• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sastra dan Sejarah oleh Dipa Nugraha

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sastra dan Sejarah oleh Dipa Nugraha"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Sastra dan Sejarah

oleh Dipa Nugraha

ditulis 1 Maret 2011, revisi 13 Juni 2012

http://dipanugraha.blog.com/2011/03/01/sastra-dan-sejarah/

Sebuah karya sastra tidaklah mungkin muncul secara an sich, ia ada karena

diciptakan, atau dengan kata lain ia tidak merupakan entitas ontologis yang mendadak

ada. Fakta inilah yang membuat kita tidak punya pilihan lain selain mempertimbangkan

sejarah karya sastra, atau dapatlah kita sebut sisi-sisi historis, di dalam usaha

interpretasi. Dengan demikian maka pembicaraan sebuah karya sastra tentunya niscaya

memunculkan pertanyaan-pertanyaan misalnya: apakah kaitan antara karya dengan

pengarangnya, karya lain sejamannya, penikmat karyanya, genrenya, waktunya, bahasa

khususnya? (Colie dalam Thorpe ed., 1967: 1). Kemudian pertanyaan dapat berlanjut ke

arah yang lebih spesifik ketika berbicara mengenai sejarah bahasa: pada titik manakah di

dalam “sejarah bahasa” dapat dianggap secara sah terlibat di dalam sastra? Jawaban

atas pertanyaan tersebut sebenarnya didasarkan atas fakta bahwa bahasa, kata-kata,

konteks penggunaannya, dan juga semantik yang kerap kali berbeda di tiap jaman.

Humanis Rennaisance percaya bahwa untuk memahami suatu teks kuno, seseorang

harus mengetahui apa makna dari suatu kata, makna kata secara individual, maupun

dalam konteks gramatika, menurut masa kata-kata tersebut disusun menjadi kalimat

(Colie dalam Thorpe ed., 1967: 4).

Pada saat kita hendak mencari tahu masa penciptaan sebuah karya sastra dan

mengumpulkan materi mengenai sejarah akan seorang pengarang dan karyanya, kita

memakai data kronologis dalam rangka interpretasi yang lebih mendalam. Sebagaimana

kita ketahui, sastra mempunyai sejarah khususnya sendiri: sastrawan sebangsa dan

sejaman, genre, bentuk, style. Dalam penelusuran hal-hal tersebut, kronologi menjadi

(2)

Di dalam sejarah style, mode, genre, dan teknik, sebuah karya sastra mungkin harus

diletakkan sesuai “situs”-nya (Colie dalam Thorpe ed., 1967: 5).

Kritikus sastra historis mempelajari perubahan. Mempelajari style atau genre juga

merupakan bentuk dari mempelajari perubahan, baik di dalam subjek itu sendiri maupun

jika dibenturkan dengan subjek di luar. Kita sadar bahwa setiap pengarang berusaha

menampilkan ciri khas mereka masing-masing, seperti yang dikatakan oleh Shakespeare

di salah satu sonnetnya, “setiap kata menyiratkan namaku” (Colie dalam Thorpe ed.,

1967: 6) dan lalu Colie sendiri menyatakan bahwa:

Sebagaimana lazimnya, kita beradaptasi akan kemungkinan-kemungkinan akan seorang pengarang sesuai dengan waktu dan tempatnya. … Kita tahu apa yang kita harap dari seorang pengarang berdasar milieu-nya dan karakteristik khusus apa yang dipunyainya. Kita tahu rentang ekologisnya dan membandingkan kekhususannya dengan seperangkat kelaziman pada masanya (Colie dalam Thorpe ed., 1967: 5-6).

Sejarah sastra bergantung pada satu asumsi dari kronologi yang relatif – bahwa

waktu ditulisnya suatu karya berkait erat dengan keutuhan karya tersebut. Penelusuran

kronologi waktu penciptaan sebuah karya adalah berguna untuk menyusun kaitan

menuju penciptaan karya termaksud namun perlu dicatat bahwa tidak sembarang waktu

lalu menjadi signifikan (Colie dalam Thorpe ed., 1967: 9).

Suatu karya tidaklah dilihat melulu karena kekhasannya saja, namun juga harus

dilihat dalam kaitannya dengan perubahan intelektualisme dan spiritual seorang

pengarang, dan ini berarti pula menyinggung sikap pengarang terhadap kejadian sosial

yang terjadi di sekitar kehidupan pengarang semasa hidupnya (Colie dalam Thorpe ed.,

1967: 9). Patut pula menjadi perhatian adalah kajian mengenai taste suatu masa. Sebab

suatu masa mempunyai taste yang berbeda dengan masa yang lain. Sebagaimana di

dalam pemakaian bahasa (retorika) seperti telah disinggung oleh Whorf bahwa bahasa

membentuk persepsi kita. Atau dengan kalimat lain bahwa kebiasaan retorika dan gaya

(3)

dan perasaan seseorang (Whorf via Colie dalam Thorpe ed., 1967: 20). Sehingga

dapatlah dikatakan bahwa metode kritik historis di dalam sastra bekerja dengan

membangun pondasi kritik dengan memasukkan elemen politik, sosial, teologi dll. yang

relevan dengan suatu karya dalam rangka membangun konstruksi interpretasi karya

sastra (Shipley, 1962: 87).

Metode kritik historis dengan cara lain ditunjukkan oleh Rudolf Unger di Jerman.

Dia berargumen bahwa karya sastra adalah respon atau sikap pengarang terhadap

pertanyaan-pertanyaan kehidupan yang bersifat filosofis. Rudolf Unger berhipotesis

bahwa cara menjawab tiap pengarang berbeda pada setiap jaman dan situasi (Wellek

dan Warren, 1970: 115). Rudolf Unger mencoba mengklasifikasi karya sastra

berdasarkan kandungan “problematika” yang menjadi tema di dalam karya sastra yang

berbeda pada setiap jaman. Klasifikasi “problematika” tersebut adalah sebagai berikut:

(1) problematika nasib; yaitu pertentangan antara kebebasan dan keharusan, semangat

manusia dan kekuatan alam (2) problematika keimanan; yaitu sikap mengenai Tuhan,

dosa, surga, dan neraka (3) problematika alam; yaitu sikap mengenai kekuatan alam,

mitos, dan klenik (4) problematika kemanusiaan; berkait dengan pertanyaan mengenai

hakikat manusia, sikap manusia terhadap kematian dan cinta (5) problematika

masyarakat, keluarga, dan negara. Metode kritik historis Unger di dalam aplikasinya

menempatkan studi karya sastra berdasarkan lima tema problematika yang ia gariskan.

Sebagai misal, problematika nasib, keimanan, alam, kemanusian, dan kemasyarakatan di

dalam karya Amir Hamzah yang berbeda dengan karya Chairil Anwar bakal

mengarahkan sebuah simpulan bahwa Amir Hamzah dengan Chairil Anwar berasal dari

“jaman yang berbeda”ii.

Beberapa filosof Jerman – yang melihat bahwa suatu karya harus dilihat sebagai

bentuk kait erat antara filosofi dan seni, yang bukan individual, namun juga harus dilihat

(4)

pembacaan karya sastra yaitu pendekatan Geistesgeschichte (Wellek dan Warren, 1970:

119). Pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa setiap periode memiliki “semangat

jaman” yang khas. Pendekatan ini bertujuan untuk merekonstruksi semangat jaman suatu

periode pada segala segi kemudian menginterpretasi sebuah karya berdasar semangat

jamannya. Pendekatan Geistesgeschichte secara garis besar dapat dipilah menjadi dua

bentuk metode analogi; analogi negatif bila menitikberatkan pada perbedaan-perbedaan

suatu periode dan mengabaikan persamaan yang ada, dan analogi positif jikalau

memfokuskan pada persamaan-persamaan peristiwa atau penciptaan pada suatu

periode tertentu dan mengabaikan perbedaannya (Wellek dan Warren, 1970: 119).

Namun pendekatan model ini mempunyai kelemahan. Muncul pertanyaan sampai sejauh

manakah sebuah karya sastra menyuarakan “semangat jaman”? Kadang sebuah karya

tidak menyuarakan “semangat jaman” namun justru memiliki “semangat” yang berbeda

atau malah menentangnya (Wellek dan Warren, 1970: 120 – 122). Meskipun ada

beberapa keraguan mengenai metode ini, akan tetapi pendekatan interpretasi berdasar

pada “semangat jaman” sejatinya dapat berguna di dalam penyusunan periodisasi karya

sastra dan atau pengarang.

Selain berbicara mengenai periodisasi karya sastra dan atau pengarang,

bagaimanakah contoh lain dari penerapan kritik historis di dalam menginterpretasi karya

sastra? Kita ambil contoh analisis terhadap sebuah puisi karya Chairil Anwar yang

dilakukan oleh H.B. Jassin berjudul Senja di Pelabuhan Kecil (Jassin, 1983: 22 – 24).

Jassin memulai analisisnya dengan mencari latar belakang penciptaan puisi tersebut.

Kunci yang ditonjolkan oleh Jassin adalah tokoh bernama Sri Ajati dalam kaitannya

dengan kehidupan Chairil Anwar. Jassin menganalisis puisi ini bersandar kepada kisah

cinta tak sampai yang dialami oleh Chairil Anwar terhadap Sri Ajati. Alur analisis Jassin

terlihat lewat kalimat Jassin bahwa puisi tersebut secara garis besar dikatakan sebagai

(5)

kembali suasana” mengenai runtuhnya harapan Chairil setelah penolakan cinta oleh Sri

Ajati lalu ia berjalan dengan hati yang remuk di sebuah pelabuhan kecil (yang juga

sebagai pasar ikan) pada saat matahari hendak terbenam (Jassin, 1983: 23).

Informasi akan sejarah penulisan puisi tersebut membantu interpretasi yang

dilakukan oleh Jassin. Jassin menilai puisi tersebut dengan mengaitkannya kepada

pengap harap cinta Chairil terhadap Sri Ajati sedangkan analisis diksi di dalam puisi

tersebut dilakukan Jassin untuk mempertegas pengap harap akan cinta. Titik awal

analisis adalah sejarah penulisan puisi itu. Sebagai misal, Jassin memaknai kata

“kelam” di dalam puisi tersebut dengan “lebih merdu bunyinya, lebih sesuai dengan

suasana jiwa orang bercinta, meskipun cintanya itu tidak berbalas” (Jassin, 1983: 24)

yang mengarahkan segala pemaknaan baris di dalam puisi menuju pada “kegagalan

cinta yang dialami Chairil”. Pengetahuan Jassin akan Sri Ajati menutup kemungkinan

bagi Jassin untuk, misalnya, mengaitkan puisi ini dengan usaha Chairil menggambarkan

perasaan Sri Ajati. Justru lewat pengetahuannya akan siapa Sri Ajati-lah, Jassin

mengaitkan puisi ini dengan usaha Chairil Anwar menggambarkan perasaan remuk

hatinya terhadap penolakan Sri Ajati.

Lebih jauh lagi, Chairil di”tangkap” oleh Jassin sebagai sedang menggambarkan

dirinya sendiri dan bukan menggambarkan Sri Ajati. Bahkan jikalau Jassin mendapati

bahwa Chairil adalah pribadi yang tercelupi trend tema karya sastra pada saat itu,

eksistensialisme, maka puisi Senja di Pelabuhan Kecil bakal diinterpretasi oleh Jassin

sebagai karya yang bernapaskan isu eksistensialisme sebagaimana karya-karya khas

Chairil: aku, hidup hanyalah permainan sebentar, dan selalu dalam kondisi menunda

kekalahan karena pada akhirnya sadar bahwa hidup bukanlah atas kehendak sendiri.

Pada sudut sisi historis genre, pemakaian kata (diksi) dan style, interpretasi

(6)

lain sejaman Chairil atau sebelum Chairil menyiratkan sebuah kesimpulan akan adanya

bentuk “kekhasan atau kebaruan ala Chairil”. Dewanto (2012) mengatakan bahwa:

Bagi saya, … Chairil memperluas tradisi. Ia dengan cermat mencerna puisi lama, memilih model yang tepat untuk dirinya. … [“Senja di Pelabuhan Kecil”] sepintas-lalu tampak seperti kuatrin konvensional dengan tiga bait berima

a-a-b-b—c-c-d-d—e-f-e-f. Namun ternyata tidak. Dalam syair, misalnya, setiap

larik adalah sebuah kalimat sempurna dengan empat-lima kata, sebuah unit ujaran atau perian yang lengkap. Dalam sajak Chairil tersebut, setiap larik adalah kalimat atau frase yang tak lengkap, menggantung, yang hanya secara “tanggung” berusaha menyambung dengan kalimat atau frase sesudahnya. Terdapat celah bisu-sunyi frase, kalimat, atau antar-larik. Tidak jelas, misalnya, apakah frase “tidak bergerak” pada ujung baris ketiga bait kedua dan “tiada lagi” pada awal bait ketiga mesti tersambung kepada frase sebelum ataukah sesudahnya. Chairil seakan membiarkan baris-barisnya mengerut dan memuai sendiri. “Cacat” semacam ini justru memunculkan tenaga kata dan kombinasi antar-kata. Perhatian kita akan terpusat pada bagaimana ia menghidupkan benda mati (misalnya “tanah dan air tidur”) atau mengkonkretkan yang abstrak (“desir hari lari berenang”). Tetapi perhatian kita mungkin juga bukan terpusat, melainkan bertebaran pada banyak gabungan kata yang mendebarkan, yang tak kunjung terpahami. Apa itu “pantai keempat” (kenapa tak ada pantai-pantai sebelumnya), dan apa pula “bujuk pangkal akanan” (apakah ini lambaian cakrawala, yang selalu menjauh bila dihampiri)?

… “Senja di Pelabuhan Kecil” tak pernah ditulis oleh [seseorang] yang tak punya visi dan hormat terhadap bentuk syair atau pantun - juga kuatrin pada umumnya, … - termasuk bagaimana bentuk demikian diolah kembali oleh generasi sebelumnya. … Chairil [semakin] meradikalkan bentuk syair yang sudah dibikin modern oleh Amir Hamzah, penyair Pujangga Baru [dari suatu periode sastra sebelum karya-karya Chairil lahir].

Penerapan metode kritik historis dapat juga kita perhatikan di dalam analisis J.U.

Nasution terhadap puisi Sitor Situmorang Lagu Gadis Itali yang dibandingkan dengan

analisis milik Harijadi Hartowardojo terhadap puisi yang sama (dalam Pradopo, 1994:

151-152). Nasution di dalam menganalisis mengatakan bahwa bentuk pantun dipilih oleh

Sitor Situmorang sebagai perlambang ke-indonesia-annya di dalam pengungkapan cinta

terhadap Silvana Maccari, seorang aktris Italia. Sedangkan Hartowardojo menilai bahwa

pantun dikaitkan dengan persamaan jiwa antara Situmorang dengan Maccari di dalam

penggunaan pantun di dalam kerja seni mereka berdua – Situmorang di dalam puisi

sedang Maccari di dalam film yang dibintanginya yang banyak menampilkan nyanyian

(7)

Namun perlu pula diperhatikan saran Pradopo yang menyatakan bahwa alasan

pemilihan pantun oleh Situmorang tidak boleh dilihat sebagai tujuan final saja dari

sebuah kritik sastra [historis] yang baik. Ia menekankan agar analisis tersebut harus juga

mencapai titik sejauh mana keberhasilan Situmorang “berhasil memakai pantun (bentuk

lama) tersebut secara modern” (Pradopo, 1994: 152). Bila mempertautkan antara bentuk

lama – di dalam konteks ini pantun – dengan “cara modern” sebagaimana disarankan

oleh Pradopo, maka kita dapat saja menganggap bahwa Situmorang adalah entitas

modern yang memakai cara lama. Hal ini berimplikasi kepada rujukan sejarah

bahwasanya pada masa tersebut pantun sudah lewat masanya dan “masa yang baru”

sedang dialami oleh Situmorang pada saat penciptaan puisi tersebut. Pemilihan bentuk

yang tidak lazim – bentuk lama: pantun – berdasar sejarah periodisasi sastra yang

dibenturkan dengan kecenderungan masa itu yang lazim memakai bentuk baru, maka

sudah menimbulkan pemaknaan sendiri di dalam interpretasi.

Pengetahuan kita akan fakta sejarah bahwa bentuk pantun “sudah kuno” di

perpuisian Indonesia di kala Situmorang menulis Lagu Gadis Itali justru lebih jauh lagi

dapat membimbing pada suatu interpretasi bahwa Situmorang yang berasal dari budaya

Melayuiii menyadari pertemuannya dengan Maccari yang berasal dari Italia. Melayu dan Italia sama-sama memiliki bentuk syair yang ketat pakem rima; Melayu = pantun dan

Italia = soneta. Dus Situmorang, yang kita ketahui bukan sebagai penyair yang lazim

memakai bentuk pantun, memakai pantun sebagai pengunjukan ke-melayu-annya dan

menyiratkan perbedaan yang ditiriskan menuju adanya persamaan dengan

ke-italia-annya Maccari.

Pengetahuan akan sejarah kelahiran sebuah karya selain berguna di dalam

memandu interpretasi juga berguna di dalam konteks menghindari keluguan

sebagaimana pernah dilakukan oleh Pradopo di dalam menganalisis puisi

(8)

sering berkelana ke Eropa Barat sudah terdapatkan, maka interpretasi pekan

kembang sebagaimana dilakukan oleh Pradopo sebagai tempat pekerja seks sangat

kecil kemungkinan untuk terjadi. Sebab secara totalitas pemaknaan puisi Cathedrale de

Chartes oleh Pradopo mungkin akan sangat jauh berbeda jikalau ia sebelumnya sudah

mempelajari “sisi historis” penciptaan karya dan penciptanya: bahwa pekan kembang di

dalam puisi tersebut bukanlah pasar kembang-nya Yogyakarta sebagaimana telah

disinggung oleh Hardjana (1994: 46 – 49).

Contoh lain di dalam metode kritik historis misalnya analisis terhadap gaya tulis

Hemingway yang menggunakan kalimat-kalimat yang efektif sehingga mudah dicerna

dan kebiasaan Hemingway menulis dengan tema kesendirian dan kekalahan manusia

menghadapi hidup di dalam karya-karyanya (bdk. Burgess, 1978: 116; High, 2000: 147;

Kennedy, 1993: 76) dapat dirunut balik kepada riwayat hidup Hemingway yang pernah

bekerja sebagai wartawan dan pernah ikut perang. Implikasi dari pengetahuan akan “sisi

historis” Hemingway dan kronologis karya-karyanya akan menjadikan interpretasi karya

Hemingway yang berjudul The Old Man and The Sea menjadi tidak tepat jikalau dikaitkan

dengan napas optimisme. The Old Man and The Sea justru niscaya diinterpretasi dengan

totalitas karya ciptaan dan kehidupan Hemingway yang mengakhiri hidup dengan bunuh

diri yang tragis. Interpretasi yang mungkin muncul adalah bahwa Santiago, tokoh utama

di dalam The Old Man and The Sea, pada akhirnya [pasti selalu] kalah melawan hidup.

Sebagai penutup tulisan ini dapatlah dikatakan bahwa tugas dalam analisis suatu

karya sastra dengan metode kritik historis (historical criticism) sebenarnya adalah

mencermati sejarah munculnya suatu karya dan menandai suatu bagian dari sejarah

tersebut yang relevan dengan kelahiran suatu karya, menimbang kekhasan dari setiap

karya, kekhasan setiap pengarang, menuju suatu analisis yang interpretasinya diyakini

lebih mendekati kebenaran (Colie dalam Thorpe ed., 1967: 25-26). Metode kritik historis

(9)

interpretasi kepada resepsi subjek pembaca sebab metode ini berusaha mencari tahu

bagaimana sebuah karya diciptakan dan diniatkan pada saat penciptaan. Kritik historis

pada dasarnya, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, berusaha menempatkan

karya pada letak yang seharusnya sehingga akan tampil warna asli dari karya tersebut

dan lalu nilai karya akan tampak lebih jelas (Shipley, 1962: 87) dan bukan bersandar dari

resepsi bebas pembaca. Oleh sebab itulah, metode kritik historis lebih kerap dipakai di

dalam studi interpretasi skriptur.

DAFTAR PUSTAKA

Burgess, Anthony. 1978. Ernest Hemingway and His World. New York: Charles Scribner’s Sons.

Colie, Rosalie L. 1967. “Literature and History” dalam Thorpe, James (ed.). Relations of

Literary Study; Essays on Interdisciplinary Contributions. New York: Modern

Language Association of America.

Dewanto, Nirwan. 12 April 2012. Situasi Chairil Anwar. Diakses 13 Juni 2012, pukul 9:54 (GMT +7) dari:

http://jalantelawi.com/2012/04/situasi-chairil-anwar/#fn-ref-07

Hardjana, André. 1994. Kritik Sastra: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

High, Peter B. 2000. An Outline of American Literature (ninteenth impression). New York: Longman Inc.

Jassin, H.B. 1983. Pengarang Indonesia dan Dunianya. Jakarta: Penerbit PT Gramedia.

(10)

Pradopo, Rachmat Djoko. 1988. Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra

Indonesia Modern. Yogyakarta: PD. Lukman.

_____________________. 1994. Prinsip-prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Shipley, Joseph T. (ed). 1962. Dictionary of World Literature. New Jersey: Littlefield, Adams & Co.

Wellek, René dan Austin Warren. 1970. Theory of Literature 3rd Edition. New York: Harcourt, Brace & World, Inc.

Sastra dan Sejarah by Dipa Nugraha is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial-NoDerivs 3.0 Unported License.

i

Bandingkan dengan kajian intertekstualitas.

ii

Bandingkan dengan sosiologi sastra.

iii

Referensi

Dokumen terkait

Abstrak. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk membuktikan dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan PPL mahasiswa pada Fakultas Teknik,

Pengamatan terhadap kondisi lalu lintas di luar Kota Labuan Bajo dilakukan pada jalan provinsi yang menghubungkan terminal Nggorang dengan kawasan utara Kabupaten

Tapi penyelidikan sejarah yang sama,....juga membawa ke suatu kenyataan bahwa, akibat perkembangan kekuatan produksi yang dahsyat saat sekarang ini, bahkan apa

Menu-menu tersebut antara lain adalah menu home yang akan menampilkan halaman home , menu data yang akan menampilkan halaman data pendonor, menu proses data yang

table digunakan untuk menjadikan teks terpilih berada dalam tabel 4 Excel SpreadSheet untuk menyisipkan tabel dalam bentuk lembar kerja Excel. 5 Quick Tables untuk

Akhirnya penulis menyarankan Bank Nagari Cabang Lubuk Alung diharapkan selalu mencerminkan dasar atau latar belakang didirikannya Bank sesuai yang diamanahkan dalam

Mayoritas ibu yang memberi susu formula pada anaknya tidak mengikuti anjuran yang benar tentang penyipan susu formula atau penyimpanan susu formula dari petugas

Pengaruh inokulasi konidia jamur untuk penggerek batang ini efektif bila dilakukan pada larva instar pertama atau fase telur karena jamur entomopatogen membunuh dengan cara