STRATEGI NARATIF DALAM PENGGAMBARAN KONFLIK IDEOLOGIS
PADA NOVEL
KAMBING DAN HUJAN
KARYA MAHFUD IKHWAN
The Narrative Strategy in Representation of Ideological Conflict in Mahfud Ikhwan’sNovel Kambing dan Hujan
Hilda Septriani, Aquarini Priyatna, Amaliatun Saleha
Program Studi Magister Ilmu Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran Jalan Ir. Soekarno Km. 21, Jatinangor-‐Sumedang 45363, Indonesia
Telepon/Faksimile (022) 87920401, Pos-‐el: septrianihilda@yahoo.co.id
(Naskah Diterima Tanggal 24 Februari 2017—Direvisi Akhir Tanggal 18 April 2017—Disetujui Tanggal 23 April 2017)
Abstrak: Penelitian ini bertujuan mengungkap strategi naratif dalam penggambaran konflik ide-‐ ologis antara Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah serta negosiasi antartokoh yang ditam-‐ pilkan di dalam novel Kambing dan Hujan karya Mahfud Ikhwan. Masalah yang dibahas adalah bagaimanakah strategi naratif untuk menggambarkan konflik ideologis antara NU dan Muhammadiyah serta bagaimanakah negosiasi ideologis antartokoh ditampilkan di dalam novel. Teori yang digunakan adalah teori strategi naratif yang dikemukakan oleh Mieke Bal (1997) dan Fludernik (2009). Adapun metode yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk menggambarkan konflik ideologis antara NU dan Muhammadiyah da-‐ lam novel digunakan strategi naratif melalui narator, fokalisasi, alur, dan latar. Konflik ideologis muncul karena adanya ketidaksamaan praktik-‐praktik keagamaan yang dilakukan oleh para to-‐ koh sebagai representasi anggota kelompok NU dan Muhammadiyah di dalam novel. Pada akhir-‐ nya, berbagai negosiasi ditampilkan dalam teks melalui representasi tokoh yang berafiliasi dengan NU dan Muhammadiyah untuk meredam konflik ideologis di antara keduanya.
Kata-‐Kata Kunci: novel; strategi naratif; konflik ideologis
Abstract: This research aims at conveying narrative strategy in depicting ideological conflict between Nahdlatul Ulama (NU) and Muhammadiyah, and negotiations among the characters in
Kambing dan Hujan novel written by Mahfud Ikhwan. The problem-‐discussed in this study is how the narrative strategy depicts ideological conflicts between NU and Muhammadiyah and how ideological negotiations of those characters are depicted in the novel. The theory is the theory of narrative strategy proposed by Mieke Bal (1997) and Fludernik (2009). This study uses a qualitative descriptive method. The result shows that to describe the ideological conflicts between NU and Muhammadiyah, the novel uses narrative strategies through narrator, vocalization, plots and setting. Ideological conflicts arise because there is inequality of religious practices performed by the characters appearing in the novel as a representation of both adherents of NU and Muhammadiyah. At the end, any kind of negotiation is displayed through the representation of the characters affiliated with NU and Muhammadiyah to diminish the ideological conflict between them.
Key Words: novel; narrative strategy; ideological conflict
How to Cite: Septriani, H., Priyatna A., Saleha A. (2017). Strategi Naratif dalam Penggambaran Konflik Ideologis pada Novel Kambing dan Hujan Karya Mahfud Ikhwan. Atavisme, 20 (1), 68-‐83 (doi: 10.24257/atavisme.v20i1.301. 68-‐83)
Permalink/DOI: http://doi.org/10.24257/atavisme.v20i1.301.68-‐83
PENDAHULUAN
Istilah ‘ideologi’ pada awalnya dikemu-‐ kakan oleh Cabanis, Destutt de Tracy dan teman-‐temannya di Perancis. Ideologi di-‐ pahami sebagai konsep yang terdapat pada setiap alasan seseorang ketika me-‐ lakukan sesuatu dalam kehidupan seha-‐ ri-‐hari. Louis Althusser (1971:159) ber-‐ argumentasi dengan mengemukakan bahwa ideologi adalah sistem gagasan dan representasi yang mendominasi pe-‐ mikiran seseorang atau sebuah kelom-‐ pok sosial. Althusser juga melihat ideo-‐ logi selalu bersifat menginterpelasi indi-‐ vidu menjadi subjek (individu yang me-‐ lakukan pekerjaan) konkret dalam kese-‐ hariannya. Individu yang terpengaruh ideologinya, akhirnya mewujudkan diri sebagai subjek konkret untuk mengikuti apa yang diinginkan oleh ideologi terse-‐ but.
Keberadaan ideologi juga dapat di-‐ identifikasi melalui penyebarannya ke seluruh tatanan. Segala tatanan yang menjadi alat ideologi disebut Althusser sebagai aparatus. Aparatus kemudian ju-‐ ga dapat menjelma melalui institusi-‐in-‐ stitusi yang menopang kekuasaan suatu negara dengan mengacu pada pengkla-‐
sifikasian jenis aparatus tersebut.
Althusser (1971:144) membaginya ke dalam dua kategori yaitu Aparatus Ideo-‐
logi Negara (Ideology State Apparatus/
ISA) dan Aparatus Represi Negara (Re-‐
pressive State Apparatus/RSA). Adapun institusi yang berfungsi sebagai ISA yaitu ISA agama, ISA pendidikan, ISA keluarga, ISA hukum, ISA politik (sistem politik, termasuk partai-‐partai yang berbeda), ISA serikat-‐buruh, ISA komunikasi (pers, radio, dan televisi, dan seterusnya), dan ISA budaya (sastra, seni, olahraga, dan seterusnya).
Beragam aparatus tersebut ber-‐ fungsi pada ranahnya masing-‐masing, termasuk ISA agama yang hadir dalam masyarakat dengan menjelma melalui
organisasi atau lembaga keagamaan yang mapan. Salah satu karya sastra yang menggambarkan sistem ideologi melalui organisasi sosial keagamaan dan menampilkan negosiasi ideologis adalah
novel Kambing dan Hujan yang ditulis
oleh Mahfud Ikhwan. Novel ini diterbit-‐
kan pertama kali oleh Bentang di Yogya-‐ karta pada tahun 2015 dan menarik per-‐ hatian para pembaca karena berhasil di-‐ nobatkan sebagai pemenang pertama sa-‐ yembara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2014 dan menjadi nominasi Kusa-‐ la Sastra Khatulistiwa untuk kategori
prosa tahun 2015. Novel Kambing dan
Hujan menghadirkan kisah cinta Miftahul, yang di dalam novel kerap di-‐ panggil “Mif” dan Fauzia. Keduanya di-‐ gambarkan tinggal di Desa Centong. Pembacaan yang mendalam menunjuk-‐ kan hubungan yang lebih kompleks yak-‐ ni konflik ideologis antara NU dan Muhammadiyah yang direpresentasikan oleh kedua tokoh tersebut. Mif dan Fauzia juga digambarkan tidak saling mengenal sebelumnya karena Mif dibe-‐ sarkan dalam keluarga Islam modernis yang lekat sekali dengan kelompok Muhammadiyah, sedangkan Fauzia di-‐ bentuk oleh keluarga Islam ortodoks yakni NU. Fauzia dan Mif yang ditampil-‐ kan sebagai warga Desa Centong menya-‐ dari adanya hambatan besar yang ber-‐ potensi menghalangi niat mereka untuk menikah. Ada perbedaan ideology. Mif dibesarkan di Masjid Utara yang berafi-‐ liasi dengan Muhammadiyah, sedangkan Masjid Selatan yang membentuk Fauzia berafiliasi dengan NU.
(2013:114) bahwa pergesekan antara NU dan Muhammadiyah tidak akan ter-‐ lalu terasa di luar Jawa Timur dan Jawa Tengah. Hal ini yang mendasari pemilih-‐ an latar tempat dalam novel memiliki si-‐ si ideologis tersendiri, yaitu untuk meng-‐ hubungkan kerangka cerita yang dapat menunjukkan perbedaan dalam praktik keagamaan antara kedua ormas Islam tersebut.
Novel Kambing & Hujan karya
Mahfud Ikhwan pernah diteliti oleh Chintia Frastica (2016) dengan judul skripsi “Representasi Toleransi antara Muhammadiyah dan NU dalam Novel
Kambing dan Hujan karya Mahfud Ikhwan” pada Program Studi Sastra In-‐ donesia, Universitas Padjadjaran. Di da-‐ lam penelitian ini dibahas representasi toleransi antara NU dan Muhammadiyah
yang digambarkan dalam novel Kambing
dan Hujan dengan menggunakan teori strukturalisme, sosiologi sastra, dan re-‐ presentasi. Hasil penelitiannya menun-‐ jukkan bahwa pada akhirnya para tokoh di dalam novel saling bertoleransi me-‐ lalui sikap-‐sikap yang dilakukannya.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Abdul Karim Wirawan (2017) dengan judul skripsi “Nilai Trilogi Islam dalam
Novel Kambing dan Hujan karya Mahfud
Ikhwan” pada Program Studi Sastra In-‐ donesia, Universitas Negeri Malang. Pe-‐ nelitian Wirawan berfokus untuk meng-‐ ungkapkan nilai-‐nilai agama Islam yang berupa keislaman, keimanan, dan keih-‐ sanan yang ditampilkan di dalam novel. Dengan bertumpu pada sosiologi sastra, penelitian ini berupaya menunjukkan perwujudan nilai-‐nilai keislaman, ke-‐ imanan dan keihsanan yang tergambar dalam novel dengan cara mendirikan sa-‐ lat, membayar zakat, mengerjakan pua-‐ sa, percaya kepada Tuhan, percaya ke-‐ pada Rasulullah, bersedekah, bersabar, dan bertakwa.
Berangkat dari penelusuran peneli-‐ tian yang telah dilakukan sebelumnya,
dapat diketahui bahwa konflik dan nego-‐
siasi ideologis antara NU dan
Muhammadiyah yang ditampilkan da-‐
lam novel Kambing dan Hujan ini belum
pernah diteliti secara khusus dengan menggunakan strategi naratif. Oleh se-‐ bab itu, tulisan ini diharapkan dapat tu-‐ rut berkontribusi dalam diskusi menge-‐ nai konflik dan negosiasi ideologis anta-‐ ra NU dan Muhammadiyah yang ditam-‐ pilkan dalam teks sastra.
Sebagai karya sastra yang tergolong teks naratif dalam menggambarkan isu
yang diusungnya, novel Kambing dan
Hujan juga dilengkapi dengan strategi narasi yang saling berkelindan. Oleh ka-‐ rena itu, masalah yang dibahas dalam penelitian ini sebagai berikut. (1) Bagai-‐ manakah strategi naratif bekerja untuk menggambarkan konflik ideologis anta-‐ ra NU dan Muhammadiyah dalam novel? (2) Bagaimanakah negosiasi ideologis antartokoh ditampilkan di dalam novel? Tujuan penelitian ini adalah: pertama, untuk menunjukkan strategi naratif yang bekerja dalam penggambaran konflik ideologis NU dan Muhammadiyah dalam novel; kedua, untuk menampilkan nego-‐ siasi ideologis antartokoh yang dihadir-‐ kan di dalam novel.
Untuk membahas masalah tersebut, penulis menggunakan teori strategi na-‐ ratif yang dipaparkan oleh Mieke Bal (1997) dan Fludernik (2009). Selain itu, juga digunakan teori terkait ideologi yang dikemukakan oleh Althusser (1971). Berkenaan dengan teks naratif, karya sastra termasuk menjadi bagian di dalamnya yang dilengkapi dengan narasi yang saling berelasi. Fludernik (2009:2) menguraikan bahwa narasi dipahami se-‐ bagai sebuah teks tertulis atau lisan yang memberikan informasi tentang suatu ke-‐ jadian, peristiwa atau rangkaian peristi-‐
wa yang dihubungkan secara kronologis.
dalam teks dapat dikaji melalui strategi naratif. Todorov sebagaimana dibahas Jahn (2005:20) menyebutkan bahwa strategi naratif dalam teks membedakan dua hal yakni apa itu narasi (cerita) dan bagaimana narasi itu diceritakan (pence-‐ ritaan). Cerita adalah rangkaian peristi-‐ wa yang bergerak logis dan runut, se-‐ dangkan definisi penceritaan adalah cara yang digunakan untuk menyampaikan sebuah cerita.
Melalui analisis strategi naratif yang didukung dengan pembahasan terkait dengan ideologi organisasi sosial keaga-‐
maan Islam di dalam novel Kambing dan
Hujan karya Mahfud Ikhwan ini, maka dapat ditampilkan narasi-‐narasi yang merepresentasikan adanya konflik ideo-‐ logis antara NU dan Muhammadiyah. Adapun dalam penelitian ini, strategi na-‐ ratif yang dibahas meliputi narator, foka-‐ lisator, teknik penceritaan alur kilas ba-‐
lik (retroversion), dan latar yang muncul
secara dominan di dalam novel.
Bal (1997:19) memaparkan penger-‐ tian narator yang menjadi elemen paling sentral dalam menganalisis teks naratif. Narator dipahami sebagai pembicara atau seseorang yang menjadi suara
(voice) di dalam wacana naratif. Narator merupakan agen yang berkomunikasi dengan penerima (pembaca) yang me-‐ ngatur rencana dan menentukan apa yang harus dikatakan atau bagaimana cara penyampaiannya di dalam narasi. Keberadaan narator dapat dianalisis hu-‐ bungannya dengan fokalisator, tetapi ha-‐ nya narator yang bercerita melalui medi-‐ um bahasa yang kemudian menjadi na-‐ rasi di dalam teks.
Penjelasan terkait jenis narator yang lebih spesifik dikemukakan oleh Bal (1997:22) bahwa terdapat dua kategori
narator, yaitu extern narrator (narator
orang ketiga atau serba tahu) dan cha-‐
racter-‐bound narrator (narator orang
pertama). Extern narrator adalah nara-‐
tor yang tidak pernah merujuk secara
eksplisit kepada dirinya sendiri sebagai tokoh di dalam narasi. Narator juga tidak
ada dalam cerita sebagai aktor. Charac-‐
ter-‐bound narrator adalah tokoh di da-‐ lam cerita yang menuturkan dan mengi-‐ sahkan tentang dirinya sendiri. Pada
prinsipnya, perbedaan antara extern nar-‐
rator dan character-‐bound narrator ter-‐ letak pada objek penceritaannya yakni narator yang menceritakan orang lain dan narator yang bercerita tentang diri-‐ nya sendiri.
Selanjutnya, dasar perbedaan antara narator dan fokalisator adalah perspektif dari siapa yang melihat dan siapa yang menuturkan cerita. Pengertian fokalisa-‐ tor adalah seseorang yang mengarahkan sudut pandang di dalam teks naratif. Fo-‐ kalisasi menekankan dari pandangan siapa suatu tuturan tersebut dan apa yang dikemukakannya. Bal (1997:142-‐ 146) menambahkan bahwa fokalisasi di-‐ identifikasi sebagai hubungan antara penglihatan dengan objek yang dilihat dan dirasakan atau hubungan antara penglihatan dengan agen yang melihat-‐ nya dan juga objek yang dilihat. Fokalisa-‐ si dimunculkan dengan tujuan tertentu. Bila fokalisator sama dengan seorang to-‐ koh di dalam narasi, maka secara teknis tokoh itu lebih beruntung jika diban-‐ dingkan tokoh-‐tokoh lainnya. Hal ini di-‐ karenakan pembaca yang turut melihat melalui pandangan tokoh itu pada prin-‐ sipnya cenderung menerima visi tokoh tersebut. Luxemburg (1991:132) juga menjelaskan bahwa proses pengamatan atau fokalisasi merupakan suatu proses yang sangat bergantung pada keduduk-‐ an orang yang mengamati. Pengamatan seseorang tergantung dari sekian ba-‐ nyak faktor sehingga mustahil mencapai konsep objektivitas yang diharapkan.
Menurut Bal (1997:150), teknik fo-‐ kalisasi dibagi ke dalam dua kategori yai-‐
tu character-‐bound focalization dan ex-‐
pada seorang tokoh dan dapat berganti atau beralih dari satu tokoh ke tokoh yang lain. Selain itu, terdapat pula kasus yang menampilkan berbagai tokoh ber-‐ hadapan dengan peristiwa yang sama. Teknik ini dapat memberikan hasil yang objektif terhadap semua tokoh, jika foka-‐ lisasi berada pada satu karakter melalui tokoh dalam narasi. Kelemahan CF ini adalah rentan dengan pembatasan dan biasnya objek fokalisasi. Sementara itu,
extern focalization adalah agen tidak di-‐ kenal yang disituasikan di luar cerita, na-‐ mun berfungsi menjadi fokalisator.
Analisis latar digunakan dalam pe-‐ nelitian ini untuk melihat relevansi penggambaran konflik antara NU dan
Muhammadiyah pada novel Kambing
dan Hujan. Bal (1997:133) menguraikan latar sebagai salah satu elemen dalam narasi. Latar juga merujuk pada posisi topologi dan dunia yang melingkupi para tokoh dalam cerita. Sebuah cerita harus memiliki kejelasan tempat berlangsung-‐ nya peristiwa. Pengarang memilih latar tertentu dalam karyanya dengan mem-‐ pertimbangkan unsur-‐unsur watak para tokohnya dan persoalan atau tema yang digambarkannya.
Nurgiyantoro (2013:217) juga me-‐ nambahkan bahwa fungsi latar dapat menjadi pijakan cerita secara konkret dan jelas. Persoalan latar tempat dapat menggambarkan peristiwa yang terjadi di dalam cerita dan berguna untuk mem-‐ berikan perbedaan karakteristik dan ke-‐ san realistis kepada pembaca. Selain des-‐ kripsinya, hal yang menentukan keber-‐ hasilan suatu latar ialah dapat diidenti-‐ fikasi dari cara bagaimana pengarang memadukan tokoh-‐tokohnya di dalam cerita yang bersesuaian dengan peran mereka dalam kerangka latar yang di-‐ tampilkan.
Di samping itu, bahasan mengenai alur juga diperlukan dalam penelitian ini untuk membantu memaparkan perma-‐ salahan yang dikaji. Menurut Sayuti
(2009:7), alur merupakan rangkaian pe-‐ ristiwa dalam cerita yang memiliki sifat kewaktuan temporal sebagai pola yang majemuk dan memiliki hubungan kausa-‐ litas atau sebab akibat. Fludernik (2009:5) menjelaskan bahwa alur dalam narasi dibagi menjadi tiga bagian utama
yakni bagian awal (beginning), tengah
(middle), dan akhir (end). Ketiga bagian tersebut tidak harus selalu ditampilkan secara berurutan karena susunan yang diubah-‐ubah mungkin saja terjadi. Na-‐ mun yang harus diperhatikan adalah struktur logis dan kronologis dari urutan kejadian yang digambarkan harus tetap disesuaikan.
Penggambaran konflik dalam cerita juga tidak selalu ditampilkan secara ber-‐ urutan dari awal ke akhir. Hal ini ber-‐ kaitan dengan pemilihan strategi naratif
yang dapat dimulai secara flashback atau
berdasarkan alur mundur. Teks narasi
sah-‐sah saja diawali dengan medias res
yang artinya pembaca diterjunkan ke te-‐ ngah-‐tengah pusaran peristiwa di bagian awal novel. Genette (1983:40) menyebut
alur mundur dengan sebutan analepsis
yaitu kejadian yang diceritakan sering-‐ kali diidentifikasi sebagai bagian dari suatu ingatan dan kadang-‐kadang juga bertujuan untuk menjelaskan kejadian yang saling berhubungan. Di samping itu, penceritaan secara kilas balik dapat diidentifikasi dari penggambaran kejadi-‐ an sebelumnya atau yang telah terjadi.
Dalam teknik ini, tokoh mengingat-‐ingat
kejadian sebelumnya dengan tujuan un-‐ tuk menjelaskan kejadian-‐kejadian tidak terduga yang berkaitan dengan masa se-‐ karang.
Bal (1997:95) menggunakan istilah
retroversion dan anticipation untuk me-‐ nerangkan waktu yang digunakan dalam
sebuah narasi. Retroversion yang dimak-‐
sud oleh Bal adalah teknik penceritaan melalui alur mundur yang ditampilkan
dalam cerita. Anticipation merupakan
penceritaan di dalam teks melalui alur
maju. Fungsi sebuah retroversion sering-‐
kali berguna untuk menerangkan sesua-‐ tu, misalnya memberikan informasi-‐in-‐ formasi pelengkap yang lebih menjelas-‐ kan masa kini. Di bagian awal novel da-‐ pat diceritakan pokok cerita secara lang-‐
sung. Dalam retroversion, penyajian
rangkaian peristiwa juga dapat dihadir-‐
kan dari masa silam. Pemilihan retrover-‐
sion diperbolehkan dalam teknik pence-‐
ritaan selama unsur logis dan kronolo-‐ gisnya tetap dipertahankan. Setelah membaca teks secara keseluruhan, pem-‐ baca dapat mengindikasi urutan waktu yang digambarkan dalam cerita dengan tepat.
METODE
Metode yang digunakan dalam peneliti-‐ an ini adalah deskriptif kualitatif. Metode ini digunakan untuk pemenuhan kebu-‐ tuhan dalam memecahkan masalah yang sedang dianalisis dengan memaparkan keadaan objek penelitian berdasarkan data yang muncul. Objek penelitian ini adalah karya sastra yang berupa novel
berjudul Kambing dan Hujan karya
Mahfud Ikhwan sebagai data primer. Da-‐ ta yang ada di dalam teks dapat diana-‐ lisis melalui kata, frasa, kalimat, atau pa-‐ ragraf yang dapat memberikan informa-‐ si mengenai penggambaran konflik dan negosiasi ideologis antara NU dan Muhammadiyah dalam novel. Pengum-‐ pulan data dilakukan dengan metode pustaka melalui teknik baca, simak dan catat. Kemudian dibuat klasifikasi berda-‐ sarkan karakteristik data yang dibutuh-‐ kan. Oleh karena itu, selain metode ana-‐ lisis data maka harus dilakukan juga in-‐ terpretasi terhadap data berupa kutipan dan potongan dialog yang terdapat pada teks.
Setelah melakukan pembacaan
mendalam, elemen narasi yang turut berperan dalam menggambarkan kon-‐ flik dan negosiasi ideologis NU dan
Muhammadiyah dalam novel dapat di-‐ analisis melalui strategi naratif yang di-‐ kemukakan oleh Mieke Bal (1997) dan Fludernik (2009) serta dilengkapi de-‐ ngan teori ideologi yang dipaparkan oleh Althusser (1971). Diskusi mengenai per-‐ masalahan yang dibahas di dalam novel dilakukan dengan mengkaji data melalui narator, fokalisator, teknik penceritaan
alur kilas balik (retroversion), dan latar.
Analisis tersebut penting untuk menge-‐ tahui secara menyeluruh informasi ter-‐ kait konflik dan negosiasi ideologis yang
ditampilkan oleh novel Kambing dan Hu-‐
jan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bagian ini dipaparkan konflik dan negosiasi ideologis antara NU dan Muhammadiyah yang dihadirkan dalam
novel Kambing dan Hujan karya Mahfud
Ikhwan. Para tokoh yang direpresentasi-‐ kan menjadi anggota organisasi sosial keagamaan NU maupun Muhammadiyah di dalam cerita digambarkan hidup sa-‐ ling berdampingan dan berbaur di Desa Centong. Perselisihan yang terjadi di an-‐ tara anggota ormas Islam tersebut pada teks dikarenakan adanya relasi yang di-‐ bangun dalam kehidupan bermasyara-‐ kat. Berbagai perbedaan yang muncul dalam pelaksanaan praktik keagamaan di antara tokoh-‐tokoh yang ditampilkan berafiliasi dengan NU dan Muhammadi-‐ yah berkembang menjadi konflik yang dilatarbelakangi oleh sistem ideologi mereka yang variatif. Perihal tersebut terejawantah melalui legitimasi pemben-‐ tukan organisasi yang didirikan dengan berbasiskan sosial keagamaan. Sejalan
dengan yang dikemukakan oleh
dan tersembunyi secara masif, meskipun tidak ada aparatus yang sepenuhnya ide-‐ ologis.
Dengan beragam gagasan ideologi yang diturunkan melalui tatanan yang sudah mapan tersebut, ketidaksamaan dalam pemikiran dan aktivitas keagama-‐ an yang dilakukan oleh para tokoh seba-‐ gai anggota NU maupun Muhammadiyah tumbuh menjadi konflik yang tidak da-‐ pat dihindari. Akan tetapi, di dalam novel
Kambing dan Hujan juga dihadirkan ne-‐ gosiasi ideologis untuk meredam konflik tersebut, walaupun negosiasi yang di-‐ gambarkan tidak semuanya berhasil. Da-‐ ri berbagai negosiasi ideologis yang di-‐ tampilkan, dapat diargumentasikan bah-‐ wa novel menawarkan penggambaran pernikahan antara Mif dan Fauzia seba-‐
gai upaya rekonsiliasi NU dan
Muhammadiyah melalui kisah percinta-‐ an. Permasalahan utama yang dikemu-‐ kakan tersebut dikupas dengan teori strategi naratif dan didukung dengan pembahasan ideologi yang telah dipa-‐ parkan di bagian pendahuluan. Hasil pe-‐ nelitian ini menunjukkan aspek-‐aspek yang meliputi narator, fokalisator, alur
kilas balik (retroversion), dan latar juga
turut menunjukkan konflik dan negosi-‐
asi ideologis antara NU dan
Muhammadiyah di dalam novel secara dominan.
Pola Penuturan Narator sebagai Re-‐ presentasi Konflik Ideologis antara NU dan Muhammadiyah
Di dalam novel Kambing dan Hujan, na-‐
rasi lebih banyak diceritakan oleh tokoh Fauzan (yang akrab dipanggil Mat atau Moek) dan Iskandar. Selain Fauzia dan Mif, kedua tokoh tersebut juga berpe-‐ ngaruh dalam menuturkan cerita karena awal mula narasi digambarkan melalui suara mereka. Keberadaan narator da-‐ lam teks menjadi penting untuk meng-‐ identifikasi siapa yang sedang bercerita.
Sebagaimana dijelaskan oleh Bal
(1997:22), narator adalah agen pence-‐ rita yang dapat saja merupakan salah sa-‐ tu tokoh di dalam novel ataupun berada di luar narasi tersebut.
Cerita di dalam novel juga ditutur-‐ kan dengan sangat menonjol secara kilas
balik atau flashback. Dengan teknik pen-‐
ceritaan tersebut, terdapat strategi un-‐ tuk menempatkan tokoh Fauzan dan Iskandar di dalam novel saat menggam-‐ barkan perselisihan yang sudah berlang-‐ sung sejak lama di antara dua ormas be-‐ sar Islam yang mereka ikuti yaitu NU dan Muhammadiyah. Tokoh Fauzan di-‐ tampilkan sebagai representasi kelom-‐ pok NU yang sekaligus menjadi ayahnya Fauzia, sementara itu tokoh Iskandar merupakan ayah Mif yang juga berafilia-‐ si dengan kelompok Muhammadiyah.
Stereotipe yang muncul dan dikait-‐
kan dengan NU adalah kolot dan konven-‐
sional, sedangkan modern dan pembaru selalu dihubung-‐hubungkan dengan ge-‐
rakan Muhammadiyah (Mujahid,
2013:10). Di dalam novel, perbedaan pe-‐ mikiran yang terbentang di antara dua kelompok sosial keagamaan tersebut memengaruhi tindakan yang dilakukan oleh para tokoh yang digambarkan men-‐ jadi anggota NU dan Muhammadiyah.
“Dua hari sebelumnya, Cak Ali dan ka-‐ mi, murid-‐murid mengajinya, menolak ikut terlibat membantu penyelenggara-‐ an tayuban di kuburan. (Itu salah satu acara rutin untuk merayakan tanggal 1 Syura pada masa itu). Kami sedang si-‐ buk membersihkan masjid, begitu alas-‐ an yang kami berikan kepada para orang tua. Tapi, alasan sebenarnya ka-‐ rena kami berpendapat merayakan 1 Syura itu bid’ah”
(Ikhwan, 2015:45).
suara kelompoknya yaitu Muhammadiyah. Secara eksplisit, nara-‐ tor tengah mengungkapkan perbedaan pandangan kelompoknya dengan NU dalam merayakan tanggal 1 Syura dalam
kalender Islam. Di dalam novel Kambing
dan Hujan, golongan NU masih mempe-‐ ringati ritual dalam merayakan 1 Syura dengan mengadakan tayuban di kubur-‐ an. Pemeliharaan tradisi yang dilakukan oleh “para orang tua” di dalam sitasi ter-‐ sebut merujuk pada NU. Oleh karena itu, Iskandar yang menjadi narator intern menguraikan penolakannya untuk ikut tayuban di kuburan karena menurut ke-‐ lompok mereka kegiatan tersebut tergo-‐
long pada bid’ah dan tidak jelas asal usul
penyelenggaraannya. Melalui perbedaan pemikiran yang berkenaan dengan pe-‐ mahaman ajaran agama Islam tersebut dapat dianalisis bahwa eksistensi ISA agama dapat diidentifikasi dalam berba-‐ gai bentuk sistem praktik beragama yang dijalankan oleh masing-‐masing anggota kelompok sosial keagamaan NU maupun Muhammadiyah. Ada landasan keyakinan yang menganjurkan setiap anggotanya untuk melaksanakan apa yang telah diajarkan dan diwariskan se-‐ cara turun-‐temurun. Hal ini juga didu-‐
kung oleh penjelasan Althusser
(1971:159) terkait dengan ideologi yang terdapat pada setiap alasan individu me-‐ lakukan sesuatu, termasuk melaksana-‐ kan aktivitas keagamaan.
Soon (2008:82) menjelaskan bahwa Muhammadiyah mendasari ajarannya dengan bersumber pada Alquran dan hadis. Hal ini kemudian menjadikan para tokoh yang digambarkan sebagai ang-‐ gota Muhammadiyah mempunyai pers-‐ pektif bahwa sesuatu atau kegiatan yang dilakukan oleh anggota NU seringkali mengombinasikan unsur tradisi dan bu-‐ daya dengan keagamaan. Oleh karena itu, golongan Muhammadiyah di dalam cerita menganggap para orang tua, alim ulama dan kaum santri banyak yang
melakukan bid’ah atau perbuatan yang
dikerjakan tidak menurut contoh yang sudah ditetapkan, termasuk menambah-‐ kan ritual yang sebelumnya tidak diajar-‐ kan di zaman Rasulullah. Akan tetapi, ar-‐ gumentasi yang dikemukakan oleh Iskandar, Cak Ali dan para anggota Muhammadiyah di dalam novel juga mendapatkan reaksi keras dari repre-‐ sentasi tokoh lain yang tergabung dalam kelompok NU.
“Siapa yang baik? Seperti apa yang ber-‐ takwa? Di mata orang-‐orang seperti Cak Ali-‐mu itu, yang tidak sama de-‐ ngannya adalah yang tidak benar, yang salah, yang sesat. Apa-‐apa yang lama adalah tidak takwa, kafir, musyrik” (Ikhwan, 2015:209).
Narator dalam kutipan tersebut se-‐ cara lugas meresistensi pemikiran yang tertanam pada orang-‐orang golongan Muhammadiyah. Penuturan tersebut di-‐ ucapkan oleh Fauzan yang sekaligus menjadi sahabat akrab Iskandar. Namun, ketika beranjak dewasa, persahabatan mereka harus dipertaruhkan karena ke-‐ tidaksamaan pemikiran dalam menja-‐ lankan praktik keagamaan, walaupun masih dalam satu agama yang sama yai-‐ tu Islam.
Pada awal cerita dipaparkan bahwa hanya ada golongan NU di Desa Centong tersebut, tetapi setelah kedatangan Cak Ali, dominasi NU tersebut terbagi ke da-‐ lam kelompok Muhammadiyah, terma-‐ suk di dalamnya terdapat Iskandar dan teman-‐temannya. Fauzan yang menge-‐ nal Iskandar sejak kecil sangat menya-‐ yangkan keputusan Iskandar untuk ikut berguru pada Cak Ali. Tuturan narator tersebut juga semakin mempertegas adanya segmentasi antara kaum tua dan kaum pembaru. Fauzan berusaha untuk memberikan perspektif lain kepada Iskandar terkait perbedaan aktivitas ke-‐ agamaan yang dilakukan oleh kelompok
menyimpang oleh kelompok Cak Ali dan Iskandar. Perselisihan yang dihadirkan di antara keduanya menjadi lebih kom-‐ pleks ketika masing-‐masing anggota ke-‐ lompok saling mengkritik.
“Kalian singkirkan beduk dari masjid karena menganggapnya bid’ah, lalu membawa masuk pengeras suara dan menyebutnya sebagai kemajuan. Konyol”
(Ikhwan, 2015:347)
“Kalau rukyat itu lebih utama, kenapa kalian lihat jam kalau mau shalat lima waktu? Itu hasil hisab, tahu? Lucu” (Ikhwan, 2015:347)
Pada narasi kalimat pertama, di-‐ gambarkan yang bertutur adalah tokoh yang menjadi representasi kelompok NU yaitu Fauzan, sementara itu pada kutip-‐ an kedua, naratornya adalah Iskandar yang mewakili golongan Muhammadi-‐ yah di dalam cerita. Melalui pandangan kedua narator tersebut, friksi yang di-‐ hadirkan menjadi lebih rumit ketika ma-‐ sing-‐masing kubu saling memberikan kritik. Hal ini mendasari konflik ideologis yang terjadi antara NU dan Muhammadi-‐ yah dalam melaksanakan praktik keaga-‐ maan seperti penghitungan waktu salat dan menggunakan pengeras suara di masjid. Kaum Muhammadiyah yang ter-‐ kenal sebagai pembaru dan mengikuti perkembangan zaman sangat terbuka terhadap kemajuan teknologi sehingga cara berdakwah mereka juga diimbangi dengan peralatan yang modern. Di sam-‐ ping itu, Muhammadiyah menggunakan ilmu falak (ilmu yang mempelajari per-‐ hitungan benda-‐benda angkasa seperti bulan, bumi, dan matahari) untuk meng-‐ hitung waktu salat, jatuhnya tanggal 1 Ramadan, 1 Syawal dan sebagainya. Se-‐ mentara itu, kelompok NU yang dido-‐ minasi oleh orang-‐orang tua seperti alim ulama dan santri di dalam novel digam-‐
barkan masih konvensional dan
sederhana dalam menjalankan praktik ibadah. Namun, jumlah kelompok NU yang masih menjadi mayoritas di Desa Centong dalam cerita tersebut dapat menjadi bukti kesetiaan para pengikut-‐ nya sejak lama.
Penggambaran konflik ideologis yang terjadi antara NU dan Muhammadi-‐ yah di dalam novel dengan menganalisis masing-‐masing naratornya mencermin-‐ kan respons dari tokoh yang bukan ter-‐ masuk pada kelompok tersebut. Hal ini sejalan dengan penjelasan Fludernik (2009:26) yang menyatakan bahwa na-‐ rator dalam sebuah novel dapat mem-‐ berikan kesan atau pendapat kepada te-‐ man bicaranya. Selain itu, keberadaan narator juga dapat berpindah-‐pindah da-‐ ri satu tokoh ke tokoh lain. Oleh karena itu, perselisihan dan argumentasi antara Fauzan dan Iskandar dalam tuturan ce-‐ rita tersebut semakin memperjelas kon-‐ flik yang dihadirkan terkait dengan ideo-‐ logi mereka dalam meyakini ajaran-‐ajar-‐ an kelompoknya yaitu NU maupun Muhammadiyah.
Fokalisasi sebagai Representasi
Konflik Ideologis antara NU dan Muhammadiyah
Teknik fokalisasi dalam narasi berupaya untuk menggunakan pandangan fokali-‐ sator terhadap suatu peristiwa yang di-‐ sajikan (Bal, 1997:142). Adapun perbe-‐ daan narator dan fokalisator menghasil-‐ kan kesan atau perspektif lain terhadap peristiwa yang sedang ditampilkan.
Peran fokalisator dalam narasi Kambing
berperilaku dengan lawan jenis, dan tata cara beribadah lainnya. Oleh sebab itu, penting untuk dianalisis narasi yang menunjukkan fokalisasi sebagai repre-‐ sentasi konflik ideologis antara NU dan Muhammadiyah. Kejadian-‐kejadian yang dihadirkan di dalam teks berimplikasi terhadap perselisihan yang terjadi di an-‐ tara kedua ormas besar Islam tersebut. Friksi tersebut digambarkan karena ada-‐ nya anggapan yang menyimpang terha-‐
dap kemunculan gerakan
Muhammadiyah di Desa Centong.
“Orang itu, Ali-‐nya itu adalah bagian da-‐ ri persiapannya. Ia tidak berusaha me-‐ nutupi bahwa orang yang diceritakan-‐ nya itu membenci orang-‐orang macam kami, atau paling tidak tak menyukai kami. Dan, Moek sendiri tidak berusaha menyembunyikan sendiri serangannya. Kaum pembaru, demikian ia menyata-‐ kan, harus disadarkan. “Jika terus dibi-‐ arkan,” begitu ia menegaskan, “hanya akan merusak kesatuan umat Islam” (Ikhwan, 2015:208).
Narator di dalam narasi adalah Iskandar, tetapi fokalisasi terdapat pada tokoh Ali Qomarullaeli dan Moek
(Fauzan). Dalam sitasi tersebut, terdapat
pandangan orang lain yang sedang dike-‐ mukakan yakni Ali. Ali Qomarullaeli ada-‐ lah teman Fauzan ketika sedang menun-‐ tut ilmu di pesantren, namun mereka be-‐ lajar di pesantren yang berbeda di dae-‐ rah Jawa Timur. Melalui interpretasi na-‐ rator, objek fokalisasi yang digambarkan adalah kemunculan kaum pembaru atau Muhammadiyah pada masa itu.
Persoalan penggambaran gerakan Muhammadiyah yang dianggap sebagai pembangkangan terhadap ajaran Islam semakin mendominasi di dalam novel. Meskipun jumlahnya tidak sebanyak ke-‐ lompok NU, Muhammadiyah juga men-‐ dapat simpati yang tidak sedikit dari masyarakat Centong. Hal ini yang mem-‐ buat Fauzan dan para orang tua di Desa
Centong khawatir karena dapat memba-‐ hayakan persatuan umat Islam. Anggap-‐ an itu muncul karena perbedaan yang tercermin melalui praktik-‐praktik keaga-‐ maan yang dilakukan oleh tokoh yang di-‐ tampilkan sebagai warga Muhammadi-‐ yah di dalam novel, contohnya terkait dengan niat salat yang tidak diucapkan,
tidak menggunakan qunut, larangan
membaca selawat di antara azan dan ikamah, pembacaan zikir dan wirid yang diucapkan dengan singkat, pelan, dan bahkan hanya diucapkan di dalam hati. Representasi ketidaksamaan fikih dalam beribadah disinyalir membuat anggota kelompok NU dan Muhammadiyah di dalam novel senantiasa berbeda penda-‐ pat. Tidak hanya itu, konflik ideologis yang digambarkan terjadi di sebuah desa yang terletak di Jawa Timur tersebut ju-‐ ga terus berlanjut pada peristiwa yang lain.
“Dari corong Masjid Selatan terdengar uraian-‐uraian sang penceramah yang menegaskan bahwa satu-‐satunya cara menentukan 1 Syawal adalah dengan melihat bulan dengan mata kepala, bu-‐ kannya dengan hitung-‐hitungan, apa-‐ lagi ramal-‐meramal”
(Ikhwan, 2015:241)
Berkebalikan dengan yang itu, dari co-‐ rong Masjid Utara diuraikan dengan menggebu dalil-‐dalil tentang diperbo-‐ lehkannya memakai metode hisab un-‐ tuk menentukan datangnya 1 Ramadan dan 1 Syawal, sebagaimana juga dipa-‐ kai untuk memperkirakan munculnya gerhana dan waktu shalat yang lima” (Ikhwan, 2015:241).
NU, dan sebaliknya Masjid Utara didiri-‐ kan oleh golongan Muhammadiyah. Ada-‐ pun objek fokalisasi yang ditampilkan adalah perihal diperbolehkannya meto-‐ de hilal dan hisab yang digunakan oleh NU dan Muhammadiyah dalam menen-‐ tukan 1 Syawal yang bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri. Baik penceramah NU maupun Muhammadiyah ditampil-‐ kan memberikan argumentasinya secara bergantian melalui pemaparan dalil-‐dalil yang mendukung pandangan mereka terhadap objek fokalisasi tersebut. Oleh karena itu, dengan menghadirkan dua fokalisator dari masing-‐masing kelom-‐ pok NU dan Muhammadiyah, narasi da-‐ lam novel sedang menunjukkan pergan-‐ tian pandangan dalam menanggapi hal yang sama.
Salah satu alasan yang mendasari perbedaan pandangan tersebut karena ideologi yang tidak sama dalam tatanan praktik keagamaan. Sejalan dengan yang dijelaskan oleh Gramsci sebagaimana di-‐ kutip oleh Simon (1999:86-‐87) terkait urgensi ideologi dalam ISA agama yang tidak bisa dinilai dari kebenaran atau ke-‐ salahannya, tetapi harus dinilai dari ‘ke-‐ manjurannya’ dalam mengikat berbagai anggota kelompok ke dalam satu wadah atau proses penyatuan sosial. Oleh kare-‐ na itu, dapat diargumentasikan bahwa persoalan benar atau salah menjadi se-‐ suatu yang bergantung dari perspektif masing-‐masing kelompok, namun orga-‐ nisasi sosial keagamaan yang digambar-‐ kan dalam novel mempunyai pengaruh besar dalam konstruksi para tokoh yang berkomitmen dan berafiliasi di dalam-‐ nya.
Sementara itu, penggambaran ISA pendidikan yang menjadi salah satu apa-‐ ratus untuk melanggengkan ideologi ju-‐ ga ditampilkan di dalam novel. Dengan didirikannya sekolah swasta yang berba-‐ siskan agama Islam oleh representasi pa-‐ ra pengurus organisasi NU dan Muham-‐ madiyah di dalam teks menguatkan
bahwa penyebaran ideologi dapat terjadi melalui lembaga pendidikan.
“Mengingat kepengurusan ranting tak cukup hanya dengan semata masjid, ta-‐ pi semestinya juga sebuah madrasah, Paklik Kamituwo merelakan separuh rumahnya untuk kami jadikan Madra-‐ sah Ibtidaiyah Islamiah Centong” (Ikhwan, 2015:221).
“Setelah berbulan-‐bulan tak juga mem-‐ beri jawaban atas tawaranku, aku jus-‐ tru mendengar Iskandar dan kawan-‐ka-‐ wannya menyulap rumah Cak Ali yang kosong, sepeninggal emaknya, menjadi madrasah. Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Tegal Centong” (Ikhwan, 2015:224-‐225).
Situasi tersebut merupakan fokali-‐ sasi yang hadir dari pandangan tokoh Fauzan sebagai salah satu pengurus or-‐ ganisasi NU yang ditampilkan di dalam novel. Baik itu NU maupun Muhammadi-‐ yah mendirikan institusi pendidikan se-‐ tingkat sekolah dasar untuk menaungi anak-‐anak yang orang tuanya tergabung ke dalam masing-‐masing organisasi so-‐ sial keagamaan tersebut. Hal ini seperti
yang dipaparkan oleh Althusser
(1971:146) bahwa ideologi dapat leluasa tersebar secara turun-‐temurun dan diya-‐ kini kebenarannya, salah satunya mela-‐ lui ISA pendidikan. Perwujudan lembaga sekolah yang tampil sebagai sesuatu yang sedemikian natural dan berman-‐ faat, ternyata dibentuk oleh sistem yang dibuat dengan kepentingan-‐kepentingan tertentu oleh kelas penguasa. Maka, ber-‐ dasarkan kutipan yang dituliskan terse-‐ but dapat dianalisis bahwa didirikannya Madrasah Ibtidaiyah Islamiah Centong oleh NU dan Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Tegal Centong oleh Muhammadiyah menjadi representasi aparatus yang berfungsi untuk melang-‐ gengkan ideologi organisasi masing-‐ma-‐ sing.
Retroversion sebagai Representasi Konflik Ideologis antara NU dan Muhammadiyah
Novel Kambing dan Hujan menampilkan
alur secara kilas balik. Untuk merujuk pada alur kilas balik ini, Bal (1997:95)
menggunakan istilah retroversion. Di da-‐
lam narasi, kalimat pertama tidak selalu menjadi awal cerita atau kejadian per-‐ tama yang menjadi pokok pembicaran keseluruhan teks. Di samping itu, peris-‐ tiwa awal yang digambarkan di dalam cerita juga dapat merupakan penggam-‐ baran khusus tentang konflik yang akan berbuntut pada peristiwa berikutnya.
Deskripsi terkait konflik ideologis antara NU dan Muhammadiyah dalam novel tergambar melalui strategi naratif
retroversion dengan cara salah satu to-‐ koh yang berpengaruh dalam cerita mencoba untuk mengingat kejadian-‐ke-‐ jadian yang dialaminya dahulu dan men-‐ ceritakannya kepada sang anak, Mif. Teknik seperti ini juga turut mewarnai teks dalam menunjukkan perbedaan pe-‐ rangkat ibadah antara anggota NU dan Muhammadiyah.
“Hari itu aku berangkat jumatan de-‐ ngan tak pakai kopiah-‐songkok hitam penutup kepala itu. Itu adalah jumatan pertamaku dengan tanpa kopiah di atas kepala. Beberapa hari sebelumnya, kopiah satu-‐satunya yang aku punya rusak. Aku mau beli yang baru, tapi Cak Ali bilang bahwa kopiah bukanlah hal yang penting dalam shalat”
(Ikhwan, 2015:87).
Kata bercetak tebal pada data ter-‐ sebut dapat mengindikasikan bahwa pe-‐ ristiwa yang diceritakan sudah terjadi di
waktu lampau. Dalam hal ini, teknik ret-‐
roversion dipakai untuk menyampaikan pengalaman yang dialami oleh narator-‐ nya, Iskandar ketika ia belum lama ter-‐ gabung ke dalam kelompok pembaru Muhammadiyah. Aturan yang terdapat
dalam ajaran Muhammadiyah
digambarkan berbeda dengan NU yang selama ini mendominasi masyarakat di Desa Centong, salah satunya tercermin melalui atribut yang dipakai dalam ber-‐ ibadah.
Perangkat dalam salat memang menjadi penting, namun bukan untuk di-‐ permasalahkan. Jika dilihat dari sisi lain, ada argumentasi yang mengemukakan bahwa fungsi kopiah ialah untuk me-‐ nahan rambut agar tidak menghalangi kening bersentuhan dengan tanah pada saat sujud. Akan tetapi, fokalisator Cak Ali yang ditampilkan sebagai anggota Muhammadiyah menganggap mengena-‐ kan kopiah sebagai sesuatu yang mu-‐ bazir dan sia-‐sia karena tidak menjadi keharusan dalam salat. Selain itu, pema-‐ kaian kopiah juga disinyalir hanya me-‐ langgengkan budaya Melayu atau Nu-‐ santara yang hidup di masyarakat sejak zaman dulu. Namun, anggapan yang di-‐ yakini oleh kelompok Muhammadiyah tersebut dinilai menyimpang oleh ke-‐ lompok NU sehingga mengganggu tatan-‐ an keagamaan yang sudah dijaga sejak dahulu oleh para ulama. Pada akhirnya, konflik ideologis di antara kedua ormas besar tersebut digambarkan semakin meruncing dari hari ke hari.
“Selama tiga tahun kami membangun pengajian tersebut, aku kira jumatan hari itu akan jadi penentangan kami yang paling tampak, setelah pembang-‐ kangan kami soal tayuban di kuburan
waktu itu dan pengajian di ladang-‐la-‐ dang belakangan ini”
(Ikhwan, 2015:89).
Narator Iskandar dalam kutipan data tersebut sedang bertutur mengenai peristiwa yang terjadi di masa lampau ketika ia masih muda. Hal ini dapat diperhatikan dari kata-‐kata yang dicetak
tebal. Ketidaksepahaman pemikiran
yang dilekatkan dengan NU di dalam novel dapat dilihat melalui pandangan mereka ketika menanggapi peristiwa yang sama. Perbedaan itu termanifestasi melalui praktik keagamaan dan teknik dakwah yang dilakukan oleh para tokoh yang merepresentasikan kelompoknya masing-‐masing dalam teks. Berbagai ke-‐ tidaksamaan tersebut pada akhirnya di-‐ gambarkan menjadi pemicu perpecahan masyarakat Centong sebagai warga NU dan Muhammadiyah. Walaupun peng-‐ gambaran tindakan negosiasi ideologis telah dilakukan oleh tokoh yang menjadi representasi anggota kelompok NU dan Muhammadiyah, hal tersebut tidak sela-‐ lu berjalan mulus, bahkan terkadang justru menemukan jalan buntu.
Latar sebagai Representasi Konflik
Ideologis antara NU dan
Muhammadiyah
Latar dalam karya sastra memiliki pe-‐ ranan yang khusus untuk mendukung suatu pesan yang ingin disampaikan. Pe-‐ nyajian latar juga hanya dapat terjadi ka-‐ rena adanya pengaruh timbal-‐balik an-‐ tara informasi yang dihadirkan oleh teks dan apa yang sudah diketahui sebelum-‐ nya oleh pembaca, lalu disambung lagi oleh teks. Dalam hal ini, Bal (1997:135) menjelaskan bahwa latar mempunyai arti simbolik. Pengarang menentukan la-‐ tar dalam karyanya didasari oleh pertim-‐ bangan yang dapat membantu kerangka cerita bersesuaian dengan peristiwa yang ingin ditunjukkan. Latar tempat yang disajikan oleh pengarang adalah Desa Tegal Centong yang diceritakan ada di Jawa Timur. Pemilihan latar tempat dalam novel diargumentasikan dapat merepresentasi daerah tersebut berpo-‐ tensi menjadi konflik. Latar ini penting untuk memvalidasi konteks cerita dan menjawab pertanyaan mengapa bukan daerah lain. Representasi latar utama da-‐ lam novel ini memang belum diketahui
secara pasti fakta keberadaannya.
Namun seperti yang dijelaskan oleh Bal (1997:133) bahwa latar tempat yang di-‐ gambarkan hanya fiktif di dalam karya sastra juga bukan merupakan suatu ke-‐ tidakmungkinan.
Latar Centong dihadirkan untuk membantu penggambaran konflik anta-‐ ra NU dan Muhammadiyah di Jawa Ti-‐ mur. Hal itu menyiratkan makna ideo-‐ logis terhadap perkembangan gerakan kedua ormas Islam yang sangat menon-‐ jol di daerah itu. Oleh karena itu, kon-‐ struksi kehidupan masyarakatnya terka-‐ it erat dengan adat istiadat yang berlaku di tempat tersebut.
“Bapak cuma minta kamu berpikir le-‐ bih jauh. Lagi pula, ini Tegal Centong,
Le. Bukan Surabaya, bukan pula Jogja. Di Centong, kamu tentu paham—jika belum paham, pahamilah sejak seka-‐ rang—kalau kamu mau menikahi anak orang, maka kamu harus menikahi juga bapak-‐ibunya. Mif. Semua keluarga-‐ nya”
(Ikhwan, 2015:21).
pembaru dan kaum tradisionalis di Desa Centong.
“Seperti kuduga, tak mudah mem-‐ bangun sebuah organisasi, lebih-‐lebih di tempat seperti Centong, lebih-‐lebih jika itu melibatkan kalangan orang tua” (Ikhwan, 2015:220).
Pada kutipan data tersebut, penu-‐ turan narator intern terdapat pada to-‐ koh Fauzan yang mengusulkan untuk
mendeklarasikan NU sebagai jam’iyah
atau organisasi di Centong. Legitimasi NU tersebut diperlukan karena perge-‐ rakan Muhammadiyah yang digambar-‐ kan di dalam teks juga terus berkem-‐ bang pesat. Untuk mengukuhkan kebe-‐ radaan kedua kelompok keagamaan ter-‐ sebut, maka ditampilkan perlunya pe-‐ ngakuan untuk menjadi organisasi yang sah dan diakui. Representasi perselisih-‐ an yang terjadi antara kedua ormas ter-‐ sebut juga ikut mendorong NU dan Muhammadiyah untuk mengesahkan ek-‐ sistensinya sebagai organisasi masyara-‐ kat. Oleh sebab itu, Centong yang ditam-‐ pilkan berada di daerah Jawa Timur menjadi tempat yang representatif un-‐ tuk menunjukkan konflik ideologis anta-‐ ra NU dan Muhammadiyah terkait de-‐ ngan awal kemunculan ormas yang di-‐
gambarkan di dalam novel Kambing dan
Hujan tersebut.
Negosiasi Ideologis Antartokoh
Perbedaan dalam menjalankan aktivitas keagamaan dan atribut yang dikenakan oleh representasi tokoh yang berafilliasi dengan NU dan Muhammadiyah pada teks menunjukkan bahwa masing-‐ma-‐ sing ormas memiliki ideologi yang tidak sama. Meskipun berbeda dalam menja-‐ lankan praktik keagamaanya, mereka te-‐ tap saling berinteraksi. Tokoh Fauzan dan Iskandar digambarkan menjadi orang yang disegani dalam kelompok or-‐ ganisasi NU maupun Muhammadiyah. Persahabatan yang pernah mereka jalin
sejak kecil berpengaruh pada kedekatan mereka, walaupun Fauzan dan Iskandar berada dalam posisi yang berseberang-‐ an. Namun, berbagai negosiasi ideologis yang dilakukan oleh kedua tokoh ter-‐ sebut di dalam novel juga ditampilkan untuk memulihkan hubungan mereka dan meredam perselisihan yang semakin meruncing.
“Iskandar tak pernah memberi jawab-‐ an-‐sampai hari ini. Tapi, bisa aku sim-‐ pulkan ia menolak. Bahkan, harus aku katakan, ia menolak dengan cara yang tidak menyenangkan”
(Ikhwan, 2015:224).
“Yang membuat aku kecewa bukanlah ketidakhadirannya, melainkan kegagal-‐ anku menunjukkan kepada teman-‐te-‐ manku bahwa Moek bisa diajak berga-‐ bung”
(Ikhwan, 2015:211-‐212).
Dalam dua kutipan data tersebut, naratornya adalah Fauzan yang berafi-‐ liasi dengan NU dan Iskandar yang men-‐ jadi orang yang disegani dalam kelom-‐ pok Muhammadiyah. Pada kutipan per-‐ tama, Fauzan mengajak Iskandar untuk menjadi salah satu pengajar di sekolah madrasah yang didirikan oleh pengurus NU sebelum kelompok Muhammadiyah mendirikan sekolah sendiri. Meskipun sudah mengetahui bahwa Iskandar me-‐ miliki pemikiran yang berbeda dengan organisasinya, Fauzan mencoba melaku-‐ kan negosiasi. Pada kutipan kedua, Iskandar mengundang Moek untuk menghadiri pengajian rutin mingguan
yang diadakan oleh kelompok
Muhammadiyah. Iskandar ingin mem-‐ perbaiki hubungannya dengan Fauzan yang semakin renggang setelah terdapat dua ormas di Desa Centong. Akan tetapi, negosiasi ideologis yang dilakukan oleh Fauzan dan Iskandar tersebut tidak berhasil.
“Subuhnya tak pakai qunut,” kata Mif. “Tak apa, kan?”
Fauzia tersenyum dan mengangguk. “Tapi, wiridnya yang panjang, ya? Keraskan sedikit bacaannya, biar aku bisa mengamini doa suamiku. Oke?” Mif tersenyum dan mengangguk (Ikhwan, 2015:365-‐366)
Dialog antara Mif dan Fauzia, yang digambarkan di akhir cerita dapat meni-‐ kah setelah melalui berbagai hambatan, menjadi contoh negosiasi yang berhasil.
Tidak membaca qunut dan mengeraskan
bacaan wirid merupakan gambaran ne-‐ gosiasi ideologis yang dilakukan oleh Mif dan Fauzia untuk masing-‐masing tetap melaksanakan ajaran agama yang telah tertanam sejak mereka masih kecil. Hal itu dapat diargumentasikan bahwa per-‐ bedaan yang terbentang di antara Fauzia dan Mif sebagai anggota organisasi NU maupun Muhammadiyah dapat diatasi dengan melakukan negosiasi yang dise-‐ pakati bersama.
SIMPULAN
Penggambaran perbedaan dalam menja-‐ lankan praktik-‐praktik keagamaan anta-‐ ra ormas NU dan Muhammadiyah ditam-‐ pilkan dengan kompleks di dalam novel
Kambing dan Hujan. Ketidaksamaan pandangan yang merujuk pada ideologi yang berbeda tidak jarang menimbulkan perselisihan antara dua pihak yang me-‐ yakini pendapatnya masing-‐masing. Re-‐ presentasi perbedaan fikih antara dua kelompok sosial keagamaan besar ter-‐ sebut juga acapkali berujung menjadi konflik ideologis melalui narasi dalam teks. Dengan menggunakan strategi na-‐ ratif melalui analisis narator, fokalisasi, alur, dan latar dapat ditunjukkan peng-‐ gambaran konflik ideologis antara Muhammadiyah dan NU.
Perbedaan dalam melaksanakan ke-‐ giatan-‐kegiatan keagamaan dan penggu-‐ naan atribut beribadah juga diimple-‐ mentasikan secara tidak sama oleh
golongan NU dan Muhammadiyah di da-‐ lam cerita. Perseteruan perbedaan pan-‐ dangan antartokoh yang direpresentasi
oleh anggota kelompok NU dan
Muhammadiyah ditampilkan berdam-‐ pak pada generasi selanjutnya. Kemudi-‐ an, strategi naratif juga digunakan untuk menunjukkan, berbagai representasi ne-‐ gosiasi ideologis antarwarga ormas ter-‐ sebut guna meredam konflik ideologis yang digambarkan di dalam novel. Mes-‐ kipun tidak semua penggambaran nego-‐ siasi berhasil dilakukan, pernikahan an-‐ tara Mif dan Fauzia menjadi contoh ne-‐ gosiasi yang berhasil dihadirkan oleh no-‐ vel.
DAFTAR PUSTAKA
Alfandi, M. (2013). Prasangka: Potensi Pemicu Konflik Internal Umat Islam.
Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 1, 113-‐140.
Althusser, L. (1971). Lenin and Philo-‐
sophy and other Essays (Brewster, B., Translater). New York and Lon-‐ don: Monthly Review Press.
Bal, M. (1997). Narratology. Introduction
to the Theory of Narrative. (Second Edition). Toronto: University of To-‐ ronto Press.
Fludernik, M. (2009). An Introduction to
Narratology (Fludernik, P.M., Trans-‐ later). New York: Routledge.
Frastica, C. (2016). "Representasi Tole-‐ ransi antara Muhammadiyah dan
NU dalam Novel Kambing dan Hujan
Karya Mahfud Ikhwan". Skripsi.
Universitas Padjadjaran, Jatinangor.
Genette, G. (1983). Narrative Discourse:
An Essay in Method. New York: Cornell University Press.
Ikhwan, M. (2015). Kambing dan Hujan.
Yogyakarta: Bentang.
Jahn, M. (2005). Narratology: A Guide to