• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asuransi dan garansi di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Asuransi dan garansi di Indonesia"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBERIAN SURAT GARANSI DALAM J UAL BELI DI INDONESIA

Disusun Guna untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah : Hukum Perikatan

Dosen Pengampu: Mabarroh Azizah, S.H.I.,M.H.

Disusun Oleh:

Alif Fatkhur Riza 1522301049 Khusmidatun Nafisah 1522301067

Lisna Yulita 1522301069

J URUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO

(2)

PEMBERIAN SURAT GARANSI DALAM J UAL BELI DI INDONESIA

A. Pendahuluan

Semakin berkembangnya zaman, tentu semakin besar persaingan pasar dalam segala bidang termasuk jual beli. Berbagai cara unik produsen membuat suatu keunikan dalam produknya. Diantaranya membuat suatu terobosan terbaru seperti penjualan melaui situs-situs media online, adapula diantaranya memberikan sebuah garansi sebagai daya tarik tersendiri untuk meningkatkan hasil penjualannya.

Suatu kontrak atau perjanjian (jual beli) harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan sebab yang halal sebagaimana ditentukan dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan dipenuhinya empat syarat tersebut menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi npara pihak yang membuatnya1. Ilmu hukum membedakan perjanjian kedalam perjanjian konsensuil, perjanjian rill, dan perjanjian formil. Dalam perjanjian konsensuil seperti telah dijelaskan syarat-syaratyang ditentukan dalam pasal 1320 KUH Perdata bila tidak terpenuhi unsurnya maka pejanjian itu tidak sah dan terancam batal. Hal ini dapat terjadi bilamana salah satu pihak merasa ingin adanya pembatalan perjanjian tersebut. Namun apabila perjanjian tersebut dalam hal jual beli, terkadang adanya tuntutan ganti rugi yang seringkali diajukan oleh pembeli adalah bentuk lain dari suatu pembatalan tersebut. Lantas dengan dasar apakah pihak pembeli mengajikan ganti rugi kepada pihak penjual.

Terkait dengan hal tersebut bagaimana apabila terjadi hal yang belum diketahui atau mengalami kerusakan disebabkan tidak tahu

(3)

yang mana pihak kedua (contohnya pembeli) dan ingin mengembalikannya kepada pihak pertama (contoh penjual) sebagaimana yang termaksud dalam alinea sebelumnya penulis akan membahas mengenai perjanjian garansi. Bagaimana upaya hukumnya dan bagaimana pandangan Islam terntang hal tersebut.

Pembahasan perjanjian garansi ada pada Kitab Undang-undang Hukum Perdata, adapun dalam Undang-Undang-undang Perlindungan Konsumen pada pasal 25. Sementara itu Islam juga mengatur seputar pemberian garansi. Oleh sebab itu akan penulis gambarkan mengenai bagaimana pemberian surat garansi berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, KUH Perdata dan Islam.

B. Pemberian Garansi Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Kata garansi berasal dari bahasa Inggris Guarantee yang berarti jaminan atau tanggungan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, garansi mempunyai arti tanggungan, sedang dalam ensiklopedia Indonesia, garansi adalah bagian dari suatu perjanjian dalam jual beli, dimana penjual menanggung kebaikan atau keberesan barang yang dijual untuk jangka waktu yang ditentukan. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata garansi termasuk pada bagian jaminan perorangan, yang diatur pada buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Garansi merupakan bagian dari suatu perjanjian, maka termasuk didalam buku ke III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengenai perikatan (van verbintenissen). Perjanjian garansi diatur dalam Pasal 1316 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.2 Garansi adalah surat keterangan dari suatu produk bahwa pihak produsen (pelaku usaha) menjamin produk tersebut bebas dari

(4)

kesalahan pekerja dan kegagalan bahan dalam jangka waktu tertentu.3

Garansi ini sangat berharga sebab dengan adanya garansi, selain jaminan kualitas produk tersebut juga mempengaruhi harga jual dan minat pembeli suatu produk. Dengan adanya garansi, nilai jual suatu produk akan bertambah dan keberadaan garansi tersebut dapat meningkatkan minat konsumen untuk membelinya. Suatu produk yang sejenis akan sangat berbeda dari segi harga bila yang satu memilki garansi dan yang lain tidak. Harga produk yang tidak bergaransi biasanya lebih rendah dari yang bergaransi, namun demi keamanan dan terjaminnya kualitas suatu produk, konsumen biasanya memilih produk yang bergaransi.

Garansi biasanya tercapai setelah adanya kesepakatan antara kedua belah pihak yang bertransaksi atau yang mengadakan perjanjian. Namun garansi seharusnya tidak hanya bergantung pada hasil kesepakatan antara para pihak yang terlibat dalam transaksi. Pasal 7 huruf e Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen secara tegas menyatakan bahwa salah satu dari kewajiban pelaku usaha adalah memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/ atau mencoba barang dan/ atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/ atau garansi atas barang yang dibuat dan/ atau yang diperdagangkan. Kata garansi muncul enam kali dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen. Salah satunya ada dalam Pasal 25, yang menyatakan:4

1. Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/ atau fasilitas purnajual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai

3http:/ / id.wikipedia.org/ wiki/ Garansi/ 2009/ 01/ 02. diakses pada tanggal 7 oktober2017, Pukul 11.46 WIB, Wikipedia Indonesia, “Garansi”,

(5)

dengan yang diperjanjikan.

2. Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada Ayat (1 ) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/ atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut:

a. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/ atau fasilitas perbaikan

b.  tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan dan/ atau garansi yang diperjanjikan.

Dalam pasal tersebut pihak konsumen berhak melakukan tuntutan ganti rugi, apabila memang benar tututan berdasarkan bahwa kesalahan ada pada pihak pelaku usaha. Namun dalam Pasal 27 yang berbunyi: “Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:5

1. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan

2. cacat barang timbul pada kemudian hari

3. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang

4. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen

5. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan.

Dengan adanya pasal tersebut pihak pelaku usaha dapat mengajukan untuk adanya penyelidikan apakah apabila dalam sebuah tuntutan tentang ganti rugi benar-benar kesalahan pelaku usaha atau murni kesalahan kosumen.

C. Pemberian Garansi Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata

(6)

Pasal 1474 yang berbunyi “ Ia mempunyai dua kewajiban utama, yatu menyerahkan barangnya dan menanggungnya”6. Dalam hal ini pihak penjual atau pelaku usaha sebagai penjual memberi pertanggungan atau jaminan bahwa barang yang dijual tidak mempunyai sangkutan apapun berupa tuntutan maupun pembebanan. Kewajiban menjamin atau menanggung dari pihak pelaku usaha atau penjual ialah menjamin barang yang dijualnya, yang mana diperjelas daam pasal 1491 berbunyi “penanggungan yang menjadi kewajiban si penjual terhadap si pembeli, adalah untuk menjamin dua hal, yaitu pertama penguasaan benda yang dijual secara aman dan tentram; kedua terhadap adanya cacat-cacat barang tersebut yang tersembunyi, atau yang sedemikian rupa hingga menerbitkan alasan untuk pembatalan pembeliannya”7. Maksud dari tentram dan damai sendiri yaitu dalam kekuasaan pembeli, tanpa ganggu gugat siapapun juga, dan menjamin bahwa barang yang dijual tidak mengenai cacat yang trsembunyi dan cacat yang nyata.

J aminan atas gangguan dan cacat barang merupakan kewajiban yang harus ditanggung oleh penjual demi hukum8. Dengan kata lain, kewajban menjamin barang yang dijual adalah kewajiban yang ahir dengan sendirinya menurut hukum. Sekalipun jaminan tidak ada disebutkan daam perjanjian, hal itu tidak mengurangi hakekat, bahwa penjaminan atas barang yang dijual merupakan kewajiban karena hukum. Tujuannya yaitu agar pembeli tidak mengaami kerugian, juga agar barang yang dibeli benar-benar terlepas dari beban yang dimiliki pihak ketiga.

Namun demikian penjual dan pembeli dapat membuat persetujuan istimewa yang memperluas atau mengurangi jaminan

6Subekti, Tjitrosudibio,Kitab Undang-undang Hukum Perdata. (J akarta: Pt Pradnya Paramita, 2011), hlm 369.

7Ibid,hlm 371.

(7)

atau bahkan menghiangkan kewajiban jaminan pihak penjual diluar yang telah ditentukan undang-undang sebagaimana dalam pasal 1493. Akan tetapi bagaimanapun mereka membuat persetujuan yang menghapuskan kewajiban penjami barang, ada suatu hal yang tak bisa dihilangkan. Yakni jaminan untuk menanggung kerugian yang diderita pembeli, karena akibat dari perbuatan yang timbul dari perbuatan penjual, dengan sendirinya batal menurut hukum (pasal 1949 KUH Perdata).

J aminan kualitas produk yang ditawarkan oleh pelaku usaha merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pilihan konsumen. Umumnya jaminan kualitas dinyatakan secara tegas dalam proses penawaran maupun pada perjanjian jual beli. Ada dua macam jaminan dalam praktik jual beli produk, yaitu:9

1. Express Warranty (jaminan secara tegas)

Express Warranty adalah suatu jaminan atas kualitas produk, baik dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Adanya express warranty ini, berarti produsen sebagai pihak yang menghasilkan barang (produk) dan juga penjual sebagai pihak yang menyalurkan barang atau produk dari produsen atau pembeli bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajibannya terhadap adanya kekurangan atau kerusakan dalam produk yang dipasarkan. Dalam hal demikian, konsumen dapat mengajukan tuntutannya berdasarkan adanya wanprestasi.

2. Implied Warranty

Implied warranty adalah suatu jaminan yang dipaksakan oleh undang-undang atau hukum, sebagai akibat otomatis dari penjualan barang-barang dalam keadaan tertentu. J adi, dengan implied warranty dianggap bahwa jaminan ini selalu mengikuti

9Andrian Sutedi,Tanggung J awab Produk dalam Hukum Perlindungan

(8)

barang yang dijual, kecuali dinyatakan lain

Mengenai ketentuan-ketentuan yang merupakan kesepakatan antara kedua pihak dalam perjanjian garansi jual beli biasanya tercantum dalam surat garansi yang diberikan kepada pembeli, antara lain berupa jenis cacat yang termasuk dalam penjaminan masa garansi dan sebagainya. Ketentuan-ketentuan tersebut biasanya dibuat oleh pihak penjual sebelum transaksi sehingga pembeli tidak ikut andil dalam memutuskan ketentuan-ketentuan itu. Pembeli tidak berhak untuk menawar syarat-syarat yang telah ditentukan oleh penjual. Dalam perjanjian ini, pembeli hanya dihadapkan pada dua pilihan yaitu:

a. J ika pembeli ingin melakukan transaksi, maka harus sepakat dengan ketentuan-ketentuan tersebut.

b. J ika pembeli tidak sepakat dengan ketentuan-ketentuan tersebut, maka transaksi tidak akan terjadi.10

D. Pemberian Garansi Berdasarkan Islam

Dalam perdata Islam dikenal istilah Wa’ad yang berarti janji, yaitu ihkbaran insyail mukhbir ma’rufan lilmustaqba, suatu pernyataan yang dimaksud oleh pemberi pernyataan untuk melakukan perbuatan baik dimasa depan. Pengertian lain adalah, “keinginan yang dikemukakan oleh seseorang untuk melakukan sesuatu, dalam rangka memberikan keuntungan bagi pihak lain.” Orang yang memberikan janji (wa’ad), bila menjalankan janji tersebut merupakan suatu bentuk etika yang baik karena didasarkan pada kontrak yang baik (tabarru’)11.

Berkaitan dengan janji (wa’ad) para ulama berbeda pendapat, namun mayoritas ulama berpendapat bahwa janji (wa’ad) hanya

10Ibid.,hlm. 77

11Faturrahman Djamil,Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di

(9)

mengikat secara moral/ agama (morally binding/mulzimun diyanah), dan tidak mengikat secara hukum. Meskipun demikian dari pandangan ahli hukum Islam ada yang berpendapat bahwa janji (wa’ad) ni tidak hanya mengkat secara moral, tetapi juga mengikat secara hukum (legally binding/mulzimun qadha’an). Wa’ad dapat dinilai mengikat secara hukum apabila dalam wa’ad tersebut dikaitkan dengan suatu sebab atau dengan adanya pemenuhan suatu kewajiban, baik sebab itu disebutkan dalam pernyataan wa’ad atau tidak disebutkan.

Berikut beberapa pandangan dikalangan fuqaha mengenai wa’ad, yaitu:12

1. Pendapat J umhur Fuqaha dari Hanafiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, dan satu Pendapat dari Malikiyah yang mengatakan bahwa janji merupakan kewajiban agama dan merupakan kewajiban hukum formal, karena wa’ad merupakan akad tabarru

(kebajikan/ kedermawaan) dan akad tabarru tidaklah lazimah(mengikat).

2. Pendapat sebagian ulama, diantaranya Ibn Syubrumah (144 H), Ishaq bin Rahawiyah (237 H) Hasan Basri (110 H) dan sebagian Malikiyah yang menyatakan bahwa “janji itu wajib dipenuhi dan mengikat secara hukum”. Hal ini didasarkan pada firman Allah Swt (artinya) “ Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu lakukan. Amat besar murka

Allah bagi orang yang berkata tapi tidak dilakukan”(QS. Ash Shaff :

1)

a. Pendapat sebagianfuqaha Malikiyah yang menyatakan bahwa janji itu bersifat secara hukum apabila janji tersebut berkaitan dengan suatu sebab, sekalipun sebab tersebut tidak menjadi bagian disebutkan dalam perkara janji tersebut.

(10)

b. Pendapat Malikiyah, yang masyhur diantara mereka adalah pendapat Ibn Qasim, yang mengatakan janji itu bersifat mengikat untuk dipenuhi apabila berkaitan dengan sebab dan sebab tersebut ditegaskan dalam pernyataan janji tersebut. Pendapat Maliki diatas, yang berpendapat bahwa wa’ad dapat mengikat secara hukum, tampaknya menjadi argumen yang dijadikan dasar dan disepakati oleh para ulama yang berada dalam Perkumpulan Ulama Fiqih (Majma al-Fiqh a-Islami/The Council of

Islamic Fiqh Academy) pada saat memberikan fatwa berkaitan

dengan masalah janji. Dasar atau sebab yang menjadikan wa’ad tersebut mengikat secara hukum adalah ketika wa’ad tersebut secara fungsional didalamnya memuat klausul-klausul atau materi pemenuhan suatu kewajiban yang merupakan kesepakatan dari para pihak yang meakukan wa’ad atau perjanjian13

E. Kesimpulan

Kata garansi berasal dari bahasa Inggris Guarantee yang berarti jaminan atau tanggungan. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, garansi mempunyai arti tanggungan, sedang dalam ensiklopedia Indonesia, garansi adalah bagian dari suatu perjanjian dalam jual beli, dimana penjual menanggung kebaikan atau keberesan barang yang dijual untuk jangka waktu yang ditentukan.

Garansi sendiri dalam KUH Perdata diatur dalam pasal 1491 tentang garansi atau kewajiban penjual. Bahwa dalam suatu perjanjian antara penjual dan pembeli, maka pihak pelaku usaha atau penjual wajib memberikan suatu jaminan garansi mengenai prodak tersebut. J aminan tersebut ditetapkan aturannya dalam Undang-undang perlindungan Konsumen atau yang disepakati kedua belah pihak.

(11)

Sedangkan dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen tedapat dalam pasal 25. Dalam pasal tersebut diatur batasan minimal suatu tenggang waktu yang diberikan pelaku usaha atau penjual.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Djamil, Faturrahman.Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di

Lembaga Keuangan Syariah.J akarta: SinarGrafika. 2008.

Harahap, Yahya.Segi-segi Hukum Perjanjian. Bandung: Penerbit Alumni. 1986.

Rachmadi.Hukum J aminan Keperdataan.J akarta: SinarGrafika. 2009. Sutedi, Aditya.Tanggung J awab Produk Dalam Hukum Perlindungan

Konsumen. Bogor: Ghalia Indonesia. 2008

Suharnoko.Hukum Perjanjian: Teori dan Analisis Kasus.J akarta: Kencana. 2009.

Tjitrosudibio, Subekti.Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. J akarta: PT.Pradya Paramita. 2011.

UUPK

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah yang terdiri dari Lingkungan Pengendalian, Penilaian Resiko,

Konsep diri positif yang dimiliki oleh anggota Satlantas dapat membuat anggota Satlantas mampu memahami dirinya dan tidak merasa minder atau malu untuk melakukan komunikasi

Secara umum kecelakaan merupakan segala suatu yang terjadi tidak sesuai dengan kondisi operasional yang diinginkan baik itu disebabkan karena adanya kesalahan, kegagalan dan

Hasil tanaman cabai di lahan rawa lebak dapat mencapai lebih besar 7 t/ha bila tingkat keseragaman tetesan lebih ditingkat- kan melalui perbaikan dan perawatan

Sedangkan dalam hukum Islam, dalam masalah penjatuhan hukuman atau penetapan vonis hukuman, Islam tidak mengenal adanya hal-hal yang memberatkan apalagi hal-hal yang

Gubemur Lampung Nomor 43 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan, maka Peraturan Gubernur dimaksud, perlu di ubah karena adanya

Legal Audit atau auditing hukum adalah melakukan analisis isi aturan hukum (UU atau Perda) yang terumus dalam pasal-pasal dan penjelasan-penjelasan bagi UU atau Perda yang

Rolas Nusantara Mandiri baik di kantor pusat Surabaya maupun Unit Kopi Bubuk (UKB) Jember, khususnya Bapak Sandy, Bapak Miswono, dan Bapak Buadi yang telah bersedia