DAMPAK PSIKOLOGIS PADA IBU YANG MENGALAMI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) PADA MASA KEHAMILAN
DI KOTA KISARAN TAHUN 2014
TESIS
Oleh
FIFI RIA NINGSIH SAFARI 127032053/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
DAMPAK PSIKOLOGIS PADA IBU YANG MENGALAMI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) PADA MASA KEHAMILAN
DI KOTA KISARAN TAHUN 2014
THESIS
By
FIFI RIA NINGSIH SAFARI 127032053/IKM
MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH
UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN
DAMPAK PSIKOLOGIS PADA IBU YANG MENGALAMI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) PADA MASA KEHAMILAN
DI KOTA KISARAN TAHUN 2014
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Kesehatan Reproduksi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh
FIFI RIA NINGSIH SAFARI 127032053/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : DAMPAK PSIKOLOGIS PADA IBU YANG MENGALAMI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) PADA MASA KEHAMILAN DI KOTA KISARAN TAHUN 2014
Nama Mahasiswa : Fifi Ria Ningsih Safari Nomor Induk Mahasiswa : 127032053
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi : Kesehatan Reproduksi
Menyetujui Komisi Pembimbing
(dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D) (dr. Yusniwarti Yusad, M.Si
Ketua Anggota
)
Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
Telah diuji
Pada Tanggal : 06 Agustus 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : dr. Rahayu Lubis, M.Kes, Ph.D Anggota : 1. Dr. Yusniwarti Yusad, M.Si
PERNYATAAN
DAMPAK PSIKOLOGIS PADA IBU YANG MENGALAMI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) PADA MASA KEHAMILAN
DI KOTA KISARAN TAHUN 2014
T E S I S
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Oktober 2014
ABSTRAK
Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau Domestic Violence setiap tahun terus mengalami peningkatan. Data dari Polres Asahan juga menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga pada ibu selama 5 tahun terakhir sebanyak 197 kasus dan kasus KDRT pada ibu saat hamil sebanyak 93 kasus (47,2%). Terjadinya kekerasan pada masa kehamilan diduga akan berpengaruh terhadap pola interaksi ibu dan bayi.
Jenis penelitian ini adalah kualitatif menggunakan pendekatan studi kasus yang bertujuan untuk menggali realita pola interaksi ibu dan bayi yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga pada masa kehamilan. Penelitian dilaksanakan di kota Kisaran. Subjek penelitian sebanyak 3 orang diperoleh dengan teknik snowballing sampling. Analisis data dilakukan dengan pengumpulan data lapangan, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan kekerasan dalam rumah tangga yang dialami istri yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual, kekerasan ekonomi. Penyebab terjadinya KDRT karena pengaruh mabuk-mabukan, kalah bermain judi, selingkuh, ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Dampak KDRT pada kesehatan reproduksi yang dialami istri yaitu terjadinya perdarahan pada saat hamil, keputihan setelah melahirkan, dan menstruasi yang tidak teratur. Dampak psikologis yang dialami istri akibat KDRT yaitu menangis di kamar, merasa menjadi orang yang tidak berguna, malas makan, malas mandi, malas berhias, pasrah, menyesali keadaan, kabur dari rumah, depresi dan mencoba bunuh diri. Interaksi yang terjalin antara ibu dan bayi yaitu menyayangi bayinya tetapi jika kesal dengan bayinya maka bayinya dicubit, dan ada juga ibu yang tidak ingin mengaitkan perilaku suaminya dengan bayinya..
Saran kepada tenaga kesehatan untuk emberikan edukasi kepada masyarakat terutama kepada ibu rumah tangga tentang jenis-jenis kekerasan dalam rumah tangga yang dapat dilaporkan pada pihak yang berwenang, juga memberikan informasi yang tepat cara melakukan menanggulangi kasus KDRT.
ABSTRACT
The case of Domestic Violence keeps increasing from year to year. The data obtained from Asahan Resort Police also showed that the number of domestic violence cases on the mothers for the past five years was 197 and on the pregnant mothers was 93 cases (47.2%). The domestic violence occured during pregnancy is suspected to have influence on pattern of mother-fetus interaction.
The purpose of this qualitative study with case study approach conducted in the City of Kisaran was to explore the reality of the impact of domestic violence on the pregnant mothers. The subject of study was 3 pregnant mothers selected through snowballing sampling technique. The analysis of study was carried out through the processes of data collection in the field, data reduction, data presentation and drawing conclusion.
The result of study showed that domestic violence experienced by the wives were physical violence, psychological violence, sexual violence and economic violence. The incident of this domestic violence was due to the effect of drunkenness, gambling loss, having an affair, inability to meet the needs of daily life. The impact of domestic violence on the reproductive health experienced by the wife was bleeding during pregnancy, postpartum vaginal discharge, and irregular periods. The psychological impact domestic violence experienced by the wives was crying in the room, feeling to be useless, lazy to eat, lazy to take a shower, lazy to beautify herself, feeling resigned, regretting the current condition, running away from home, feeling depressed and attempting to commit suicide.
The health workers are suggested to provide education to the community members particularly the housewives about the kinds of domestic violence that can be reported to the authorities, also to provide the right information on how to prevent the case of domestic violence.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kecenderungan meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga atau
KDRT baik fisik, psikis, seksual maupun ekonomi seringkali lebih berkisar hanya
sebagai isu baik dalam pembicaraan maupun berita dalam media massa. Penanganan
sampai tuntas apa lagi sampai pada tahap proses penuntutan dan kemudian mengadili
pelakunya, terbentur pada adanya berbagai kendala, baik yang berasal dari aparat
yang berwenang menangani maupun situasi dan kondisi masyarakat dimana kasus
tersebut terjadi. Biasanya keadaan akan menjadi kompleks dan rumit jika kasusnya
terjadi sekitar ruang lingkup keluarganya sendiri (Rodiyah, 2012).
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau Domestic Violence juga
dikenal sebagai tindakan pemukulan terhadap istri, penyiksaan terhadap istri,
penyiksaan terhadap pasangan, kekerasan dalam perkawinan atau kekerasan dalam
keluarga. Bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terbanyak kejadiannya adalah
penyiksaan terhadap istri atau tepatnya penyiksaan terhadap perempuan dalam relasi
hubungan intim yang mengarah pada sistematika kekuasaan dan kontrol, dimana
penyiksa berupaya untuk menerapkannya terhadap istrinya atau pasangan intimnya
melalui penyiksaan secara fisik, emosi, sosial, seksual dan ekonomi (Kolibonso,
Sekitar 30%-40% wanita dibunuh dan mati oleh pasangan intimnya atau oleh
mantan pasangannya di Amerika Serikat. Sekitar 25%-45% wanita korban kekerasan
ini berada dalam kondisi hamil. Kekerasan selama kehamilan cenderung meningkat
dengan alasan: stres biopsikososial selama kehamilan mengganggu hubungan dan
kemampuan koping, frustasi dan akhirnya melakukan kekerasan; suami cemburu
dengan janin yang dikandung pasangannya dan menjadikan pasangan sebagai sasaran
kemarahan; marah pada janin yang belum lahir atau pada pasangannya; kekerasan
dilakukan suami karena bingung dan ingin mengakhiri kehamilan pasangannya
(Handayani, 2006).
Laporan WHO pada tahun 2002 menunjukkan bahwa kualitas kesehatan
perempuan menurun drastis akibat kekerasan yang dialaminya. Kematian wanita
mencapai antara 40-70% akibat pembunuhan yang dilakukan pasangan atau mantan
pasangannya. Di Amerika Serikat, KDRT merupakan bahaya terbesar bagi
perempuan dibandingkan perampokan dan pencurian. Data statistik menunjukkan
bahwa setiap 9 menit perempuan menjadi korban kekerasan fisik dan 25% perempuan
terbunuh oleh pasangannya. Sebuah riset di Canada menunjukkan bahwa setidaknya
terdapat 1 dari 10 perempuan yang berumah tangga mendapatkan kekerasan dari
pasangannya (Elli N, 2002, dalam Sonda, 2010).
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau disebut Komnas
Perempuan dijumpai adanya 22.512 kasus kekerasan terhadap perempuan yang
dilayani oleh 258 lembaga di 32 propinsi di Indonesia (74%) pada tahun 2006.
Jawa tengah (4.878 kasus). Data tahun 2007, Mitra Perempuan Women’s Crisis
Centre (WCC) menjumpai 87% dari perempuan korban kekerasan yang mengakses
layanan WCC mengalami KDRT, yang terbanyak (82,75%) dilakukan oleh suami dan
mantan suaminya (82,75%). Fakta tersebut juga menunjukkan 9 dari 10 perempuan
korban kekerasan yang didampingi WCC mengalami gangguan jiwa, 12 orang pernah
mencoba bunuh diri; dan 13,12% dari mereka menderita gangguan kesehatan
reproduksinya (Kolibonso, 2010).
Berdasarkan studi pendahuluan yang diperoleh data dari Polres Asahan (kota
Kisaran, Air Joman, Bandar Pulau, Lima Puluh, Medang Deras, dan Pulau Raja)
KDRT pada ibu-ibu terus mengalami peningkatan. Sejak tahun 2008 sampai dengan
Nopember 2013 (197 kasus). Dimana pada tahun 2008 jumlah kasus KDRT yang
dilaporkan sebanyak 12 kasus, tahun 2009 menjadi 17 kasus, tahun 2010 sebanyak 22
kasus, tahun 2011 sebanyak 43 kasus, tahun 2012 meningkat menjadi 51 kasus dan
tahun 2013 (Januari-Nopember 2013) menjadi 52 kasus. Data selengkapnya dapat
dilihat pada lampiran 1. (Polres Asahan, 2013).
Data dari Polres Asahan juga menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan
dalam rumah tangga pada ibu selama 5 tahun terakhir sebanyak 197 kasus dan kasus
KDRT pada ibu saat hamil sebanyak 93 kasus (47,2%). Angka tertinggi kasus
kekerasan tersebut terjadi di Kota Kisaran sebanyak 90 kasus dan kasus KDRT pada
ibu hamil sebanyak 35 kasus (38,8%). Jenis kekerasan fisik yang sering dilakukan
wajah, menendang perut sehingga korban sering mengalami memar pada perut dan
pendarahan. Sedangkan kekerasan psikologis yang diterima oleh ibu hamil dari
suaminya yaitu cacian, makian, hinaan, celaan, tuduhan selingkuh, dan lain-lain.
Ibu korban kekerasan selama hamil biasanya juga melakukan tindakan yang
merusak dirinya dan kandungannya misalnya merokok dan minum alkohol, sebagai
salah satu cara (koping) yang dipilihnya untuk mengurangi tekanan psikologis yang
dialaminya. Distres emosi ini juga terus menerus terjadi akan menyebabkan risiko
bunuh diri, tidak menginginkan kehamilan dan melakukan kekerasan pada anak
(Hakimi et.al, 2001, dalam Handayani, 2006).
Kekerasan pada ibu hamil dapat berdampak langsung maupun tidak langsung
pada ibu dan janinnya. Akibat langsung yang berdampak pada ibu adalah luka,
kecacatan fisik ibu, perdarahan, syok, meninggal dunia. Sedangkan akibat tidak
langsung pada ibu adalah: infeksi, infertilitas/kemandulan, meningkatnya kecemasan,
depresi, kondisi ibu menjadi lebih buruk (anemia ringan menjadi anemia berat, tidak
ada peningkatan berat badan bahkan berat badannya menurun, dan lain-lain) mungkin
ibu menjadi perokok, peminum alkohol, pengguna obat-obat terlarang, tidak ada
akses terhadap pelayanan kebidanan, adanya keinginan untuk mengakhiri kehidupan
janin/aborsi dan mengakhiri kehidupan dirinya/bunuh diri. Dampak pada janin adalah
dapat terjadi abortus/keguguran, abratio placenta/ari-ari terlepas dari rahim sebelum
persalinan, persalinan prematur, janin mengalami kecacatan, kematian janin dalam
Penelitian Sonda (2010) yang meneliti dampak kekerasan dalam rumah tangga
terhadap gangguan kesehatan reproduksi wanita di Rumah Sakit Bhayangkara
Makassar mendapatkan hasil bahwa terganggunya kesehatan reproduksi berupa
gangguan haid bukan akibat langsung KDRT, kekerasan fisik menyebabkan stres,
haid terlambat, gangguan perilaku berupa pasrah, tidak berdaya, ragu-ragu dalam
mengambil keputusan, gangguan psikis berupa rasa tertekan, stres berkepanjangan,
rasa malu, rendah diri, dan perceraian.
Dampak KDRT pada ibu hamil menyebabkan perilaku maladaptif ibu setelah
melahirkan yang memengaruhi interaksi ibu dan bayi seperti kurangnya pemenuhan
ASI bagi bayi akibat ibu tidak mau menyusui bayinya, bayi tidak terawat, bayi
ditelantarkan, dibuang bahkan ada yang secara sengaja dibunuh oleh ibunya sendiri.
Melalaikan bayi dan keengganan ibu dalam memberikan asuhan kepada bayi
berkaitan erat dengan kegelisahan, kecemasan dan penolakan ibu untuk dekat dengan
bayinya (Handayani, 2006).
Contoh kasus KDRT yang sempat menghebohkan terjadi di kawasan
Cilandak, Jakarta Selatan pada tanggal 24 Februari 2013. Seorang ibu rumah tangga
NI (24), yang sedang hamil mendapat perlakuan kasar dari suaminya. Peristiwa
tersebut terjadi pada pagi hari, saat keduanya terlibat pertengkaran hebat di rumah
mereka. Suaminya, PS, memutuskan untuk meninggalkan NI saat itu juga. Namun,
NI yang sedang hamil tua tidak ingin kehilangan suaminya. NI sempat meminta uang
agar bayi yang di kandungannya dilahirkan di rumah sakit. Bukan perhatian yang
pukulan di sekujur tubuhnya yaitu di kepala, di wajah, di tubuh, di kaki dan akibatnya
NI mengalami luka dan memar pada lutut kiri dan bengkak di bagian kepala kanan
(Santosa, 2013).
Kota Kisaran merupakan salah satu kota di wilayah Sumatera Utara yang
sedang berbenah dan tak luput dari globalisasi. Meningkatnya pembangunan di
wilayah tersebut tidak saja berefek positif pada peningkatan kesejahteraan masyarakat
tetapi juga berefek negatif terhadap kehidupan warga masyarakat yang tidak mampu
mengikuti perkembangan, sehingga menimbulkan stres terutama banyak terjadi pada
suami sebagai kepala rumah tangga yang harus memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Sebagai dampak stres tersebut, suami melampiaskan kekesalan kepada istri dan
mereka sering tidak memperhatikan kondisi istri yang sedang menjalankan tugas
reproduksi (istri sedang hamil). Kekerasan oleh suami pada istri tidak saja kekerasan
fisik tetapi sering kali juga dibarengi dengan kekerasan psikologis. Hal tersebut
menjadi tekanan tersendiri bagi istri yang berakibat istri tidak siap menerima
kehadiran bayi yang dikandungnya sehingga tidak mampu melakukan interaksi
dengan baik.
Studi pendahuluan yang telah dilakukan di Kota Kisaran pada akhir bulan
Nopember 2013, dengan mewawancarai 2 orang ibu yang baru melahirkan (Ibu A dan
Ibu B) dan pernah mendapatkan perlakuan kekerasan dalam rumah tangga selama
masa kehamilan. Peneliti menanyakan bagaimana perlakuan yang diterima dari
suaminya saat kehamilan dan bagaimana perasaannya tentang anak yang dilahirkan
tidak manusiawi karena pada masa kehamilan dirinya mendapatkan perlakuan kasar
dari suaminya yaitu ditampar, dipukul, ditendang, dihina, dicaci maki, direndahkan,
dan tidak diberi nafkah. Keduanya sangat membenci suaminya tersebut, tetapi
terhadap bayi atau anak yang dilahirkan mereka memiliki pandangan yang berbeda.
Ibu A cenderung bertambah sayang kepada anaknya karena merasa anaknya tidak
bersalah atas semua yang terjadi pada ibunya, sedangkan Ibu B. cenderung membenci
anak yang dilahirkan karena merasa anak tersebut adalah darah daging suaminya
yang akan menurunkan sifat buruknya sebagai seorang penganiaya. Kebencian Ibu B.
pada bayinya dilampiaskan dengan membiarkan anaknya menangis keras tanpa
segera ditolong, sering timbul perasaan gemas (geram) pada bayinya dengan
memukul bayi jika menangis terus menerus. Kadang Ibu B merasa menyesal telah
melakukan hal tersebut pada bayinya, tetapi jika mengingat perilaku suaminya saat
sedang hamil dirinya tidak kuasa membendung perasaannya tersebut, apalagi
suaminya kini jarang pulang di rumah, dan ketika pulang sering marah-marah.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan uraian dan data-data di atas penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul: “Pola Interaksi Ibu Dan Bayi yang mengalami Kekerasan
Meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada ibu hamil
menyebabkan ibu hamil dapat mengalami komplikasi yang membahayakan ibu dan
janin. Bahaya yang terjadi pada ibu tidak saja bahaya fisik tetapi juga goncangan jiwa
ibu hamil yang dapat mengganggu ikatan hubungan antara ibu dan bayi setelah
melahirkan. Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana pola interaksi ibu dan bayi
yang mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada masa kehamilan di
Kota Kisaran tahun 2014.
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk menganalisis pola interaksi ibu dan bayi yang mengalami Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada masa kehamilan di Kota Kisaran tahun 2014.
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Secara teoritis
Secara teoritis hasil penelitian diharapkan dapat menjadi sumbangan teoritik
bagi ilmu kesehatan masyarakat dan memperkaya khasanah kesehatan
reproduksi tentang kekerasan rumah tangga pada ibu hamil dan dampaknya
pada bayi yang dilahirkan.
1.5.2. Secara praktis
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data dasar untuk penelitian
berikutnya terutama yang berhubungan dengan KDRT dan interaksi ibu-bayi
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) 2.1.1. Pengertian
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23/2004 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), yang dimaksud dengan
kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan
dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan
melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) adalah setiap perbuatan pada
seorang perempuan dan pihak-pihak yang tersubordinasi lainnya, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, ekonomi dan
psikologis, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang dalam lingkup rumah tangga
KDRT terhadap istri adalah segala bentuk tindak kekerasan yang dilakukan
oleh suami terhadap istri yang berakibat menyakiti secara fisik, psikis, seksual dan
ekonomi, termasuk ancaman, perampasan kebebasan yang terjadi dalam rumah
tangga atau keluarga. Selain itu, hubungan antara suami dan istri diwarnai dengan
penyiksaan secara verbal, tidak adanya kehangatan emosional, ketidaksetiaan dan
menggunakan kekuasaan untuk mengendalikan istri (Susilowati, 2008).
Secara empiris Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sudah lama
berlangsung dalam masyarakat, hanya secara kuantitas belum diketahui jumlahnya,
seperti kekerasan suami terhadap istri atau suami terhadap anak. Bentuk
kekerasannyapun beragam mulai dari penganiayaan, pemerkosaan dan sebagainya.
Disamping itu pemenuhan hak kaum perempuan yang rentan tidak hanya terbatas
kepada perlindungan dalam rumah tangga, tetapi juga berhubungan dengan
reproduksi perempuan. Secara sosiologis sebagian besar kaum perempuan masih
sangat dibatasi oleh budaya masyarakat, dimana peran tradisional masih melekat
kuat, yang mengindikasikan bahwa perempuan tidak lebih sebagai isteri atau ibu
rumah tangga semata (Rodiyah, 2012).
KDRT dapat terjadi dalam rumah tangga dari keluarga sederhana, miskin dan
terbelakang maupun rumah tangga dari keluarga kaya, terdidik, terkenal, dan terpandang.
Tindak kekerasan ini dapat dilakukan oleh suami atau istri terhadap pasangan
masing-masing, atau terhadap anak-anak, anggota keluarga yang lain, dan terhadap pembantu
2.1.2. Bentuk Kekerasan dalam Rumah tangga
Deklarasi tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan tahun 1993
menyatakan bahwa segala bentuk tindak kekerasan berbasis gender yang berakibat
atau mungkin berakibat menyakiti secara fisik, seksual, mental, atau penderitaan
terhadap perempuan termasuk mengancam atau tindakan, pemaksaan atau
perampasan semena-mena kebebasan, baik yang terjadi di lingkungan masyarakat
maupun dalam kehidupan pribadi (Widyastuti, 2009).
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri
dalam rumah tangga dibedakan ke dalam 4 (empat) macam :
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau
luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain
adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak),
menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan
sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam,
gigi patah atau bekas luka lainnya.
2. Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak,
rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah
penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri,
mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana
3. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari kebutuhan
batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual
sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.
4. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada
orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri,
bahkan menghabiskan uang istri.
Banyak kasus terjadi kekerasan psikis berupa makian, hinaan (ungkapan
verbal) sering berkembang menjadi kekerasan fisik. Pada awalnya mungkin belum
terjadi, tetapi ketidaksengajaan pria kemudian berlanjut pada tindakan kekerasan fisik
secara nyata (Widyastuti, 2009).
2.1.3. Siklus Kekerasan dalam KDRT
Relasi Personal sering disertai dengan siklus kekerasan, dengan pola berulang.
Siklus kekerasan ini menyebabkan korban terus mengembangkan harapan dan
mempertahankan rasa cinta atau kasihan, membuatnya sulit keluar dari perangkap
Gambar 2.1. Siklus Kekerasan Siklus kekerasan umumnya bergulir sebagai berikut:
1. Dimulai dengan individu tertarik dan mengembangkan hubungan.
2. Individu dan pasangan mulai lebih mengenal satu sama lain, “tampil asli” dengan
karakteristik dan tuntutan masing-masing, muncul konflik dan ketegangan.
3. Terjadi ledakan dalam bentuk kekerasan
4. Ketegangan mereda. Korban terkejut dan memaknai apa yang terjadi. Pelaku
bersikap ”baik” dan mungkin meminta maaf.
5. Korban merasa ”berdosa” (bila tidak memaafkan), korban menyalahkan diri
sendiri karena merasa atau dianggap menjadi pemicu kejadian, korban
mengembangkan harapan akan hubungan yang lebih baik.
6. Periode tenang tidak dapat bertahan. Kembali muncul konflik dan ketegangan,
7. Korban “terperangkap”, merasa bingung, takut, bersalah, tak berdaya, berharap
pelaku menepati janji untuk tidak melakukan kekerasan lagi, dan demikian
seterusnya.
8. Bila tidak ada intervensi khusus (internal, eksternal) siklus kekerasan dapat terus
berputar dengan perguliran makin cepat, dan kekerasan makin intens.
9. Sangat destruktif dan berdampak merugikan secara psikologis (dan mungkin juga
fisik) (Indrarani, 2012).
2.1.4. Penyebab Terjadinya KDRT
Zastrow & Browker (1984) dalam Wahab (2010), menyatakan bahwa ada tiga
teori utama yang mampu menjelaskan terjadinya kekerasan, yaitu teori biologis, teori
frustasi-agresi, dan teori kontrol.
1. Teori biologis menjelaskan bahwa manusia, seperti juga hewan, memiliki suatu
instink agresif yang sudah dibawa sejak lahir. Sigmund Freud menteorikan bahwa
manusia mempunyai suatu keinginan akan kematian yang mengarahkan
manusia-manusia itu untuk menikmati tindakan melukai dan membunuh orang lain dan
dirinya sendiri. Robert Ardery yang menyarankan bahwa manusia memiliki
instink untuk menaklukkan dan mengontrol wilayah, yang sering mengarahkan
pada perilaku konflik antar pribadi yang penuh kekerasan. Konrad Lorenz
menegaskan bahwa agresi dan kekerasan adalah sangat berguna untuk survive.
Manusia dan hewan yang agresif lebih cocok untuk membuat keturunan dan
survive, sementara itu manusia atau hewan yang kurang agresif memungkinkan
suatu sistem dominan, dengan demikian memberikan struktur dan stabilitas untuk
kelompok. Beberapa ahli teori biologis berhipotesis bahwa hormon seks pria
menyebabkan perilaku yang lebih agresif. Di sisi lain, ahli teori belajar berteori
bahwa perbedaan perilaku agresif terutama disebabkan oleh perbedaan sosialisasi
terhadap pria dan wanita.
2. Teori frustasi-agresi menyatakan bahwa kekerasan sebagai suatu cara untuk
mengurangi ketegangan yang dihasilkan situasi frustasi. Teori ini berasal dari
suatu pendapat yang masuk akal bahwa seseorang yang frustasi sering menjadi
terlibat dalam tindakan agresif. Orang frustasi sering menyerang sumber
frustasinya atau memindahkan frustasinya ke orang lain. Misalnya. Seorang
remaja (teenager) yang diejek oleh orang lain mungkin membalas dendam, sama
halnya seekor binatang kesayangan yang digoda. Seorang pengangguran yang
tidak dapat mendapatkan pekerjaan mungkin memukul istri dan anak-anaknya.
Suatu persoalan penting dengan teori ini, bahwa teori ini tidak menjelaskan
mengapa frustasi mengarahkan terjadinya tindakan kekerasan pada sejumlah
orang, tidak pada orang lain. Diakui bahwa sebagian besar tindakan agresif dan
kekerasan nampak tidak berkaitan dengan frustasi. Misalnya, seorang pembunuh
yang profesional tidak harus menjadi frustasi untuk melakukan penyerangan.
3. Teori frustasi-kontrol sebagian besar dikembangkan oleh para psikolog, beberapa
sosiolog telah menerapkan teori untuk suatu kelompok besar. Mereka
memperhatikan perkampungan miskin dan kotor di pusat kota dan dihuni oleh
berpendapat bahwa kemiskinan, kekurangan kesempatan, dan ketidakadilan
lainnya di wilayah ini sangat membuat frustasi penduduknya. Penduduk semua
menginginkan semua benda yang mereka lihat dan dimiliki oleh orang lain, serta
tak ada hak yang sah sedikitpun untuk menggunakannya. Akibatnya, mereka
frustasi dan berusaha untuk menyerangnya. Teori ini memberikan penjelasan
yang masuk akal terhadap angka kekerasan yang tinggi bagi penduduk minoritas.
4. Ketiga, teori ini menjelaskan bahwa orang-orang yang hubungannya dengan
orang lain tidak memuaskan dan tidak tepat adalah mudah untuk terpaksa berbuat
kekerasan ketika usaha-usahanya untuk berhubungan dengan orang lain
menghadapi situasi frustasi. Teori ini berpegang bahwa orang-orang yang
memiliki hubungan erat dengan orang lain yang sangat berarti cenderung lebih
mampu dengan baik mengontrol dan mengendalikan perilakunya yang impulsif.
Menurut Susilowati (2008), KDRT pada istri tidak akan terjadi jika tidak ada
penyebabnya. Di Indonesia, kekerasan pada perempuan merupakan salah satu budaya
negatif yang tanpa disadari sebenarnya telah diturunkan secara turun temurun. Apa
saja penyebab kekerasan pada istri? Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya
kekerasan suami terhadap istri, antara lain:
1. Masyarakat membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan keyakinan bahwa
anak laki-laki harus kuat, berani dan tidak toleran.
2. Laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat.
3. Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus ditutup
4. Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri,
kepatuhan istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi
bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan.
5. Budaya bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi.
6. Kepribadian dan kondisi psikologis suami yang tidak stabil.
7. Pernah mengalami kekerasan pada masa kanak-kanak.
8. Budaya bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.
9. Melakukan imitasi, terutama anak laki-laki yang hidup dengan orang tua yang
sering melakukan kekerasan pada ibunya atau dirinya (Susilowati, 2008).
Pria kadang kehilangan kontrol terhadap arah hidup, maka pria mungkin
menggunakan sikap kekerasan untuk mengendalikan hidup orang lain, walaupun
sikap itu salah. Adapun beberapa alasan yang menjadi penyebab pria menganiaya
wanita / istri / pasangannya meskipun alasan itu salah antara lain: (Widyastuti, 2009).
1. Tindakan kekerasan dapat mencapai suatu tujuan.
a. Bila terjadi konflik, tanpa harus musyawarah kekerasan merupakan cara cepat
penyelesaian masalah.
b. Dengan melakukan perbuatan kekerasan, pria merasa hidup lebih ‘berarti’
karena dengan berkelahi maka pria merasa menjadi lebih digdaya.
c. Pada saat melakukan kekerasan pria merasa memperoleh ‘kemenangan’ dan
mendapatkan apa yang dia harapkan, maka korban akan menghindari pada
2. Pria merasa berkuasa atas wanita. Bila pria merasa mempunyai istri ‘kuat’ maka
dia berusaha untuk melemahkan wanita agar merasa tergantung padanya atau
membutuhkannya.
3. Ketidaktahuan pria. Bila latar belakang pria dari keluarga yang selalu
mengandalkan kekerasan sebagai satu-satunya jalan menyelesaikan masalah dan
tidak mengerti cara lain maka kekerasan merupakan jalan pertama dan utama
baginya sebagai cara yang jitu setiap ada kesulitan atau tertekan karena memang
dia tidak pernah belajar cara lain untuk bersikap (Widyastuti, 2009).
2.1.5. Faktor yang Memengaruhi terjadinya KDRT
Menurut Sofyan (2006), faktor yang memengaruhi terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga adalah sebagai berikut :
1. Faktor Risiko KDRT
Faktor yang berperan di tiap tingkatan dalam penyalahgunaan pasangan oleh pria
dijabarkan sebagai berikut :
a. Tingkat individu
Termasuk ke dalamnya adalah pernah mengalami kekerasan semasa
kanak-kanak, menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga antar ibu dan bapak, tidak
adanya atau penolakan terhadap figur ayah, atau kebiasaan minum alkohol.
b. Tingkat hubungan / interaksi dengan pasangan
Faktor penentunya antara lain konflik perkawinan dan kendali pria terhadap
c. Tingkat lingkungan kecil
Pengisolasian perempuan dan kurangnya dukungan sosial, disamping
kelompok pria sebaya yang menerima budaya kekerasan sangat berpengaruh
terhadap terjadinya kekerasan.
d. Tingkat masyarakat luas
Faktor yang berpengaruh antar lain kakunya dan dipaksanya peran jender,
diterapkannya konsep maskulinitas yang berkaitan dengan kekerasan,
kehormatan pria dan dominasi atas perempuan, toleransi terhadap hukuman
fisik bagi perempuan dan anak, menerima kekerasan sebagai sarana untuk
mengacaukan hubungan dengan pasangan dan persepsi bahwa pria
mempunyai kepemilikan terhadap wanita.
2. Faktor protektif KDRT
a. Tingkat individu
Termasuk rasa percaya diri dan persepsi yang positif terhadap kemampuan
dan kendali diri.
b. Tingkat hubungan interaksi dengan pasangan
Faktor protektif antara lain kesatuan keluarga yang kuat, hubungan antara
anak-orang tua baik, pengelolaan keuangan keluarga dilakukan suami istri.
c. Tingkat lingkungan kecil
Kesatuan warga, kehadiran di sekolah, kewirausahaan yang ditujukan untuk
wanita, fasilitas di lingkungan pemukiman (sarana, pelayanan kesehatan,
d. Tingkat masyarakat luas
Faktor protektif antara lain stabilitas politik, pengendalian pemakaian senjata,
dan promosi kesetaraan jender dan anti kekerasan (Sofyan, 2006).
2.1.6. Korban Kekerasan
Menurut Ciciek (2005), berdasarkan kenyataan di seluruh dunia, yang menjadi
korban KDRT berasal dari semua golongan masyarakat. Data dan fakta tentang para
korban ini menunjukkan dengan gamblang bahwa semua perempuan dari berbagai
lapisan sosial, golongan pekerjaan, suku, bangsa, budaya, agama maupun rentang usia
telah tertimpa musibah kekerasan.
Korban kekerasan tetap mencoba bertahan walaupun telah berulang kali
menerima perlakuan kekerasan dari pasangan disebabkan oleh beberapa hal antara
lain :
1. Takut pembalasan suami.
Banyak istri diancam dengan penganiayaan yang lebih kejam, bahkan
pembunuhan, jika mereka berupaya meninggalkan rumah tangga. Menurut
laporan kepolisian, setengah dari istri yang berupaya meninggalkan perkawinan
dibunuh oleh suaminya.
2. Tidak ada tempat berlindung
Banyak istri bergantung secara ekonomi kepada suami, sehingga tidak ada
3. Takut dicerca masyarakat
Banyak perempuan takut dicap sebagai perempuan tidak baik karena diketahui
sebagai korban kekerasan akibat didera suami. Sebagian tidak siap dengan status
sosial sebagai janda, karena masyarakat menganggap rendah.
4. Rasa percaya diri yang rendah
Akibat penganiayaan baik secara jasmani, rohani maupun seksual, istri seringkali
merasa tidak berarti dan tidak percaya mempunyai kemampuan untuk mengatasi
masalah.
5. Untuk kepentingan anak
Istri khawatir anak-anaknya akan mengalami penderitaan yang lebih buruk jika
berpisah dari ayah mereka.
6. Sebagian istri tetap mencintai suami mereka
Mereka mendambakan berhentinya kekerasan, bukan putusnya perkawinan.
Mereka berharap terus menerus agar suaminya berubah, menjadi baik kembali.
7. Mempertahankan perkawinan
Banyak istri yang percaya perkawinan itu sesuatu yang luhur dan perceraian
adalah sesuatu yang buruk sehingga harus dihindari. Mereka beranggapan bahwa
lebih baik tetap menderita dalam perkawinan daripada bercerai karena tabu atau
dilarang agama (Ciciek, 2005).
Secara psikologis seorang perempuan yang mengalami kekerasan dalam
rumah tangga akan menampilkan karakteristik seperti: berusaha meminimalkan
penyebab terjadinya kekerasan yang dialami, dan ambivalensi dimana korban merasa
bingung dengan suami dan beranggapan suami tidak ingin benar-benar melakukan
kekerasan terhadap dirinya(Poerwandari, 2000).
2.1.7. Akibat Kekerasan
Menurut Hasanah, dkk (2003) dalam Saraswati (2009) menjelaskan dampak
atau akibat yang ditimbulkan dari kekerasan dalam rumah tangga, seperti: terdapat
memar, atau lebam setelah terjadi kekerasan fisik. Adanya rasa malu, takut hilangnya
konsep diri, dan tidak percaya diri adalah dampak yang ditimbulkan dari kekerasan
psikis, Terjadinya haid yang tidak teratur, dan sulit menikmati hubungan seksual
adalah dampak yang ditimbulkan dari adanya kekerasan seksual. Menurut pasal 5
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, kekerasan dalam
rumah tangga, yaitu: penelantaran rumah tangga adalah tidak memberikan nafkah
kepada istri, membiarkan istri bekerja untuk kemudian penghasilannya dikuasai
suami, bahkan mempekerjakan istri dan memanfaatkan ketergantungan istri secara
ekonomi untuk mengontrol kehidupannya.
Menurut Sofyan (2006), kekerasan terhadap perempuan sangat merugikan
kesehatan reproduksi wanita di samping merugikan aspek-aspek kesejahteraan fisik
dan mental emosional juga menambah resiko jangka panjang yaitu terjadinya
gangguan kesehatan lainnya.
1. Akibat fisik
a. Kematian akibat kekerasan fisik, pembunuhan atau bunuh diri.
c. Trauma fisik dalam kehamilan, yang beresiko terhadap ibu dan janin.
d. Perlukaan / trauma terhadap anak sebagai korban dalam kejadian kekerasan.
e. Kehamilan yang tidak diinginkan dan kehamilan dini akibat perkosaan atau
pergaulan bebas.
f. Tertular PMS / AIDS.
g. Meningkatnya gangguan ginekologis, PMS/IMS, infeksi saluran kencing dan
gangguan pencernaan.
2. Akibat non fisik
a. Bunuh diri
b. Gangguan mental misalnya depresi, ketakutan dan cemas, rasa rendah diri,
kelelahan kronis, sulit tidur, mimpi buruk, disfungsi seksual, gangguan
makan, dan lain-lain.
c. Pengaruh psikologis terhadap anak karena menyaksikan kekerasan.
3. Akibat dampak terhadap masyarakat
a. Bertambahnya biaya pemeliharaan kesehatan akibat dampak fisik / nonfisik.
b. Efek terhadap produktivitas, misalnya mengakibatkan berkurangnya
kontribusi kepada masyarakat, kemampuan realisasi diri dan kinerja dan cuti
sakit bertambah sering
4. Akibat dampak lain
a. Kehilangan nafsu makan.
c. Terus menerus mengalami kecemasan dan ketakutan, hilangnya rasa percaya
diri.
d. Gangguan psikis berat
e. Kehilangan akal sehat
f. Tidak bisa percaya kepada apa yang terjadi
g. Curiga terus menerus (paranoid).
2.1.8. Dampak KDRT pada Kesehatan Reproduksi
Kesehatan reproduksi menurut ICPD (1994) adalah suatu keadaan sejahtera fisik,
mental dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan
dalam semua hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi, serta fungsi dan prosesnya
(Widyastuti, 2009).
Sehubungan dengan dampak tindak kekerasan terhadap kehidupan seksual dan
reproduksi perempuan, penelitian yang dilakukan oleh Rance (1994) yang dikutip oleh
Heise, Moore dan Toubia (1995) kekerasan dan dominasi laki-laki dapat membatasi dan
membentuk kehidupan seksual dan reproduksi perempuan. Selain itu, laki-laki juga
sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan tentang alat kontrasepsi yang dipakai
oleh pasangannya. Selanjutnya penelitian yang dilakukan di Norwegia oleh Schei dan
Bakketeig (1989) yang dikutip oleh Heise, Moore dan Toubia (1995) juga menyatakan
bahwa perempuan yang tinggal dengan pasangan yang suka melakukan tindak kekerasan
menunjukkan masalah-masalah ginekologis yang lebih berat ketimbang dengan yang
tinggal dengan pasangan/suami normal; bahkan problem ginekologis ini bisa berlanjut
Tindak kekerasan terhadap istri perlu diungkap untuk mencari alternatif
pemberdayaan bagi istri agar terhindar dari tindak kekerasan yang tidak semestinya
terjadi demi terwujudnya hak perempuan untuk memperoleh kesehatan reproduksi yang
sehat. Perempuan terganggu kesehatan reproduksinya bila pada saat tidak hamil
mengalami gangguan menstruasi seperti menorrhagia, hipomenorrhagia atau
metrorhagia bahkan wanita dapat mengalami menopause lebih awal, dapat mengalami
penurunan libido, ketidakmampuan mendapatkan orgasme, akibat tindak kekerasan yang
dialaminya.
Dampak lain yang juga memengaruhi kesehatan organ reproduksi istri dalam
rumah tangga diantaranya adalah perubahan pola fikir, emosi dan ekonomi keluarga.
Dampak terhadap pola fikir istri. Tindak kekerasan juga berakibat memengaruhi cara
berfikir korban, misalnya tidak mampu berfikir secara jernih karena selalu merasa takut,
cenderung curiga (paranoid), sulit mengambil keputusan, tidak bisa percaya kepada apa
yang terjadi. Istri yang menjadi korban kekerasan memiliki masalah kesehatan fisik dan
mental dua kali lebih besar dibandingkan yang tidak menjadi korban termasuk tekanan
mental, gangguan fisik, pusing, nyeri haid, terinfeksi penyakit menular.
Dampak terhadap ekonomi keluarga. Dampak lain dari tindakan kekerasan
meskipun tidak selalu adalah persoalan ekonomi, menimpa tidak saja perempuan yang
tidak bekerja tetapi juga perempuan yang mencari nafkah. Seperti terputusnya akses
ekonomi secara mendadak, kehilangan kendali ekonomi rumah tangga, biaya tak terduga
untuk hunian, kepindahan, pengobatan dan terapi serta ongkos perkara. Dampak terhadap
tertentu (obat-obatan dan alkohol), kecemasan, percobaan bunuh diri, keadaan pasca
trauma dan rendahnya kepercayaan diri (Sutrisminah, 2012).
2.1.9. KDRT pada Ibu Hamil
Di seluruh dunia satu diantara empat perempuan hamil mengalami kekerasan
fisik dan seksual oleh pasangannya. Pada saat hamil, dapat terjadi keguguran / abortus,
persalinan imatur dan bayi meninggal dalam rahim. Pada saat bersalin, perempuan akan
mengalami penyulit persalinan seperti hilangnya kontraksi uterus, persalinan lama,
persalinan dengan alat bahkan pembedahan. Hasil dari kehamilan dapat melahirkan bayi
dengan BBLR, terbelakang mental, bayi lahir cacat fisik atau bayi lahir mati
(Sutrisminah, 2012).
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan penyebab penting yang
menyebabkan kesakitan atau kematian pada wanita selama kehamilan. Banyak orang
berpikir bahwa kekerasan akan berakhir jika seorang wanita dalam keadaan hamil.
Penelitian menunjukkan bahwa kehamilan dapat memperburuk tingkat kekerasan. Suatu
hal yang perlu dipertimbangkan adalah bagaimana pasangan (suami) akan
memperlakukan calon anak jika mereka sudah memperlakukan istri dengan buruk
(Jennifer, 2008).
Kekerasan selama kehamilan juga dapat terjadi akibat peningkatan stres yang
dialami oleh pria. Stres ini disebabkan oleh perasaan meningkatnya tanggungjawab
materi yang harus dipenuhi nantinya, yang akhirnya mengharuskan pria menambah
pemasukan atau bekerja lebih. Stress juga terjadi akibat pasangan belum siap menjadi
kebutuhan emosional daripada wanita sehingga menimbulkan stres yang berkepanjangan
(Condon, 2004 dalam O’Reilly, 2007).
Jenis kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suami pada istri saat
mengalami kehamilan adalah sebagai berikut:
1. Kekerasan fisik
Kekerasan dalam rumah tangga dapat berupa penganiayaan fisik ibu hamil
dengan bentuk yang bermacam-macam yaitu dengan cara melukai, menyiksa,
menganiaya ibu hamil menggunakan anggota tubuh pelaku (tangan atau kaki)
mulai dari pukulan, jambakan rambut, cubitan, mendorong secara kasar,
penginjakan, pelemparan, cekikan, tamparan, tendangan, sampai penyiksaan
dengan menggunakan alat seperti pentungan, gagang sapu, pisau, ban mobil,
setrika, sundutan rokok, siraman air keras, dan lain-lain. Tindakan tersebut dapat
mengakibatkan rasa sakit, luka ringan sampai luka berat, kecacatan, mengalami
komplikasi kehamilan, kerusakan pada daerah alat kelamin istri, keguguran,
pendarahan, bahkan ibu hamil dapat meninggal dunia.
2. Kekerasan psikologis
Tindakan kekerasan yang dilakukan dengan menyerang wilayah psikologis
korban, bertujuan untuk merendahkan harga diri seorang istri baik melalui
kata-kata maupun perbuatan seperti mengumpat, membentak dengan kata-kata-kata-kata kasar,
menghina, mengancam. Tindakan tersebut mengakibatkan ibu hamil menjadi
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, ibu hamil mengalami depresi, stres,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan penderitaan psikis
3. Kekerasan seksual
Penganiayaan atau penyerangan seksual oleh suami pada istri yang sedang hamil
dengan cara memaksa hubungan seksual pada saat ibu hamil tidak menginginkan
berhubungan seksual dengan suami. Suami memaksa dengan mengancam istri
pada saat hamil (terutama pada saat hamil trimester II atau III) agar mau melayani
kebutuhan seksual suami setiap saat. Kekerasan seksual dengan pemaksaan
seringkali hanya memuaskan suami sedangkan istri lebih banyak mengalami
penderitaan dengan kondisi perut yang membesar.
4. Kekerasan sosial dan ekonomi
Tindakan kekerasan dilakukan oleh suami dengan cara membuat istri tergantung
secara ekonomi selama kehamilan, atau suami tidak memberikan nafkah lahiriah
kepada istri yang sedang hamil, tidak memberikan kebutuhan selama ibu hamil
seperti susu ibu hamil, makanan yang bergizi bagi ibu hamil, suami mengontrol
atau mengawasi penggunaan uang oleh istri selama kehamilan, suami membatasi
pengeluaran yang wajib dibeli setiap bulan, mengisolasi istri dari kehidupan sosial
(masyarakat) karena suami takut perbuatannya terbongkar oleh orang lain,
melarang istri mengikuti kegiatan-kegiatan kemasyarakatan di lingkungan rumah,
suami tidak mendukung atau melarang istri untuk melakukan pemeriksaan selama
kehamilan ke tenaga kesehatan, menelantarkan istri dengan tidak mencukupi
2.2. Interaksi Ibu Korban KDRT dengan Bayi yang Dilahirkan
Kekerasan suami pada istri selama kehamilan cenderung meningkat dengan
berbagai alasan seperti: stres biopsikososial (stres yang dipicu oleh hukum relasi
dengan orang lain dan akibat situasi sosial lainnya) selama kehamilan mengganggu
hubungan dan kemampuan koping, frustasi dan akhirnya melakukan kekerasan;
suami cemburu dengan janin yang dikandung pasangannya dan menjadikan pasangan
sebagai sasaran kemarahan; marah pada janin yang belum lahir atau pada
pasangannya; kekerasan dilakukan suami karena bingung dan ingin mengakhiri
kehamilan pasangannya. Hal tersebut akan berdampak negatif pada istri seperti istri
mengalami depresi pada masa nifas (Handayani, 2006).
Depresi masa nifas merupakan keadaan yang sangat serius, karena pada masa
ini ibu harus memerlukan istirahat dan dukungan dari orang-orang di sekitarnya.
Biasanya penyebab depresi masa nifas yaitu berhubungan dengan kesibukan ibu
mengurus anak yang lain sebelum melahirkan anaknya, pengalaman ibu selama masa
kehamilan seperti perbuatan suami yang kurang baik pada ibu selama masa
kehamilan dengan perilaku kekerasan. Gejala-gejala psikis dari ibu yang mengalami
depresi yaitu tidak mau mengurus diri atau tidak mau mengurus bayinya, gampang
murung, mudah marah, dan terkadang mengalami halusinasi pendengaran (Pieter,
2011).
Distres emosi pada ibu pasca melahirkan akibat perlakuan tindakan kekerasan
pada masa kehamilan yang terus menerus terjadi akan menyebabkan risiko bunuh
dilahirkan (Handayani, 2006). Kekerasan pada bayi ini diawali pada masa bayi,
dimana pada saat bayi lahir, ibu mengalami perubahan fisik dan emosional, hal ini
dapat mengakibatkan ibu korban kekerasan pada saat hamil mengalami kesulitan
menjalin hubungan atau berinteraksi dengan bayinya. Ibu juga dapat menjadi pelaku
kekerasan pada bayinya jika tidak dapat memperbaiki hubungan dengan suaminya
(Lowdermilk, 2000).
Dampak perilaku maladaptif ibu postpartum akan memengaruhi interaksi ibu
dengan bayi, hal tersebut dapat menyebabkan kurangnya pemenuhan ASI bagi bayi
akibat ibu tidak mau menyusui bayinya, bayi tidak terawat, ditelantarkan, dibuang
bahkan ada yang secara sengaja dibunuh oleh ibunya sendiri. Melalaikan bayi dan
keengganan ibu dalam memberikan asuhan pada bayi berkaitan erat dengan adanya
kegelisahan, kecemasan dan penolakan ibu untuk dekat dengan bayinya. Kekerasan
dan penelantaran bayi dapat berdampak pada gangguan perkembangan antara lain
kondisi gagal tumbuh tanpa penyakit organik, mudah terserang penyakit, atau muncul
masalah emosional (Handayani, 2006).
Kekerasan terhadap istri juga berdampak bagi anak-anaknya. Bagi yang masih
bayi, besar kemungkinan ia tidak lagi akan dapat merasakan nikmatnya air susu ibu
(ASI), sebab stress akan membuat produksi ASI berkurang bahkan berhenti. Belum
lagi dengan melemahnya kemampuan menguasai diri, baik dari suami maupun istri
akan membuka kemungkinan mereka bertindak kejam terhadap anak. Kondisi ini
tentu tidak baik bagi anak, karena akan membuat mereka trauma baik fisik maupun
ngompol, gelisah, gagap, sering menderita gangguan perut, sakit kepala, asma, kejam
pada binatang, suka memukul teman, dan sebagainya (Adiningsih, 2005).
2.3. Kerangka Berfikir
Tindakan kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri merupakan salah satu
bentuk kekerasan yang seringkali terjadi pada perempuan dan terjadi di balik pintu
tertutup. Tindakan ini seringkali dikaitkan dengan penyiksaan baik fisik maupun
psikis yang dilakukan oleh orang yang mempunyai hubungan yang dekat. Tindak
kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga terjadi dikarenakan telah diyakini bahwa
masyarakat atau budaya yang mendominasi saat ini adalah patriarkhi, dimana
laki-laki adalah superior dan perempuan inferior sehingga laki-laki-laki-laki dibenarkan untuk
menguasai dan mengontrol perempuan.
Efek psikologis kekerasan atau penganiayaan suami bagi banyak
perempuan atau istri lebih parah dibanding efek fisiknya. Rasa takut, cemas, letih,
kelainan stress post traumatic, serta gangguan makan dan tidur merupakan reaksi
panjang dari tindak kekerasan. Namun, tidak jarang akibat tindak kekerasan
terhadap istri juga mengakibatkan kesehatan reproduksi terganggu secara biologis
yang pada akhirnya meng-akibatkan terganggunya secara sosiologis. Istri yang
teraniaya sering mengisolasi diri dan menarik diri karena berusaha
menyembunyikan bukti penganiayaan mereka.
Menurut undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam rumah tangga yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikologis/emosional, kekerasan
seksual, dan kekerasan ekonomi. Menurut Widyastuti (2009), banyak kasus terjadi
kekerasan psikis berupa makian, hinaan (ungkapan verbal) sering berkembang
menjadi kekerasan fisik. Pada awalnya mungkin belum terjadi, tetapi
ketidak-sengajaan pria kemudian berlanjut pada tindakan kekerasan fisik secara nyata yang
akan membuat istri menderita.
Dampak kekerasan rumah tangga pada kesehatan reproduksi ibu yaitu perempuan
terganggu kesehatan reproduksinya bila pada saat tidak hamil maka dapat mengalami
gangguan menstruasi seperti menorrhagia, hipomenorrhagia atau metrorhagia bahkan
wanita dapat mengalami menopause yang terjadi lebih awal, dapat mengalami penurunan
libido, ketidakmampuan mendapatkan orgasme, akibat tindak kekerasan yang dialaminya
(Sutrisminah, 2012). Sedangkan jika terjadi pada masa kehamilan dapat mengakibatkan
abortus/keguguran, abratio placenta/ari-ari terlepas dari rahim sebelum persalinan,
persalinan prematur, janin mengalami kecacatan, kematian janin dalam kandungan
(Nggelan, 2009).
Kekerasan suami pada istri akan berdampak pada interaksi ibu dengan bayi
yang dilahirkannya. Dampak tersebut diawali pada masa bayi, dimana pada saat bayi
lahir ibu mengalami perubahan fisik dan emosional, hal ini dapat mengakibatkan ibu
korban kekerasan pada saat hamil mengalami kesulitan menjalin hubungan atau
berinteraksi dengan bayinya. Ibu juga dapat menjadi pelaku kekerasan pada bayinya
jika tidak dapat memperbaiki hubungan dengan suaminya. Hal tersebut juga akan
bayinya, bayi tidak terawat, ditelantarkan, dibuang bahkan ada yang secara sengaja
dibunuh oleh ibunya sendiri (Lowdermilk, 2000).
[image:41.612.114.527.171.604.2]0
Gambar 2.2. Kerangka Teori (Lowdermilk, 2000)
Bentuk kekerasan menurut UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT):
1. Kekerasan fisik,
2. Kekerasan psikologis/
emosional,
3. Kekerasan seksual, dan
4. Kekerasan ekonomi
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Suami pada istri)
Kesehatan Reproduksi
Hamil Tidak Hamil
• gangguan menstruasi
seperti menorrhagia,
hipomenorrhagia
atau metrorhagia
• mengalami
menopause dini,
• penurunan libido,
•ketidakmampuan
orgasme
Interaksi Ibu-bayi
• abortus/keguguran,
• persalinan prematur,
• janin mengalami
kecacatan,
• kematian janin dalam
kandungan,
• abratio
placenta/ari-ari terlepas dplacenta/ari-ari rahim sebelum persalinan.
•
• bayi ditelantarkan
(child abuse)
• bayi dibuang
• bayi dibunuh oleh
ibunya sendiri
• bayi tidak terawat,
• bayi tidak diberi ASI
• Fisik : menganiaya,
memukul, meninjau, menampar, menjambak, menendang, mencubit, menyiram, dan lain-lain.
• Psikologis : cacian, makian,
hinaan, celaan, mengumpat, membentuk, menuduh, dan lain-lain.
• Seksual: pemaksaan
hubungan seksual.
• Ekonomi: mengawasi/
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Dalam penelitian studi kasus berusaha
memperoleh pemahaman yang utuh dan terintegrasi mengenai berbagai fakta dan
dimensi dari suatu kasus. Di samping itu dengan studi kasus dapat mengantar
peneliti memasuki unit-unit sosial terkecil dalam masyarakat (Notoatmodjo, 2010).
Dalam hal ini peneliti menggunakan studi kualitatif karena peneliti ingin
menggali realita yang sebenarnya belum tentu tergali bila dengan hanya
menggunakan angket atau studi kuantitatif. Penelitian ini akan menggali apa
penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, bentuk kekerasan yang
dilakukan oleh suami, apa yang dirasakan ibu setelah mendapatkan perlakuan
kekerasan dari suami baik secara fisik maupun psikologis, dan dampak yang
dirasakan ibu dalam berinteraksi atau berhubungan dengan bayi yang dilahirkan.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Kisaran Kabupaten Asahan. Alasan pemilihan
lokasi ini karena terjadi peningkatan jumlah kasus-kasus kekerasan selama tahun
istri maupun pada istri yang sedang mengalami kehamilan. Belum pernah dilakukan
penelitian sebelumnya dengan judul yang sama dengan penelitian ini.
3.2.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dari bulan Desember 2013 sampai dengan bulan April
2014.
3.3 Informan Penelitian
Pada penelitian kualitatif, Sarantakos menekankan bahwa banyaknya jumlah
sampel bukan menjadi prioritas utama, untuk menjamin tingginya akurasi, validitas
dan keberhasilan dalam penelitian kualitatif (Poerwandari, 2005).
Sampel penelitian merupakan individu-individu yang akan menjadi fokus
yang diamati dari suatu penelitian. Sesuai dengan judul penelitian yaitu kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT) pada istri yang mengalami kehamilan dan dampaknya
terhadap interaksi ibu dan bayi maka yang menjadi subyek penelitian adalah ibu
pasca melahirkan yang pernah mendapatkan kekerasan selama masa kehamilan oleh
suaminya.
Dalam penelitian ini teknik sampling yang dipakai adalah sampel bola salju
(snowball sampling) yang merupakan bagian dari nonprobability sampling.
Nonprobability yaitu teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang/
kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi
sampel. Snowball sampling yaitu teknik pengambilan sampel sumber data yang pada
Sampel dalam penelitian ini yaitu ibu yang mendapatkan kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT) selama masa kehamilan, ibu yang sudah melahirkan dan
memiliki bayi, petugas kesehatan (bidan) yang menangani kehamilan dan persalinan
ibu, anggota keluarga yang mengetahui kejadian kekerasan dalam rumah tangga, dan
tokoh masyarakat.
Dari subyek ini sudah mewakili dan memenuhi kriteria dari masalah-masalah
yang peneliti rumuskan. Selain itu metode dalam melakukan penelitian ini dapat
menjabarkan semua temuan-temuan selama peneliti melakukan penelitian di lapangan
sehingga didapat hasil penelitian yang mendalam dan memenuhi dari batasan-batasan
masalah yang disajikan.
3.3.1. Syarat Informan
Dalam menentukan atau menetapkan informan diperlukan syarat–syarat dari
informan penelitian. Adapun syarat-syarat dari informan adalah :
1. Mengalami kekerasan dalam rumah tangga pada masa kehamilan.
2. Memiliki bayi yang hidup setelah melahirkan.
3. Tinggal bersama dengan bayi.
4. Memiliki kemampuan menceritakan kembali pengalaman tentang kasus kekerasan
dalam rumah tangga yang terjadi pada masa kehamilan.
5. Memiliki kondisi emosional dan penyesuaian diri yang positif dalam kehidupan
6. Orang yang dekat dengan informan dan mengetahui kehidupan sehari-hari dan
sosial kemasyarakatan (tokoh masyarakat) serta memahami kondisi kesehatan
reproduksi informan (tenaga kesehatan/bidan).
7. Bersedia diwawancarai dan memiliki kemauan untuk memberikan informasi sesuai
dengan tema penelitian.
3.3.2 Proses Penelusuran Informan
Dalam penelusuran informan dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki
bayi dan pernah mendapatkan kekerasan dalam rumah tangga pada masa kehamilan.
Dari 35 orang ibu yang mengalami kekerasan pada masa kehamilan dari bulan
Januari-Nopember 2013 peneliti memilih informan dalam penelitian ini yang sesuai
dengan kriteria yang dianggap sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam
penelitian ini.
3.4 Metode Pengumpulan Data
Sesuai dengan pendekatan penelitian, maka instrument yang digunakan untuk
mengumpulkan data adalah peneliti sendiri. Peneliti sebagai key instrument atau alat
penelitian yang utama (Moeloeng, 2005). Menurut Lincoln, keberadaan peneliti
sebagai key instrument memberikan keuntungan, karena sifat peneliti yang responsif
dan adaptable. Sebagai key instrument, kehadiran dan keterlibatan peneliti di
lapangan lebih memungkinkan untuk menemukan makna dan tafsiran dari subyek
penelitian dibandingkan dengan penggunaan alat non human (seperti instrument
pengecekan pada subyek apabila informasinya kurang atau tidak sesuai dengan
tafsiran peneliti melalui pengecekan anggota / membercheks.
Peneliti hadir tanpa berperan serta dan tidak melakukan intervensi apapun
terhadap peristiwa yang akan diungkap. Wawancara dilakukan dalam situasi
informal. Dengan demikian fenomena yang terjadi adalah asli (natural). Dalam
pengumpulan data lebih banyak bergantung pada diri peneliti sendiri sebagai alat
pengumpul data. Yang berarti bahwa penelitian harus dapat mengungkapkan makna,
berinteraksi dengan nilai-nilai lokal dimana hal ini tidak bisa dilakukan dengan
kuesioner, angket, atau yang lainnya. Oleh karena itu, kehadiran peneliti di lokasi
penelitian mutlak diperlukan sesuai dengan prinsip-prinsip penelitian kualitatif yaitu
peneliti harus dapat menciptakan hubungan yang baik dengan subyek penelitian.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) instrumen utama
adalah peneliti. Hal ini dikarenakan kedudukan peneliti dalam penelitian kualitatif
adalah sebagai perencana, pelaksana pengumpulan data, analisis, penafsir data dan
pada akhirnya ia menjadi pelapor hasil penelitiannya, (2) kamera digital sebagai alat
bantu, (3) perekam digital, dan (4) beberapa alat tulis (Moeloeng, 2005).
3.5. Pengumpulan dan Keabsahan Data
Antara pengumpulan dan keabsahan data tidak dilakukan secara terpisah,
melainkan berjalan bersamaan dan berproses secara simultan. Untuk itu peneliti
mengambil teknik triangulasi dalam proses pengambilan data. Metode triangulasi
fenomena sosial dan fenomena psikologi tidaklah cukup menggunakan satu metode
saja (Moeloeng, 2005).
Triangulasi mengacu pada upaya mengambil sumber-sumber data yang
berbeda untuk menjelaskan suatu masalah. Selanjutnya Marshall dan Rossman
mengungkapkan bahwa data tersebut dapat digunakan untuk mengelaborasi dan
memperkaya penelitian, selain itu dengan data tersebut peneliti akan dapat
menguatkan derajat manfaat studi pada situasi-situasi yang berbeda (Poerwandari,
2005).
Pada penelitian ini triangulasi data dilaksanakan pada praktik wawancara dan
observasi. Misalkan dalam wawancara awal telah diperoleh suatu data, maka
selanjutnya dari data tersebut akan dijadikan pijakan bagi wawancara selanjutnya,
tentunya setelah melakukan sedikit kajian terhadapnya (data yang telah diperoleh),
dan untuk memperkuatnya bisa dibantu dengan data observasi.
Lebih jauh proses pengumpulan data melalui observasi dan wawancara dapat
dipaparkan di bawah ini:
1. Observasi
Mengutip dari pendapat Guba dan Lincoln teknik pengamatan memberikan
kesempatan kepada peneliti untuk melihat dan mengamati sendiri peristiwa yang
ingin diteliti dan mencatat segala kejadian sesuai dengan situasi yang sebenarnya
(Moeloeng, 2005).
Adapun acuan yang di jadikan peneliti untuk melakukan observasi, terdapat
ini adalah dengan menggunakan check list. Check list adalah suatu daftar yang
berisi nama subyek dan faktor-faktor yang hendak diselidiki. Check list
dimaksudkan untuk mensistematiskan catatan observasi (Moeloeng, 2005).
Peneliti menggunakan observasi (pengamatan) sehingga peneliti akan
memperoleh informasi yang lebih valid. Peneliti bisa melihat keadaan subyek
secara langsung dan menguatkan informasi yang telah diberikan melalui
pengumpulan data yang lain. Observasi dilakukan saat subyek beraktivitas
sepanjang hari. Selain mengobservasi subjek penelitian, peneliti juga
mengobservasi keadaan tempat tinggal, hubungan dengan anggota keluarga lain,
dan mengobservasi perilaku subjek saat diwawancarai.
Teknik observasi adalah pengamatan yang dilakukan untuk memperoleh
informasi tentang kelakuan manusia seperti terjadi dalam pengakuan. Menurut
Sutrisno (2008) observasi adalah suatu metode yang digunakan untuk
mengumpulkan data dengan cara mengadakan pengamatan dan pencatatan secara
sistematis terhadap kenyataan-kenyataan yang diselidiki.
Menurut Arikunto (2010) metode observasi adalah kegiatan pemusatan
perhatian terhadap suatu obyek dengan menggunakan seluruh alat indera. Jadi
observasi dapat dilakukan melalui penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba
dan pengecap.
Peran serta yang dilakukan peneliti dalam melakukan pengamatan di
lapangan adalah dalam tahap pasif. Peneliti hadir dalam pelaksanaan
sebagai anggota pura-pura, jadi tidak melebur dalam arti sesungguhnya. Peranan
demikian masih membatasi para subyek menyerahkan dan memberikan informasi
terutama yang bersifat rahasia (Moeloeng, 2005).
2. Wawancara
Cara ini merupakan tahapan yang dilalui peneliti untuk mendapatkan data
primer dari informan sesuai dengan kajian atau fokus penelitian. Peneliti
berpedoman pada batasan-batasan dari rumusan masalah. Adapun acuan yang di
jadikan peneliti untuk melakukan wawancara, terdapat pada lampiran laporan
penelitian. Wawancara sendiri dilakukan secara mendalam (in depth-interview).
Untuk dapat melakukan wawancara secara mendalam, peneliti melakukannya
dengan beberapa tahapan, yaitu wawancara yang dilakukan beberapa kali terhadap
satu subyek. Dari hasil wawancara pertama nantinya menjadi pedoman
wawancara kedua dan akan begitu seterusnya, sampai data yang diperoleh cukup
relevan dengan tujuan penelitian. wawancara secara berkala tersebut selain untuk
memperjelas dan menambah informasi data, juga sebagai metode untuk
memperoleh keabsahan data atau tidak lain sebagai teknik triangulasi itu sendiri.
Kedua metode tersebut, digunakan secara simultan agar data yang didapatkan
bisa saling mendukung dan sinergis. Hal itu merupakan triangulasi data yakni sampai
seberapa jauh temuan dari lapangan benar-benar representatif. Untuk memperoleh
data yang representatif, maka selalu dilakukan perbandingan antara hasil wawancara
dengan observasi, hasil wawancara satu dengan yang lainnya, dan hasil observasi satu
Selain dari teknik triangulasi yang dilakukan dalam proses pengambilan data,
peneliti juga melakukan peer debrifing terhadap data yang mendiskusikan hasil kajian
dengan orang lain yang tentunya mempunyai pengetahuan tentang pokok penelitian
dan metode penelitian yang diterapkan, seperti dengan pembimbing ataupun orang
lain yang berkompeten. Secara lebih lanjut keabsahan data akan diperoleh dari proses
data yang dilakukan. Informan yang dipilih adalah informan yang mempunyai
pengetahuan, mendalami situasi, dan lebih mengetahui informasi yang diperlukan.
3.6. Metode Analisis Data
Metode yang digunakan untuk menganalisis data yang telah terkumpul dari
lapangan adalah metode kualitatif yaitu menginterprestasikan data yang telah
diperoleh ke dalam bentuk kalimat-kalimat dengan menggunakan langkah-langkah
sebagaimana diuraikan oleh Mathew B. Miles dan Michael A Huberman (1992)
sebagai berikut:
1) Pengumpulan data lapangan
Untuk memperoleh data dari lapangan, dilakukan kegiatan observasi dan
wawancara, kemudian dalam pengumpulan data tersebut dilaksanakan kegiatan
triangulasi.
2) Reduksi Data
Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian dan penyederhanaan,
di lapangan. Reduksi data bukanlah suatu hal yang terpisah dari analisis data
lapangan.
3) Penyajian data
Penyajian data diartikan sebagai kegiatan untuk menyusun informasi yang
memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
Dengan penarikan data akan dipahami apa yang terjadi, apa yang harus dilakukan
dan lebih jauh lagi menganalisis atau mengambil tindakan berdasarkan atas
pemahaman yang didapat dari penyajian-penyajian tersebut.
4) Penarikan kesimpulan
Langkah ini menyangkut interpretasi penelitian yaitu menggambarkan maksud
dari data yang ditampilkan. Cakupan dari cara yang dipergunakan sangat beragam
mulai dari perbedaan dan pembandingan yang tipologis dan meluas, pencatatan
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
Kota Kisaran merupakan ibukota Kabupaten Asahan, berjarak ±160 km
dari ibukota Provinsi Sumatera Utara (Medan). Kota kisaran terbagi menjadi dua
kecamatan yaitu Kecamatan Kota Kisaran Timur dan Kecamatan Kota Kisaran
Barat. Kota Kisaran selain dilintasi oleh jalan raya lintas Sumatera yang terletak
di jalur kereta api Sumatera bagian utara. Batas-batas wilayah kota Kisaran
yaitu:
1. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Simpang empat
2. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Airbatu
3. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Aek Kuasan.
4. Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Airjoman
Dengan mempertimbangkan posisi yang strategis, pada tanggal 20 Mei
1968 melalui PP Nomor 19 tahun 1980, ibukota Kabupaten Asahan dipindahkan
dari Kota Tanjungbalai ke Kota Kisaran. Status Kisaran sebelumnya adalah kota
administratif, yang kemudian dihapuskan menjadi kea biasa pada tahun 2003
karena tidak memenuhi persyaratan peningkatan daerah.
Luas wilayah kisaran berkisar 462.441 Ha jumlah penduduk 118.750 jiwa,
berasal dari salah satu kota yang bernama Asahan. Ciri khas dari wilayah kisaran
merupakan daerah penghasil kerang. Wilayahnya terbagi dalam dua wilayah yakni
Kecamatan Kota Kisaran Timur, dan Kecamatan Kota Kisaran Barat.
Penduduk Kota Kisaran pada umumnya sebagian besar penduduk kota
kisaran adalah berprofesi sebagai wiraswasta, pedagang, pegawai negeri sipil,
buruh, karyawan, pegawai swasta, dan lain-lain. Luas wilayah yang ada di wilayah
Kota Kisaran diantaranya adalah perumahan dan wilayah pasar, lapangan, stasiun
angkatan, dan lain-lain.
Sarana dan prasarana yang ada di Kota Kisaran ada beberapa tempat fasilitas
olah raga, gedung pertemuan yang ada pada yang ada di Kota K