• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak Penyandang Disabilitas Tunanetra dal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hak Penyandang Disabilitas Tunanetra dal"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

Hak Penyandang Disabilitas Tunanetra dalam Memperoleh

Pendidikan dan Pekerjaan di Indonesia

Oleh Stefani Dyah Retno Pudyanti - 15/384163/SP/26875 Mahasiswa S1 Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada

Manusia memiliki hak yang melekat pada dirinya sejak ia lahir di dunia, bahkan sebelum lahir dan masih berada dalam kandungan sekalipun manusia telah memiliki hak asasi. Setiap individu seharusnya bisa mendapatkan haknya bagaimanapun keadaan individu tersebut dan tidak ada diskriminasi karena keadaan yang diluar kehendaknya. Pemenuhan hak asasi manusia pada praktiknya sering terjadi diskriminasi bagi penyandang disabilitas yang memiliki keadaan berbeda dari orang pada umumnya. Penyandang disabilitas atau biasa juga dikenal dengan difabel didefinisikan sebagai orang dengan cacat fisik jangka panjang, gangguan mental, intelektual, atau sensorik yang dapat menghalangi interaksi dan partisipasi di masyarakat1. Keadaan berbeda yang dimiliki penyandang disabilitas seharusnya memunculkan hak-hak khusus dan spesial bagi mereka, namun di sisi lain hak-hak asasi yang biasa terkadang malah sulit diperoleh mereka.

Secara spesifik dalam esia ini akan dibahas mengenai hak penyandang disabilitas yaitu pada penyandang tunanetra di Indonesia. Tunanetra merupakan salah satu jenis dari disabilitas yaitu pada cacat fisik jangka panjang pada bagian indra pengelihatan atau mata. Tunanetra sebagai salah satu penyandang disabilitas seharusnya mendapatkan hak khusus seperti pada penggunaan fasilitas umum, tapi hak dasar pun terkadang sulit didapatkan kaum tunanetra yaitu dalam hal pendidikan dan pekerjaan. Penulis akan membahas tentang permasalahan pemenuhan hak tunanetra dalam akses mendapatkan pendidikan dan pekerjaan yang menurut penulis merupakan salah satu hak dasar yang seharusnya diperoleh semua orang namun pada praktiknya di masyarakat kaum tunanetra lebih sulit mendapatkan hak tersebut dibanding orang lain yang lebih ‗sempurna‘ atau tidak cacat.

Penyandang disabilitas hak nya diatur dalam konvensi PBB secara khusus yaitu Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) yang dirumuskan sejak 2006

1

Convention on the Rights of Persons with Disabilities, Article 1

(2)

2 dan penandatanganan sejak 2007. Indonesia menjadi negara ke sembilan yang menandatangani konvensi ini dari 82 negara di tahun 2007. Indonesia baru meratifikasi CRPD empat tahun kemudian yaitu pada 2011.2 Article 3 CRPD menjelaskan tentang prinsip dasar dan sikap yang seharusnya dilakukan terhadap penyandang disabilitas yaitu menghormati martabat manusia dengan keterbatasan yang dimiliki, non-diskriminasi, menerima dan memberi kesempatan kaum difabel untuk berpartisipasi dalam masyarakat, serta kesetaraan di masyarakat.3 Untuk permasalahan hak pendidikan dan pekerjaan secara internasional diatur dalam International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) yang dirumuskan pada tahun 1966. Indonesia baru meratifikasi ICESCR pada 23 Februari 20064. Article 6 berbunyi, The States Parties to the present Covenant recognize the right to work, which includes the right of everyone to the opportunity to gain his living by

work which he freely chooses or accepts, and will take appropriate steps to safeguard this

right dan Article 13 berbunyi The States Parties to the present Covenant recognize the right of everyone to education. They agree that education shall be directed to the full development

of the human personality and the sense of its dignity, and shall strengthen the respect for

human rights and fundamental freedoms. They further agree that education shall enable all

persons to participate effectively in a free society, promote understanding, tolerance and

friendship among all nations and all racial, ethnic or religious gr oups, and further the

activities of the United Nations for the maintenance of peace. Dari bunyi konvensi terlihat jelas bahwa negara lah yang bertanggung jawab dan wajib untuk menjamin HAM warga negaranya termasuk bagi penyandang disabilitas. Indonesia sudah meratifikasi kedua perjanjian tersebut sehingga pemerintah memiliki kewajiban untuk mengimplementasinya dan melakukan upaya untuk memenuhi penerapan isi konvensi HAM tersebut.

Sebelum Indonesia meratifikasi konvensi CRPD dan ICESCR, Indonesia sudah memiliki peraturan tentang HAM yaitu melalui UU No. 39 tahun 1999 dan UU No. 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat. UU No. 39 tahun 1999 yang pada pasal 41 yang berisi tentang kemudahan dan perlakuan khusus bagi penyandang cacat atau penyandang disabilitas

2Astrianti. Tifa, ‗RI ratifies UN convention on rights of persons with disabilities‘,

The Jakarta Post (daring), 19 Oktober 2016, <

http://www.thejakartapost.com/news/2011/10/19/ri-ratifies-un-convention-rights-persons-with-disabilities.html >, diakses 11 Juni 2016

3

United Nations, Convention on the Rights of Persons with Disabilities and Optional Protocol, <http://www.un.org/disabilities/documents/convention/convoptprot-e.pdf>, diakses 10 Juni 2016

4

(3)

3 dan pasal 42 berisi tentang perlindungan negara yang memiliki kewajiban untuk membiayai perawatan, pendidikan, pelatihan dan bantuan khusus untuk penyandang cacat5. Pada UU No. 4 Tahun 1997 pasal 6 juga dijelaskan tentang hak penyandang disabilitas yaitu mendapatkan pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan serta memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak6. Peraturan perundangan di Indonesia menggunakan istilah ‗cacat‘ untuk menyebut orang dengan kebutuhan khusus, penulis dalam esai ini akan menggunakan kata penyandang disabilitas atau difabel karena menurut penulis kata cacat membuat seolah-olah mereka dengan kebutuhan khusus lebih rendah dibanding yang sempurna, sehinnga kata cacat selanjutnya tidak akan digunakan dalam esai ini.

Tunanetra merupakan jenis disabilitas paling besar di Indonesia mencapai 29,63% dari semua penyandang disabilitas7 dan penyandang disabilitas secara total di Indonesia mencapai 2.45% dari total penduduk di Indonesia8. Penduduk Indonesia jumlahnya besar, walau dalam persentse penyandang disabilitas dan tunanetra terlihat tidak banyak tapi sesungguhnya cukup banyak, sehingga permasalahan disabilitas menjadi penting di Indonesia.

Penyandang tunanetra sering ditemui di masyarakat, di tempat umum seperti rumah sakit, tempat wisata, tempat ibadah, di jalan dan lainnya. Tunanetra sesungguhnya bukan lagi hal yang aneh, hanya sangat disayangkan masyarakat masih sering beranggapan tunanetra sebagai sesuatu yang tidak biasa. Bila di jalan ada tunantera lewat dengan menggunakan tongkat tidak jarang orang melihat dengan tidak biasa, mungkin dikarenakan rasa iba dan simpati atau alasan lainnya. Masyarakat Indonesia masih belum sepenuhnya ramah terhadap tunanetra maupun penyandang disabilitas yang lain. Masih banyak anggapan bahwa tunanetra sebagai bentuk kecacatan dan ketidaksempurnaan sehingga menjadi sesuatu yang aneh dalam masyarakat. Tunanetra masih belum diterima sepenuhnya di masyarakat, namun penerimaan

5

KOMNASHAM, UU NO 39 Tahun 1999 Tentang HAM, <http://www.komnasham.go.id/instrumen-ham-nasional/uu-no-39-tahun-1999-tentang-ham>, diakses 12 Juni 2016

6

KPAI, Undang – Undang (UU) RI No.4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat

<http://www.kpai.go.id/hukum/undang-undang-uu-ri-no-4-tahun-1997-tentang-penyandang-cacat/ >, diakses 12 Juni 2016

7

Data Sensus Penduduk 2010, (penyandang disabilitas hanya usia 10 tahun ke atas karena ditemukan ketidakwajaran data untuk usia kurang dari 10 tahun yang dimungkinkan karena kesalahan pemahaman konsep dan definisi),

<http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/buletin-disabilitas.pdf>, diakses 10 Juni 2016

8

Data Susenas Tahun 2012, Badan Pusat Statistik,

(4)

4 terkadang berbeda di satu tempat dengan yang lain. Di masyarakat yang sering berinteraksi dengan tunanetra akan lebih mudah menerima mereka, misalkan masyarakat sekitar SLB atau lembaga pemberdayaan difabel. Masyarakat di kota yang sudah lebih modern, seharusnya juga lebih terbuka dan bisa menerima tunanetra, sedangkan di desa dan pedalaman lebih sulit. Penerimaan dari masyarakat sangat penting bagi tunanetra karena akan berpengaruh bagaimana mereka saling berinteraksi dan untuk perkembangan kehidupan sosial dari penyandang tunanetra.

Penyandang tunanetra memiliki tingkat gangguan pengelihatan yang berbeda-beda. Ada tunanetra yang benar-benar tidak bisa menggunakan matanya untuk melihat tapi ada juga yang rabun, matanya bisa melihat tapi tidak banyak membantu dalam beraktivitas sehingga tetap dapat dikategorikan sebagai difabel. Penyebab kebutaan pada tunanetra juga berbeda-beda, tidak semua sejak lahir tapi ketika bertumbuh dewasa kemampuan pengelihatannya semakin berkurang atau karena pernah mengalami kecelakaan. Penulis pernah melakukan wawancara dengan beberapa siswa SLB Yaketunis, Pojok Wetan, Bantul, Yogyakarta yaitu sebuah SLB khusus untuk penyandang tunanetra, siswa di sana kebanyakan sempat bersekolah di sekolah biasa sebelum ke SLB karena sempat mengalami keadaan pengelihatan yang normal lalu karena ada yang kecelakaan, ada yang karena penyakit, ada juga yang tidak diketahui mengapa kemampuan pengelihatannya berkurang sehingga tidak bisa beraktivitas seperti biasa dan harus pindah ke SLB. Para tunanetra sendiri kebanyakan bisa menerima keadaan mereka yang bermasalah dalam pengelihatan dan mereka juga tidak hanya berdiam diri atau terpuruk dalam keadaan. Tunanetra di satu sisi ingin dianggap sama dengan orang normal namun di sisi lain mereka tetap merasa memerlukan perlakukan khusus mengingat keterbatasan mereka. Karena tunanetra memiliki kebutuhan khusus, memang sudah sewajarnya jika mereka memiliki hak khusus dan kemudahan yang seharusnya disediakan oleh negara sesuai dengan hukum yang ada.

Pendidikan dan pekerjaan menjadi hal yang penting bagi tunanetra. Pendidikan dan pekerjaan penting karena mereka tidak bisa terus menerus bergantung pada orang lain, perlu untuk hidup mandiri, bahkan menghidupi diri sendiri. Menurut data distribusi penyandang disabilitas (tidak hanya tunanetra) menurut jenis pendidikan berdasarkan data Susenas tahun 2012, 81.81% pada tingkat SD, 8.75% pada tingkat SMP, dan 9.44% pada tingkat SMA9.

9

Data Susenas Tahun 2012, Badan Pusat Statistik,

(5)

5 Data tersebut merupakan diambil dari semua penyandang disabilitas dari ringan sampai berat dan pada tingkat pendidikan tertentu belum tentu sampai tamat.

Adanya sekolah khusus penyandang disabilitas memberi kesempatan untuk para difabel seperti penyandang tunanetra mendapatkan pendidikan, sekolah khusus tunanetra biasa disebut dengan SLB A. Pendidikan di SLB A dirancang khusus agar sesuai dengan kebutuhan tunanetra. Di SLB Yaketunis (Yogyakarta), satu kelas berisi sedikit murid atau kelas kecil, satu guru dengan murid tidak lebih dari tujuh. Sistem pengajarannya seperti kursus privat, karena tidak memungkinkan menggunakan papan tulis seperti di sekolah umum. Murid di SLB A diajari membaca menggunakan huruf braille. Murid SLB juga belajar akademik seperti di sekolah umum sesuai tingkat kelasnya, bobot pembelajaran sama hanya dengan cara yang berbeda. Tunanetra secara intelektual sama dengan anak pada umumnya untuk menerima pelajaran, hanya saja masalah pengelihatan yang menghambat mereka. Secara kualitas akademis tunanetra sama saja dengan murid di sekolah umum.

Tunanetra tidak hanya belajar akademis di SLB tapi juga keterampilan lain yang dapat mendukung dan membantu mereka dalam beraktivitas. Misalkan keterampilan menggunakan tongkat dan juga belajar orientasi tempat baru untuk memahami lokasi sehingga dapat membantu dalam berjalan atau berpindah tempat. Mereka juga belajar keterampilan memasak misalkan di SLB Yaketunis dan juga menggunakan komputer yang didesain khusus dengan suara ketika keyboardnya diketik. Di SLB, tunanetra agar dapat membuat mereka bisa beraktivitas sama seperti orang lain dengan cara yang mungkin sedikit berbeda. Tunanetra bahkan banyak yang memiliki kemampuan lain yang tidak dimiliki oleh orang pada umumnya, misalkan kemampuan memijat yang biasanya juga didapatkan di SLB. Tunanetra juga tidak selalu memerlukan bantuan ketika berjalan misal dengan tongkat atau dituntun, mereka memiliki kemampuan untuk mengingat tempat dan lokasi yang sudah biasa mereka lalui karena kebutaan tidak begitu menjadi halangan bagi mereka.

(6)

6 mendapatkan pendidikan di SLB. Selain SLB yang baru sebatas tingkat SMA atau sederajat, belum ada khusus universitas atau perguruan tinggi bagi tunanetra. Tunanetra harus berinklusi dengan mahasiswa lain di universitas biasa dan belajar mungkin lebih keras karena sistem di universitas biasa yang tidak diracang untuk tunanetra. PERTUNI (Persatuan Tunanetra Indonesia) mengupayakan proyek pendidikan tinggi untuk mahasiswa tunanetra di Indonesia yang bekerja sama dengan ICEVI (International Council of Education for People with Visual Impairment) dan Nippon Foundation, yang akan dirintis di dua tempat yaitu Bandung yaitu UPI dan Jakarta yaitu UNJ 10. Survey yang dilakukan PERTUNI di tahun 2005, hanya ada 250 tunanetra di Indonesia yang bisa menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi, dibanding jumlah tunanetra di Indonesia yang diperkirakan mencapai lebih dari tiga juta jiwa tentunya angka ini sangatlah kecil11. Selain itu, untuk di universitas biasa kesulitan yang dihadapi terutama bagaimana tunanetra bisa diterima di sana, misalkan lewat jalur tertulis SBMPTN tentunya tunanetra akan lebih kesulitan dalam mengerjakan soal sehingga kesempatan untuk diterimapun lebih kecil. Penyandang tunanetra tidak bisa membaca soal biasa tapi harus menggunakan huruf braille. SBMPTN tahun 2015 misalkan di Universitas Islam Malang, ada seorang tunanetra yang ikut test namun tidak disediakan soal huruf braille sehingga harus dibantu petugas untuk membacakan soalnya12. Sebenarnya, ada kesempatan tunanetra untuk bisa melanjutkan ke universitas hanya saja tidak semudah calon mahasiswa yang lain. Seharusnya diberi kemudahan bagi mereka, bahkan jalur benar-benar khusus bagi tunanetra untuk bisa diterima perguruan tinggi. Di tiap universitas biasanya tetap menerima penyandang disabilitas, tapi biasanya bukan tunanetra seperti orang dengan tubuh kerdil, atau yang tidak memiliki tangan dan kaki dimana jenis disabilitasnya tidak terlalu mengganggu ketika untuk diterima perguruan tinggi, karena tetap bisa mengerjakan soal sama dengan yang lain dan saat kuliah juga bisa belajar sama dengan yang lain. Pemerintah tentunya sudah mengupayakan pendidikan untuk penyandang tunanetra dan difabel lainnya, namun perlu digiatkan lagi terutama di tingkat daerah untuk memperbanyak SLB dan memberikan peluang lebih bagi tunanetra untuk mengenyam pendidikan tingkat tinggi.

10Nawawi. Ahmad, ‗Pusat Layanan Pendidikan Mahasiswa Tunanetra‘ , Departemen Pendidikan

Khusus UPI (daring), <http://pkh.upi.edu/fasilitas/detail_laboratorium/10>, diakses 12 Juni 2016

11Indrawati. Aria, ‗

Renungan Memasuki Tahun Ajaran Baru 2010-2011: Kampus yang Ramah pada

Tunanetra, Masih Impian‘, Gemari (daring) , Agustus 2010,

<http://www.gemari.or.id/file/edisi115/gemari11527.pdf>, diakses 12 Juni 2016

12Prabowo. Hayu Yudha, ‗Dem

i PTN, Calon Mahasiswi Tunanetra ini Tak Mau Menyerah Kerjakan

(7)

7 Pekerjaan juga menjadi isu penting dalam hal hak penyandang disabilitas. Hasil Riskesdas tahun 2013 mendapatkan bahwa prevalensi disabilitas tertinggi adalah pada kelompok orang yang tidak bekerja, yaitu sebesar 14,4% dan terendah pada kelompok orang yang bekerja sebagai pegawai yaitu 6% . Penyandang disabilitas selain banyak yang tidak bekerja, karena memang tidak bisa bekerja dan tidak mendapatkan pekerjaan juga banyak yang berada di dalam kelompok masyarakat miskin, semakin tinggi pravelensi disabilitas pada indeks kepemilikan yang lebih rendah.13 Tunanetra termasuk golongan difabel yang sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Sangat jarang ada perusahaan yang mau memperkerjakan tunanetra, tentunya perusahaan akan berpikir ulang untuk menerima orang tunanetra atau dengan gangguan pengelihatan. Dalam UU No. 4 Tahun 1997 pasal 14 berbunyi Perusahaan harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang penyandang cacat yang memenuhi

persyaratan dan kualifikasi pekerjaan yang bersangkutan, untuk setiap 100 (seratus) orang

karyawan. Namun dari pasal tersebut tidak secara spesifik jenis cacat atau disabilitas seperti apa, sehingga tidak memberikan kewajiban mengikat untuk menerima tunanetra sebagai pekerja. Tidak banyak posisi pekerjaan yang bisa ditempati oleh orang tunanetra. Kebanyakan pada akhirnya tunanetra mencari nafkah dengan mandiri seperti usaha membuka warung yang bisa dilakukan di rumah, atau bila memiliki modal bisa usaha lebih besar. Tunanetra juga biasanya diberdayakan dengan kemampuannya untuk memijat sehingga menjadi ahli pijat. Terbatasnya jenis pekerjaan bagi tunanetra menghambat tunanetra untuk bisa lebih maju dan berkembang.

Tunanetra yang bisa bekerja di perusahaan kemungkinan karena memang ada program khusus untuk menerima tunanetra, semacam kerja sama dan bantuan. Yayasan Mitra Netra sebuah organisasi nirlaba yang membantu tunanetra dalam pendidikan dan pekerjaan, menjalin kerja sama dengan perusahaan sehingga dapat mempekerjakan tunanetra yaitu Hotel Crown Plaza, Bank CIMB Niaga, dan ISS Indonesia dimana tunanetr ditempatkan sebagai operator telepon, order taking service, tele marketer, dan pengajar Bahasa Inggris14. Tunanetra akan sulit sekali untuk benar-benar bisa diterima di perusahaan untuk bekerja dengan murni kemampuannya tanpa embel-embel lain.

Negara memiliki kewajiban untuk menjamin hak warga negaranya tanpa terkecuali. Dalam perundang-undangan juga sudah disebutkan tentang hak warga negara termasuk

13

Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan,

<http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/buletin/buletin-disabilitas.pdf>, diakses 10 Juni 2016

14

(8)
(9)

9 REFERENSI

Astrianti, Tifa. RI ratifies UN convention on rights of persons with disabilities. 19 Oktober 2011. http://www.thejakartapost.com/news/2011/10/19/ri-ratifies-un-convention-rights-persons-with-disabilities.html (diakses Juni 11, 2016).

Indrawati, Aria. ―Gemari.‖ Renungan Memasuki Tahun Ajaran Baru 2010-2011: Kampus yang Ramah pada Tunanetra Masih Impian. Agustus 2010.

http://www.gemari.or.id/file/edisi115/gemari11527.pdf (diakses Juni 12, 2016). Kementrian Kesehatan RI. ―Situasi Penyandang Disabilitas.‖ Buletin Jendela Data dan

Informasi Kesehatan, Semester II 2014.

KOMNASHAM. ―UU NO 39 TAHUN 1999 TENTANG HAM.‖ Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

http://www.komnasham.go.id/instrumen-ham-nasional/uu-no-39-tahun-1999-tentang-ham (diakses Juni 12, 2016).

KPAI. ―Undang – Undang (UU) RI No.4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat.‖ KPAI Komisi Perlindungan Anak Indonesia. http://www.kpai.go.id/hukum/undang-undang-uu-ri-no-4-tahun-1997-tentang-penyandang-cacat/ (diakses Juni 12, 2016).

Nawawi, Ahmad. Pusat Layanan Pendidikan Mahasiswa Tunanetra.

http://pkh.upi.edu/fasilitas/detail_laboratorium/10 (diakses Juni 12, 2016). Prabowo, Hayu Yudha. Demi PTN, Calon Mahasiswi Tunanetra ini Tak Mau Menyerah

Kerjakan Ujian. 9 Juni 2015. http://suryamalang.tribunnews.com/2015/06/09/demi-ptn-calon-mahasiswi-tuna-netra-ini-tak-mau-menyerah-kerjakan-ujian (diakses Juni 12, 2016).

United Nations. ―Convention on the Rights of the Persons with Disabilities and Optional Protocol.‖ United Nations.

http://www.un.org/disabilities/documents/convention/convoptprot-e.pdf (diakses Juni 10, 2016).

—. ―INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS.‖ United Nations Treaty Collection.

https://treaties.un.org/doc/Publication/MTDSG/Volume%20I/Chapter%20IV/IV-3.en.pdf (diakses Juni 11, 2016).

Yayasan Mitra Netra. 3 Perusahaan Menerima Karyawan Tunanetra. 18 Juli 2013.

http://www.mitranetra.or.id/default.asp?page=halo&id=126 (diakses Juni 12, 2016).

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan dengan maksud ini dan untuk memenuhi ketentuan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, perlu ditetapkan tarif atas

Dalam hal ini sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Nashroh Dwi Agustin (2010) bahwa variable kompensasi mempunyai pengaruh secara parsial

Oleh karena itu, penulis akan melakukan penelitian dan kajian secara mendalam serta menyeluruh terhadap pengaruh penggunaan metode Yanbu’a terhadap kemampuan baca

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari laporan keuangan perusahaan textil dan garment yang go public periode 2006 sampai dengan 2008 dengan variabel

Dari hasil analisis yang dilakukan akan diketahui kekuatan desain boatlanding dengan modifikasi struktur support pada kondisi beban kapal menabrak , dengan variasi sudut

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil belajar siswa menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together (NHT) lebih baik dibandingkan dengan

Alasan pemilihan lokasi ini adalah terdapatnya unit analisis data yang dapat mendukung penelitian ini berupa ibu – ibu penjual pakaian bekas yang melakukan seperangkat peran

Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa perbedaan jenis ikan laut yang digunakan berpengaruh nyata terhadap nilai kadar protein cumi-cumi analog (P&lt;0,05) sehingga dapat