka sudah memperlakukan istri dengan buruk

(Jennifer, 2008).

Kekerasan selama kehamilan juga dapat terjadi akibat peningkatan stres yang

dialami oleh pria. Stres ini disebabkan oleh perasaan meningkatnya tanggungjawab

materi yang harus dipenuhi nantinya, yang akhirnya mengharuskan pria menambah

pemasukan atau bekerja lebih. Stress juga terjadi akibat pasangan belum siap menjadi

(35)

kebutuhan emosional daripada wanita sehingga menimbulkan stres yang berkepanjangan

(Condon, 2004 dalam O’Reilly, 2007).

Jenis kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suami pada istri saat

mengalami kehamilan adalah sebagai berikut:

1. Kekerasan fisik

Kekerasan dalam rumah tangga dapat berupa penganiayaan fisik ibu hamil

dengan bentuk yang bermacam-macam yaitu dengan cara melukai, menyiksa,

menganiaya ibu hamil menggunakan anggota tubuh pelaku (tangan atau kaki)

mulai dari pukulan, jambakan rambut, cubitan, mendorong secara kasar,

penginjakan, pelemparan, cekikan, tamparan, tendangan, sampai penyiksaan

dengan menggunakan alat seperti pentungan, gagang sapu, pisau, ban mobil,

setrika, sundutan rokok, siraman air keras, dan lain-lain. Tindakan tersebut dapat

mengakibatkan rasa sakit, luka ringan sampai luka berat, kecacatan, mengalami

komplikasi kehamilan, kerusakan pada daerah alat kelamin istri, keguguran,

pendarahan, bahkan ibu hamil dapat meninggal dunia.

2. Kekerasan psikologis

Tindakan kekerasan yang dilakukan dengan menyerang wilayah psikologis

korban, bertujuan untuk merendahkan harga diri seorang istri baik melalui

kata-kata maupun perbuatan seperti mengumpat, membentak dengan kata-kata-kata-kata kasar,

menghina, mengancam. Tindakan tersebut mengakibatkan ibu hamil menjadi

ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, ibu hamil mengalami depresi, stres,

hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan penderitaan psikis

(36)

3. Kekerasan seksual

Penganiayaan atau penyerangan seksual oleh suami pada istri yang sedang hamil

dengan cara memaksa hubungan seksual pada saat ibu hamil tidak menginginkan

berhubungan seksual dengan suami. Suami memaksa dengan mengancam istri

pada saat hamil (terutama pada saat hamil trimester II atau III) agar mau melayani

kebutuhan seksual suami setiap saat. Kekerasan seksual dengan pemaksaan

seringkali hanya memuaskan suami sedangkan istri lebih banyak mengalami

penderitaan dengan kondisi perut yang membesar.

4. Kekerasan sosial dan ekonomi

Tindakan kekerasan dilakukan oleh suami dengan cara membuat istri tergantung

secara ekonomi selama kehamilan, atau suami tidak memberikan nafkah lahiriah

kepada istri yang sedang hamil, tidak memberikan kebutuhan selama ibu hamil

seperti susu ibu hamil, makanan yang bergizi bagi ibu hamil, suami mengontrol

atau mengawasi penggunaan uang oleh istri selama kehamilan, suami membatasi

pengeluaran yang wajib dibeli setiap bulan, mengisolasi istri dari kehidupan sosial

(masyarakat) karena suami takut perbuatannya terbongkar oleh orang lain,

melarang istri mengikuti kegiatan-kegiatan kemasyarakatan di lingkungan rumah,

suami tidak mendukung atau melarang istri untuk melakukan pemeriksaan selama

kehamilan ke tenaga kesehatan, menelantarkan istri dengan tidak mencukupi

(37)

2.2. Interaksi Ibu Korban KDRT dengan Bayi yang Dilahirkan

Kekerasan suami pada istri selama kehamilan cenderung meningkat dengan

berbagai alasan seperti: stres biopsikososial (stres yang dipicu oleh hukum relasi

dengan orang lain dan akibat situasi sosial lainnya) selama kehamilan mengganggu

hubungan dan kemampuan koping, frustasi dan akhirnya melakukan kekerasan;

suami cemburu dengan janin yang dikandung pasangannya dan menjadikan pasangan

sebagai sasaran kemarahan; marah pada janin yang belum lahir atau pada

pasangannya; kekerasan dilakukan suami karena bingung dan ingin mengakhiri

kehamilan pasangannya. Hal tersebut akan berdampak negatif pada istri seperti istri

mengalami depresi pada masa nifas (Handayani, 2006).

Depresi masa nifas merupakan keadaan yang sangat serius, karena pada masa

ini ibu harus memerlukan istirahat dan dukungan dari orang-orang di sekitarnya.

Biasanya penyebab depresi masa nifas yaitu berhubungan dengan kesibukan ibu

mengurus anak yang lain sebelum melahirkan anaknya, pengalaman ibu selama masa

kehamilan seperti perbuatan suami yang kurang baik pada ibu selama masa

kehamilan dengan perilaku kekerasan. Gejala-gejala psikis dari ibu yang mengalami

depresi yaitu tidak mau mengurus diri atau tidak mau mengurus bayinya, gampang

murung, mudah marah, dan terkadang mengalami halusinasi pendengaran (Pieter,

2011).

Distres emosi pada ibu pasca melahirkan akibat perlakuan tindakan kekerasan

pada masa kehamilan yang terus menerus terjadi akan menyebabkan risiko bunuh

(38)

dilahirkan (Handayani, 2006). Kekerasan pada bayi ini diawali pada masa bayi,

dimana pada saat bayi lahir, ibu mengalami perubahan fisik dan emosional, hal ini

dapat mengakibatkan ibu korban kekerasan pada saat hamil mengalami kesulitan

menjalin hubungan atau berinteraksi dengan bayinya. Ibu juga dapat menjadi pelaku

kekerasan pada bayinya jika tidak dapat memperbaiki hubungan dengan suaminya

(Lowdermilk, 2000).

Dampak perilaku maladaptif ibu postpartum akan memengaruhi interaksi ibu

dengan bayi, hal tersebut dapat menyebabkan kurangnya pemenuhan ASI bagi bayi

akibat ibu tidak mau menyusui bayinya, bayi tidak terawat, ditelantarkan, dibuang

bahkan ada yang secara sengaja dibunuh oleh ibunya sendiri. Melalaikan bayi dan

keengganan ibu dalam memberikan asuhan pada bayi berkaitan erat dengan adanya

kegelisahan, kecemasan dan penolakan ibu untuk dekat dengan bayinya. Kekerasan

dan penelantaran bayi dapat berdampak pada gangguan perkembangan antara lain

kondisi gagal tumbuh tanpa penyakit organik, mudah terserang penyakit, atau muncul

masalah emosional (Handayani, 2006).

Kekerasan terhadap istri juga berdampak bagi anak-anaknya. Bagi yang masih

bayi, besar kemungkinan ia tidak lagi akan dapat merasakan nikmatnya air susu ibu

(ASI), sebab stress akan membuat produksi ASI berkurang bahkan berhenti. Belum

lagi dengan melemahnya kemampuan menguasai diri, baik dari suami maupun istri

akan membuka kemungkinan mereka bertindak kejam terhadap anak. Kondisi ini

tentu tidak baik bagi anak, karena akan membuat mereka trauma baik fisik maupun

(39)

ngompol, gelisah, gagap, sering menderita gangguan perut, sakit kepala, asma, kejam

pada binatang, suka memukul teman, dan sebagainya (Adiningsih, 2005).

2.3. Kerangka Berfikir

Tindakan kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri merupakan salah satu

bentuk kekerasan yang seringkali terjadi pada perempuan dan terjadi di balik pintu

tertutup. Tindakan ini seringkali dikaitkan dengan penyiksaan baik fisik maupun

psikis yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan yang dekat. Tindak

kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga terjadi dikarenakan telah diyakini bahwa

masyarakat atau budaya yang mendominasi saat ini adalah patriarkhi, dimana

laki-laki adalah superior dan perempuan inferior sehingga laki-laki-laki-laki dibenarkan untuk

menguasai dan mengontrol perempuan.

Efek psikologis kekerasan atau penganiayaan suami bagi banyak

perempuan atau istri lebih parah dibanding efek fisiknya. Rasa takut, cemas, letih,

kelainan stress post traumatic, serta gangguan makan dan tidur merupakan reaksi

panjang dari tindak kekerasan. Namun, tidak jarang akibat tindak kekerasan

terhadap istri juga mengakibatkan kesehatan reproduksi terganggu secara biologis

yang pada akhirnya meng-akibatkan terganggunya secara sosiologis. Istri yang

teraniaya sering mengisolasi diri dan menarik diri karena berusaha

menyembunyikan bukti penganiayaan mereka.

Menurut undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

(40)

dalam rumah tangga yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikologis/emosional, kekerasan

seksual, dan kekerasan ekonomi. Menurut Widyastuti (2009), banyak kasus terjadi

kekerasan psikis berupa makian, hinaan (ungkapan verbal) sering berkembang

menjadi kekerasan fisik. Pada awalnya mungkin belum terjadi, tetapi

ketidak-sengajaan pria kemudian berlanjut pada tindakan kekerasan fisik secara nyata yang

akan membuat istri menderita.

Dampak kekerasan rumah tangga pada kesehatan reproduksi ibu yaitu perempuan

terganggu kesehatan reproduksinya bila pada saat tidak hamil maka dapat mengalami

gangguan menstruasi seperti menorrhagia, hipomenorrhagia atau metrorhagia bahkan

wanita dapat mengalami menopause yang terjadi lebih awal, dapat mengalami penurunan

libido, ketidakmampuan mendapatkan orgasme, akibat tindak kekerasan yang dialaminya

(Sutrisminah, 2012). Sedangkan jika terjadi pada masa kehamilan dapat mengakibatkan

abortus/keguguran, abratio placenta/ari-ari terlepas dari rahim sebelum persalinan,

persalinan prematur, janin mengalami kecacatan, kematian janin dalam kandungan

(Nggelan, 2009).

Kekerasan suami pada istri akan berdampak pada interaksi ibu dengan bayi

yang dilahirkannya. Dampak tersebut diawali pada masa bayi, dimana pada saat bayi

lahir ibu mengalami perubahan fisik dan emosional, hal ini dapat mengakibatkan ibu

korban kekerasan pada saat hamil mengalami kesulitan menjalin hubungan atau

berinteraksi dengan bayinya. Ibu juga dapat menjadi pelaku kekerasan pada bayinya

jika tidak dapat memperbaiki hubungan dengan suaminya. Hal tersebut juga akan

(41)

bayinya, bayi tidak terawat, ditelantarkan, dibuang bahkan ada yang secara sengaja

dibunuh oleh ibunya sendiri (Lowdermilk, 2000).

[image:41.612.114.527.171.604.2]

0

Gambar 2.2. Kerangka Teori (Lowdermilk, 2000)

Bentuk kekerasan menurut UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT):

1. Kekerasan fisik,

2. Kekerasan psikologis/

emosional,

3. Kekerasan seksual, dan

4. Kekerasan ekonomi

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Suami pada istri)

Kesehatan Reproduksi

Hamil Tidak Hamil

• gangguan menstruasi

seperti menorrhagia,

hipomenorrhagia

atau metrorhagia

• mengalami

menopause dini,

• penurunan libido,

•ketidakmampuan

orgasme

Interaksi Ibu-bayi

• abortus/keguguran,

• persalinan prematur,

• janin mengalami

kecacatan,

• kematian janin dalam

kandungan,

• abratio

placenta/ari-ari terlepas dplacenta/ari-ari rahim sebelum persalinan.

• bayi ditelantarkan

(child abuse)

• bayi dibuang

• bayi dibunuh oleh

ibunya sendiri

• bayi tidak terawat,

• bayi tidak diberi ASI

• Fisik : menganiaya,

memukul, meninjau, menampar, menjambak, menendang, mencubit, menyiram, dan lain-lain.

• Psikologis : cacian, makian,

hinaan, celaan, mengumpat, membentuk, menuduh, dan lain-lain.

• Seksual: pemaksaan

hubungan seksual.

• Ekonomi: mengawasi/

(42)

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Dalam penelitian studi kasus berusaha

memperoleh pemahaman yang utuh dan terintegrasi mengenai berbagai fakta dan

dimensi dari suatu kasus. Di samping itu dengan studi kasus dapat mengantar

peneliti memasuki unit-unit sosial terkecil dalam masyarakat (Notoatmodjo, 2010).

Dalam hal ini peneliti menggunakan studi kualitatif karena peneliti ingin

menggali realita yang sebenarnya belum tentu tergali bila dengan hanya

menggunakan angket atau studi kuantitatif. Penelitian ini akan menggali apa

penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, bentuk kekerasan yang

dilakukan oleh suami, apa yang dirasakan ibu setelah mendapatkan perlakuan

kekerasan dari suami baik secara fisik maupun psikologis, dan dampak yang

dirasakan ibu dalam berinteraksi atau berhubungan dengan bayi yang dilahirkan.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Kisaran Kabupaten Asahan. Alasan pemilihan

lokasi ini karena terjadi peningkatan jumlah kasus-kasus kekerasan selama tahun

(43)

istri maupun pada istri yang sedang mengalami kehamilan. Belum pernah dilakukan

penelitian sebelumnya dengan judul yang sama dengan penelitian ini.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan dari bulan Desember 2013 sampai dengan bulan April

2014.

3.3 Informan Penelitian

Pada penelitian kualitatif, Sarantakos menekankan bahwa banyaknya jumlah

sampel bukan menjadi prioritas utama, untuk menjamin tingginya akurasi, validitas

dan keberhasilan dalam penelitian kualitatif (Poerwandari, 2005).

Sampel penelitian merupakan individu-individu yang akan menjadi fokus

yang diamati dari suatu penelitian. Sesuai dengan judul penelitian yaitu kekerasan

dalam rumah tangga (KDRT) pada istri yang mengalami kehamilan dan dampaknya

terhadap interaksi ibu dan bayi maka yang menjadi subyek penelitian adalah ibu

pasca melahirkan yang pernah mendapatkan kekerasan selama masa kehamilan oleh

suaminya.

Dalam penelitian ini teknik sampling yang dipakai adalah sampel bola salju

(snowball sampling) yang merupakan bagian dari nonprobability sampling.

Nonprobability yaitu teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang/

kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi

sampel. Snowball sampling yaitu teknik pengambilan sampel sumber data yang pada

(44)

Sampel dalam penelitian ini yaitu ibu yang mendapatkan kekerasan dalam

rumah tangga (KDRT) selama masa kehamilan, ibu yang sudah melahirkan dan

memiliki bayi, petugas kesehatan (bidan) yang menangani kehamilan dan persalinan

ibu, anggota keluarga yang mengetahui kejadian kekerasan dalam rumah tangga, dan

tokoh masyarakat.

Dari subyek ini sudah mewakili dan memenuhi kriteria dari masalah-masalah

yang peneliti rumuskan. Selain itu metode dalam melakukan penelitian ini dapat

menjabarkan semua temuan-temuan selama peneliti melakukan penelitian di lapangan

sehingga didapat hasil penelitian yang mendalam dan memenuhi dari batasan-batasan

masalah yang disajikan.

3.3.1. Syarat Informan

Dalam menentukan atau menetapkan informan diperlukan syarat–syarat dari

informan penelitian. Adapun syarat-syarat dari informan adalah :

1. Mengalami kekerasan dalam rumah tangga pada masa kehamilan.

2. Memiliki bayi yang hidup setelah melahirkan.

3. Tinggal bersama dengan bayi.

4. Memiliki kemampuan menceritakan kembali pengalaman tentang kasus kekerasan

dalam rumah tangga yang terjadi pada masa kehamilan.

5. Memiliki kondisi emosional dan penyesuaian diri yang positif dalam kehidupan

(45)

6. Orang yang dekat dengan informan dan mengetahui kehidupan sehari-hari dan

sosial kemasyarakatan (tokoh masyarakat) serta memahami kondisi kesehatan

reproduksi informan (tenaga kesehatan/bidan).

7. Bersedia diwawancarai dan memiliki kemauan untuk memberikan informasi sesuai

dengan tema penelitian.

3.3.2 Proses Penelusuran Informan

Dalam penelusuran informan dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki

bayi dan pernah mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga pada masa kehamilan.

Dari 35 orang ibu yang mengalami kekerasan pada masa kehamilan dari bulan

Januari-Nopember 2013 peneliti memilih informan dalam penelitian ini yang sesuai

dengan kriteria yang dianggap sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam

penelitian ini.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Sesuai dengan pendekatan penelitian, maka instrument yang digunakan untuk

mengumpulkan data adalah peneliti sendiri. Peneliti sebagai key instrument atau alat

penelitian yang utama (Moeloeng, 2005). Menurut Lincoln, keberadaan peneliti

sebagai key instrument memberikan keuntungan, karena sifat peneliti yang responsif

dan adaptable. Sebagai key instrument, kehadiran dan keterlibatan peneliti di

lapangan lebih memungkinkan untuk menemukan makna dan tafsiran dari subyek

penelitian dibandingkan dengan penggunaan alat non human (seperti instrument

(46)

pengecekan pada subyek apabila informasinya kurang atau tidak sesuai dengan

tafsiran peneliti melalui pengecekan anggota / membercheks.

Peneliti hadir tanpa berperan serta dan tidak melakukan intervensi apapun

terhadap peristiwa yang akan diungkap. Wawancara dilakukan dalam situasi

informal. Dengan demikian fenomena yang terjadi adalah asli (natural). Dalam

pengumpulan data lebih banyak bergantung pada diri peneliti sendiri sebagai alat

pengumpul data. Yang berarti bahwa penelitian harus dapat mengungkapkan makna,

berinteraksi dengan nilai-nilai lokal dimana hal ini tidak bisa dilakukan dengan

kuesioner, angket, atau yang lainnya. Oleh karena itu, kehadiran peneliti di lokasi

penelitian mutlak diperlukan sesuai dengan prinsip-prinsip penelitian kualitatif yaitu

peneliti harus dapat menciptakan hubungan yang baik dengan subyek penelitian.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) instrumen utama

adalah peneliti. Hal ini dikarenakan kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif

adalah sebagai perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis, penafsir data dan

pada akhirnya ia menjadi pelapor hasil penelitiannya, (2) kamera digital sebagai alat

bantu, (3) perekam digital, dan (4) beberapa alat tulis (Moeloeng, 2005).

3.5. Pengumpulan dan Keabsahan Data

Antara pengumpulan dan keabsahan data tidak dilakukan secara terpisah,

melainkan berjalan bersamaan dan berproses secara simultan. Untuk itu peneliti

mengambil teknik triangulasi dalam proses pengambilan data. Metode triangulasi

(47)

fenomena sosial dan fenomena psikologi tidaklah cukup menggunakan satu metode

saja (Moeloeng, 2005).

Triangulasi mengacu pada upaya mengambil sumber-sumber data yang

berbeda untuk menjelaskan suatu masalah. Selanjutnya Marshall dan Rossman

mengungkapkan bahwa data tersebut dapat digunakan untuk mengelaborasi dan

memperkaya penelitian, selain itu dengan data tersebut peneliti akan dapat

menguatkan derajat manfaat studi pada situasi-situasi yang berbeda (Poerwandari,

2005).

Pada penelitian ini triangulasi data dilaksanakan pada praktik wawancara dan

observasi. Misalkan dalam wawancara awal telah diperoleh suatu data, maka

selanjutnya dari data tersebut akan dijadikan pijakan bagi wawancara selanjutnya,

tentunya setelah melakukan sedikit kajian terhadapnya (data yang telah diperoleh),

dan untuk memperkuatnya bisa dibantu dengan data observasi.

Lebih jauh proses pengumpulan data melalui observasi dan wawancara dapat

dipaparkan di bawah ini:

1. Observasi

Mengutip dari pendapat Guba dan Lincoln teknik pengamatan memberikan

kesempatan kepada peneliti untuk melihat dan mengamati sendiri peristiwa yang

ingin diteliti dan mencatat segala kejadian sesuai dengan situasi yang sebenarnya

(Moeloeng, 2005).

Adapun acuan yang di jadikan peneliti untuk melakukan observasi, terdapat

(48)

ini adalah dengan menggunakan check list. Check list adalah suatu daftar yang

berisi nama subyek dan faktor-faktor yang hendak diselidiki. Check list

dimaksudkan untuk mensistematiskan catatan observasi (Moeloeng, 2005).

Peneliti menggunakan observasi (pengamatan) sehingga peneliti akan

memperoleh informasi yang lebih valid. Peneliti bisa melihat keadaan subyek

secara langsung dan menguatkan informasi yang telah diberikan melalui

pengumpulan data yang lain. Observasi dilakukan saat subyek beraktivitas

sepanjang hari. Selain mengobservasi subjek penelitian, peneliti juga

mengobservasi keadaan tempat tinggal, hubungan dengan anggota keluarga lain,

dan mengobservasi perilaku subjek saat diwawancarai.

Teknik observasi adalah pengamatan yang dilakukan untuk memperoleh

informasi tentang kelakuan manusia seperti terjadi dalam pengakuan. Menurut

Sutrisno (2008) observasi adalah suatu metode yang digunakan untuk

mengumpulkan data dengan cara mengadakan pengamatan dan pencatatan secara

sistematis terhadap kenyataan-kenyataan yang diselidiki.

Menurut Arikunto (2010) metode observasi adalah kegiatan pemusatan

perhatian terhadap suatu obyek dengan menggunakan seluruh alat indera. Jadi

observasi dapat dilakukan melalui penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba

dan pengecap.

Peran serta yang dilakukan peneliti dalam melakukan pengamatan di

lapangan adalah dalam tahap pasif. Peneliti hadir dalam pelaksanaan

(49)

sebagai anggota pura-pura, jadi tidak melebur dalam arti sesungguhnya. Peranan

demikian masih membatasi para subyek menyerahkan dan memberikan informasi

terutama yang bersifat rahasia (Moeloeng, 2005).

2. Wawancara

Cara ini merupakan tahapan yang dilalui peneliti untuk mendapatkan data

primer dari informan sesuai dengan kajian atau fokus penelitian. Peneliti

berpedoman pada batasan-batasan dari rumusan masalah. Adapun acuan yang di

jadikan peneliti untuk melakukan wawancara, terdapat pada lampiran laporan

penelitian. Wawancara sendiri dilakukan secara mendalam (in depth-interview).

Untuk dapat melakukan wawancara secara mendalam, peneliti melakukannya

dengan beberapa tahapan, yaitu wawancara yang dilakukan beberapa kali terhadap

satu subyek. Dari hasil wawancara pertama nantinya menjadi pedoman

wawancara kedua dan akan begitu seterusnya, sampai data yang diperoleh cukup

relevan dengan tujuan penelitian. wawancara secara berkala tersebut selain untuk

memperjelas dan menambah informasi data, juga sebagai metode untuk

memperoleh keabsahan data atau tidak lain sebagai teknik triangulasi itu sendiri.

Kedua metode tersebut, digunakan secara simultan agar data yang didapatkan

bisa saling mendukung dan sinergis. Hal itu merupakan triangulasi data yakni sampai

seberapa jauh temuan dari lapangan benar-benar representatif. Untuk memperoleh

data yang representatif, maka selalu dilakukan perbandingan antara hasil wawancara

dengan observasi, hasil wawancara satu dengan yang lainnya, dan hasil observasi satu

(50)

Selain dari teknik triangulasi yang dilakukan dalam proses pengambilan data,

peneliti juga melakukan peer debrifing terhadap data yang mendiskusikan hasil kajian

dengan orang lain yang tentunya mempunyai pengetahuan tentang pokok penelitian

dan metode penelitian yang diterapkan, seperti dengan pembimbing ataupun orang

lain yang berkompeten. Secara lebih lanjut keabsahan data akan diperoleh dari proses

data yang dilakukan. Informan yang dipilih adalah informan yang mempunyai

pengetahuan, mendalami situasi, dan lebih mengetahui informasi yang diperlukan.

3.6. Metode Analisis Data

Metode yang digunakan untuk menganalisis data yang telah terkumpul dari

lapangan adalah metode kualitatif yaitu menginterprestasikan data yang telah

diperoleh ke dalam bentuk kalimat-kalimat dengan menggunakan langkah-langkah

sebagaimana diuraikan oleh Mathew B. Miles dan Michael A Huberman (1992)

sebagai berikut:

1) Pengumpulan data lapangan

Untuk memperoleh data dari lapangan, dilakukan kegiatan observasi dan

wawancara, kemudian dalam pengumpulan data tersebut dilaksanakan kegiatan

triangulasi.

2) Reduksi Data

Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian dan penyederhanaan,

(51)

di lapangan. Reduksi data bukanlah suatu hal yang terpisah dari analisis data

lapangan.

3) Penyajian data

Penyajian data diartikan sebagai kegiatan untuk menyusun informasi yang

memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

Dengan penarikan data akan dipahami apa yang terjadi, apa yang harus dilakukan

dan lebih jauh lagi menganalisis atau mengambil tindakan berdasarkan atas

pemahaman yang didapat dari penyajian-penyajian tersebut.

4) Penarikan kesimpulan

Langkah ini menyangkut interpretasi penelitian yaitu menggambarkan maksud

dari data yang ditampilkan. Cakupan dari cara yang dipergunakan sangat beragam

mulai dari perbedaan dan pembandingan yang tipologis dan meluas, pencatatan

(52)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Kota Kisaran merupakan ibukota Kabupaten Asahan, berjarak ±160 km

dari ibukota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota kisaran terbagi menjadi dua

kecamatan yaitu Kecamatan Kota Kisaran Timur dan Kecamatan Kota Kisaran

Barat. Kota Kisaran selain dilintasi oleh jalan raya lintas Sumatera yang terletak

di jalur kereta api Sumatera bagian utara. Batas-batas wilayah kota Kisaran

yaitu:

1. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Simpang empat

2. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Airbatu

3. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Aek Kuasan.

4. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Airjoman

Dengan mempertimbangkan posisi yang strategis, pada tanggal 20 Mei

1968 melalui PP Nomor 19 tahun 1980, ibukota Kabupaten Asahan dipindahkan

dari Kota Tanjungbalai ke Kota Kisaran. Status Kisaran sebelumnya adalah kota

administratif, yang kemudian dihapuskan menjadi kea biasa pada tahun 2003

karena tidak memenuhi persyaratan peningkatan daerah.

Luas wilayah kisaran berkisar 462.441 Ha jumlah penduduk 118.750 jiwa,

berasal dari salah satu kota yang bernama Asahan. Ciri khas dari wilayah kisaran

(53)

merupakan daerah penghasil kerang. Wilayahnya terbagi dalam dua wilayah yakni

Kecamatan Kota Kisaran Timur, dan Kecamatan Kota Kisaran Barat.

Penduduk Kota Kisaran pada umumnya sebagian besar penduduk kota

kisaran adalah berprofesi sebagai wiraswasta, pedagang, pegawai negeri sipil,

buruh, karyawan, pegawai swasta, dan lain-lain. Luas wilayah yang ada di wilayah

Kota Kisaran diantaranya adalah perumahan dan wilayah pasar, lapangan, stasiun

angkatan, dan lain-lain.

Sarana dan prasarana yang ada di Kota Kisaran ada beberapa tempat fasilitas

olah raga, gedung pertemuan yang ada pada yang ada di Kota K

Gambar

Gambar 2.1. Siklus Kekerasan
Gambar 2.2. Kerangka Teori (Lowdermilk, 2000)
Tabel 4.1  Karakteristik Subjek Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Dari arah taman, dia ngeliat * ke dapur, dan melihat wajan yang ditinggal. * Miranda masuk ke

Kesimpulan dari penelitian ini adalah deskripsi HOTS peserta didik setalah diterapkannya model PBL yaitu: (1) HOTS peserta didik berada di bawah rata-rata tingkat standar

Metode yang digunakan dalam melakukan konversi adalah dengan melihat konfigurasi pesawat yang beroperasi di bandara Djalaluddin Gorontalo mulai dari kapasitas penumpang

Konsentrasi yang digunakan dalam pengujian ini adalah 20%, 40%, 60%, 80% dan 100% dimana pada konsentrasi tersebut hasil zona hambat ekstrak aur bunga dan daun kecombrang

• Pengembangan ilmu terkait tujuan dan tindakan dalam proses keperawatan akan muncul, jika cara pembuatan tujuan dan intervensi memiliki pendekatan dan cara pandang yg sama..

Selain hal tersebut selalu tingkatkan kualitas penilaian kredit yang sesuai dengan aturan yang berlaku, karena semakin sesuai dengan aturan, maka pembiayaan bermasalah akan

warna merupakan ciri yang paling baik digunakan dalam pengelompokan pola.. batik Yogyakarta dengan akurasi sebesar 60% pada 5 kali

Intisari--- Bengkel bubut adalah salah satu unit usaha jasa yang bergerak dalam bidang otomotif dan berkembang dengan baik. Sebagian besar pengusaha bengkel bubut masih